AGAMA BUDDHA
DISUSUN OLEH :
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul TUGAS
MAKALAH AGAMA BUDHA
Makalah ini berisikan tentang informasi pengertian juga sejarah agama
Budha atau yang lebih khususnya membahas tentang agama Budha di Indonesia.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
agama Budha di Indonesia.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Permasalahan
Pada makalah tentang proses masuknya agama Buddha di Indonesia
ini, pembahasan akan difokuskan pada beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah agama Buddha itu?
2. Bagaimana isi ajaran yang ada pada agama Buddha?
3. Bagaimana proses masuknya agama Buddha di Indonesia?
4. Bagaimana reaksi masyarakat Indonesia terhadap masuk dan
berkembangnya agama Buddha di negara tersebut?
1
5. Bagaimana pengaruh kultur atau budaya Indonesia asli terhadap
perkembangan agama Buddha tersebut?
C. Tujuan Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis dan pembahasan
tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Sejarah tentang agama Buddha
2. Isi ajaran yang ada pada agama Buddha
3. Proses masuknya agama Buddha di Indonesia.
4. Reaksi masyarakat Indonesia terhadap masuk dan berkembangnya agama
Buddha di negara tersebut.
5. Pengaruh kultur atau budaya Indonesia asli terhadap perkembangan agama
Buddha tersebut.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu
mencari jalan tengah (majhima patipada). Jalan tengah ini merupakan sebuah
kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa
nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah
meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35
tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama
Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia
yang sadar" (dari kata budh+ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah
India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari
menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
Keengganan Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan
ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun
selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha Nikaya, yang
sekarang hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab
Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan
kitab-kitab baru.
1. Tahap awal agama Buddha
Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada
abad ke-3 SM, agama Buddha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil
saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah
banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan
pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-
catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan
agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan
beberapa perpecahan dalam gerakan Buddha.
2. Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)
Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama setelah Buddha wafat
di bawah perlindungan raja Ajatasattu dari Kekaisaran Magadha, dan
dikepalai oleh seorang rahib bernama Mahakassapa, di Rajagaha(sekarang
4
disebut Rajgir). Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-
kutipan Buddha (sutta (Buddha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum
monastik (vinaya): Ananda, salah seorang murid utama Buddha dan
saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Buddha,
dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum vinaya. Ini
kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah menjadi teks rujukan dasar
pada seluruh masa sejarah agama Buddha.
3. Konsili Kedua Buddha (383 SM)
Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali,
mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis dan gerakan-
gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum
Mahasanghika.
Mazhab-mazhab tradisional menganggap Buddha adalah seorang
manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para
bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran
Buddha demi mengatasi samsara dan mencapai arhat. Namun kaum
Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu
individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk
menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati
adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham
Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan
monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum
rohaniawan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti
kumpulan "besar" atau "mayoritas").
Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika.
Mereka meninggalkan sidang dan bertahan selama beberapa abad di Indian
barat laut dan Asia Tengah menurut prasasti-prasasti Kharoshti yang
ditemukan dekat Oxus dan bertarikh abad pertama.
Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya (273232 SM) masuk
agama Buddha setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang Orissa)
di India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji,
5
sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan
menyebarkan ajaran Buddha dengan membangun stupa-stupa dan pilar-
pilar di mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup
dan mengajak orang-orang untuk mentaati Dharma. Asoka juga
membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri.
Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar India.
Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (piagam-piagam
Asoka), utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk menyebarkan agama
Buddha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di
kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan
besar mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti
Asoka.
4. Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)
Maharaja Asoka memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar
tahun 250 SM di Pataliputra (sekarang Patna). Konsili ini dipimpin oleh
rahib Moggaliputta. Tujuan konsili adalah rekonsiliasi mazhab-mazhab
Buddha yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha, terutama dari
faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan perlindungan kerajaan dan
organisasi pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang
dikenal.
Kanon Pali (Tipitaka, atau Tripitaka dalam bahasa Sansekerta, dan
secara harafiah berarti "Tiga Keranjang"), yang memuat teks-teks rujukan
tradisional Buddha dan dianggap diturunkan langsung dari sang Buddha,
diresmikan penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra
Pitaka), peraturan monastik (Vinaya Pitaka) dan ditambah dengan
kumpulan filsafat (Abhidharma Pitaka).
Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan agama Buddha juga
mengakibatkan pengucilan gerakan-gerakan lain yang muncul. Terutama,
setelah tahun 250 SM, kaum Sarvastidin (yang telah ditolak konsili ketiga,
menurut tradisi Theravada) dan kaum Dharmaguptaka menjadi
berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah, sampai masa Kekaisaran
6
Kushan pada abad-abad pertama Masehi. Para pengikut Dharmaguptaka
memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang Buddha berada di atas
dan terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya. Sedangkan kaum
Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan
terjadi pada saat yang sama.
7
Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
8
manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai
itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada
dewa-dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan
dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi
makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan
rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
a. Moral Buddha
Sebagaimana agama Islam dan Kristen, ajaran Buddha juga
menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan. Nilai-nilai kemoralan yang
diharuskan untuk umat awam umat Buddha biasanya dikenal dengan
Pancasila. Kelima nilai-nilai kemoralan untuk umat awam adalah:
bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
bertekad melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang
tidak diberikan.
bertekad melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila
bertekad melatih diri menghidari melakukan perkataan dusta
bertekad melatih diri menghindari makan makanan atau minuman yang
dapat menyebabkan lemahnya kesadaran dan menimbulkan ketagihan.
b. Aliran Buddha
Ada beberapa aliran dalam agama Buddha:
1) Buddha Theravada
2) Buddha Mahayana
3) Buddha Vajrayana
4) Buddha Tantrayana
5) Zen
c. Buddha Mahayana
Lotus Sutra merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran
Mahayana. Tokoh Kuan Yin yang bermaksud "maha mendengar" atau
nama Sansekertanya "Avalokitevara" merupakan tokoh Mahayana dan
dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk
9
memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat
keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya
Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah
pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah
menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di
Tiongkok sebagai seorang dewi.
Penyembahan kepada Amitabha Buddha (Amitayus) merupakan
salah satu aliran utama Buddha Mahayana. Sorga Barat merupakan tempat
tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia
dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha dimana
mereka tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana
menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.
Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat
untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma
dan Buddha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai
'Buddhi' (tahap kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian dan ketamakan
tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang paling disukai
oleh orang Tionghoa.
Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang
memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala
kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil
amalan ajaran Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada
pengamalnya.
Menurut Buddha Gautama, kenikmatan Kesadaran Nirwana yang
dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila
mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran
Buddha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga
bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada Kesadaran tetapi
menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada
jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci Buddha - tidak terbilang
10
Buddha yang lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk
Buddha yang akan datang, Buddha Maitreya .
d. Buddha Theravada
Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha
tertua yang tinggal sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi
Sri Langka dan wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian
barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan Thailand)
dan juga sebagian Vietnam. Selain itu populer pula di Singapura dan
Australia.
Theravada berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu
thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu , dan
vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para
Sesepuh.
Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha
dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 Masehi.
Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan sejarah penting
yang berasal dari abad ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud lain
dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa
Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang
terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan
wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of
Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of Reason).
Sejarah Theravada tidak lepas dari sejarah Buddha Gotama sebagai
pendiri agama Buddha. Setelah Sang Buddha parinibbana (543 SM), tiga
bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).
Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung
selama 2 bulan Dipimpin oleh Y.A. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500
orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa Satapani
di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu. Tujuan
Sidang adalah menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada
orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang
11
berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha
tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang
Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Sidang Agung Sangha ke-2, pada tahun 443 SM , dimana awal
Buddhisme mulai terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin
perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya, disisi lain kelompok
yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin
perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika
yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan
Vinaya disebut Sthaviravada.
Sidang Agung Sangha ke-3 (313 SM), Sidang ini hanya diikuti
oleh kelompok Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak merubah
Vinaya, dan Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan
buku Kathavatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran
lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini
di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja
Asoka) membawa Tipitaka ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai
sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini
dikenal sebagai Theravada.
e. Kitab Suci
Kitab Suci yang dipergunakan dalam agama Buddha Theravada
adalah Kitab Suci Tipitaka yang dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon).
Kitab suci Agama Buddha yang paling tua, yang diketahui hingga
sekarang, tertulis dalam Bahasa Pali, yang terbagi dalam tiga kelompok
besar (yang disebut sebagai "pitaka" atau "keranjang") yaitu: Vinaya
Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga
kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan Tipitaka
(Pali).
f. Ajaran
Ajaran dasar dikenal sebagai Empat Kebenaran Arya, meliputi:
Dukkha Ariya Sacca (Kebenaran Arya tentang Dukkha),
12
Dukkha Samudaya Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Asal Mula
Dukkha),
Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Terhentinya
Dukkha),
Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Jalan yang
Menuju Terhentinya Dukkha).
Secara umum sama dengan aliran agama Buddha lainnya,
Theravada mengajarkan mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan)
yang ditempuh dengan menjalankan sila (kemoralan), samadhi
(konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan).
Agama Buddha Theravada hanya mengakui Buddha Gotama
sebagai Buddha sejarah yang hidup pada masa sekarang. Meskipun
demikian Theravada mengakui pernah ada dan akan muncul Buddha-
Buddha lainnya.
Dalam Theravada terdapat 2 jalan yang dapat ditempuh untuk
mencapai Pencerahan Sempurna yaitu Jalan Arahat (Arahatship) dan Jalan
Kebuddhaan (Buddhahood).
g. Waisak
Penganut Buddha merayakan Hari Waisak yang merupakan
peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama
sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Pencerahan Sempurna Pertapa
Gautama, dan hari Sang Buddha mangkat mencapai Nibbana/Nirwana.
Tempat ibadah agama Buddha disebut vihara.
13
"Sakya". Sehingga "Aji Saka" dapat diartikan sebagai "Pakar dalam Kitab
Suci Sakya" atau Pakar Buddha Dharma. Dari sini dapat diketahui bahwa Aji
Saka sebenarnya bukanlah sebuah nama, tetapi sebuah gelar. Gelar ini
diberikan rakyat kepada rajanya yang sebenarnya bernama Tritustha.
Kata "Dewata" artinya dewa dan "Cengkar" artinya jahat, jadi "Dewata
Cengkar" tidak lain berarti dewa jahat (awidya). Dengan demikian legenda
yang telah merakyat di Jawa Tengah tentang perang dahsyat antara Aji Saka
melawan Raja Dewata Cengkar, kiranya dapat diartikan sebagai perang antara
Buddha Dharma melawan Kejahatan/Kebodohan (Awidya). Aji Saka bukan
hanya pakar dalam Buddha Dharma, tetapi juga seorang pakar astronomi dan
sastra.
Dalam legenda Jawa dikatakan bahwa untuk menandai kekhilafan
beliau dalam memberi perintah kepada dua orang panglimanya yang setia,
yang menyebabkan mereka berperang tanding sendiri dan keduanya gugur
karena sama jayanya, beliau membuat Aksara Jawa.
Kalau Ha Na Ca Ra Ka dipakai untuk mengenang kedua panglimanya yang
setia, Dora dan Sembada, maka untuk mengingat kedatangannya, sebuah
candrasangkala telah dibuat oleh Aji Saka. Penanggalan tahun Saka (tahun
Jawa) ini dimulai pada tanggal beliau mendarat di pulau Jawa. "Nir Wuk
Tanpa Jalu" adalah tanggal 0001, karena: Nir = kosong = 0; Wuk = tidak jadi =
0; Tanpa = 0; dan Jalu = 1. Permulaan waktu penanggalan tahun Saka ini sama
dengan tanggal 14 Maret tahun 78 Masehi.
Kalau legenda Aji Saka ini kelak ternyata benar, maka dapatlah dikatakan
agama Buddha telah masuk ke Indonesia (Jawadwipa) pada abad I Masehi,
jadi jauh sebelum Candi Borobudur didirikan oleh raja-raja Wangsa Sailendra
pada abad VII.
Secara singkat, dapat disusun kurang lebih perkembangan agama
Buddha di Indonesia sebagai berikut:
Abad I (14 Maret 78), kedatangan Aji Saka Tritustha menandai masuknya
agama Buddha di Indonesia (Jawadwipa).
14
Abad II, III, dan IV di Indonesia (Jawa) agama Buddha sudah
berkembang. Ini terbukti dari catatan-catatan Bhiksu Fa-hien yang datang
ke Jawa pada abad V. Beliau menyatakan bahwa sewaktu beliau datang di
Jawa agama Buddha sudah ada bersama-sama agama Hindu.
Abad IV dan V, bukti perkembangan agama Buddha dapat dilihat dari
prasasti-prasasti kerajaan Purnawarman di Jawa Barat dan Mulawarman di
Kalimantan.
Abad VII dan VIII adalah jaman keemasan perkembangan agama Buddha
di Jawa, di bawah raja-raja Kerajaan Mataram Purba dan Sailendra. Pada
abad VII ini Candi Borobudur dibangun, pembangunannya dikatakan
memakan waktu kira-kira delapan puluh tahun.
Abad VIII dan IX, berdiri Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, di mana Bhiksu
I-tsing pernah datang belajar agama Buddha dan bahasa Sanskerta.
Abad XI, Atisa Dipankara seorang bhiksu yang mengajarkan Vajrayana di
Tibet, sewaktu mudanya juga belajar pada Bhiksu Dharmakirti di
Swarnadwipa (Sumatera).
Tahun 1100-1478, berdirilah kerajaan-kerajaan: Kediri, Singasari,
Tumapel, Daha, Lumajang, dan Majapahit. Akhirnya Keprabuan
Majapahit runtuh, berdiri Kerajaan Islam Demak (tahun 1481) dengan
rajanya Raden Patah. Agama Buddha kemudian "hilang" dan tidak pernah
dibicarakan orang lagi, hanya peninggalan-peninggalan candi-candinya
masih terus dikagumi orang.
Tahun 1901, Sanghanata Aryamula Maha Upadhyaya (Pen Ching Lau He
Sang) datang ke Indonesia, mula-mula menata sejumlah vihara yang
dibangun umat Buddha keturunan Tionghoa dan akhirnya membangun
Vihara Kuang Hua Se Jakarta.
Tahun 1912, ajaran Theosofi masuk ke Indonesia dan di kalangan para
anggotanya agama Buddha mulai kembali dipelajari. Kelak ternyata bahwa
kebanyakan dari para aktivis agama Buddha pada Jaman Kemerdekaan
belajar agama Buddha melalui Perhimpunan Theosofi selain dari Sam
Kauw Hwee.
15
Tahun 1934, Narada Thera datang ke Jawa dan bersama umat Buddha
menanam pohon Bodhi di halaman Candi Borobudur.
Tahun 1944, Kwee Tek Hoay menerbitkan majalah "Mustika Dharma".
Tahun 1953, (Waisak 2497) Anagarika Tee Boan An dan Drs. Khoe Soe
Kiam memimpin upacara peringatan Waisak pada tanggal 22 Mei di Candi
Borobudur. Dengan demikian api Buddha Dharma kembali menyala di
Indonesia. Bulan Juli tahun 1953 Anagarika Tee Boan An memasuki
kehidupan sebagai seorang sramanera dengan menerima diksa secara
Mahayana dari Sanghanata Aryamula Maha Upadhyaya (Pen Ching Lau
He Sang) di Vihara Kuang Hua Se Jakarta dan diberi nama Seck Tee Tjen.
Kemudian atas saran gurunya, pada tahun yang sama beliau berangkat ke
Burma untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama Buddha.
Bulan April tahun 1954 beliau menerima upasampada sebagai bhikkhu
dengan Upajjhaya Agga Maha Pandita Bhaddanta U Ashin Sobhana
Mahathera (Mahasi Sayadaw), dan diberi nama Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita. Dengan demikian Bhikkhu Ashin Jinarakkhita adalah putera
Indonesia pertama yang menjadi bhikkhu sesudah runtuhnya Keprabuan
Majapahit kira-kira 500 tahun yang lampau.
Pada Hari Suci Asadha 2498 BE (tahun 1954), untuk membantu
perkembangan agama Buddha secara nasional oleh Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia
(PUUI) yang lambangnya sampai sekarang masih dipakai oleh Majelis
Buddhayana Indonesia (MBI).
Tahun 1956, diadakan Perayaan Waisak di Candi Borobudur. Perayaan
Waisak ini merupakan perayaan yang besar, karena tahun itu tepat 2500
tahun mahaparinirvananya Sang Buddha (2500 Buddhajayanti). PUUI
Semarang menerbitkan buku peringatan 2500 Buddhajayanti yang berisi
banyak penerangan tentang agama Buddha, antara lain mengenai Candi
Borobudur, Candi Mendut, dan Perbedaan Hinayana dan Mahayana.
Tahun 1958, terbentuklah Perbudhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia).
16
Tahun 1959, untuk pertama kalinya sejak runtuhnya Majapahit, diadakan
penahbisan bhikkhu di Indonesia. Untuk penahbisan ini, 13 (tiga belas)
orang bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia. Dua orang
bhikkhu yang ditahbiskan saat itu adalah Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu
Jinapiya.
Tahun 1963, terbentuk Maha Sangha Indonesia yang beranggotakan baik
bhikkhu-bhikkhu Theravada maupun bhiksu-bhiksu Mahayana.
Tahun 1972, nama Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI)
diubah menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI).
Kemudian nama ini disempurnakan lagi menjadi Majelis Upasaka-Pandita
Agama Buddha Indonesia dengan singkatan tetap MUABI. Akhirnya pada
tahun 1979 nama MUABI ini diubah menjadi Majelis Buddhayana
Indonesia (MBI).
Tahun 1974, Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia (terbentuk
tahun 1972 dipimpin Bhikkhu Girirakkhito) bersatu dengan nama Sangha
Agung Indonesia, nama yang diberikan oleh Dirjen Bimas Hindu dan
Buddha Depertemen Agama RI. Sebagai Ketua Sangha Agung Indonesia
adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dengan tiga orang wakil ketua, yaitu
Bhikkhu Jinapiya, Bhikkhu Girirakkhito, dan Bhikkhu Uggadhammo.
Tahun 1976, terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia
(GUBSI) sebagai wadah tunggal organisasi kemasyarakatan umat Buddha
Indonesia yang melebur Perbudhi, Buddha Dharma Indonesia (Budhi), dan
sebagainya.
Tahun 1976, terbentuk pula federasi dari beberapa majelis agama Buddha,
yang diberi nama Majelis Agung Agama Buddha Indonesia (MABI).
MABI diketuai oleh Soeparto Hs. dari Majelis Pandita Buddha Dhamma
Indonesia (Mapanbudhi) dengan sekretaris Ir. T. Soekarno dari Niciren
Syosyu Indonesia (NSI).
Tahun 1976, terbentuk Sangha Theravada yang dipimpin oleh Bhikkhu
Aggabalo.
17
Tahun 1978, terbentuk Sangha Mahayana Indonesia yang dipimpin Bhiksu
Dharmasagaro.
Tahun 1978, diadakan Lokakarya Pemantapan Agama Buddha
Berkepribadian Indonesia yang diikuti semua majelis agama Buddha di
Indonesia.
Tahun 1979, tepatnya tanggal 7-9 Mei, diadakan Kongres Umat Buddha
Indonesia di Yogyakarta yang melahirkan Perwalian Umat Buddha
Indonesia (Walubi) sebagai federasi dari sangha-sangha dan majelis-
majelis agama Buddha di Indonesia yang bersifat koordinatif dan
konsultatif. Panitia Kongres diketuai oleh Soewarto Kolopaking, S.H.
dengan sekretaris Johan Sani Viryanata, B.A., keduanya pimpinan pusat
MBI. Walubi untuk pertama kalinya dipimpin oleh seorang Sekjen, yaitu
Soeparto Hs. dari Mapanbudhi. Sedang jabatan Ketua Dewan Pembina
Walubi dipegang oleh Brigjen (Purn.) Soemantri M.S. dari MBI.
Tahun 1981, terbentuk Sekretariat Bersama Generasi Muda Buddhis
Indonesia (Sekber GMBI) yang merupakan konfederasi dari organisasi-
organisasi pemuda di lingkungan vihara. Atas permintaan DP Walubi pada
tahun 1985 Sekber GMBI berganti nama menjadi Sekretariat Bersama
Persaudaraan Muda-mudi Vihara-vihara Buddhayana Indonesia (Sekber
PMVBI).
Tahun 1982, terbentuk Sangha Tantrayana Indonesia dalam naungan
Sangha Agung Indonesia, dipimpin oleh Mahawiku Dharma-aji
Uggadhammo.
Tahun 1983, Hari Waisak ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Tahun 1986, terbentuk Gemabudhi (Generasi Muda Buddhis Indonesia)
sebagai wadah tunggal generasi muda Buddhis Indonesia dan tergabung di
KNPI. Ketua Umum DPP Gemabudhi saat ini adalah Lieus Sungkharisma
dari MBI.
Tahun 1987, terbentuk KBWBI (Keluarga Besar Wanita Buddhis
Indonesia) sebagai wadah tunggal wanita Buddhis Indonesia dan
18
tergabung di Kowani. Ketua Umum PB KBWBI saat ini adalah Dr.
Parwati Soepangat, M.A. dari MBI.
Tahun 1987, Niciren Syosyu Indonesia (NSI) secara resmi dikeluarkan
dari Walubi.
Tahun 1994, Sangha Agung Indonesia (Sagin) dan Majelis Buddhayana
Indonesia (MBI) juga memilih berada di luar Walubi. Sagin dan MBI
konsisten dalam mempertahankan AD/ART Walubi hasil Munas II (1992)
dan menolak AD/ART Walubi hasil Sidang Paripurna (1993).
Tahun 1994, terbentuk Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI),
dipimpin oleh Dra. Siti Hartati Murdaya, MBA.
Tahun 1996, terbentuk lima wadah fungsional di lingkungan Sekber
PMVBI, yaitu: Ikatan Pembina Gelanggang Anak-anak Buddhis Indonesia
(IPGABI), Forum Komunikasi Dharmaduta Muda Buddhis Indonesia
(FKDMBI), Ikatan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Imabi), Forum
Komunikasi Sarjana Buddhis Indonesia (FKSBI), dan Ikatan Pengelola
Media Komunikasi Buddhis Indonesia (IPMKBI).
19
At Tiin 1 3
Dalam ayat yang pertama: Demi buah tin, demi buah zaitun. (ayat 1). Terdapat
berbagai tafsiran. Menurut Mujahid dan Hasan, kedua buah-buahan itu diambil
jadi sumpah oleh Tuhan untuk diperhatikan. Buah TIN diambil sumpah karena dia
buah yang terkenal untuk dimakan, buah ZAITUN karena dia dapat ditempa dan
diambil minyaknya. Kata Qatadah: Tin adalah nama sebuah bukit di Damaskus
dan Zaitun nama pula dari sebuah bukit di Baitul-Maqdis. Tandanya kedua negeri
itu penting untuk diperhatikan. Dan menurut sebuah riwayat pula, yang diterima
dari Ibnu Abbas, Tin adalah mesjid yang mula didirikan oleh Nuh di atas gunung
Al-Judi, dan Zaitun adalah Baitul-Maqdis.
Tetapi terdapat lagi tafsir yang lain menyatakan bahwa buah Tin dan Zaitun itu
banyak sekali tumbuh di Palestina. Di dekat Jerusalem pun ada sebuah bukit yang
bernama Bukit Zaitun, karena di sana memang banyak tumbuh pohon zaitun itu.
Menurut kepercayaan dari bukit itulah Nabi Isa Almasih miraj ke langit.
Demi gunung Sinai. (ayat 2). Di ayat ini disebut namanya Thurisinina, disebut
juga Thursina, disebut juga Sinai dan disebut juga Thur saja. Kita kenal sekarang
dengan sebutan Semenanjung Sinai.
20
Demi negeri yang aman ini. (ayat 3). Negeri yang aman ini ialah Makkah,
tempat ayat ini diturunkan.
Berkata Ibnu Katsir: Berkata setengah imam-imam: Inilah tiga tempat, yang di
masing-masing tempat itu Allah telah membangkitkan Nabi-nabi utusan-Nya,
Rasul-rasul yang terkemuka, mempunyai syariat yang besar-besar. Pertama tempat
yang di sana banya tumbuh Tin dan Zaitun. Itulah Baitul-Maqdis. Di sanalah
Tuhan mengutus Isa bin Maryam alaihis-salam.
Ketiga: Negeri yang aman, yaitu Makkah. Barangsiapa yang masuk ke sana,
terjaminlah keamanannya. Di sanalah diutus Tuhan Rasul-Nya Muhammad SAW.
Kata Ibnu Katsir selanjutnya: Dan di dalam Taurat pun telah disebut tempat yang
tiga ini: Telah datang Allah dan Thursina, yaitu Allah telah bercakap-cakap
dengan Musa. Dan memancar Dia dari Seir, yaitu sebuah di antara bukit-bukit di
Baitul-Maqdis, yang di sana Isa Almasih dibangkitkan. Dan menyatakan dirinya
di Faran. Yaitu nama bukit-bukit Makkah, tempat Muhammad SAW diutus. Maka
disebutkan itu semua guna memberitakan adanya Rasul-rasul itu sebab itu
diambil-Nya sumpah berurutan yang mulia, yang lebih mulia dan yang paling
mulia.
21
sendirinya gemerlapan cahayanya di bukit Paran itu ialah turunnya Al-Quran
kepada Muhammad SAW di bukit-bukit Paran, yaitu bukit-bukit Makkah.
Abu Hasyim bin Thafar berkata: Seir adalah sebuah bukit di Syam, tempat
lahirnya Almasih. Kataku: Di dekat Beitlehem, desa tempat Almasih dilahirkan,
sampai sekarang ada sebuah desa bernama Seir. Di sana pun ada sebuah bukit
bernama bukit Seir. Berdasar kepada ini telah tersebutlah tiga bukit. Yaitu Bukit
Hira, yang di sekeliling Makkah tidak ada bukit yang lebih tinggi dari dia. Di
sanalah mula turunnya wahyu kepada Muhammad SAW. Dan bertali-tali dengan
bukit-bukit itu terdapat lagi banyak bukit yang lain. Kumpulan semuanya dinamai
Paran sampai kini. Di sanalah mula turunnya Al-Quran, dan daratan luas di
antara Makkah dengan Thursina itu dinamai dataran Paran. Kalau akan dikatakan
bahwa di daratan itulah Nabi yang dmaksud, maka sampai sekarang tidaklah ada
Nabi timbul di daratan itu.
Di dalam ayat dalam Ulangan tersebut bertemu tiga ayat: (1) Tuhan telah datang
di Torsina, (2) telah terbit, (3) telah gemerlapan cahayanya. Maka datangnya
Taurat adalah laksana terbitnya fajar. Terbit di bukit Seir, adalah matahari telah
terbit, dan gemerlapan cahayanya ialah bahwa Matahari Al-Quran telah naik
memancar tinggi, sehingga menerangi seluruh alam Masyriq dan Maghrib, sesuai
dengan sabda Nabi Muhammad SAW sendiri:
Telah dibentangkan bagiku muka bumi ini seluruhnya, sehingga aku lihat
Timurnya dan Baratnya. Akan sampailah ummatku ke seluruh bumi yang
terbentang itu.
(Riwayat Muslim)
Maka bersumpahlah Tuhan: Demi buah tin, demi buah zaitun. Demi Bukit
Thurisinina, demi negeri yang aman Tuhan bersumpah dengan tin dan zaitun,
itulah lambang dari pegunungan Jerusalem Tanah Suci, yang di sana kedua buah-
buahan itu banyak tumbuh, dan di sana Almasih diutus Allah dengan Injilnya. Dan
22
bersumpah pula Tuhan dengan Thursina, yaitu gunung tempat Tuhan bercakap
dengan Musa dan tempat Tuhan memanggil dia, di lembahnya yang sebelah
kanan, di tumpak tanah yang diberi berkat bernama Thuwa, di pohon kayu itu.
Dan bersumpah pula Tuhan dengan Negeri yang aman sentosa ini, yaitu negeri
Makkah, di sanalah Ibrahim menempatkan puteranya tertua Ismail bersama
ibunya Hajar. Dan negeri itu pulalah yang dijadikan Allah tanah haram yang aman
sentosa. Sedang di luar batasnya orang rampas-merampas, rampok-merampok,
culik-menculik dan dijadikan-Nya negeri itu aman dalam kejadian, aman dalam
perintah Tuhan, aman dalam takdir dan aman menurut syara.
Seterusnya Ibnu Taimiyah berkata: Maka firman Tuhan Demi buah tin, demi
buah zaitun. Demi Bukit Thurisinina. Demi negeri yang aman ini, adalah sumpah
kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan kepada ketiga tempat yang mulia lagi
agung, yang di sana sinar Allah dan petunjuk-Nya dan ketiga tempat itu
diturunkan ketiga kitab-Nya: Taurat, Injil dan Al-Quran, sebagaimana yang telah
disebutkannya ketiganya itu dalam Taurat: Datang Allah dari Torsina, telah terbit
di Seir dan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran. Sekedar itu kita salinkan
dari Ibnu Taimiyah.
Menurut penafsir ini pendiri agama Buddha itu nama kecilnya ialah Sakiamuni
atau Gaotama. Mula kebangkitannya ialah seketika dia berteduh bersemadi di
bawah pohon kayu Bodhi yang besar. Di waktu itulah turun wahyu kepadanya,
lalu dia ditutus menjadi Rasul Allah. Syaitan berkali-kali mencoba
memperdayakannya, tetapi tidaklah telap. Pohon Bodhi itu menjadi pohon yang
suci pada kepercayaan penganut Buddha, yang mereka namai juga Acapala.
Besar sekali kemungkinan bahwa penafsir yang menafsirkan buah Tin di dalam
Al-Quran itu dengan pohon Bodhi tempat Buddha bersemadi, belum mendalami
benar-benar filsafat ajaran Buddha. Menurut penyelidikan ahli-ahli, Buddha itu
lebih banyak mengajarkan filsafat menghadapi hidup ini, dan tidak membicarakan
Ketuhanan. Lalu pengikut Buddha yang datang di belakang memuaskan hati
mereka dengan menuhankan Buddha itu sendiri.
23
Tetapi seorang ulama Besar dari Arabia dan Sudan, Syaikh Ahmad Soorkati yang
telah mustautin di Indonesia ini pernah pula menyatakan perkiraan beliau,
kemungkinan besar sekali bahwa yang dimaksud dengan seorang Rasul Allah
yang tersebut namanya dalam Al-Quran Dzul-Kifli: Itulah Buddha! Asal makna
dari Dzul-Kifli ialah yang empunya pengasuhan, atau yang ahli dalam mengasuh.
Mungkin mengasuh jiwa manusia. Maka Syaikh Ahmad Soorkati menyatakan
pendapat bahwa kalimat Kifli berdekatan dengan nama negeri tempat Buddha
dilahirkan, yaitu Kapilawastu.
Dan semuanya ini adalah penafsiran. Kebenarannya yang mutlak tetaplah pada
Allah sendiri.
24
BAB III
PENUTUP
25
DAFTAR PUSTAKA
26