Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

Latar Belakang

Tujuan dari semua praktek Buddhis adalah untuk mencapai Pencerahan


dan melampaui siklus Kelahiran dan Kematian yaitu, untuk mencapai
Kebuddhaan. Dalam tradisi Mahayana, prasyarat untuk Kebuddhaan adalah
Pikiran Bodhi, aspirasi untuk mencapai Pencerahan bagi manfaat untuk semua
makhluk hidup, termasuk diri sendiri.

Oleh karena makhluk hidup memiliki kapasitas spiritual dan


kecenderungan yang berbeda, banyak tahapan pengajaran dan banyak metode yang
dirancang untuk mencakup setiap orang. Secara tradisional, Sutra­Sutra diajarkan
sebanyak 84.000, yang menggambarkan ketidakterhinggaan, tergantung pada
keadaan, waktu dan target pendengar. Semua metode ini adalah sangat bermanfaat
obat­obat yang berbeda untuk individu­individu dengan penyakit yang
berbeda­beda pada masa yang berbeda tetapi semua ini secara instrinsik sempurna
dan menyeluruh. Di samping masing­masing metode, keberhasilan atau kegagalan
pelatihan seseorang tergantung pada kedalaman praktek dan pemahamannya, yaitu
pada pikirannya.

1
Pembahasan

Aliran Sukhavati

Pengertian Sukhavati secara harfiah berarti tempat yang penuh


kebahagiaan. Bagi penganut Agama Buddha Mahayana, Sukhavati merupakan
tanah suci yang juga diyakini sebagai surga di penjuru barat yang dikuasai
Amitabha Buddha. Aliran yang mempercayai ini disebut aliran Tanah Suci atau
Aliran Sukhavati. Sukhavati juga menjadi tujuan bagi penganut Aliran Tanah
Suci, cara ini kemudian dikenal sebagai “Jalan Mudah” atau “Jalan Bakti”.
Dengan demikian ajaran ini lebih diinginkan oleh kebanyakan orang, sedangkan
Agama Buddha bentuk lain yang memerlukan kemampuan mental lebih tinggi
ditujukan terutama kepada mereka yang berbakat atau yang telah mencapai
kesucian.

Sekte Sukhavati, dikenal juga sebagai Jingtuzong adalah salah satu dari 13
sekte utama Agama Buddha di Tiongkok (dan juga Jepang). Merupakan sekte
aliran Mahayana yang didirikan dan berkembang di luar India setelah zaman
Siddharta Gautama. Tujuan akhir penganut sekte ini adalah dilahirkan kembali
kelak di surga Sukhavati.

Sekte ini mulai terbentuk dan berkembang di Tiongkok pada zaman


Dinasti Jin Timur atau Dongjin sekitar tahun 317­420.Pertama kali dilembagakan
oleh Bhiksu Huiyuan di gunung Lushan di bawah bendera Bailianshe. Karena
berdiri dan berkembang di bawah bendera Bailianshe inilah, maka sekte ini juga
dikenal sebagai aliran Lianzong.

Karakteristik utama dari Aliran Sukhavati:

1. Ajarannya didasarkan atas kasih sayang, keyakinan di dalam belas kasih


Sumpah Buddha Amitabha untuk datang dan membimbing semua makhluk hidup
menuju Tanah Suci Sukhavati.

2. Metode yang digunakan mudah, dipandang dari tujuannya lahir di Sukhavati


sebagai sebuah langkah menuju KeBuddhaan dan bentuk pengembangannya dapat
dilatih di manapun, setiap waktu tanpa peribadatan yang khusus,
perlengkapan­perlengkapan upacara atau pemimpin.

2
3. Merupakan obat yang mujarab untuk berbagai penyakit pikiran, tidak seperti
metode lainnya.

4. Merupakan metode yang demokratis yang memberikan kebebasan bagi


pengikutnya, membebaskan mereka dari ketergantungan akan guru, pembimbing.

Untuk alasan­alasan inilah, sejak abad ke 13, Aliran Sukhavati menjadi


Tradisi yang paling dominan di Asia Timur, memegang peranan yang penting
dalam Buddhis. Honen Shonin (1133­1212), Ketua Aliran Sukhavati di Jepang,
menyatakan Ajaran­aliran Sukhavati yang paling pokok. Seharusnya tidak ada
perbedaan, baik mereka pria atau wanita, baik atau buruk, mulia atau hina, semua
dapat Terlahir di Sukhavati, bila memiliki keyakinan penuh pada Buddha
Amitabha.

Di kemudian hari, orang kadang juga menyebutnya sebagai Nianfozong


yang artinya kira­kira adalah “Sekte Berdoa”, mengacu pada metode utama
pelaksanaan Dharma dari sekte ini, yakni menjapa/membaca nama para Buddha
dengan konsentrasi penuh. Walaupun terbentuk dan berkembang terutama di
Tiongkok jauh sesudah zaman Siddharta Gautama, pokok pikiran sekte Sukhavati
tetap mengacu pada catatan kotbah Siddharta Gautama, terutama yang kemudian
hari disebut sebagai “Tiga Naskah Utama Aliran Sukhavati” atau Jingtu
Sanbujing, yakni:

Sukhavati Vyuha (kotbah Siddharta Gautama di gunung Grdhrakuta);

Amitayur Dhyana Sutra (kotbah Siddharta Gautama di kota Rajagrha);

Aparimitayus Sutra (kotbah Siddharta Gautama di kebun Jetavana).

Sekte Sukhavati berkembang mulai dari Huiyuan. Sebab pada zaman


kira­kira 900 tahun setelah wafatnya Siddharta Gautama, cikal­ bakal ajaran
Sukhavati sudah mulai terbentuk di India. Walaupun tidak dilembagakan, ketika
itu di India telah muncul beberapa orang bhiksu senior yang mengembangkan
ajaran Sukhavati, mereka adalah Vasubandhu dengan ajaran
Sukhavati­vyuhopadeca serta Acvaghosa dan Nagarjuna yang memberikan ulasan
dan komentar terhadap tiga kotbah Siddharta Gautama dengan tema Sukhavati.

Sedangkan di Tiongkok ajaran ini baru populer setelah pada tahun 508 di
zaman Dinasti Wei Utara atau Beiwei, Bodhiruci (biarawan dari India)
memperkenalkan naskah Amitayur Dhyana Sutra yang lebih lengkap dan
sistematis kepada masyarakat Buddhis Tiongkok di sana. Selain Tiga Naskah

3
Utama tersebut di atas, naskah­naskah ajaran Sukhavati yang berasal dari bahasa
Sanskerta lainnya adalah :

Pratyutpanna­Buddha Sammukhavasthita Samadhi Sutra (diterjemahkan bersama


oleh Lokasema dan Zhufoshuo);

Guna Prabha Sutra dan Wuliang Qingjing Pingdengjuejing (diterjemahkan oleh


Dharmaraksa. Konon naskah asli ‘Wuliang’ dalam bahasa Sanskerta sudah
musnah atau hilang?, jadi tidak ditemukan judul dan naskah asli bahasa
sanskertanya);

Dasabhumika Vibhasa Sastra (diterjemahkan oleh Kumarajiva);

Karuna Pundarika Sutra (diterjemahkan oleh Dharmaraksa);

Sepertinya jarang orang yang tahu, bahwa sekte Sukhavati di Tiongkok


sebenarnya juga masih terbagi lagi dalam 2 sub sekte, yakni

Sekte Sukhavati Maitreya, dan

Sekte Sukhavati Amitabha.

Mengenal Sekilas 13 Patriarch Aliran Sukhavati

Patriarch ke 1 : Hui­Yuan (334­416, AD)

Master Hui­yuan hidup pada abad ke 4 di masa dinasti Jin Timur di


gunung Lu, Jiang­xi. Sejak kecil dia suka belajar, tidak hanya menguasai ajaran
Konfucius bahkan ajaran Taoisme juga dipahaminya dengan jelas. Pada usia 21
tahun dia ditabhiskan oleh Master Dao An dan bertekad untuk menyebarkan
ajaran Buddha. Dia mendirikan Vihara Dong­lin di gunung Lu, di mana tempat
berkumpulnya 123 orang dan membentuk asosiasi lotus untuk pertama kalinya.
Mereka melafal nama Buddha bersama dan bertekad lahir di Alam Sukhavati.
Selama 30 tahun menetap di Gunung Lu, beliau menulis tentang metode melafal
nama Buddha, kemudian dia dikenal sebagai pendiri aliran Sukhavati di China.

Patriarch ke 2 : Shan­Dao (AD 613­681)

Master Shan­Dao tinggal di Vihara Guang Ming, Chang­an, ibukota China


pada abad ke 7 masa Dinasti Tang. Hidup dengan sederhana, menaati sila dengan
disiplin. Pada usia yang masih muda telah menjadi Bhiksu, tinggal di Chang­an
selama lebih dari 30 tahun, tekun melafal Amituofo, menyebarkan ajaran
Sukhavati. Dia menulis penjelasan pada tiga sutra aliran Sukhavati. Dia menyalin

4
kembali Amitabha Sutra sebanyak lebih dari 100.000 gulungan dan menghasilkan
lebih dari 300 buah lukisan tentang Sukhavati. Karena sewaktu melafal nama
Buddha, dari mulut Master Shan­Dao keluar cahaya terang, maka itu beliau
disebut “Bhiksu Cahaya Terang”. Aliran Sukhavati Jepang menghormatinya
sebagai Sesepuh Terkemuka.

Patriarch ke 3 : Cheng­Yuan (712­802, AD)

Master Cheng­Yuan hidup pada masa Dinasti Tang pada abad ke 8 di


vihara Gunung Heng di Hunan, China. Setelah menjadi bhiksu, dia berkelana
menimba ilmu, bertemu Master Hui Ri yang mengajarinya Samadhi Pelafalan
Nama Buddha berdasarkan Maha Sukhavati Vyuha Sutra, bertekad lahir di Alam
Sukhavati. Selama tinggal di Gunung Heng, dia memantapkan diri di dalam ajaran
Sukhavati, hidup sederhana dan melatih diri dengan disiplin. Membangun Vihara
Amitabha, melatih pratyutpanna­samādhi pelafalan nama Buddha, mengajari
puluhan ribu insan, akhirnya Kaisar Tang Dai­zong memberinya gelar Vihara
Pratyutpanna.

Patriarch ke 4 : Fa­Zhao

Master Fa­Zhao hidup pada masa Dinasti Tang pada abad ke 9. Beliau juga
bergelar “Master Lima Lantunan”. Menjadi bhiksu pada usia muda, mengkagumi
ajaran Master Hui Yuan dari Vihara Dong­lin, segenap hati melafal nama Buddha.
Dalam samadhinya, memperoleh bimbingan langsung dari Patriarch Kedua. Dia
tekun melatih diri di Vihara Yun­feng di Hunan. Suatu hari dia melihat di dalam
mangkok patranya ada pemandangan Gunung Wu Tai, lalu dia berkunjung ke
sana. Kemudian dia bertemu dengan Bodhisattva Manjusri, yang membabarkan
ajaran Sukhavati padanya.

Pada tahun ke 4 masa pemerintahan Kaisar Da Li, Master Fa­Zhao mulai


membangun “Vihara Lima Lantunan Lafalan Nama Buddha”. Seluruh lapisan
masyarakat memberikan sambutan yang hangat. Akhirnya berdirilah Vihara
Zhu­lin di Gunung Wu Tai untuk menyebarkan ajaran Sukhavati.

Kaisar Tang Dai­zong jadi terkesan pada “Lima Lantunan Lafalan Nama
Buddha”, lalu mengundang Master Fa­Zhao ke istana dan mengangkatnya menjadi
Guru Kerajaan untuk mengajari “Lima Lantunan Lafalan Nama Buddha”, karena
itu beliau juga digelar “Master Lima Lantunan”.

Patriarch ke 5 : Shao Kang ( 770­805, AD)

5
Master Shao Kang hidup pada abad ke 9 masa Dinasti Tang di Zhe­jiang,
China. Menjadi bhiksu pada usia muda, mempelajari sutra ajaran Sukhavati, dan
berkonsentrasi pada metode melafal nama Buddha. Pernah demi menyebarkan
ajaran, dia membagikan uang kepada anak­anak agar mau melafal nama Buddha,
agar seluruh lapisan masyarakat mau melafal nama Buddha. Ketika Master Shao
Kang melafal nama Buddha, dari mulutnya terpancar cahaya dan dalam cahaya
terdapat rupang Buddha Amitabha. Akhirnya dia mendirikan vihara aliran
Sukhavati di Gunung Hei­long di Lu­zhou. sebagai tempat umat berkumpul untuk
melafal nama Buddha dan menyebarkanluaskan ajaran Sukhavati.

Patriarch ke 6 : Yan­Shou (904­975, AD)

Master Yan­Shou hidup pada abad ke 10 masa Dinasti Song di Vihara


Yong­ming di Hang­zhou, China. Sebelum menjadi bhiksu, dia adalah seorang
jenderal, suka melakukan kebajikan dan berdana, tidak membunuh dan
melepaskan makhluk hidup. Ketika baru ditabhiskan beliau diangkat menjadi
sesepuh ketiga sekte Dharma­Eye dari aliran Chan. Namun akhirnya beliau beralih
ke Aliran Sukhavati dan tekun melafal nama Buddha, Setiap hari dia menetapkan
108 jenis pelajaran yang harus dilaksanakannya, sehari harus melafal puluhan ribu
nama Buddha, menggabungkan metode melatih diri aliran Sukhavati dan aliran
Chan, dengan ajaran Sukhavati sebagai inti dan ajaran Chan sebagai kedisiplinan.

Patriarch ke 7 : Sheng­Chang (959­1020, AD)

Master Xing Chang hidup pada masa Dinasti Song pada abad ke 11,
merupakan penduduk provinsi Zhe­jiang, China. Semasa menjadi umat awam
namanya Zao Wei. Ketika usianya masih kecil, dia telah menjadi bhiksu, tekun
melatih diri, disiplin dalam menjalankan sila, menguasai Sraddhotpada Sastra,
juga melatih metode Samatha Vipasyana seperti yang diajarkan aliran Tian Tai.
Selama menetap di Vihara Zhāo­qìng, Hang­zhou, beliau mengukir rupang
Buddha, meneteskan darahnya sendiri untuk menyalin Avatasamka Sutra dan
sebagainya. Dia berhasil menciptakan suasana keagamaan di kalangan masyarakat,
setiap insan berminat melatih diri mencari pencerahan, mengadakan kebaktian
bersama, sehingga ajaran Sukhavati berkembang pesat pada masa itu.

Patriarch ke 8 : Lian­Chi (1532­1612, AD)

Master Lian Chi hidup pada masa Dinasti Ming di abad ke 17 di Vihara
Yún qī di Hang­zhou, China. Di usia 17 tahun dia telah mendapatkan gelar
sarjana, terkenal baik pendidikan maupun budi pekertinya. Setelah menjadi
bhiksu, beliau memusatkan diri dalam mempelajari ajaran Buddha. Untuk

6
memadukan ajaran Sukhavati dan ajaran Chan, beliau menulis buku penjelasan
tentang Sutra Amitabha dengan prinsip aliran Chan. Beliau juga menerapkan
upacara kebaktian untuk meringankan penderitaan para makhluk di alam samsara.
Master Lian Chi menempati urutan pertama dari 4 bhiksu agung pada masa
Dinasti Ming.

Patriarch ke 9 : Zhi­Xu (1598­1655, AD)

Master Zhi­Xu hidup pada masa Dinasti Qing pada abad ke 17 di provinsi
Jiang­su, China. Nama lainnya adalah Master Ou­Yi. Pada usia belia, dia
merupakan penganut konfucius yang anti ajaran Buddha. Tetapi ketika menginjak
usia 17 tahun dia menjadi tercerahkan saat membaca karya tulis Master Lian­Chi.
Dia bertekad memperbaiki sikapnya, menjadi bhiksu dan menyebarkan ajaran
Buddha, menyerukan perpaduan ajaran Konfucius, Buddha dan Taoisme. Beliau
juga menyatukan tiga sekte ke dalam aliran Sukhavati, di mana pada saat itu
perpaduan ini menimbulkan doktrin baru yang dinamakan doktrin Ling­feng.
Hasil karya tulis Master Ou Yi menjadi referensi penting dalam Aliran Sukhavati.

Patriarch ke 10 : Xing­Ce (1627­1682, AD)

Master Xing­Ce, nama lainnya adalah Jie Liu, hidup pada masa Dinasti
Qing pada abad ke 17 di provinsi Jiang­su, China. Pada usia 23 tahun menjadi
bhiksu, tekun melatih samadhi aliran Chan selama 5 tahun, sehingga menyadari
akan intisari dari semua Dharma. Kemudian dia menyebarkan ajaran Sukhavati di
provinsi Jiang­su dan Zhe­jiang, sehingga ajaran Sukhavati berkembang dengan
pesat. Membangun kembali asosiasi lotus, mengumpulkan umat untuk melafal
nama Buddha selama 7 hari, yang di kemudian hari menjadi tradisi yang populer
disebut “Fo Qi”. Master Xing­Ce menghasilkan banyak karya tulis untuk aliran
Sukhavati.

Patriarch ke 11 : Shi­Xian (1686 – 1734, AD)

Master Shi Xian, nama lainnya adalah Xing An, hidup pada masa Dinasti
Qing abad ke 17 di Hang­zhou, China. Pada usia 15 tahun menjadi bhiksu, tekun
melatih diri, berpengetahuan luas, dia menguasai ajaran berbagai sekte misalnya
Chan, Tian­Tai, Śūnyāta, Yogacara, dan sebagainya. Telah 5 kali dia menyalakan
api di jarinya sebagai persembahan kepada pagoda relik Buddha di Vihara Raja
Asoka dan mengikrarkan 48 tekad agung, sehingga relik tersebut memancarkan
cahaya. Di masa tuanya, beliau menetap di Vihara Fan­tian, mengumpulkan umat
untuk melafal nama Buddha, melatih diri dengan ajaran Sukhavati, salah satu
karya tulisnya yang populer adalah “kisah tentang insan­insan yang terlahir di

7
Alam Sukhavati”.

Patriarch ke 12 – Ji­Xing (1741­1810, AD)

Master Ji­Xing juga bernama Chè­wù, hidup pada abad ke 18 pada masa
Dinasti Qing, pada masa berkuasanya Kaisar Qian Long. Master Chè­wù
menguasai ajaran aliran Chan dan Tian Tai, namun akhirnya dia beralih
memusatkan perhatian pada ajaran Sukhavati. Membimbing umat untuk
mengadakan kebaktian melafal nama Buddha, menyebarkan ajaran Sukhavati
secara meluas. Di masa tua nya, beliau menetap di Gunung Hóng luó, umat silih
berganti datang berkunjung meminta bimbingannya, akhirnya dibangunlah Vihara
aliran Sukhavati.

Patriarch ke 13 : Yin­Guang (1861­1941, AD)

Master Yin Guang hidup pada masa akhir Dinasti Qing abad ke 18 di
Su­zhou, provinsi Jiang­su, China. Master Yin Guang juga mendapat sebutan
sebagai bhiksu yang selalu merasa malu pada diri sendiri. Ketika usianya masih
kecil Master Yin Guang belajar ajaran Konfucius bersama abangnya. Menjadi
bhiksu pada usia 21 tahun. Beliau mempelajari ajaran berbagai sekte namun
menitikberatkan pada ajaran Sukhavati. Beliau membangun kembali vihara Ling
yan shan di Jiang­su, mengajarkan umat tentang hukum karma, membangkitkan
tekad lahir ke Alam Sukhavati.

Di Jiang­su ini pula Master Yin Guang mendirikan Hong hua she, yakni
lembaga yang mencetak dan menyebarkan sutra secara gratis, menjalin jodoh baik
secara meluas. Ketika usianya telah lanjut, Master Yin Guang menetap di Vihara
Ling yan shan, mengubah vihara tersebut menjadi vihara yang hanya mempelajari
ajaran Sukhavati. Master Yin Guang menghasilkan banyak karya tulis.

Dari banyak sekte Buddhist suatu waktu yang populer di China, hanya
sekte Ch’an (Zen; Dhyana) dan Chin­Tu (Sukhavati) masih tumbuh berkembang
sampai dengan hari ini, dan survival mereka dapat dihubungkan dengan
kepraktisan dan kesucian dari pendekatan mereka terhadap sutranya.

Daftar Pustaka

Drs. T Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis Agama

8
Buddha Mahayana.

Eresen Erik. “Sekte Sukhavati ­ Jingtuzong, Satu Dari Tiga Belas Aliran Buddha
Di Tiongkok Dan Jepan”.10 maret 2018.
http://web.budaya­tionghoa.net/index.php/item/559­sekte­sukhavati­jingtuzong­%
E5%87%80%E5%9C%9F%E5%AE%97­­satu­dari­tiga­belas­aliran­buddha­di­ti
ongkok­dan­jepang.

Hengki. “Karakteristik Utama dari Aliran Sukhavati”. 10 maret 2018.


https://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=11521.0

Kalyana. “Tradisi Tanah Suci”. 10 maret 2018.


https://www.kaskus.co.id/show_post/53ccc4cb0e8b46cb7d00007c/14/buku­2­pen
dahuluan­tradisi­tanah­suci­bagian­1

Pintar Bikers. “Pengertian Sukhavati”. 10 maret 2018.


http://arti­definisi­pengertian.info/pengertian­sukhavati/

Penutup

Kesimpulan

Dari sekitar akhir dynasti utara dan selatan (317­589), Buddhism


Sukhavati (Pure­Land), dengan perkembangannya mengenai latihan nien­fo,
memohon dengan khusuk dengan menyebut nama Buddha Amitabha agar supaya
terlahir di Sukhavati juga secara luas diterima. Tan­Luan (476­542), Tao­Cho
(562­645), Shan­Toa (613­811), tiga guru terdahulu dari sekte Sukhavati yang
mendapatkan kepopuleran melatih nien­fo, semua mengerti sepiritual, tanpa
rintangan dari ketidakbenaran dengan interprestasi halus dari setiap kata yang
terkandung di dalamnya.

9
Dari banyak sekte Buddhist suatu waktu populer di China, hanya sekte
Ch’an (Zen; Dhyana) dan Chin­Tu (Sukhavati) masih tumbuh berkembang sampai
dengan hari ini, dan survival mereka dapat dihubungkan dengan kepraktisan dan
kesucian dari pendekatan mereka terhadap sutranya.

Saran

Di Indonesia sekte Sukhavati tidak ada lembaganya. Yang sekarang ini


tergabung dalam KASI hanyalah aliran­ aliran utama seperti Mahayana, Theravada
dan Buddhayana (sebuah aliran yang ingin dibakukan oleh masyarakat Buddhis
Indonesia). Sedangkan sekte­sekte dan sub­sub sekte seperti Sukhavati dan
lain­lain yang dibina oleh beberapa Bhiksu Mahayana di Indonesia berada di
bawah naungan SANGHA MAHAYANA INDONESIA serta SANGHA AGUNG
INDONESIA. Dan meskipun demikian kita sebagai siswa Buddha apapun
alirannya kita harus tetap semangat dan kerja keras melestarikan Dharma Ajaran
Sang Buddha dengan baik dan sungguh­sungguh,dan saling rukun hidup
berdampingan dengan yang lain.

10

Anda mungkin juga menyukai