Anda di halaman 1dari 35

E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |1

Copyright © Maret 2023

PERTEMUAN 1

SEJARAH AGAMA BUDHA DAN SANG BUDDHA GAUTAMA

Ajaran yang disampaikan sang Buddha Gautama tidak harus dipandang sebagai agama atau
filsafat saja, karena pengertian yang menunjuk kepada arti agama atau filsafat dan semua
fenomena yang terdapat di alam ini, telah tercakup dalam istilah dharma (Sansekerta) atau
Dhamma ( Pali) dengan demikian, pemakaian istilah Buddha dharma atau Buddha dhamma
lebih sering dipergunakan oleh pemeluk agama Buddha daripada istilah agama. Arti dari
Buddha sendiri yaitu “Yang Telah Sadar”, “Yang Telah Terjaga”, atau “Yang Telah Cerah”.
Asal kata Buddha yaitu dari kata Budh yang artinya terjaga, menyadari, dan memahami dan
juga menjadi akar dari kata – kata seperti bodhi, bodha, bodhati, dan buddhi.

Pada garis besarnya, ajaran Buddha dharma atau agama Buddha dirangkum dalam tiga ajaran
pokok yaitu Buddha, dharma dan Sangha. Ajaran tentang Buddha menekankan tentang
bagaimana umat Buddha memandang sang Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha
dan asas rohani yang dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup. Pada perkembangan
selanjutnya ajaran tentang Buddha berkaitan pula dengan masalah ketuhanan yang menjadi
salah satu ciri ajaran semua agama.

Ajaran tentang dharma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapai


manusia dalam hidupnya, baik yang berkaitan dengan diri manusia sendiri maupun
hubungannya dengan apa yang disebut tuhan dan alam semesta dengan segala isinya,
termasuk manusia dan makhluk-makhluk lainnya

Ajaran tentang sangha selain mengajarkan bagaimana umat Buddha memandang sangha
sebagai pasamuan para bikkhu juga berkaitan dengan umat Buddha yang menjadi tempat para
bikkhu menjalankan dharmanya. Sangha berkaitan pula dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama Buddha baik di tempat kelahirannya di India, maupun di tempat-tempat
mana agama ini berkembang.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |2
Copyright © Maret 2023

Ada dua jalur penyebaran Buddha, sebagaimana disebutkan yaitu jalur Utara dengan kitab
sucinya tertulis dalam bahasa Sansekerta, aliran ini tersebar di Cina, Jepang, Korea, Tibet dan
Nepal. Sementara aliran Selatan, kitab sucinya tertulis dalam bahasa Pali, tersebar luas di
kawasan; Birma, Ceylon, Thailand, Kamboja dan Sumatra ( Indonesia).

Lima tahap penyebaran agama Buddha, yaitu:

1. Mulai dari awal munculnya Buddha hingga abad ke-1 M, Kerajaan Asoka telah
menyebarluaskan hingga keluar batas India dan Ceylon.

2. Dari abad ke-1 M hingga ke-5 M, Buddha telah mengambil rute penyebaran di wilayah
Timur sampai ke Benggala, lalu menuju Tenggara; Kamboja dan Vietnam. Setelah itu ke
arah Barat Daya hingga ke Kashmir. Pada abad ke-3 mulai mengambil rute Cina dan
pertengahan Asia; dari Cina kemudian sampai ke Korea.

3. Dari abad ke-6 hingga ke-10 M, ajaran Buddha tersebar hingga ke wilayah Jepang, Nepal,
dan Tibet. Periode ini dinilai sebagai periode terbesar penyebaran agama Buddha.

4. Pada abad ke-11 hingga ke 15, frekuensi penyebaran agama Buddha menurun dan
pengaruhnya semakin melemah. Hal itu karena kembalinya spirit agama Hindu dan
munculnya agama Islam di India. Oleh karena itulah, agama Buddha kemudian menyebar
ke wilayah Laos, Mongolia, Burma, dan Siam ( Thailand).

5. Pada abad ke-16 hingga sekara ng; ajaran Buddha berhadapan langsung dengan arus
pemikiran Barat selepas imperialisme Eropa. Pada masa ini agama Buddha berbenturan
langsung dengan agama Nasrani. Setelah itu

SEJARAH AGAMA BUDDHA DI INDONESIA

Pada jaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhurnya.
Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Roh
leluhur, Hyang atau Dahyang namanya,menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap
mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup.
Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang akan memulai suatu pekerjaan yang penting,
misalnya akan berangkat perang, akan memulai mengerjakan tanah dan lain sebagainya.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |3
Copyright © Maret 2023

Mereka juga percaya bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan
sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda senjata-senjata dianggap bertuah,
sakti dan dijadikan jimat oleh pemiliknya. Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-
baiknya agar restunya mudah diperoleh. Dan pertunjukkan wayang, suatu bentuk kebudayaan
Indonesia, erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada "HYANG" masih
dapat juga kita lihat sampai saat ini.

Jaman Sriwijaya.

Sriwijaya bukan saja termashyur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga
karena

merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak vihara yang dihuni
oleh ribuan bhikkhu. Pada Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya orang dapat
mengikuti selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha juga kuliah-kuliah tentang bahasa
Sansekerta dan Bahasa Indonesia Kuno. Pujangga- Pujangga Agama Buddha yang terkenal
seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada
waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar Agama Buddha di Asia Tenggara yang
memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang.

Tentang Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diceritakan oleh seorang sarjana Agama
Buddha dari Tiongkok yang bernama I-Tsing. Dalam tahun 672 ia bertolak untuk berziarah
ke tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Waktu pulang dalam tahun 685 ia singgah di
Sriwijaya dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya untuk mempelajari dan menyalin
buku-buku suci Agama Buddha dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa.

Sriwijaya yang berada di pulau Sumatera didirikan pada kira-kira abad ke-7 dan dapat
bertahan terus hingga tahun 1377.

Jaman Sailendra di Mataram.

Pada tahun 775 hingga tahun 850 di daerah Bagelen dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja
dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha. Jaman ini adalah jaman keemasan bagi
Mataram, dan negara di bawah pemerintahannya aman dan makmur. Ilmu pengetahuan,
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |4
Copyright © Maret 2023

terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha sangat maju. Dan kesenian, terutama seni
pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi.

Pada waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia menghasilkan karya-karya seni yang
mengagumkan. Hingga sekarang pun masih dapat kita saksikan betapa indahnya candi-candi
yang mereka buat misalnya :

a. Candi Kalasan. Candi ini terletak di sebelah timur laut kota Yogyakarta dan didirikan di
tahun 778 oleh Rakai Panakaran atas perintah Raja Sailendra.

b. Candi Sewu. Candi ini terletak di Prambanan (perbatasan Solo - Yogya) dan didirikan di
tahun 800.

c. Candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut. Candi-candi ini terletak dekat kota Muntilan dan
didirikan di tahun 825 atas perintah Raja Sailendra yang bernama Samarotungga.

Kecuali candi-candi tersebut di atas masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas
perintah Raja-Raja Sailendra, tetapi yang paling besar dan paling indah adalah candi
Borobudur. Setelah Raja Samarotungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh
raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun Agama Buddha dan Agama
Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.

Jaman Majapahit.

Di dalam masa pemerintahan raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1476), Agama
Buddha berkembang dengan baik bersama-sama dengan Agama Hindu. Toleransi (saling
harga-menghargai) di bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan agama
tidak pernah terjadi.

Di waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, telah
menulis sebuah buku yang berjudul "Sutasoma", di mana terdapat kalimat Bhinneka Tunggal
Ika yang kini dijadikan lambang negara Republik Indonesia yang melambangkan motto
toleransi dan persatuan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur
agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |5
Copyright © Maret 2023

Kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia.

Agama Buddha mulai bangkit kembali di pulau Jawa dengan datangnya Bhikkhu Narada
Thera dari Sri Lanka (Ceylon) di bulan Maret tahun 1934. Selama berada di pulau Jawa,
Bhikkhu Narada Thera antara lain telah melakukan kegiatan-kegiatan sbb. :

a. Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha-Dhamma di beberapa


tempat di

Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.

b. Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada tanggal 10


Maret 1934.

c. Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan agama Buddha yang
pertama) di Bogor dan Jakarta.

d. Menjalin kerja-sama yang erat dengan bhikshu-bhikshu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-


kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek
Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin kok Sin di Solo dan
perhimpunan-perhimpunan Theosofie di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.

e. Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi.


Bapak Maha Upasaka S. Mangunkowotjo, tokoh umat Buddha Jawa-Tengah dan anggota
MPR telah dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada Thera pada
tanggal 10 Maret 1934.

Nama-nama dari para perintis bangkitnya kembali Agama Buddha di pulau Jawa pada waktu
itu

antara lain :

1. Pandita Josias van Dienst, Deputy Director General Buddhist Mission, Java Section.

2. Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta

Dalam perkembangangan di Indonesia ada dua aliran Budda yang berkembang yaitu
Theravada dan Mahayana. Tidak ada perbedaan mendasar di antara ajaran Mahayana dan
Theravada. Hal ini bisa dicermati dari ajaran yang sama persis tentang:
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |6
Copyright © Maret 2023

Diakuinya Buddha Sakyamuni sebagai Guru.

Empat Kesunyataan Mulia

Delapan Jalan Utama

Paticca-Samuppada atau Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan

Keduanya tidak mengakui adanya mahluk yang menciptakan atau mengatur dunia ini.

Keduanya menerima Anicca, Dukkha, Anatta dan Sila, Samadhi, Panna.

Ajaran di atas adalah ajaran paling mendasar dalam agama Buddha, tetapi ada beberapa hal
yang membuat keduanya terlihat berbeda. Banyak yang mengatakan bahwa Mahayana adalah
untuk mencapai bodhisattva yang membuka jalan menuju kebuddhaan, di mana theravada
adalah untuk mencapai arahat. Perlu digarisbawahi bahwa Buddha adalah juga seorang
arahat. Demikian pula, Pacceka Buddha adalah seorang arahat. Seseorang pengikut bisa juga
menjadi arahat. Mahayana tidak pernah menggunakan istilah arahantayana, jalan arahat.
Akan tetapi, dipilih tiga istilah: Boddhisattvayana, Pracceka-Buddhayana, dan Sravakayana.
Dalam tradisi Theravada, ketiganya dikenal sebagai bodhi.

Mahayana menciptakan bodhisattva-bodhisattva. Theravada menganggap seorang


bodhisattva adalah salah satu di antara kita yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk
mencapai kesempurnaan. Tujuan utamanya adalah penerangan sempurna untuk kebahagiaan
makhluk di dunia.

Teks-teks Mahayana sendiri menyebutkan bahwa tujuan para bodhisattva adalah demi
menolong semua makhluk karena hanya dengan kebuddhaan yang sempurna maka seseorang
memiliki kemampuan mencerahkan mahkluk lain. Dalam tradisi Pali pun, dapat ditemukan
teks-teks mengenai jalan bodhisattva dalam kumpulan cerita Jataka dan kitab komentar yang
menyebutkan berbagai jenis bodhi. Jadi, Theravada juga mengenal jalan Bodhisatta dan jalan
Sammasambodhi, yaitu dalam bentuk kisah penyempurnaan 10 Parami.

Para guru besar berbagai aliran saat ini juga mengajarkan bahwa semua aliran Buddha
memiliki pendekatan berbeda, tetapi pada akhirnya akan mencapai realisasi yang sama. Akan
tetapi saat semua melihat ke dalam realita, pengalaman langsung yang didapat dari praktik
meditasi akan mengalami realita yang demikian tak terbantahkan, anicca-anatta, pandangan
terang yang mengakhiri dukkha
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |7
Copyright © Maret 2023

Terdapat tiga jenis Buddha: (1) Samma Sambuddha yang mencapai penerangan sempurna
dengan usahanya sendiri, (2) Pacceka Buddha pada tingkat lebih rendah daripada Samma
Sambuddha, dan (3) Savaka Buddha yang merupakan arahat. Pencapaian nibbana di antara
ketiganya adalah sama. Hanya ada perbedaan untuk Samma Sambuddha yang mempunyai
tingkatan dan kemampuan lebih dibanding keduanya.

PERJALANAN HIDUP SANG BUDDHA SIDHARTA GAUTAMA

Buddha adalah sebuah gelar untuk seseorang yang telah mencapai pencerahan sempurna.
Ajaran agama Budddha mengedepankan mengenai cinta kasih dan kebijaksanaan, yang
dianggap sesuai dengan pengertian filsafat atau jalan hidup oleh sebagian orang. Karena
itulah istilah “isme” yang sering ditambahkan pada ajaran filsafat juga kerap disandingkan
dengan kata Buddha, sehingga kata Buddhisme menjadi sebutan lain untuk agama Buddha.

Kelahiran
Ratu Mahāmāyā, ratu utama dari Raja Suddhodana – raja dari kerajaan suku Sākya (Sokyā,
Sakka, Sākiyā), yang sedang mengandung dengan usia kehamilannya sudah mencapai
sepuluh bulan, melakukan perjalanan dari Kapilavatthu (Sanskerta: Kapilavastu), ibu kota
Kerajaan Sākya, menuju Devadaha, kota tempat tinggal ayahnya, Raja Añjana – raja dari
kerajaan suku Koliyā, untuk melakukan persalinan di sana.

Saat itu, hari bulan purnama, di bulan Vesākha (baca: WESAKHA), tahun 623 Sebelum Era
Umum (secara konsensus sejarawan awal abad ke-20 menetapkan tahun 563 SEU) atau tahun
80 Sebelum Era Buddhis (SEB). Ketika Sang Ratu berjalan-jalan melihat Taman Lumbini, ia
merasakan tanda-tanda kelahiran dan para pelayannya segera membentuk lingkaran dan
menutupi area tersebut dengan tirai. Demikianlah, dengan posisi berdiri dan berpegangan
pada dahan pohon SĀLA tersebut Ratu Mahāmāyā melahirkan seorang pangeran, Sang
Bodhisatta (Calon Buddha; baca: BUD-DHA)

Setelah lima hari Sang Pangeran lahir, Raja Suddhodana mengadakan upacara pembasuhan
kepala dan pemberian nama, sesuai dengan tradisi India kuno, dengan mengundang para
brahmana (brahmin) sebanyak 108 brahmana dan terdapat delapan brahmana yang
terkemuka. Setelah melihat tanda-tanda kebesaran pada tubuh Pangeran, tujuh di antara
mereka yaitu Rāma, Dhaja, Lakkhanā, Jotimanta (Jotimantī), Subhoja (Bhoja), Suyāma, dan
Sudatta memprediksikan dua kemungkinan yaitu bahwa Pangeran akan menjadi seorang Raja
Dunia atau akan menjadi seorang Buddha jika Ia meninggalkan kehidupan keduniawian dan
menjadi petapa. Tetapi Kondañña (Yañña), salah satu dari kedelapan brahmana itu, dan yang
paling muda, menyatakan dengan memastikan bahwa hanya ada satu kemungkinan yaitu
Pangeran akan menjadi seorang Buddha. Pernyataan Kondañña ini akhirnya diterima oleh
semua brahmana.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |8
Copyright © Maret 2023

Setelah itu, para brahmana memberi-Nya nama SIDDHATTHA (Sanskerta:


SIDDHARTHA) yang berarti “yang berhasil mencapai tujuannya”, dan dengan nama
keluarga GOTAMA (Sanskerta: Gautama).

MASA KECIL DAN PENDIDIKAN

Semasa kecil, Pangeran Siddhattha hidup dalam kemewahan dan dirawat oleh para pengasuh
sebaik mungkin. Seluruh pengiring-Nya muda-muda, berpenampilan menarik, cantik,
tampan, dan berbadan lengkap. Untuk menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja
Suddhodana membuatkannya tiga kolam teratai di istananya, yaitu Kolam Uppala dengan
teratai birunya, Kolam Paduma dengan teratai merahnya, dan Kolam Puṇḍarīka dengan
teratai putihnya.

Ketika Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia mulai menjalani pendidikan-Nya.


Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja untuk meramalkan masa depan
pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang pertama. Setelah guru-guru tersebut mengajarkan
semua pengetahuannya kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru
kepada guru lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah Udicca
yang ahli dalam bahasa dan tata bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Vedāṅga
yang terdiri dari ilmu fonetik (śikṣā), upacara keagamaan (kalpa), tata bahasa (vyākaraṇa),
ilmu tafsir kata (nirukta), ilmu metrum persajakan (chandas), dan ilmu perbintangan
(jyotiṣa).

PERNIKAHAN

Pada saat itu tahun 607 SEU (547 SEU) atau tahun 64 SEB, Pangeran Siddhattha berusia
enam belas tahun, Ia tumbuh sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa. Dan
perangai-Nya yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas. Raja
berharap untuk bis mewarisi singasananya daripada menjadi seorang Buddha. akhirnya
diputuskan untuk mencari gadis dan mengirim berita kepada delapan puluh ribu kerabat
Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan putri-putri mereka untuk datang ke
istana agar pangeran dapat memilih salah satunya sebagai istri.

Para pangeran Sakya sangsi dan beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha tidak memiliki
kemampuan sebagai seorang ksatria dan tidak memiliki kemampuan seni bela diri dan seni
berburu untuk melindungi dan mencari nafkah keluarganya kelak. Kesangsian pangeran
Sakya di tanggapi oleh Pangeran Siddhattha dengan melakukan pertandingan. Dalam
pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat mengalahkan semua lawannya dalam
segala pertandingan. Selanjutnya Pangeran Siddhattha menjatuhkan pilihannya pada Putri
Yasodharā, sepupu-Nya yang cantik, putri dari Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan
Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana sebagai istri.

MELIHAT PENAMPAKAN PERTAMA: ORANG TUA


E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |9
Copyright © Maret 2023

Pada tahun 535 S.E.U (595 S.E.U) atau tahun 52 S.E.B, memasuki usia-Nya yang kedua
puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan
dan hiburan di sekeliling-Nya.. Ia merasa penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan
hal-hal di luar tembok istana. Setelah mendapatkan ijin dari ayah-Nya, dengan ditemani oleh
Channa, kusir-Nya keluar istana orang-orang menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya
terasa semarak dan indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal
yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.

Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di sepanjang jalan tanpa
sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. dan Ia
bertanya kepada kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan
bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang
tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera
memerintahkan Channa untuk kembali ke istana. Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya
oleh apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu
angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah ada
yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.

MELIHAT PENAMPAKAN KEDUA: ORANG SAKIT

Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha keluar istana. Namun Ia tidak ingin
kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk
kehidupan sehari-hari rakyat-Nya.

Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia
berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan,
panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk
mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang
lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Seorang lelaki sedang berbaring di tanah
sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-
noda hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya,
sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk
kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah
oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan
bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu.
Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Channa pun menjawab
bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu.
Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi
ini, Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.

MELIHAT PENAMPAKAN KETIGA: ORANG MATI

Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga
bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk
menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang di
jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang
lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang
yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang
terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati,
semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |10
Copyright © Maret 2023

Pangeran Siddhattha sekembalinya ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk


dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata:
“Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu
mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu,
Yasodharā, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan
mati.”

Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru pulang setelah melihat
mayat. Walaupun raja telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar tidak melihat
hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya
sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.

MELIHAT PENAMPAKAN KEEMPAT: PETAPA

Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang
telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota . Namun, karena merasa belum puas dengan
apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut
sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Raja tidak memiliki alasan
apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.

Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah
sampai di taman, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang
dari kejauhan. pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab
bahwa orang itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan
berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-
Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang
merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri
petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.

Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan
bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan
menyadari bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.

LAHIRNYA RĀHULA

Ketika Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan benak-Nya dipenuhi dengan gagasan
untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang diutus oleh Raja
Suddhodana mengabarkan bahwa Putri Yasodharā telah melahirkan seorang bayi laki-laki
yang tampan. Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati dan berujar: “Rāhu jāto,
bandhanam jātam” (“Sebuah ikatan telah lahir, sebuah belenggu telah muncul!”). Kelahiran
putra-Nya tersebut dianggap merupakan halangan karena kecintaan-Nya kepada keluarga dan
anak-Nya yang baru lahir tersebut akan menimbulkan kemelekatan yang akan merintangi
niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan. Mengetahui apa yang diutarakan
pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama cucunya
tersebut dengan nama “Rāhula”, yang berarti “ikatan”.

Keempat penampakan agung terjadi satu per satu. Apa yang telah diramalkan kedelapan
brahmin cendekia menjadi kenyataan.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |11
Copyright © Maret 2023

MENINGGALKAN ISTANA

Pangeran Siddhattha, semakin tidak melekat pada objek kenikmatan indrawi, yang semuanya
bukan merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita
yang lebih mendalam, selanjutnya bertekad meninggal istana.

Pada malam purnama, di bulan Āsāḷha, tahun 594 Sebelum Era Umum (tahun 534 SEU
secara konsensus sejarawan) atau tahun 51 Sebelum Era Buddhis, di usia ke 29 tahun, pada
waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan
menunggangi Kanthaka kudaNya. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan Sang
Pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka
berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.

MEMOTONG RAMBUT

Pangeran Siddhattha menunggangi si kuda putih Kanthaka yang melesat dengan kencang.
Namun setelah sesaat perjalanan, sebuah gagasan muncul pada-Nya untuk memandangi
Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu dan membalikkan badan untuk memandangi
kota tersebut untuk terakhir kalinya. Tepat di tempat kuda istana Kanthaka berhenti itu
akhirnya dibangun sebuah kuil suci (cetiya) yang disebut Cetiya Kanthakanivatta. Setelah itu,
Ia melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga kerajaan, yaitu: Sākya, Koliyā, dan Mallā.
Akhirnya Ia tiba di tepi Sungai Anomā dan menyeberanginya.

Setelah menjelang pagi. Pangeran Siddhattha turun dari punggung Kanthaka. Ia meminta
Channa untuk pulang kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda
kebesaran kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Setelah Pangeran Siddhattha
menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang
dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu ke udara. Kini
rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa
untuk segera kembali ke Kapilavatthu.

Kehidupan Petapa Gotama


Setelah memutuskan untuk meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang petapa,
Siddhattha Gotama tinggal di Anupiya-ambavana, sebuah hutan mangga (Pali: amba;
Sanskerta: āmra; Latin: Magnifera indica) di dekat Kota Anupiyā, tidak jauh dari Sungai
Anomā selama tujuh hari pertama. Kemudian pada hari kedelapan Ia pergi sejauh tiga puluh
yojana menuju ke Rājagaha (Sanskerta: Rājagṛha), ibu kota Kerajaan Magadha, di India
Utara Di Rājagaha, Ia menolak tawaran Raja Bimbisāra yang akan memberikan separuh
kekuasaannya setelah mengetahui identitas Siddhattha Gotama yang merupakan seorang
pangeran.

DUA ORANG GURU

Kemudian Petapa Gotama melanjutkan perjalanan-Nya dengan menuruni Bukit Pandava


(Pali: Paṇḍava-pabbata; Sanskerta: Pāṇḍavaḥ-parvata) dan menuju ke Kota Vesāli, ibu kota
negara Konfederasi Vajjī, salah satu negara dari 16 Mahājanapada (Negara Besar). Saat itu
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |12
Copyright © Maret 2023

Vesāli merupakan tempat tinggal seorang guru agama terkemuka bernama Āḷāra Kālāma
(Sanskerta: Ārāḍa Kālāma) bersama dengan para siswanya. Āḷāra Kālāma diyakini telah
mencapai beberapa tingkat pencapaian spiritual dari meditasi hingga pada tingkatan
konsentrasi yang tinggi yang disebut Jhāna Tataran Kekosongan (Pali: ākiñcaññāyatana
jhāna; Sanskerta: ākiṃcanyāyatana dhyāna). Petapa Gotama memutuskan menjalani hidup
suci dengan bergabung dalam persamuhan Āḷāra Kālāma.

Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa, Petapa Gotama telah
mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Āḷāra Kālāma bahkan mencapai pencapaian
yang sama dengan guru-Nya itu. Mendengar hal tersebut Āḷāra Kālāma berniat menyerahkan
setengah pengikutnya kepada petapa Gotama. Namun setelah merenungkan sifat dan manfaat
dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah
membawa pada Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk
melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati, usia tua, dan
penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.

Petapa Gotama segera meninggalkan Vesāli dan berjalan menuju negara Magadha. Ia
menyeberangi Sungai Mahī, dan sejenak kemudian sampai di sebuah pertapaan lain di tepi
sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh seorang guru agama yang sangat dihormati bernama
Uddaka Rāmaputta (Uddaka, putra Rāma). Kemudian Petapa Gotama pun bergabung dan
menjadi siswa dari Uddaka Rāmaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Petapa Gotama
mampu menguasai ilmu dan mencapai hasil yang diajarkan oleh Uddaka Rāmaputta.

Setelah itu Uddaka Rāmaputta pun akhirnya mengajarkan Petapa Gotama ajaran dari Rāma,
mendiang ayahnya yang telah mencapai Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan
Tanpa-Pencerapan (Pali: nevasaññānāsaññāyatana jhāna; Sanskerta:
naivasaṃjñānāsaṃjñāyatana dhyāna) sebagai hasil praktik meditasinya tersebut. Saat itu
Uddaka Rāmaputta sendiri belum mencapai tahap konsentrasi dari hasil praktik ajaran
mendiang ayahnya tersebut, ia hanya memiliki pengetahuan teori dari praktik yang
diwariskan kepadanya.

Dengan keteguhan, ketekunan, konsentrasi dan perhatian murni, Petapa Gotama


mempraktikkan teknik meditasi yang diajarkan oleh gurunya tersebut hingga dengan segera
Ia berhasil mencapai tingkatan Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-
Pencerapan. Mendengar pencapaian siswanya tersebut, Uddaka Rāmaputta merasa gembira
dan memberikan penghormatan kepada Petapa Gotama dengan meminta-Nya untuk
memimpin dan menjadi guru dari semua siswa di pertapaannya tersebut termasuk dirinya.
Naumn, setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya tersebut, Ia
menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada
Pembebasan Sejati. Petapa Gotama akhirnya meninggalkan pertapaan Uddaka Rāmaputta.

MENJALANI PRAKTIK PERTAPAAN KERAS

Setelah meninggalkan pertapaan Uddaka Rāmaputta, Petapa Gotama menuju ke Senā-nigāma


(kota niaga Senā) di Uruvelā dan memutuskan untuk menetap di Hutan Uruvelā yang berada
tidak jauh dari kota niaga tersebut. Selama tinggal di sana, Petapa Gotama pernah dihinggapi
oleh rasa takut dan ngeri yang dapat Ia taklukkan. Di sana pulalah Petapa Gotama bertemu
dengan kelompok 5 orang petapa (Pali: pañcavaggiyā; Sanskerta: pañcavargya) yang
bernama Koṇḍañña (Aññāta-Kondañña), Bhaddiya, Vappa, Mahānāma, dan Assaji.
Kelimanya menemani Petapa Gotama dengan harapan Ia segera menjadi Buddha.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |13
Copyright © Maret 2023

Selama di Hutan Uruvelā, Petapa Gotama menjalankan latihan tapa yang paling berat
(dukkaracariya), yang sulit dipratikkan oleh orang biasa. Ia menyatakan tekad usaha kuat
beruas empat yang dikenal sebagai padhāna-viriya, sebagai berikut: “Biarlah hanya kulit-Ku
yang tertinggal! Biarlah hanya urat daging-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya tulang
belulang-Ku yang tertinggal! Biarlah daging dan darah-Ku mengering!” Dengan tekad ini, Ia
tak akan mundur sejenak pun, namun akan melakukan usaha sekuat tenaga dalam praktik itu.

Dalam praktik pertapaan yang keras tersebut, Petapa Gotama berlatih untuk mengurangi
makan sedikit demi sedikit hingga tidak makan sama sekali. Karena melakukan hal tersebut,
tubuh-Nya berangsur-angsur menjadi semakin kurus dan akhirnya hanya tinggal tulang
belulang. Karena kurang makan, sendi-sendi dalam tubuh dan anggota tubuh-Nya
menyembul seperti sendi rerumputan atau tanaman menjalar yang disebut āsītika dan kāḷa
(Latin: Polygonum aviculare dan S. lacustris).

MENCARI JALAN LAIN UNTUK MENCAPAI PENCERAHAN

Setelah mempraktikkan pertapaan keras selama enam tahun, pada suatu saat di hari pertama
bulan mati, di bulan Vesākha, tahun 588 Sebelum Era Umum (528 SEU) atau tahun 45
Sebelum Era Buddhis (SEB), Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia belum juga mencapai
Pencerahan Sempurna, belum mencapai Pengetahuan Segala Sesuatu (sabbaññuta nāna).
Saat merenungkan apakah ada cara lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, Ia teringat
bahwa Beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhāna Pertama saat mempraktikkan
ānāpāna bhāvanā ketika duduk di bawah keteduhan pohon jambul/jamblang (Latin: Eugenia
Jambolana) sewaktu perayaan bajak tanah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja
Suddhodana.

Setelah merenungkan manfaat dari ānāpāna bhāvanā (meditasi memperhatikan nafas), sejak
saat itu Petapa Gotama meninggalkan praktik tapa keras dan selalu menuju ke Desa Senāni
untuk menerima dana makanan serta makan setiap pagi guna memulihkan kondisi tubuhnya.
Dengan demikian Ia bisa melanjutkan pencarian-Nya dengan menggunakan latihan
pengembangan ānāpāna bhāvanā .

Melihat Petapa Gotama keluar dari praktik pertapaan keras dan mengubah cara latihan-Nya,
kelima petapa, yang selama ini menemani dan melayani Petapa Gotama selama enam tahun
dengan pengharapan yang tinggi, mulai meragukan-Nya dan berpikir Ia telah berhenti
berjuang dan kembali menikmati kemewahan.

Setelah itu, kelima petapa meninggalkan-Nya dan menuju ke Taman Rusa (Pali: Migadāya,
Sanskerta: Mrigadava), di Isipatana dekat Bārānasī (Benares; Varanasi). Setelah para petapa
yang melayani-Nya tersebut meninggalkan diri-Nya, Petapa Gotama hidup menyendiri di
Hutan Uruvelā. Ia berdiam dalam suasana yang sangat terpencil, hidup dalam kesunyian total
yang mendukung tercapainya kemajuan yang luar biasa dalam pengembangan konsentrasi-
Nya.

PERSEMBAHAN DANA MAKANAN DARI SUJĀTĀ

Pada hari kelima belas di bulan Vesākha, tahun 588 SEU (528 SEU) atau tahun 45 SEB,
ketika fajar menyingsing, Petapa Gotama membersihkan tubuh-Nya, lalu pergi menuju ke
sebatang pohon jawi (Pali: ajapāla nigrodha; Latin: Ficus benghalensis; banyan India). Ia
duduk di bawah pohon itu sambil menunggu waktu untuk pergi menerima dana makanan.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |14
Copyright © Maret 2023

Saat itu pula merupakan waktu bagi masyarakat setempat untuk memberikan penghormatan
kepada para dewa, tidak terkecuali Sujātā, seorang dermawati, putri dari Senānī – seorang
hartawan di kota itu, yang telah lama melakukan penghormatan kepada dewa penjaga pohon
jawi karena telah terpenuhi harapannya untuk memiliki seorang putra.

Sujātā bangun pagi-pagi dan menanak sendiri nasi susu untuk persembahan. Saat menanak
nasi susu, ia memerintahkan pembantu perempuannya, Puṇṇa, untuk membersihkan kaki
pohon jawi tempat kediaman dewa penjaga yang selama ini ia berikan penghormatan dan
persembahan.

Ketika tiba di pohon jawi yang dimaksud, Puṇṇa melihat Petapa Gotama yang sedang duduk
menghadap ke timur, di kaki pohon tersebut. Dengan mengira Petapa Gotama sebagai dewa
penjaga pohon yang telah datang, Puṇṇa bergegas pulang dan melaporkan hal itu kepada
Sujātā. Mendengar berita tersebut Sujātā sangat bahagia. Ia menempatkan nasi susu yang
telah ditanaknya ke dalam sebuah mangkuk emas yang kemudian ia bungkus dengan sehelai
kain putih bersih, kemudian ia pergi bersama Puṇṇa menuju pohon jawi di mana Petapa
Gotama duduk bermeditasi.

Melihat Petapa Gotama yang dianggapnya sebagai dewa penjaga pohon dengan wajah-Nya
yang tampan dan tenang, hati Sujātā meluap gembira. Kemudian ia mendekati Petapa Gotama
dengan hormat lalu duduk di tempat yang sesuai, menurunkan mangkuk emas dari kepalanya
lalu membukanya dan mempersembahkan nasi susu dengan penuh bakti dan kebahagiaan
kepada Petapa Gotama seraya mengungkapkan pengharapannya agar segala cita-cita Petapa
Gotama juga terpenuhi seperti keinginannya memiliki putra yang juga telah terpenuhi. Petapa
Gotama menerima mangkuk emas berisi nasi susu itu dari tangan Sujātā.

Petapa Gotama juga bangkit dari tempat duduk-Nya, membawa mangkuk emas berisi nasi
susu tersebut, dan berjalan menuju ke tepi Sungai Nerañjarā. Ia meletakkan mangkuk itu,
kemudian membersihkan diri di Arungan Suppatiṭṭhita. Setelah keluar dari arungan tersebut,
Ia membawa mangkuk emas itu dan duduk di bawah naungan sebatang pohon. Mula-mula Ia
membuat nasi susu itu menjadi empat puluh sembulan cuil dan merenungkan dengan
berharap keempat puluh sembilan cuil nasi susu tersebut bisa menjadi zat makanan yang
dapat menghidupi tubuh-Nya selama tujuh minggu penuh. Setelah itu, Ia mulai memakannya.

Seusai makan, Ia membawa mangkuk emas itu menuju sungai dan mengucapkan tekad-Nya
menjadi Buddha. Ia kemudian mengapungkan mangkuk emas tersebut di Sungai Nerañjarā.

Pencapaian Pencerahan Sempurna Petapa Gotama


Setelah menerima persembahan nasi susu dari Sujātā di pagi hari, pada hari kelima belas di
bulan Vesākha, tahun 588 Sebelum Era Umum (528 SEU) atau tahun 45 Sebelum Era
Buddhis, Petapa Gotama kemudian pergi menuju hutan pohon sāla (Latin: Shorea robusta) di
tepi Sungai Nerañjarā. Di sana Ia beristirahat sejenak ddi bawah naungan rindang sebatang
pohon sāla sambil berkonsentrasi dalam keluar-masuk nafas (Pali: ānāpāna bhāvanā). Pada
senja sore hari itu, Ia menuju ke Hutan Gayā, ke kaki pohon bodhi (Pali: assattha; Latin:
Ficus religiosa).

Dalam perjalanan, Ia bertemu dengan seorang pengumpul rumput bernama Sotthiya, yang
tengah datang dari arah yang berlawanan sambil memikul rumput. Setelah tahu bahwa Petapa
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |15
Copyright © Maret 2023

Gotama memerlukan sedikit rumput, ia lalu mempersembahkan delapan genggam rumput


kusa kepada-Nya.

Sesampainya di pohon bodhi, Petapa Gotama memeriksa sekeliling untuk mencari tempat
yang sesuai untuk bermeditasi. Setelah itu, Ia duduk menghadap ke timur dengan bersilang
kaki. Ia menyatakan tekad-Nya yang bulat untuk tidak akan bangkit dari tempat duduk-Nya
walaupun hanya kulit, urat daging, dan tulang-Nya yang tertinggal, seluruh tubuh, daging,
dan darah-Nya mengering dan berkerut, kecuali dan sampai Ia mencapai Kebuddhaan.

TERCAPAINYA TIGA PENGETAHUAN SEJATI

Pada malam bulan purnama, bulan Vesak, 588 SEU, Petapa Gotama tetap duduk tenang
memusatkan perhatian-Nya.

Setelah Ia memasuki jhāna pertama, kedua, ketiga dan keempat dalam meditasi-Nya, pikiran-
Nya yang terkonsentrasi menjadi murni, cermelang, tanpa noda, tanpa cacat, mudah ditempa,
mudah dikendalikan, serta tak tergoyahkan. Saat itu Ia mengarahkan pikiran-Nya dan
mencapai tiga pengetahuan (Pali: tevijjā; Sanskerta: trividyā)

Pengetahuan pertama merupakan pengetahuan melihat dengan jelas dan rinci kelahiran-
kelahiran-Nya yang terdahulu (Pali: pubbenivāsānussati ñāṇa; Sanskerta:
purvanivāsānusmṛti jnāna). Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00
sampai 22.00.

Pengetahuan kedua merupakan pengetahuan mata dewa (Pali: dibbacakkhu ñāṇa; Sanskerta:
divyacaksus jnāna) yang dapat melihat dengan jelas lenyapnya dan munculnya kembali
makhluk hidup setelah mereka mati. Ia melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul
kembali ke dalam kondisi rendah dan mulia, cantik dan buruk, mujur dan malang. Hal ini
terjadi pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 sampai 02.00.

Pengetahuan ketiga merupakan pengetahuan akan penghancuran noda-noda batin (Pali:


āsavakkhaya ñāṇa; Sankserta: Asravaksaya jnāna). Ia mengetahui secara langsung segala
sesuatu sebagaimana adanya. Ia menyadari dan mencerap bahwa pikiran-Nya terbebas dari
noda keinginan indrawi, noda kehidupan, dan noda kebodohan batin. Dan ketika Ia terbebas,
muncullah pengetahuan bahwa Ia telah terbebas. Ia menyadari langsung bahwa sumber
kelahiran-Nya sudah dihancurkan; hidup suci sudah dijalankan; apa yang harus dilakukan
sudah dilakukan; tiada lagi kelahiran kembali di alam mana pun juga. Hal ini terjadi pada
waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 sampai 04.00. Ia mengetahui bahwa “inilah
penderitaan”, bahwa “inilah sumber penderitaan”, bahwa “inilah berakhirnya penderitaan”,
dan bahwa “inilah jalan menuju akhirnya penderitaan”.

Dengan tercapainya Pengetahuan Sejati Ketiga tersebut maka Petapa Gotama mencapai
Arahatta-Magga. Dan tanpa jeda waktu sedikit pun, Ia mencapai Arahatta-Phala, saat
pikiran-Nya menjadi benar-benar murni. Demikianlah Petapa Gotama menjadi Yang Sadar
(Buddha), Yang Terberkahi (Pali: Bhagavā; Sanskerta: Bhagavant), Yang Tercerahkan
Sempurna (Pali: Sammāsambuddha; Sanskerta: Samyaksambuddha).
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |16
Copyright © Maret 2023

Seiring dengan Pencerahan-Nya, Petapa Gotama juga memperoleh pengetahuan sempurna


tentang Empat Kebenaran Ariya (Pali: Cattāri Ariya Saccāni; Sanskerta: Catvāri Ārya
Satyāni), Empat Pengetahuan Analisa (Pali: paṭisambhidā ñāṇa; Sanskerta: pratisambhidā
jnāna), serta Enam Pengetahuan Khusus (Pali: Asādhāraṇa ñāṇa; Sanskerta:Asādhāraṇa
jnāna), yang kesemuanya merupakan Kebijaksanaan Beruas Empat Belas dari seorang
Buddha.

Demikianlah menjelang fajar pada hari keenam belas, bulan Vesākha 588 SEU, atau tahun 45
Sebelum Era Buddhis, pada usia tiga puluh lima tahun, Petapa Gotama mencapai
Kemahatahuan (Sabbaññutta ñāṇa; Sanskerta: Sarvajña jnāna) dan menjadi Buddha dari tiga
dunia dengan usaha-Nya sendiri.

UNGKAPAN KEBAHAGIAAN

Saat fajar, pada hari Pencerahan-Nya, pikiran Buddha dipenuhi dengan kegiuran mendalam
(Pali: pīti; Sanskerta: priti) saat Ia tengah merenungkan bahwa Ia mampu menemukan
kedamaian dan kebahagiaan abadi dari Pembebasan (Pali: Nibbāna; Sanskerta: Nirvāṇa) yang
telah dicari-Nya begitu lama, Ia mengungkapkan kebahagiaan-Nya dengan mengucapkan dua
bait syair nyanyian pujian kebahagiaan (udāna).

“Anekajāti saṃsāraṃ sandhāvissaṃ anibbisaṃ


Gahakārakaṃ gavesanto dukkhā jāti punappunaṃ.”

“Gahakāraka diṭṭho’si puna gehaṃ na kāhasi


Sabbā te phāsukā bhaggā gahakauṭaṃ visaṅkhitaṃ
Visaṅkhāragataṃ cittaṃ taṇhānaṃ khayamajjhagā.”

“Beraneka kelahiran di samsara telah Kulalui


Untuk mencari, namun tak Kutemukan, pembuat rumah ini.
Sungguh menyedihkan, terlahir berulang kali!”

“O pembuat rumah! Sekarang engkau telah terlihat!


Engkau tak dapat membuat rumah lagi!
Semua kasaumu telah dihancurkan!
Batang bubunganmu telah diruntuhkan!
Kini batin-Ku telah mencapai Yang Tak Terkondisi!
Tercapai sudah berakhirnya nafsu keinginan!”

TUJUH MINGGU SETELAH PENCERAHAN

Setelah Pencerahan, Buddha tinggal selama tujuh minggu di tujuh tempat yang berlainan di
bawah pohon bodhi dan sekitarnya. Selama masa itu, Ia tidak makan sama sekali; tubuh-Nya
terpelihara oleh zat makanan dari nasi susu yang dipersembahkan oleh Sujātā.

Minggu Pertama – Duduk di Bawah Pohon Bodhi

Buddha duduk bersilang kaki di bawah pohon bodhi tanpa mengubah posisi tubuh-Nya
selama minggu pertama, sambil mengalami kebahagiaan Pembebasan (Pali: vimuttisukha;
Sankserta: vimuktisukha). Pada hari ketujuh, Ia keluar dari keadaan konsentrasi, dan selama
waktu dari jaga pertama hingga ketiga malam itu Ia merenungkan Sebab Musabab Yang
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |17
Copyright © Maret 2023

Saling Bergantungan (Pali: Paṭiccasamuppāda; Sanskerta: Pratītyasamutpāda). Minggu


pertama ini dikenal sebagai Minggu Duduk (Pali: pallaṅka-sattāha; Sankserta: palyaṅka-
saptaha).

Minggu Kedua – Menatapi Pohon Bodhi


Pada hari kedelapan, Buddha bangkit dari duduk lalu berjalan beberapa langkah ke arah timur
laut, kemudian Ia berdiri sambil menatap pohon bodhi terus-menerus tanpa mengejapkan
mata selama seminggu penuh. Hal ini dilakukan-Nya sebagai tanda terima kasih dan
penghargaan yang mendalam kepada pohon bodhi yang telah menaungi-Nya selama
perjuangann-Nya mencapai Pencerahan. Minggu kedua ini dikenal sebagai Minggu Menatap
Tanpa Berkedip (Pali: animisa-sattāha; Sankserta: animiṣa-saptaha).

Minggu Ketiga – Berjalan di Sekitar Pohon Bodhi


Pada hari kelima belas, Buddha tetap tinggal di sekitar pohon bodhi dan berjalan-jalan sambil
merenungkan Dhamma dan terserap dalam Buah Kesucian/Hasil Pencapaian (Pali, Sanskerta:
Samāpatti Phala). Minggu ketiga ini dikenal sebagai Minggu Berjalan (Pali: caṅkama-
sattāha; Sankserta: caṅkrama-saptaha).

Minggu Keempat – Merenungkan Dhamma Lebih Lanjut


Pada hari kedua puluh dua, Buddha tinggal di sebuah bangunan di sebelah barat laut pohon
bodhi. Ia melakukan perenungan terhadap Dhamma lebih lanjut hingga sampai dengan
menguraikan (Pali: paṭṭhāna; Sanskerta: prasthāna) Dhamma yang berkaitan dengan 24
kondisi dari sebab dan akibat (Pali: paccaya 24; Sanskerta: pratyaya 24). Minggu keempat ini
dikenal sebagai Minggu Gerha Permata (Pali: ratanaghara-sattāha; Sanskerta: ratnagrha-
saptaha).

Minggu Kelima – Berada di Pohon Jawi Ajapāla


Pada hari kedua puluh sembilan, Buddha berjalan kaki kembali ke pohon jawi ajapala (Pali:
ajapāla nigrodha; Latin: Ficus benghalensis; banyan India) yang terletak di sebelah timur
pohon bodhi dan duduk bersilang kaki di sana. Pada minggu ini Buddha bertemu dengan
brahmin yang congkak (huhunkajātika) dan selanjutnya bermeditasi di sana. Minggu kelima
ini dikenal sebagai Minggu Jawi (Pali: ajapāla–sattāha; Sanskerta: ajapāla-saptaha).

Minggu Keenam – Duduk di Bawah Pohon Putat


Pada hari ketiga puluh enam, Buddha menuju ke kaki pohon putat (Pali, Sanskerta: ambuja;
Latin: Barringtonia acutangula; putat India) yang tidak jauh dari pohon jawi. Ia melewatkan
tujuh hari dengan duduk bersilang kaki dan menikmati kebahagiaan Pembebasan. Saat itu
hujan turun dengan deras, seekor Raja Ular Kobra (Pali, Sanskerta: Nāga) Mucalinda keluar
dari kediamannya dan membelitkan dirinya sebanyak tujuh lingakaran pada tubuh Sri Buddha
serta menaungi kepala-Nya dengan kudungnya yang lebar sampai pada akhir minggu
keenam. Minggu keemam ini dikenal sebagai Minggu Mucalinda (Pali: mucalinda–sattāha;
Sanskerta: mucalinda-saptaha).

Minggu Ketujuh – Duduk di Bawah Pohon Rājāyatana


E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |18
Copyright © Maret 2023

Pada hari keempat puluh tiga, Buddha menuju ke kaki pohon rājāyatana (Pali: piyāla;
Sanskerta: rājānadanha, priyāla; Latin: Buchanania latifolia; chironji) yang terletak di
selatan pohon bodhi. Ia duduk bersilang kaki di bawah pohon itu tanpa gangguan apa pun,
sambil menikmati kebahagiaan Pembebasan, selama seminggu. Minggu ketujuh ini dikenal
sebagai Minggu Rājāyatana (Pali: rājāyatana–sattāha; Sanskerta: rājānadanha-saptaha).

PERSEMBAHAN DANA MAKANAN PERTAMA

Pada senja hari pertama dari minggu kedelapan setelah Pencerahan, saat Buddha sedang
duduk di kaki pohon rājāyatana, dua orang pedagang bersaudara bernama Tapussa dan
Bhallika yang berasal dari Pokkharavatī (Sanskerta: Puṣkalāvatī – sekarang Charsadda), di
daerah Ukkalā (sekarang di daerah Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan), dengan berkereta kuda
menuju Majjhimadesa (sekarang India Tengah), melewati jalan utama yang tidak jauh dari
pohon di mana Sri Buddha berada.

Setelah melihat Buddha, Tapussa dan Bhallika mempersembahkan kue nasi dan laḍḍu
kepada-Nya. Kemudian Buddha menerima kue nasi dan laḍḍu itu dengan mangkuk dana
yang baru. Setelah memakan persembahan itu, Ia menyatakan terima kasih kepada pedagang
bersaudara itu, yang menjadi sangat terkesan. Dan mereka menyatakan diri bernaung kepada
Buddha dan Dhamma. Demikianlah Tapussa dan Bhallika menjadi dua siswa awam pertama
dari Buddha dengan mengambil Dua Pernaungan yaitu Buddha dan Dhamma saja.

Pemutaran Roda Dhamma


Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, muncul dalam pikiran Sri Bhagavā mengenai
betapa dalamnya, sungguh halusnya Dhamma yang telah ditemukan-Nya. Ia
mempertanyakan apakah manusia dapat memahaminya. Namun setelah dengan welas asih-
Nya, Ia memindai seluruh dunia dengan menggunakan Mata Buddha-Nya (Buddhacakkhu),
melihat bahwa ada manusia yang dapat memahami Dhamma yang ditemukan-Nya, maka Sri
Bhagavā memiliki niat kuat untuk menyebarkan Dhamma. Kemudian Ia berkata: “Apārutā
tesaṃ amatassa dvārā,. Ye sotavanto pamuñcantu saddhaṃ” – “Pintu menuju tiada kematian,
Nibbana, sekarang telah terbuka. Akan Kubabarkan Dhamma kepada semua makhluk agar
mereka yang memiliki keyakinan dan pendengaran yang baik bisa sama-sama memetik
manfaatnya.”

Setelah memantapkan niat untuk mengajarkan Dhamma, Sri Bhagavā lalu menimbang-
nimbang kepada siapakah Ia perlu mengajarkan Dhamma untuk pertama kalinya, siapakah
yang akan segera memahami Dhamma yang Ia temukan. Lalu Ia berpikir bahwa Āḷāra
Kālāma, salah satu guru-Nya adalah orang yang bijaksana, terpelajar, dan berpikiran tajam,
serta sedikit debu saja di matanya. Jika Ia mengajarkan Dhamma pertama kalinya kepadanya,
Āḷāra Kālāma akan segera memahaminya. Namun kemudian Sri Bhagavā mengurungkan
niat-Nya setelah menyadari bahwa Āḷāra Kālāma telah meninggal tujuh hari yang lalu.

Kemudian, Sri Bhagavā berpikir tentang guru-Nya yang lain, Uddaka Rāmaputta, namun
lagi-lagi Sri Bhagavā mengurungkan niat-Nya setelah menyadari bahwa Uddaka Rāmaputta
telah meninggal kemarin malam.

Akhirnya Sri Bhagavā memikirkan kelima petapa (pañcavaggiyā) yang melayani-Nya


semasa Ia melakukan tapa berat di Hutan Uruvelā. Dengan Mata Buddha-Nya yang murni
melampaui kemampuan pandang manusia, Ia mengetahui bahwa mereka tengah berdiam di
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |19
Copyright © Maret 2023

Isipatana di dekat Banārasī (Varanasi/Banāras/Benares). Demikianlah, setelah tinggal di


Uruvelā selama yang dikehendaki-Nya, Ia berjalan menuju Banārasī, yang berjarak delapan
belas yojana.

LIMA SISWA PERTAMA

Pada senja yang sejuk, di hari purnama bulan Āsāḷha, 588 S.E.U, Sri Bhagavā tiba di Taman
Rusa di Isipatana. Kemudian, ketika kelima petapa melihat Sri Bhagavā semakin dekat,
mereka mulai memperhatikan bahwa Ia tidak tampak seperti Petapa Gotama yang dulu
mereka layani di Hutan Uruvelā selama enam tahun. Mereka melihat bahwa tubuh-Nya
bercahaya cemerlang tiada banding, dan mereka juga mendapatkan kesan tenteram dan damai
dari diri-Nya. Tak seorang pun di antara mereka yang sadar apa yang tengah terjadi karena
mereka akhirnya tak kuasa menaati kesepakatan awal mereka yang menolak menghormati-
Nya. Dengan segera mereka berdiri. Salah satu mendekati-Nya dan membawakan mangkuk
serta jubah luar-Nya; yang lain menyiapkan tempat duduk; yang lainnya membawakan air,
tatakan kaki, dan handuk untuk mencuci kaki-Nya. Dan setelah Sri Bhagavā duduk, mereka
memberikan hormat dan menyapa-Nya.

Setelah itu, Sri Bhagavā menyatakan bahwa diri-nya telah berhasil mengatasi kelahiran dan
kematian dalam hidup ini dan akan mengajarkan Dhamma yang Ia temukan kepada mereka.
Dan setelah kelima petapa itu dapat diyakinkan oleh Sri Bhagavā, kelima petapa itu duduk
diam, dan siap menerima petunjuk-Nya.

Sri Bhagavā membabarkan kotbah pertama-Nya, Dhammacakkappavattana Sutta (Sanskerta:


Dharmacakra Pravartana Sūtra – Khotbah Mengenai Pemutaran Roda Dhamma). Dalam
khotbah ini, Sri Bhagavā membabarkan kepada kelima petapa tersebut mengenai keberadaan
dua jalan ekstrem – yaitu pemanjaan diri dan penyiksaan diri – yang harus dihindari oleh
orang yang telah meninggalkan keduniawian. Kemudian Ia membabarkan Empat Kebenaran
Mulia (Pali: cattāri ariyasaccāni; Sanskerta: catvāri āryasatyāni). Ia juga menunjukkan
praktik Jalan Tengah (Pali: majjhimā paṭipadā; Sanskerta: madhyamā-pratipada), yang
terdiri dari delapan faktor, yang juga disebut Jalan Mulia Berfaktor Delapan (Pali: ariyo
aṭṭhaṅgiko maggo; Sanskerta: āryāṣṭāṅgamārga).

Kelima petapa mendengarkan dengan saksama dan membuka hati mereka terhadap ajaran-
Nya. Dan ketika khotbah itu tengah dibabarkan, pandangan tanpa noda dan murni terhadap
Dhamma muncul dalam diri Koṇḍañña. Ia memahami: “Yaṃ kiñci samudayadhammaṃ
sabbaṃ taṃ nirodhadhammaṃ” – “Apa pun yang muncul pasti akan berakhir”. Demikianlah,
ia menembus Empat Kebenaran Mulia dan mencapai tataran kesucian pertama, Memasuki
Arus (Pali: Sotāpatti; Sanskerta: Srotāpatti) pada akhir pembabaran itu. Karena itu, ia juga
dikenal sebagai Aññata Kondañña – Kondañña Yang Mengetahui. Lalu ia memohon
penahbisan lanjut (Pali, Sankserta: upasampadā) kepada Sri Bhagavā. Untuk itu, Sri Bhagavā
menahbiskannya dengan berkata: “Ehi bhikkhu, svākkhāto Dhammo caro brahmacariyaṃ
sammā dukkhasa antakiriyāyā” – Mari, Bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan
sempurna. Jalanilah hidup suci demi berakhirnya penderitaan secara penuh”. Dengan
demikian, ia menjadi bhikkhu pertama dalam Buddha Sasana melalui penahbisan Ehi
Bhikkhu Upasampadā, “Penahbisan Mari Bhikkhu”.

Setelah itu, ketika ketiga petapa lainnya pergi menerima dana makanan, Sri Bhagavā
mengajarkan dan memberikan bimbingan Dhamma kepada Vappa dan Bhaddiya. Mereka
akhirnya menjadi murni dan mencapai tataran kesucian Sotāpatti. Dengan segera mereka
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |20
Copyright © Maret 2023

memohon untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu di bawah bimbingan-Nya. Keesokan harinya,


Mahānāma dan Assaji juga menembus Dhamma dan menjadi Sotāpanna. Tanpa jeda lagi
mereka juga memohon penahbisan lanjut dari Sri Bhagavā dan menjadi bhikkhu. Dengan
demikian, kelima petapa itu menjadi lima siswa bhikkhu yang pertama, yang juga dikenal
sebagai “Bhikkhū Pañcavaggiyā”. Sejak saat itu, Persamuhan Bhikkhu (Sangga Bhikkhu)
terbentuk.

Setelah kelima bhikkhu itu menjadi Sotāpanna, pada hari kelima Sri Bhagavā membabarkan
Anattalakkhaṇa Sutta (Sanskerta: Anātmalakṣaṇa Sūtra – Khotbah Mengenai Ciri Tiadanya
Inti Diri), yang dibabarkan sebagai tanya-jawab antara Sri Bhagavā dan kelima siswa suci-
Nya. Pada intinya, Sri Bhagavā menyatakan bahwa bentuk (Pali, Sanskerta: rūpa), perasaan
(Pali, Sanskerta: vedanā), pencerapan (Pali: sañña; Sanskerta: saṃjñā), bentukan batin (Pali:
saṅkhāra; Sankserta: samskāra), dan kesadaran (Pali: viññāṇa; Sanskserta: vijñāna) adalah
selalu berubah; dan apa yang selalu berubah tidaklah memuaskan (dukkha). Kemudian,
kesemuanya ini yang selalu berubah dan tidak memuaskan, harus dilihat sebagaimana adanya
dengan pengertian benar: “Ini bukan milikku (n’etaṃ mama); ini bukan aku
(n’eso’hamasmi); ini bukan diriku (na m’eso atta)”.

Mendengar kata-kata-Nya, kelima bhikkhu tersebut menjadi gembira dan bahagia. Dan
setelah Sri Bhagavā membabarkan khotbah ini, pikiran mereka terbebas dan kotoran batin,
tanpa kemelekatan; mereka mencapai tataran kesucian Arahatta.

PARA DUTA DHAMMA PERTAMA

Setelah Sri Bhagavā memberikan Pencerahan kepada kelima petapa, Beliau bersama kelima
siswa pertama-Nya itu berdiam di Taman Rusa di Isipatana untuk melewati musim hujan.
Dan ketika Sri Bhagavā sedang berjalan-jalan ditempat terbuka, Ia bertemu putra seorang
saudagar kaya, bernama Yasa yang mengalami kegundahan batin terhadap kehidupannya dan
pergi dari rumahnya. Yasa tidak lain adalah putra dari Sujātā dari Senā-nigāma, seorang
wanita yang pernah mempersembahkan nasi susu kepada Petapa Gotama sebelum
Pencerahan-Nya.

Setelah bertemu dengan Sri Bhagavā, Yasa mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh Sri
Bhagavā dengan saksama. Dan ketika batinnya sudah siap, bisa menerima, bebas rintangan,
bersemangat, dan yakin, Sri Bhagavā membabarkan Empat Kebenaran Mulia.

Ketika ayah Yasa mencari putranya yang telah pergi dari rumah, ia pun bertemu dengan Sri
Bhagavā. Kemudian Sri Bhagavā juga mengajarkannya ajaran bertahap dan Empat
Kebenaran Mulia seperti yang telah dilakukan-Nya terhadap Yasa. Setelah pembabaran
Dhamma selesai, ayah Yasa mencapai tataran kesucian Sotāpatti dan mengambil pernaungan
kepada Tiga Permata (Pali: Tiratana; Sanskerta: Triratna – Buddha, Dhamma dan Saṅgha).
Ia kumudian mengundang Sri Bhagavā ke rumahnya. Setelah ayahnya pergi, dengan hormat
Yasa memohon penahbisan awal (Pali: pabbajjā; Sanskerta: pravrajyā) dan ditahbiskan
dengan “Ehi bhikkhu, pabbajjā” – “Mari Bhikkhu, tinggalkan keduniawian” kemudian
dilanjutkan dengan penahbisan lanjut. Demikianlah Yasa menjadi seorang bhikkhu dan saat
itu mencapai tataran kesucian Arahatta.

Saat fajar tiba, Sri Bhagavā disertai enam siswa-Nya, menuju ke rumah Yasa untuk
memenuhi undangan. Setelah mengajarkan Dhamma kepada ibu Yasa yaitu Sujātā, dan
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |21
Copyright © Maret 2023

mantan istri Yasa, mereka menjadi Sotāpanna dan mengambil pernaungan kepada Buddha,
Dhamma dan Saṅgha.

Begitu pula kelima puluh empat teman Yasa yang empat diantaranya adalah sahabat karib
Yasa yang bernama Vimala, Subāhu, Puṇṇaji, dan Gavampati, mereka juga menerima
pengajaran dari Sri Bhagavā, menerima penahbisan menjadi bhikkhu, dan mencapai tataran
kesucian Arahatta.

Demikianlah, pada saat itu terdapat enam puluh satu Arahant di dunia, yaitu, Buddha,
Bhikkhū Pañcavaggiyā, Bhikkhu Yasa, dan kelima puluh empat sahabat Yasa.

Pada saat berakhirnya tiga bulan masa kediaman musim hujan (Pali: vassā; Sanskerta: varṣā),
Sri Bhagavā telah mencerahkan enam puluh tiga orang. Di antara mereka, enam puluh orang
mencapai tataran kesucian Arahatta dan memasuki Persamuhan Bhikkhu, sementara yang
lainnya – ayah, ibu, dan mantan istri Yasa menjadi Sotāpanna dan terkukuhkan sebagai siswa
awam sampai akhir hayat mereka. Kemudian, Sri Bhagavā bermaksud menyebarkan
Dhamma kepada semua makhluk di alam semesta, tanpa memandang apakah mereka adalah
dewa ataupun manusia, tanpa memandang apakah mereka berkasta tinggi, rendah, atau paria;
tanpa memandang apakah mereka raja ataupun pelayan, kaya ataupun miskin, cantik ataupun
buruk, sehat ataupun sakit, patuh ataupun tidak patuh pada hukum.

Kemudian Sri Bhagavā berkata kepada keenam puluh bhikkhu Arahant tersebut: “Caratha,
bhikkhave, cārikaṃ bahujanahitāya bahujanasukhāya lokānukampāya atthāya hitāya
sukhāya devamanussānaṃ. Mā ekena dve agamittha. Desetha, bhikkhave, dhammaṃ
ādikalyāṇaṃ majjhekalyāṇaṃ pariyosānakalyāṇaṃ sātthaṃ sabyañjanaṃ kevalaparipuṇṇaṃ
parisuddhaṃ brahmacariyaṃ pakāsetha. Santi sattā apparajakkhajātikā, assavanatā
dhammassa parihāyanti. Bhavissanti dhammassa aññātāro. Ahampi, bhikkhave, yena uruvelā
senānigamo tenupasaṅkamissāmi dhammadesanāyā.” (“Para Bhikkhu, Saya telah terbebas
dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Kalian
juga telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun
manusia. Pergilah, para Bhikkhu, demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, atas
dasar welas asih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan
manusia. Janganlah pergi berdua dalam satu jalan! Para Bhikkhu, babarkanlah Dhamma yang
indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, dalam makna
maupun isinya. Serukanlah hidup suci, yang sungguh sempurna dan murni. Ada makhluk
dengan sedikit debu di mata yang akan tersesat karena tidak mendengarkan Dhamma. Ada
mereka yang mampu memahami Dhamma. Para Bhikkhu, Saya sendiri akan pergi ke Uruvelā
di Senā-nigāma untuk membabarkan Dhamma.”)

Demikianlah, Sri Bhagavā mengutus keenam puluh siswa-Nya yang telah tercerahkan untuk
mengembara dan satu tempat ke tempat lain. Ini menandakan karya duta Dhamma pertama
dalam sejarah umat manusia. Mereka menyebarluaskan Dhamma yang luhur atas dasar welas
asih terhadap makhluk lain dan tanpa mengharapkan pamrih apa pun. Mereka
membahagiakan orang dengan mengajarkan moralitas, memberikan bimbingan meditasi, dan
menunjukkan manfaat hidup suci.

Empat Puluh Lima Tahun Membabarkan Dhamma


etelah Sri Bhagavā (Buddha) mengutus keenam puluh siswa-Nya, Ia sendiri tetap
melanjutkan pembabaran Dhamma tanpa kenal lelah selama empat puluh lima tahun. Selama
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |22
Copyright © Maret 2023

dua puluh tahun pertama masa pembabaran Dhamma ini, Sri Bhagavā melewatkan masa
berdiam musim hujan di berbagai tempat dan vihāra (baca: wihara). Namun, selama dua
puluh lima tahun terakhir, Ia melewatkan sebagian besar masa berdiam-Nya di Sāvatthī.
Berikut adalah kronologi pembabaran Dhamma yang dilakukan oleh Sri Bhagavā selama
empat puluh lima tahun dari tahun 588 Sebelum Era Umum (SEU) berdasarkan penanggalan
tradisi, atau 528 SEU berdasarkan penanggalan sejarah, atau 45 Sebelum Era Buddhis (SEB),
hingga 544 SEU, atau 484 SEU, atau tahun 1 SEB.

TAHUN PERTAMA (588 SEU/528 SEU/45 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Taman Rusa (Pali: Migadāya, Sanskerta: Mrigadava), di Isipatana dekat Bārānasī (Benares;
Varanasi), Kāsi.

Peristiwa utama:
Buddha membabarkan khotbah pertama Dhammacakkappavattana Sutta, Anattalakkhaṇa
Sutta, dan Ādittapariyāya Sutta; mengalihyakinkan kelima petapa (Pañcavaggiyā);
mendirikan Persamuhan (Saṅgha) Bhikkhu dan Tiga Pernaungan (Tisaraṇa);
mengalihyakinkan Yasa dan kelima puluh empat sahabatnya; mengutus para duta Dhamma
pertama; mengalihyakinkan ketiga puluh pangeran yang dikenal sebagai bhaddavaggiyā di
hutan Kappāsika; mengalihyakinkan ketiga Kassapa bersaudara beserta seribu orang pengikut
mereka.

TAHUN KEDUA SAMPAI KEEMPAT (587 – 585 SEU/527-525/44-42 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Vihara Hutan Bambu (Pali: Veluvanāramā; Sanskerta: Venuvanāramā), di dekat Rājagaha,
Magadha.

Peristiwa utama
Buddha memenuhi janji kepada Raja Bimbisāra; menerima Vihara Veluvana sebagai
pemberian dana; menyabdakan Nasihat Menuju Pembebasan (Pali: Ovāda Pāṭimokkha;
Sanskerta: Avavāda Prātimokṣa)[2]; menunjuk Sāriputta dan Moggallāna sebagai siswa
bhikkhu utama (Pali: aggasāvaka; Sanskerta: agraśrāvaka); mengunjungi Kapilavatthu;
mempertunjukkan mukjizat ganda (Pali: yamaka pāṭihāriya; Sanskerta: yamaka prātihārya);
menahbiskan Pangeran Rāhula dan Pangeran Nanda; mengukuhkan Raja Suddhodana, Ratu
Mahāpajāpatī Gotamī, serta Yasodharā ke dalam arus kesucian; menahbiskan keenam
pangeran Sākya (Ānanda, Anuruddha, Bhaddiya, Bhagu, Devadatta, dan Kimbila); bertemu
dengan Anāthapiṇḍika; menerima Vihara Hutan Jeta (Jetavana) di Sāvatthi, Kosala, sebagai
pemberian dana dari Anāthapiṇḍika yang telah membelinya dari Pangeran Jeta; bertemu
dengan Raja Pasenadi (Sanskerta: Prasenajit) dari Kosala; mendamaikan sengketa antara suku
Sākya dan Koliya; membabarkan Mahāsamaya Sutta.

TAHUN KELIMA (584 SEU/524 SU/41 SEB)


E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |23
Copyright © Maret 2023

Tempat kediaman musim hujan:


Balairung Puncak (Pali: Kūtāgārasālā; Sanskerta: Kūṭāgārasālā), Mahāvana, di dekat Vesāli,
Vajjī.

Peristiwa utama:
Wafatnya Raja Suddhodana; Sri Bhagavā mengizinkan Ratu Mahāpajāpatī Gotamī bersama
kelima ratus putri untuk menjadi bhikkhunī; mendirikan Saṅgha Bhikkhunī; membabarkan
Khotbah Penyaluran Derma (Pali: Dakkhiṇāvibhaṅga Sutta; Sankserta: Dakṣiṇāvibhāga
Sūtra).

TAHUN KEENAM (583 SEU/523 SEU/40 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Bukit Mankula (Pali: Mankulapabbata; Sanskerta: Mankulaparvata), di dekat Kosambī,
Vamsā.

Peristiwa utama:
Ratu Khemā dari Magadha menjadi bhikkhunī dan kemudian ditunjuk sebagai salah satu dari
kedua siswi bhikkhunī utama bersama dengan Uppalavannā dari Sāvatthi; Sri Bhagavā
melarang mempertunjukkan mukjizat demi keuntungan pribadi dan harga diri mereka sendiri;
Sri Bhagavā melakukan mukjizat ganda.

TAHUN KETUJUH (582 SEU/522 SEU/39 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Surga Tāvatiṃsa (Sankserta: Trāyastriṃśa)

Peristiwa utama:
Buddha melakukan mukjizat; melakukan pembabaran Abhidhamma[3] di Surga Tāvatiṃsa;
Ciñcāmānavikā dari Sāvatthi, memfitnah Sri Bhagavā di Vihara Jetavana.

TAHUN KEDELAPAN (581 SEU/521 SEU/38 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Hutan Bhesakala (Pali: Bhesakalāvana; Sanskerta: Bhēśkalāvana), di dekat Sumsumāragiri,
Distrik Bhaggā, Vamsā.

Peristiwa utama:
Pangeran Bodhi (Bodhirājakumāra) mengundang Sri Bhagavā ke Kokanada, istana barunya,
untuk menerima dana makanan dan Sri Bhagavā membabarkan Khotbah kepada
Bodhirājakumāra (Pali: Bodhirājakumāra Sutta; Sanskerta: Bodhirājakumāra Sūtra).

TAHUN KESEMBILAN (580 SEU/520 SEU/37 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Vihara Ghosita (Pali: Ghositārāma; Sanskerta: Ghuṣitārāma) di Kosambī, Vamsā.

Peristiwa utama:
Māgandiyā membalas dendam karena Sri Bhagavā menolaknya sebagai istri; terjadi sengketa
di antara para bhikkhu di Kosambī.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |24
Copyright © Maret 2023

TAHUN KESEPULUH (579 SEU/519 SEU/36 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Hutan Kecil Rakkhita (Pali: Rakkhitavanaṣaṇḍa; Sanskerta: Rakṣitavanaṣaṇḍa) di dekat Desa
Pārileyyaka, Vamsā.

Peristiwa utama:
Karena terjadi sengketa yang berkepanjangan di antara para bhikkhu di Kosambī, Sri
Bhagavā akhirnya menyendiri di Hutan Belukar Rakkhita, di dekat Desa Pārileyyaka,
ditemani oleh gajah Pārileyyaka. Pada penghujung kediaman musim hujan tersebut Ānanda,
atas nama para warga Sāvatthi, mengundang Sri Bhagavā untuk kembali ke Sāvatthi. Para
bhikkhu Kosambī yang bersengketa tersebut kemudian memohon maaf kepada Sri Bhagavā
dan kemudian menyelesaikan sengketa mereka.

TAHUN KESEBELAS (578 SEU/518 SEU/35 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Vihara Dakkhināgiri (Sankserta: Dakṣiṇagiri), di Avanti.

Peristiwa utama:
Buddha mengalihyakinkan Brahmin Kasī-Bhāradvāja dari Desa Ekānalā, dengan
membabarkan Khotbah kepada Kasī-Bhāradvāja (Pali: Kasī-Bhāradvāja Sutta); menuju ke
Kammasadamma di Negeri Kuru serta membabarkan Khotbah Besar/Panjang tentang
Perhatian Penuh (Pali: Mahā-satipaṭṭhāna Sutta; Sankserta: Maha-smṛtyupasthāna Sūtra) dan
Khotbah Besar/Panjang tentang Penyebab (Pali: Mahā-Nidāna Sutta; Sanskerta: Mahā-
Nidāna Sūtra).

TAHUN KEDUA BELAS (577 SEU/517 SEU/34 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Verañjā, di Pañcāla.

Peristiwa utama:
Sri Bhagavā memenuhi undangan seorang brahmin di Verañja untuk melewatkan kediaman
musim hujan sana. Sayangnya, waktu itu terjadi bencana kelaparan di sana. Akibatnya, Sri
Bhagavā dan para siswa-Nya hanya memperoleh makanan mentah yang biasanya diberikan
kepada kuda yang dipersembahkan oleh sekelompok pedagang kuda.

TAHUN KETIGA BELAS (576 SEU/516 SEU/33 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Bukit Batu Cadas Cālikā (Pali: Cālikāpabbata; Sankserta: Cālikāparvata), di Ceti[4].

Peristiwa utama:
Setelah melewati kediaman musim hujan, Sri Bhagavā menuju ke Kota Bhaddiya di Anga
untuk mengalihyakinkan sang hartawan Mendaka beserta istrinya yaitu Candapadumā,
putranya yaitu Dhanañjaya, menantunya yaitu Sumanadevī, cucu putrinya yang berumur
tujuh tahun yaitu Visākhā, serta pembantunya yaitu Punna; mengalihyakinkan Sīha, seorang
panglima di Vesali yang sekaligus merupakan pengikut Nigantha Nātaputta[5]; membabarkan
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |25
Copyright © Maret 2023

Khotbah Besar/Panjang Nasihat kepada Rāhula (Pali: Mahā-rāhulovāda Sutta; Sanskerta:


Mahā-rāhulovāda Sūtra).

TAHUN KEEMPAT BELAS (575 SEU/515 SEU/32 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Vihara Jetavana, di Savatthi, Kosala.

Peristiwa utama:
Rāhula, putra dari Pangeran Siddhattha yang kini menjadi Buddha, menerima penahbisan
lanjut dan menjadi bhikkhu; Sri Bhagavā membabarkan Khotbah Kecil/Singkat kepada
Rāhula (Pali: Cūla-rāhulovāda Sutta; Sanskerta: Kṣulla-rāhulovāda Sūtra), Khotbah
mengenai Bukit Semut (Pali: Vammīka Sutta; Sanskerta: Valmīka Sūtra) dan Khotbah Pali:
Sūciloma Sutta; Sanskerta: Sūciloma Sūtra).

TAHUN KELIMA BELAS (574 SEU/514 SEU/31 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Vihara Nigrodha (Pali: Nigrodhārāma; Sanskerta: Nyagrodhārāma) di Hutan Kecil Pohon
Jawi di Kapilavatthu, Kosala.

Peristiwa utama:
Wafatnya Raja Suppabuddha, ayah-mertua Pangeran Siddhattha (Sri Buddha).

TAHUN KEENAM BELAS (573 SEU/513 SEU/30 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Cetiya Aggālava, Kota Ālavī, di antara Sāvatthi (Kosala) dan Rājagaha (Magadha).

Peristiwa utama:
Sri Bhagavā menyelamatkan Ālavaka yang juga dikenal dengan nama Hatthaka.

TAHUN KETUJUH BELAS (572 SEU/512 SEU/29 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Vihara Hutan Bambu (Pali: Veluvanāramā; Sanskerta: Venuvanāramā), Kalandakanivāpa
(suaka alam tempat memberi makan tupai hitam), di dekat Rājagaha, Magadha.

Peristiwa utama:
Buddha membabarkan Khotbah Kemenangan (Pali: Vijaya Sutta; Sanskerta: Vijaya Sūtra);
membabarkan Khotbah Nasihat kepada Sigāla (Pali: Sigālovāda Sutta; Sanskerta: Srgālovāda
Sūtra), seorang perumah tangga muda Sigāla .

TAHUN KEDELAPAN BELAS Sampai KESEMBILAN BELAS (571 – 570 SEU/511-


510 SEU/28-27 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Bukit Batu Cadas Cālikā (Pali: Cālikāpabbata; Sankserta: Cālikāparvata), di Ceti.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |26
Copyright © Maret 2023

Peristiwa utama:
Sri Bhagavā memberikan khotbah kepada seorang gadis penenun beserta ayahnya di Kota
Ālavī; Sri Bhagavā mengalihyakinkan Kukkutamitta sang pemburu dan keluarganya.

TAHUN KEDUA PULUH (569 SEU/509 SEU/26 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Veluvanāramā, di dekat Rājagaha, Magadha.

Peristiwa utama:
Buddha menetapkan aturan-aturan Pārājika; menunjuk Ananda sebagai pengiring tetap;
pertemuan pertama dengan Jīvaka Komārabhacca; mengalihyakinkan Angulimāla; Sri
Bhagavā dituduh atas pembunuhan Sundarī; meluruskan pandangan salah Brahmā Baka;
menundukkan Raja Kobra (Pali, Sanskerta: Nāga) Nandopananda.

TAHUN KEDUA PULUH SATU SAMPAI KEEMPAT PULUH EMPAT (568-545


SEU/508-485/25-2 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Vihara Jetavana dan Vihara Pubba (Pali: Pubbārāma; Sanskerta: Purvārāma) di Sāvatthi,
Kosalā.

Peristiwa utama:
Kisah mengenai Raja Pukkusāti dari Gandhāra; Sri Bhagavā membabarkan Khotbah kepada
Ambattha (Pali: Ambattha Sutta; Sanskerta: Ambartha Sūtra) di Desa Iccānanagala;
penyerahan Vihara Pubba sebagai dana; wafatnya Raja Bimbisāra; Bhikkhu Devadatta
berusaha membunuh Sri Bhagavā; menjinakkan Gajah Nālāgiri; Bhikkhu Devadatta
menciptakan perpecahan di dalam Sangga; meninggalnya Bhikkhu Devadatta; pertemuan Sri
Bhagavā dengan Raja Ajatāsattu (Sanskerta: Ajātaśatru); wafatnya Raja Pasenadi dari
Kosala; membabarkan Khotbah mengenai Pertanyaan Sakka (Pali: Sakka Pañha Sutta;
Sanskerta: Śakra Praśna Sūtra).

TAHUN KEEMPAT PULUH LIMA (544 SEU/484 SEU/1 SEB)

Tempat kediaman musim hujan:


Desa Beluva/Veluva (Pali: Beluvagāma; Sanskerta: Veluvagrāma), di dekat Vesāli, Vajjī.

Peristiwa utama:
Buddha mengalihyakinkan Upāli Gahapati, siswa utama Nigantha Nātaputta; membabarkan
ketujuh kondisi kesejahteraan bagi para penguasa dunia dan para bhikkhu; menyampaikan
ceramah Cermin Dhamma (Pali: Dhammādāsa dhammapariyāya; Sanskerta: Dharmādarśa
Dharmaparyāya); menerima Hutan Mangga (Pali: Ambapālivana; Sanskerta: Amrapālivana)
dari Ambapālī sebagai persembahan dana; wafatnya Sāriputta dan Moggallāna; Sri Bhagavā
sakit keras; membabarkan Empat Sumber Acuan Utama (Pali: Cattāro Mahāpadesā;
Sankserta: Catu Mahāpadeśa); menyantap Sūkaramaddava yang dipersembahkan oleh Cunda
Kammāraputta (Sanskerta: Kārmāraputra – Putra Pandai Besi) di Pāvā, Mallā ; menerima
petapa kelana Subhadda sebagai siswa terakhir.

KEGIATAN SEHARI-HARI SRI BHAGAVĀ


E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |27
Copyright © Maret 2023

Selama empat puluh lima tahun Sri Bhagavā membabarkan Dhamma dengan semangat. Dan
setiap hari Ia melakukan kegiatan rutin-Nya tanpa mengenal jenuh.

Kegiatan harian yang dilakukan Sri Bhagavā bisa dibagi ke dalam lima sesi, yaitu: (1)
kegiatan pagi (pure-bhatta kicca), (2) kegiatan siang (pacchā-bhatta kicca), (3) kegiatan
waktu jaga pertama malam (purimāyāma kicca), (4) kegiatan waktu jaga pertengahan malam
(majjhimāyāma kicca), dan (5) kegiatan waktu jaga terakhir malam (pacchimāyāma kicca).

Kegiatan Pagi (sekitar pukul 06.00 – 12.00)

Sri Bhagavā bangun pukul 04.00, kemudian setelah mandi Ia bermeditasi selama satu jam.
Setelah itu pada pukul 05.00, Beliau memindai dunia dengan Mata Buddha-Nya untuk
melihat siapa yang bisa Ia bantu. Pukul 06.00, Sri Bhagavā menata jubah bawah,
mengencangkan ikat pinggang, mengenakan jubah atas, membawa mangkuk dana-Nya, lalu
pergi menuju ke desa terdekat untuk menerima dana makanan. Terkadang Sri Bhagavā
melakukan perjalanan untuk menuntun beberapa orang ke jalan yang benar dengan
kebijaksanaan-Nya. Setelah menyelesaikan makan sebelum tengah hari, Sri Bhagavā akan
membabarkan khotbah singkat; Ia akan mengukuhkan sebagian pendengar dalam Tiga
Pernaungan. Kadang Ia memberikan penahbisan bagi mereka yang ingin memasuki
Persamuhan.

Kegiatan Siang (sekitar pukul 12.00 – 18.00)

Pada waktu ini, biasanya digunakan oleh Sri Bhagavā untuk memberikan petunjuk kepada
para bhikkhu dan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Setelah itu Sri Bhagavā
akan kembali ke bilik-Nya untuk beristirahat dan memindai seisi dunia untuk melihat siapa
yang memerlukan pertolongan-Nya. Lalu, menjelang senja, Sri Bhagavā menerima para
penduduk kota dan desa setempat di aula pembabaran serta membabarkan khotbah kepada
mereka. Saat Sri Bhagavā membabarkan Dhamma, masing-masing pendengar, walaupun
memiliki perangai yang berlainan, berpikir bahwa khotbah Sri Bhagavā ditujukan secara
khusus kepada dirinya. Demikianlah cara Sri Bhagavā membabarkan Dhamma, yang sesuai
dengan waktu dan keadaannya. Ajaran luhur dari Sri Bhagavā terasa menarik, baik bagi
khalayak ramai maupun kaum cendekia.

Kegiatan Waktu Jaga Pertama Malam (sekitar pukul 18.00 – 22.00)

Setelah para umat awam pulang, Sri Bhagavā bangkit dari duduk-Nya pergi mandi. Setelah
mandi, Sri Bhagavā mengenakan jubah-Nya dengan baik dan berdiam sejenak seorang diri di
bilik-Nya. Sementara itu, para bhikkhu akan datang dari tempat berdiamnya masing-masing
dan berkmpul untuk memberikan penghormatan kepada Sri Bhagavā. Kali ini, para bhikkhu
bebas mendekati Sri Bhagavā untuk menghilangkan keraguan mereka, untuk meminta
nasihat-Nya mengenai kepelikan Dhamma, untuk mendapatkan objek meditasi yang sesuai,
dan untuk mendengarkan ajaran-Nya.

Kegiatan Waktu Jaga Pertengahan Malam (sekitar pukul 22.00 – 02.00)

Rentang waktu ini disediakan khusus bagi para makhluk surgawi seperti para dewa dan
brahma dari sepuluh ribu tata dunia. Mereka mendekati Sri Bhagavā untuk bertanya
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |28
Copyright © Maret 2023

mengenai Dhamma yang selama ini tengah mereka pikirkan. Sri Bhagavā melewatkan tengah
malam itu sepenuhnya untuk menyelesaikan semua masalah dan kebingungan mereka.

Kegiatan Waktu Jaga Terakhir Malam (sekitar pukul 02.00 – 06.00)

Rentang waktu ini dipergunakan sepenuhnya untuk Sri Bhagavā sendiri. Pukul 02.00 sampai
03.00, Sri Bhagavā berjalan-jalan untk mengurangi penat tubuh-Nya yang menjadi kaku
karena duduk sejak fajar. Pukul 03.00 sampai 04.00, dengan perhatian murni, Ia tidur di sisi
kanan-Nya di dalam Bilik Harum-Nya (Gandhakuti). Pada pukul 04.00 sampai 05.00, Sri
Bhagavā bangkit dari tidur, duduk bersilang kaki dan bermeditasi menikmati Nibbāna.

Perjalanan Terakhir Buddha Gotama

Menjelang tengah hari, setelah mempersiapkan diri, membawa mangkuk dan jubah-Nya, Sri
Bhagavā berjalan menuju Vesāli untuk mengumpulkan dana makanan. Saat itu adalah tahun
544 Sebelum Era Umum (SEU) berdasarkan tradisi, atau 484 SEU berdasarkan sejarah, tiga
bulan sebelum memasuki bulan Vesākha tahun 543 SEU (483 SEU), beberapa bulan setelah
Sāriputta dan Moggallāna, kedua Siswa Utama Sri Bhagavā mencapai Nibbāna Seutuhnya
(Pali: Parinibbāna; Sanskerta: Parinirvāṇa) di hari bulan purnama bulan Kattikā.

Setelah makanan terkumpul dan disantap, dalam perjalanan pulang Sri Bhagavā meminta
Bhikkhu Ānanda untuk mengambil sehelai tikar dan mengajaknya ke Cetiya Cāpāla di dekat
Vesāli. Setelah tiba di Cetiya Cāpāla, Sri Bhagavā memberikan sebuah petunjuk kepada
Bhikkhu Ānanda mengenai batas waktu kehidupan-Nya. Namun, saat itu Bhikkhu Ānanda
tidak menyadari petunjuk tersebut meskipun Sri Bhagavā mengulanginya sebanyak tiga kali.

Setelah mengulangi peringatan tersebut sebanyak tiga kali dan Bhikkhu Ānanda tidak
menanggapinya, Sri Bhagavā mempersilahkan Bhikkhu Ānanda untuk melakukan hal lain
yang sepatutnya ia perbuat. Bhikkhu Ānanda lalu bangkit dari tempat duduknya, memberi
hormat kepada Sri Bhagavā, dan mengundurkan diri dengan Sri Bhagavā tetap di sebelah
kanannya.

Pada saat kesendirian-Nya itu, Sri Bhagavā menetapkan bahwa Ia akan Parinibbāna tiga
bulan dari saat itu. Kemudian, Sri Bhagavā bersama dengan Bhikkhu Ānanda menuju
Balairung Puncak (Pali: Kūtāgārasālā; Sanskerta: Kūṭāgārasālā) di Mahāvana, dan
memintanya untuk memanggil semua bhikkhu yang berada di sekitar Vesāli untuk berkumpul
di aula pertemuan.

Setelah membabarkan mengenai Ketiga Puluh Tujuh Syarat Pencerahan (Pali:


Bodhipakkhiyādhammā; Sanskerta: Bodhipākṣikadharma) kepada Sangga (Pali: Saṅgha;
Sanskerta: Saṃgha) Bhikkhu, Sri Bhagavā memberitahukan saat Parinibbāna-Nya:

“Handa dāni, bhikkhave, āmantayāmi vo, vayadhammā saṅkhārā, appamādena sampādetha.


Naciraṃ tathāgatassaparinibbānaṃ bhavissati. Ito tiṇṇaṃ māsānaṃ accayena tathāgato
parinibbāyissatī.” (“Saat ini, para Bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian: semua hal yang
terbentuk dari perpaduan pasti akan hancur. Berusahalah dengan tekun! Mangkatnya
Tathāgata tak lama lagi akan terjadi. Tiga bulan sejak saat ini, Tathāgata akan mencapai
Parinibbāna.”)
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |29
Copyright © Maret 2023

Inilah yang dikatakan Sri Bhagavā. Setelah mengatakan hal tersebut, Sri Bhagavā
melantunkan syair berikut:

„„Paripakko vayo mayhaṃ, parittaṃ mama jīvitaṃ; Pahāya vo gamissāmi, kataṃ me


saraṇamattano. Appamattā satīmanto, susīlā hotha bhikkhavo; Susamāhitasaṅkappā,
sacittamanurakkhatha. Yo imasmiṃ dhammavinaye, appamatto vihassati; Pahāya
jātisaṃsāraṃ, dukkhassantaṃ karissatī.” (“Telah lanjut usia-Ku, hidup-Ku hanya tersisa
sedikit. Aku akan berangkat meninggalkan kalian. Aku telah menjadikan diri-Ku sebagai
pernaungan-Ku sendiri. Berusahalah dengan tekun dan dengan perhatian penuh! Bersikap
baik, O para Bhikkhu! Dengan pikiran yang terpusat penuh, jagalah batin kalian! Barang
siapa berusaha dengan tekun dalam ajaran ini, akan meninggalkan lingkaran tumimbal lahir
dan mencapai akhir segala derita.”)

Di hari berikutnya, saat fajar, Sri Bhagavā menata jubah-Nya; sambil membawa mangkuk
dana dan jubah luar-Nya, Ia menuju Vesāli untuk menerima dana makanan. Setelah
menerima dana makanan dan bersantap, saat meninggalkan tempat itu Ia membalikkan badan
dan menatap Vesāli dengan tatapan sesosok gajah pengading suci. Lalu ia berkata kepada
Bhikkhu Ānanda, “Ānanda, inilah terakhir kalinya Tathāgata menatap Vesāli. Mari, Ānanda,
mari kita pergi ke Bhandagāma!”

Dengan diiringin sejumlah besar bhikkhu, Sri Bhagavā menempuh perjalanan ke


Bhandagāma di Vajjī. Setelah tinggal di Bhandagāma selama yang dikehendaki-Nya, Sri
Bhagavā menempuh perjalanan secara bertahap dengan sejumlah besar bhikkhu ke
Hatthigāma, Ambagāma, Jambugāma, dan kemudian ke Bhoganagara (Bhogagāmanagara).
Selagi di Bhoganagara, Sri Bhagava mengajarkan kepada sekumpulan banyak bhikkhu
mengenai Empat Sumber Acuan Utama (Pali: Cattāro Mahāpadesā; Sankserta: Catu
Mahāpadeśa).

MAKANAN TERAKHIR SRI BHAGAVĀ

Kemudian, setelah Sri Bhagavā tinggal di Bhoganagara, Ia melanjutkan perjalanan ke Pāvā


dengan sekumpulan besar bhikkhu dan tinggal di hutan mangga milik Cunda Kammāraputta
(Sanskerta: Kārmāraputra – Putra Pandai Besi).

Mendengar berita kedatangan Sri Bhagavā di hutan mangganya, Cunda segera menghadap Sri
Bhagavā dan memberi sembah hormat pada-Nya.Setelah mendengarkan Dhamma, Cunda
mengundang Sri Bhagavā beserta Sangha bhikkhu untuk menerima persembahan dana
makanan keesokan harinya. Sri Bhagavā menyetujuinya dengan berdiam diri.

Keesokan harinya, Cunda mempersiapkan makanan yang mewah, termasuk masakan khusus
yang disebut Sūkaramaddava.Ketika makanan dipersembahkan, Sri Bhagavā meminta Cunda
untuk menghidangkan Sūkaramaddava kepada diri-Nya semata, dan menghidangkan
makanan lainnya bagi Sangha bhikkhu. Seusai makan, Sri Bhagavā meminta Cunda untuk
memendam sisa Sūkaramaddava itu di dalam lubang karena Ia tidak melihat siapa pun yang
mampu mencernanya dengan baik. Dan setelah memakan makanan yang dipersembahkan
oleh Cunda, Sang Bhagavā diserang oleh penyakit parah hingga mengalami diare berdarah
disertai dengan rasa sakit yang sangat menusuk. Sri Bhagavā menahan rasa sakit tersebut
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |30
Copyright © Maret 2023

tanpa mengeluh dan tetap berperhatian penuh dengan kesadaran jernih. Dengan menahan
sakit, Sri Bhagavā berkata, “Mari, kita pergi ke Kusinārā.”

PERJALANAN MENUJU KUSINĀRĀ

Dalam perjalanan ke Kusinārā di negara Mallā, Sri Bhagavā merasa letih dan haus. Ia duduk
di bawah sebatang pohon dan meminta Bhikkhu Ānanda untuk mengambilkan air di aliran air
di sekitar tempat itu. Namun karena air sungai keruh di sarankan mengambil air dari sungai
Kakuttha tidak jauh dari lokasi, namun kembali Sri Bhagava meminta sampai 3 kali, akhir
Bhikkhu Ananda pun menuju sungai, dan karena kekuatan Sri Bhagava ia mendapatkan air
yang jernih.

Setelah Sri Bhagavā minum dan ketika masih duduk di kaki pohon itu, seorang pangeran
Mallā yang bernama Pukkusa – seorang siswa Āḷāra Kālāma yang sedang menempuh
perjalanan dari Kusinārā menuju Pava, melihat Sri Bhagavā dan menghadap-Nya. Ia
menceritakan pengalaman gurunya dalam meditasi. Kemudian Sri Bhagavā menceritakan
pengalaman-Nya kepada Pukkusa. Pukkusa sungguh terkesan dengan ketenangan Sri
Bhagavā, lalu ia mengambil pernaungan dalam Tiga permata sampai akhir hayatnya. Setelah
itu, ia mempersembahkan sepasang jubah berwarna keemasan kepada Sri Bhagavā. Akan
tetapi, Sri Bhagavā meminta Pukkusa untuk mempersembahkan sehelai jubah kepada-Nya
dan sehelai lainnya kepada Bhikkhu Ānanda.

Segera setelah Pukkusa pergi, Bhikkhu Ānanda memakaikan pasangan jubah keemasan itu di
tubuh Sri Bhagavā. Ia terkejut karena warna cemerlang dari jubah keemasan itu pudar ketika
dipakaikan pada tubuh Sri Bhagavā. Melihat hal ini, Bhikkhu Ānanda berseru terhadap apa
yang dilihatnya. Untuk itu, Sri Bhagavā menjelaskan bahwa ada dua peristiwa yang bisa
menyebabkan warna alami dari kulit Tathāgata menjadi sangat bersih dan bersinar, yaitu pada
malam hari saat Ia mencapai Nibbāna, dan pada malam Ia mencapai Parinibbāna.

Sri Bhagavā lalu menyatakan bahwa pada waktu jaga malam terakhir hari itu juga di antara
kedua pohon sāla kembar di hutan sāla (Latin: Shorea robusta) milik kaum Mallā, di dekat
Kusinārā, Tathāgata akan mencapai Parinibbāna.

Kemudian, Sri Bhagavā melanjutkan perjalanan ke Sungai Kakutthā, dan di sana Ia mandi
untuk yang terakhir kalinya, dan meminum air sungai tersebut. Setelah itu, Ia menuju ke
sebuah hutan mangga dan beristirahat sejenak di sana, dengan berbaring di sisi kanan-Nya
laksana singa yang tengah tidur. Ia berbaring pada jubah luar yang telah disiapkan oleh
Bhikkhu Cundaka.

Ketika beristirahat di sana, Sri Bhagavā berkata kepada Bhikkhu Ānanda agar menghalau
rasa sesal yang muncul dalam diri Cunda, putra si pandai besi ketika ada orang yang
menganggap bahwa ia adalah orang yang tidak beruntung karena Tathāgata wafat setelah
menyantap makanan terakhir-Nya yang ia siapkan. Rasa sesal Cunda perlu dihilangkan
dengan mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang mujur besar karena Tathāgata wafat
setelah menyantap makanan terakhir-Nya yang ia siapkan. Sri Bhagavā juga menyatakan
bahwa ada dua pemberian dana yang luar biasa, yaitu dana yang dimakan Tathāgata tepat
sebelum Ia mencapai Nibbana dan dana yang dimakan Tathāgata tepat sebelum Ia mencapai
Parinibbāna.

DI BAWAH POHON SĀLA KEMBAR


E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |31
Copyright © Maret 2023

Setelah istirahat singkat itu, mereka menyeberangi Sungai Hiraññavatī dan menuju ke hutan
sāla milik kaum Mallā di dekat Kusinārā, tempat peristirahatan-Nya yang terakhir.

Saat tiba di sana, Sri Bhagavā meminta Bhikkhu Ānanda untuk meyiapkan dipan di antara
dua pohon sāla kembar itu, dengan bagian kepala dipan menghadap ke utara. Setelah siap, Sri
Bhagavā berbaring di sisi kanan-Nya dalam postur singa, dengan tungkai kaki yang satu
tertumpu pada yang lainnya, berperhatian penuh dan sangat sadar. Saat itu, banyak sekali
bunga bermekaran di pohon sāla kembar tersebut, meskipun saat itu belum musim bunga.

Pada kesempatan itu, Sri Bhagavā memberikan petunjuk mengenai empat tempat yang layak
diziarahi oleh umat yang penuh keyakinan dan yang akan menginspirasikan kebangkitan
spiritual dalam diri mereka. Tempat-tempat itu meliputi:

1. Lumbini, tempat kelahiran Tathāgata.


2. Buddha Gaya, tempat Tathāgata mencapai Pencerahan Sempurna.
3. Taman Rusa di Isipatana dekat Bārānasī (Benares; Varanasi), tempat Tathāgata memutar
roda Dhamma pertama kali.
4. Kusinārā, tempat Tathāgata mencapai Parinibbāna, Pembebasan Akhir, terhentinya kelima
gugus secara penuh.

Lalu Bhikkhu Ānanda menanyakan berbagai hal di antaranya bagaimana sebaiknya para
bhikkhu memperlakukan sisa-sisa tubuh Tathāgata. Sri Bhagavā menjawab, “Ānanda,
janganlah merepotkan diri dengan menghormati sisa-sisa tubuh Tathāgata. Engkau harus
berusaha untuk mencapai tujuan tinggi. Curahkanlah usahamu untuk mencapai Nibbana!
Berlatihlah dengan gigih, tekun, dan tanpa lalai demi kebaikan tertinggi dirimu sendiri. Ada
kaum kesatria, kaum brahmana, dan perubah tangga yang bijaksana, yang memiliki
keyakinan teguh terhadap Tathāgata; mereka akan menghormati sisa-sisa tubuh Tathāgata.”

Sri Bhagavā membabarkan Khotbah mengenai Raja Sudassana Yang Agung (Pali:
Mahāsudassana Sutta; Sanskerta: Mahāsudarśana Sūtra – Kemegahan Agung) dan
kemudian Ia meminta Bhikkhu Ānanda untuk pergi ke Kusinārā untuk mengumumkan
kepada kaum Mallā dari Kusinārā bahwa Tathāgata akan mencapai Parinibbāna pada waktu
jaga malam yang ketiga, yaitu antara jam 02.00 sampai 04.00. Mendengar pesan yang
disampaikan oleh Bhikkhu Ānanda, mereka merasa sangat sedih dan sangat terpukul oleh
derita dan duka. Mereka menuju ke hutan sāla itu untuk memberikan penghormatan yang
terakhir pada Sri Bhagavā.

PENAHBISAN TERAKHIR

Saat itu, seorang petapa kelana (paribbājaka) bernama Subhaddha sedang tinggal di Kusinārā.
Ia mendengar bahwa Petapa Gotama akan mencapai Parinibbāna pada waktu jaga malam
yang ketiga. Subhadda pergi ke hutan sāla itu dan menghadap Bhikkhu Ānanda, namun
permohonannya untuk bertemuan Sri Bhagava di tolak Bhikkhu Ānanda namun Subhada
memaksa sampai tiga kali. Mendengar percakapan antara Bhikkhu Ānanda dan Subhadda, Sri
Bhagavā memanggil Bhikkhu Ānanda: “Cukup, Ānanda! Jangan halangi Subhadda! Biarkan
ia menghadap Tathāgata! Karena apa pun yang akan ditanyakan Subhadda kepada Saya, ia
hendak bertanya demi memuaskan keinginannya memperoleh pengetahuan sempurna, bukan
untuk mengganggu Saya, dan apa pun jawaban Saya terhadap pertanyaannya akan segera
dipahaminya.”
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |32
Copyright © Maret 2023

Setelah bertukar salam hangat dengan Sri Bhagavā dan duduk di satu sisi, Subhadda
mengajukan pertanyaan yang membuatnya ragu. Kemudian Sri Bhagavā membabarkan
Dhamma kepadanya:

“Subhadda, dalam Dhamma dan Vinaya mana pun yang tidak mengandung empat Kebenaran
Arya, tidak akan terdapat satu pun petapa dengan tingkat kesucian pertama (Sotāpatti), tidak
akan terdapat satu pun petapa dengan tingkat kesucian kedua (Sakadāgāmī), tingkat kesucian
ketiga (Anāgāmī), maupun tingkat kesucian keempat (Arahatta). Dalam Dhamma dan Vinaya
mana pun yang mengandung Empat Kebenaran Mulia, akan terdapat pula para petapa dengan
tingkat kesucian pertama, tingkat kesucian kedua, tingkat kesucian ketiga, dan tingkat
kesucian keempat.”

Setelah Sri Bhagavā selesai membabarkan Dhamma, Subhadda merasa takjub dan
menyatakan bernaung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta memohon untuk
ditahbiskan. Sri Bhagavā menerima Subhadda dalam Persamuhan para bhikkhu tanpa
menjalani masa percobaan.

Lalu Subhadda menerima penahbisan awal dan penahbisan penuh ke dalam Persamuhan
selaku bhikkhu di hadapan Sri Bhagavā. Ia dibimbing oleh-Nya untuk bermeditasi dengan
cara yang tepat. Setelah itu Bhikkhu Subhadda memencilkan diri, bermeditasi dengan
menjaga perhatian penuh secara berkesinambungan, berusaha dengan tekun, dan
mengarahkan batinnya untuk mencapai kesucian Arahatta. Ia merupakan orang terakhir
diterima oleh Sri Bhagavā memasuki Persamuhan dan yang terakhir menjadi Arahant saat Sri
Bhagavā masih hidup.

SABDA TERAKHIR

Sri Bhagavā berkata kepada Bhikkhu Ānanda: “Ānanda, engkau mungkin berpikir:
„Bimbingan dan Sang Guru tak ada lagi; sekarang kita tak lagi memiliki guru.‟ Namun,
engkau tak seharusnya berpikir demikian karena apa yang telah Saya ajarkan dan Saya
babarkan kepadamu sebagai Dhamma dan Vinaya akan menjadi gurumu setelah Saya wafat.”

“Sampai saat ini, para bhikkhu saling menyapa dengan sebutan „Āvuso‟, namun mereka
sebaiknya tidak melakukan hal ini setelah Saya mangkat. Bhikkhu yang lebih tua seharusnya
menyapa bhikkhu yang lebih muda dengan nama bhikkhu atau nama keluarganya, atau
sebagai „Āvuso‟. Dan bhikkhu yang lebih muda seharusnya menyapa bhikkhu yang lebih tua
sebagai „Bhante‟atau Āyasmā.”

“Ānanda, jika memang diinginkan, Sangha boleh menghapuskan aturan-aturan kecil dan yang
kurang penting setelah Saya mangkat.”

“Dan Ānanda, setelah Saya mangkat nanti, hukuman berat sekali (brahmadaṇḍa) harus
dijatuhkan kepada Channa.https://bhagavant.com/perjalanan-terakhir-buddha-gotama - cite8”

“Tapi, Bhante, apa hukuman berat sekali itu?”

“Apa pun yang diinginkan ataupun yang dikatakan Channa, ia tak boleh disapa, ditegur,
ataupun dibimbing oleh para bhikkhu lainnya.”
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |33
Copyright © Maret 2023

Lalu Sri Bhagavā berkata kepada para bhikkhu demikian: “Para Bhikkhu, mungkin saja ada
bhikkhu yang memiliki keraguan atau ketidakpastian mengenai Buddha, Dhammu, Sangha,
Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan. Bertanyalah sekarang, Para Bhikkhu! Jangan
menyesal kelak dengan berpikir: „Kami berhadapan muka dengan Sang Guru, namun kami
gagal bertanya kepada Yang Terberkahi langsung untuk menghalau keraguan kami‟”

Ketika hal mi disampaikan, para bhikkhu diam saja. Untuk kedua dan ketiga kalinya, Sri
Bhagavā mengulangi kata-kata¬Nya, dan mereka tetap saja diam. Lalu Sri Bhagavā berkata:
“Para Bhikkhu, mungkin karena rasa hormat terhadap Sang Gurulah kalian tidak bertanya
kepada Saya. Kalau begitu, Para Bhikkhu, biarlah sahabat yang satu menyampaikannya
kepada yang lainnya!” Akan tetapi, mereka tetap saja diam.

Lalu Bhikkhu Ānanda berkata kepada Sri Bhagavā: “Menakjubkan, Bhante! Menakjubkan,
Bhante! Saya begitu yakin bahwa di dalam kumpulan ini tak seorang bhikkhu pun yang
memiliki keraguan atau kebimbangan mengenai Buddha, Dhamma, Sangha, Jalan Suci,
ataupun mengenai cara latihan.”

“Ānanda, engkau berkata atas keyakinan, namun Tathāgata mengetahui bahwa di dalam
kumpulan ini tak seorang bhikkhu pun yang memiliki keraguan atau kebimbangan mengenai
Buddha, Dhamma, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan. Ānanda, di antara
kelima ratus bhikkhu ini, yang paling rendah pun adalah seorang Sotāpanna, yang tak akan
terjatuh ke alam rendah, namun kelak pasti akan mencapai Pencerahan.”

Lalu Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu dan memberikan bimbingan-Nya yang
terakhir:

“Handa dāni, bhikkhave, āmantayāmi vo, vayadhammā saṅkhārā, appamādena


sampādetha.” (“Saat ini, para Bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian: semua hal yang
terbentuk dari perpaduan pasti akan hancur. Berusahalah dengan tekun!”)

Mahaparinibbana Buddha Gotama

Setelah Sri Bhagavā menyampaikan pesan terakhir-Nya, Sri Bhagavā memasuki jhāna
pertama. Dan setelah keluar dari jhāna tersebut, Ia memasuki jhāna kedua, ketiga, dan
keempat. Lalu keluar dari jhāna keempat, Ia memasuki Tataran Ruang Nirbatas (Pali:
ākāsānañcāyatana; Sanskerta: ākāśa-anantya-āyatana), Tataran Kesadaran Nirbatas (Pali:
viññāṇañcāyatana; Sanskerta: vijñāna-anantya-āyatana), Tataran Tanpa Ada Apa Pun (Pali:
ākiñcaññāyatana; Sankserta: akiñcana-āyatana), serta Tataran Bukan Pencerapan Maupun
Bukan Tanpa-Pencerapan (nevasaññā-n’asaññāyatana). Dan setelah itu, Ia mencapai dan
terserap dalam Padamnya Pencerapan dan Perasaan (saññāvedayita-nirodha)

Bhikkhu Ānanda, yang memperhatikan bahwa Sri Bhagavā tidak bernafas, menjadi cemas
dan berkata kepada Bhikkhu Anuruddha: “Sahabat Anuruddha, Sri Bhagavā telah mangkat.”
“Tidak, Sahabat Ānanda, Sri Bhagavā belum mangkat. Ia hanya memasuki Padamnya
Pencerapan dan Perasaan.”

Lalu, keluar dari Padamnya Pencerapan dan Perasaan itu, Sri Bhagavā memasuki Tataran
Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan. Setelah itu Ia memasuki Tataran
Tanpa Ada Apa Pun, Tataran Kesadaran Nirbatas, dan Tataran Ruang Nirbatas. Lalu keluar
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |34
Copyright © Maret 2023

dari Tataran Ruang Nirbatas, Ia memasuki jhāna keempat, jhāna ketiga, jhāna kedua, dan
jhāna pertama.

Kemudian, keluar dari jhāna pertama, Ia memasuki jhāna kedua, jhāna ketiga, dan jhāna
keempat. Setelah keluar dari jhāna keempat, Sri Bhagavā mencapai Nibbāna Seutuhnya atau
Parinibbāna.

Pada saat itulah, pada waktu jaga malam yang terakhir, pada hari bulan purnama, bulan
Vesākha 543 SEU dan pada usia delapan puluh tahun, Sri Bhagavā mangkat

PROSESI KREMASI

Demikianlah, ketika Sri Bhagavā mangkat, para bhikkhu merenung dalam batin: “Segala
sesuatu adalah tidak kekal, bersifat sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi, jika tidak
terjadi demikian?”Berita mangkat di umumkan oleh Bhikkhu Ananda kepada suku Malla dari
Kusinara atas permintaan Bhiku Anuraddha: “Vasetha, ketahuilah bahwa Sri Bhagavā telah
mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian.” Suasana di selimuti
kesedihan‟

Setelah suku Malla tiba di tempat dimana Sri Bhagavā mangkat, mereka mengadakan
penghormatan dengan menyajikan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan lagu kebaktian, serta
mempersembahkan bunga-bungaan, wangi-wangian dan segala sesuatu yang dibawanya;
upacara penghormatan terhadap jenazah Sri Bhagavā itu selama tujuh hari.

Pada hari ketujuh, dilakukan proses kremasi yang di hadiri oleh lima ratus Bikkhu yang di
pimpin oleh Bhikku Maha Kassapa. Setelah api kremasi padam, suku Malla dari Kusinārā,
mengambil relik (sisa jasmani) Sri Bhagavā, lalu ditempatkan di tengah-tengah ruangan
sidang mereka,Di sanalah mereka mengadakan upacara puja bakti selama tujuh hari. Untuk
menghormati relik Sri Bhagavā dengan tari-tarian, nyanyian dan lagu-lagu kebaktian, serta
mempersembahkan bunga-bungaan dan wangi-wangian, melakukan puja bakti terhadap relik
Sri Bhagavā.

Sumber bacaan :

https://bhagavant.com/riwayat-hidup-buddha-gotama

Anda mungkin juga menyukai