Anda di halaman 1dari 5

Nama : Elizabeth

NIM : 60117050

Agama Buddha bukanlah suatu agama yang biasa, melainkan mencakup banyak hal, yakni
merupakan suatu agama dan sains spiritual yang didasari oleh filsafat, seni, ilmu pengetahuan, etika,
dan toleransi yang tinggi. Sebagai salah satu agama tertua di muka bumi ini dan yang digadang-
gadang sebagai agama masa depan yang diakui oleh para intelektual dan sains, tentu menggugah
rasa ingin tahu kami untuk menggali lebih dalam tentang agama Buddha, yang sering disebut sebagai
agama filsafat itu sendiri.

Untuk memenuhi rasa ingin tahu, saya akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Vihara
Dhammadipa yang merupakan salah satu vihara terbesar di Surabaya.

Seluruh biksu di vihara ini dipanggil dengan kata Bhante.Diketahui bahwa kata Bhante berasal dari
tradisi Theravada yang berarti “ Tuan yang dihormati”. Sedangkan para rohaniwan dipanggil dengan
sebutan Kiku untuk yang berjenis kelamin pria dan Kikuni untuk yang berjenis kelamin wanita.

1. Awal sejarah terbentuknya agama Buddha.

Diceritakan bahwa agama Buddha dicetuskan oleh seorang pangeran India bernama Siddharta
Gautama. Kelahirannya terjadi dengan istimewa, sebab ia lahir bersih tanpa noda dan dapat berdiri
tegak serta berjalan ke arah utara, dan setiap pijakan kakinya ditumbuhi oleh bunga teratai. Ayah
dari Pangeran Siddharta, Sri Bagina Suddhodana, lalu memanggil seluruh pertapa untuk meramalkan
nasib sang pangeran kelak.

Diramalkan oleh para pertapa tersebut jika Pangeran Siddharta di masa dewasanya, kelak dapat
menjadi seorang maharaja yang menguasai dunia.
Tetapi jika ia melihat empat peristiwa, yaitu orang sakit, orang tua, orang meninggal, dan seorang
pertapa, ia akan menjadi seorang pertapa dan menjadi Buddha.

Sri Baginda lalu menjadi cemas, karena Pangeran Siddharta adalah pangeran mahkota yang kelak
akan menggantikannya ketika ia turun tahta. Maka ia menyingkirkan seluruh hal tersebut dari
kerajaan, dan lalu pangeran dimanjakan dalam kesempurnaan serta kemewahan duniawi. Tetapi
ketika ia akan dinobatkan menjadi raja, Pangeran Siddharta meminta ayahnya agar
memperbolehkannya keluar istana untuk melihat sendiri rakyat yang akan ia pimpin kelak. Raja pun
tidak bisa menolak.

Ketika berjalan bersama Channa, kusir pribadinya, ia melihat orang tua, sakit,dan mati. Terjadi
gejolak dalam batin sang pangeran karena selama ini ia tidak mengetahui bahwa suatu saat semua
orang dapat menua, sakit, dan meninggal. Pangeran berpikir apalah arti seluruh harta dan
kemewahan jika kelak akan ditinggalkan? Karena pada akhirnya semua manusia akan mengalami
nasib yang sama.

Setelah mengalami pergumulan selama bertahun-tahun, akhirnya Pangeran Siddharta bertekad


bulat untuk menjadi seorang pertapa dan menanggalkan seluruh kemewahannya serta
meninggalkan anak dan istrinya. Ia mengembara dan menyiksa dirinya sendiri hingga hampir mati
kelaparan, yang kemudian menyadarkannya bahwa penderitaan tidak dapat membuatnya mencapai
pencerahan. Karena sesungguhnya pencerahan merupakan hal yang menyenangkan. Oleh karena itu
akhirnya pangeran bersemedi di bawah Pohon Bodhi, dimana ia akhirnya mencapai pencerahan dan
telah mengalahkan berbagai macam nafsu duniawi yang berada di dalam pikirannya. Sejak saat itu ia
dipanggil dengan sebutan Buddha yang berarti “Yang tercerahkan”. Ia lalu menyebarkan dharma dan
ajarannya selama 45 tahun lamanya, sampai pada akhirnya ia jatuh sakit dan mencapai paranibbana,
yang merupakan kesempurnaan dan kedamaian tertinggi dalam ajaran Buddha.

2. Masalah yang dihadapi.

Masalah utama yang dihadapi dalam ajaran agama Buddha ialah karena manusia merupakan
makhluk duniawi, akan sangat sulit untuk menyingkirkan kenikmatan fana yang sesungguhnya
dilarang dalam ajaran agama Buddha, misalnya kenikmatan seksual dan mabuk-mabukan. Selain itu
agama Buddha juga mengajarkan untuk tidak membunuh makhluk hidup, bahkan binatang dan
tanaman dan menghindari kebencian.

Masalah agama Buddha sendiri di Indonesia adalah karena sebagai agama minoritas, agama Buddha
sering dihalangi penyebarannya oleh pihak-pihak tertentu yang disebabkan oleh kesalahpahaman
mengenai cara beribadah dalam agama Buddha yang dianggap sebagai aliran sesat, misalnya
dianggap sebagai penyembah berhala. Padahal dalam agama Buddha, patung Buddha sendiri
hanyalah sebagai media agar para penganut dapat berkonsentrasi dalam mempelajari kembali
ajaran agama Buddha, bukan untuk disembah maupun diberi persembahan.

3. Pokok utama pengajaran.

Pokok utama dari pengajaran agama Buddha adalah Tripitaka yang terdiri atas Winayapitaka yang
berarti tidak berbuat kejahatan, Sutapitaka yang berarti untuk seluruh berbuat kebajikan kepada
seluruh makhluk hidup , dan Adidharmapitaka yang berarti untuk senantiasa selalu membersihkan
batin dan pikiran kita dari segala sesuatu yang jahat dan kotor.

Selain itu inti dari ajaran agama Buddha sendiri ialah kesabaran. Kesabaran merupakan latihan batin
yang tinggi, dan ketika dilaksanakan dengan perasaan bahagia, maka akan mencapai kebersihan
batin. Ketika batin kita bersih, maka keburukan dan segala sesuatu yang jahat tidak dapat masuk
melalui pintu indria kita dan menguasai pikiran kita.

4. Ritual dan cara beribadah.

Dalam agama Buddha, waktu untuk beribadah sangatlah fleksibel karena bisa dilakukan dimana saja
dan kapan saja, asalkan ada kemauan dari diri sendiri untuk belajar.

Sebagai salah satu agama tertua di muka bumi ini, agama Buddha memiliki banyak simbol pada saat
dilakukannya ibadah. Setiap simbol memiliki makna tersendiri dalam agama Buddha. Misalnya
simbol lilin dalam ibadah dilihat sebagai simbol penerangan. Maksudnya, diharapkan dengan
mempelajari agama Buddha, batin kita pun juga akan lepas dari kegelapan dan menerima
penerangan. Selain itu terdapat suatu ritual khas dalam agama Buddha, yaitu menyulut dupa.
Seringkali penggunaan dupa dalam ibadah ini disalahartikan oleh orang-orang sebagai salah satu
media untuk memanggil arwah maupun makhluk halus karena wanginya yang khas.
Dupa sendiri biasanya dibuat dari banyak bunga-bungaan, salah satunya adalah Cendana. Bukan hal
baru lagi dupa memiliki wangi yang sangat pekat dan dapat menyebar kemana-mana tanpa
terpengaruh oleh arah udara berasal. Penyulutan dupa ini bukanlah tanpa alasan, melainkan
diharapkan seperti wangi dupa, ajaran Buddha dapat menebar kebaikan ke segala arah dan kepada
seluruh makhluk hidup dan tidak terpengaruh oleh hal-hal lain.

Tujuan dilakukannya pengajaran kembali agama Buddha ialah disebabkan karena kata-kata dalam
Tripitaka, yakni kitab suci dalam agama Buddha, seringkali dapat disalahartikan. Oleh karena itu
diharapkan dengan mengulang kembali dan mempelajari, tidak timbul kesalahpahaman dan
mendapatkan inti pengajaran yang benar dan terarah.

5. Sejarah dan Perkembangan Agama Buddha di Indonesia.

Sejarah dan perkembangan agama Buddha di Indonesia diawali dengan kedatangan Ajisaka, yang
merupakan seorang ahli dharma Buddha pada abad pertama. abad II, III, IV, menurut catatan Fa-
Hien pada saat itu di Jawa agama Buddha sudah ada dan kedatangannya. Pada saat itu banyak
membawa rupang dan kitab agama Buddha. Lalu mulai abad 5 dan 6 terbuktilah perkembangan
agama Buddha dari prasasti Purnawarman di Jawa Barat dan Mulawarman di Kalimantan. Abad 7
dan 8 merupakan zaman keemasan agama Buddha, ditandai dengan pendirian candi Borobudur.
Pada abad 8 dan 9 berdirilah Kerajaan Sriwijaya di Sumatera menurut catatan It Shing yang pernah
datang dan belajar. Pada abad ke-11 ,Atisa Dipankara, seorang bhikkhu yang punya latar belakang
pengajaran Tantrayana, berguru pada Serlingpa Dharma Kirti di Sriwijaya. Mulai dari tahun 1100 –
1478, berdirilah kerajaan-kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit dan akhirnya Majapahit runtuh –
kerajaan Islam berdiri agama Buddha hilang dari peredaran, dan tidak pernah di bicarakan, hanya
peninggalan berupa candi candi yang masih dikagumi kebangkitan agama Buddha. Pada abad 20
tahun 1929, seorang Belanda yang beragama Buddha membentuk Java Buddhist Association yang
berorientasi Theravada. Pada tahun 1934, Bhikkhu Narada Thera datang ke Indonesia. Pada tanggal
4 Maret (seorang Dharmaduta Buddhis terkenal dari Srilangka) pulau Jawa pertama kalinya
dikunjungi bhikkhu Theravada. Penanaman pohon Bodhi di candi Borobudur. 10 Mei terbentuk
Batavia Buddhist Association (condong ke Mahayana). Pada tanggal 23 januari 1923, di Bogor, lahir
bayi laki-laki. Ayahnya Tee Hong Gie, ibu Tan Sep Moy. Anak tersebut diberi nama Tee Boan An
mempunyai 2 (dua) kakak laki-laki. Ibu meninggal, saat Boan an usia 20 tahun. Pada tahun 1946 Tee
Boan An nekat ke Belanda. Boan An kuliah, sering ikut ceramah Theosofi sempat ke Perancis
mengikuti ceramah Krisnamurti (praktisi spiritual). Beliau melanjutkan perjalanan ke Belanda dan
semakin mantap menempuh jalan spiritual. Pada tahun 1951 pulang ke Indonesia. Beliau
mengunjungi teman-teman dan diangkat jadi ketua gabungan Sam Kauw Indonesia. Jabatan ini
membuatnya lebih mudah menyebarkan ajaran Buddha. Beliau pernah menjadi guru di Sariputra
Jakarta. Memutuskan jadi pelayan Buddha (anagarika) berkenalan dengan Ananda Suyono dan
Parwati tahun 1953 melempar ide mengadakan waisak secara nasional di borobudur, dengan
membagikan undangan ke pejabat dan wakil Negara. Perayaan waisak mendapat dukungan dari
theosofi dan orang-orang Sam Kauw Waisak 2497, 22 mei 1953 adalah sebagai shock therapy,
membuat orang tercengang menyadarkan orang, bahwa dulu ajaran Buddha pernah berjaya dan
umatnya masih ada. Hari-hari Tee Boan An memberikan ceramah ke Jawa Tengah–Jakarta di Jakarta
sering ke klenteng Kong Hoa Sie (vihara silsilah C’han) ada suhu Pen Chin yang berdiam di sana. (Pen
Chin dalam silsilah vihara tersebut termasuk pimpinan dan dipercaya telah mencapai kesucian).
Boan An disarankan untuk mencukur rambutnya. Boan An menjadi samanera menurut tradisi C’han
diberi nama Ti Chen, (hadir saat itu maha biksu Ju Sung, biksu Ju Khung, biksu Cen Yao, biksu Wu
Ching). Sramanera Ti Chen, Maha biksu Pen Ching mencarikan dana untuk muridnya agar dapat ke
luar negeri guna menjadi biku karena di Indonesia keberadaan biku sangat kurang. Desember 1953
sramanera berangkat ke Birma (ongkos pesawat ditutupi oleh dana yang dikumpulkan biksu Pen
Ching dan sahabatnya Ong Tiang Biauw, sramanera Ti Chen, maha biksu Pen Ching mencarikan dana
untuk muridnya agar dapat ke luar negeri guna menjadi biku karena di Indonesia keberadaan biku
sangat kurang. Desember 1953 sramanera berangkat ke Birma (ongkos pesawat ditutupi oleh dana
yang dikumpulkan biksu Pen Ching dan sahabatnya Ong Tiang Biauw. Sramanera Ti Chen – Burma
mengikuti latihan meditasi vipasana dipusat meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon.
perkembangan yang pesat menarik perhatian dari Mahasi Sayadaw, sehingga menunjuk bhikkhu
Nyanuttara Sayadaw untuk membimbing secara khusus. Pada 23 Januari 1954 sramanera Ti Chen Di
tahbiskan sekali lagi secara Theravada menjadi seorang samanera. Guru spiritualnya YA. Agga
Maha Pandita untuk Ashin Sobhana mahathera (Mahasi Sayadaw) diberi nama Jinarakkhita, dan
mendapat gelar Ashin yang merupakan gelar untuk menunjukkan orang yang memakainya sebagai
bhikkhu yg patut dihormatii. Sedangkan Jinarakkhita berarti orang yg pantas dilindungi dan diberkahi
Buddha. Bhikkhu Ashin Jinarakhitta membentuk PUUI (Persaudaraan Upasaka – Upasika Indonesia)
di Semarang Juli 1955 (Asadha). Selanjutnya melakukan pentabisan biku dengan mengundang biku
dari luar negeri sebagai penabis dan beliau sebagai acariya, kemudian membentuk Sangha Sutji
Indonesia. Bhikkhu Ashin selalu mengingatkan upaya untuk melestarikan agama Buddha di Indonesia
tidak boleh lepas dari dari kebudayaan yang sudah ada, karenanya pembauran dan pluralisme tidak
dapat dihindarkan. Pada tanggal 12 Januari 1972 bhikkhu Girirakhito, bhikkhhu Sumanggalo, b.
jinapiya (titatetuko), b. jinaratana (pandhit kaharudin), b. subhato (moctar rashid) memisahkan diri –
membentuk yang kemudian dikenal dengan sebutan Sangha Theravada Indonesia. Pada tahun 1978
terbentuk Sangha Mahayana Indonesia, dipimpin oleh biksu Dharmasagaro akibat beliau berselisih
dengan cucu murid bhikkhu ashin namun bhiksu Dharmasagaro tetap menganggap b. Ashin adalah
gurunya. Kemudian Maha Sangha Indonesia dikenal dengan sebutan Sangha Agung Indonesia

Pada tahun 1980, b. Ashin melihat umat Buddha mulai terkotak-kotak, tetapi biku Ashin tetap
mempertahankan konsep wahana Buddha (Buddhayana) yang kemudian dikenal sebagai Ekayana (di
barat), hal ini sekaligus merupakan pengejawantahan “Bhinneka Tunggal Ika” yang merupakan sila
pertama dari pancasila yang merupakan dasar negara kita indonesia. Dengan pendekatan konsep ini
umat Buddha diharapkan dapat belajar masing-masing yana tanpa mencemooh satu dg yang lain ,
lalu mereka boleh memilih mana yg akan didalami guna menunjang praktek mereka yang penting
tujuan utamanya mencapai tujuan akhir Nibbana.

6. Awal terbentuknya Vihara Dhammadipa

Pada mulanya sekumpulan umat Buddha bertemu dalam kegiatan-kegiatan sosial. Kemudian
muncullah sebuah gagasan luhur untuk mendirikan sebuah tempat ibadah agama Buddha di
Surabaya. Dengan semangat dan niat yang baik, maka berdirilah Cetiya Karuna Dipa yang berada di
Jalan Telasih 16 untuk pertama kalinya. Usaha mulia ini juga didukung oleh para sesepuh dan Yang
Mulia Bhikkhu Sangha. Upaya untuk memajukan dan mengembangkan Cetiya pun dilakukan dengan
baik oleh para pengurus terdahulu tanpa kenal pamrih. Diantara kegiatan spiritual juga dilakukan
kegiatan taktis guna menghimpun dana melalui kegiatan arisan demi sebuah tujuan mulia:
mendirikan sebuah bangunan vihara yang lebih baik. Para pendahulu termasuk pengurus dan
anggota Cetiya maupun arisan bersatu padu mengupayakan tujuan mulia tersebut. Akhirnya dengan
niat baik yang tentu berbuah baik, berhasil di peroleh sebuah bangunan di Jalan Pandegiling 260/i
yang di dapat berkat jasa berbagai sumber, antara lain: Jasa arisan, beberapa donatur, dana yang
diperoleh dari kegiatan-kegiatan keagamaan dan juga penjualan produk-produk pendidikan. Saat ini
bangunan Cetiya bertambah luas dengan berhasil dibelinya gedung di sebelahnya (Pandegiling
260/ii). Maka rencana mulia untuk mendirikan sebuah gedung Vihara yang representatif semakin
dekat untuk di realisasikan, yang mana sekarang tergantung dari para penerus untuk melanjutkan
perjuangan para pendahulu yang luhur.Vihara ini dibawah naungan Sangha Theravada Indonesia

Anda mungkin juga menyukai