Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ACH.

KHOTIBUL UMAM
NIM : 18105020030
MATA KULIAH : AGAMA BUDDHA
PRODI : STUDI AGAMA-AGAMA

Pertemuan Pertama

Saat mempelajari agama Buddha tidak akan terlepas dari seseorang bernama Siddharta
Gaotama. Dia merupakan seorang pangeran yang diramalkan menjadi seorang pertapa. Namun,
sang raja atau ayahnya tidak menginginkan anaknya tersebut menjadi pertapa. Oleh karena itu,
dia membesarkan Siddharta dengan segala kesenangan dan kemewahan, serta menjauhkan diri
dari kesusahan. Namun tak terelakkan, Sidharta menyaksikan orang-orang mengalami usia tua,
sakit, dan akhirnya mati. Dia melihat banyak adanya penderitaan.

Pada usianya yang ke 29 tahun, Sidharta memutuskan untuk meninggalkan istana dan
hidup bersama rakyat jelata. Dia juga banyak menemui guru dan bertapa. Dia melakukan itu
semua untuk mencari cara mengatasi penderitaan. Namun, dari banyaknya orang yang dia temui
tidak ada yang bias menunjukkan cara mengatasi penderitaan. Akhirnya, setelah Sidharta
melakukan berbagai cara termasuk di dalamnya adalah melakukan puasa hingga hamper
merenggut maut, pada umurnya yang ke 35 Sidharta berhasil mencapai Penerangan Sempurna
dan menjadi Sang Buddha.

Edward Conze berpendapat bahwa agama Buddha bisa dikategorikan sebagai agama
sekaligus aliran filsafat. Buddhisme merupakan suatu kelompok organisasi dari cita-cita spiritual
yang menolak kekuasaan duniawi. Ajarannya mampu mengatasi persoalan hidup di dunia dan
mencapai keabadian kehidupan sesudah mati. Buddhisme bisa disebut sebagai sebuah aliran
filsafat karena nilai pemikiran dihargai tergantung dari apa yang dilakukan masing-masing untuk
menghasilkan kualitas hidup.

Pemeluk agama Buddha tidak memepermasalahkan ajaran Buddha sebagai agama atau
filsafat. Bagi mereka, segala fenomena yang yang terdapat di alam ini telah tercakup dalam
istilah dharma (Sansekerta) atau dharma (Pali) yang menjadi inti dari ajaran Buddha Gaotama.
Secara garis besar, Buddha Dharma terdiri dari tiga pilar utama, yaitu Buddha, Dharma, dan
Sangha.

Ajaran Buddha mengandung dua makna berbeda, yaitu Buddha historis dan Buddha
teologis. Buddha historis (Sakyamuni) berasal dari sosok Pangeran Sidharta anak dari raja
Suddhodana penguasa suku Sakya dari kerajaan Kapilawastu yang rela meninggalkan
kemewahannya untuk menjadi pertapa demi melenyapkan segala penderitaan, pada usia 35 tahun
berhasil mencapai penerangan secara sempurna masuk kedalam Nirwana kemudian menjadi
Buddha. Sedangkan secara teologis (Tataghata), Buddha diyakini sebagai asas rohani yang dapat
dicapai setiap makhluk hidup.

Selanjutnya adalah Dharma, yang diartikan sebagai aturan, kebenaran Realitas Tertinggi,
dan kasunyatan. Buddha Gaotama memerintahkan kepada pengikutnya untuk menggunakan
Dharma sebagai pelindung. Kemudian yang terakhir adalah Sangha yang merupakan struktur
monastik yang berfungsi sebagai sebuah lembaga yang melatih individu maupun kelompok
untuk mengatasi penderitaan.

Pertemuan Kedua

Terdapat tiga langkah yang dikemukakan oleh W.C. Smith untuk mengkaji sebuah
agama, yaitu:

1. Menemukan fakta-fakta (outward facts) yang mencakup doktrin, praktek keagamaan,


symbol-simbol, dan pola masyarakat beragama
2. Menggali arti keagamaan dari pemeluknya
3. Menggambarkan generalisasi-generalisasi.

Sebuah agama mampu bertahan dan berpengaruh bagi kehidupan manusia apabila
memiliki 6 unsur yang dikemukakan oleh Huston Smith, yaitu: otoritas, upacara keagamaan,
renungan spekulatif, konsep ketuhanan dan rahmat Tuhan, serta misteri. Keenam unsur ini
memiliki fungsi kuat dalam mempertahankan suatu agama.
Sementara itu dalam rumusan yang agak berbeda, agama Buddha secara fenomenologis
menurut Ninian Smart dikatakan sebagai agama jika mencakup tujuh dimensi. Karena, sejak
awal munculnya Ilmu Perbandingan Agama, agama Buddha menjadi salah satu agama yang
menjadi teka-teki bagi para ahli, apakah sebagai agama atau bukan. Ketujuh dimensi tersebut
yaitu:

1. Practical dan Ritual


Agama Buddha tidak terlalu menganggap penting ritual-ritual keagamaan. Namun dalam
lingkup rahib/sangha dapat dijumpai berbagai macam upacara yang dilaksanakan agama
Buddha.
2. Eksperiential dan Emotional
Dimensi ini memiliki kedudukan yang sangat penting, mengingat pencerahan spiritual
yang terjadi pada Sidharta Gaotama yang menjadi awal mula agama Buddha.
3. Narrative dan Mythic
Dalam kehidupan Buddha Gaotama dikenal berbagai mitos tentang Mara, Agganna Sutta
serta sebuah kisah populer tentang Jataka.
4. Doctrinal dan Philoshopical
Doktrin inti dalam agama Buddha adalah konfigurasi dari “empat kebenaran mulia” atau
Four Noble Truth yang memiliki arti khusus.
5. Ethnical dan Legal
Dimensi ini sangat penting dalam agama Buddha. Dalam Buddha, terdapat prinsip moral
yang menjadi inti agama yang disebut dengan ahimsa (tidak melakukan kekerasan, tidak
merugikan)
6. Social dan Institutional
Dalam Buddha terdapat ajaran yang bernama Sangha yang berarti lembaga rahib.
Meskipun begitu, agama Buddha bukanlah agama rahib, karena terdapat juga kelompok
awam yang disebut dengan upasaka & upasaki yang hidup berumahtangga seperti
manusia lainnya.
7. Material
Agama Buddha memiliki obyek-obyek yang mendorong tumbuhnya emosi agama seperti
kuil, stupa, karua seni dll.
Agama Buddha berbeda dengan agama-agama pada umumnya karena tidak menganut
sistem kepercayaan terhadap agamanya. Buddha memegang prinsip ehipassiko yang dilandasi
pengalaman pribadi.

Pertemuan Ketiga

Pemeluk agama Buddha tidak hanya menganggap Sidharta Gaotama sebagai pendiri
agama Buddha, tetapi juga sebagai inspirasi dan pedoman hidup bagi mereka. Budha Gaotama
yang bernama asli Siddharta menyebut dirinya sebagai Tataghata, sementara pengikutnya
menyebut dengan Bhagava. Di samping itu ada pula yang menyebut Nya dengan Sakyamuni
atau Gautama. Ayahnya adalah seorang Raja Sudhdodana dari Kapilawastu yang merupakan
penerus suku Sakya dan ibuNya bernama Ratu Maya.

Agama Buddha terbagi menjadi dua cabang besar, yaitu Buddha Mahayana dan Buddha
Teravada. Mahayana merupakan aliran yang menegaskan bahwa semua manusia, baik orang
awam maupun biarawan itu sama dalam menempuh jalan menuju Pencerahan. Sedangkan
Theravada adalah jalan orang-orang yang lebih tua. Ajarannya tidak mengalami perubahan
secara esensial dan telah mengakar pada berbagai budaya meskipun praktek keagamaannya
berbeda.

Ada dua factor yang mendukung perkembangan agama Buddha, yaitu:

1. Faktor Internal
Dalam faktor internal, karakter, pengetahuan, tindak tanduk, dan semangat Buddha
Gaotama untuk membabarkan ajaran-ajaran berdasarkan pengalaman yang diperoleh-
Nya. Selain itu, nilai-nilai luhur dari Dharma yang diterima masyarakat dan juga
penyebaran Dharma yang dilakukan oleh para murid
2. Faktor Eksternal
Terdapat tiga faktor eksternal yang mendukung perkembangan agama Buddha, yaitu:
adanya dukungan dan perlindungan dari raja, dukungan orang kaya dan juga kematangan
spiritual masyarakat yang siap menerima ajaran Buddha.

Masa kemajuan agama Buddha adalah saat masa pemerintahan raja Asoka. Di bawah
pemerintahannya agama Buddha berkembang menjadi agama yang berpengaruh di India,
bahkan sampai ke luar India. Pada saat itu agama Buddha tersebar ke selatan sampai Sri Lanka,
ke Barat hingga Baktria Yunani dan ke utara hingga ke Cina. Salah satu usaha raja Asoka yang
penting bagi sejarah perkembangan agama Buddha adalah membuat piagam yang dipahat pada
tugu-tugu batu atau di lereng-lereng gunung yang ditandatanganinya dengan nama “piyadassi”
atau penuh kemanusiaan.

Sedangkan kemundurannya berawal setelah meninggalnya raja Asoka pada tahun 233
SM. Kekuasaan Maurya digantikan oleh Songa, dan bersamaan dengan itu, terjadi perpecahan
antara Staviravada yang kelak menjadi Teravada dengan Mahasanghika yang kemudian dikenal
sebagai Mahayana, semakin meluas. Perpecahan itu mempengaruhi pemahaman yang berbeda-
beda terhadap ajaran agama Buddha

Pertemuan ke empat

Adapun salah satu prinsip atau pokok ajaran yang ada dalam Buddha adalah Triratna
yang dalam hal ini mencakup tiga bagian yaitu, Buddha, Dharma serta Sangha. Buddha
merupakan orang yang pikirannya disucikan dari semua kotoran nafsu yang membawa
penderitaan dan ucapan serta perbuatan yang lahir. Buddha telah mengembangkan seluruh nilai
kebajikan seperti cinta dan belas kasih universal, kebijaksanaan tentang keberadaan serta metode
mengajar yang tepat. Adapun Dharma adalah aturan-aturan yang menjauhkan manusia dari
segala penderitaan. Dharma mencakup seluruh ajaran Buddha dan pelaksanaannya, sebab dan
hakekat penderitaan serta jalan menuju lenyapnya penderitaan. Sedangkan Sangha adalah orang-
orang suci yang memiliki persepsi non-konseptual tentang kekosongan (sunyata) atau kebenaran
tertinggi. Sangha juga sebutan bagi mereka yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk
mempraktekkan ajaran Buddha.

Baik Teravada dan Mahayana menyepakati bahwa ketiga-tiganya merupakan tempat


perlindungan yang tertinggi. Pada setiap kebaktian Buddhis baik secara Teravada, Mahayana
bahkan Vajrayana pasti mengucapkan perlindungan kepada ketiga-tiganya. Perbedaan hanya
dalam bahasa: Teravada dengan bahasa Pali, Mahayana bahasa Sansekerta sedangkan Vajrayana
bahasa Tibet.

Pertemuan ke Lima

Kemudian ada catur arya satyani dan hasta arya marga. Catur arya satyani merupakan
ajaran tentang sifat atau aspek asli kebenaran. Didalamnya ada empat ajaran pokok yaitu hidup
adalah penderitaan (dukkha). Penderitaan/sengsara (samudya). Sengsara yang diatasi dengan
melenyapkan keinginan (nirodha). Jalan mengatasi sebab-sebab penderitaan (marga).

Pertemuan Ke Enam

Pengertian Tri Lakhana atau Ti-Lakkhana adalah Tiga Ciri Utama Kehidupan, Tiga
Corak Umum atau Tiga Prinsip Dasar. Buddha menggambarkan dunia sebagai arus perwujudan
tanpa akhir. Prinsip tentang ketidak kekalan ini merupakan poros utama ajaran Buddhisme.
Ketiga corak utama tersebut adalah: Semua Bentuk Adalah Tidak Kekal (Sabbe Sankhara
Anicca). Ajaran tentang “kesementaraan atau ketidakkekalan” yang dimaksudkan untuk
menghindarkan dari dua pandangan ekstrem, yakni antara realisme (segala sesuatu itu ada) dan
nihilisme (segala sesuatu itu tidak ada). Semua Bentuk Adalah Penderitaan (Sabbe Sankhara
Dukkha). segala sesuatu yang tidak kekal sesungguhnya tidak memuaskan dan oleh karenanya
merupakan penderitaan (dukkha) karena tidak bisa menerima perubahan yang terjadi. Karena
ketika penderitaan muncul, tidak seorangpun yang dengan mudah menerimanya. Semua Kondisi
Adalah Tanpa Aku dan Tidak Berinti (Sabbe Dharma Anatta). Aspek penting lainnya dalam
Buddhisme adalah “ketidak-berintian”. Anatta (non-self) artinya tidak ada jiwa yang permanen
dan kekal seperti substansi dalam diri manusia.

Pertemuan Ke Tujuh

Karma merupakan sesuatu hukum alam impersonal, karma adalah aksi, pengulangan aksi
menjadi kebiasaan dan kebiasaan watak. Proses inilah yang disebut dnegan karma. Dan karma
hanya di pandang sebagai salah satu hukum alam yang menjelaskan keragaman dunia. Karma
merupakan hukum alam yang bekerja sesuai tindakan manusia jenisnya antara lain waktu, fungsi
dan sifat. Dan samsara atau tumimbal lahir merupakan kekuatan karma yang terus mewujudkan
dirinya sendiri dalam bentuk lain bisa manusia dan hewan yang menghasilakan keberadaan
kembali.

Kemudian samsara yang diartikan sebagai tumimbal lahir atau reinkarnasi jadi siklus
kehidupan dan kematian adalah tanda mendasar tentang kehidupan yang tidak nyata peninggalan
Hindu isme. Hanya saja ajaran buddhisme yang berprinsip pada anatta atau tiada aku dan
berbeda dengan ajaran Hinduisme tentang perpindahan jiwa tetapi perpindahan karakter atau
kepribadian. Kedua-duanya mengajarkan bahwa dunia samsara adalah dunia penderitaan atau
ilusi. Oleh karenanya bagi Hindu maupun Buddha mengajarkan bahwa manusia harus terbebas
dari samsara untuk mencapai keselamatan.

Penganut agama Buddha secara kelembagaan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pertama,
kelompok masyarakat kewiharaan yaitu para rahib atau bikkhu yang hidup tidak berumah
tangga. Kelompok ini terdiri dari calon bikkhu yang disebut Samanera (laki-laki) dan Samaneri
(perempuan) yang melaksanakan 100 peraturan moral. Setelah penahbisan (upasampada)
menjadi bikkhu, mereka melaksanakan 227 peraturan moral, adapun bikkhuni melaksanakan 331
peraturan moral. Kedua, masyarakat awam yang hidup berumah tangga, disebut dengan Upasaka
(laki-laki) dan Upasika (perempuan). Mereka melaksanakan Panca Sila (5 peraturan moral) serta
Atthanga Sila (8 peraturan moral). Sangha adalah struktur monastik yang didirikan oleh Buddha
yang membawa seseorang atau kelompok melatih diri mengatasi. Mereka bertugas melayani dan
membahagiakan masyarakat banyak atas dasar kasih sayang. Karakteristiknya yang menonjol
antara lain kemurnian, kemiskinan secara sukarela, kerendahan hati, kesederhanaan, pelayanan
tanpa mementingkan diri sendiri, pengendalian diri, kesabaran, belas kasih dan tidak
membahayakan.[]

Anda mungkin juga menyukai