Anda di halaman 1dari 38

1.

PENDAHULUAN

Agama Budha lahir dan berkembang sekitar 6 abad sebelum Masehi. Sebagai reaksi terhadap sistem
upacara agama Hindu yang terlampau kaku. Dari latar belakang munculnya, agama Budha
mempunyai kaitan erat dengan agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Budha tidak bertolak dari
Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam dan seluruh isinya.

Agama ini bertolak dari keadaan yang nyata, terutama tentang tata susila yang harus dilaksanakan
oleh manusia agar ia terbebas oleh lingkaran dukha yang selalu mengikuti hidupnya. Pada mulanya
ajaran ini bukan merupakan agama tetapi hanya suatu ajaran untuk melepaskan diri dari sangsara
(samsara) dengan tenaga sendiri, sebagaimana dilakukan sang Budha. Tetapi ajaran ini kemudian
berubah manjadi agama yang banyak penganutnya dan mempengaruhi daya pikir banyak orang.

2. PENDIRI DAN PEMBAWA AGAMA BUDHA

Agama Budha didirikan oleh seorang pangeran yang bernama Sidharta “yang cita-citanya
tercapai”, Putra raja Sudhodana Gautama dan Dewi Mahamaya dari kerajaan kecil Kapilawastu yang
memerintah atas suku Sakya di India utara yang berbatasan dengan Nepal. Ia dilahirkan pada tahun
563 s.M. dan wafat pada tahun 483 s.M.[1]

Dalam kepercayaan para pemeluk agama Budha ada beribu-ribu orang yang mendapatkan
gelar kehormatan Budha dalam sejarah. Untuk masa sekarang, orang yang mendapat pencerahan
dan gelar tersebut adalah Sidharta Gautama, Budha yang ke-28 dan yang mendirikan agama Buddha
sebagaimana dikenal sekarang ini.

Selain mendapatkan gelar Budha, Sidarta juga telah mendapatkan gelar Bhagoua(orang yang
menjadi sendiri tanpa guru yang mengajar sebelumnya), Sakya Mimi (pertapa dari suku
Sakya); Sakya Sumba (singa dari suku Sakya); Sugata (orang yang datang dengan selamat); Suaria
Siddha (orang yang terkabul semua permintaannya) danTathagata (orang yang baru datang).

3. PENGERTIAN DASAR BUDDHA DARMA

Secara etimologi, perkataan Buddha berasal dari ”Buddh” yang berarti bangun atau bangkit, dan
dapat pula berarti pergi dari kalangan orang bawah atau awam. Kata kerjanya, “bujjhati”, antara lain
berarti bangun, mendapatkan pencerahan, mengetahui, mengenal atau mengerti. Dari arti-arti
etimologis tersebut, perkataan Buddha mengandung beberapa pengertian seperti: Orang yang telah
memperoleh kebijaksanaan sempurna; orang yang sadar secara spiritual; orang yang siap sedia
menyadarkan orang lain secara spiritual; orang yang bersih dari kotoran batin yang
berupa dosa (kebencian), lobha(serakah) dan moha (kegelapan).[2]
Buddha adalah yang telah mencapai penerangan sempurna. Semua yang serupa dengan Sidharta
Gautama yang menjadi pendiri agama Budha (Nabi) telah mendapatkan julukan dengan nama
Buddha, karena beliau adalah seorang yang telah mencapai penerangan sempurna, pada waktu
berusia 35 tahun lebih dari 2500 tahun yang lalu di India. Tujuan terakhir dari seluruh umat Buddha
dari sekte dan aliran agama Buddha manapun ialah untuk mencapai penerangan sempurna dan
menjadi Buddha. Karena adanya perbedaan cara atau jalan untuk mencapai penerangan sempurna
dan kebuddhaan itu, maka agama Buddha terbagi atas aliran dan sekte-sekte agama Budha. Di
dalam aliran agama Buddha Mahayana, di samping dikenal Sang Buddha Gautama sebagai Buddha
yang bersejarah, tetapi aliran Budha Mahayana juga mengenal Budha seperti: Buddha Amitaba
(Amida), Buddha virocana (dainici), Buddha Vajrayaguru (Yakushi) , dan sebagainya, yang pada
umumnya diterima sebagai lambang-lambang pujaan oleh para penganut agama Buddha, karena
terpengaruh oleh konsep adanya simbol “Negara Suci” dalam agama Buddha di Jepang, seseorang
menjadi Buddha setelah lahir kembali dalam Negara Suci, maka semua orang yang meninggal dunia
pada umumnya disebut “Buddha” atau “Hotoke” dalam bahasa Jepang.

Dharma adalah ajaran yang benar ajaran sang Buddha. Ajaran yang diajarkan oleh orang yang telah
mencapai Penerangan Sempurna; sang Buddha. Ada tiga kaidah keagamaan bagi agama Buddha
yang disebut Sutra (ajaran yang diajarkan oleh sang Buddha sendiri),Vinaya (disiplin-disiplin yang
diberikan oleh sang Buddha), dan Abidharma (komentar-komentar dan diskusi-diskusi tentang Sutra
dan Vinaya oleh para sarjana di zaman-zaman belakangan). Ketiga-tiganya ini disebut Tripitaka, dan
Dharma itu merupakan satu dari Tri Ratna atau Tiga Mustika agama Buddha.[3]

Namun di kalangan para pemeluknya, ajaran yang disampaikan Buddha Gautama tidak harus
dipandang sebagai agama atau filsafat saja, karena pengertian yang menunjuk kepada arti agama
atau filsafat atau semua fenomena yang terdapat di alam ini telah tercakup dalam
istilah dharma (sansesekerta) atau dhamma (pali) yang menjadi inti dari seluruh ajaran Gautama.
Dengan demikian, pemakaian istilah Buddha Dharma atauBuddha Dhamma lebih sering
dipergunakan oleh para pemeluk agama Buddha dari pada istilah agama.

4. TRIRATNA

Triratna yang bermakna tiga permata adalah tiga buah pengakuan dari setiap penganut agama
Buddha, seperti halnya dengan credo di dalam agama Kristen atau syahadat di dalam agama Islam.
Tiga Pengakuan di dalam agama Buddha itu berbunyi:

(1). Buddham saranam gacchami

(2). Dhamman saranam gacchami

(3). Sangham saranam dacchami

Bermakna:

(1) Saya berlindung di dalam Buddha


(2) Saya berlindung di dalam Dhamma

(3) Saya berlindung di dalam Sangha

Triratna harus diucapkan tiga kali. Pada kali yang kedua diawali dengan Dutiyam, yang bermakna:
buat kedua kalinya. Pada kali yang ketiga diawali dengan Tatiyam, yang bermakna: buat ketiga
kalinya.[4]

Secara garis besar ajaran agama Buddha dapat dirangkum dalam tiga ajaran pokok, yaituBuddha,
Dharma, dan Sangha. Ajaran tentang Buddha menekankan pada bagaimana umat Buddha
memandang sang Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha dan asas rohani yang dapat
dicapai oleh setiap makhluk hidup. Pada perkembangan selanjutnya ajaran tentang Buddha ini
berkaitan dengan masalah ketuhanan yang menjadi salah satu ciri ajaran semua agama.

Ajaran tentang dharma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi manusia
dalam hidupnya, baik yang berkaitan dengan ciri manusia sendiri maupun hubungannya dengan apa
yang disebut Tuhan dan alam semesta dengan segala isinya.

Ajaran tentang Sangha selain mengajarkan bagaimana umat Buddha memandang sanghasebagai
pasamuan para bhikkhu, juga berkaitan dengan umat Buddha yang menjadi tempat para Bhikkhu
menjalankan dharmanya, juga dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Buddha, baik di
tempat kelahirannya di India maupun di tempat-tempat agama tersebut berkembang.

Buddha di dalam triratna itu dimaksudkan: Buddha Gautama, Dhamma disitu dimaksudkan: pokok-
pokok ajaran. Sangha disitu dimaksudkan: biara. Ketiga-tiganya itu dinyatakan azas perlindungan
bagi setiap penganut agama Buddha, yakni azas keyakinan yang dianut mazhab Theravada maupun
mazhab Mahayana.

1) BUDDHA

Menurut ceritanya kelahiran Budha Gautama adalah pada waktu di Kapilwastu diadakan
perayaan musim panas, sang permaisuri Maya bermimpi, bahwa beliau diangkat dan dibawa gunung
Himalaya. Sesudah beliau dimandikan dan dikenakan pakaian sorgawi, datanglah sang Buddha
seperti seekor gajah putih dengan mrembawa bunga teratai putih pada belalainya. Sesudahnya
gajah itu berputar-putar mengitari sang permaisuri hingga tiga kali, masuklah ia ke dalam permaisuri
Maya dengan melalui pinggang kanan.

Setelah melalui proses kelahiran yang penuh keajaiban itu, Sidharta Gautama kemudian
menjalani hidup sebagai putra raja Suddhodhana. Seluruh kehidupannya, secara garis besar dibagi
atas empat periode, yaitu:

a) Sebagai Pangeran Sidharta di istana Kapilawastu

b) Sebagai pertapa Gautama

c) Periode mendapat penerangan dan menjadi Buddha; dan

d) Periode mengajarkan dharma


a) Budha sebagai Pangeran Sidharta

Periode ini dimulai dengan saat kelahiran Sidharta Gautama hingga ia mencapai usia 29 tahun.
Diceritakan bahwa, setelah kelahirannya yang penuh keajaiban, ia diramalkan akan menjadi raja, jika
ia menduduki tahta kerajaan, tetapi akan memilih hidup sebagai orang suci, menjadi penakluk hidup,
mencapai kesempurnaan sejati, menjadi Buddha, jika ia melepaskan kedudukan atas tahta yang
diwariskan orangtuanya.

Raja Sudhodhana ingin agar Sidharta menjadi raja yang besar dan kuasa dari pada menjadi seorang
Buddha. Oleh karena itu ia berusaha agar Sidharta tidak melihat penderitaan dan memahami
ketidakkekalan dunia yang dapat menjadi dorongan baginya untuk meninggalkan keduniawian. Akan
tetapi usaha Sudhodhana tidak berhasil karena Buddha menjumpai keadaan-keadaan yang jauh
berbeda dengan apa yang dialaminya selama ini. Pertama tanpa diduga, ia bertemu dengan orang
yang sudah sangat tua di luar istananya. Kedua bertemu dengan orang sakit yang mengerikan; Ketiga
dengan orang yang meninggal dunia; dan yang terakhir dengan seorang pertapa yang sederhana
yang wajahnya memperlihatkan wajah penuh kedamaian dan pandangannya sangat tenang.

Sidharta Gautama meninggalkan istana pada usia 29 tahun, ketika anak yang pertama lahir. Dengan
menunggang kuda Kantaka yang ditemani oleh saisnya, chanda. Kemudian dia memotong
rambutnya dan menyerahkan senjata serta perhiasan yang dibawanya kepada Chandra untuk
dibawa kembali ke istana. Sidharta tinggal selama tujuh hari tujuh malam, dan menggunakan
waktunya untuk merenungi kehidupan. Dengan langkah ini berakhirlah riwayat Pangeran Sidharta
dan mulailah kehidupan sebagai seorang pertapa.

b) Sidharta Gautama sebagai Seorang Pertapa

Setelah tujuh hari tujuh malam di tepi sungai Anoma, Sidharta Gautama kemudian berguru kepada
dua Brahmana yang termasyhur, yaitu Alarakalama dan Udnaka Ramaputra. Dari keduanya ia
mendapatkan pelajaran bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan, manusia harus menjalankan
upacara-upacara sembahyang tertentu dan berkorban agar mendapat karunia Tuhan. Selain itu
dengan jalan perenungan dan ilmu-ilmu gaib, manusia akan mendapatkan kebahagiaan hidup.

Tetapi pelajaran yang didapat dari kedua pendeta Brahmana tidak memuaskan hatinya, karena
pelajaran tersebut tidak dapat membawa manusia mencapai kebebasan dari penderitaan, kematin,
dan kelahiran kembali kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka menuju Uruwela
untuk masuk dan tinggal di sana.

Selama tinggal Uruwela Siddharta mulai menjalani hidup dengan menyiksa diri, berpuasa,
memnjalani segala macam cobaan untuk menguasai diri, maka dalam waktu singkat ia tterkenal
dengan pertapa yang suci. Lima orang pertapa berguru kepadanya untuk mencari kebahagiaan
hidup, yaitu Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama, dan Asaji.Mereka menyiksa diri di hutan tersebut
selama kurang lebih enam tahun lamanya, sehingga membuat kondisi fisik mereka lemah. Ketika
Sidharta sedang berjalan-jalan untuk merenungi kehidupan, tiba-tiba ia jatuh pingsan karena kondisi
fisiknya yang sangat lemah, akhirnya sadarlah beliau bahwa cara bertapa menyiksa diri yang eksrim
itu adlah cara yang salah.

Pertapa Gautama sadar bahwa cara bertapa menyisa diri adalah cara yang salah, setelah beliau
mendengar suara lagu yang syairnya berbunyi sebagai berikut:

Bila senar gitar ini dikencangkan

Suaranya akan semakin tinggi

Putuslah sena gitar ini

Dan lenyaplah suara gitar itu

Bila senar gitar ini di kendorkan

Suaranya akan semakkin merendah

Kalau terlalu dikendorkan

Maka lenyaplah suara gitar itu

Karena itu wahai manusia

Mengapa belum sadar-sadar pula

Dalam segala hal janganlah keterlaluan

Akhirnya pertapa Gautama menghentikan tapanya kemudian menjalani hidup layaknya manusia
biasa, karena cara baru yang ditempuhnya itu, pergilah semua murid-muridnya karena dianggap
telah murtad. Mulai saat itu ia bertekad menempuh jalan yang dianggapnya benar, dengan usahanya
sendiri, menyelidiki, merenungkan, dan mnembus ke dalam batinnya sendiri, ia melatih dirinya
sendiri menguasai keinginan-keinginan terhadap kenikmatan dan rangsangan indra, di samping
menguatkan kekuatan batin.

c) Mendapat Penerangan dan Menjadi Buddha

Pada suatu malam di bulan Waisak ketika bulan purnama, di tepi sungai Neranjara, ketika ia sedang
mengheningkan cipta, di bawah pohon Asatta (pohon Bodi) dengan duduk padmasana melakukan
meditasi mengatur pernapasannya maka datanglah petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan
ilmu pengetahuan tinggi yang meliputi hal berikut:
1. Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.

2. Dibacakku, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin

3. Cuti Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan,
baik atau buruk, bergantung pada perilaku masing-masing.

4. Asyakkhyanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan Avidya, tentang


menghilangkan ketidaktahuan[5]

Dengan pengetahuan tersebut ia mendapatkan penerangan yang sempurna, pengetahuan sejati dan
kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban teka-teki kehidupan yang selama ini
dicarinya, dengan pengertian penuh sebagaimana tercantum dalam empatKesunyatan Mulia yaitu
Penderitaan, Sumber Penderitaan, Lenyapnya penderitaan, dan delapan cara yang utama menuju
lenyapnya penderitaan itu.

Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Sidharta Gautama telah menjadi Buddha pada
umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusa’ atau guru dari manusia. Pada minggu terakhir
melalui perenungan mendalam, ia berhasil mengetahui sebab akibat dari rangkaian penderitaan.
Yaitu karena adanya karma maka terjadilah bentuk karma karena adanya bentuk karma maka
terjadilah kesadaran; karena terjadi kesadaran terjadilah bentuk batin, karena adanya bati dan
jasmani , terjadilah enam indra, karena adanya indra, terjadilah kesan; karena adanya kesan,
terjadilah perasaan; karena adannya peilah proses ‘dumadrasaan, terjadilah keinginan; karena
adanya keinginan, terjadilah ikatan; karena adanya ikatan, terjadilah proses ‘Dumadi’;karena adanya
proses ‘dumadi’, terjadilah tumimbal lahir; karena adanya tumimbal lahir, terjadilah umur tua;,
kelapukan, kesusahan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, kematian, dan lain-lainnya.Demikianlah
seluruh rangkain penderitaan itu.

Pada saat kedua malam itu, Buddha merenungkanrangkain sebab musabab yang saling
bergantungan itu secara terbalik. Dan pada saat ketiga malam itu, Buddha merennungkan sebab
musabab yang saling bergantungan itu dengan kedua cara terserbut, yaitu dengan langsung dan
dengan cara terbalik sekaligus.

Buddha menetap selama 7 minggu di tempat itu. Pada hari terakhir kejadian yang suci itu, datanglah
dua saudara Taphussa dan Balukkha yang terpesona dengan wajah sang Buddha. Keduanya lalu
menjadi pengikutnya yang pertama.

d) Mengajarkan Dharma

Dengan kegembiraan yang tak terkira ia pun bangkit dari pertapaanya dan berangkat menuju kota
Benares, tempat suci dan tempat ziarah bagi penganut agama Hindu. Pada suatu tempat bernama
Sarnath, tidak jauh dari Benares, ia berjumpa dengan lima rahib bekas muridnya itu dan kepada
merekalah ia mulai menyampaikan ajarannya yang yang pertama Himpunan ucapannya
dipandangn kotbah pertama (first Sermon) dalam sejarah agama Buddha. Kotbah pertama itu
meletakkan azas ajaran dari seluruh ajarannya, terkenal dengan sebutan Empat Kebenaran
Utama (Catu Arya Sacca) dan Delapan Jalan Kebajikan (Arya Attha Ngika Magga).[6]

2) DHARMA

Yang dimaksud Dharma adalah ialah doktrin atau pokok ajaran, inti ajaran agama Buddha
dirumuskan dalam empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani yang terdiri dari empat
kata yaitu: Dukha, Samudaya, nirodha dan Marga.

Empat Kebenaran Utama:

Ada itu suatu derita (Dukkha)

Derita itu disebabkan Hasrat (Samudaya)

Hasrat itu mestilah ditiadakan (nirodha)

Peniadaan itu dengan delapan jalan (Marga)

Dukha ialah penderitaan. Hidup adalah menderita. Kelahiran adalah penderitaan, umur tua adalah
penderitaan, sakit adalah penderitan, mati adalah penderitaa, disatukan dengan yang tidak dikasihi
adalah penderitaan, tidak tercapai apa yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya kelima
pelekatan kepada dunia ini adalah penderitaan.

Samudya adalah sebab. Penderitaan ada sebabnya. Yng menyebabkan orang dilahirka kembali
adalah keinginan kepada hidup, dengan disetai nafsu yang mencari kepuasan di sana-sini, yaitu
kehausan pada kesenangan, kehausan kepada yang ada, kehausan pada kekuasaan.

Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan


secara sempurna, dengan pembuangan keinginan itu, dengan penyangkalan terhadapnya, dengan
pemisahannyadari dirinya dan dengan tidak memberi tempat kepadanya.

Marga ialah jalan kelepasan , jalan yang menuju kepada pemadaman penderitaan ada delapan, yaitu
delapan jalan kebajikan:

Pengetian yang benar (samma-ditthi)

Maksud yang benar (samma-sankappa)

Bicara yang benar (samma-vacca)

Laku yang benar (samma-kammarta)

Kerja yang benar (samma- ajiva)

Ikhtiar yang benar (samma- vayama)

Ingatan yang benar (samma-sati)

Samadhi yang benar( samma-samadhi)


Pokok ajaran Buddha Gautama yang utama ialah, bahwa hidup adalah menderita.
Seandainya di dalam dunia tidak ada penderitaan, Buddha tidak akan menjelma di dunia. Oranng
dilahirkan menjadi tua dan mati; tiada hidup yang tetap. Sedang manusia hidup ia menderita sakit,
dan semua itu adalah peneritaan. Untuk menerangkan hal ini diajarkan Pratitya Samutpada, artinya
pokok permulaan yang bergantungan. Seluruhnya diajarkan adanya 12 pokok permulaan, yang jelas
kehausan atau keinginan yang menyebabkan adanya penderitaan pada hakikatnya disebabkan
olehketidaktahuan atau awidya.

3) SANGHA

Pengikut agama Budha dibagi menjadi dua bagian, yaitu: para Bhiksu atau para rahib dan para kaum
awam. Kelompok pertama terdiri dari Bikkhu, Bikkhuni, Samanera, dan Samaneri. Kelompok
masyarakat awam terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada
Buddha, Dharma, dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hdup
berumah tangga.

Sangha adalah persamuan dari makhluk-makhluk suci yang disebut ‘Arya Punggala’ yaitu mereka
yang sudah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai dengan kesatuan pandangan yang
bersih dengan sila yang sempurna. Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari tingkat
‘sotapatti’, ‘sakadagami’, ‘anagami’, sampai tingkat ‘arahat’. Tetapi setelah agama Buddha
Mahayana berkembang maka barang siapa bertujuan untuk memperoleh kedudukan Bodhisatwa,
tak perduli apa ia orang awam, atau alim ulama, semua bergabung bersama-sama dalam suatu
persaudaraan.

Tingkat Sotapati adalah tingkat kesucian pertama , dimana mereka masih menjelma tujuh kali lagi
sebelum mencapai nirwana. Pada tingakatan ini seorang Satopati masih harus mematahkan
belenggu kemayaan aku, keragu-raguan, ketakhayulan sebelum dapat meningkat ke Sakadagemi.
Pada tingkat Sakadagemi ia harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat
membangkitkan kundalini sebelum naik ke tingkat anagami. Setela mencapai tingkat anagami, ia
tidak perlu menjelma lagi untuk mencapai nirwana namun harus mematahkan beberapa belenggu
sebelum mencapai tingkat terakhir, yaitu arahat. Belenggu tersebut adalah kecintaan yang indrawi
dan kemarahan atau kebencian. Setelah berhasil mematahkan belenggu tersebut ia kemudian naik
ke tingkat arahat dan dapat langsung mencapai nirwana di dunia maupun sesudah meninggalnya.
Pada tingkatan ini ia harus mematahkan belenggu keinginan untuk hidup dalam bentuk (ruparaga),
keinginan untuk hidup tanpa bentuk (arupara), kecongkakan (mano), kegoncangan batin (udacca)
dan kekurangan kebijaksanaan.

Pengikut Buddha yang kedua adalah kaum awam, ialah yang mengakui Buddha sebagai pemimpin
keagamaanya dan tetap hidup di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para
kaum awam tidak dapat mencapai nirwana. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah sangat
penting, mereka sudah bverada pada awal jalan yang menuju kepada kelepasan.

4) SADDHA
Keyakinan (saddha-bahasa pali atau sradha-bahasa sanskerta) memilki makna sebagai keyakinan
yang nyata atau kepercayaan yang benar (Confidet). Dalam ajaran Buddha sesungguhnya
menekankan suatu kepercayaan yang timbul oleh suatu yang nyata pula. Inilah yang disebut saddha,
atau dapat diartikan sebagai keyakinan yang telah mencakup pengertian percaya didalamnya. Jadi
kata saddha itu dapat diartikan sebagai (1) keyakinan (2) kepercayaan-benar (3) keimanan dalam
bakti.

Keyakinan dalam agama Buddha bukan keyakinan yang membuta berdasarkan dogma-dogma.
Apabila tidak dilaksanakan membawa manusia pada alam neraka. “Keyakinan dalam Buddha yang
paling utama adalah keyakinan kepada Buddha, keyakinan pada jalan mulia berunsur delapan,
keyakinan kepada ketiadaan hawa nafsu (Viraga) atau Nibbana yang dinyatakan juga sebagai
dhamma dan keyakinan kepada Ariya-Sangha, persaudaraan orang-orang suci” (A.II:34). Buddha
memberikan petunjuk terhadap keyakian adalah datang dan buktikan. Perbuatan yang memberikan
dampak kebahagiaan harus tetap dilaksanakan, tetapi perbuatan yang membawa penderitaan
jangan dilakukan. Buddha menolak ajaran pandangan yang salah berdasarkan keyakianan yang
membuta, dilakukan oleh kaum titiya dan carvaka yang menggangap bahwa kehidupan manusia
akan mengalami kebahagiaan dan hidup hanya sesaat atau tubuh adalah sumber penderitaan dan
harus disiksa.[7]

Keyakinan Budha

Sang Hyang Adhi Budha

Adhi budha yaitu budha yang pertama, yang di pandang sudah ada pada mula pertama, yang
tanpa asal, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tak pernah tampak karena
berada di dalam nirwana.

Adhi budha adalah dharmakaya yang kekal, abadi, tanpa awal tanpa akhir, tanpa bentuk dan
meliputi seluruh jagad raya, hanya dapat diselami oleh mereka yang telah mencapai samyak sabadh,
kesadaran teragung. Dharmakaya tidak datang dimanapun dan tidak kembali kemanapun, tidak
menonjolkan diri juga juga tidak musnah, tenang dan akal utuk selama-lamanya. Inilah yang unggal,
yang esa, bebas dari segala arah, tidak memiliki batas-batas arah, tetapi terkandung dalm semua
tubuh. Sebagai tuhan yang maha esa adhi budha memiliki beberapa nama yang menunjukan
kekuasaannya dan kekeuasaannya.

Para Budha

Terdapat 27 para budha –budha yang terdahulu:

Thankara

Medhankara

Saranankara

Dipankara

Kondanna
Sumana

Revata

Shobita

Anomadasi

Paduma

Sumedha

Sujata

Piyadasi

Attadasi

Dhammadasi

Siddhathta

Tissa

Phussa

Vipassi

Sikhi

Vessabha

Kausandha

Konagamana

Kassapa

Budha gautama

Bodhisatwa

Secara etimologi bodhisatwa terdiri dari kata bodhi, suci dan satwa yang berarti mahluk. Jadi kata
bodhisatwa artinya mahluk suci. Secara harfiah bodhisatwa berarti orang yang hakikat atau
tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Orang yang mempersiapkan diri untuk mencapai
tingkat budha.

Berdasarkan sifatnnya bodhsatwa di bedakan menjadi tiga:

Bodhisatwa pannadhika
Ialah bodhisatwa yang di dalam usahanya untuk mencapai tingkat kebudhaan lebih mengutamakan
kebijaksanaan, dimana lebih banyak mengadakan perenungan terhadap hakekat dari kehidupan ini.

Bodhisatwa Saddhadika

Ialah bodhisatwa yang didalam usahanya untuk mencapai tingkat kebudaan lebih mengutamakan
keyakinan (sadha) terhadap darma yang diajarkan oleh budha. Dengan mengembangkan keyakinan
terhadap apa yang diajarkan oleh budha maka tercapailah tingkat budha.

Bodhisatwa viriyadika

Ialah bodisatwa yang di dalam usahanya untuk mencapai tingkat kebudhaan, lebih mengutamakan
pengabdian kepadanpenderitaan semua mahlik dengan kemauan keras

Sebelum Mahayana timbul, pengertian bodhisatwa sudah di kenal juga, dan dikenakan juga
kepada budha Gautama, sebelum ia menjadi budha. Di situ bodhisatwa berarti orang yang sedang
dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi budha.
Jadi semula bodhisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi budha.

Dalam Mahayana ialah orang yang sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana
untuk menjadi benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seseorang
bodhisatwa bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja, melainkan turut merasakannya
dengan berat, oleh karena nya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala
aktivitas

Arahat

Arahat adalah orang yang telah berhasil membebaskan diri dari dukha mencapai tingkat kesucian
tertinggi.arahat juga merupakan orang yang sudah bebas daripada segala keinginan untuk di lahirkan
kembali, baik dalam dunia yang tidak berbentuk, maupun di dalam dunia yang tidak berbentuk, ia
juga sudah bebass daripada sgala ketinggian hati, kebenaran diri, dalam ketidaktahuan.

Proses tercapainya tingkat kesucian arahat adalahterlebih dahulu harus menjadi bodhisatwa
saddhadika, setelah itu dalam usahannya lebih mengutamakan keyakinan terhadap dhamma yang
diajarkan oleh budha Gautama dan akhirnya tercapailah penerangan sempurna, ialah yang disebut
savaka bodhi dan kemudian menjadi savaka budha yaiyu disebut juga arahat.
Daftar pustka

Ali. A. Mukti, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita. 1988

Sou Yb, Josef, Agama-Agama Besar Di Dunia. Jakarta: Husna Zikra, 1996.

Hadi Kusuma, Hilma. Antropologi Agama, Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1993.

Pendo Kyokai, Bukkyo. Ajaran Sang Budha Danipan Gita, Karya Printing

Hadiwijono, Dr. Harun, Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia 1987.

http://budhisme-ciputat.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-dasar-budha-dharma-tri-ratna.html
TRI RATNA DAN TISARANA
Triratna berasal dari dua kata, Tri dan Ratana. Tri mengandung arti Tiga dan Ratana
berarti permata, mustika.

Triratna dapat diartikan sebagai tiga mustika yang tiada bandingannya, tiada taranya.
mustika dalam triratna terdiri dari

Buddha Ratana (Mustika Buddha), yaitu Buddha sebagai guru junjungan telah
mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk

Dhamma Ratana (Mustika Dhamma), yaitu Dhamma ajaran Buddha yang telah
menunjuuka jalan kebenaran

Sangha Ratana (Mustika Sangha), yaitu Sangha persaudaraan Bhikkhu dan Bhikkhuni
yang telah mencapai kesucian (Ariya Sangha) dan yang belum mencapai kesucian
(Samuti Sangha), sebagai pengawaldan pelindung Dhamma dan pengajar Dhamma
kepada semua umat Buddha

Triratna juga merupakan perlindungan bagi umat Buddha. untuk menyatakan berlindung
kepada Trirana adalah dengan membaca Parita Tisarana
Triratna sebagai mustika dalam agama Buddha memiliki kebajikan-kebajikan, yaitu:
1. Kebajikan Buddha

Araham : yang telah mencapai penerangan, terbebas dari kekotoran batin

Sammasambuddho : yang telah mencapai penerangan sempurna dengan kekuatan


sendiri dan mampu membimbing muridnya mencapai penerangan

Vijjacaranasampanno : Sempurna Pengetahuannya

Sugato : Yang berbahagia

Lokavidu : mampu mengetahui setiap alam alam degan sempurna

Anuttaro purisadhammasarathi : pembimbing umat manusia yang tiada taranya

satadeva manussanang : guru bagi para dewa dan manusia

Buddho : yang telah sadar

Bhagava : junjungan

2. Kebajikan Dhamma

Svakkhato Bhagavata Dhammo : dhamma ajaran Buddha yang sempurna

Sanditiko : Pelaksana yang melihat kesunyataan dengan kekuatan sendiri

Akaliko: terbebas dari keadaan dan waktu (kekal)

Ehipassiko : mengundang datang memeriksa


Opanayiko : Patut dilaksanakan

Paccatam Veditabbo Vinnuhi : dapatdiselami para bijaksanana dalam batinnya

3. Kebajikan Sangha

Supatipanno Bhagavato Savaka Sangho : Ariya Sangha siwa Sang Bhagava yang telah
melaksanakan dhamma dan vinaya secara sempurna

Ujupatipanno Bhagavato Savaka Sangho : Ariya Sangha siwa Sang Bhagava yang telah
berlaku jujur

Nayapatipanno Bhagavato Savaka Sangho : Ariya Sangha siwa Sang Bhagava yang
telah berjalan di jalan yang benar

Samicipatipanno Bhagavato Savaka Sangho : Ariya Sangha siwa Sang Bhagava yang
penuh tanggung jawab dalam tindakannya

Ahuneyo : yang patut diberikan persembahan

Pahuneyyo : yang patut diterima

Dakkineyyo : yang patut diberikan dana

Anjalikaraniyo : yang patut dihormati

Anuttarang punnakkhetang lokassa : yang memiliki jasa tiada taranya bagi dunia ini

http://buddhissmansa.blogspot.co.id/2013/01/tri-ratna.html
Pendahuluan

Ajaran yang disampaikan kepada manusia oleh Buddha sangat erat hubungannya dengan
agama-agama yang ada sebelumnya, oleh karena itu ajaran Buddha merupakan faham yang
bertujuan untuk mereform atau memperbarui ajaran Hinduisme dimana pendeta-pemdetanya
saat itu sangat berperan dalam kehidupan masyarakat. Ajaran Buddha mengandung
background social-religius pada saat itu. Nama Buddha itu sendiri menunjukan arti “seorang
yang bangun atau yang disadarkan” untuk mengadakan reformasi tradisi agama yang telah
ada.[1]

Pengertian Buddha, Dharma, dan Triratna

 Pengertian Buddha

Buddha berasal dari bahasa sansekerta budh berarti menjadi sadar, kesadaran sepenuhnya;
bijaksana, dikenal, diketahui, mengamati dan mematuhi. (Arthur Antony Macdonell,
practical Sanskrit Dictionary, Oxford University Press, London, 1965).

Tegasnya Buddha adalah seseorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan
sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. “Hyang Buddha’’ adalah
seorang yang telah mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan karya-karya
kebajikan dan memperoleh kebijkasanaan kebenaran mengenai nirvana serta mengumumkan
doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada dunia semesta sebelum parinirvana.

Hyang Buddha yang berdasarkan sejarah bernama Shakyamuni pendir Agama Buddha.
Hyang Buddha yang berdasarkan waktu kosmik[2] ada banyak sekali dimulai dari
Dipankara Buddha.[3]

 Pengertian Dharma

Hukum kebenaran, Agama, hal, hal-hal apa saja mengenai agama Buddha. Berhubungan
dengan ajaran agama Buddha sebagai agama yang sempurna.

Dharma mengandung 4 (empat) makna utama:

1. Doktrin

2. Hak, keadilan, kebenaran

3. Kondisi

4. Barang yang kelihatan atau phenomena


Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan
pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan batin dan
unsure-unsur agama, kebaktian, filosofis, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata
susial, etika dan sebagianya.

 Triratna

Seorang telah menjadi umat Buddha bila ia menerima dan mengucapkan Triratna (Skt) atau
tiga mustika (Ind) yang berarti Buddha, Dharma, Sangha. Pada saat sembahyang atau
kebaktian didepan altar Hyang Buddha. Triratna secara lengkap diucapkan dengan tenang dan
khusyuk sampai tiga kali atau disebut trisarana. Trisarana adalah sebagai berikut:

Bahasa Sansekerta

Buddhang Saranang Gacchami

Dharmang Saranang Gacchami

Sanghang Saranang Gacchami

Dwipanang Buddhang Saranang Gacchami

Dwipanang Dharmang Saranang Gacchami

Dwipanang Sanghang Saranang Gacchami

Tripanang Buddhang Saranang Gacchami

Tripanang Dharmang Saranang Gacchami

Tripanang Sanghai Saranang Gacchami

Bahasa Indonesia:

Aku Berlindung kepada Buddha

Aku Berlindung kepada Dharma

Aku Berlindung kepada Sangha

Kedua kali Aku Berlindung kepada Buddha

Kedua kal Aku Berlindung kepada Dharma

Kedua kali Aku berlindung kepada Sangha


Ketiga kali Aku Berlindung kepada Buddha

Ketiga kali Aku Berlindung kepada Dharma

Ketiga kali Aku Berlindung kepada Sangha[4]

Jadi dalam kesaksian tersebut, nampak adanya sikap peneyerahan diri kepada Buddha,
kepada Dharma (hukum-hukum yang telah diberikan oleh Budha) dan kepada sangha yaitu
golongan pendeta yang hidupnya memelihara kelangsungan upacara agama yang pada
umumnya tinggal dibiara-biara.

Pengakuan pada Dharma berarti mempercayai kebenaran hukum-hukumnya dengan


kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran kelepasan hidup serta peraturan-peraturan
lainnya. Dasar-dasar ajaran kelepasan tersebut adalah yang disebut Arya- satyami (Arya:
utama Satyami : kebenaran yang terdiri dari 4 kenyataan hidup sebagai berikut:

1) Bahwa dalam kehidupan di dunia ini penuh dengan hal-hal yang menyedihkan dan
kesengsaraan, maka disimpulkan bahwa hidup itu menderita.

2) Bahwa manusia berada oleh karena mempunyai nafsu keinginan untuk berada (hidup).
Keadaan hidupnya itu adalah penderitaan karena terikat oleh samsara (menjelma berkali-
kali).

3) Jika tidak lagi punya nafsu keiginan: maka penderitaan samsara dapat dihilangkan yaitu
dengan memadamkan nafsu keinginan tersebut (tresna).

4) Cara menghilangkan nafsu keinginan itu ialah melakukan 8 jalan kebenaran (disebut
dengan Astavidha) yang terdiri dari:

a. Mengikuti pelajran yang benar.

b. Melaksanakan niat (keinginan) yang baik.

c. Mengucapkan perkataan yang baik dan tepat.

d. Menjalankan usaha yang baik (halal).

e. Melakukan pekerjaan yang baik.

f. Memusatkan perhatian dengan baik.

g. Mencari nafkah dengan baik.

h. Melakukan tafakur dengan baik.

Dengan dasar Aryasatyami tersebut dapat diketahui bahwa agama Buddha mendidik
pengikut-pengikutnya untuk berhati-hati serta bersungguh-sungguh dalm menjalankan suatu
kewajiban atau pekerjaan mengingat bahwa dunia sekitar manusia ini dianggap penuh dengan
hal-hal yang dapat mencelakakan karena ada 3 anasir keduniawian:

1) Adanya Kama, yakni nafsu cinta.

2) Adanya Dwesa, yakni rasa benci kepada orang lain.

3) Adanya Moha, yakni mabuk (dalam segala bentuknya)

Untuk menegakan Dharma, maka pengikut-pemgikut Buddha pada umumnya wajib menjauhi
larangan-larangan dalam hal-hal sebagai berikut:

1) Dilarang melakukan pembunhan terhadap semua makhluk (misalnya peperangan dan


sebagainya).

2) Dilarang melakukan pencurian atau perampokan atau penyerobotan dan sebagainya.

3) Dilarang melakukan perbuatan asusila, misalnya perzinahan.

4) Dilarang meminum, minuman yang memabukan (minuman keras).

Adapun kewajiban khusus para anggota Sangha (orde pendeta) selain lima macam tersebut
diatas ditambah lagi dengan 5 macam larangan yaitu:

1) Dilarang makan dan minum diwaktu yang dilarang (misalnya waktu berpuasa).

2) Dilarang mendatangi tempat-tempat yang dipergunakan untuk hidup makisat (misalnya


tempat hiburan, pertunjukan-pertunjukan).

3) Dilarang menghias diri (misalnya dengan pakaian baik memakai hiasan emas, belian dll)

4) Dilarang tidur diatas tempat tidur yang baik.

5) Dilarang menerima hadiah-hadiah yang berupa uang dan lain-lain benda berharga.

Sepuluh larangan tersebut kemudian disebut dengan “DASA SILA” (10 dasar).[5]

Pengertian Sadha dan Panca Sadha

a. Kata Saddha adalah sebutan dalam bahasa Pali atau sradha sebutan dalam bahasa
sansekerta.

Arti kata Saddha atau Sradha ialah keyakinan atau kepercayaan-Benar (confident).

b. Dalam ajaran agama Buddha, sesungguhnya menekankan suatu kepercayaan yang


ditimbulkan oeh suatu yang nyata. Inilah yang disebut dengan Saddha. Atau dapat diartikan
sebagai keyakinan yang telah mencakup pengertian percaya di dalamnya.

Jadi kata Saddha itu, dapat juga diartikan sebagai:

1) keyakinan
2) kepercayaan-Benar

3) keimanan dalam Bakti

c. saddha bukanlah suatu kepercayaan yang membuta, melainkan suatu kepercayaan yang
dimiliki para siswa dalam sekolah menengah, dimana siswa-siswa yakin akan adanya atom
dan molekul. Tetapi mereka tidak dapat membuktikannya. Mereka terima itu karena percaya
pada para sarjana yang menguraikannya. Tetapi kepercayaan uni tidak dapat disebut
kepercayaan membuta. Di perguruan tinggi atau Universitas mereka mendapat kesempatan
untuk melakukan percobaan untuk menguji kebenaran teori ilmu alam dan kimia tadi.

Demikian pula siswa agama Buddha pada tingkat permulaan yakin akan kebenaran beberapa
ajaran Dhamma yang mereka dengar dari guru agamanya. Tapi setindak demi setindak dalam
perjalanan mereka diatas jalan yang ditunjuk YMS Buddha Gautama akan membawanya
pada kebenaran ajaran Dhamma yang tiada bandingnya.

Saddha Mengandung Tiga Unsur

Salah seorang pujangga Buddhis yang terkemuka, yang hidup abad ke IV bernama Asanga
dan telah mengatakan bahwa Saddha itu mengandung tiga unsure yaitu:

1) keyakinan kuat terhadap sesuatu hal.

2) Kegembiraan mendalam terhadap sifat-sifat yang baik.

3) Harapan memperoleh sesuatu di kemudian hari.

Bedanya Kepercayaan dengan Saddha

a) Persoalan kepercayaan akan timbul bilamana kita dapat melihat sesuatunya dengan betul
dan nyata.

Pada saat kita melihat, persoalan kepercayaan itu tidak aka nada lagi. Bila saya katakana
kepada anda bahwa menyembunyikan sebuah mustika di telapak tangan yang saya genggam,
persoalan kepercayaan akan segera timbul, sebab anda tidak melihatnya denga mata anda
sendiri. Tetapi bila saya buka genggaman tangan tadi dan memperlihatkannya mustika itu
kepada anda, maka persoalan kepercayaan itu tidak akan timbul.

Dalam hubungan ini teringatlah kita kepada sesuatu pepatah kuno penganut Buddha yang
berbunyi sebagai berikut:

“Mengalami sendiri seperti orang melihat satu mustika di telapak tangan”.

b) Persoalan Saddha akan timbul bilamana kita dpat melihat sesuatunya dengan betul dan
nyata. Tetapi haruslah diingat bahwa Saddha ini bukanlah suatu kepercayaan seperti yang di
mengerti orang pada umumnya.[6]
Panca Saddha (Lima Keyakinan umat Buddha)

1) Keyakinan Terhadap Sang Hyang Adhi Buddha, Para Buddha


Tuhan dalam agama Buddha bukanlah hal yang baru, melainkan hal yang telah lama di
kembangkan, sejak pada abad ke IV M dari Negara bagian Benggala, tempat kota kelahiran
Acarya Asangha.[7]

Pengaruh Tantra menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang Adhi Buddha, yaitu Buddha
yang pertama, yang dipandang sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang berada
karena dirinya sendiri, yang tidak pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.

Hakikat Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari Sunyata, kekosongan. Dengan
lima macam permenungan (dyana) sang Adhi Buddha mengalirkan dari dirinya lima Buddha,
yang disebut dyani Buddha, yaitu wairocana, Aksobhiya, Ratnasambhawa, Amithaba, dan
Amoghasiddhi. Para dyani Buddha ini dipandang menguasai daerah-daerahnya sendiri, yang
disebut Buddha ksetra. Daerah-daerah itu ada yang digambarkan seperti alam yang murni dan
ada yang kurang murni, sesuai dengan tugas Dyani Buddha masing-masing. Di dalam
daerahnya masing-masing itu mengajarkan Dharmanya kepada para makhluk dan menolong
manusia untuk mendapat pencerahan.[8]

Diatas Panca Dyani Buddha yang memancarkan Bhodisatwa dan manusia Buddha tersebut
terdapat sesuatu yang tertinggi, permulaan yang tanpa ada yang mendahuluinya, yaitu yang
disebut Adhi Buddha, atau Tuhan Yang Maha Esa Menurut kepercayaan aliran Mahayana.

Hubungan Dyani Buddha, Bhodisatwa dan Buddha dunia tersebut sangat erat dan membentuk
kelompok yang mempunyai tugas sendiri-sendiri dipenjuru dunia sesuai dengan arah mata
angin dan masa masing-mmasing ketiganya terkait menjadi satu dan tidak bisa dipisah-
pisahkan, sebagaimna digambarkan dengan sangat jelas pada patung Bhodisatwa
avalokatisvara di Candi Mendut. Dalam kepercayaan aliran Mahayana, jumlah Dyani
Buddha, Bhodisatwa dan manusia Buddha ada lima. Masing-masing kelompok bertempat di
salh satu penjuru dunia, sesuai dengan arah mata angin, dan salah satu Buddha bertempat di
titik pusatnya. Mereka berada dan bertugas dalm salah satu masa diantara masa-masa yang
jumlanya juga ada lima. Untuk masa sekarang, yang bertanggung jawab adalah Dyani
Buddha, Amitabha, Bhodisatwa avalokatiswara, dan Manusia Budha Gautama.

Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa doktrin Adhi Buddha dalam aliran Mahayana
merupakan doktrin yang berusaha yang mempersonifikasikan konsep kebuddhaan sebagai
Tuhan atau persembahan tertinggi. Doktrin ini sangat berbeda dengan konsep ketuhanan
agama Buddha yang mula-mula, seperti yang dipertahankan aliran Theravada atau
Hinayana.[9]

Sebagaimana kita ketahui, banyak agama-agama didunia ini memfokuskan perhatiannya


terhadap pemujaan kepada Tuhan dan makhluk-makhluk suci lainnya, namun para umat
Buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh Buddha atau Sidharta Gautama—seorang
manusia yang menemukan bagaimana membawa pencerahan dari penderitaan dan keluar dari
lingkaran hidup dan mati. Cara umat Buddha untuk berhubungan dengan Buddha adalah
melalui penghormatan, sebagaimana orang lain dapat memuja kekuatan-kekuatan diluar alam
atau dewa-dewa yang mereka yakini dapat memberikan pertolongan kepadanya dan sanak
keluarganya.[10]

Ajaran agama Buddha bertitik tolak dari kenyataan yang dialami manusia dalam hidupnya.
Ajaran tidak di mulai dari prinsip yang transcendent, yang mempersoalkan tentang Tuhan dan
hubngannya dengan alam semesta dan segala isinya, melainkan dimulai dengan menjelaskan
tentang dukha yang selalu menyertai hidup manusia dan cara membebaskan diri dari dukha
tersebut. Dalam beberapa naskah pali dan sansekerta disebutkan bahwa, sang Buddha selalu
diam apabila ditanya oleh pengikutnya tentnag Tuhan, ia menolak dan tidak mempersoalkan
tentang Tuhan, melainkan selalu menekankan pada para pengikutnya agar mempraktekan sila
ketuhanan. Sepeninggal Buddha persoalan Tuhan juga bukan merupakan persoalan yang
dianggap sangat penting dan mendesak dibicarakan dalam pasamuan agung pertama dan
kedua. Masalah yang sangat penting yang dibicarakan dalam dua kali pasamuan itu adalah
mengenai Dharma dan Vinaya. Kedua masalah inilah yang kemudian menyebabkan
timbulnya beberapa mazhab besar dalam kalangan umat Buddha.

Sekalipun demikian, benih-benih ajaran tentang Tuhan dalam agama Buddha dapat ditelusuri
dari adanya perbedaan pemahaman tentang tingkat-tingkat keBuddhaan yang mulai muncul
pada pasamuan agung kedua di Vaisali. Aliran Staviravada yang ortodoks menekankan
bahwa tingkat-tingkat kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjlankan
ajaran Sang Buddha, sedangkan Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebuddhaan
telah ada pada setiap makhluk dna hanya menunggu diwujudkan dan dikembangkan.[11]

Bikkhu CHANDRAKIRTI, seorang Bhikkhu Indonesia, pada abad ke-X M telah menulis
naskah “NAMASANGITI” yang membahas tentang sifat-sifat dari pada sanghyang Adhi
Buddha. Naskah tersebut adalah sebagai pengungkapan kembali tentang naskah lama abad
ke-IV M yang di prakarsai oleh Bhikkhu Acarya Asangha dari Bengalora, pendiri dari aliran
Yogacara. Dari beliaulah lahirnya doktrin “ADHI BUDDHA” ; sebagai pendalaman ajaran
Mahayana yang telah di beri landasan oleh Bhikkhu Asvaghosa, yang pada mulanya berasal
dari seorang Brahmana, ahli Veda.

Naskah Theisme dalam agama Buddha juga telah diperkenalkan pula dalam naskah-naskah di
Indonesia, diantaranya dalam naskah “KUNJARAKARMA” dari Kediri dan naskah
SANGHYANG KAMAHAYANIKAN karya Mpu Sri Warana Sambhara Surya dari kerajaan
Wangsa ICANA (sendok). Dalam naskah terakhir ini, nama lain dari Adhi Buddha adalah
Bhatara Buddha.

Istilah Adhi Buddha digunakan untuk menamakan sumber kebuddhaan dan istilah ini
ditemukan di Indonesia maupun Nepal dan Tibet.[12]

Kemaha kuasaan Sanghyang Adhi Buddha dimanifestaskan kedalam hukumnya yang disebut
hukuum Kasunyataan. Hukum Kasunyataan ini adalh hukum Tuhan YME, yang kekal abadi,
yang mengatasi waktu, tempat dan keadaan.
Semua yang tercipta tunduk kepada hukum Kasunyataan ini, dan tidak ada seorangpun yang
dapat membebakan dirinya dari berlakunya hukum kasunyataan ini. Melalui hukum
Kasunyataan inilah Tuhan YME memperkenalkan kekyasaannya dan tidak ada yang aka
mampu menentang hukum Kasunyataan ini, baik ia seorang manusia ataupun dewa,
terkecuali orang yang telah mencapai kebebasan mutlak (Nibbana).[13]

Bukan sejarah tertarik untuk membicarakan sang Buddha, umat Buddha sendiri juga banyak
membicarakan tingkat-tingkat kebuddhaan. Umumnya mereka berbeda dalam hla
memandang tingkatan kebuddhaan tersebut. Pembicaraan tentang tingkat kebuddhaan ini
sudah mulai muncul pada pasamuan agung kedua di vaisali. Aliran Staviravada yang
ortodoks melihat bahwa tingkatan-tingkatan kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun
dalam menjalankan ajaran-ajaran Buddha, sedangkan menurut aliran Mahasanghika
menekankan bahwa benih-benih kebuddhaan telah ada pada makhluk dan hanya menunggu
untuk di wujudkan dan di kembangkan (Abdurahman 1988; 114-115).[14]

Mengenai para Buddha, terdapat 27 Buddha-Buddha yang terdahulu yaitu:

1. Tahankara

2. Medhankara

3. Saranankara

4. Dipankara

5. Kondana

6. Mangala

7. Sumana

8. Revata

9. Shobitha

10. Anomadasi

11. Paduma

12. Narada

13. Padumutara

14. Sumedha

15. Sujata

16. Piyadasi
17. Attadasi

18. Dhamadasi

19. Sidhattha

20. Tissa

21. Phussa

22. Vipasi

23. Sikhi

24. Veshabu

25. Kakusandha

26. Konagamana

27. Kassapa

Buddha Gautama adalah Buddha yang terakhir atau yang ke 28

Buddha yang akan datang adalah ialah Bhodisatwa Maitreya, yang berarati : “yang penuh
kasih sayang”.

Semua Buddha mengajarkan ilmu yang sama yaitu Dhamma atua Kasunyataan dan kebajikan
untuk kebebasan mutlak dari penderitaan, Nibbana.

Baik dalam aliran Hinayana maupun aliran Mahayana, kedua-duanya mengajarkan pelajaran
dan tujuan yang sama, hanya mungkin upacara-upacara keagamaannya yang berbeda-
beda.[15]

2) Bhodisatwa dan arahat

Bhodisatwa

Secara harfiah Bhodisatwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah bodhi (hikmat)
yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul, penegrtian Bhodisatwa sudah dikenal juga, dan
dikenalkan juga kepada Buddha Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Disitu Bodhisatwa
adalah orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu
orang yang akan menjadi Buddha. Jadi semula Bhodisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh
yang ditetapkan untuk menjadi Buddha. Didalam Mahayana Bhodisatwa adalah orang yang
sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan
tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bhodisatwa bukan hanya
merenungkan kesengsaraan dunia saja melainkan juga turut merasakannya dengan berat.
Oleh karenanya sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitasnya
sekarang dan kelak guna keselamatan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka segala
kebajikannya dipergunakan untuk menolong orang lain.

Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi Bhodisatwa. Cita-cita ini berlainan
sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arhat, yaitu orang yang sudah berhenti
keinginanya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi
pada kelahiran tumimbal kembali. Seorang arhat hanya memikirkan kelepasan diri
sendiri[16]

Dengan daya pengetahuan dan permenungan para Dyani Bhuddha melahirkan lima
Bhidisatwa, yang disebut dyani Bhodisatwa, yaitu wairocana melahirkan Samantabhadra,
Aksobhiya melahirkan Wajrapani, Ratnasambhawa melahirkan Ratnapani, Amithaba
melahirkan padmapani atau Awalokiteswara, dan Amoghasiddi melahirkan Wispapani. Para
Dyani Bhodisatwa ini adalh para pencipta alam bendani. Dunia yang mereka jadikan dapat
binasa. Ada tiga yang sudah binasa. Dunia yang sekarang adalah dunia yang ke empat, hasil
karya awalokiteswara, yang memiliki Amithaba sebagai pelindungnya.[17]

Arahat

Permulaan agama Buddha menanamkan ide rangkap mengenai arhatva dan nirvana. Buddha
Gautama mengajarkan kepada murid-muridnya yang pertama kai dengan khotbah enpat
Kasunyataan Mulia dan Delapan jalan utama serta menekankan pada ketidak-kekalan dan
tiada kepemilikan dari semua unsur pokok mengenai pribadi manusia. Para sisiwa ini
dipanggil arhat, dan Buddha sendiri diuraikan sebagia seorang arhat. Konsepsi mengenai
arahat dikembangkan dan diperinci secara perlahan-lahan oleh guru dan penggantinya. Jadi
seorang arahat juga diharuskan menegerti formula mengenai duabelas nidanas (sebab-akibat).
Dia ditetapkan sebagai seorang yang telah mencabut tiga asravas (asava = minuman keras,
dosa, dan kesalahan dari keinginan akan rasa, suka akan yang ada, dan ketidak tahuan, dan
juga tambahan ke-empat asrava mengenai pikiran yang spekulasi. Dia melatih tujuh faktor
penerangan (shambojjhanga): kesadaran, penelitian, energi, kesenangan, ketenangan,
konsentrasi, dan ketenangan hati.[18]

Arhat juga menjadi cita-cita tertinggi dari aliran Hinayana, yaitu orang yang sudah berhenti
keinginannya, ketidak tahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi
pada kelahiran kembali.[19]

Seorang arahat yang telah terbebas, mengetahui dia tidak akan telahir kembali. Dia telah
menyelesaikan dengan baik apa yang dikerjakan. Dia telah melepaskan bebannya. Dia hidup
pada kehidupan suci. Dia mencapai kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasinya dari
pikiran hati. Dia sendiri, menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh, menguasai dirinya
sendiri.

Seorang arhat seperti itu juga pergi sebagai pengkhotbah dan mengajarkan ajaran Buddha
kepada orang-orang. Gurua itu sangat menganjurkan kepada para siswanya untuk pergi
berkelana dan berkhotbah kebenaran demi kebaikan dan pembebasan untuk orang banyak,
karena dia mengasihi teman-temannya semakhluk dan menaruh kasihan kepada mereka.

Hal seperti itu adalah ide arahat itu, sebagaimana dimengerti selama tiga abad setelah Buddha
Gautama parinibana.

Tetapi nyatanya bahwa para bhikku agama Buddha mulai mengabaikan aspek pentng tertentu
dari pada itu dalam abad ke-2 SM, dan menekankan beberapa Tugas terhadap pengeluaran
dari pada yang lainnya. Mereka menjadi lebih mementingkan diri dan tafakur, dan tidak
menunjukan dengan jelas semangat lama itu demi tugas mengajar dan mneyebarkan agama
atau misionari di antara manusia. Mereka nampaknya hanya memperhatikan demi
pembebasan bagi mereka sendiri dari dosa dan duka. Mereka tidak membedakan terhadap
tugas untuk mengajar dan membantu semua makhluk manusia.

Ajara Bhodisatwa diumumkan secara resmi oleh beberapa pemuka agama Buddha sebagai
suatu protes terhadap kekurangan dari semangat spiritual yang benar ini dan altruism (sifat
mementingkan kepentingan orang lain) di antara para bhikku pada waktu itu. Kedinginan dan
kejauhan dari para arahat itu menunjukan suatu pergeseran yang sesuai dengan ajaran lama
mengenai menyelamatkan semua makhluk. Ide Bhodisatwa dapat dimengerti hanya
menantang latar belakang ini mengenai seorang saleh dan tenang, namun tidak aktif dan
golongan viharawan atau viharawati yang tidak cekatan.[20]

Kesimpulan

Tidak dapat dikatakan bahwa di dalam ajaran agama Buddha seperti yang terdapat di dalam
kitab-kitab Pitaka terdapat ajaran tentang Tuhan atau tokoh yangn di pertuhankan. Tujuan
hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu Tuhan, melainkan untuk masuk kedalam
nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan,
tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi
damai. Oleh karena itu maka ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui,bahwa
Bhuddisme adalah suatu agama. Bhuddisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia
untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan
akibat.

Akan tetapi kami kira pendapat yang demikian itu adalah keliru. Memang, harus di akui,
bahwa sebutan Tuhan atau tokoh yang dipertuhankan tidak ada. Yang ada adalah nirwana,
pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamkan. Tak ada gagasan tentang suatu
pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu.

Tidak ada gagasan tentang pemebri hukum, yang ada adalah hukum, tata tertib (karma) baik
yang alamiah maupun yang moril. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang
menyembah. Sekalipun demikian, di belakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar
juga seruan manusia akan yang dipertuhan tadi.

Dilihat dari keyakinan Kristen dapat dikatakan, bahwa Buddha Gautama meraba-raba dan
mencari kepada “Yang Tidak Jauh dari padanya”. Berdasarkan kenyataan bahwa didalam
ajaran Buddha manusia rindu akan kelepasannya serta mencari-cari kan “Yang tak
dilihatnya” dapat dikatakan, bahwa Buddhisme adalah suatu agama, denganya manusia
berusaha mencari Tuhanya. Tuhan atau tokoh yang dipertuhan terdapat juga didalamnya.

Hanya Tuhan itu sukar ditemukan. Tokoh itu dikaburkan menjadi sesuatu yang tak
berpribadi. Itulah sebabnya tidak ada hubungan aku-Engkau antara manusia dengan yang
dipertuhan. Tetapi bagaimanapun Bhudisme adalah suatu ajaran kelepasan, suatu ajaran yang
ingin membawa manusia pada jalan kelepasan karena merasa bahwa hidup ini tidak
bebas.[21]

Daftar Pustaka

Arifin M.Ed, H.M., 1995, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, Jakarta: PT
Golden Press.

Ali, Mukti H.A., 1988, Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.

Hadiwijono, Harun., Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010.

Kebahagiaan Dalam Dhamma, Jakarta: Majelis Buddha Mahayana Indonesia

T, Suwarto., 1995, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Indonesia.

Tanggok, M Ikhsan. , 2009, Agama Buddha, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta.

Prof. H.M. Arifin M.Ed “Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar “ (PT Golden
Press- Jakarta 1995) cet 1 hal 95
[2] Waktu kosmik adalah kalpa. Satu kalpa adalah suatu periode waktu yang sangat
lampau yaitu 4326 juta tahun.

[3] Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha Indonesia-
Jakarta 1995)cet 1 hal 50

Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha Mahayana


Indonesia. Palembang 1995) cet 1 hal. 49-50

[5] Prof. H.M. Arifin M.Ed “Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar” hal 96-99

[6] “kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 15-16

[7] “kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 337

[8] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (Gunung Mulia-Jakarta 2010)cet17
hal 94-95

[9] H. A. Mukti Ali. “Agama-Agama Di dunia” (IAIN Sunan Kalijaga Press-


Yogyakarta1988)cet 1 hal 120-121

[10] M. Ikhsan Tanggok. “Agama Buddha” (Lembaga Penelitian UIN Jakarta, Ciputat Jak
Sel. 2009) cet 1 hal. 33

[11] H. A. Mukti Ali “Agama-agama di Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta.
1988) cet 1. Hal 114-115

[12] ”Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 337-339

[13] ”Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 341

[14] M. Ikhsan Tanggok ‘’Agama Buddha” hal42

[15] “Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 336

[16] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (PT BPK Gunung Mulia-Jakarta
2010) cet 17 hal91-92

[17] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha”hal 95

[18] “Buddha Dharma Mahayana” hal 131

[19] Harun Hadiwijono. Hal 91

[20] Dr. Suwarto T. “Buddha Mahayana” hal132-133

[21] Harun Hadiwijono ‘’Agama Hindu dan Buddha”hal101-102

http://muhammadsapril1990.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-hidup-buddha.html
Tri Ratna

Tri Ratna

Arti dari Tri Ratna adalah tiga mustika sesuai dengan yang terpapar dalam Ratanattaya 3 (3 macam
mustika), yaitu:

Buddha Ratana: Sang Buddha adalah guru suci junjungan kita, yang telah memberikan ajarannya
kepada umat manusia dan para dewa untuk mencapai kebebasan terakhir atau kebahagiaan sejati

Dhamma Ratana: Sang Dhamma adalah ajaran Sang Buddha yang menunjukan umat manusia dan
deva ke jalan yang benar, terbebas dari kejahatan, dan membimbing kita untuk mencapai
nibbanna.

Sangha Ratana: Sang Sangha adalah persaudaraan Bhikku Suci yang telah mencapai kesucian
sebagai pengawal dan pelindung dhamma orang lain untuk ikut melaksanakannya sehingga
mencapai nibbana.

Sang Buddha

Sang Buddha adalah pendiri agama Buddha yang mempunyai sembilan kebajikan luhur (Buddha
Ratana). Buddha memiliki banyak arti, tetapi arti yang paling umum adalah yang telah
sadar. Sembilan macam kebajikan Sang Buddha yang terdapat dalam Buddha Guna Sembilan (
sembilan macam kebajikan sang Buddha) yaitu:

Itipiso Bhagava: yang maha suci mempunyai kebajikan sebagai berikut:

a) Araham: manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin. Kekotoran batin terdiri dari
kebencian, ketidaktahuan, dan keserakahn. Orang sering kali salah mengartikan ketidaktahuan
dengan kebodohan. Sebenanya , kebodohan adalah orang yang sudah tahu tindakan tersebut salah
tetapi tetap melakukannya, sedangkan ketidaktahuan adalah orang yang tidak tahu tindakan
tersebut benar atau tidak dan orang tersebut hanya/ pernah melakukannya. Jadi, sang Buddha
telah memiliki pengetahuan tak terbatas.

b) Samma Sambuddho: manusia yang telah mencapai penerangan dengan kekuatan sendiri.

c) Vijjacarana Sampano: manusia yang mempunyai pengetahuan sempurna dan melaksanakannya.

d) Sugato: yang berbahagia

e) Lokavidu : manusia yang mengetahui dengan sempurna keadaan setiap alam. Menurut Sang
Buddha, alam di dunia ini ada 31 alam, yaitu: alam manusia, alam setan, alam hewan, alam
raksasa, dll.

f) Annuttaro Purisadhammasarathi : pembimbing umat manusia yang tiada taranya.

g) Satta Deva Manussanam: Guru suci junjungan para buddha dan manusia

h) Buddho: pembangun kebenaran

i) Bhagava: junjungan

Kesembilan kebajikan di atas diringkas menjadi Tiga Buddha Guna:


a) Panna Guna: Kebajikan Beliau yang mempunyai kebijaksanaan

b) Vissudhi Guna: Kebajikan Beliau yang mempunyai kesucian

c) Karuna Guna: Kebajikan Beliau yang mempunyai kebajikan

Sifat-sifat utama Sang Buddha:

Mahaparidudhi, artinya mahasuci. Kemahasucian Sang Buddha tiada

bandingannya

karena pikiran, ucapan dan perbuatan Sang Buddha selalu suci, tidak ternoda sedikitpun. Ibarat
bunga teratai yang tumbuh di lumpur namun tidak pernah ternoda oleh lumpur, demikian pula
halnya Sang Buddha yang, walaupun pernah hidup di bumi yang penuh noda, tetap suci dan bersih.

2. Mahapanna, artinya mahabijaksana, mahatahu. Sang Buddha selalu bijaksana dalam pikirannya,
perbuatannya dan ucapannya; tidak pernah membuat orang lain tersinggung, sedih dan menderita.
Sang Buddha mengetahui keadaantriloka, yakni arupaloka, rupaloka dan karmaloka. Semuanya
adalah alam yang berada dalam perputaran roda kelahiran dan kematian.

3. Mahakaruna, artinya maha pengasih dan penyayang, maha belas kasihan terhadap

semua makhluk yang menderita, yang hidup sengsara.

Umat Buddha yang mengagungkan Buddha dengan penuh pengertian harus memiliki dua simbol yang
berguna sebagai pengingat tradisi mereka:

1. Buddha-nimitta: representasi dari Buddha, seperti gambar-gambar Buddha atau

stupa (tempat untuk meletakkan relik-relik Buddha). Jelas pengingat ini adalah

seperti bendera kebangsaan sebuah negara.

2. Buddha-guna: kualitas-kualitas yang menyusun simbol batin Buddha, misalnya

mempraktekkan dengan tepat ajaran-Nya. Siapa saja yang bertindak dengan sikap

ini pasti akan menjadi pemenang baik di dalam maupun di luar; ia bebas dari

berbagai musuh seperti godaan dan kematian.

Buddha sebagai perlindungan pertama mengandung arti bahwa setiap orang memiliki Kebuddhaan
dalam dirinya dan setiap orang dapat mencapai apa yang telah dicapai Buddha. Sebagai
perlindungan, para Buddha adalah manifesti dari Buddha (Kebuddhaan) yang mengatasi
keduniawiaan (Lokuttara).Selain pada Rattanaya, Buddha juga terpapar pada Tisarana: Buddham
sarranam gacchami (saya memohon perlindungan pada Sang Buddha). Berlindung pada buddha
mengandung arti menjunjung Buddha yang diyakini telah mencapai penerangan sempurna dengan
kekuatan sendiri sehingga kita dapat melaksanakan dan mengalami apa yang telah dicapainya.

Ada 3 aspek dari Buddha:

a) Aspek Fisik, yaitu tubuh merupakan aspek eksternal dari Buddha, disebut Buddha-nimatta atau
simbol dari Buddha (hal ini seperti kulit kayu dari sebuah pohon)
b) Praktik-praktik baik yang dijalankannya, seperti kebajikan, konsentrasi, dan kebijaksanaan
yang merupakan aspek aktivitas Buddha. Semua ini disebut dhamma-nimita dari Buddha, simbol-
simbol dari kualitas batin Buddha ( hal ini seperti air atau getah kayu)

c) Vimutti , yaitu bebas dari ketidaktahuan, keinginan, kemeleketan, dan karma; mencapai
nibbana.Kualitas tertinggi, sebuah kualitas yang tidak akan ’mati’ (amata-dhamma) (hal ini
merupakan inti/galih kayu atau esensi dari Buddha)

Perbandingan yang dilakukan oleh guru-guru bijaksana dari mata lampau untuk memudahkan kita
mengerti arti dari berlindung kepada Buddha, yaitu dengan menggunakan istilah Buddha-ratana,
menyetarakan buddha deangan sebuah permata. Ada tiga jenis permata, yaitu: permata tiruan,
batu permata biasa seperti rubi atau safir, dan berlian dianggap sebagai patung berharga. Aspek-
aspek dari buddha bisa dibandingkan dengan tiga jenis permata ini:

 Menaruh keyakinan pada aspek eksternal (tubuh Buddha atau citra-citra yang dibuat untuk
merepresentasikan Buddha) adalah berdandan dengan permata tiruan.

 Menunjukan hormat pada praktik-praktik yang dijalankan oleh Buddha dengan cara
menumbukembangkannya dalam diri kita adalah seperti berdandan dengan rubi atau safir

 Mencapai kualitas tanpa kematian adalah seperti mengenakan berlian dari ujung kepala hingga
jari kaki.

Bukan masalah jenis permata apa yang kita gunakan untuk berdandan, kita tetap lebih baik
dibandingkan orang-orang biadab yang kesana-kemari dengan tulang-tulang yang dikalungkan pada
lehernya yang terlihat tidak terawat.Tulang-tulang pada contoh di atas mengacu pada tubuh kita,
yaitu kemeleketan terhadap tubuh kita yang seolah-olah benar-benar milik kita. Sebagian besar
tubuh kita dibuat dari binatang lain ( maksudnya dari daging yang kita makan) siapa pun yang
bersikeras menganggap tubuhnya sebagai miliknya, maka dia tidak berbeda dengan orang biadab
atau penipu yang pasti akan menerima hukuman yang setimpal dengan kejahatannya.

Tingkat kebuddhaan adalah tingkat pencapaian penerangan sempurna. Menurut tingkat


pencapaiannya, Buddha dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

Samma sambuddho

Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usahanya sendiri, tanpa bantuan mahluk lain

Mampu mengajarkan ajaran yang ia peroleh (Dhamma) kepada mahluk lain

Yang diajar tersebut bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti dirinya

Pacceka Buddha

Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usahanya sendiri, tanpa bantuan mahluk lain

Tidak mengajarkan ajaran yang ia peroleh kepada mahluk lain secara meluas

Yang diajar tersebut belum mampu mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti dirinya.

Savaka Buddha

Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan karena mendengarkan dan melaksanakan ajaran dari
Sammasambuddha
Mampu mengajarkan ajaran yang ia peroleh kepada mahluk lain.

Yang diajar bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti dirinya.

Para Buddha pada dasarnya mempunyai tiga prinsip dasar ajaran, yaitu seperti yang tercantum di
dalam Dhammapada 183 sebagai berikut:

Sabbapapassa akaranam = tidak melakukan segala bentuk kejahatan


Kusalasupasampada = senantiasa mengembangkan kebajikan
Sacittapariyodapanam = membersihkan batin atau pikiran
Etam buddhana sasanam = inilah ajaran para Buddha

Ajaran Sang Buddha memberikan bimbingan kepada kita untuk membebaskan batin dari
kemelekatan kepada hal yang selalu berubah (anicca), yang menimbulkan ketidakpuasan (dukkha);
karena semuanya itu tidak mempunyai inti yang kekal, tanpa kepemilikan (anatta). Usaha
pembebasan ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan pengertian masing-masing individu.Jadi,
ajaran Buddha bukan merupakan paksaan untuk dilaksanakan. Sang Buddha hanya penunjuk jalan
pembebasan, sedangkan untuk mencapai tujuan itu tergantung pada upaya masing-masing. Bagi
mereka yang tidak ragu-ragu lagi dan dengan semangat yang teguh melaksanakan petunjuk-Nya itu,
pasti akan lebih cepat sampai dibandingkan dengan mereka yang masih ragu-ragu dan kurang
semangat.Adalah bijaksana bila sebagai umat Buddha, setelah terlahir sebagai manusia janganlah
tenggelam di dalam kepuasan sang 'aku'. Di dunia ini kita telah diberi warisan yang sangat berharga
oleh para bijaksana. Sungguh bahagia bagi manusia yang bisa menerima ajaran Buddha yang telah
dibabarkan di hadapan kita. Mengapa? Karena hadirnya seorang Buddha di alam kehidupan ini
adalah sangat jarang. Di dalam Dhammapada 182 disebutkan demikian:

Kiccho manussapatilabho = sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia


Kiccho maccana jivitam = sungguh sulit kehidupan manusia
Kiccho saddhammasavanam = sungguh sulit untuk dapat mendengarkan ajaran benar
Kiccho Buddhanam uppado = sungguh sulit munculnya seorang Buddha

Jadi, manfaatkanlah kehidupan kita sebagai manusia sekarang ini untuk lebih giat lagi mempelajari
Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan kepada
manusia dan bahkan juga kepada para dewa, adalah demi keuntungan manusia dan para dewa itu
sendiri guna mencapai Kebebasan Mutlak (Nibbãna).

Dhamma

Dhamma adalah kesunyataan atau kebenaran yang telah dibabarkan dengan sempurna oleh sang
Buddha yang menunjukan umat manusia dan para Deva ke jalan yang benar, terbebas dari
kejahatan dan membimbing mereka mencapai kebebasan (Nibbana).Dhamma memiliki enam
kebajikan (Dhamma Guna), yaitu:

j) Svakkhato Bhagavata Dhammo: dhamma adalah ajaran Sang Buddha yang sempurna

k) Sanditthiko: yang dapat ditembus oleh diri sendiri bagi mereka yang mempelajarinya dan
mengamalkannya
l) Akaliko: terbebas dari keadaan dan waktu

m) Ehipassiko: yang patut mengundang untuk dibuktikan kebenarannya

n) Opanayiko: yang patut dihayati

o) Paccatam Veditabho Vinnuhi: yang dapat diselami leh para bijaksana dalam batinnya masing-
masing.

Tiga tahapan untuk dapat mengerti dhamma (Dhamma Tiga):

a) Pariyatti Dhamma: tahap belajar dengan tekun terhadap Dhamma dan Vinaya.Pada tahap ini
bisa dilakukan dalam salah satu tiga cara berkut ini:

 Alagaddupama-pariyatti

Belajar seperti ular berbisa bearti mempelajari kata-kata Buddha tanpa kemudian menerapkannya
dalam praktik,tidak memiliki rasa malu berbuat jahat, dan mengabaikan peraturan vihara. Dengan
demikian mengakibatkan seseorang seperti kepala ular yang beracun, dipenuhi api keserakahan,
kemarahan, dan delusi

 Nissaranattha-pariyatti

Belajar demi emansipasi artinya mempelajari ajaran Buddha dengan keinginan atas pahala dan
kebijaksanaan , dengan perasaan yakin dan penghargaan yang tinggi atas nilainya dan kemudian
begitu kita telah mencapai sebuah pemahaman, kita akan membawa pemikiran kita, perkataan
kita, dan perbuatan kita selaras dengan ajaran dan penuh rasa hormat serta menghargai ajaran

 Bhandagarika-pariyatti

belajar untuk menjadi seorang penjaga gudang, yang

berarti pendidikan a la orang-orang yang tidak lagi harus berlatih, yaitu para Arahat.Beberapa
Arahat ketika masih awam mendengarkan Dharma secara langsung dari Sang Buddha hanya satu
atau dua kali, kemudian mampu mencapaipencapaian tertinggi

b) Patipatti Dhamma: tahap melaksanakan Dhamma dan Finaya dalam kehidupan sehari-hari

c) Pativedha Dhamma:tahap penembusan yaitu menganalisa kejadian-kejadian hidup melalui


Vippasana bhavana sehingga mencapai kebebasan mutlak

Dhamma sebagai tempat perlindungan kedua, bukanlah kata-kata yang terkandung dalam kitab suci
atau konsepsi ajaran dalam batin manusia biasa yang masih dalam alam keduniawian (lokija,
mundene) yang masih diliputi atau masih dikuasai oleh kebencian (dosa), dan keserakahan (moha),
melainkan empat tingkat kesucian berserta Nibbana yang dicapai pada akhir jalan. Dhamma terbagi
menjadi dua bagian, yaitu Paramattha Dhamma dan Pannatti Dhamma.

Paramattha Dhamma = kenyataan tertinggi, ada 4, yaitu citta (kesadaran),cetasika (faktor


batin), rupa (materi), dan Nibbana

Pannatti Dhamma = sebutan, konsep, untuk dijadikan panggilan atau sebutan sesuai dengan
keinginan manusia.

Paramattha Dhamma terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu Sankhata Dhamma dan Asankhata
Dhamma.
Sankhata Dhamma, berarti keadaan yang bersyarat, yaitu:

Tertampak dilahirkan / timbulnya (uppado pannayati)

Tertampak padamnya (vayo pannayati)

Selama masih ada, tertampak perubahan-perubahannya (thitassa annathattan pannayati)

Asankhata Dhamma, berarti sesuatu yang tidak bersyarat, yaitu:

Tidak dilahirkan (na uppado pannayati)

Tidak termusnah (na vayo pannayati)

Ada dan tidak berubah (na thitassa annathattan pannayati)

Dalam ajaran Dhamma terkait empat kesunyataan mulia, yaitu:

1.Kesunyataan Mulia tentang Dukkha

Hidup dalam bentuk apa pun adalah dukkha (penderitaan) :

a. dilahirkan, usia tua, sakit, mati adalah penderitaan.

b. berhubungan dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan.

c. ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan.

d. tidak memperoleh yang dicita-citakan adalah penderitaan.

e. masih memiliki lima khanda adalah penderitaan.

Dukkha dapat juga dibagi sebagai berikut :

a. dukkha-dukkha - ialah penderitaan yang nyata, yang benar dirasakan sebagai penderitaan
tubuh dan bathin, misalnya sakit kepala, sakit gigi, susah hati dll.

b. viparinäma-dukkha - merupakan fakta bahwa semua perasaan senang dan bahagia --


berdasarkan sifat ketidak-kekalan-- di dalamnya mengandung benih-benih kekecewaan, kekesalan
dll.

c. sankhärä-dukkha - lima khanda adalah penderitaan ; selama masih ada lima khanda tak
mungkin terbebas dari sakit fisik.

2.Kesunyataan Mulia tentang asal mula Dukkha

Sumber dari penderitaan adalah tanhä, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya.
Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram. Orang yang pasrah kepada tanhä sama saja
dengan orang minum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya. Rasa haus itu bukannya hilang,
bahkan menjadi bertambah, karena air asin itu yang mengandung garam. Demikianlah, semakin
orang pasrah kepada tanhä semakin keras tanhä itu mencengkeramnya. Dikenal tiga macam tanhä,
yaitu :

1. Kämatanhä : kehausan akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan :

a. bentuk-bentuk (indah)

b.suara-suara (merdu)
c. wangi-wangian

d. rasa-rasa (nikmat)

e. sentuhan-sentuhan (lembut)

f. bentuk-bentuk pikiran

2. Bhavatanhä : kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia berdasarkan kepercayaan tentang
adanya "atma (roh) yang kekal dan terpisah"(attavada).

3. Vibhavatanhä : kehausan untuk memusnahkan diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah


mati tamatlah riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda).

3.Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya Dukkha

Kalau tanhä dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan yang bahagia sekali, karena
terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.

a. Sa-upadisesa-Nibbana = Nibbana masih bersisa. Dengan 'sisa' dimaksud bahwalima khanda itu
masih ada.

b. An-upadisesa-Nibbana = Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-


nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana. Sang Arahat telah beralih ke
dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Misalnya, kalau api padam, kejurusan mana api itu pergi? jawaban yang tepat : 'tidak tahu' Sebab
api itu padam karena kehabisan bahan bakar.

4.Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha

Delapan Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan Menuju
Lenyapnya Dukkha, yaitu :

Pañña

1. Pengertian Benar (sammä-ditthi)

2. Pikiran Benar (sammä-sankappa)

Sila

3. Ucapan Benar (sammä-väcä)

4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta)

5. Pencaharian Benar (sammä-ajiva)

Samädhi

6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)

7. Perhatian Benar (sammä-sati)

8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

Penjelasan Delapan Jalan Utama


Delapan Jalan Utama ini dapat lebih lanjut diperinci sbb. :

1. Pengertian Benar (sammä-ditthi) menembus arti dari :

a. Empat Kesunyataan Mulia

b.Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum)

c. Hukum Paticca-Samuppäda

d. Hukum Kamma

2. Pikiran Benar (sammä-sankappa)

a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa).

b.Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa)

c. Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa)

3. Ucapan Benar (sammä-väcä)

Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini :

a. Ucapan itu benar

b.Ucapan itu beralasan

c. Ucapan itu berfaedah

d. Ucapan itu tepat pada waktunya

4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta)

a. Menghindari pembunuhan

b.Menghindari pencurian

c. Menghindari perbuatan asusila

5. Pencaharian Benar (sammä-ajiva)

Lima pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu :

a. Penipuan

b.Ketidak-setiaan

c. Penujuman

d. Kecurangan

e. Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat)

Di samping itu seorang siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan , yaitu :

a. Berdagang alat senjata

b.Berdagang mahluk hidup


c. Berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup)

d. Berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan

e. Berdagang racun.

6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)

a. Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam bathin.

b.Dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah
ada di dalam bathin.

c. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam
bathin.

d. Berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik


dan sehat yang sudah ada di dalam bathin.

7. Perhatian Benar (sammä-sati)

Sammä-sati ini terdiri dari latihan-latihan Vipassanä-Bhävanä (meditasi untuk memperoleh


pandangan terang tentang hidup), yaitu :

a. Käyä-nupassanä = Perenungan terhadap tubuh

b.Vedanä-nupassanä = Perenungan terhadap perasaan.

c. Cittä-nupassanä = Perenungan terhadap kesadaran.

d. Dhammä-nupassanä = Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran.

8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

Latihan meditasi untuk mencapai Jhäna-Jhäna.

Praktek Dharma berarti bertindak sesuai dengan kata-kata Buddha. Ini bisa dikelompokkan

dalam tiga kategori:

• kebajikan: tingkah laku yang tepat, bebas dari sifat buruk dan merugikan dalam

perkataan maupun perbuatan

• konsentrasi: maksud dan kesungguhan pikiran, berpusat pada salah satu objek

meditasi, misalnya napas

• kebijaksanaan: wawasan dan kehati-hatian sehubungan dengan semua hal yang

berkondisi, misalnya unsur fisik, agregat, dan indria.

Sangha
Sangha terdiri dari dua macam, yaitu:

1.Persaudaraan para Bhikku (Sangha) yang belum mencapai tingkat kesucian (Sammuti Sangha)

2.Persaudaraan para Bhikku (Sangha) yang sudah mencapai tingkat kesucian (Ariya Sangha)

Sangha sebagai pengawal dan pelindung dhamma serta mengajarkan dhamma kepada orang lain
untuk ikut melaksanakan Dhamma sampai akhirnya mencapai nibbana

Sembilan macam kebajikan Sangha/ Sembilan Sangha Guna, yaitu:

a. Suppatipano Bhagavato Savaka Sangho: Sangha siswa Sang Bhagava yang melaksanakan
Dhamma dan Vinaya secara sempurna.

b. Ujupatipano Bhagavato Savaka Sangho: Sangha siswa Sang Bhagava yang bertindak jujur

c. Nayapatipano Bhavato Savaka Sangho: Sangha siswa Sang Bhagava yang bertindak di jalan
yang benar

d. Samicipatipano Bhagavato savaka Sangho: Sangha siswa Sang Bhagava yang penuh bertanggung
jawab dalam tindakannya

e. Ahunneyo: Yang patut diberikan persembahan

f. Pahuneyo: Yang patut diberikan tempat dengan layak

g. Dakkhineyo: Yang patut dijunjung tinggi

h. Anjalikaraniyo: Yang patut dihormati

i. Anuttaram Punnakkhetam Lokassa:merupakan tempat penanaman jasa yang tiada taranya


bagi dunia ini.

Sembilan macam kebajikan luhur inilah yang membuat Ariya Sangha patut dipuji oleh umat Buddha

Pada tingkat eksternal, orang-orang yang telah ditabhiskan bisa dikualifikasikan sebagai

simbol dari Sangha. Untuk memenuhi kualifikasi eksternal ini, seseorang harus memenuhi

tiga kriteria:

1. vatthu-sampatti: individu yang hendak ditabhiskan sebagai bhikkhu harus memiliki karakteristik-
karakteristik yang tepat yang ditetapkan dalam Vinaya

2. sangha-sampatti: bhikkhu yang berkumpul sebagai saksi penabhisan harus memenuhi kuorum
yang sah

3. sima-sampatti: tempat berlangsungnya penabhisan harus memiliki batas-batas yang ditentukan


dengan tepat.

Seseorang yang memenuhi kualifikasi-kualifikasi eksternal yang disebutkan di atas harus

bersikap selaras dengan kebajikan batin Sangha:

1. a. caga: melepaskan musuh-musuh eksternal dan internal (kecemasan dan keprihatinan)

b. sila: menjaga perkataan dan perbuatan seseorang dengan tepat.


Memiliki kedua kualitas ini berarti memiliki kualifikasi sebagai manusia.

2. a. hiri: memiliki rasa malu atas pemikiran untuk berbuat jahat, tidak berani melakukan
kejahatan di tempat umum atau pribadi

b. ottappa: memiliki rasa takut pada pemikiran akan akibat dari perbuatan jahat.

Jika seorang bhikkhu memiliki kualitas-kualitas ini, maka itu sama seperti kalau dia

didiami oleh makhluk-makhluk dewa.

3. samadhi: menenangkan pikiran sedemikian rupa untuk mencapai jhanatingkat pertama dan
mengembangkannya hingga ke tingkat ke-empat, membuat pikiran bercahaya dan bebas dari
rintangan mental.

Jika seorang bhikkhu melakukan hal ini, maka itu sama seperti kalau dia didiami oleh

Brahma karena dia memiliki kualifikasi batin seorang Brahma.

4. panna, vijja, vimutti: memperoleh pembebasan dari tingkat duniawi, meninggalkan tiga
belenggu; yang diawali dengan pengenalan diri, mencapai Dharma dari Buddha, dapat diandalkan,
jujur, dan tulus terhadap Dharma dan Vinaya, serta menjadi anggota yang dapat diandalkan dalam
Sangha.

Dengan demikian umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatannya seta kesetiaannya kepada
Buddha, Dhamma, dan Sangha dengan kata-kata yang sederhana, namun menyentuh hati.Kata-kata
itu terkenal dengan sebutan tisarana (Tiga Perlindungan), yaitu:

 Buddham Saranam Gacchami: Aku berlindung pada Buddha

 Dhammam Saranam Gacchami: Aku berlindung pada Dhamma

 Sangha Saranam Gacchami: Aku berlindung pada Sangha

Dalam teks Hua Yi, kata-katanya diucapkan seperti ini:

 Na Mo Fo

 Na Mo Fa

 Na Mo Seng

Rumusan ini disabdakan oleh Sang Buddha (bukan oleh para siswanya/makhluk lain). Pada suatu
ketika, Sang Buddha berada di Taman Rusa Isipatana dekat Benares kepada 60 arahat.Pada waktu
itu, mereka berkangkat menyebarkan dhamma dengan kesejahteraan dan kebahagiaan umat
manusia, lalu Sang Buddha besabda, “ Para Bhikku, ia yang akan ditabhiskan menjadi Samanera dan
Bhikku, hendaklah setelah mencukur kepala dan mengenakan jubah kuning bersujud (Namaskara)
kepada para Bhikku, lalu duduk bertumpu lutut dan merangkapkan kedua bnelah tangan di depan
dan berkata: Aku berlindung pada Buddha, Aku berlindung pada Dhamma, dan Aku berlindung pada
Sangha” (Vinaya Pittaka I:22).

http://weiliemabubakar.blogspot.co.id/2011/08/tri-ratna.html

Anda mungkin juga menyukai