1. MAHAYANA
Mahayana merupakan gerakan pembaruan Buddhisme. Pembaruan tersebut
terjadi sekitar abad pertama SM sebagai reaksi atas Buddhisme lama yang dianggap
terlalu kaku, contohnya yang diwakili oleh beraneka macam aliran periode Abhidharma.
Dalam hal ini, Mahâyâna bermaksud mengembalikan inti semangat asli Buddhisme.
Bila ditelusuri, Periode Abhidharma terjadi sekitar tahun 350 SM bersamaan dengan
terpecahnya kesatuan para bikkhu karena kontroversi penafsiran ajaran dan peraturan
hidup membiara yang berbeda-beda. Dampak perpecahan besar tersebut, yaitu
perbedaan penafsiran Vinayapitakka dan Suttapitakka. Mahayana muncul dalam
pandangan sejarah beberapa abad kemudian sebagai gerakan yang terpusat kepada
karya-karya dalam Sansekerta yang saat itu dikenal di kalangan kelas berpendidikan.
Gerakan Mahayana pertama dipandang sebagai kelompok yang masing-masing
berorientasi pada kitab suci tertentu. Gerakan misionaris ini membawa visi Buddha ke
Asia Utara dan Timur secara luas dengan mengajarkan dan mengkhotbahkan beberapa
sutra-sutra.Perkembangan Buddhisme dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut:
1. Periode Awal
Periode awal Mahâyâna dimulai pada abad pertama SM hingga akhir abad ke-3
M. Para ahli menganggap bahwa ajaran-ajaran Mahâyâna yang timbul pada saat ini
mencerminkan semangat sejati Buddha Sakyamuni yang menggabungkan keyakinan
dan praktik Dharma. Kemurnian tersebut nampak pada Sutra dan karya-karya tulis
keagamaan yang dihasilkan saat itu.
2. Periode Pertengahan
Periode ini berlangsung dari sekitar tahun 300 hingga pertengahan abad ke-7.
Pada masa ini terjadilah perkembangan intelektual yang sangat pesat di kalangan
agama-agama non-Budhhisme, khususnya Hinduisme. Guna mengimbangi hal tersebut,
Buddhisme baik Hinayana maupun Mahayana dipaksa mengembangkan suatu landasan
filosofis dan logika yang kuat sehingga pada zaman itu kita dapat melihat bahwa
Buddhisme makin bergeser menekankan ke bidang filsafat.
3. Periode Akhir
Periode ini berlangsung dari pertengahan abad ke-7 hingga ke-13 M. Pada masa
ini terjadi kecenderungan untuk menerapkan gagasan-gagasan Buddhis yang rumit ke
dalam simbol-simbol sehingga lebih mudah dipahami. Periode ini merupakan
kebangkitan Tantrayana dan Vajrayana. Simbol-simbol tersebut antara lain mudra (yaitu
sikap tangan saat melakukan sadhana atau ritual Vajrayana) dan mantra (atau disebut
juga dharani).
Secara umum, Beatrice L. Suzuki menunjukkan ciri-ciri Mahayana, yaitu: (1)
mencapai cita-cita ideal kehidupan seorang Bodhisattva; (2) kosmologi baru yang
terkait dengan praktik visualisasi; (3) sebuah orientasi baru filsafat yang berlandaskan
pada pengalaman terhadap Sunyata (Emptiness); (4) menekankan ke-6 Paramitas
sebagai jalan keselamatan menuju Nirwana; (5) menekankan konsep Trikaya sebagai
jantung ajaran Mahayana; (6) memuja Buddha cahaya abadi dan tanpa batas
(Amitabha), terutama dalam aliran Buddha Tanah Suci (Pure Land), contohnya Jodo
dan Shin di Jepang; (7) Secara praktis, Amitabha dilihat sebagai penyelamat dengan
cinta kasih, kebijaksanaan, dan kekuatan tanpa batas.
Dalam Mahayana, ajaran yang terkenal ialah konsep tiga tubuh Buddha
(Trikaya). Banyak yang menganggap bahwa konsep ini merupakan sesuatu yang khas.
Trikaya diuraikan dalam tiga hal, yakni:
a. Dharmakaya, yang diterjemahkan sebagai tubuh dharma atau tubuh realita.
b. Sambhogakaya, yang diterjemahkan sebagai tubuh kebahagiaan atau tubuh
absolut seorang Buddha. Sambhogakaya turut menunjukkan kegembiraan
seorang Buddha yang di dalamnya mengejawantahkan dharma pada para
makhluk sehingga mereka dapat menapaki jalan menuju pembebasan.
c. Nirmanakaya, yang diterjemahkan sebagai tubuh jelmaan, yaitu suatu tubuh
hasil penjelmaan seorang Buddha demi menguntungkan semua makhluk.
Nirmanakaya dapat dikatakan sebagai wahana untuk mengkomunikasikan
dharma kepada para makhluk yang masih mengalami lingkaran kelahiran dan
kematian yang tak berkesudahan.
Mahayana menunjukkan kebenaran ultim alam semesta ini merupakan tubuh
ideal bagi seorang Buddha. Dalam hal ini, kata “Buddha” tidak merujuk pada seseorang
yang telah mencapai Kebuddhaan, melainkan pada satu Buddha fundamental, atau apa
yang disebut “Buddha Asal”, yakni kondisi sejati dari segala sesuatu. Sambhogakaya
tidak pernah mewujudkan dirinya dalam dunia samsara ini dan membahagiakan
makhluk lainnya. Ia menjelmakan dirinya dalam bentuk Nirmanakaya. Di samping
Buddha-Buddha di dunia, terdapat juga Buddha Surga. Asal dari segala sesuatu ialah
Adhi Buddha yang secara emansipasi telah melahirkan dirinya menjadi lima Dhyani
Buddha (Buddha Surga) yang masing-masing melahirkan lima Manusyi Buddha
(Buddha yang benar-benar hidup sebagai manusia), di antaranya ialah Sidharta
Gautama.
2. HINAYANA
Ajaran dasar Buddhisme dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia atau Empat
Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani), yang merupakan aspek yang sangat penting
dari ajaran Buddha. Sang Buddha telah berkata bahwa karena kita tidak memahami
Empat Kebenaran Ariya, maka kita terus menerus mengitari siklus kelahiran dan
kematian. Pada ceramah pertama Sang Buddha, Dhammacakka Sutta, yang Ia
sampaikan kepada lima orang bhikkhu di Taman Rusa di Sarnath, adalah mengenai
Empat Kebenaran Ariya.
Empat Kebenaran Mulia ini merupakan inti sari dari ajaran Sri Buddha, dan
pertama kali diajarkan di Taman Rusa Isipatana, pada bulan Asalha, saat Beliau pertama
kali membabarkan Kebenaran (Dhamma/Dharma) yang ditemukan-Nya melalui
khotbah-Nya yang berjudul “Memutar Roda Dhamma” kepada lima kelompok
(pañcavaggiyā) petapa. Seperti namanya, Empat Kebenaran Arya/Mulia, Kebenaran ini
terdiri dari empat (4) hal, yaitu: Kebenaran Arya dari Dukkha (dukkha ariya sacca),
Kebenaran Arya Asal Munculnya Dukkha (dukkha samudaya ariya sacca), Kebenaran
Arya Lenyapnya Dukkha (dukkha nirodha ariya sacca), dan Kebenaran Arya Jalan
Menuju Lenyapnya Dukkha (dukkha nirodha gāminī paṭipadā ariya sacca).
Kata dukkha (Pali) atau duḥkha (Sanskerta), tidak memiliki satu padanan kata
yang tepat dan sesuai dalam kosakata bahasa lain untuk menggantikannya. Kata
dukkha merupakan lawan kata dari kata sukha. Berdasarkan etimologi (asal kata)
kata dukkha berasal dari kata ”duḥ” dan kata “kha“. Kata ”duḥ” merupakan kata
seru untuk menyatakan hal yang buruk, kemalangan, kesukaran, dsb. Kata ”duḥ” ini
memiliki pengertian yang hampir sama dengan kata “duh” atau pun kata “aduh”
dalam kosakata bahasa Indonesia, yang berarti kata seru untuk menyatakan rasa
heran, sakit, keluhan, dsb. Sedangkan kata “kha” adalah suku kata dan akhiran,
berfungsi juga sebagai akar kata, berarti ” hampa, kosong” atau “ruang”. Kata “kha”
juga dapat berarti “rongga”, “lubang”, “udara”, “luka” sehingga juga dapat diartikan
sebagai bentuk menghembuskan udara pada nafas yang mengekspresikan rasa
kekecewaan, ketidakpuasan.
Dari etimologi tersebut, kata dukkha berarti seruan terhadap hal yang buruk,
tidak menyenangkan, menyakitkan, menyusahkan, mengecewakan atau secara
singkat berarti “keluh kesah”. Pada umumnya kata dukkha diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia sebagai “penderitaan”, “ketidakpuasan”, “beban”, namun kata
dukkha juga bisa diterjemahkan sebagai “keluh kesah” atau “sesuatu yang
menimbulkan keluh kesah”.
Dalam Kebenaran Arya mengenai dukkha ini, Sri Buddha tidak menyatakan
bahwa kehidupan adalah dukkha atau seluruh kehidupan diliputi penderitaan tanpa
adanya sukha atau kebahagiaan, seperti yang disalahartikan oleh sejumlah orang.
Dukkha menjelaskan bahwa ada lima kemelekatan kepada dunia yang merupakan
penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan dengan
yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan. Guru Buddha bersabda,
"Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha, yaitu: kelahiran
adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, penyakit adalah dukkha, kematian adalah
dukkha, sedih, ratap tangis, derita (badan), dukacita, putus asa adalah dukkha;
berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah dari yang dicintai
adalah dukkha, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya
Lima Kelompok Kemelekatan merupakan dukkha."
Sumber dari dukkha adalah tanha (nafsu keinginan yang tiada habisnya) dan
avijja (ketidaktahuan). Oleh karena adanya ketidaktahuan inilah maka seseorang
akan terus dan terus memupuk (bernafsu) pengalaman yang menyenangkan atau
tidak, nafsu akan benda-benda material, nafsu akan hidup abadi (eksistensi
terusmenerus), termasuk pula nafsu akan kematian abadi (pemusnahan diri).
Ketidaktahuan akan menyebabkan seseorang menjadi tidak mampu memahami
esensi dari hidup itu sendiri. Ketidaktahuan akan menutupi celah-celah bagi
seseorang untuk bisa melihat realitas hidup ini. Oleh karena itu keinginan yang
berlebihan/keserakahan (tanha) dan ketidaktahuan (avijja) keduanya akan
menyebabkan seseorang terus berputar dalam penderitaan hidup.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber dari dukkha atau
penderitaan adalah tanha, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya.
Tanha dapat diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak
ketagihan bagi yang memakainya terus-menerus, dan semakin lama akan merusak
fisik maupun mental si pemakai. Tanha juga dapat diibaratkan seperti air laut yang
asin yang jika diminum untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin
bertambah.
a) Saupadisesa Nibbana.
b) Anupadisesa Nibbana.
Marga adalah jalan pelepasan. Jalan pelepasan merupakan cara-cara yang harus
ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan. Pada bagian ini Guru Buddha
menjelaskan bahwa ada jalan atau cara untuk menghentikan dukkha, yakni melalui
Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Menuju Terhentinya Dukkha dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Empat Kebenaran Mulia tidak dapat dipisahkan antara Kebenaran yang satu
dengan Kebenaran yang lainnya. Empat Kebenaran Mulia bukanlah ajaran yang bersifat
pesimis yang mengajarkan hal-hal yang serba suram dan serba menderita. Dan juga
bukan bersifat optimis yang hanya mengajarkan hal-hal yang penuh harapan, tetapi
merupakan ajaran yang realitis, ajaran yang berdasarkan analisis yang diambil dari
kehidupan di sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Matius. 2013. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme.
Tangerang: Sanggar Luxor.
Hadiwijono, Harun. 1982. Agama Hindu dan Buddha Jakarta: BPK Gunung Mulia.
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha
https://id.wikipedia.org/wiki/Buddha