Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

AGAMA BUDDHA

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen
Dosen : Esther Rela Intarti, Dra., MTh., Pdt.

Oleh:
1. Monica Nauli Chrissensia 2031150084
2. Natania Ristanti Sanflora Nehe 2032150018
3. Sesa Friend Thalia Br Bangun 2032150056
4. Ruth Ayu Meyriana 2031150001
5. Rani Kurnia Priskila Yonathan 2032150014
6. Nurfriani Molisabet. N 2032150053
7. Semifon Arikson L. Kambue 2031150039
8. Suprianti Sitinjak 2032150013

KELAS C
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA (UKI) CAWANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk – Nya pun tidak akan
menyadari begitu banyak nikmat yang telah di dapatkan dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain
itu, penulis juga merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya.
Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini yang merupakan tugas mata kuliah Pendidikan Agama Kristen. Penulis
sampaikan sebesar – besarnya kepada dosen pengampu Pendidikan Agama Kristen, Ibu
Esther Rela Intarti, Dra., MTh., Pdt. Dan semua pihak yang turut membantu proses
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih begitu banyak kekurangan-
kekurangan dan kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisnya, oleh karena itu
penulisnya sangat mengharapkan kritik dan saran positif untuk memperbaikinya di kemudian
hari.

Jakarta, ... Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Tujuan Pembahasan......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 2
2.1 Sejarah Agama Buddha.................................................................................... 2
2.2 Pandangan Tuhan Dalam Agama Buddha....................................................... 3
2.3 Ajaran-Ajaran Dalam Agama Buddha............................................................. 6
2.4 Aliran Dalam Agama Buddha.......................................................................... 9
2.5 Hari Besar Agama Buddha.............................................................................. 11
2.6 Kitab Suci Agama Buddha............................................................................... 12
2.7 Cara Berdoa Agama Buddha........................................................................... 13
2.8 Simbol-Simbol Agama Buddha....................................................................... 15
2.9 Pendapat Umat Agama Buddha....................................................................... 17
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 19
3.2 Saran................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Agama Buddha merupakan salah satu agama utama dunia. Buddhisme muncul
di India bagian Utara pada abad ke-6 SM dan berdasar pada ajaran Siddhartha
Gautama yang setelah pencerahan-Nya diberi julukan Buddha. 
Di Indonesia agama Buddha mulai diperkenalkan pada abad ke V Masehi oleh
para pedagang yang berasal dari India. Agama Buddha pernah mengukir sejarah
kejayaan bangsa di masa silam. Banyak bukti-bukti sejarah yang merupakan bukti
kejayaan agama Buddha, di antaranya Candi Borobudur yang terkenal sampai ke
seluruh dunia. Namun setelah runtuhnya kerajaan Majapahit agama Buddha
mengalami kemunduran dan digantikan oleh Islam. Baru pada tahun 1954 Agama
Buddha kembali muncul ditandai dengan pentahbisan bhikkhu pertama Indonesia
yaitu Ashin Jinarakkhita oleh Ven. Mahasi Sayadaw di Myanmar. Kemudian Agama
Buddha mendapat pengakuan resmi dan perlindungan dari pemerintah serta bantuan
yang sama seperti agama lainnya di Indonesia, sesuai dengan ketetapan Presiden No.
1 tahun 1963. 
Saat ini agama Buddha mulai kembali tumbuh dan berkembang. Agama
Buddha terbagi menjadi beberapa aliran/tradisi seperti Theravada, Mahayana,
Tantrayana. Kesemuanya ada dan berkembang di Indonesia serta mengalami
akulturasi. Salah satu penyebabnya ialah sifat dasar bangsa Indonesia yaitu gotong
royong dan toleransi. Umat Buddha di Indonesia menginginkan suatu bentuk agama
Buddha yang menggabungkan berbagai tradisi.

1.2 TUJUAN PEMBAHASAN


Untuk mengetahui lebih dalam dan lebih detail mengenai Agama Buddha
sebagai ilmu pengetahuan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH AGAMA BUDDHA

Agama Buddha diketahui berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan para


ilmuwan dengan memanfaatkan berbagai objek pengamatan seperti peninggalan
sejarah, cerita-cerita kuno, dan apa yang tertulis dalam berbagai kitab masa lampau.
Dari penelitian tersebut diketahui bahwa agama Buddha terlahir di abad ke-6 SM di
Nepal. Orang yang menjadi pencetusnya adalah seorang ksatria bernama Siddharta
Gautama. Agama ini muncul dari perpaduan berbagai kebudayaan seperti kebudayaan
helinistik (Yunani), kebudayaan Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Agama ini juga muncul karena adanya reaksi terhadap hadirnya agama Hindu yang
muncul lebih awal.

Dari Nepal, agama Buddha menyebar dengan cepat mengalahkan penyebaran


agama Hindu ke berbagai daerah di India, hingga ke seluruh benua Asia. Hingga kini,
agama Buddha sudah menjadi agama mayoritas di beberapa negara seperti Thailand,
Kamboja, Singapura, Myanmar, dan Taiwan.

 Perkembangan Agama Buddha Agama

Buddha mencapai masa kejayaan di zaman pemerintahan Raja Ashoka


(273-232 SM) yang menetapkan agama Buddha sebagai agama resmi negara. Pada
zaman raja Ashoka banyak dibangun bangunan-bangunan yang sangat berharga
bagi Agama Buddha seperti stupa dan tugu-tugu yang terkenal dengan sebutan
Tiang-Tiang Ashoka.

Dalam perjalanannya yakni setelah 100 tahun meninggalnya Sang Buddha,


agama Buddha terpecah menjadi 2 aliran. Perpecahan tersebut terjadi karena
adanya penafsiran yang berbeda dari masing-masing kubu. Ke dua aliran tersebut
adalah aliran Buddha Hinayana dan aliran Buddha Mahayana. Aliran buddha
Hinayana mempunyai sifat-sifat tertutup, dalam artian aliran yang berpendapat
bahwa setiap orang hanya dapat mengejar pembebasan dari samsara untuk dirinya
sendiri. Sedangkan aliran buddha Mahayana mempunyai sifat-sifat terbuka, dalam
arti setiap umat manusia berhak menjadi seorang Buddha sehingga pengaruhnya
dapat membebaskan dirinya dan orang lain dari samsara (kesengsaraan).

Ke semua aliran agama Buddha, baik Hinayana maupun Mahayana


berpegang pada kitab Tripitaka sebagai kitab suci. Dalam kitab ini tercatat ajaran
dan sabda dari sang Buddha yang kemudian dijadikan pedoman hidup bagi
penganut agama Buddha. Kitab Tripitaka sendiri terbagi menjad 3 buku yaitu
Sutta-Pitaka yang berisi khotbah dari sang Buddha, Vinaya-Pitaka yang berisi
peraturan dan tata tertib bagi para biksu, dan Abhidhamma-Pitaka yang berisi
ajaran hukum metafisik dan psikologik.

2.2 Pandangan Tuhan Dalam Agama Buddha

Sejauh ini masih banyak yang mempertanyakan, dalam agama Buddha itu
Tuhannya yang mana? Bagaimana pula karakteristiknya? Mengapa pula dalam sutta-
sutta ataupun ceramah Dhamma, konsep tentang Tuhan ini sangat jarang disinggung?
Bagaimana sesungguhnya konsep mengenai Tuhan dalam agama Buddha?

Menurut para ahli di luar negeri,dikatakan bahwa agama Buddha digolongkan


sebagai agama yang Agnostik (Tidak mengetahui keberadaan Tuhan) dan tidak
mengenal Tuhan pencipta (Atheis).Selain itu, menurut para Atheis,dikatakan bahwa
Buddhisme tidak bisa disebut sebagai agama, karena tidak adanya Tuhan dan segala
macamnya, namun lebih cenderung ke filosofi.

Dalam teori Buddhis, memang tidak dikenal adanya konsep Tuhan dengan
definisi sebagai pencipta dan pengatur alam semesta beserta segala isinya dengan
watak atau sifat-sifat seperti manusia, yang bisa marah, senang, benci, sayang, dsb.
Sehingga agama Buddha sering disebut Atheis.

Tentunya konsep ini sangat tidak memuaskan beberapa pihak dan orang-orang
yang sudah terlanjur melekat pada pandangan Tuhan sebagai pribadi atau makhluk
Yang Agung, Maha Tinggi dan Maha segala-galanya, dimana menuntut setiap agama
harus mempunyai konsep yang sama seperti itu. Namun, cara pandang ajaran Buddha
terhadap konsep Tuhan ini memang sangat berbeda dibanding agama-agama lainnya.

Tuhan dalam agama Buddha didefinisikan sebagai “Yang Mutlak”,maka jika


meminta definisi Tuhan sebagai Yang Mutlak ini,kita dapat merujuk pada uraian
sabda Sang Buddha tentang Nibbana yang ada pada Sutta Pitaka, Udana VIII : 3.
“Ketahuilah para Bhikkhu,
bahwa ada sesuatu Yang tidak dilahirkan,
Yang tidak menjelma, Yang tidak tercipta, Yang mutlak.
Apabila tidak ada Yang tidak dilahirkan,
Yang tidak menjelma,Yang tidak diciptakan, Yang mutlak,
maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi, karena ada Yang tidak dilahirkan,
Yang tidak menjelma, Yang tidak tercipta, Yang mutlak,
maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”.

Dalam hal ini agama Buddha termasuk agama Theistik (ber-Tuhan). “Yang
Mutlak” itu sendiri adalah istilah falsafah, bukan istilah yang biasa dipakai dalam
kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan “Yang Mutlak” itulah yang
disebut dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatang Abhutang Akatang
Asamkhatang" yang artinya "Sesuatu Yang Tidak Dilahirkan,Tidak menjelma,Tidak
tercipta dan Yang Mutlak".Dalam hal ini,Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang
“Tanpa Aku” (anatta/anatman),yang tidak dapat dipersonifikasikan (disamakan
dengan suatu sosok yang berkepribadian) dan yang tidak dapat digambarkan dalam
bentuk apapun.Tetapi dengan adanya Yang Mutlak,yang tidak berkondisi (asamkhata)
maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran
kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Hakekat Ketuhanan (sifat-sifat Tuhan) dalam agama Buddha adalah Tidak


berkondisi dan terbebas dari :

• Lobha ( Keserakahan )
• Dosa ( Kebencian )
• Moha ( Kegelapan batin )

Karena tidak berkondisi dan bebas dari Lobha, Dosa dan Moha, maka sifat
Tuhan adalah Maha Esa, karena hanya satu-satunya dan Maha Suci. Karena itu,
Tuhan bisa dikatakan bersifat Impersonal (bukan pribadi), yaitu memahami Yang
Mutlak/Tuhan sebagai Anthropomorphisme (tidak dalam ukuran bentuk manusia).
Jika masih berpandangan bahwa Tuhan bersifat Personal, maka berarti masih
berkondisi, yang berarti masih ada Dukkha (Penderitaan). Dengan demikian, bisa
timbul pandangan bahwa Tuhan dapat disalahkan, sehingga kita tidak dapat
mendudukkan Tuhan dalam proporsi yang sebenarnya dan mengaburkan kembali
pandangan yang semula bahwa Tuhan adalah yang Tertinggi, Maha Suci, Maha Esa,
Maha Tahu, dan sebagainya.

Pada dasarnya dalam Buddhisme tidak terdapat ajaran mengenai Tuhan dalam
pemahaman pengertian sebagai Penguasa,Pengatur alam semesta yang berkepribadian
yang dipercaya memiliki Super Power. Tidak ada satupun pengertian dari Tuhan
diatas yang dapat kita jumpai dalam teks-teks awal Buddhisme, kecuali beberapa sifat
tertentu.

Apakah hanya karena di kitab-kitab suci agama Buddha tidak pernah


ditemukan kata-kata Tuhan, sehingga agama Buddha dianggap tidak ber-Tuhan ?
(Atheis). Pada dasarnya konsep Ketuhanan dalam Kitab Suci agama Buddha tidak
diterjemahkan dalam kata Tuhan karena untuk menghindari pemahaman yang bias.
Nibbana sebagai konsep Ketuhanan dalam agama Buddha selalu ditulis dalam bahasa
aslinya untuk menghindari salah persepsi.

Sesungguhnya dan ini adalah fakta, bahwa didalam Kitab Suci Nasrani dalam
bahasa aslinya Ibrani, menyebut Tuhan sebagai Yahwe, sedangkan Al Quran
menyebut Tuhan dengan Allah, Weda/Hindu menyebut Tuhan dengan Sang Trimurti.
Jadi, atas dasar apa kata Yahwe, Allah, Sang Trimurti lalu diterjemahkan menjadi
kata Tuhan, apakah sosok Tuhannya sama ? Berbeda dengan kata Water, Sui, Banyu
yang bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata Air karena mengacu
pada benda yang sifat dan bentuknya sama.

Lalu apakah Tuhan dari agama-agama tersebut mengacu pada Tuhan yang
sama ? Tentu jawabnya Tidak !, karena pada prinsipnya setiap agama memiliki
konsep yang berbeda dan cukup signifikan. Kalau toh ada seseorang yang mengatakan
bahwa Tuhan dari agama-agama yang berlainan itu adalah sama saja/Tuhan yang
sama, lalu mengapa Tuhan yang sama itu memberikan aturan-aturan, perintah-
perintah, wahyu, Firman yang sangat berbeda diantara agama-agama tersebut, yang
justru tak jarang pula perbedaan itu menimbulkan perdebatan-perdebatan, perpecahan
bahkan peperangan diantara UmatNya? Oleh karena itu, wajar dan sah saja bila
konsep Tuhan didalam agama Buddha berbeda dengan konsep Tuhan di agama-agama
lain.

Agama Buddha berlawanan dengan kebanyakan agama yaitu memberi


pelajaran Jalan Tengah dan membuat AjaranNya Homocentris (berpusat pada
manusia) yang berlawanan dengan kepercayaan-kepercayaan Theocentris (berpusat
pada Tuhan). Dengan demikian Agama Buddha adalah Introvert (melihat ke dalam)
dan berhubungan dengan pembebasan individu. Dhamma harus direalisasikan oleh
diri sendiri (Sandittiko).

Dalam agama Buddha, Tuhan tidak dipandang sebagai suatu Pribadi. Sang
Buddha tidak mengajarkan paham yang menempatkan suatu kekuasaan Adikodrati
merencanakan dan menakdirkan kehidupan semua Makhluk .

Jika ada suatu “Makhluk” yang merancang hidup dan kehidupan semua
makhluk di alam semesta ini, maka semua tindakan kebajikan dan kejahatan di dunia
ini berarti sudah ditentukan sebelumnya, maka sesungguhnya manusia tiada lain
hanyalah sebagai “Alat” dari kehendakNya dan jika demikian, apapun yang dilakukan
oleh manusia, perbuatan bajik atau jahat, tentu saja seharusnya “Makhluk itulah” yang
bertanggung jawab sepenuhnya.

2.3 Ajaran-ajaran Dalam Agama Buddha


Ajaran Buddha dapat dirangkum di dalam apa yang disebut: Triratna (tiga batu
permata), yaitu, Buddha, Darma, dan Sangha.
a) Ajaran tentang Buddha
Bagi kepercayaan Buddhis hidup sang Buddha sebagai perorangan,
sebagai manusia Siddharta atau Gautama atau Sakyamuni tidaklah penting.
Buddha adalah sebuah gelar, suatu jabatan atau seorang tokoh yang sudah
pernah menjelma pada seseorang.
Menurut keyakinan Buddhis sebelum tahap zaman sekarang ini, sudah
ada tahap zaman, yang tak terbilang banyaknya. Tiap zaman memiliki
Buddhanya sendiri-sendiri. Oleh karena itu menurut keyakinan Buddhis ada
banyak Buddha, yaitu orang-orang yang sudah mendapatkan pencerahan
buddhi.
b) Ajaran Tentang Darma atau Dhamma
Dharma ialah doktrin atau pokok ajaran. Inti ajaran agama Buddha
dirumuskan di dalam empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani,
yaitu ajaran yang diajarkan Buddha Gautama di Benares, sesudah ia mendapat
pencerahan.
Aryasatyani atau kebenaran yang mulia itu terdiri dari empat kata,
yaitu: dukha, samudaya, nirodha, dan marga.
Dukha adalah penderitaan. Hidup adalah menderita. Kelahiran adalah
penderitaan, umur tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, mati
adalah penderitaan, disatukan dengan yang tidak dikasihi adalah penderitaan,
tidak mencapai yang diinginkan adalah penderitaan; dengan singkat, kelima
pelekatan pada dunia ini adalah penderitaan.
Samudaya adalah sebab. Penderitaan ada sebabnya. Yang
menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah keinginan pada hidup, dengan
disertai nafsu yang mencari kepuasan di sana-sini, yaitu kehausan pada
kesenangan, kehausan pada yang ada, kehausan pada kekuasaan.
Nirodha ialah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan
penghapusan keinginan secara sempurna, pembuangan keinginan itu,
penyangkalan terhadapnya, pemisahannya dari dirinya, dan tidak memberi
tempat kepadanya.
Marga adalah jalan kelepasan. Jalan menuju pemadaman penderitaan
ada delapan, yaitu: percaya yang benar, maksud yang benar, kata-kata yang
benar, perbuatan yang benar, hidup yang benar, usaha yang benar, ingatan
yang benar, dan semadi yang benar.
Pokok ajaran Buddha Gautama adalah bahwa hidup adalah menderita.
Seandainya di dalam dunia tiada penderitaan, Buddha tidak akan menjelma di
dunia. Orang dilahirkan, menjadi tua, dan mati; tiada hidup yang tetap. Sedang
manusia hidup, ia menderita sakit; dipisahkan dari yang dikasihinya, dan
sebagainya; semua itu adalah penderitaan. Penderitaan ini disebabkan karena
kehausan atau keinginan yang pada hakikatnya disebabkan oleh ketidaktahuan
atau awidaya.
Ketidaktahuan ini adalah semacam ketidaktahuan yang kosmis,
ketidaktahuan yang menjadikan orang dikaburkan pandangannya.
Ketidaktahuan ini mengenai tabiat asasi alam semesta, yang memiliki 3 ciri
yang mencolok, yaitu bahwa alam semesta penuh dengan penderitaan (dukha),
bahwa alam semesta adalah fana (anitya atau anicca), dan bahwa tiada jiwa di
dalam dunia ini (anatman atau anatta).
c) Ajaran tentang Sangha
Pengikut agama Buddha dibagi menjadi dua bagian, yaitu : para biksu
atau para rahib dan kaum awam. Inti masyarakat Buddhis dalam arti yang
sebenarnya, sebetulnya hanya terdiri dari para rahib. Sebab hanya hidup
kerahibanlah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk
mencapai tujuan hidup yang tertinggi. Seluruh persekutuan para rahib disebut
sangha atau jema’at.
Hidup kerahiban diatur dalam Kitab Winaya Pitaka. Dari kitab ini
dapat diketahui bahwa hidup para rahib ditandai oleh tiga hal, yaitu :
kemiskinan, hidup membujang, dan ahimsa.
Pertama, seorang rahib harus hidup dalam kemiskinan. Ia tidak
diperkenankan memiliki sesuatu, kecuali jubahnya, yang harus dibuat dari
kain lampin, yang didapatkan dari sana-sini, selanjutnya tempurung sebagai
alat mengemis, dan sebuah jarum untuk menjarumi jubahnya, sebuah tasbih,
sebuah pisau cukur untuk mencukur rambutnya, dan sebuah penyaring air,
untuk menyaring air minumnya, agar dibersihkan dari binatang-binatang kecil.
Semula seorang rahib diharuskan hidup tanpa rumah atau tanpa tempat
berlindung yang tetap. Oleh karena itu barangsiapa hendak menjadi rahib ia
harus meninggalkan rumahnya, hidup dari iman saja. Akan tetapi kemudian
mereka diperkenankan berkumpul di dalam biara.
Makanan mereka harus didapatkan dari mengemis. Di dalam sistem
ajaran Buddha hidup mengemis menjadi sumber inspirasi bagi banyak
kebijakan. Dengan mengemis para rahib memberi kesempatan bagi kaum
awam untuk berbuat baik. Bagi mereka sendiri mengemis juga mengandung
banyak inspirasi untuk kebajikan. Dengan itu mereka belajar rendah hati,
sabar, tidak lekas putus asa, dan sebagainya. Dengan itu mereka dapat
mengawasi tubuhnya, perasaan, dan pikiran serta nafsunafsunya.
Kedua, rahib harus membujang. Ia tidak diperkenankan berhubungan
dengan wanita. Sebab hubungan seks dipandang sebagai sumber dosa. Dosa
yang terbesar, yang menjadikan seorang rahib dikeluarkan dari sangha ialah
hidup mesum. Oleh karena itu ada banyak sekali peringatan, supaya seorang
rahib menjauhi wanita. Jika mungkin seorang rahib tidak usah berjumpa
dengan wanita. Jika karena keadaan di dalam mengemis misalnya, terpaksa
harus menghadapi wanita, ia tidak diperkenankan memandangnya, dan jika hal
memandang itu tak mungkin dihindari, pikirannya harus diawasi benar-benar.
Ketiga, seorang rahib harus hidup dengan ahimsa. Dalam praktiknya
hal ini berarti bahwa ia tak diperkenankan membunuh atau melukai makhluk
lainnya. Empat dosa besar yang harus dijauhi rahib, ialah : hidup mesum,
mencuri, membunuh makhluk yang hidup, dan meninggikan diri karena
kecakapannya membuat mukjizat. Kesusilaan rahib dicantumkan di dalam
dasasila, yang dalam praktiknya mewujudkan sepuluh larangan, yaitu larangan
untuk membunuh, mencuri, hidup mesum, berdusta, minum-minuman keras,
makan pada waktu terlarang, mengunjungi tempat keramaian duniawi,
bersolek, tidur pada tempat tidur yang enak, dan menerima hadiah.
Pengikut Buddha yang kedua ialah para kaum awam. Mereka adalah
orang-orang yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaannya, yang
menerima ajarannya, namun tetap hidup di dalam masyarakat dengan
berkeluarga. Mereka dapat menetapi pancasila atau lima larangan yang
pertama dari dasasila yang diharuskan bagi para rahib. Pancasila itu adalah
tidak membunuh, tidak mencuri, tidak hidup mesum, dalam arti tidak berzina,
tidak berdusta, dan tidak minum-minuman keras.

2.4 Aliran Dalam Agama Buddha


a) Hinayana/Theravada
Pokok ajaran Hinayana mewujudkan suatu perkembangan logis dari dasar-
dasar yang terdapat di dalam kitab-kitab kanonik. Jika ajaran itu diikhtisarkan
secara umum, dapat dirumuskan :
1. Segala sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang
berada untuk sesaat saja itu disebut dharma. Oleh karena itu tidak ada
sesuatu yang tetap berada. Tidak ada aku yang berfikir, sebab yang ada
adalah pikiran. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah perasaan,
demikian seterusnya.
2. Dharma-dharma itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek,
yang berkelompok sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma
yang terus-menerus maka timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada
“perorangan” yang palsu.
3. Tujuan hidup ialah mencapai nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab
segala kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah
kesadaran terhadap sesuatu. Apakah yang tinggal berada dalam nirwana itu,
sebenarnya tidak diuraikan dengan jelas.
4. Cita-cita yang tertinggi ialah menjadi arhat, yaitu orang yang sudah berhenti
keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak
ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali.
b) Mahayana
Mahayana berarti “kendaraan yang besar” yaitu alat angkutan besar yang
dapat meyeberangi lautan penderitaan dan membawa sekaligus semua sattva ke
bodhi-nirvana di seberang sana. Dua kata yang seolaholah menjadi kunci bagi
ajaran Mahayana adalah Bodhisattwa dan Sunyata karena kedua kata itu hampir
terdapat pada tiap halaman tulisantulisan Mahayana.

Secara harfiah Bodhisattwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya


adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Di dalam Mahayana Boddhisattwa adalah
orang yang sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk
menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain.
Seorang Bodhisattwa bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja
melainkan juga turut merasakannya dengan berat. Oleh karenanya ia sudah
mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitasnya sekarang dan
kelak guna keselamatan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka segala kebajikan
dipergunakan untuk menolong orang lain.

Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi Bodhisattwa.


Cita-cita ini berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arhat.
Sebab seorang arhat hanya memikirkan kelepasan diri sendiri. Cita-cita Mahayana
ini juga berlainan sekali dengan cita-cita untuk menjadi Pratyeka Buddha, seperti
yang diajarkan oleh Hinayana, yaitu bahwa karena usahanya sendiri saja tidak
untuk diberitakan kepada orang lain. Sekalipun karena kebajikan seorang
Bodhisattwa sudah dapat mencapai nirwana namun ia memilih jalan yang lebih
panjang. Ia belum mau masuk nirwana, dikarenakan belas kasihnya pada dunia,
agar dunia dalam arti seluas-luasnya (termasuk para dewa dan manusia) bisa
mendapatkan nirwana yang sesempurna mungkin.

c) Vajrayana/Tantrayana
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering
dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain
yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran
Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari
ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal
filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering dibarengi dengan
visualisasi.
d) Buddhayana
Buddhayana adalah terminologi teknis yang dipakai untuk merujuk dan
merangkum pandangan, aliran ajaran, ataupun pengertian agama Buddha secara
keseluruhan. Dengan demikian setara dengan agama Buddha itu sendiri.
Terminologi Buddhayana dipakai untuk mengikis kekeliruan pandangan bahwa
agama Buddha seolah-olah terpecah dalam sekian banyak aliran ajaran yang
berbeda-beda dan terpisah-pisah, serta mencerminkan kebenaran yang berlainan.

2.5 Hari Besar Agama Buddha


Agama Buddha mengenal 4 hari raya keagamaan dalam satu tahun.
Keempatnya antara lain Hari Raya Waisak, Kathina, Asadha, Magha Puja. Kendati
memiliki 4 hari besar keagamaan, di Indonesia mungkin kita hanya akrab dengan hari
raya Waisak saja. Hari raya Waisak sebagai satu-satunya hari besar keagamaan agama
Buddha yang menjadi hari libur nasional ini adalah hari yang digunakan sebagai
peringatan 3 peristiwa penting dalam kepercayaan umat Buddha. Ketiga peristiwa
penting tersebut antara lain peringatan kelahiran Sang Buddha, hari penerangan
sempurna bagi Sang Buddha, dan hari wafatnya Sang Buddha.

2.6 Kitab Suci Umat Buddha


Agama Buddha di Indonesia secara bertahap Theravada, Mahayana dan
Vajrayana dalam perkembangannya telah tumbuh kembali di bumi nusantara. Oleh
karena itu Sangha Agung Indonesia sebagai maha sangha dari ketiga aliran tersebut
telah menetapkan bahwa kitab suci yang dijadikan pegangan Agama Buddha
Indonesia adalah Tripitaka yang terdiri dari :
a) Pali Pitaka atau keranjang yang berisi Tripitaka yang bahasa pertamanya Pali
(Tipitaka Pali). Selama berabad-abad ajaran Buddha pada awal masa lalu tetap
dijaga keberadaannya dan dituturkan kembali kepada umat Buddha oleh
Sangha, yaitu komunitas rahib-rahib (biarawan-biarawati) Buddha. Ajaran-
ajaran ini ditulis dalam bahasa Pali di atas manuskrip daun palma di Sri
Langka. Buddha sendiri tentunya berbahasa dengan dialek Pali. Kitab suci ini
dikenal sebagai Pali Common. Kitab suci ini kemudian dibagi menjadi tiga
bagian yang disebut sebagai Tipitaka (tiga bakul):
 Viyana Pitaka, berbicara mengenai Sangha
 Sutta Pitaka, terdiri dari bermacam-macam ceramah yang diberikan oleh
Buddha
 Abbimdhamma Pitaka, berisi analisis ajaran Buddha.
b) Sanskerta Pitaka atau keranjang yang berisi Tripitaka dan kitab-kitab suci
agama Buddha yang bahasa pertamanya Sanskerta. Pitaka ini sekarang lebih
dikenal dalam bentuk Mahapitaka (Mandarin) atau Kaghyur (Tibet). Kitab Suci
Mahayana pada masa-masa awalnya ditulis dalam bahasa Sanskerta, yaitu
bahasa India pertama. Kebanyakan isinya dapat dijumpai dengan penambahan
kitab-kitab lainnya. Dinyatakan bahwa kitab-kitab tambahan itu sebagai “sabda
Buddha”. Salah satu diantaranya yang paling terkenal adalah Vimalakirti Sutra,
yang berisi tentang seseorang yang berumah tangga tetapi hidupnya lebih suci
daripada semua Bodhisattva.
c) Kawi Pitaka, atau keranjang Kawi yang berisi kitab-kitab suci agama Buddha
peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri yang ditulis dalam bahasa
Kawi (Jawa Kuno).

2.7 Cara Berdoa Agama Buddha

Konsep berdoa dalam Agama Buddha yang termuat dalam Samyutta Nikaya I,
227:

“Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai.
Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebajikan, dan pembuat kejahatan akan
menerima kejahatan pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih, dan engkau pulalah
yang akan memetik buah-buah daripadanya.”

Berdasarkan sumber tersebut, jelaslah bahwa doa dalam agama Buddha


memiliki ciri khas tertentu. Ciri khas tersebut yaitu:
“Doa dalam Agama Buddha bukan meminta”
Konsep doa dalam Agama Buddha lebih menekankan konsep Hukum Karma.
Akan tetapi, sering kali ditemui umat Buddha datang ke Wihara atau pun ke Klenteng
untuk meminta suatu hal di depan patung Buddha, Dewa atau Dewi. Inilah yang
menimbulkan stigma negatif orang lain dalam memandang Agama Buddha. Umat
Buddha memang mengakui keberadaan Dewa dan Dewi sebagai makhluk yang lebih
tinggi tingakatannya dari manusia. Akan tetapi, umat Buddha bukan menyembah
makhluk tersebut.
Apa yang menyebabkan banyak umat Buddha terbiasa berdoa dengan
meminta-minta? Hal itu karena pengaruh tradisi turun-temurun dari orang tua. Banyak
orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk meminta segala keinginannya agar
tercapai ketika berdoa. Sebagai umat Buddha yang bijaksana, kita harus membedakan
mana yang ajaran Buddha dan mana yang tradisi. Hal ini karena Agama Buddha juga
menyesuaikan dengan tradisi setempat. Akan tetapi, kedua hal tersebut bukan berarti
benar-benar terpisah. Seperti halnya minyak dengan air dalam wadah yang sama.
Keduanya berada ditempat yang sama meskipun tidak menyatu.
Patung Buddha bukan menggambarkan sosok asli Buddha sendiri. Mengapa?
Karena di masa Buddha hidup di bumi tidak ada patung Buddha. Patung itu dibuat
setelah Buddha parinibbana. Apa yang menjadi bukti hal tersebut? Buktinya semua
patung Buddha berbeda antar negara. Patung Buddha di Tiongkok menggambarkan
Buddha layaknya orang Tiongkok. Patung Buddha di Thailand menggambarkan
Buddha layaknya orang Thailand. Padahal, berdasarkan sejarah diketahui bahwa
Buddha itu hidup di daerah India. Jika seandainya itu menggambarkan sosok asli
Buddha, seharusnya sosok yang digambarkan itu serupa.
Patung Buddha melambangkan penghormatan akan sifat-sifat luhur dan
membuat kita merenungi kembali ajaran Beliau. Hal yang sama juga berlaku untuk
patung para Dewa dan Dewi. Mereka ada bukan untuk disembah apalagi untuk
dimintai sesuatu hal. Mereka bermanfaat sebagai sarana perenungan mengenai sifat-
sifat yang dimiliki. Dengan demikian, umat Buddha diharapkan menjadi orang yang
penuh cinta kasih, kasih sayang, bersimpati dan memiliki keseimbangan batin yang
baik.
Zaman ketika Buddha masih hidup, umat terbiasa datang ke Wihara, kemudian
bersujud dan mendengarkan Dhammadesana (Ceramah Dhamma) dari Buddha.
Setelah selesai, para umat bersujud dan pulang. Para umat bersujud karena mengikuti
kebiasaan yang dilakukan di India ketika menemui orang yang dihormatinya.
Kebiasaan inilah yang terbawa bahkan setelah Buddha parinibbana, para umat tetap
bersujud ketika datang ke Wihara. Selain itu, dengan bersujud, kita juga mengurangi
sifat ke-akuan (keegoisan) yang kita miliki.
Lantas bagaimana cara berdoa menurut agama Buddha? Doa dalam agama
Buddha diawali dengan Pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa, dilanjutkan dengan
kalimat perenungan, dan diakhiri dengan ucapan harapan untuk semua makhluk. Jika
dirangkum mungkin akan seperti berikut.
“Terpujilah Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha, para Bodhisatta, para
leluhur, para Dewa dan Dewi. Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah
buah yang dituai. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebajikan dan pembuat
kejahatan akan menerima kejahatan pula. Semoga dengan kebajikan yang telah saya
lakukan (merenungi perbuatan baik yang telah dilakukan), akan membuahkan
kebahagiaan dalam bentuk…….(Kesehatan, umur panjang, dan lainnya). Semoga
Semua Makhluk hidup berbahagia. Sadhu…Sadhu..Sadhu..”
Kalimat perenungan bermanfaat sebagai penyemangat umat Buddha untuk
terus mengembangkan kebajikan melalui pikiran, ucapan dan perbuatan.
Contohnya ketika kita baru saja melakukan fangsheng (Pelepasan makhluk
hidup ke alam bebas). Kita bertekad semoga dengan kebajikan yang telah saya
lakukan (merenungi perbuatan baik yang telah dilakukan yaitu fangsheng), akan
membuahkan kebahagiaan dalam bentuk terlepas dari penderitaan. Semoga semua
makhluk hidup berbahagia. Sadhu…Sadhu..Sadhu..
Misalnya kita menemui orang yang hafal puluhan paritta dan sutta. Akan
tetapi, perbuatannya tidak terpuji. Maka akan sulit untuk terpenuhi keingiannya.
Sebaliknya, jika orang tersebut mengerti dan memahami paritta atau sutta, kemudian
ditambah dengan perbutannya yang terpuji karena mengaplikasikan ajaran Buddha
maka akan mudah untuk terpenuhi harapannya. Oleh karena itu, sebagai umat
Buddha, jika kita membaca paritta atau sutta, akan lebih baik jika terjemahannya
dibaca sehingga kita mengerti apa yang telah diajarkan Buddha.
2.8 Simbol-simbol Agama Buddha
1. Arca Buddha
Arca Buddha adalah lambang keluhuran. Arca Buddha sebagai lambang
penghormatan Guru Agung Buddha begitu luhur. Guru Buddha sangat dihormati
dan Beliau telah mengajarkan Dharma kepada dewa dan manusia.
2. Stupa
Stupa bentuknya seperti genta. Stupa merupakan bangunan suci agama
Buddha Stupa salah satu dari objek yang dihormati umat Buddha. Stupa banyak di
jumpai di candi Borobudur.
Di India kuno, bangunan stupa digunakan sebagai makam, tempat
menyimpan abu kalangan bangsawan atau tokoh tertentu. Di kalangan umat
Buddha, stupa menjadi tempat menyimpan abu Guru Agung Buddha. Setelah
wafat lalu dan dikremasi. Setelah dikremasi, abu-Nya disimpan dalam delapan
stupa terpisah yang didirikan di India Utara.
3. Cakra/Roda Dhamma
Cakra memiliki delapan jari-jari. Ketika kita mengendarai sebuah mobil,
roda-rodanya akan terus berputar hingga sampai di tempat tujuannya. Begitu pula
dengan Roda Dhamma, semenjak Guru Agung Buddha membabarkan kebenaran
(Dhamma) untuk pertama kalinya, Dhamma akan terus-menerus menyebar
keseluruh dunia hingga semua makhluk terbebas dari Dukkha. Roda Dhamma
merupakan symbol dari perputaran ajaran Guru Agung Buddha terus berlanjut
demi kebahagiaan semua makhluk. Selain itu, roda Dhamma juga dilambangkan
sebagai senjata yang dapat menghancurkan ketidak tahuan dan kegelapan batin
dalam diri manusia. Simbol ini juga menggambarkan khotbah HGuru Agung
Buddha yang pertama kalinya di Taman RusaI sipatana, Sarnath, India.
4. Teratai/Padma/Lotus
Teratai putih melambangkan Bodhi (Sansekerta untuk pencerahan). Murni
melambangkan tubuh, pikiran dan jiwa, bersama dengan kesempurnaan spiritual
dan perdamaian sifat seseorang. Sebuah bunga teratai umumnya dilengkapi
dengan delapan kelopak, yang sesuai dengan Delapan Jalan Hukum Baik. Teratai
putih dianggap sebagai teratai dari Buddha (tapi tidak Buddha sendiri) karena
disebutkan di atas simbol-simbol yang terkait dengannya.

5. Pohon/Daun Bodhi
Pohon Bodhi menghasilkan udara segar. Selama berabad-abad, pepohonan
telah menyediakan naungan dan perlindungan bagi manusia maupun binatang.
Pohon Bodhi adalah pohon tempat naungan Petapa Gautama ketika Beliau
mencapai penerangan sempurna, menjadi Yang Agung Buddha. Saat ini, pohon
Bodhi dihormati sebagai pencerminan keagungan dan kebijaksanaan Guru Agung
Buddha. Pohon Bodhi ini juga dilambangkan sebagai pohon kehidupan.
Menghormat pada pohon Bodhi merupakan salah satu cara untuk menunjukkan
rasa penghormatan dan syukur kita, umat Buddha, atas kebijaksanaan dan ajaran
yang telah dibabarkan oleh Guru Agung Buddha. Oleh sebab itu Pohon Bodhi
mempunyai makna penerangan sempurna. Bodhi artinya penerangan sempurna.
6. Jejak Kaki Buddha
Jejak kaki Guru Agung Buddha ini sangatdihargai di seluruh Negara
Buddhis. Secara garis besar, jejak kaki yang sangat skematis ini memperlihatkan
seluruh jari kaki yang sama panjang dan terpahat di atas batu. Biasanya, jejak kaki
ini memperlihatkan tanda-tanda, baik itu Dharmachakra atau Chakra di tengah
telapak kaki, maupun menunjukkan tiga puluh dua (32), seratus delapan (108),
atau seratus tiga puluh dua (132) dari tanda-tanda istimewa Guru Agung Buddha.
Jejak kaki Guru Agung Buddha ini digunakan sebagai perlambangan atas diri
Guru Agung Buddha sebelum perlambangan Guru Agung Buddha dalam bentuk
patung manusia (Buddha Rupang) dibuat.
Kesimpulannya adalah Jejak kaki Buddha adalah lambang dari kehadiran
Buddha dalam mengajarkan Dharma di dunia. Kita sebaiknya melaksanakan atau
mempraktikan ajaran Buddha.
7. Bendera Buddhist
Bendera Buddhist ada enam warna. Keenam warna itu berasal dari sinar
tubuh Buddha saat bermeditasi.
a. Biru berarti bakti
b. Kuning berarti bijaksana
c. Merah berarti cinta kasih
d. Putih berarti suci
e. Jingga berarti semangat
f. Campuran lima warna berarti kegiatan praktik dari makna kelima warna
bendera Buddhist
8. Swastika

Swastika (Svastika) berasal dari bahasa Sanskerta ‘su’ yang artinya


menjadi; dan ‘ka’ sebagai akhiran. Jadi, swastika memiliki arti ‘keadaan menuju
baik’. Swastika terdiri atas sebuah palang dengan panjang ke empat lengan yang
sama. Ujung setiap lengannya mengarah kearah kanan. Terkadang beberapa titik
ditambahkan pada masing-masing lengannya.

Swastika merupakan symbol kuno yang telah digunakan oleh berbagai


budaya untuk melambangkan kehidupan, matahari, kekuasaan, kekuatan dan
keberuntungan. Begitu pula dalam tradisi ajaran Agama Buddha, swastika
melambangkan hal-hal yang baik dan positif. Selain itu, swastika juga
merepresentasikan jejak kaki Guru Agung Buddha (Buddhapada). Swastika kerap
kali digunakan sebagai tanda atau icon dalam sebuah teks Buddhis. Di Republik
Rakyat Cina dan di Jepang, swastika digambarkan sebagai symbol kemajemukan,
kebahagiaan, kesejahteraan dan umur yang panjang. Saat ini, swastika masih
digunakan sebagai tanda istimewa pada patung-patung Guru Agung Buddha dan
wihara-wihara. Dalam ajaran Agama Buddha aliran Tibet, swastika juga
digunakan sebagai dasar dalam pola pakaian.

2.9 Pendapat Umat Agama Buddha

Oleh : Vira Angelica

“Saya lahir dari keluarga yang pada dasarnya itu beragama Buddha dan
Kristen katolik, jadi sewaktu kecil saya bukan budhis tapi saya seorang kristiani.
Sejak duduk di bangku SMP saya baru bisa menerima Budhha sebagai agama saya.
Menurut saya, agama Budhha itu unik ya, karena apa? Karena jika dalam agama lain
itu pasti ada yang Kitab Suci disetiap rumah umatnya akan tetapi umat Buddha sama
sekali tidak punya Kitab Suci dirumahnya. Bahkan di wihara pun hanya ada kutipan-
kutipan kitabnya. Karena setau saya kitab Budhha itu belum diubah ke dalam Bahasa
Indonesia jadi ya mungkin itu salah satu alasan mengapa disetiap rumah budhis itu
tidak ada Kitab Suci seperti umat agama lainnya. Ajaran dalam Buddha itu sendiri
cukup simple ya menurut saya, kenapa saya katakana demikian karena dalam agama
Budhha itu sendiri tidak ada yang istilah surga ataupun neraka. Dalam agama Budhha
itu ada 31 kehidupan tapi yang paling tinggi itu tidak terlahir kembali. Jadi dalam
hidup ini itu jika kamu ingin diperlakukan baik, maka lakukan juga hal yang baik.
Kalau kamu mencuri barang orang lain ya pastinya barang milik kamu juga akan
dicuri juga gitu. Bisa dikatakan hukumnya itu timbal balik. Kurangi perbuatan buruk,
perbanyak perbuatan yang baik, sucikan hati dan pikiran, itu adalah jalan menuju
pantai bahagia. Dalam Budhha tidak ada perintah-perintah yang harus di taati seperti
agama lain, tetapi lebih ke menghimbau seluruh umatnya supaya berbuat baik agar
jika nanti meninggal tidak terlahir kembali. Soalnya terlahir dalam manusia itu
merupakan cerminan penderitaan. Bayi yang menangis saat baru lahir kedunia itu
merupakan cerminan dari penderitaan yang akan dialami bayi itu sendiri. Ada
beberapa hal dasar yang membawa kesengsaraan contohnya, durhaka sama orang tua,
menyakiti alam apalagi menyakiti sesama manusia.”
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari uraian mengenai agama Buddha di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
agama Buddha dibawa oleh seseorang bernama Sidarta Gautama yang telah
memperoleh pencerahan setelah melalui berbagai tahap peristiwa yang dialaminya.
Ajaran pokok agama Buddha mencakup 3 batu permata yang disebut Triratna yaitu,
Buddha, Darma, dan Sangha. Aliran Agama Buddha yang paling dikenal menjadi dua
aliran besar yaitu aliran Hinayana dan Mahayana. Aliran tersebut berkembang dan
menyebar ke negara-negara lain. Sejarah mengenai masuknya agama Buddha ke
Indonesia tidak dapat diketahui secara pasti. Bukti-bukti seperti prasasti dan sumber
dari Negara lain mengatakan bahwa agama Budhha sudah ada di Indonesia sejak
sebelum abad ke V masehi namun belum berbentuk sebuah kerajaan. Baru pada
abad ke V dan VI agama Buddha tampil dalam bentuk kerajaan yaitu Kerajaan
Sriwijaya di Sumatra dan Kerajaan dari Wangsa Sailendra di Jawa.

3.2 SARAN

Dari pembahasan mengenai Agama Buddha, kiranya semua masyarakat


Indonesia dapat meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama dengan tidak
membeda-bedakan agama yang satu dengan agama yang lain sehingga tercipta
kehidupan yang damai dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA

http://bhayangkari.or.id/artikel/asal-usul-agama-buddha/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha#:~:text=dikenal%20sebagai
%20Theravada.-,Kitab%20suci%20ajaran%20Buddha,Kanon%20Pali%20(Pali%20Canon)

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tipi%E1%B9%ADaka

https://swatihotu.blogspot.com/2017/12/simbol-simbol-agama-buddha.html?m=1

https://cittadhammo.wordpress.com/2017/08/12/apa-dan-bagaimana-berdoa-menurut-agama-
buddha/

http://digilib.uinsby.ac.id/9081/5/bab.%20ii.pdf

Anda mungkin juga menyukai