PENINGGALAN SEJARAH
DISUSUN OLEH :
M.MUHANDIS AR ROSYADI
SDN 15 SERANG
1.
Candi Borobudur
Magelang Jawa Tengah
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci
untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[5] Para peziarah masuk melalui sisi timur
memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah
jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah
dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kmadhtu (ranah hawa
nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam
perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan
menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan
pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring
melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya
pengaruh Islam.[6] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan
1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur
Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian
upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada
kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO,
kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.[3]
Borobudur kini masih digunakan
sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari
seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati
Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di
Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan. [7][8][9]
2. Candi Prambanan
Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar
di Indonesiayang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan
untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa
pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah.
Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha(bahasa
Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama)
candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan
bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan
kecamatan Prambanan, Klaten,[1]kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50
kilometer barat daya Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di
perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[2] Letaknya
sangat unik, Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi desaBokoharjo,
Prambanan, Sleman, sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di
wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di
Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini
berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan
candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di
tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil. [3]Sebagai salah satu candi
termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan
dari seluruh dunia.[4]
Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi
oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu,
pada masa kerajaan Medang Mataram.
3. Candi Gedongsongo.
Dekat Semarang, Jawa Tengah
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek
bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di
desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini
terdapat sembilan buah candi. Candi ini diketemukan oleh Raffles pada
tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa
Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo.
Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut
sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 C)
Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di di desa
Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini
berjarak kurang lebih 135 kilometer dariKota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat
dari batu putih dengan tinggi tembok 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok
tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai
Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut
dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini
didirikan. Ada yang mengatakan abad keempat, ada yang mengatakan abad ketujuh,
abad kesembilan bahkan pada abad kesebelas. Namun candi ini dianggap telah ada
pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap
kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.[1][2]
Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs
Warisan Dunia UNESCO
5. Candi Kalasan
Candi Kalasan atau Candi Kalibening[1] merupakan sebuah candi yang dikategorikan
sebagai candi umatBuddha terdapat di desa Kalasan, kabupaten Sleman,
provinsi Yogyakarta, Indonesia.
Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di sisi jalan raya
antara Yogyakarta dan Solo serta sekitar 2 km daricandi Prambanan.
Pada awalnya hanya candi Kalasan ini yang ditemukan pada kawasan situs ini, namun
setelah digali lebih dalam maka ditemukan lebih banyak lagi bangunan bangunan
pendukung di sekitar candi ini. Selain candi Kalasan dan bangunan - bangunan
pendukung lainnya ada juga tiga buah candi kecil di luar bangunan candi utama,
berbentuk stupa.
Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak jauh dari candi ini
menyebutkan tentang pendirian bangunan suci untuk
menghormati Bodhisattva wanita, Tarabhawana dan sebuah vihara untuk para pendeta.
[2][1]
8, sedangkan atap paling bawah sebangun dengan candi berbentuk persegi 20 yang
dilengkapi kamar-kamar setiap sisinya
6. Candi Sewu.
Magelang, Jawa Tengah.
Candi Sewu atau Manjusrighra adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8
yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan. Candi
Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi
Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Borobudur
dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh masyarakat setempat candi
ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini
berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.
Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan,
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah
7. Candi Pawon.
Magelang, Jawa Tengah.
Candi Sari juga disebut Candi Bendah adalah candi Buddha yang berada tidak
jauh dari Candi Sambi Sari, Candi Kalasan dan Candi Prambanan, yaitu di
bagian sebelah timur laut dari kota Yogyakarta, dan tidak begitu jauh dariBandara
Adisucipto. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 pada saat
zaman Kerajaan Mataram Kunodengan bentuk yang sangat indah. Pada bagian
atas candi ini terdapat 9 buah stupa seperti yang nampak pada stupa di Candi
Borobudur, dan tersusun dalam 3 deretan sejajar.
Bentuk bangunan candi serta ukiran relief yang ada pada dinding candi sangat mirip
dengan relief di Candi Plaosan. Beberapa ruangan bertingkat dua berada persis di
bawah masing-masing stupa, dan diperkirakan dipakai untuk tempat meditasi bagi para
pendeta Buddha (bhiksu) pada zaman dahulunya. Candi Sari pada masa lampau
merupakan suatu Vihara Buddha, dan dipakai sebagai tempat belajar dan berguru bagi
para bhiksu
9. Candi Ngawen.
Magelang, Jawa Tengah.
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi
Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan,Kabupaten
Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Sailendra pada abad ke8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. MenurutSoekmono keberadaan candi Ngawen
ini kemungkinan besar adalah bangunan suci yang tersebut dalam prasasti Karang
Tengah pada tahun 824 M, yaituVenuvana (Sanskerta: 'Hutan Bambu').
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang
berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung
Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak
berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa reliefpada sisi candi masih nampak
cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara,Kinnari, dan kala-makara
Dieng adalah kawasan dataran tinggi di Jawa Tengah, yang masuk wilayah Kabupaten
Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya berada di sebelah barat
kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Dieng adalah kawasan vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung
api raksasa dengan beberapa kepundan kawah. Ketinggian rata-rata adalah sekitar
2.000 m di atas permukaan laut. Suhu berkisar 1220C di siang hari dan 6-10C di
malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara dapat mencapai 0C
di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun
upas ("embun racun") karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.
Secara administrasi, Dieng merupakan wilayah Desa Dieng Kulon, Kecamatan
Batur, Kabupaten Banjarnegara danDieng ("Dieng Wetan"), Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Wilayah ini merupakan salah satu wilayah paling
terpencil di Jawa Tengah
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini
dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari
Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati
dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga
diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami
pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita
mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan. Sampai
sekarang candi masih terjaga dan terawat.
Candi Jago berasal dari kata "Jajaghu", didirikan pada masa Kerajaan
Singhasari pada abad ke-13. Berlokasi di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang,
atau sekitar 22 km dari Kota Malang, pada koordinat
8020.81S 1124550.82E.
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut
cerita setempat karena tersambar petir. Reliefrelief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Sengan keseluruhan
bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.
Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang
disebut pada Prasasti Manjusri. Sekarang Arca ini tersimpan di Museum Nasional
dengan nomor inventaris D. 214.
Candi Penataran atau Candi Panataran atau nama aslinya adalah Candi
Palah adalah sebuah gugusan candibersifat keagamaan Hindu Siwaitis yang
terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung
Kelud, di sebelah utaraBlitar, pada ketinggian 450 meter di atas permukaan laut.
Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada
masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut
Candi Penataran atau Candi Panataran atau nama aslinya adalah Candi
Palah adalah sebuah gugusan candibersifat keagamaan Hindu Siwaitis yang
terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung
Kelud, di sebelah utaraBlitar, pada ketinggian 450 meter di atas permukaan laut.
Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada
masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut
digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan
Majapahit sekitar tahun 1415.
Dalam kitab Desawarnana atau Nagarakretagama yang ditulis pada tahun 1365,
Candi ini disebut sebagai bangunan suci "Palah" yang dikunjungi Raja Hayam
Wuruk dalam perjalanan kerajaan bertamasya keliling Jawa Timur.[1]
Pada tahun 1995 candi ini diajukan sebagai calon Situs Warisan
Dunia UNESCO dalam daftar tentatifnya
Candi Simping atau disebut juga dengan nama Candi Sumberjati, karena candi ini terletak di
Dusun Krajan Desa Sumberjati, Kec. Kademangan. Berada kira-kira tujuh kilo meter dari pusat
Kota Blitar ke arah selatan. Tak seberapa jauh menyempal ke selatan sekitar satu setengah kilo
meter dari ruas jalan provinsi yang menghubungkan Kabupaten Blitar dengan Kabupaten
Tulungagung setelah melewati Jembatan Kademangan di atas Kali Brantas.
Karena berada tak jauh dari pusat kota Kec. Kademangan, akses untuk mencapai lokasi candi
ini cukup mudah. Didukung infrastruktur jalan yang memadahi, keberadaan atau lokasi candi ini
pun sangat mudah dijangkau dan ditemukan. Sebab kompleks Candi Simping atau Candi
Sumberjati ini berada di tengah-tengah wilayah pemukiman warga.
Tetapi bila sudah sampai di lokasi Candi Simping, anda jangan kaget. Sebab bukan lagi sebuah
bangunan candi yang masih tegak dan anggun berdiri yang akan anda temui disana. Candi
Simping ini kondisinya sudah tidak utuh lagi dan bahkan nyaris semua bagaiannya rata dengan
tanah. Namun begitu, dari reruntuhan yang ada ini masih bisa kita nikmati sisa-sisa kemegahan
dan nilai sejarah dari candi peninggalan Kerajaan Majapahit ini.
Kondisinya hanya tinggal bagian batur atau kaki atau lantai pondasi candi saja yang masih
terlihat utuh dan berada ditempatnya. Sedangkan bagian yang lain yaitu tubuh dan atap candi
hanya berupa batu-batu reruntuhan yang tertata rapi di sekeliling lantai pondasi candi tadi.
Edy Suworo - Juru Kunci Candi yang ditemui di lokasi candi mengaku tidak tahu mengapa Candi
Simping kondisinya sudah tidak utuh lagi. Ia mengatakan, apa yang dilihat nenek moyangnya
dulu dan apa yang kita lihat saat ini sama, Keadaannya ya sudah seperti itu. Dalam sejarahnya,
Candi Simping ini bukan tempat untuk melakukan ibadah atau melakukan tapa brata atau
semedi. Melainkan, candi ini merupakan tempat untuk menyemayamkan jenazah Raden Wijaya
atau Bhre Wijaya, Raja Majapahit yang pertama,kata Edy Suworo.
Sedikit mengingat sejarah kejayaan masa lampau, jauh sebelum Maha Patih Gajah Mada
berhasil menyatukan Nusantara atau pada masa keemasan pemerintahan Prabu Hayam Wuruk,
siapakah yang mendirikan Kerajaan Majapahit? Ya, dia adalah Raden Wijaya atau Bhre Wijaya,
pendiri dan sekaligus raja pertama Kerajaan Majapahit.
Bagian kaki candi ini menghadap ke barat yang ditandai dengan adanya tangga atau flight step
yang pada jaman dahulu digunakan sebagai jalan masuk ke ruang utama candi. Ukuran batur
Candi Simping sendiri cukup besar dengan panjang 7,5 meter, lebar 6 meter dan tinggi 0,75
meter yang pada bagian luarnya dihiasi dengan berbagai macam relief binatang yang
diantaranya berupa relief Singa, Angsa, Merak , Burung Garuda, Babi Hutan dan Kera.
Ditengah-tengah kaki candi ini terdapat batu berbentuk kubus yang ukuran panjang, lebar dan
tingginya 75 cm. Pada bagian atas batu tersebut terdapat relief bulus atau kura-kura dan naga
yang saling mengkait satu sama lain mengitari batu itu.Dan di batu kubus inilah tempat abu
jenazah dari Raden Wijaya disemayamkan, pungkas Juru Kunci.
Di candi ini ada patung atau arca-nya. Arca ini disebut dengan Arca Hariharayang merupakan
perwujudan dari Raja Majapahit yang pertama. Arca yang tingginya kurang lebih dua meter itu
sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Selain faktor keamanan,
Dipindahkannya Arca Harihara ini juga terkait dengan nilai-nilai sejarah yang ada pada benda
purbakala tersebut, tutur Edy Suworo.
Dan dari konstruksi gambar yang dibuat oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3),
tutur Juru Kunci,Candi Simping ini konon merupakan bangunan candi yang sangat megah dan
indah. Bangunannya sebagaimana candi-candi yang berarsitektur khas Jawa Timur-an,
bentuknya ramping meninggi dengan banyak sekali ukiran pada tubuh dan atap candinya.
Reruntuhan Candi Sumberjati sebagaian besar diletakkan disebelah barat batur candi dalam
kondisi yang masih bagus dan terawat. Reruntuhan itu terdiri dari balok-balok batu andesit
berukiran yang bertumpuk-tumpuk dan tertata rapi, sehingga sangat mungkin kalau tubuh dan
atap dari Candi Simping ini dibangun dari bebatuan itu.
Sedangkan di sebelah utara kaki candi diletakkan empat buah Makara atau lambang penyucian,
Pahatan Kepala Raksasa yang diletakkan diatas pintu masuk candi. Sebagian tubuh dan atap
candi yang lain diletakkan di timur lantai pondasi. Diantaranya disana terdapat batu-batu andesit
yang dipahat bunga teratai, Dan dari relief itulah ditunjukkan candi ini merupakan candi
Hindu,kata Juru Kunci. Sedangkan dibagian selatan atau didekat pintu masuk (gapura), terdapat
sebuah Linggabenda purbakala yang melambangkan atau simbul jenis kelamin laki-laki.
Dari buku tamu yang disediakan oleh Juru Kunci, terlihat disana candi ini cukup ramai
dikunjungi. Setiap hari pasti ada yang datang, sehingga tak kurang dari dua ratus orang yang
berkunjung dalam sebulan. Kebanyakan memang berasal dari luar kota, namun warga asli Blitar
tidak sedikit yang berkunjung. Ramainya pengunjung, menurut Juru Kunci, karena lokasi candi
ini tak jauh dari jalur menuju ke pantai Tambakrejo. Kebanyakan mereka hanya sekedar mampir
karena penasaran, namun tak jarang serombongan siswa dalam acara study tour juga kerap
singgah.
Seperti apapun bentuk dan rupanya, keberadaan Candi Simping tetap patut untuk kita cermati.
Karena bagaimanapun disana telah dimakamkan Raja Majapahit yang pertama yang tentunya
memiliki peran dalam sejarah nusantara ini. Raden Wijaya atau Bhre Wijaya ini bisa dikatakan
Seperti yang terdapat di Candi Rimbi, kaki Candi Surawana tampak seperti
bersusun dua, terbagi oleh pelipit yang menonjol keluar. Bagian kaki yang
terletak di atas pelipit agak menjorok ke dalam sehingga ukurannya menjadi
Candi Tikus adalah sebuah peninggalan purbakala yang terletak di dukuh Dinuk,
Desa Temon, KecamatanTrowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Candi Tikus terletak di di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan raya
Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan
Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan,
sekitar 600 m dari Candi Bajangratu.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914.
Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan Bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro,
tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara
menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama 'Tikus' hanya merupakan
sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi
tersebut berada merupakan sarang tikus.
Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan,
untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur menara
diperkirakan candi ini dibangun antara abad 13 sampai 14 M, karena miniatur menara
merupakan ciri arsitektur pada masa itu.
Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar
sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini
merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang berpendapat
bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan
penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa
bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam
dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat
dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah
letaknya yang lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling
atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam, turun
sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke candi
terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Candi
hindu ini terletak di DesaJabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa
Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan
ratusan tahun. Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi
Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama
candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur
pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat
pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja. [1]
Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada
di Bahal, Sumatera Utara.
candi Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo,
wilayah Cangkuang, KecamatanLeles, Garut, Jawa Barat.[1] Candi inilah juga yang
pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di
Tatar Sunda. Candi ini terletak bersebelahan dengan makam Embah Dalem Arief
Muhammad, sebuah makam kuno pemuka agama Islam yang dipercaya sebagai leluhur
penduduk Desa Cangkuang
Candi Ijo adalah sebuah kompleks percandian bercorak Hindu, berada 4 kilometer arah
tenggara dari Candi Ratu Boko atau kita-kira 18 kilometer di sebelah timur
kota Yogyakarta. Candi ini diperkirakan dibangun antara kurun abad ke-10 sampai
dengan ke-11 Masehi pada saat zaman Kerajaan Medang periode Mataram[
23.candi lumbung
Candi Lumbung adalah salah satu kompleks percandian Buddha yang berada di dalam
kompleks Taman WisataCandi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Meskipun
demikian, Candi ini telah masuk ke wilayah Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten
Klaten. [1] wikimapia
Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram
Kuno