Anda di halaman 1dari 12

FILOSOFI AJARAN AGAMA BUDDHA

A. SEJARAH AGAMA BUDDHA

Agama Buddha atau Buddhisme adalah sebuah agama nonteistik atau filsafat


yang berasal dari anak benua India yang meliputi beragam tradisi, kepercayaan, dan
praktik spiritual yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan
dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti
"yang telah sadar"). Menurut tradisi Buddhis, Sang Buddha hidup dan mengajar di
bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4
SEU (Sebelum Era Umum). Dia dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru
yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu
makhluk hidup mengakhiri penderitaan mereka dengan melenyapkan ketidaktahuan,
kebodohan, dan kegelapan batin (moha), keserakahan (lobha), dan
kebencian/kemarahan(dosa). Berakhirnya atau padamnya moha, lobha, dan dosa disebut
dengan Nibbana. Untuk mencapai Nibbana seseorang melakukan perbuatan benar, tidak
melakukan perbuatan salah, mempraktikkan meditasi untuk menjaga pikiran agar selalu
pada kondisi yang baik atau murni dan mampu memahami fenomena batin dan jasmani.

Agama Buddha diketahui berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan para


ilmuwan dengan memanfaatkan berbagai objek pengamatan seperti peninggalan sejarah,
cerita-cerita kuno, dan apa yang tertulis dalam berbagai kitab masa lampau. Dari
penelitian tersebut diketahui bahwa agama Buddha terlahir di abad ke-6 SM di Nepal.
Orang yang menjadi pencetusnya adalah seorang ksatria bernama Siddharta Gautama.
Agama ini muncul dari perpaduan berbagai kebudayaan seperti kebudayaan helinistik
(Yunani), kebudayaan Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Agama ini juga
muncul karena adanya reaksi terhadap hadirnya agama Hindu yang muncul lebih awal.
Dari Nepal, agama Buddha menyebar dengan cepat mengalahkan penyebaran agama
Hindu ke berbagai daerah di India, hingga ke seluruh benua Asia. Hingga kini, agama
Buddha sudah menjadi agama mayoritas di beberapa negara seperti Thailand, Kamboja,
Singapura, Myanmar, dan Taiwan.
Buddha mencapai masa kejayaan di zaman pemerintahan Raja Ashoka (273-232
SM) yang menetapkan agama Buddha sebagai agama resmi negara. Pada zaman raja
Ashoka banyak dibangun bangunan-bangunan yang sangat berharga bagi Agama
Buddha seperti stupa dan tugu-tugu yang terkenal dengan sebutan Tiang-Tiang Ashoka.
Dalam perjalanannya yakni setelah 100 tahun meninggalnya Sang Buddha, agama
Buddha terpecah menjadi 2 aliran. Perpecahan tersebut terjadi karena adanya penafsiran
yang berbeda dari masing-masing kubu. Ke dua aliran tersebut adalah aliran Buddha
Hinayana dan aliran Buddha Mahayana. Aliran buddha Hinayana mempunyai sifat-sifat
tertutup, dalam artian aliran yang berpendapat bahwa setiap orang hanya dapat mengejar
pembebasan dari samsara untuk dirinya sendiri. Sedangkan aliran buddha Mahayana
mempunyai sifat-sifat terbuka, dalam arti setiap umat manusia berhak menjadi seorang
Buddha sehingga pengaruhnya dapat membebaskan dirinya dan orang lain dari samsara
(kesengsaraan).

B. ALIRAN AGAMA BUDDHA

1. MAHAYANA
Mahayana merupakan gerakan pembaruan Buddhisme. Pembaruan tersebut
terjadi sekitar abad pertama SM sebagai reaksi atas Buddhisme lama yang dianggap
terlalu kaku, contohnya yang diwakili oleh beraneka macam aliran periode Abhidharma.
Dalam hal ini, Mahâyâna bermaksud mengembalikan inti semangat asli Buddhisme.
Bila ditelusuri, Periode Abhidharma terjadi sekitar tahun 350 SM bersamaan dengan
terpecahnya kesatuan para bikkhu karena kontroversi penafsiran ajaran dan peraturan
hidup membiara yang berbeda-beda. Dampak perpecahan besar tersebut, yaitu
perbedaan penafsiran Vinayapitakka dan Suttapitakka. Mahayana muncul dalam
pandangan sejarah beberapa abad kemudian sebagai gerakan yang terpusat kepada
karya-karya dalam Sansekerta yang saat itu dikenal di kalangan kelas berpendidikan.
Gerakan Mahayana pertama dipandang sebagai kelompok yang masing-masing
berorientasi pada kitab suci tertentu. Gerakan misionaris ini membawa visi Buddha ke
Asia Utara dan Timur secara luas dengan mengajarkan dan mengkhotbahkan beberapa
sutra-sutra.Perkembangan Buddhisme dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut:
1. Periode Awal
Periode awal Mahâyâna dimulai pada abad pertama SM hingga akhir abad ke-3
M. Para ahli menganggap bahwa ajaran-ajaran Mahâyâna yang timbul pada saat ini
mencerminkan semangat sejati Buddha Sakyamuni yang menggabungkan keyakinan
dan praktik Dharma. Kemurnian tersebut nampak pada Sutra dan karya-karya tulis
keagamaan yang dihasilkan saat itu.
2. Periode Pertengahan
Periode ini berlangsung dari sekitar tahun 300 hingga pertengahan abad ke-7.
Pada masa ini terjadilah perkembangan intelektual yang sangat pesat di kalangan
agama-agama non-Budhhisme, khususnya Hinduisme. Guna mengimbangi hal tersebut,
Buddhisme baik Hinayana maupun Mahayana dipaksa mengembangkan suatu landasan
filosofis dan logika yang kuat sehingga pada zaman itu kita dapat melihat bahwa
Buddhisme makin bergeser menekankan ke bidang filsafat.
3. Periode Akhir
Periode ini berlangsung dari pertengahan abad ke-7 hingga ke-13 M. Pada masa
ini terjadi kecenderungan untuk menerapkan gagasan-gagasan Buddhis yang rumit ke
dalam simbol-simbol sehingga lebih mudah dipahami. Periode ini merupakan
kebangkitan Tantrayana dan Vajrayana. Simbol-simbol tersebut antara lain mudra (yaitu
sikap tangan saat melakukan sadhana atau ritual Vajrayana) dan mantra (atau disebut
juga dharani).
Secara umum, Beatrice L. Suzuki menunjukkan ciri-ciri Mahayana, yaitu: (1)
mencapai cita-cita ideal kehidupan seorang Bodhisattva; (2) kosmologi baru yang
terkait dengan praktik visualisasi; (3) sebuah orientasi baru filsafat yang berlandaskan
pada pengalaman terhadap Sunyata (Emptiness); (4) menekankan ke-6 Paramitas
sebagai jalan keselamatan menuju Nirwana; (5) menekankan konsep Trikaya sebagai
jantung ajaran Mahayana; (6) memuja Buddha cahaya abadi dan tanpa batas
(Amitabha), terutama dalam aliran Buddha Tanah Suci (Pure Land), contohnya Jodo
dan Shin di Jepang; (7) Secara praktis, Amitabha dilihat sebagai penyelamat dengan
cinta kasih, kebijaksanaan, dan kekuatan tanpa batas.
Dalam Mahayana, ajaran yang terkenal ialah konsep tiga tubuh Buddha
(Trikaya). Banyak yang menganggap bahwa konsep ini merupakan sesuatu yang khas.
Trikaya diuraikan dalam tiga hal, yakni:
a. Dharmakaya, yang diterjemahkan sebagai tubuh dharma atau tubuh realita.
b. Sambhogakaya, yang diterjemahkan sebagai tubuh kebahagiaan atau tubuh
absolut seorang Buddha. Sambhogakaya turut menunjukkan kegembiraan
seorang Buddha yang di dalamnya mengejawantahkan dharma pada para
makhluk sehingga mereka dapat menapaki jalan menuju pembebasan.
c. Nirmanakaya, yang diterjemahkan sebagai tubuh jelmaan, yaitu suatu tubuh
hasil penjelmaan seorang Buddha demi menguntungkan semua makhluk.
Nirmanakaya dapat dikatakan sebagai wahana untuk mengkomunikasikan
dharma kepada para makhluk yang masih mengalami lingkaran kelahiran dan
kematian yang tak berkesudahan.
Mahayana menunjukkan kebenaran ultim alam semesta ini merupakan tubuh
ideal bagi seorang Buddha. Dalam hal ini, kata “Buddha” tidak merujuk pada seseorang
yang telah mencapai Kebuddhaan, melainkan pada satu Buddha fundamental, atau apa
yang disebut “Buddha Asal”, yakni kondisi sejati dari segala sesuatu. Sambhogakaya
tidak pernah mewujudkan dirinya dalam dunia samsara ini dan membahagiakan
makhluk lainnya. Ia menjelmakan dirinya dalam bentuk Nirmanakaya. Di samping
Buddha-Buddha di dunia, terdapat juga Buddha Surga. Asal dari segala sesuatu ialah
Adhi Buddha yang secara emansipasi telah melahirkan dirinya menjadi lima Dhyani
Buddha (Buddha Surga) yang masing-masing melahirkan lima Manusyi Buddha
(Buddha yang benar-benar hidup sebagai manusia), di antaranya ialah Sidharta
Gautama.
2. HINAYANA

Aliran Hinayana biasa dikenal dengan nama lain Theravada, Southern


Buddhism, Early Buddhism, Monastic Buddhism, dan Doctrine of the Elders. Kitab suci
Hînayana ditulis dengan menggunakan bahasa Pali. Kitab Suci Hinayana berisi ajaran
guna mencapai tingkat Arahat.
Aliran Hînayâna berusaha menjelaskan bahwa proses ego terdiri dari
serangkaian momentum entitas-entitas fana. Dalam hal ini, bukan hanya semua partikel
benda yang bisa rusak, tetapi durasi hidupnya sangatlah pendek (yat sat tat ksanikam).
Keterlepasan menjadi eksistensi yang hampir berhenti. Mereka rupanya saling
mengikuti seumpama rantai sebab-akibat yang tanpa permulaan dan akan terus
demikian selamanya. Rantai tersebut kerap disebut sebagai dharma. Dharma bisa
dikatakan apa yang nampak dan dalam beberapa kasus di mata mereka sendiri terlihat
seumpama individu. Di sepanjang perubahan kelahiran, pertumbuhan, usia tua,
kematian, dan rantai kelahiran kembali yang tak berujung karena individu sebenarnya
tidak lebih dari pusaran sekuensi kausal masa lalu dan masa mendatang.
Prinsip-prinsip pandangan aliran Hinayana ialah mempertahankan kemurnian
ajaran Buddha dan menjaga ajarannya tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain. Oleh
karenanya, Hînayâna sedikit terkenal ortodoks. Dalam pokok ajarannya, Hînayâna
mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat dalam
Kitab Kanonik. Ajaran tersebut setidaknya dirumuskan berikut
1) Segala sesuatu bersifat fana, serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang
berada untuk sesaat saja itu disebut dharma. Oleh karenanya, tidak ada sesuatu
yang tetap berada. Tidak ada aku yang berpikir. Sebab, yang ada hanyalah
perasaan, dan seterusnya.
2) Dharma tersebut ialah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek yang
berkelompok sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus-
menerus, maka timbullah kesadaran “aku” yang palsu atau ada “perorangan”
yang palsu.
3) Tujuan hidup ialah mencapai Nirwana di mana tempat kesadaran ditiadakan.
Sebab, segala kesadaran dipandang sebagai sebuah belenggu, karena kesadaran
tidak lain ialah kesadaran terhadap segala sesuatu.
Selain tiga dasar tersebut, pokok-pokok ajaran Hînayâna diuraikan dalam 12 ajaran
berikut:
1) Manusia dipandang sebagai individu dalam usahanya.
2) Usaha kebebasan dalam alam ini tergantung pada dirinya sendiri.
3) Keutamaan manusia ialah kebijaksanaan.
4) Agama sepenuhnya ialah tugas kewajiban yang harus dijalankan, terutama oleh
kaum agamawan.
5) Tipe ideal dalam Hînayâna ialah arahat.
6) Buddha dipandang sebagai orang suci.
7) Membatasi pengucapan doa dan meditasi.
8) Meninggalkan atau menolak beberapa hal yang bersifat metafisis.
9) Meninggalkan atau menolak ritus atau ritual (upacara-upacara).
10) Bersifat konservatif karena ingin bertahan pada yang lama.
11) Tidak mengenal dewa-dewa Lokapala (dewa angin) ataupun dewa-dewi
Trimurti.
12) Tidak mengenal beryoga atau tantra (mantra-mantra).
Dengan demikian, esensi ajaran Hinayana ialah keaslian ajaran Buddha, di
mana ia tidak mengenal dewa-dewi penyelamat manusia. Dalam Hinayana, tidak
terdapat upacara-upacara keagamaan dan pemujaan terhadap yang Mahasuci. Hinayana
tidak mengajarkan kepercayaan pada adanya dewa.

C. AJARAN-AJARAN DASAR BUDDHA

Ajaran dasar Buddhisme dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia atau Empat
Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani), yang merupakan aspek yang sangat penting
dari ajaran Buddha. Sang Buddha telah berkata bahwa karena kita tidak memahami
Empat Kebenaran Ariya, maka kita terus menerus mengitari siklus kelahiran dan
kematian. Pada ceramah pertama Sang Buddha, Dhammacakka Sutta, yang Ia
sampaikan kepada lima orang bhikkhu di Taman Rusa di Sarnath, adalah mengenai
Empat Kebenaran Ariya.

Empat Kebenaran Mulia ini merupakan inti sari dari ajaran Sri Buddha, dan
pertama kali diajarkan di Taman Rusa Isipatana, pada bulan Asalha, saat Beliau pertama
kali membabarkan Kebenaran (Dhamma/Dharma) yang ditemukan-Nya melalui
khotbah-Nya yang berjudul “Memutar Roda Dhamma” kepada lima kelompok
(pañcavaggiyā) petapa. Seperti namanya, Empat Kebenaran Arya/Mulia, Kebenaran ini
terdiri dari empat (4) hal, yaitu:  Kebenaran Arya dari Dukkha (dukkha ariya sacca),
Kebenaran Arya Asal Munculnya Dukkha (dukkha samudaya ariya sacca), Kebenaran
Arya Lenyapnya Dukkha (dukkha nirodha ariya sacca), dan Kebenaran Arya Jalan
Menuju Lenyapnya Dukkha (dukkha nirodha gāminī paṭipadā ariya sacca).

1. Kebenaran Mulia tentang Dukkha

Kata dukkha (Pali) atau duḥkha (Sanskerta), tidak memiliki satu padanan kata
yang tepat dan sesuai dalam kosakata bahasa lain untuk menggantikannya. Kata
dukkha merupakan lawan kata dari kata sukha. Berdasarkan etimologi (asal kata)
kata dukkha berasal dari kata ”duḥ” dan kata “kha“. Kata ”duḥ” merupakan kata
seru untuk menyatakan hal yang buruk, kemalangan, kesukaran, dsb. Kata ”duḥ” ini
memiliki pengertian yang hampir sama dengan kata “duh” atau pun kata “aduh”
dalam kosakata bahasa Indonesia, yang berarti kata seru untuk menyatakan rasa
heran, sakit, keluhan, dsb. Sedangkan kata “kha” adalah suku kata dan akhiran,
berfungsi juga sebagai akar kata, berarti ” hampa, kosong” atau “ruang”. Kata “kha”
juga dapat berarti “rongga”, “lubang”, “udara”, “luka” sehingga juga dapat diartikan
sebagai bentuk menghembuskan udara pada nafas yang mengekspresikan rasa
kekecewaan, ketidakpuasan.

Dari etimologi tersebut, kata dukkha berarti seruan terhadap hal yang buruk,
tidak menyenangkan, menyakitkan, menyusahkan, mengecewakan atau secara
singkat berarti “keluh kesah”. Pada umumnya kata dukkha diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia sebagai “penderitaan”, “ketidakpuasan”, “beban”, namun kata
dukkha juga bisa diterjemahkan sebagai “keluh kesah” atau “sesuatu yang
menimbulkan keluh kesah”.

Dalam Kebenaran Arya mengenai dukkha ini, Sri Buddha tidak menyatakan
bahwa kehidupan adalah dukkha atau seluruh kehidupan diliputi penderitaan tanpa
adanya sukha atau kebahagiaan, seperti yang disalahartikan oleh sejumlah orang.
Dukkha menjelaskan bahwa ada lima kemelekatan kepada dunia yang merupakan
penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan dengan
yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan. Guru Buddha bersabda,
"Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha, yaitu: kelahiran
adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, penyakit adalah dukkha, kematian adalah
dukkha, sedih, ratap tangis, derita (badan), dukacita, putus asa adalah dukkha;
berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah dari yang dicintai
adalah dukkha, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya
Lima Kelompok Kemelekatan merupakan dukkha."

2. Kebenaran Mulia tentang Sebab dari Dukkha

Sumber dari dukkha adalah tanha (nafsu keinginan yang tiada habisnya) dan
avijja (ketidaktahuan). Oleh karena adanya ketidaktahuan inilah maka seseorang
akan terus dan terus memupuk (bernafsu) pengalaman yang menyenangkan atau
tidak, nafsu akan benda-benda material, nafsu akan hidup abadi (eksistensi
terusmenerus), termasuk pula nafsu akan kematian abadi (pemusnahan diri).
Ketidaktahuan akan menyebabkan seseorang menjadi tidak mampu memahami
esensi dari hidup itu sendiri. Ketidaktahuan akan menutupi celah-celah bagi
seseorang untuk bisa melihat realitas hidup ini. Oleh karena itu keinginan yang
berlebihan/keserakahan (tanha) dan ketidaktahuan (avijja) keduanya akan
menyebabkan seseorang terus berputar dalam penderitaan hidup.

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber dari dukkha atau
penderitaan adalah tanha, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya.
Tanha dapat diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak
ketagihan bagi yang memakainya terus-menerus, dan semakin lama akan merusak
fisik maupun mental si pemakai. Tanha juga dapat diibaratkan seperti air laut yang
asin yang jika diminum untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin
bertambah.

Ada tiga bentuk taṇha yang menyebabkan penderitaan yaitu:

a. Kama-taṇha : adalah ketagihan atau kehausan terhadap kesenangan indra,


seperti ketagihan atau kehausan akan: bentuk-bentuk (indah), suara-suara
(merdu), wangi-wangian, rasa-rasa (nikmat, lezat), sentuhan-sentuhan
(lembut), bentuk-bentuk pikiran (ide, khayalan, dsb.) .

b. Bhava-taṇha: adalah ketagihan atau kehausan terhadap kehadiran, seperti


penjelmaan atau kelahiran kembali sebagai makhluk hidup (seperti manusia),
akibat adanya pandangan salah attavada yang beranggapan adanya atma
(roh, jiwa) yang kekal dan terpisah.

c. Vibhava-taṇhā: adalah ketagihan atau kehausan terhadap ketidakhadiran,


seperti pemusnahan, akibat adanya pandangan salah ucchedavāda yang
beranggapan bahwa segala sesuatunya akan berakhir, hancur, terhapus
setelah kematian terjadi.

3. Kebenaran Mulia tentang Berakhirnya Dukkha


Dukkha sebagai salah satu sifat sejati segala sesuatu yang berkondisi ternyata
memiliki akhir. Proses terhentinya dukkha inilah yang dinamakan oleh umat Buddha
sebagai Nibbana atau Nirwana.  Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa
Nirwana itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata,
tidak bisa diwujudkan dalam kehidupan saat ini. Apabila demikian, maka itu
bukanlah Nirwana menurut konsep buddhisme. Beranggapan demikian hanya akan
membuat pengertian tentang Nirwana tidak jauh berbeda dari pengertian Tuhan.
Kita meyakini bahwa apa yang Buddha Gautama ajarkan adalah hal-hal yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari saat ini juga. Sang Buddha tidak
mengajar untuk kepentingan kehidupan setelah mati, tetapi Beliau mengajarkan
untuk kepentingan kehidupan saat ini. Untuk itu Sang Buddha sendiri telah
mengartikan Nirwana sebagai lenyapnya keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan
kebodohan batin (moha). Dan Beliau menyatakan bahwa Nirwana dapat
direalisasikan (dialami) pada saat ini juga dalam kehidupan sehari-hari.

Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dapat dilakukan dengan


menghapus keinginan secara sempurna sehingga tidak ada lagi tempat untuk
keinginan tersebut. Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa
dihentikan yaitu dengan cara menyingkirkan tanhä sebagai penyebab dukkha. Ketika
tanhä telah disingkirkan, maka kita akan terbebas dari semua penderitaan (bathin).
Keadaan ini dinamakan Nibbana.

Dalam Nibbānadhātu Sutta, Sri Buddha menjelaskan bahwa terdapat 2 jenis


Nibbana berdasarkan pencapaiannya/perealisasiannya, yaitu :

a) Saupadisesa Nibbana.

Nibbana dengan sisa landasan keberadaan, yaitu Nibbana yang


dicapai/direalisasikan saat masih adanya sisa landasan keberadaan (upadi –
antara lain jasmani dan batin yang memiliki lima indra (pancindriya)).
Contoh: saat Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi
Buddha, Beliau dikatakan mencapai Saupadisesa Nibbana karena Beliau
tetapi masih memiliki lima indra sehingga masih bisa merasakan hal
menyenangkan dan tidak menyenangkan sebatas yang berkaitan dengan fisik
semata. Saupadisesa Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin
(state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.

b) Anupadisesa Nibbana.

Nibbana tanpa sisa landasan keberadaan, yaitu Nibbana yang


dicapai/direalisasikan saat tidak ada lagi landasan keberadaan (upadi –antara
lain jasmani dan batin yang memiliki lima indra (pancindriya)) yang tersisa.
Contoh: Mereka Yang Tercerahkan Penuh (para Buddha dan Arahant)
dikatakan mencapai Anupadisesa Nibbana saat mereka mangkat/wafat
karena jasmani dan batin mereka sudah tidak ada lagi, lima indra mereka
telah hancur dan padam, tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu
bentuk kemunculan. Anupadisesa Nibbana juga disebut dengan nama
Parinibbana

4. Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha

Marga adalah jalan pelepasan. Jalan pelepasan merupakan cara-cara yang harus
ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan. Pada bagian ini Guru Buddha
menjelaskan bahwa ada jalan atau cara untuk menghentikan dukkha, yakni melalui
Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Menuju Terhentinya Dukkha dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1) Kebijaksanaan (Panna), terdiri dari Pengertian Benar (sammä-ditthi) dan


Pikiran Benar (sammä-sankappa)

2) Kemoralan (Sila), terdiri dari Ucapan Benar (sammä-väcä), Perbuatan


Benar (sammä-kammanta), dan Pencaharian Benar (sammä-ajiva)

3) Konsentrasi (Samädhi), terdiri dari Daya-upaya Benar (sammä-väyäma),


Perhatian Benar (sammä-sati), dan Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

Empat Kebenaran Mulia tidak dapat dipisahkan antara Kebenaran yang satu
dengan Kebenaran yang lainnya. Empat Kebenaran Mulia bukanlah ajaran yang bersifat
pesimis yang mengajarkan hal-hal yang serba suram dan serba menderita. Dan juga
bukan bersifat optimis yang hanya mengajarkan hal-hal yang penuh harapan, tetapi
merupakan ajaran yang realitis, ajaran yang berdasarkan analisis yang diambil dari
kehidupan di sekitar kita.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Matius. 2013. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme.
Tangerang: Sanggar Luxor.

Hadiwijono, Harun. 1982. Agama Hindu dan Buddha Jakarta: BPK Gunung Mulia.

https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha
https://id.wikipedia.org/wiki/Buddha

Anda mungkin juga menyukai