Anda di halaman 1dari 31

Perbandingan Agama Buddha di Indonesia dan

Korea Abad ke 4 – Abad ke 9 Masehi

Oleh:
Nama : Dian Octaviani
NIM : 20/463158/SA/20725
Fakultas : Fakultas Ilmu Budaya
Prodi : Sejarah

PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2021
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur tidak henti – hentinya saya ucapkan kehadirat Allah sebab dengan
segala karunia dan rahmat – Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“PERBANDINGAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA DAN KOREA ABAD 4 –
ABAD KE 9 MASEHI”. Dengan segala kemudahan dan kelancaran dari Allah saya
dapat menyelesaikan makalah tersebut dengan tepat waktu. Makalah ini akan membahas
mengenai perbandingan agama Buddha yang ada di Indonesia dan Korea, membahas
perkembangan agama Buddha di kedua negara, dan tak ketinggalan saya juga akan
membahas mengenai sejarah bagaimana agama Buddha dapat masuk ke wilayah Korea
dan Indonesia.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian Tengah
Semester. Selain sebagai pemenuhan tugas Ujian Tengah Semester makalah ini saya
buat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat umum. Tak lupa saya
juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Nur Aini selaku dosen Sejarah Asia I, sebab
tanpa tugas dari beliau saya tidak bisa menambah wawasan dan pengetahuan saya. Saya
juga mengucapkan terimakasih kepada teman – teman saya yang telah mendukung
dalam proses penulisan makalah ini serta ucapan terimakasih juga sya smapaikan
kepada orang – oang yang telah mneyediakan jurnal maupun buku dnega tema yang
sesuai dengan topik bahasan saya.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................1
1.1Latar Belakang....................................................................................1
1.2Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3Tujuan.................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................3
2.1Sejarah Buddhisme di Indonesia........................................................3
2.2Sejarah Buddhisme di Korea.............................................................8
2.3Perkembangan Agama Buddha di Indonesia dan Korea....................11
2.4Pengaruh Agama Buddha di Korea terhadap kebudayaan Korea......18
2.5Pengaruh Agama Buddha di Korea terhadap kebudayaan Indonesia
............................................................................................................23
BAB III PENUTUP
3.1Kesimpulan.......................................................................................25
DAFTAR GAMBAR...................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Buddha merupakan agama yang berasal dari luar Indonesia dan menjadi
agama yang pertama masuk ke nusantara jauh sebelum Islam. Agama Buddha bisa masuk
ke Nusantara melalui perjalanan yang cukup panjang. Tidak hanya di Nusantara tetapi,
agama Buddha ini juga menyebar ke beberapa negara Asia Timur yang salah satunya
adalah Korea. Di Korea agama Buddha masuk melalui Tiongkok pada masa Kerajaan
Goguryo tahun 372 terutama di wilayah Silla dan Baekje. Agama Buddha di Korea telah
menjadi agama negara dan kerajaan. Serta mayoritas dari penduduk Korea menganut
agama Buddha. Sedangkan di Indonesia sendiri pusat dari perkembangan agama Buddha
ada sejak berdirinya Kerajaan Sriwijaya.
Banyak para pendeta yang akan pergi ke Tiongkok untuk mempelajari agama
Buddha, memilih untuk singgah di Sriwijaya untuk mempelajari agama Buddha. Salah
satu pendeta yang ada saat itu adalaha I’-Tsing, beliau merupakan salah satu pendeta
yang singgah di Sriwijaya pada saat akan melakukan perjalanan ke Tiongkok. Pusat dari
pengajaran agama Buddha berada di India. Baik agama Buddha di Korea maupun
Indonesia semuanya berpusat dari India, meskipun begitu keduanya tentu berbeda.
Penyebaran agaman Buddha di Korea dilakukan melalui Tiongkok, sedangkan
penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara terutama Indonesia melalui konsili Buddha
ke 3 yang diselenggarakan di Patalipura, India.
Banyak orang menganggap bahwa agama Buddha yang ada di Korea dan
Indonesia sama, tetapi sebenarnya keduanya sangatlah berbeda. Karena pada waktu
konsili Buddha terjadi perbedaan pendapat antara komunitas – kimunitas agama Buddha,
sehingga menyebabkan agama Buddha itu terbagi menjadi beberapa Mazhab. Dua
mazhab tersebut adalah Buddha Mahayana dan Hinayana yang juga dikenal sebagai
Theravada dan Hindu ortodoks. Seperti di Melayu pada abad ke 8 agama Buddha yang
dianut oleh sebagai orang melayu merupakan agama Buddha Mahayana yang terpengaruh
dinasti Pala dari Bengali. Kedua mazhab tersebut tentu berbeda dalam memandang sang
Buddha.
Oleh karena atas ketidaktahuan orang yang menganggap bahwa agama Buddha di
suatu negara sama saja, maka saya memutuskan untuk menulis makalah tentang
perkembangan Buddhisme yang ada di Indonesia dan Korea. Mengingat Korea dan
Indonesia merupakan negara yang banyak masyarakatnya menganut agama Buddha.
Meskipun di Indonesia, Buddha bukan sebagai agama mayoritas tetapi tidak ada salahnya
kita membahas hal tersebut. Diharapkan pembahasan ini nantinya dapat menambah
wawasan pembaca dalam memahami agama Buddha dengan berbagai aliran – alirannya
yang ada. Sehingga tidak lagi menganggap bahwa agama Buddha yang ada di Indonesia
dan Korea sama, meskipun sama – sama agama Buddha tetapi keduanya pastilah
memiliki perbedaan. Seperti anak yang terlahir kembar dan tampak sangat mirip tetapi
pastilah ada sesuatu yang dapat membedakan mereka.

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana sejarah dari ajaran agama Buddha yang ada di Indonesia dan Korea?
b. Bagaimana perkembangan dari ajaran agama Buddha yang ada di Indonesia dan
Korea?
c. Apa dan bagaimana pengaruh ajaran agama Buddha terhadap kebudayan di Korea
dan Indonesia?

1.3 Tujuan
2. Untuk menjelasakan bagaimana sejarah dari ajaran agama Buddha yang ada di
Indonesia dan Korea.
3. Untuk menjelaskan perkembangan ajaran agama Buddha yang ada di Indonesia
dan Korea.
4. Untuk menjelaskan pengaruh ajaran agama Buddha terhadap kebudayaan Korea
dan Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah agama Buddha di Indonesia
Telah menjadi keyakinan umum bahwa penyebaran agama Buddha di Asia
Tenggara terjadi setelah Konsili Buddha ke 3, yang diselenggarkan di Patalipura (India
Utara) dibawah perlindungan Raja Mauryan, Asoka (268-233 SM)1. Menurut catatan
yang ada, Konsili Buddha dipimpin oleh “Thera Monggaliputta Tissa”, yang mendorong
penyebaran ajaran – ajaran Buddha dengan mengirimkan Biksu (Para Dharma Duta) ke 9
lokasi di luar India Utara. Dua dari “Thera2” Sona dan Uttara, dikirim ke “
Suvarnabhumi” (Burma bawah). Kemudian terjadi kericuhan antara komunitas penganut
Buddha (Sangha) tentang cara penafsiran ajaran – ajaran Buddha yang juga terjadi di
dalam Konsili. Pada masa itu ajaran Buddha telah mencabang menjadi berbagai mazhab
yang berbeda dalam banyak titik ajaran (diantaranya, perbedaan mereka terkait dengan
keagungan Arahant3, kemahatahuan Buddha dari masa penciptaan jalur Bodhisattva).
Konsili itu berujung dengan adanya sebuah perpecahan historis dari komunitas penganut
Buddha menjadi dua mazhab yang berbeda yaitu Hinayana (dikenal juga sebagai
Theravada atau Hindu Ortodoks) dan mazhab Mahayana4.
Seperti yang dapat dilihat bahwa pada abad ke 8 M kemugkinan besar agama
Buddha berada di bawah pengaruh dinasti Pala dari Bengali, mazhab Mahayana mulai
mempengaruhi dunia Melayu5. Hal ini didasarkan atas alasan – alasan politik dan sosial:
1. Mahayana memperbolehkan pemujaan Buddha sebagai sosok sesembahan,
oleh karena out memungkinkan pengintegrasian pemujaan nenek moyang,
para dewa, dan roh.
2. Para Raja penganut Buddha setelah kematiannya suka diakui dan dikenang
sebagai Boddhisattva6 yang memungkinkan untuk mengklaim status
separuh dewa selama masa kepemimpinannya.
Pada saat yang sama sebuah bentuk esoterir dari ajaran Buddha Mahayana yang
bernama ajaran Tantra7 (Ajaran Buddha esoteris) yang mendapatkan angin dari penguasa
Melayu, hal ini mungkin dibawa oleh para pengembara Cina yang melakukan perjalanan
1
Munoz Paul Michel, Kerajaan – Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia Dan Semenanjung Malaysia, Yogyakarta:
Media Abadi, 2013, hlm 82.
2
Para biksu senior yang telah bemukim di Sangha selama lebih dari 10 tahun.
3
Mereka yang telah menyempurnakan diri dnegan melakukan perbaikan moral, meditasi, kebijaksanaan
penetrative dan oleh karena itu mereka yang telah mengalami Nirvana.
4
Mazhab Mahayana menyakini secara ketat ajaran awal Buddhal mazhab ini tidak menganggap Buddha sebagai
Tuhan ataupun menganggap ajaran Buddha sebagai sebuah agama iaya menyakini bahwa Nirvana hanya bisa
diraih oleh para biksu asketik tingkat tinggi.
5
Ajaran Buddha Theravada selalu tetap menjadi yang paling popular di kerajaan – kerajaan Asia tenggara seperti
Birma, Mon, Khmer, dan Thai.
6
Sosok bodhisattva merupakan sebuah konsep penting dalam Buddha Mahayana. Sosok Bodhisattva merupakan
seorang manusia yang tercerahkan.

3
antara Cina dan India. ada banyak elemen ajaran tantra yang terintegrasi dengan ritual –
ritual penganut Buddha dan Siwaisme Indo – Melayu, begitu pula dalam arsitektur candi,
seperti nuansa – nuansa Tantrik Kerajaan Sriwijaya, layout candi Borobudur, dan
beberapa elemen arsitektur seperti bentuk dari puncak candi utama Prambanan8.
Penjelasan diatas merupakan sejarah dari masukknya agama Buddha ke Asia
Tenggara, sedangkan masukknya agama Buddha ke Indonesia dimulai dengan berdirinya
Kerajaan Sriwijaya. Berita masuknya agama Buddha di Indonesia termuat dari laporan
seorang Cina yang berasal dari abad ke 4 Fa Hsien yang kembali dari Ceylon (Sri lanka) 9
ke China pada tahun 414 Masehi terpaksa mendarat di negeri yang bernama Ye Po Ti
karena kapalnya rusak. Yang menjadi persoalan saat ini apakah Ye Po Ti ini Jawa atau
Sumatera. Ada beberapa Ahli yang mengatakan bahwa Ye Po Ti adalah Jawa
(Javadvipa). Fa Hsein menyebutkan dalam catatannya bahwa hanya sedikit umat Buddha
yang dijumpai di Ye Po Ti dan yang banyak adalah orang – orang beragama Hindu.
Laporan orang Cina lainnya adalah bahwa antara tahun 454 – 464 terdapat sebuah
Kerajaan yang disebut Kan To Li diperkirakan di Sumatera diperintah oleh Raja
Warunarendra di mana ia mengirim patung Rudra Hindu ke Cina. Namun pada tahun 502
Raja beragama Buddha memerintah disana dan tahun 519 digantikan oleh putranya yang
bernama Wijayawarman10. Sejak awal tidak ada penemuan – penemuan yang
menunjukkan tepatnya agama Buddha masuk wiayah Indonesia. Tampaknya dari
berbagai penemuan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa agama Buddha sudah eksis di
Indonesia pada masa itu. Hal ini sesuai dengan kesimpulan Abdul Syukur 11 bahwa
sekalipun kerajaan – kerajaan yang beragama Buddha muncul setelah abad V atau VI
Masehi, tetapi proses penyebarannya ke Indonesia terjadi masa – masa itu. Dengan kata
lain agama Buddha masuk ke Indonesia sebelum abad ke V. Namun institusi kerajaan
berbasis agama Buddha muncul pada abad ke V yang diawali dengan berdirinya Kerajaan
Sriwijaya. Sehingga dapat dikatakan bahwa awal mula agama Buddha masuk ke
Indonesia melalui Kerajaan Sriwijaya. Berikut sejarah agama Buddha pada masa
Kerajaan Sriwijaya.

I. Masa Kerajaan Sriwijaya

7
Bentuk popular dari ajaran Tantra di Jawa dikenal sebagai Vajrayana, “jalan petir”. Ajaran Tantra berasal dari
Tibet dan [opuler di Cina, Jepang, dan India Utara. Ajaran ini menggabungkan ajaran Yogi dan keyakinan Yunani
tentang ritual – ritual magis.
8
Bentuk ini merupakan rujukan dari simbol Petir ajaran Buddha Vajrayana.
9
Busro, Agama Buddha Di Indonesia: Sejarah, Kemunduran dan Kebangkitan, UIN Sunan Gunung Djati, hlm 2.
10
Hall (1988:38) dalam Abdul Syukur, hlm 12.
11
Syukur, Abdul. Kebangkitan Agama Buddha: Analisis Historis tentang Latar Belakang Kebangkitan Agama
Buddha di Indonesia, Bandung: Gunung Djati Press, 2009, hlm. 15

4
Berita mengenai Kerajaan Sriwijaya berasal dari catatan perjalanan orang Cina.
Pada tahun 671 peziarah Cina I-Tsing singgah di Fo Shih dalam perjalanannya dari Cina
ke India. I – Tzing menetap di Fo Shih selama 6 bulan untuk belajar bahasa Sansekerta. I
– Tsing menuliskan:

“Ada lebih dari seribu agamawan Buddhis yang sepenuhnya menekuni pengkajian
dan amal baik. Dengan seksama mereka periksa dan pelajari semua pokok pemikiran
yang mungkin ada, persis seperti di Madhyadesa (India; aturan dan upacaranya sama.
Jika seorang agamawan Cina hendak ke Barat untuk mendengar dan membaca (teks –
teks Buddhis yang asli), sebaliknya tinggal di Fo Shih selama setahun atau dua tahun dan
di sana menerapkan aturan – aturan yang sesuai kemudian ia dapat pergi ke India
Tengah”12.
Sepulang dari India I-Tsing kembali menetap di Fo Shih selama 4 tahun untuk
menyalin dan menerjemahkan buku berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. Setelah
itu melanjutkan perjalanan ke Guangzhou untuk mencari asisten. Kemudian kembali lagi
ke Fo Shih dan disana beliau menyelesaikan kedua karyanya “tentang agamawan –
agamawan terkemuka yang pergi mempelajari agama Buddha di negeri – negeri Barat”
dan “tentang ajaran kebatinan yang disampaikan dari laut – laut Selatan”13.
Fo Shih merupakan transkrip Cina untuk Sriwijaya lengkapnya yaitu Shi Li Fo
Shih. Jadi Fo Shih yang disebutkan oleh I-Tsing di atas adalah merujuk pada Kerajaan
Sriwijaya14. Selanjutnya ada bukti lain adalah adanya Kerajaan Sriwijaya yang beragama
Buddha berupa prasasti – prasasti yang ditemukan di Sumatra dan Pulau Bangka
menunjukkan bahwa pada tahun 683 – 686 M di Palembang terdapat Kerajaan Buddha
yang baru saja menaklukkan daerah pedalaman Jambi dan Pulau Bangka dan sedang
menyiapkan eskpedisi militer terhadap Jawa15. Tahun 685 setelah alam belajar di
Universitas Buddha di Nalanda di Benggala I-Tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal di
Sriwijaya sekitar 4 tahun menerjemahkan teks Buddha berbahasa Sanskerta ke dalam
bahasa Cina. Tahun 689 karena keperluan mendesak akan alat – alat tulis dan
pembantunya kemudian pergi ke Kanton Selatan, setelahnya kembali ke Sriwijaya
dengan 4 orang teman dan tinggal untuk menyelesaikan catatan tentang agama Buddha
pada masanya. Setelah selesai diterjemahkan kemudian dikirim ke Cina pada tahun 692
dan tahun 695 I-Tsing kembali ke Cina16.
Didalam buku yang kedua I-Tsing membuat pernyataan yang sudah dijelaskan di
atas yang memperdayakan bahwa Melayu terutama Jambi yang ia tinggali selama 2 bulan
setelah meninggalkan Sriwijaya dalam perjalanan ke India, sejak saat itu menjadi badian
dari Sriwijaya. Arti persis kata – katanya hanya ditentukan oleh penemuan serangkaian
prasasti – prasasti Melayu Kuno dari 683 sampai 686. Dua diantaranya ditemukan di
12
Coedes, George. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, hlm.124
13
Ibid, Coedes.
14
Ibid, Busro, hlm 3.
15
Ibid, Coedes, hlm 127.
16
Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha Nasional, 1988, hlm 41.

5
dekat Palembang, yang tiga ditemukan di Karang Berahi, dihulu Sungai Batang, dan yang
ke empat ditemukan di Pulau Bangka.
Catatan tersebut jika dikumpulkan menjadi satu yang menjadi sebuah catatan
mengenai Kerajaan Buddha yang ada di Palembang. Dengan catatan itu nantinya dapat
membuktikan bahwa sudah ada Kerajaan Buddha di Palembang yang baru saja
menaklukan pedalaman Melayu dan mungkin juga menyerang Jawa, yang tertua dari
daerah Palembang tercatat bahwa pada suatu tanggal yang dapat dipastikan yaitu tanggal
13 April 683 seorang Raja yang tidak diketahui namanya berangkat dengan 20.000
pasukan untuk mencari kekuatan magis dan hasilnya adalah sebuah kemenangan,
kekuasaan kekayaan di Sriwijaya, yang kedua memperingati taman umum yang didirikan
tahun 684 yang disebut Sriksetra atas perintah Raja Jayanasa atau Jayanaga sebagai
pelaksanaan kebajikan Buddha. Yang ketiga dan keempat tahun 686 menyerukan kutukan
atas penduduk daerah Sungai Batang dan Pulau Bangka, karena mereka tidak mematuhi
Raja dan yang di Bangka menyebutkan bahwa pasukan Siwijaya mengirimkan suatu
ekspedisi untuk menyerang Jawa.
Dengan demikian semakin jelas bahwa Sriwijaya memperlihatkan diri sebagai
Kerajaan yang memiliki kekuasaan yang luas, yang terbentang ke arah Selat Malaka dan
Selat Sunda, Palembang sangat jauh dari keduanyanya, hal itu merupakan letak yang tak
terkecuali untuk tugas mempertahankan hegemoni perdagangan atas Indonesia dengan
mengawasi dan menguasai kedua Selat. Perkembangan navigasi Arab dan perdagangan
antara India dan Cina bersama – sama memberikan arti penting baru bagi Selat Malaka
dan Sunda, seta Palembang menjadi pelabuhan yang wajar disinggahi kapal dari Cina
pada musim Timur Laut. Pada waktu inilah perdagangan mengalami perkembangan dan
perdagangan lautan serta mempertahankan hubungan antara Cina dan India. I-tsing17
bahkan mengatakan bahwa dia berlayar dari Cina ke Sriwijaya dengan menggunakan
Kapal saudagar Persia. Karena hal iu memunculkan hypotesa yang mengatakan bahwa
prasasti – prasasti tahun 683 dan 686 menunjukkan pada periode penting tertentu dalam
usaha Raja Jayanasa18, menaklukkan melayu dan mungkin juga trauma serta pencipta
politik yang membuat Palembang sampai abad XIII menjadi pusat Kerajaan maritim.
Abad berikutnya dalam sejarah dinasti Ming di Cina meyakinkan bahwa San Fo
Tsi yang kemudian oleh orang – orang Cina menyamakan dengan Sriwijaya yang telah
mengirimkan utusan pertamanya dengan membawa upeti semasa pemerintahan Kaisar
Hiao Wu (454-464) dari dinasti Sung. Tetapi penyataan tersebut kemudian dibantah
karena Kerajaan tersebut kemudian disebut Kan To Li dan meskipun para sarjana sepakat
mengenai tempatnya di Sumatera. Tetapi tidak ada bukti yang mendorong identifikasi
terhadap Sriwijaya pada tingkat awal sejarahnya.
Hal terpenting bagi Palembang sebagai pusat agama Buddha pada masa peziarah
I-Tsing merupakan salah satu pendorong kenyataan – kenyataan yang muncul dari suatu
latar belakang yang begitu kabur yang banyak meninggalkan keraguan. Sejarah awal
17
Pendeta dari Cina yang singgah di Sriwijaya untuk menerjemahkan kitab Buddha.
18
Dikenal juga dengan nama Jayanaga

6
Buddhisme di Nusantara tidak dapat diketahui secara jelas, kecuali ada petunjuk –
petunjuk yang menyesatkan. Jika I-Tsing benar seorang penganut Buddha Hinayana yang
telah menyebar luas di Palembang sebelum akhir abad VII tetapi Buddhisme di Sriwijaya
sendiri memiliki aliran Mahayana dengan diperkuat oleh penemuan Bodhisattva.
Meskipun ada beberapa aliran Buddha Hinayana dalam aturan – aturan yang berbahasa
Sanskerta. Perbedaan antara kedua bentuk itu kurang mencolok daripada perbedaan
terutama pada abad XIII di Asia Tenggara secara umum dan di Palembang secara khusus.
Penyebaran agama Buddha Mahayana di seluruh Asia Tenggara sangat menarik
untuk diketahui apalagi ketika membahas mengenai peran Srwiijaya dalam penyebaran
agama Buddha ini. Seperti apa yang dilukiskan pada pertengahan abad VIII. Secara
bersamaan dengan naiknya dinasti Pala di Benggala dan Magadha pada pertengahan
Abad VIII serta sudah dikaitkan dengan pengaruh dan runtuhnya Nalanda. Hal ini
memperlihatan percampuran yang sama dengan pemujaan Hindu dan Buddha serta
kecenderungan kepada Mystisisme Tantra19 seperti di Benggala. Penyebarannya juga
bersamaan dengan munculnya dinasti Buddha di Jawa yaitu dinasti Sailendra20 yang
memakai gelar Kerajaan Maharaja. Dinasti ini di hubungkan dengan suatu periode
penting dalam sejarah Sriwijaya.
Selama setengah abad kemudian ditemukan empat prasasti Melayu Kuno,
petunjuk tentang Sriwijaya hanya datang dari catatan – catatan orang – orang Cina
mengenai utusan – utusan. Ini meliputi kurun waktu 695 sampai 742 tetapi sangat sedikti
diceritakan pada kita. Pangeran – pangeran Sriwijaya membawa hadiah – hadiah orang
cebol, pemain – pemain musik, dan burung kakak tua beraneka warna serta kaisar dalam
penaklukannya memberikan gelar kepada Raja. Pada tahun 775 di Wat Sema Muang
ditemukan Batu Ligor21.
Batu ligor mempunyai dua muka yang keduanya berisi tulisan. Muka pertama
berisi sepuluh syair sanskerta yang memperingatkan pendirian tempat suci Mahayana
oleh Raja Sriwijaya dan memakai tahun saka yang dengan 15 April 775. Hal ini
menunjukkan perluasan Kerajaan Sriwijaya dan juga Buddha Mahayana ke Semanajung
Melayu. Muka yang kedua berisi apa yang oleh Coedes dan Krom digambarkan sebegai
suatu tulisan yang belum selesai untuk merayakan kemenangan seorang Raja dengan
gelar Sri Maharaja karena beliau merupakan keluaga dinasti Sailendra. Menurut Krom
dan beberapa sarjana menyamakan Raja Sriwijaya pada muka pertaman dengan Raja
Sailendra yang disebutkan dalam muka kedua dan kemudian menyimpulkan bahwa Raja
Sailendra memerintah Sriwijaya dalam tahun 775. Seperti yang telah disebutkna mereka
juga memerintah di Jawa Tengah pada tahun yang sama, sehingga dapat disimpulkan
bahwa Jawa dibawah Kerajaan Sumatera. Karena Itulah disimpulkan bahwa Sailendra
adalah suatu dinasti Sriwijaya yang telah menaklukkan sebagian Jawa.

19
Sebuah ajaran yang mengarahkan jiwa pada penyatuan mistik.
20
Dinasti yang berkuasa di kerajaan Mataram Kuno.
21
Op Cit, Hall, hlm 43

7
II. Masa Kerajaan Sailendra
Keberadaan agama Buddha pada masa kerajaan Sailendra terlihat lebih jelas
dibanding pada masa kerajaan Sriwijaya. Hal ini dikarenakan sumber – sumber yang
memberikan informasi mengenai agama Buddha yang lebih banyak, misalnya saja
dengan keberadaan prasasti – prasasti dan bangunan – bangunan seperti candi.
Mengenai dinasti Sailendra ada beberapa teori. Menurut teori Munjumdar dan
Nilakanta Sastri mengatakan bahwa Dinaansti Sailendra adalah orang India yang datang
langsung ke tanah Jawa. Sekalipun begitu, keduanya berbeda pendapat dalam hal dari
India bagian mana Sailendra berasal. Majumdar mengatakan bahwa Sailendra memiliki
hubungan dengan Raja Sailodbhawa dari Kalingga disebelah barat daya India, sementara
Nilakanta Sastri menghubungkan Sailendra denga wangsa pandya di India Selatan.
Namun dipihak lain Przyluski dan Coedes menyatakan bahwa Sailendara adalah orang
asli Jawa22.
Terdapat teori lain yang mengatakan bahwa Sailendra berasal dari keturunan Raja
Funan. Hal ini berdasarkan Prasasti yang ditemukan di Cina dan Vietnam. Kerajaan
Funan mengalamai kehancuran oleh serangan musuh dan keturuanan kemudian bangkit
kembali serta menuntut kekuasaan kembali di tanah Jawa. Oleh karena itu Coedes dapat
menyimpulkan bahwa Sailendra adalah asli orang Jawa23.
Kemudian Prasasti Sanskerta ditemukan di Candi Siva di Canggal, sebelah
Tenggara Borobudur. Pada prasasti tersebut terdapat serangkaian daftar Raja – raja
dimana nama setelah Sanjaya kemudian diikuti oleh nama Pancapana pada tahun 778.
Sedangkan pancapana panangkaran sendiri digambarkan sebagai Sanskerta sebagai
Sailendra pada Prasasti Kalasan. Sebelah Timur Yogyakarta, akan tetapi yang jelas harus
diingat lagi bahwa pertama Sanjaya bukanlah Sailendra, kedua dalam sejarah diketahui
bahwa Sanjaya adalah Raja yang beragama Hindu, sedangkan Sailendra dikenal
beragama Buddha. Oleh karena itu kemungkinannya adalah bahwa Pancapana
Panangkaran identik dengan Sailendra seperti yang terdapat dalam prasasti Candi
Kalasan sedangkan Sanjaya adalah Raja Hindu yang mendirikan Candi Siva di Canggal.
Pada masa Sailendra inilah agama Buddha mengalamai perkembangan yang
sangat pesat di pulau Jawa khususnya dan mencapai puncak kejayaannya yang terkenal
dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Secara historis terdapat banyak warisan
kebudayaan peninggalan dari masa Sailendra baik berupa bangunan – bangunan yang
monumental seperti candi – candi dan candi Borobudur adalah salah satu peninggalan
bersejarah yang sangat populer yang secara historis didirikan pada masa wangsa
Sailendra. Setelah dinasti Sailendra runtuh dari bumi Jawa, lalu kemudian muncul dinasti
Kerajaan Buddha yang baru di Sumatera yaitu Kerajaan Sriwijaya.

II.2 Sejarah agama Buddha di Korea


Proses perkembangan Goryeo, Baekje, dan Silla sebagai Kerajaan Kuno sangat
membutuhkan agama baru sebagai pondasi untuk mewujudkan penyatuan masyarakat
22
Ibid, Hall, hlm 44.
23
Ibid, Hall, hlm 45.

8
secara rohani. Pada saat itu, agama Buddha yang berasal dari India yang diperkenalkan
oleh tiga Kerajaan ke Semenanjung Korea melalui Cina.

Agama Buddha masuk ke Korea pada tahun 372 melalui Cina pada masa
kekuasaan Raja Sosurim dari Kerajaan Goryeo. Di Kerajaan Goryeo terdapat seorang
biksu dari wilayah bagian utara cina pada masa kerajaan Cina setelah dinansti Qin yang
mengungsi ke Kerajaan Goryeo bernama Shuntao24. Melalui pengungsian itu beliau
memperkenalkan agama Buddha ke Kerajaan Goryeo, sedangkan agama Buddha di
perkenalkan ke Kerajaan Baekje pada tahun 384 oleh seorang biksu India yang bernama
Maranata yang datang dari Dong Jin, Cina.

Sementara itu ada biksu dari Goryeo bernama Mukhoja memperkenalkan agama
Buddha kepada Kerajaan Silla yang saat itu diperintah oleh Raja Nulji. Namun,
pengenalan agama Buddha ke Kerajaan Silla itu harus menghadapi tekanan keras dari
pihak Kerajaan. Baru 100 tahun kemudian, sekitar 527 Raja Bophung secara resmi
mengijinkan berkembangan agama Buddha di Silla setelah melihat kekhusukan Ichadon
dalam menjalankan agama Buddha.

Agama Buddha terus berkembang di tiga Kerajaan tersebut atas dukungan penuh
anggota keluarga Kerajaan dan kaum bangsawan. Selanjutnya agama Buddha dijadikan
sebagai agama nasional dengan tujuan agar dapat melindungi keamanan Kerajaan,
khususnya Kerajaan Silla. Sementara itu taoisme, kepercayaan tradisional Cina yang
menggabungkan semangat kemudahan abadi dengan elemen – elemen gaib juga
dikembangkan. Bukti yang menunjukkan pengaruh taoisme itu misalnya adalah lukisan
dinding 4 jenis binatang25 di kuburan Goryeo dan Sankyung Munjon dari Kerajaan
Baekje.

Dalam bidang keagamaan Korea memiliki perbedaan dengan Indonesia. di


Indonesia terdapat banyak hari raya keagamaan, sedangkan di Korea hanya ada dua hari
keagamaan yaitu hari natal dan hari lahirnya Buddha Gautama. Setiap negara dengan
sejarah panjang memiliki peninggalan kebudayaan. Kebudayaan tersebut tetap
berdasarkan suatu agama ataupun agama – agama pribumi.

Agama Buddha Mahayana jauh berkembang di Korea dan menyimpan


peninggalan kebudayaannya daripada di India dan Cina26. Sedangkan di Cina Taoisme
lebih berkembang daripada agama Buddha, tetapi di Korea agama Buddha jauh lebih
berkembang walaupun terdapat Taoisme27 sebagai aliran kepercayaan pribumi. Agama
24
Seung, Yoon Yang; Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea: Sejak Awal Abad hingga Masa Kontemporer, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2003, hlm 22.
25
4 jenis binatang itu merupakan simbol 4 dewa yang menjaga dan melindungi arah mata angin, terdiri dari naga
biru disebelah timur, harimau putih di sebelah barat, burung phoenix di sebelah selatan, dan burung Hyonmu
(burung berwarna hitam, berkepala ular dan bertubuh kura – kura) di sebelah utara.
26
Seung. Yoon Yang, Seputar Kebudayaan Korea, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hlm 75.
27
Agama lokal penduduk Korea

9
Buddha selalu berkembang dari masa ke masa menjadi agama induk dalam masyarakat
Korea sehingga sebagian besar kebudayaan Korea kuno tetap berdasarkan agama
Buddha. Perkembangan kebudayaan agama Buddha mencapai puncaknya selama 300
tahun pada masa Kerajaan Silla.

Agama Buddha memiliki bentuk asli berupa suatu rumusan disiplin filsafat yang
tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kebersihan dalam kehidupan sejalan
dengan penolakan nafsu – nafsu duniawi yang berarti menghindari kebangkitan kembali
roh – roh yang tak ada akhirnya dan membawa roh yang suci ke dunia nirwana dalam
agama Buddha28. Di Korea terdapat 6.700 kuil Buddha, termasuk 1.600 candi besar dan
kecil. Setiap kompleks candi dan kuil Buddha di Korea memiliki kuil kecil yang terletak
dekat ruangan utama. Hal ini dikarenakan pada saat masukknya agama Buddha ke Korea
tidak banyak orang mengunjungi candi untuk bersembahyang dan oleh karena itu para
penganut Buddha mendirikan kuil kecil yang dapat digunakan untuk bersembahyang
menurut kepercayaan Taoisme untuk membiarkan suami atau anak laki – lakinya lulus
ujian, melahirkan anak laki – laki, menjaga kesehatan anggota keluarga dan untuk
menambah kekayaan.

Menurut buku karangan Buswell, Tracing Back The Radiance, Buddhisme di


Korea dipusatkan pada aspek-aspek ritual seperti penyembahan Maitreya Bodhisattva dan
studi Mahayana klasik dari India. Kerajaan Goryeo yang paling dekat dengan China,
mengadopsinya menjadi agama negara pada tahun 372 ketika Kaisar Fu Jian dari Dinasti
Qin mengirinkan seorang biksu, Shuntao untk bertemu Raja Sosurim. Kerajaan Bakjae
mengadopsinya pada taun 384 M ketika biksu Buddha Maranata dari China diterima Raja
Asin Bakjae. Baru Kerajaan Silla menggunakan agama Buddha pada abad ke-6 M karena
pelawanan oleh kelompok bangsawan dan politik isolasi terhadap Cina29.

Buddhisme menyebar dan memiliki pengaruh terhadap masyarakat Korea yang


terbelah menjadi tiga kerajaan, karena biksu Buddha Korea memiliki hubungan yang erat
dengan China dan para biksu tersebut membantu mempercepat berkembangnya ketiga
kerajaan tersebut di semenanjung Korea baik secara politik, budaya, dan ekonomi.
Misalnya Buku Sutra Benevolent Kings30 sangat dihargai. Begitu pula, tatanan monarki
kerajaan-kerajaan di Korea diorganisasi dan dikendalikan oleh negara dengan peran
penting para biksu Buddha untuk melindungi negara.

Ketika kerajaan Silla menyatukan semenanjung Korea pada abad ke-7, Agama
Buddha berkembang lebih pesat dan tidak hanya menjadi instrumen politik negara.
Buddhisme telah diterima pada saat itu oleh seluruh lapisan masyarakat dan para biksu
Korea banyak melakukan perjalanan menghadap Dinasti Tang di China. Pada masa itu
terdapat dua sekolah yang menyebarkan Agama Buddha. Pertama sekolah Flower
Garland yang didasarkan atas Sekolah China Hua-Yan dengan Flower GarlandSutra
28
Ibid, Seung, hlm 76.
29
Putro, Zaenal Abidin Eko; Cahyo Pamungkas, Agama Konghucu dan Buddha Dalam Lintasan Sejarah Korea, Jurnal
Kajian Wilayah, Vol 8 No.1, 2017, hlm 148.
30
Ibid, hlm 149.

10
sebagai teks utama. Prinsip ajarannya adalah ketergantungan antar benda di dunia, satu
mengandung semua dan semua mengandung satu. Kedua, sekolah Pure Land yang
dipusatkan pada Pure Land of Amitabha Buddha. Sekolah ini banyak mendapatkan
pengikut di kalangan masyarakat biasa.

Ketika Kerajaan Silla bersatu jatuh pada abad ke-10, Dinasti Kerajaan Goryeo
secara politik lebih cenderung mengadopsi Agama Khonghucu sebagaimana dilakukan
oleh Dinasti Sung di China. Agama ini berkembang pesat dan menjadi agama resmi
negara pada masa Dinasti Goryeo (918-1392). Namun demikian, pada masa tersebut, para
pemeluk Agama Khonghucu dan Buddha hampir mencapai keseimbangan dalam
jumlahnya. Agama Khonghucu mengajarkan kebudayaan dan politik pemerintahan di
Korea, sedangkan Buddhisme mengajarkan kedamaian jiwa dan hari kemudian (after
life). Pada abad ke-11 dalam Dinasti Goryeo, kitab-kitab suci Agama Buddha sudah
terukir dalam blok-blok kayu yang kemudian dihancurkan pada saat Kerajaan Mongol
menyerang Goryeo. Pada masa Goryeo, Buddhisme dilanda perpecahan antara sekolah-
sekolah Buddha yang berlandaskan teks saja dengan sekolah-sekolah pemikiran. Ada
juga Sekolah Tian-tai dari China yang berakar di Korea, Cheontae, yakni mencoba
menyediakan kerangka kerja Buddhisme yang mencakup baik sekolah teks maupun
pemikiran dengan Buku Lotus Sutra sebagai sentral pemikiran.

Didalam Kerajaan Goryeo agama Buddha dijadikan sebagai agama resmi dan
digunakan sebagai faktor pemersatu bangsa Korea. Selain sebagai faktor pemersatu juga
digunakan sebagai landasan identitas nasional dan kebudayaan. Raja Goryeo mengikuti
ajaran – ajaran biksu Buddha Doseon (827 – 989) dan membangun vihara Buddha serta
menyebarkan pada Dharma31. Pada masa Goryeo kitab Tripitaka dalam bahasa Korea
diukir ke dalam lebih dari 80.00 woodblocks sebagai pelindung dari invasi dan kekuatan
– kekuatan asing. Kemudian agama Buddha melahirkan sebuah festival nasional yang
dikenal dengan nama P’algwanhoe dan Yeondeunghoe. Pada masa tersebut, jumlah
sangha-sangha dalam agama Buddha berkembang pesat. Akan tetapi, peningkatan
pengaruh ekonomi dan politik para biksu Buddha menyebabkan ketidaksukaan dari
masyarakat umum yang tidak dipedulikan oleh penguasa Goryeo.

II.3 Perkembangan Agama Buddha di Indonesia dan Korea.


I. Perkembangan Agama Buddha di Indonesia.

Perkembangan agama Buddha di Indonesia dimulai sejak hadirnya Kerajaan


Sriwijaya. Sejak berdirinya Kerajaan Sriwijaya, agama Buddha menjadi agama inti
dibumi Sriwijaya. Apalagi setelah kehadiran I-tsing yaitu seorang pendeta dari Cina yang
singgah di Sriwijaya ketika akan melakukan perjalanan ke India. Ketika singgah beliau
juga menerjemahkan beberapa kitab dalam bahasa sanskerta ke dalam bahasa Cina, hal
itu beliau lakukan agar kitab berbahasa Sanskerta itu dapat dengan mudah dipelajari oleh
pemuda – pemuda dari Cina yang ingin memperdalam ajaran Buddha.

31
Adalah sebuah ajaran yang memiliki arti kebenaran dalam Dharmacakra Buddha. Didalam Dharmacakra
mengajarkan kebenaran seperti lingkaran dari sebab dan akibat. Artinya sebab yang sati timbul dari sebab yang
lain.

11
Perkembang agama Buddha di Indonesia tepatnya dimulai sejak abad ke 5 sampai
abad ke 15 Masehi, yang berada dibawah pengaruh agama Buddha dari India. Khususnya
aliran siwa dan Mahayana. Hanya bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit,
agama Buddha tidak lenyap sama sekali meskipun Kerajaan Buddha sudah runtuh dan
tergantikan oleh Kerajaan Islam. Salah satu bukti nyata bahwa agar Buddha telah
mendarah daging dalam hati masyarakat Indonesia ialah hingga kini Candi Borobudur
sebagai lambang kebesaran agama Buddha di Indonesia masih berdiri megah, arif nan
agung. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga Candi Prambanan sebagai Candi
Siwa dari agama Hindu yang disebut juga sebagai jadi Rara Jonggrang.

Gambar 1. Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.


Sumber: http://cendikianews.com/
Hal itu terjadi karena sebelum agama Buddha berkembang secara pesat di
Indonesia, agama Hindu lebih dulu masuk ke Indonesia yang mampu memberikan
sumbangan yang cukup besar dalam perkembangan kebudayaan dan kerohanian bangsa
Indonesia. Dimana agama Hindu dan Buddha selalu berdampingan dengan damai dan
tidak saling menganggu dalam perkembangannya.
Sekitar tahun 600 M didaerah Temanggung terdapat Kerajaan Hindu Jawa yang
bernama Kalinggapati, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya bersama dengan
saudaranya yang bernama Putri Sima. Keduanya merupakan keturunan Akuwu Sanaha.
Bukti dari adanya Kerajaan Kalingga ini adalah adanya pemandian “piketan” yang
masih ada hingga sekarang di Temanggung. Kalinggapati tersohor ke seluruh penjuru
negeri tentang kesejahteraanya, keamanannya, ketentremanna, kemakmurannya,
perdamaiannya, hal ini disebutkan dalam kitab – kitab oleh seorang ahli sejarah dari
Tiongkok pada waktu itu yang mengadakan perjalanan keliling dunia bernama Fa
Hien32.
Kemudian sekitar tahun 700 M, Kerajaan Medang Kamulan berdiri dibawah
pemerintahan Prabu Dharmawangsa33. Medang Kamulan juga sering disebut sebagai
Mataram Kuno atau Purba. Dari nama tersebut data dipahami bahwa Rajanya yaitu
32
DR.Harun Hadiwidjono, Agama Hindu dan Buddha, hal.84-85.
33
Didalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai purwacarita yaotu permulaan sejarah.

12
Prabu Dharmawangi merupakan seorang penganut agama Buddha, namun kedua agama
tetap berkembang dengan baik tanpa adanya bersaingan satu sama lain. Tokoh yang
sangat berpengaruh dengan toleransi antara kedua negara terjalin adalah Mpu Sindok
yang beragama Hindu. Kemudian setelah Kerajaan Purwacarita tersebut, Raja Palindra
dan Sailendra memberikan sumbangan yang besar dalam bidang kebudayaan dan bidang
spiritual. Antara lain Palindra menciptakan gamelan laras Pelog dan Sailendra
menciptakan gamelan laras Slendro34.
Untuk membuktikan rasa toleransi tersebut maka agama Buddha dan Hindu
maka dibuatlah Candi Borobudur sebagai Candi Buddha dan Candi Prambanan sebagai
Candi Hindu. Kedua candi ini berdiri dari abad ke VIII, selain dua candi itu kemudian
didirikan Candi Mendut dan Pawon yang merupakan Candi Buddha yang tidak
terpisahkan35. Kemudian di Singasari dibuat arca Prabu Kertanegara yang sebenarnya
adalah arca sang Buddha kreasi Jawa, yang disesuaikan dengan agama Buddha yang
berlaku di Singosari. Prabu Kertanegara dianggap sebagai Buddha Bojana yang dalam
ajarannya berbeda dengan ajaran agama Buddha Dharma pada umumnya. Misalnya
Buddha Bojana mengajarkan untuk membasmi rasa loba dalam hal makan, minum,
birahi dan pakaian, orang harus makan, minum, birahi dan pakaian sebanyak –
banyaknya dan sebaik – baiknya, hingga akhirnya merasa bosan.
Ketika Kerajaan Singosari runtuh, seorang putra laki – laki dari Prabu
Kertanegara bernama Wijaya yang dapat melarikan diri dari pasukan Jayakatwang
kemudian mendirikan Kerajaan yang diberi nama Majapahit. Kerajaan Majapahit berdiri
pada masa agama Buddha dan Hindu mengalami masa keemasan 36. Masa keemasan dari
Majapahit juga dituliskan dalam Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Mpu Tantular
dalam kitab sutasoma mengatakan:
“Siwa Buddha Bhinneka tinggal ika tan hana Dharma mangro - Siwa dan
Buddha berlainan akan tetapi sesungguhnya adalah satu, sebab tidak ada
Dharma (kebenaran) itu kembar”
Perkembangan agama Buddha maupun Hindu di Jawa di mulai dari daerah
Kedu. Kedua agama tersebut asalnya dari India dapat diterima apabila kedua agama
tersebut masuk ke Indonesia melalui jalur laut. Menurut beberapa penelitian masuknya
agama Buddha di Jawa berasal dari Cilacap dengan menelusuri pelabuhan di pantai
Selatan. Dari Cilacap para biksu menyusuri kali Seraju hingga di Wonosobo dan daerah
pegunungan Dieng. Pegunungan Dieng memiliki ukuran yang cukup kecil memiliki
kesamaan dengan pegunungan Himalaya di India Utara.
Menurut cerita Cerita Jawa asli yang mengisahkan datangnya seorang asing
bernama Ajisaka di pulau Jawa, yang sebenarnya merupakan sejarah masuknya agama
Buddha di Indonesia (Jawa). Diceritakan bahwa Ajisaka mendarat di pulau Majeti
34
Saleh. Syamsuduha, Buku Ajar Buddhisme, hlm 116.
35
Ibid, hlm 117.
36
Didalam Babad Tanah Jawi dijelaskan bahwa pada masa keemasan Majaphit, pusaka Kerotin yang disebut Kyai
Condong Campur memiliki arti suka bersatu dan bersepakat dengan siapa pun.

13
(Salah satu dari kumpulan pulau-pulau di sekitar Nusakambangan, (Cilacap sekarang).
Di muara Kali Seraju, Ajisaka menanam pohon Wijayakusuma, kemudian semua Raja-
raja di Jawa sampai dengan para Susuhunan Sala dan Sultan-sultan di Yogya, sesudah
dinobatkan berdaya upaya guna mendapatkan bunga dari pohon Wijayakusuma ini
untuk dimakannya. Tradisi ini masih terjadi selama pemerintahan penjajahan Belanda.
Pelajaran agama Buddha yang dibawah dan diajarkan oleh Ajisaka ini, diterima
dan dihargai oleh rakyat Jawa pada waktu itu dan saat itu dicatat sebagai suatu
perhitungan 1 dari penanggalan (kalender) Jawa, dengan Candra- sangkala: “Nir wuk
tanpa Jalu”, yang berarti: Nir =Kosong atau 0, wuk = Tidak jadi = 0; tanpa = kosong;
dan Jalu = 1. Nir wuk tanpa jalu berarti 0001, atau tahun 1. Kecuali berarti tahun 1,
juga melambangkan bahwa pada saat itu tanah Jawa belum ada Raja sebagai kepala
Negara dan agama. Jalu sebenarnya berarti laki-laki. Karena itu kelak kemudian dengan
berdirinya Negara 120 Medangkamolan atau Purwacarita dengan Prabu Darmawangsa
sebagai Raja, tercapailah angan-angan untuk memiliki Raja yang beragama Buddha.

Siapakah sebenarnya Ajisaka itu, sesungguhnya Ajisaka ini bukan nama


seseorang. Bandingkanlah perkataan “Ajisaka” dengan perkataan Sakya dan yang lebih
dekat lagi dengan perkataan Asoka. Ajisaka terdiri dari kata “Aji” yang berarti
pengetahuan atau kepandaian, dan “saka” yang berasal dari kata “Sakya” atau Shoka
ialah nama keturunan (suku) sang Sidharta. Sang Buddha juga disebut sang Sakya
Muni, artinya keluarga atau keturunan suku Sakya yang memancarkan atau cemerlang.
Ajisaka, arti sebenarnya adalah pelajaran Sang Sakya Muni atau pelajaran dari Asoka.
Dan ini tidak lain adalah pelajaran Buddha-Dharma37.

Para Ksatria dan Brahmana yang beragama Hindu mundur ke Bali, sebagian
rakyat yang beragama Buddha mundur ke pegunungan Tengger, yang masih ada hingga
kini. Sebagian besar rakyat yang beragama Buddha tersebar ke seluruh wilayah
Majapahit, pada waktu itu dan para Wiku dan Pandita yang berkedudukan jauh dari
ibukota Majapahit tetap tinggal di wilayahnya masing-masing dan terus menunaikan
agamanya, biarpun tidak dengan terang-terangan. Dengan demikian lama kelamaan,
seperti juga terjadi di pegunungan Tengger, timbullah agama Buddha yang kita sebut
agama Buddha naluri atau tradisi. Lenyap sama sekali tidak, berjalan dengan terang
terangan pun tidak. Dengan melalui berjenis-jenis jalan, gaya hidup Buddha Dharma
terus mengalir di kalangan rakyat, terutama dalam perkembangan seni budaya. Oleh
karena tidak adanya pimpinan tetap, lama kelamaan jiwa keagamaan Buddha Dharma
dari upacara-upacara yang masih dilakukan tidak nampak lagi dengan jelas, juga karena
pengaruh agama baru, maka lambat laun keaslian ajaran Buddha Dharma menjadi
semakin berkurang, makin berubah akan tetapi lenyap sama sekali pun tidak. Namun
berlanjut di Vihara, yang kemudian dijadikan tempat belajar dan menulis naskah-naskah
suci ritual agama Buddha, seperti Buddha Weda dan Pujapurwaka filsafat Agama
seperti Pancatathagata. Juga dikumpulkan kembali petunjukpetunjuk untuk calon
Bikksu. Dalam Nagarakartagama, dari tahun 1368, Dhammadhyaksa ring kasogotan
atau pemimpin pendeta agama Buddha menunjukkan pengaruh yang lebih besar.
Kemudian agama Buddha perlahan lenyap seiring munculnya kerajaan – kerajaan Islam
37
Opcit, hlm 121.

14
di Jawa. Tetapi pada akhir abad ke 5 banyak orang cina yang bermigrasi ke Indonesia
sehingga ada nasionalisasi terhadap etnis Tionghoa dan agama yang mereka anut. Dari
agama awal yaitu Buddha, Konfusionisme dan Taoisme dirangkum dengan satu nama
yaitu Tridharma.

Tridharma ini dibentuk oleh tiga agama awal orang Tionghoa di Indonesia,
kemudian muncul keturunan Tionghoa di Bogor, Jawa Barat yaitu Buan An yang tumbuh
dalam tradisi penyatuan tiga agama tersebut, tetapi kemudian mereka bertekad untuk
memurnikan kembali ajaran Buddha. Buan An ditahbiskan menjadi rahib dengan gelar
Anagharika Sthvira Ashin Jinarakhita Thera38. Dengan begitu Buan An mulai
memprogandakan ajaran Buddha kepada masyarakat Tionghoa dan juga penduduk asli
Indonesia. Dalam kebangkitn yang baru tersebut kemudian ada dua vihara atau kuil tahun
1956 yang dibangun yang berada di sekitar Semarang yakni Bochagaya dan
Buddhajayanti. Pada tahun 1957 pemeluk agama Buddha dari seluruh dunia merayakan
25 abad Buddha. Peristiwa ini mendapatkan perhatian dari pers Indonesia. Jumlah
pemeluk Buddha bertambah, hal ini terjadi pada tahun 1957 di Jawa Tengah yang
ditandai dengan 100 upasaka dan upasika39. Kemudian banyak pusat – pusat agama
Buddha dibuka di 19 kota di Indonesia. Tahun 1979 tiga mahathera dari Srilanka dan tiga
orang yang berkedudukan lebih tinggi dalam Buddha di Thailand, Birma, dan Malaysia
diundang dalam perayaan waisak di Indonesia sekaligus upacara pentasbihan. Perayaan
waisak tersebut dilaksanakan di candi Borobudur yang dihadiri pula oleh duta besar
negara – negara pemeluk agama Buddha dan wakil – wakil dari pemerintahan Indonesia.

Kemudian agama Buddha terus berkembang hingga tingkat nasional.


Perkembangan agama Buddha ini terlihat dari tiga hal yaitu, Yang pertama adalah
pembangunan kembali vihara-vihara. Banyak vihara didirikan, beberapa dari itu dibawah
kepemimpinan biarawan dari Birma. Ada sekitar 30 vihara didirikan di seluruh wilayah
Indonesia. Beberapa diantaranya menggunakan nama-nama klasik, seperti vihara
Dhammakirti di Palembang, Sumatra, yang di ambil dari nama tokoh agama asal India
yang pada abad ke-8 pernah mengajar di Sriwijaya, Palembang; Vihara Prajnaparamita
di Surakarta; Vihara Indraloka di Jogyakarta, tidak jauh dari Candi Kalasan. Di Bali
vihara di bangun di Singaraja dan beberapa jumlah vihara di sekitar Candi Borobudur
juga dilipat gandakan. Yang kedua adalah usaha untuk menemukan kembali pengaruh
yang telah hilang, perubahan masyarakat diamati, khususnya keberadaan daerah - daerah
kantong dari penyatuan Buddha Siwa yang tetap hidup dalam kedaulatan Hindu, di
Tengger, di sekitar gunung Bromo, Jawa Timur, terdapat 30 desa dengan total penduduk
98.000 jiwa dikenal beragama Buddha. Pada tahun 1957, di Lombok Barat, sebuah pulau
yang semula dikuasai Raja Bali, dimana agama Hindu nyaris tenggelam dalam semangat
animisme lokal, agama Buddha disambut hangat oleh ratusan penduduk setempat. Di
Banjarmasin dan Kalimantan, dimana tidak tampak ada garis pemisah antara agama
Buddha, Taoisme dan Kompusionisme. Kini agama Buddha punya tempat yang cukup
kuat dalam masyarakat Indonesia. Yang ketiga adalah meningkatkan pengajaran dan
instruktur agama. Tahun 1962 di buka Universitas Buddhakirti di Bandung dengan 25
mahasiswa. Berbagai pusat literatur dan buku-buku petunjuk agama di bangun.

38
Ibid, hlm 123.
39
Calon biarawan dan biarawati.

15
Pertumbuhan ini dipercepat dengan keputusan pemerintah 1966 yang mewajibkan
pelajaran agama di sekolah dari tingkat dasar sampai Perguruan Tinggi. Pada tahun 1970
di tetapkan oleh Direktorat Jenderal untuk jemaat agama Buddha, sebuah seksi dibawah
kementerian agama yang menerbitkan buku Dhammapada, berisi ringkasan dari doktrin
doktrin agama Buddha Suta Pitaka. Dengan dukungan pemerintah penerjemahan dari
buku Jawa kuno, Sanghiangkamahayanikam diterbitkan pada tahun 1971. Pandita
Vidyadhamma dan Mahapandita Kemanyana menyusun buku Dhamma Sari dan Buddha
Dhamma, yang kini beredar di pasaran. Susunan pengurus organisasi juga mulai di
benahi. Puncak hierarki agama Buddha adalah Mahasangsika Indonesia, yang terdiri dari
maha biksu dibawah kepemimpinan Mahanayaka Sthavira Ashin Jinarakhita. Tingkatan
kedua dibentuk oleh Mahasamya; sebuah badan konsultasi untuk upasaka dan upasika,
beranggotakan 60 orang. Sedang tingkat ketiga berisi para pemeluk agama Buddha
PERBUDHI40.

II. Perkembangan Agama Buddha di Korea.

Gambar 2. Patung Jogyesa di Korea Selatan


Sumber: http://korea.panduanwisata.id/

A.Kerajaan Goryeo
Agama Buddha berkembang pesat pada masa Kerajaan Goryeo, hal ini dapat
terjadi karena mendapat dukungan penuh dari kaum bangsawan sehingga agama
Buddha dapat berkembang dengan sangat baik di Kerajaan Goryeo. Pada masa
Kerajaan Goryeo banyak kuil dan candi yang dibangun dan dalam perkembangan
selanjutnya banyak memberikan gelar wangsa (wiharawan kerajaab) dan kuksa 41
bagi biksu – biksu termasyur. Karena hal tersebut maka sistem ujian seleksi
wiharawan dalam ujian pegawai pemerintah mulai ditetapkan.
40
Persatuan Pemeluk Agama Buddha Indonesia
41
Wiharawan negara.

16
Biksu Daegaksuka Uichon merupakan seorang biksu yang terkenal pada masa
Kerajaan Goryeo ia bahkan mempelopori adanya aliran chontaejong42 dengan tujuan
untuk meredakan ketegangan antara aliran ajaran dengan aliran Zen. Seiring dengan
perkembangan agama Buddha, kemudian Kerajaan Goryeo melanjutkan pembuatan
kitab suci Daejanggyong43 untuk memperdalam semua filsafat agama Buddha.
Cetakan Daejanggyong edisi pertama yang pembuatanya dimulai dari mas Raja
Hyojong dan baru selesai pada masa Raja Munjong terbakar akibat adanya serangan
dari tentara Mongol.

Sementara untuk cetakan Sokjanggyong yang disusun oleh Daegakguksa


Uichon tidak diwarisi oleh bangsa Korea hingga saat ini. Meskipun demikian
Goryeo Daejanggyong yang dibuat di Pulau Kanghwa pada saat Goryeo
menghadapi serangan dari Mongol yang sangat terkenal diseluruh dunia karena
ketelitian, keindahan dan keelokkannya khusunya pada balok huruf kayu. Saat ini
masih tersimpan di Kuil Haein di Habchon, sebanyak 80 keping papan kayu balok
huruf yang memuat Goryeo Daejanggyong. Biksu Bojo Guksa Jinul memainkan
peran penting di Kerajaan Goryeo ketika pemerintahan berkuasa di Goryeo. Ia
bahkan berhasil menghidupkan aliran Jogyejong yang merupakan perpaduan dari
aliran Zen dengan aliran ajaran sebagai tulang punggung agama Buddha dari Korea.

Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bajwa agama Buddha di Korea


telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan kebudayaan
dan kehidupan sosial Kerajaan Goryeo. Akan tetapi, agama Buddha telah
mendorong para biksu untuk menimbun harta kekayaan berupa tanah maupun
budak. Sehingga para biksu dapat hidup mewah dan terus menerus melakukan
campur tangan dalam urusan duniawi. Oleh karena itu pada masa akhir Kerajaan
Goryeo banyak orang yang mengutuk keras penyalahgunaan agama.

B. Kerajaan Silla Baru dan Balhae


Setelah terjadi penyatuan tiga Kerajaan Korea kuno ke dalam Kerajaan Silla
baru, agama Buddha kemudian berkembang dengan pesat. Dalam perkembanganya
agama Buddha mengalami perpecahan menjadi 5 aliran dan 9 Zen yang disesuaikan
dengan ajaran Budhidharma pada masa Kerajaan Silla dan menyebar ke seluruh
lapisan masyarakat.

Dari 5 airan ajaran Buddha tersebut ada Hwaomjong yang merupakan aliran
dari Avatamsaka yaitu sebuah aliran agama Buddha yang dikembangkan oleh biksu
Uisang pada masa Kerajaan Silla yag didasarkan pada kitab suci Hwaom,

42
Suatu aliran agama Buddha Mahayana yang diciptakan oleh biksu Zhi Yi pada masa kerajaan Sui dengan
didasarkan ada kitab suci agama Buddha termasuk Kyongjang, Yuljang, dan Nonjang.
43
Daejanggyong sebutan umum untuk seluruh kitab suci agama Buddha termasuk Kyongjang, Yuljang, dan
Nunjang.

17
Avatamsaka Sutra. Hal ini mendapatkan sambutan yang cukup baik dan dapat
diteruma oleh kaum bangsawan Jin Gol. Disamping itu ada biksu Wonhyo 44 yaitu
salah satu wiharawan terkenal di Silla yang berusaha untuk menyatukan filsafat
agama Buddha sambil terus memasyarakatkan agama Buddha melalui pembentukan
aliran Jongtojong45.

Menjelang masa runtuhnya Kerajaan Silla, aliran Zen yang mengutamakan


adanya meditasi menjadi popular di kalangan masyarakat Silla. Aliran ini kemudian
membentuk adanya 9 satuan dibawah perlindungan kekuasaan daerah
perkembangan pusat agama Buddha berhasil mendorong peningkatan taraf seni
lukis agama Buddha, bahkan juga aktifnya pemberian pelajaran mengenai agama
Buddha.

Sebelum tiga Kerajaan kuno bersatu ke dalam Kerajaan Silla baru, ada kerajaan
Blhae yang mana di dalam Kerajaan tersebut agama Buddha juga berkembang
dengan pesat. Meskipun di Kerajaan Balhae hanya ditemukan sedikit tempat
peninggalan sejarah mengenai agama Buddha. Di kerajaan Balhae kaum
wiharawannya memiliki status sosial yang cukup tinggi dan memainkan peran yang
sangat penting. Tidak hanya dalam bidang keagamaan saja tetapi mereka juga ikut
andil dalam bidang diplomatik46. Penyair Injong dan Jongso sebenarnya juga
merupakan seorang biksu yang dikirim ke Jepang sebagai delegasi diplomatik
Kerajaan Balhae47.

II.4 Pengaruh Agama Buddha terhadap Kebudayaan Korea.

Pada masa tiga Kerajaan kuno, para kaum bangsawan menciptakan seni budaya
yang halus dan beraneka ragam, sedangkan masyarakat umum mengembangkan seni
budaya secara sederhana. Lukisan dinding sebuah makam dan lukisan Buddha menjadi
pusat seni lukis yang berkembang di tiga Kerajaan. Tetapi karya di setiap Kerajaan
memiliki karakteristik masing – masing. Karya lukis Kerajaan Goryeo penuh dengan
dinamika dan semangat, sedangkan seni lukis Kerajaan Baekje yang menggambarkan
keindahan dan kehalusan. Demikian juga dengan seni lukis Kerajaan Silla yang
menggambarkan keseimbangan48.

Kerajaan Goryeo memiliki beberapa makam kuno diantaranya Janggun Chong


(makam Jenderal), Muyong Chong (makam penari dan pemburu), Ssangyong Chong
(makam 2 tiang), dan Kangso Daemyo (makam raksasa). Dimana Kangso Daemyo ini

44
Biksu yang hidup pada tahun 617 hingga 686 Masehi.
45
Sebuah aliran Sukkavati yaitu aliran agama buddha yang pada prinsipnya bertujuan untuk mencapai Nirwana
melalui ketekunan Amitabha.
46
Opcit, Seung Yoon yang; Nur Aini, hlm 34.
47
Ibid, hlm 35.
48
Opcit, Seung, Nur aini, hlm 24.

18
merupakan makam yang paling terkenal, sedangkan Janggun Chong merupakan makam
Raja Kwanggaeto yang terbuat dari batu dan terdiri dari 7 tingkat dengan skala besar.

Makam Muyong Chong didalamnya terdapat gambar yang mengisahkan


perburuan dan tari – tarian, sedangkan di dalam makam Ssangyong Chong terdapat
gambar mengenai para ksatria dan adat istiadat. Di dalam makam Kangso Daemyo
terdapat gambar tiga dewa, gambar tersebut membuktikan adanya keunggulan seni lukis
dan menunjukkan kehidupan masyarakat Goryeo yang penuh dengan semangat.

Makam Kun dari Kerajaan Baekje telah menunjukkan adanya keindahan baik dari
segi arsitektur maupun keunggulan seni lukisan dindingnya. Makam Raja Munyong, Raja
ke 25 Kerajaan Baekje merupakan makam yang sangat terkenal sebab dalam proses
penggaliannya ditemukan barang interior dan sebuah batu bertulis yang menunjukkan
identitas makam. Selain makam, Kerajaan Baekje juga memiliki keunggulan daam
membangun pagoda. Diantara banyaknya pagoda di Kerajaan Baekje, pagoda candi
maitra di Iksan dan pagoda bertingkat 5 Candi Jongnim merupakan pagoda yang paling
terkenal. Pagoda di Candi Jongnim menunjukkan sebuah keharmonisan dan keindahan
dalam seni lukis.

Karya lain dari Kerajaan Baekje adalah patung Buddhamaitreya yang dipahat
pada dinding batu dan terbuat dari emas dan perunggu. Sedangkan Kerajaan Silla
merupakan Kerajaan dengan tingkat kebudayaan yang tinggi. Hal ini dikarenakan dalam
beberapa penggalian maka Kerajaan Silla telah ditemukan sejumlah besar barang
kerajinan tangan termasuk mahkota, dan dimakam Chonma Chong, ditemukan gambar
kuda terbang yang dapat membuktikan seni lukis pada masa Kerajaan Silla. Di Kerajaan
Silla juga terdapat pagoda yang sangat terkenal yaitu pagoda Candi Bunhwang dan
Chomongdae49. Untuk penjelasan kebudayan di masing – masing Kerajaan akan dibahas
dibawah ini.

I. Kerajaan Silla Baru


Kesenian yang dikembangkan oleh Kerajaan Silla adalah kesenian yang berpusat
pada agama Buddha, sebagai bukti akan hal tersebut adalah pembuatan patung Buddha,
pagoda dan lonceng yang memiliki ciri khas tertentu, khusunya memiliki kekhasan dalam
segi keharmonisan dan keseimbangan keindahan. Pada pertengahan abad ke 8 M
dibangun Sokkuram dan Candi Bulguk yang merupakan permintaan Kim Dae Song
kepada Tuhan. Kedua bangunan tersebut menjadi primadona dalam seni budaya agama
Buddha di Silla. Sokkuram merupakan sebuah bangunan Candi Gayang dibuat dengan
tangan manusia yang menggambarkan secara nyata dunia yang ideal menurut agama
Buddha. Pada bagian tengah candi terdapat patung Buddha Gautama yang berukuran
raksasa yang dikelilingi dan dilindungi oleh pengikutnya. Puncak perkembangan seni
lukis di Silla ditunjukkan dengan proses pembuatan dengan kemampan yang saat tinggi
yang mana kemampuan itu menunjukkan sebuah keharmonisan.

49
Merupakan harta beda nasional Korea nomor 31,berupa bangunan setinggi 9 meter untuk melakukan
penyelidikan astronomi atau perbintangan pada masa Ratu Sondok.

19
Gambar 3. Candi Bulguk,
bukti kemajuan kesenian Kerajaan Silla.
Sumber: istockphoto.com
Candi bulguk pada awalnya dibangun dengan skala 2000 lebih, tetapi selama
invasi Jepang yang dipimpin oleh Hideyoshi banyak bangunan candi yang terbuat dari
kayu terbakar. Bangunan Candi Bulguk yang ada sekarang merupakan bangunan candi
hasil restorasi yang dilakukan pada masa akhir Kerajaan Choson. Selain itu ada pula
pagoda bertingkat 3 (Sokkatab) dan Tabotab yang secara bersamaan dengan pagoda 4
ekor singa yang bertingkat 3 di Candi Hwom mmunjukkan keindahan yang sangat
ungguk dan dapat mewakili pagoda batu yang dibuat pada masa Kerajaan Silla 50.
Kemudian ada juga jembatan awan biru dan awan putih, jembatan bunga teratai, dan
jembatan 7 harta benda menuju gerbang jahamun serta tiang bomyongmu yang letakknya
di sebelah barat jahanum.

Gambar 4. Lonceng baru Raja Seongdeok


Sumber: https://visitkorea.or.id/akudankorea/unique-destination/1000-tahun-sejarah-
gyeongju

50
Opcit, Seung, Nur Aini, hlm 39.

20
Di Candi Sangwon terdapat lonceng yang sangat terkenal yaitu perunggu dan
lonceng baru raja Songdok yang merupak lonceng peninggalan Kerajaan Silla Baru.
Lonceng baru Raja Songdok sangat terkenal karena ukurannya yang sangat besar dan
permukaannya menggambarkan bidadari dan bunga teratai. Peninggalan lain dari
Kerajaan Silla adalah lentera Baru dan batu nissan makam. Diantara peninggalan lentera
batu, di Candi Bolju terdapat lentera sepasang singa dan di Candi Bulkuk ada lentera batu
yang sangat terkenal dengan keseimbangannya. Kemudian ukiran batu nissan di dalam
makam Muyol dan ukiran 12 jenis bintang di alam maka Kim Yu Sin serta makam
Kwoerung menjadi peninggalan yang paling terkenal.

II. Kerajaan Goryeo

Pada awal Kerajaan Goryeo sebagian besar pemimpim daerah ikut berperan
dalam bidang politik dan membentuk kelas bangsawan. Kemudian kaum bangsawan
muncul sebagai pendorong utama bagi perkembangan kebudayaan Goryeo51. Oleh karena
itu Kerajaan Goryeo memiliki kebudayan yang jauh lebih beragam dibandingkan dengan
Kerajaan Silla yang terkenal sistem kolpum yang membatasi peran masyarakat kecil
dalam pengembangan kebudayaan.

Bahkan Kerajaan Goryeo melaksanakan sebuah ujian masuk untuk menyeleksi


pegawai pemerintahna dan juga mengembangkan ajaran Konghucu yang digunakan
sebagai ide politik. Di sisi lain agama Buddha terus berkembang seiring dengan
diterimanya ilmu pengetahuan dan teknolog dari dunia arab yang masuk melalui Kerajaan
Yuan52. Dengan hal – hal tersebut maka Goryeo mampu memperluas kebudayaannya.

Kerajaan Goryeo melanjutkan seni budaya agama Buddha yang sebelumnya


telah dikembangkan oleh Kerajan Silla. Kerajaan Goryeo kemudian mengembangkan seni
lukis, pagoda batu, patung Buddha, lonceng dan kerajinan tangan. Pagoda pada masa
Kerajaan Goryeo ditemukan diberbagai tempat. Pagoda bertingkat 7 berada di kuil
Hyonhwa, pagoda 9 tingkat bersegi 8 berada di kuil Woljong dan pagoda batu 10 tingkat
berada di kuil kyongchon, ketiga pagoda tersebut merupakan pagoda yang
memperlihatkan keindahan dan keunikan, selain pagoda terdapat juga budo53 yang indah
dan elok. Pada masa Kerajaan Goryeo terdaat dua budo yang memperlihatkan keahilan
dalam pembuatan barang kesenian dari batu yang memiliki tingkat kemampuan yang
tinggi yaitu Budo hung bobguksa di Kuil jongto dan Budo Jikwangguksa di Kuil
Bobchon yang berada dalam komplek Istana Kyongbok54.

51
Opcit, Seung; Nur Aini, hlm 52.
52
Kerajaan dari China yang didirikan oleh Kubilai Khan.
53
Kuburan para biksu.
54
Opcit, Seung, Nur Aini, hlm 55.

21
Gambar 5. Istana gyoengbok
Sumber: https://tourkekorea.net/gyeongbokgung-palace-istana-terbesar-dari-dinasti-
joseon/

Pada masa Kerajaan Goryeo terdapat karya seni terbaik yang terbuat dari tanah
liat atau plester yaitu patung Buddha Amitayorai di Kuil Busok55. Tetapi kemampuan
Kerajaan Goryeo dalam membuat patung Buddha masih kalah dengan kemampuan
Kerajaan Silla Baru. Lonceng tersimpan di Kuil Yongju, Chonhung dan Tabsan
merupakan peninggalan lonceng yang terbaik. Selain peninggalan karya seni, masyarakat
Kerajaan Goryeo juga telah belajar pelapisan kulit kerang mutiara serta benang emas dan
perak pada papan kayu untuk membuat hasi kesenian. Contohnya seperti kotak
penyimpanan kitab suci Buddha dan botol dilapisi dengan benang perunggu dan perak.

Selain karya seni dalam bentuk patung, ada masa Kerajaan Goryeo masyarakat
telah mengembangkan model bangunan dari kayu. Bangunan kayu yang pada masa
Kerajaan Goryeo masih sangat banyak dijumpai di Korea. Seperti Paviliun kuil
Bongjong, Andong, Paviliun Muryangsu di kuil busok, Yongpung, dan Paviliun induk di
kuil Sudok, Yesam. Berbagai arsitektur bangunan itu kemudian menyebabka Kerajaan
Goryeo terkenal dengan baik dari segi arsitekturnya. Bidang bangunan Kerajaan Goryeo
juga mengembangkan bidang seni lukis yang sebagian lukisan yang dihasilkan adalah
gambar mengenai agama Buddha. Lukisan yang terdapat di kuil Busok merupakan contoh
dari banyaknya lukisan dinding Kerajaan Goryeo56. Sebagian hasil lukisan Kerajaan
Goryeo masih tersimpan di Jepang yaitu lukisan berjudul ‘’Buddha memegang tangkai
pohon ryu’’, tetapi lukisan berjudul ‘’Perburuan Raksasa”57 masih dapat disaksikan.

55
Sebuah kuil Buddhis yang terletak di dekat Gunung Bonghwang di Buseok-myeon, Kota Yeongju,
Gyeongsangbuk-do, didirikan oleh cendekiawan biksu terkemuka Uisang.
56
Ibid, hlm 56.
57
Lukisan yang dibuat oleh Raja Kongmin,

22
II.5 Pengaruh Agama Buddha terhadap Kebudayaan Indonesia.

Masuknya agama Buddha ke Indonesia memberikan pengaruh terhadap kesenian


Indonesia. Pada awal mula masuknya agama Buddha ke Indonesia, pengaruh kebudayaan
yang ditimbulkan adalah kebudayaan dalam membangun candi. Pada awal masukknya
agama Buddha ke nusantara seni pembuatan candi masih sama dengan seni pembuatan
candi di India. Tetapi lambat laun hal itu mengalami perbedaan, lama kelaman banyak
unsur – unsur nusantara yang masuk ke dalam seni pembuatan candi, meskipun seni India
bergantian mempengaruhinya58. Candi – candi dinusatara selanjutnya semakin ramping
bentuknya , di Jawa Tengah candi utama berdiri ditengah, sedangkan di Jawa Timur jadi
utama berada di belakang dan menjadi akhir kumpulan candi.

Selain bentuknya yang berubah, arca yang ada pada candi di nusantara dan India
pun juga berbeda. Meskipun pada awalnya tidak jauh berbeda. Perbedaan itu muncul
karena arca – arca pada candi disesuaikan dengan semangat dan kepercayaan nusantara,
ditambah lagi Raja atau keluarga Raja digambarkan sebagai dewa atau dewi. Candi –
candi yang ada di Dieng atau sebetulnya Dihyang59. Candi Kalasan didirikan tahun 778
yang merupakan candi Buddha dan berisi arca tara, Candi Kalasan berlapis tanda
diperbarui dulu. Ada saatnya didirikan candi yang baru sebagi lapisan sekeliling candi
yang sudah ada60. Candi semu juga merupakan candi utama yang berisi arca tembaga
yang besar yang dikelilingi candi kecil – kecil.

Borobudur memiliki puncak berupa stupa, candi itu didirikan di sekiling puncak
stupa. Terdiri dari 9 bagian yaitu 4 gag, 4 daratan, dan stupa yang besar. Stupa dan 4
daratan tidak berlukis tetapi pada dinding gang tergambar riwayat kehidupan Shakyamuni
yang penghabisan dan kehidupan – kehidupannya sebelum itu 61 dan cerita seorang yang
mencari kebijaksanaan62. Diatas gang – gang terdapat lubang – lubang panjang yang
berisi arca Dhyani Buddha dan di dataran – dataran itu berdiri stupa yang berisi Dhyani
Buddha pula.

Candi Borobudur memiliki tiga bagian yaitu kamadatu merupakan laipsan paling
bawah atau lapisan keinginan, lapisan kedua adalah lapisan rupa atau rupadhatu,dan
lapisan ketiga adalag lapisan yang tidak berupa yaitu arupadhatu. Ketiga lapisan itu
menggambarkan perjalanan manusia menuju nirwana, yang pada akhirnya nanti manusia
akan mencapai stupa yaitu tempat sang Buddha berada. Candi – candi yang dibangun

58
Pane, Sanusi, 2018, Sejarah Nusantara: Kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara hingga Akhir Kekuasaan
Majapahit, Bandung: Sega Arsy, hlm 143.
59
Perwujudan dari Bima, Arjuna, Srikandi, Puntadewa, dan Sumbadra.
60
Ibid, hlm 144.
61
Yang pertama menurut lalitawistara dan yang kedua menurut Jatakamala.
62
Dalam cerita tersebut terkemuka Bodhisttva Samantabhadra, yang akan menjadi Buddha dalam penghabisan
setelah maitreya.

23
biasanya difungsikan sebaga tempat untuk menyimpam abu jenazah, tempat pendeta
bertapa, sebagai asrama atau bagi wiku – wiku, pendeta – pendeta Buddha, wihara.
Pengaruh masukknya Buddha ke nusantara tidak hanya berpengaruh pada arsitektur
candi saja, tetapi juga berpengaruh pada teciptanya dua laras pada gamelan Jawa yaitu
slendro yang diciptakan dari penguasai dinasti Sailendra dan pelog yang diciptakan oleh
penguasa dinasti Sanjaya. Hal ini disebabka pada waktu Hindu – Buddha masuk
nusantara, masyaakat telah mengenal kebudayaan wayang dan gamelan dimana dalam
memaikan gamelan agar enak didengar harus ada larasnya. Kemudian terciptalah dua
laras yaitu slendro dan pelog63. Wayang juga dikenal sejak masuknya Hindu – Buddha,
karena wayang diwujudkan sebagai roh nenek moyang yang telah meninggal. Sehingga
dengan masukkya agama Buddha ke nusantara banyak kebudayaan masyarakat yang
terpengaruh mulai dari arsitektur candi, gamelan, dan hiburan berupa pewayangan.
Karena wayang digunakan sebagai sarana untuk mendoakan para leluhur yang telah
meninggal.

63
Opcit, hlm 150.

24
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas mulai dari penjelasan mengenai sejarah agama Buddha di
Indonesia dan Korea, bagaimana perkembangan agama Buddha di Indonesia dan Korea,
serta pengaruh agama Buddha terhadap kebudayaan masyarakat Indonesia dan Korea.
Maka saatnya untuk mengambil kesimpulan dari apa yang telah dipaparkan diatas. Jika
melihat dari sejarah masukknya agama Buddha ke nusantara dipelopori oleh singgahnya
pendeta I-Tsing ke Sriwijaya, yang nantinya Sriwijaya akan menjadi Kerajaan pusat
pembelajaran agama Buddha di nusantara. Banyak para pemuda yang ingin menjadi
biksu datang ke Sriwijaya untuk belajar agama Buddha bersama I-Tsing. I- Tsing
merupakan seorang pendeta Cina yang singgah di Sriwijaya sebelum pergi ke India. Lalu
setelah dari India I-Tsing singgah lagi di Sriwijaya untuk kemudian menerjemahkan kitab
agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. Dalam proses penerjemahan
itu beliau dibantu oleh teman – temannya yang berasal dari Cina. Sebelum kembali ke
Cina beliau mengatakan bahwa jika ingin belajar agama Buddha secara lebih mendalam,
Sriwijaya merupakan tempat yang tepat dan mulai sejak itu banyak pemuda dari berbagai
penjuru dunia datang ke Sriwijaya serta hubungan antara India dan Sriwijaya yang
membaik. Sehingga hal itu menjadi pendorong penyebaran agama Buddha di Nusantara.

Begitu pula dengan masukknya agama Buddha ke Korea, masukknya agama


Buddha di Korea diawali pada masa Kerajaan Kokuryo pada 372 M yang masuk melalui
Tiongkok. Kemudian agama Buddha semakin berkembang di Korea pada masa Kerajaan
Silla dan Baekje. Bahkan agama Buddha menjadi agama resmi kerajaan. Perkembangan
agama Buddha di Korea dibawa oleh tiga Kerajaan awal yaitu Kokuryo, Silla, dan
Baekje. Berkat 3 kerajaan itu agama Buddha dapat mempengaruhi beberbagi aspek
kehidupan di 3 Kerajaan tersebut terutama dalam bidang seni. Meskipun pada saat itu
muncul juga agama Konghucu atau Konfusianisme. Tetapi agama Buddha di Korea tetap
eksis. Bahkan saat ini banyak peninggaan – peninggalan tiga dinasti Kerajaan Korea yang
berkaitan dengan agama Buddha. Banyak kuil – kuil yang saat ini masih dapat
dikunjungi, bahkan ada salah satu Istana di Korea peninggalan dinasti choson yang sering
digunakan sebagai latar dalam film maupun dramanya.

Sedangkan peninggalan agama Buddha yang tampak di Indonesia berupa


beberapa candi yng dibangun pada masa dinasti Kerajaan di nusantara yang berkuasa.
Salah satu peninggalan agama Buddha yang terbesar di Indonesia adalah Candi
Borobudur. Sebagai candi yang sampai saat ini masih digunakan sebagai tempat ibadah
masyarakat Buddhis. Selain bangunan candi, pengaruh agama Buddha di Indonesia

25
adalah ditemukannya dua laras gamelan yaitu pelog dan slendro, serta pengaruh pada
bidang hiburan dimana wayang sudah dikenal sebelum bangsa barat masuk ke Indonesia.
Karena wayang diibartkan sebagai roh – roh nenek moyang yang telah meninggal.
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.


Gambar 2. Patung Jogyesa di Korea Selatan.
Gambar 3. Candi Bulguk, bukti kemajuan kesenian Kerajaan Silla.
Gambar 4. Lonceng baru Raja Seongdeok.
Gambar 5. Istana gyoengbok.

26
DAFTAR PUSTAKA

Busro. (-). Agama Buddha di Indonesia: Sejarah, Kemunduran dan Kebangkitan. UIN Sunan
Gunung Jati, 1-13.
Coedes, G. (2010). Asia Tenggara Masa Hindu - Buddha . Jakarta: Kepusatakaan Populer
Gramedia.
Hadiwijono, H. (2005). Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia.
Hall, D. (1988). Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional.
Munoz, P. M. (2013). Kerajaan - Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia Dan Semenanjung
Malaysia. Yogyakarta: Media Abadi.
Pane, S. (2018). Sejarah Nusantara: Kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara hingga Akhir
Kekuasaan Majapahit. Bandung: Sega Arsy.
Putro, Z. A., & Pamungkas, C. (2017). Agama Konghucu dan Buddha Dalam Lintasan Sejarah
Korea. Jurnal Kajian Wilayah, 1-18.
Saleh, S. (2016). Buku Ajar Buddhisme. Makassar: UIN Alauddin Makasar.
Seung, Y. Y. (1995). Seputar Kebudayaan Korea. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Seung, Y. Y., & Setiawati, N. A. (2003). Sejarah Korea: Sejak awal abad hingga masa
kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Syukur, A. (2009). Kebangkitan agama Buddha: Analisi Historis tentang Latar Belakang
Kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Bandung: Gunung Djati Press.

27
28

Anda mungkin juga menyukai