Anda di halaman 1dari 21

EMPIRISME DAVID HUME

Oleh: Amirul Bakhri (105112007)

A. Pendahuluan
Filsafat pada zaman modern lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum
agamawan di zaman skolastik. Salah satu orang yang berjasa dalam membangun landasan
pemikiran baru di dunia barat adalah Rene Descartes. Descartes menawarkan sebuah prosedur
yang disebut keraguan metodis universal dimana keraguan ini bukan menunjuk kepada
kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan berakhir ketika lahir kesadaran akan eksisitensi
diri yang dia katakan dengan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Teori pengetahuan
yang dikembangkan Rene Descartes ini dikenal dengan nama rasionalosme karena alur pikir
yang dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada kekuatan rasio (akal) manusia. Sebagai
reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes inilah muncul para filosof yang berkembang
kemudian yang bertolak belakang dengan Descartes yang menganggap bahwa pengetahuan itu
bersumber pada pengalaman. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum empirisme, di antaranya
yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley, dan David Hume. Dalam makalah ini tidak
akan membahas semua tokoh empirisme, akan tetapi akan dibahas empirisme David Hume yang
dianggap sebagai puncak empirisme.

B. Pembahasan
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme sendiri diambil dari
bahasa Yunani yakni Empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme memilih
sumber utama pengetahuan bukan dari rasio melainkan pengalaman. Empirisme menurut
wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas adalah suatu aliran dalam filsafat yang
menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak
anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.
Paham empirisme ini mempunyai ciri-ciri pokok. Di antara ciri-ciri pokok empirisme yaitu:
a. Teori tentang makna
Teori pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan yaitu
asal usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan, teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil Est
in Intellectu Quod Non Prius Feurit in Sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain
didahului oleh pengalaman). Pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya
“An Essay Concerning Human Understanding” yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide
bawaan (Innate Idea) kepada orang-orang rasional. Jiwa (Mind) itu tatkala dilahirkan keadaannya
kosong laksana kertas putih yang belum ada tulisan di atasnya dan setiap ide yang diperolehnya
mestinya datang melalui pengalaman, yang dimaksud di sini adalah pengalaman indrawi. Hume
mempertegas teori ini dalam bab pembukaan bukunya “Treatise of Human Nature (1793)”
dengan cara membedakan antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki itu datang dengan
kesan-kesan, dan kesan itu mencakup penginderaan, passion dan emosi.

b. Teori pengetahuan
Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tertentu mempunyai
sebab, dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan kebenaran-kebenaran itu
benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh keluar
intuisi rasional. Empirisme menolak hal demikian karena tidak ada kemampuan intuisi rasional
itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran kebenaran yang diperoleh lewat
observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.

1. Biografi David Hume


Hume lahir di Edinburg tahun 1711. Ayahnya meninggal ketika ia masih bayi, mewariskan pada
keluarga sebuah perkebunan kecil. Hume adalah seorang murid yang sukses, dan sebagai anak
muda, ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap sastran dan filsafat. Ia cenderung untuk
mengejar karir penelitian ilmiah dan menulis, tetapi pernah sesaat terlepas dari jalan ini oleh
keluarganya yang mengajarkan bahwa ia cocok untuk profesi di bidang hukum dan
membujuknya untuk belajar hukum. Usaha yang tidak berhasil ini hanya berumur singkat.
Karena dihadapkan pada kebutuhan keuangan, Hume pergi ke Bristol dan bekerja di dunia bisnis
selama beberapa bulan. Bagaimanapun, pekerjaan ini tidak disukainya. Maka, pada usia 23
tahun, Hume menerima uang dari keluarganya dan pergi ke Perancis untuk belajar dan menulis.
Ia tinggal di sana hingga tahun 1737 dan menulis A Treatise of Human Nature. Hume memiliki
harapan yang tinggi pada karya ini, tetapi penerbitan karya ini tidak banyak mendapat perhatian.
Meskipun patah semangat, karena buruknya penerimaan terhadap Treatise, Hume terus menulis.
Di tahun 1741-1742 saat di Skotlandia, ia menerbitkan Essays, Moral and Political. Karya ini
mendapatkan kesuksesan, dan Hume bersemangat untuk merevisi Treatise. Sementara itu, ia
melamar kedudukan profesor filsafat di Universitas Edinburg, tetapi reputasinya sebagai seorang
yang skeptis dan atheis telah merintangi pengangkatan tersebut.
Pada tahun 1751, revisi terakhir bagian pertama dan ketiga karya Treatise diterbitkan masing-
masing dengan judul An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry
Concerning The Principles of Morals. Kira-kira pada saat yang sama, Hume menulis karya yang
berjudul Dialogue Concerning Natural Religion. Dialogue menjelaskan sikap Hume tentang
eksistensi Tuhan dan sifat agama. Namun atas saran teman yang memiliki perhatian terhadap
sifat pandangannya yang radikal, Hume tidak jadi menerbitkan Dialogue. Dengan ketetapan dari
kehendak Hume, karya itu diterbitkan setelah Hume meninggal di tahun 1779.
Antara tahun 1752-1757, Hume mengabdi sebagai petugas perpustakaan di Faculty of Advocates
di Edinburg. Setelah mendapatkan sumber-sumber dari perpustakaan ini, Hume menulis tentang
sejarah Inggris. Karya ini tidak hanya panjang, tetapi juga kontroversial. Bagaimanapun, sebagai
akibatnya, semua tulisan Hume menjadi lebih dikenal dan karya-karya itu mendapat pujian luas
dari beberapa kalangan. Pujian tersebut terutama datang dari kalangan intelektual Perancis dan
ketika Hume pergi ke sana pada tahun 1763 sebagai sekretaris Duta Besar Inggris, ia menerima
sambutan hangat. Ia kembali ke London di tahun 1766 bersama Rousseau, meskipun hubungan
antara keduanya segera menegang. Setelah mengabdi selama tiga tahun di Undersecretary of
State, Hume pensiun di Edinburg dan meninggal di sana tahun 1776.

2. Teori Hume Tentang Pengalaman dan Kausalitas (Sebab-Akibat)


Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita
dapat dipecah menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah kesan
(impression) menunjuk kepada semua persepsi kita yang lebih hidup ketika mendengar, melihat,
merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan berbeda dari ide, bukan
di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita.
Di sisi lain, ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan,
yang terakhir ini sering melibatkan kemampuan imajinasi kita yang memberi produk ide, yang
mungkin kita memiliki kaitan langsung di dalam wilayah kesan. Meskipun demikian, semua ide
dasarnya berasal dari kesan.
Hume menguraikan dan menjelaskan hubungan antara kesan dan ide dengan menyatakan bahwa
keduanya dipandang dari segi simplisitas atau kompleksitasnya, dapat dibagi menjadi dua
kategori. Sebuah kesan yang kompleks tersusun atas kesan-kesan yang simpel. Selain itu, setiap
ide yang simple berasal dari kesan tunggal yang berhubungan secara langsung. Di sisi lain,
sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Sebaliknya, ide-ide
kompleks dapat dikembangkan dari variasi kesan simpel atau kompleks, atau ide-ide kompleks
itu dapat disusun dari ide-ide simple. Dalam penyelidikan Hume, ternyata banyak ide yang
kompleks yang tidak memiliki kesan yang berhubungan dengan ide itu. Banyak pula kesan yang
kompleks yang tidak direkam dalam ide kita. kita tidak dapat menggambarkan suatu kota yang
belum pernah saya lihat. Akan tetapi saya pernah melihat kota Paris, namun kita harus
mengatakan kita tidak sanggup membentuk ide tentang kota Paris yang lengkap dengan gedung-
gedung, jalan dan lain-lain lengkap dengan ukuran masing-masing. Untuk mengetahui apakah
sesuatu yang kita sangka pengetahuan adalah benar-benar pengetahuan, kita harus mengurai ide
yang kompleks menjadi ide-ide yang sederhana dan kemudian menemukan kesan yang
merupakan basis ide tersebut. Bila kita mengatakan kita melihat sebuah “apel”, kita menganalisis
pengalaman kita. Ide kita adalah ada sebuah apel ditentukan oleh penglihatan kita pada warna
merah, bentuk bulat, rasa apel, dan seterusnya.
Selanjutnya, Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena semua pertimbangan yang
berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat. Dengan sarana
relasi itu, kita dapat melampaui bukti dari memori dan indera kita. Hume menegaskan bahwa
ketika kita berpikir tentang relasi sebab dan akibat antara dua hal atau lebih, maka biasanya kita
memaksudkannya dengan arti bahwa yang satu, secara langsung atau tidak langsung
bersebelahan dengan yang lain, dan bahwa yang satu, yang kita beri tanda sebagai sebab adalah
dalam beberapa hal, secara temporer mendahului yang lain. Bagaimanapun, kondisi-kondisi ini
tampak tidak mencukupi bagi munculnya sebuah relasi sebab dan akibat. Karena dapat dipahami
bahwa X dapat bersebelahan dengan dan secara temporer sebelum Y tanpa menjadi sebab dari Y,
maka diperlukan sesuatu yang lebih. Hume beranggapan bahwa kita menambahkan sebuah ide
jika ada hubungan tetap (necessary connection) antara X dan Y di dalam situasi di mana X
dikatakan sebab dari Y. Tanpa tambahan ide bahwa setiap peristiwa atau hal pasti memiliki suatu
sebab yang menghasilkannya secara pasti, maka pemahaman biasa tentang relasi sebab dan
akibat tidak akan muncul. Dengan demikian, jika suatu gejala tertentu disusul oleh gejala lain,
dengan sendirinya kita cenderung kepada pikiran bahwa gejala yang satu disebabkan oleh gejala
yang sebelumnya. Misalnya batu yang disinari matahari selalu panas. Kita menyimpulkan batu
menjadi panas karena disinari matahari. Tetapi kesimpulan ini tidak berdasarkan pengalaman.
Pengalaman hanya memberikan urutan gejala-gejala, tetapi tidak memperlihatkan urutan sebab-
akibat.
Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika
atau kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara
konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api tidak dapat diamati adanya
daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu bukanlah
yang dapat diamati, bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai benda yang berada dalam
air yang direbus. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa
yang akan datang berdasarkan peristiwa yang terdahulu. Menurut Hume, pengalamanlah yang
memberi informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai waktu dan
tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya, artinya bahwa tubuh
dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia kekuatan untuk mengenyangkan. Namun,
roti tersebut belum tentu bisa menjadi jaminan yang pasti pada waktu yang akan datang karena
roti itu unsurnya telah berubah karena tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak sama lagi
dengan makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti itu
mengenyangkan, untuk selanjutnya hanya kemungkinan belaka bukan kepastian.

3. Teori Hume Tentang Eksistensi Tuhan


Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua bukti
pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya
membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku mengenai Dia
dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai benda yang berpikir. Namun kita tidak
mempunyai kesan indera mengenai Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan
apapun mengenai benda berpikir sebagai akibat. Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat
mengenai keberadaan Tuhan ini, Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan
pemikiran bahwa sebab harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini
sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa meragukannya, namun bagi
Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan tersebut tidak memunculkan baik landasan
rasional maupun empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga mengenai keberadaan Tuhan,
yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes” menggunakan bukti ontologis yang
dikemukakan Saint Anselm di abad XI. Bukti itu mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan
yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan pada
wujud-Nya. Bukti ini sampai pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang ada. Hume
meruntuhkan bukti ini dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti
John Locke telah menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan
yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint Anselm mengenai keberadaan Tuhan
menyatakan bahwa ide ketuhanan itu dengan sendirinya terbukti dalam akal pikiran: Tuhan
mempunyai segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena
itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji
empiris atas gagasan: jika tidak ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak
berarti. Namun kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural, dengan demikian
ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.
Hume menyangkal dalam bukunya “Dialogues Concerning Natural Religion”, dia menggunakan
bentuk dialog Plato untuk menjatuhkan Deisme. Tiga karakter memerankan masing-masing
sebagai seorang penganut Kristen yang alim, dan sangat ortodok; seorang pengikut Deisme yang
mendukung agama yang alami, rasional dan memiliki keterkaitan dengan sains; serta seorang
penganut skeptisme yang meremehkan keduanya. Suara Hume tertuang dalam Philo yang
skeptis, yang suka mempermainkan orang, khususnya penganut Deisme yang menyatakan
memiliki agama yang alami dan rasional. Kesan dari indera kita, kata Philo si skeptis, menjadi
landasan bagi pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan
bahwa alam semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa
keteraturan semacam itu akan berlanjut selamanya.
Hume berkata, perhatikan dengan seksama dunia ini dan lihat apakah ini merupakan karya
arsitek yang Maha Kuasa dan Maha Bisa. Jika seorang arsitek menunjukan pada anda “sebuah
rumah atau istana dimana tidak ada satu ruangpun yang layak, dimana jendela, pintu, tungku,
gang, tangga dan keseluruhan bangunan ekonominya merupakan sumber keributan,
kebingungan, kelelahan, kegelapan, dan ekstremnya panas dan dingin, anda tentu akan
menyalahkan alatnya, anda akan mengemukakan pembelaan yakni jika saja arsiteknya memiliki
keahlian dan maksud yang baik, mungkin dia telah membetulkan semua atau sebagian besar
ketidak layakan ini”. Dalam alam manusia, tambah Hume, apakah anda menemukan bukti bahwa
dunia ini dirancang dengan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana anda
menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Perhatikan
sekeliling alam ini, perhatikan lebih dekat makhluk hidup ini betapa mereka saling menjahati dan
merusak, betapa terkutuk dan jahatnya bagi yang melihat alam yang buta, menyembul dari
pengakuan tanpa ada perhatian dan kepedulian, anaknya yang terluka dan buruk. Dengan
ungkapan Hume ini, maka dia sebenarnya telah meragukan eksistensi akan keberadaan Tuhan itu
sendiri karena menurut Hume, eksistensi Tuhan itu tidak dapat ditangkap lewat kesan
pengalaman, sehingga eksistensi tidak dapat diragukannya.

4. Beberapa masalah dan pandangan yang berguna dalam masalah Hume


Teori Hume ini meruntuhkan teori rasionalisme yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan
adalah melalui rasio atau akal. Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari pengalaman yang
diterima oleh kesan indrawi. Hal demikian mendorong bagi kita, bahwa untuk menemukan
sebuah pengetahuan kita memerlukan pengalaman kita. Dengan demikian, bahwa untuk
membuktikan sebuah kebenaran akan pengetahuan itu memerlukan penelitian dilapangan,
observasi, percobaan yang mana dengan cara-cara seperti itulah merupakan titik tolak dari
pengetahuan manusia.
Selanjutnya, ketika Hume menerapkan teori empirismenya dalam mengkaji eksistensi Tuhan, dia
mengungkapkan bahwa Tuhan yang menurut orang rasionalisme memang sudah ada dalam alam
bawaan sebenarnya tidak nyata. Menurut Hume, pengetahuan akan Tuhan merupakan sebuah hal
yang tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya kesan pengalaman yang kita rasakan akan
Tuhan. Persoalan Tuhan merupakan persoalan yang berkaitan dengan metafisika. Pembahasan
dalam metafisika tidak bisa didekati dengan pembuktian menuntut adanya suatu yang empiris
dan nyata. Jauh dari kritik destruktif terhadap metafisika dan teologi, Hume memberi analisis
yang kontruktif yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru sambil membuat kita sadar
akan kebutuhan mendasarkan teori kita pada fakta pengalaman. Hume menawarkan kesempatan
dan tantangan untuk membangun teori sendiri dengan mencoba sedekat mungkin dengan
pengalaman.

C. Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal. Flsafat Agama. Cet. 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Dunn, Sony Keraf dan Mikhael. Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Filosofis). Cet. 12.
Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Hardiman, Muji Sutrisno dan Budi. Para Filosof Penentu Gerak Zaman. Cet. 8. Yogyakarta:
Kanisius. 2000.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Empirisme, diakses pada hari kamis tanggal 29 September 2010.
Hume, David, An Enquiry Concerning Human Understanding. Chicago: Chicago University.
1952.
Roth, John K. Persoalan-Persoalan Filsafat Agama (Kajian Pemikiran 9 Tokoh Dalam Sejarah
Filsafat dan Teologi) Terj. Ali Noer Zaman. Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Juni 2003.
Soff, Louis O Katt. Pengantar Filsafat. Terj. Soejono Soemargono. Cet. 7. Yogyakarta: Tiara
Wacana. November 1996.
Tafsir, Ahmad. Flsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Copra). Cet. 11. Bandung:
Rosda Karya. Februari 2003.

https://amirulbahri.wordpress.com/2010/10/17/empirisme-david-hume/

“IDE”
Dalam Pandangan Locke, Berkley dan Hume
( Sebuah Perbandingan Kritis-Analitis )

Pendahuluan.
Ide, pengetahuan, pengalaman, atau apapun kita menyebutnya adalah sesuatu yang
sangat dekat dengan manusia. Tanpanya manusia hanyalah seekor binatang, karena
manusia pada hakikatnya adalah hewan yang berpikir (zoon politicon). Manusia dengan
potensi akalnya mampu mendapatkan berbagai hal, termasuk tentang nama segala
sesuatu, ide-ide, dan berbagai pengetahuan. Berbagai cara telah ditempuh untuk
mempelajari ilmu pengetahuan mengenai manusia dan menjelaskan prinsip-prinsip
sifat alamiah manusia. Berbagai teori dan penelusuran dalam mencari makna ide ini
terus dilakukan, bahkan sejak masa awal peradaban manusia.

Pada kesempatan kali ini, saya akan berusaha menelusuri pemikiran beberapa filosuf
yang mencoba mencari dan bahkan membenarkan temuan teori mereka tentang “ide”.
Disini “Ide” menjadi sangat penting untuk dibicarakan karena bebagai persoalan dan
pemahaman mulai muncul dan berkecamuk dari konsep ini. Sehingga banyak sekali
aliran filsafat yang mencoba mencari makna tentang “ide” ini. Untuk itu saya akan
mengkhususkan penelitian pada pemikiran filsafat empiristik, terutama pada tiga tokoh
utama aliran ini, yaitu John Locke, Berkeley, and David Hume. Ketiganya diharapkan
dapat memberikan sebagian perspektif didalam melihat “ide” dengan dasar pengalaman
idrawi.

Apa sebenarnya yang mereka konsepsikan tentang “ide”? Bagaimana mereka menyusun
teori tentang ide dan apa argument mereka? Dan bagaimana perbedaan pandangan
mereka antara satu dengan yang lainnya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan
berusaha saya jawab dengan metode kritis-analitis. Untuk itu di dalam penulisannya,
akan menganalisa satu-persatu untuk mengetahui kekhasan teori mereka dan kemudian
membuat sintesa dan perbandingan. Dan akhirnya akan tampak perbedaan pandangan
mereka dalam kesimpulan beserta pemaknaan saya terhadap hasil penelitian ini.

Secara umum, didalam melihat ketiga tokoh diatas,_sebagai seorang


empiristis_pastilah mereka mendasarkan pengetahuan mereka pada pengalaman
indrawi. Di dalam teori mereka tentang pengetahuan, mereka mengarah kepada
pandangan bahwa pengalaman indrawi adalah sumber yang pasti di dalam memperoleh
pengetahuan atau “ide”. Lebih jauh lagi saya melihat bahwa mereka menganggap ide
sebagai sesuatu yang pasif. Mereka menganggap bahwa semua dunia material bagi
pengetahuan itu sendiri adalah terpisah dari diri kita, hal ini akan tampak dalam
kritikan mereka terhadap pandangan rasionalisme. Sehingga terkesan disini bahwa
mereka berusaha “membatasi” pengetahuan.

Walaupun secara umum, mereka sama-sama mendasarkan pada pengalaman indrawi,


akan tetapi tentu ketiganya mempunyai pemikiran yang berbeda. Dalam thesis awal
saya, perbedaan ketiga tokoh tersebut akan tampak pada persoalan “sumber ide” dan
“bagaimana ide itu mereka dapatkan”. Dan konsekuensinya adalah terhadap konsep
atau pemaknaan mereka tentang “ide” itu sendiri. Secara singkat dapat saya gambarkan
sebagai berikut; Locke melihat “ide” diperoleh di dalam pikiran kita dari segala sesuatu
di luar kita melalui pencerapan indrawi manusia. Berkeley, mengarah pada pendapat
bahwa ide-ide itu ada disebabkan oleh adanya spirit (Tuhan) dan Hume, lebih berbeda
dari yang lain ketika menolak keberadaan sesuatu yang menjadi sumber ide, tetapi
melihat ide sebagai sesuatu yang hanya dihasilkan oleh indra lewat kebiasaan-kebiasaan
atau disebutnya dengan bundle persepsi, sehingga argumentnya lebih lengkap.dan lebih
skeptis.

Ini akan lebih jelas dalam pemaparan dan hasil penelitian yang akan kita lakukan dalam
makalah singkat ini. Tentunya dengan menunjukkan lebih dalam lagi pemaknaan
mereka terhadap “ide” dan bagaimana mereka menguatkan teori mereka. Untuk itu
disini juga memungkinkan saya untuk memunculkan kritik terhadap konsep “ide” yang
mereka munculkan.

A. John Locke. (1632 – 1704 M)


Locke adalah seorang perintis empirisme. Pertama kali yang dia lakukan sebelum
memunculkan teori empirisme-nya adalah dengan mengkritik atau membantah doktrin
Cartesian tentang “innate ideas”. Dia tidak setuju dengan doktrin yang mengatakan
bahwa pengetahuan kita diperoleh dari prinsip-prinsip a priori dalam pemikiran
manusia, yang menyatakan bahwa manusia sudah mempunyai ide, gambaran atau
pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupannya, bahwa ide itu ada dan dibawanya
sejak lahir. Menurutnya pikiran kita harus dilihat sebagai “kertas putih” yang kosong
atau “tabula rasa” yang diisi dengan pengalaman-pengalaman indrawi kita. Kemudian,
lebih lanjut dia ingin mengatakan bahwa innate idea itu tidak ada, yang ada hanyalah
“persepsi” dan “sensasi”. Mungkin ini dua kata yang akan digunakan Locke didalam
memunculkan teorinya dan mengganti pemakaian kata “ideas” yang sering dipakai
kalangan rasionalis. Walaupun disini Locke akan mencoba memberikan perspektif lain
tentang “ide” ini dengan basis emprismenya yaitu pengalaman indrawi.

Sebagai seorang Filosuf, dia berusaha untuk menunjukkan independensi dan usaha
dalam sebuah pemaknaan terhadap “ide”. Sebagaimana Descartes, dia memandang
“ide” sebagai sesuatu yang paling mewakili di dalam pikiran kita. Dan ini menjadi
sangat berbeda dengan Descartes ketika mengeluarkan teori utamanya tentang
mengakui bahwa tidak ada cara untuk mengetahui sesuatu diluar kita kecuali dengan
pengalaman indrawi. Sebagai seorang Empiris, Locke menegaskan bahwa pengetahuan
datang hanya dengan ide-ide indrawi(pengalaman indrawi). Lebih jauh lagi dia
mengklaim bahwa untuk mengetahui tentang sebab-sebab semua ide kita tidak akan
pernah terlepas dari objek itu sendiri. Apa yang diamaksudkannya??? Ini akan tampak
pada pendapatnya tentang adanya kualitas pada objek yang dipersepsi.

Teori pengetahuan Locke.


Menurut Locke, semua ide pemikiran kita hanya memiliki satu sumber yaitu
pengalaman indrawi. Hal ini menunjukkan bahwa asal mula pengetahuan kita ada pada
pengalaman indra kita, melalui gambaran penerimaan akal yang dibuat oleh objek dari
luar. Satu-satunya sumber lain pengetahuan adalah refleksi kita terhadap pengalaman
indra, seperti berpikir, ragu, dan yakin. Locke mengambil alih pandangan Descartes
atas ide sebagai segala sesuatu yang disadari, dipikirkan, tentang segala objek yang
pemikiran.1

Sebelumnya disini saya akan berusaha melihat jalan pikiran Locke dalam merumuskan
atau menjelaskan proses pengetahuan itu ada dalam diri seseorang. Misalnya;
bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang “kursi” Pertama kursi itu dipersepsi
atau dicerap oleh indra kita, dimana sisi luar dari sesuatu yang material (kursi) adalah
objek dari sensasi kita terhadapnya, dan ketika itu pikiran kita mengetahuinya sebagai
proses dari “refleksi”. Dari data indrawi tadi, kita mendapatkan ide sederhana seperti
kayu, warna coklat, besar, atau kursi. Kita meneliti juga sesuatu yang lain dari kursi itu
sehingga kita mendapatkan ide sederhana tentang kursi. Dari ide sederhana ini, pikiran
kita menghuungkannya dengan realitas yang ada diluar, dengan ciri-ciri dan sifat yang
kita dapatkan sebelumnya, kita mengetahui bahwa itu adalah kursi, dan ini adalah
proses abstraksi dalam pikiran kita. Dan akhirnya kita mempunyai ide yang lebih
sempurna dan kompleks seperti subtansi, hubungan, dan model.

Disni dapat kita lihat bahwa Locke juga mengambil ide Descartes mengenai zat fisik,
yang menyusun perbedaan antara kualitas primer dan kualitas skunder.2 Ini terlihat
dalam proses “sensasi” dan “persepsi” terhadap objek pengetahuan tersebut. Sebagai
seorang empiris, Locke hanya bisa tahu mengenai apa yang tercipta menurut persepsi
indra. Dia tidak bisa menyatakan mengetahui segala sesuatu dengan kejelasan dan
kejernihan ide pemikiran rasional atau dengan bantuan Tuhan. Lalu bagaimana dia
mengetahui objek yang ada diluar kita. Inilah tampak akan adanya klaim keterbatasan
akal dalam diri manusia menurut kalangan empirisme.
Teori Locke ini akan lebih jelas ketika kita melihat hubungan antara pembedaan dua
macam ide dengan perbedaan antara kualitas yang ditemukan dalam objek materi. Kita
harus membedakan ide sebagai persepsi didalam pikiran dan sebagai modifikasi materi
pada objek yang menyebabkan adanya persepsi. Untuk itu kita tidak dapat menerima
begitu saja bahwa ide kita adalah gambaran pasti tentang sesuatu dalam objek yang
menyebabkan mereka. Kekuatan untuk memproduksi ide dalam diri kta disebut Locke
sebagai kualitas. Kualitas yang dapat dpersepsi dengan lebih dari satu indra dia sebut
sebagai kualitas primer dan kualiatas yang dapat dipersepsi hanya dengan satu indra
dia sebut dengan kualitas sekunder. Pembedaan ini bukan sebuah penemuan yang baru,
ini sudah diungkapkan Aristoteles yang membedakan common sensible sebagai kualitas
primer dan proper sensible sebagi kualitas sekunder.3

Locke mengklaim bahwa hanya kualitas primer yang tidak terpisah dari objek tersebut
(bodi) misalnya bentuk dan ukuran pasti melekat pada tubuh materi. Hal ini sangat
berbeda dengan Descartes yang juga menggunakan argument yang mirip, ketika
mengambil batu sebagai contohnya, untuk membuktikan bahwa itu hanya perluasan
dari essensi tubuh materi tersebut. Disisi lain, menurut Locke, kualitas sekeunder
sebenarnya tidak ada tetapi itu sebagai kekuatan untuk menghasilkan sensasi dalam diri
kita. Lebih jauh lagi dia berpendapat bahwa kualitas sekunder tidak selalu subjektif
lebih dari objek yang menghasilkan mereka.

Menurut Locke Kualitas primer adalah sisi objektif dari objek yang dicerap seperti luas,
gerak, atau massa. Mereka inheren didalam objek. Dan kualitas sekunder adalah sisi
subjektif dari sebuah benda. Mereka termasuk dalam segala sesuatu yang kita persepsi
dari benda tersebut, seperti sifat kemerahan, kehangatan, dll. Dan sifatnya kondisional
dan dapat berubah-ubah sesuai kondisinya. Saya melihat disini Locke berbicara pada
status ontological dari dunia eksternal bahwa dengan pandangan kualitas primernya,
dia beranggapan bahwa dunia diluar kita ada dan eksis secara objektif dan itu terbebas
dari diri kita. Ini tidak selalu menjadi bangunan rasional atau imaginasi kita.
Menurutnya, dunia luar itu ada dan mempunyai setatus ontological sebagai
keberadaaan yang bersifat materi.

Selanjutnya dia berusaha menjelaskan bagaimana terbentuknya ide sederhana dan ide
yang lebih rumit, tetapi sebelumnya disisni ada beberapa alasan mengapa Locke
membagi objek kedalam dua sifat tersebut, yaitu;
Alasan-alasan itu adalah;4
Karena kita tidak mempunyai ide a priori tetapi melalui pengindraan. Pertama kali, ini
sangat sederhana bahwa persepsi diperoleh dalam diri kita dengan sebab luar yang
dicerap indra kita, karena indra sendiri tidak pernah mempunyai ide beserta dengan
hasil pengindaraan dalam pemikiran kita. Disini fungsi indra hanya sebatas alat dan
tidak menghasillkan ide itu sendiri.
Karena Ide dihasilkan dari sensasi yang aktif dan yang lain dari memory yang sangat
bebeda dengan persepsi. Yang kedua, karena terkadang kita menemukan bahwa kita
tidak menerima ide-ide yang diperoleh dalam pikiran kita. Akan tetapi kita mampu
mendapatkan ide dengan membayangkan kembali apa yang pernah kita lihat dan kita
indra. Unuk itulah dalam proses pengetahuan dalam Locke dikenal dengan proses
refleksi atau imajinasi.
Karena kesenangan atau kesedihan, yang digabungkan sensasi yang aktif,
penggabungan tidak mengembalikan ide-ide itu tanpa objek luar. Yang ketiga, bahwa
banyak ide itu diproduksi dalam diri kita dengan kesenangan, dimana setelah itu kita
mengingat sesuatu karena kita menyenanginya atau sebaliknya. Ini dapat kita lihat
sebagai proses yang mendukung terciptanya sebuah ide atau pengetahuan.

Bagaimana kualitas primer menghasilkan ide-ide?.


Ini berkaitan dengan bagaimana indra (organ) mengahasilkan ide dalam pikiran kita,
dan bahwa ini sebagai hasil dari rangsangan, dimana satu-satunya cara yang dapat kita
mengerti dari mekanisme tersebut. Jika kemudian objek diluar kita tidak bersatu
dengan pikiran kita, padahal mereka menghasilkan ide-ide didalamnya dan itulah yang
kita persepsi atau lebih tepatnya ada proses sensasi. Kita menerima kualitas asli ini
dalam pengindraan kita, ini adalah sebuah keharusan bahwa beberapa mekanisme otak
atau rangkaian sensasi, dimana untuk memperoleh ide-ide dalam pikiran kita kita
membutuhkan itu semua. Jika kita lihat lebih jauh, maka pandangan ini lebih dapat
saya dilihat dalam kajian psikologi, dimana Locke membahas adanya mekanisme dan
proses penyerapan oleh indra. Akan tetapi itu juga dapat dilihat dalam tataran
epitemologis, bahwa ide itu adalah sesuatu yang telah dihasilkan dalam proses persepsi
dan itu menjadi terpisah dengan dunia luar.5

Bagaimana dengan kualitas sekunder? Setelah alasan yang sama bahwa ide dari kualitas
primer yang diproduksi, kita mungkin menerima bahwa ide dari kualitas sekunder
adalah juga diproduksi. Maka konsekuensinya adalah pertanyaan setatus ontologisnya
masih dipertanyakan, bahkan ini menjadi ranah epistemologis ketika kualitas sekunder
didapatkan dari hasil subjektifitas pengindra. Ini menjadi ketidak-konsiten-an Locke
dan mungkin ini yang akan menjadi salah satu lading kritikan Berkeley di kemudian
hari.

Simple Idea dan Kompleks Idea


Ada indikasi bahwa Locke medefinisikan ide sebagai “pikiran” atau pikiran yang
dihasilkan ketika proses berpikir. Yang dimaksudkan “ide” disini mungkin lebih
mengarah pada “sensasi” atau “refleksi”. Dan mungkin kedua term inilah yang akan
merujuk pada teori Simple idea dan kompleks idea.

Menurutnya ide ada dalam pikiran sebagai hasil dari suatu kesan atau mekanisme
dalam tubuh, sebagai pruduksi dari beberapa persepsi dalam pemahaman. (Principles II
1, 23). Dia menyamakan anatara ide-ide yang kita punya dengan “persepsi”. Mungkin
ini tidak bisa dilepaskan bahwa istilah persepsi juga pernah digunakan oleh para
Rasionalis. Peresepsi menurutnya adalah fungsi representative pikiran kita. Disini saya
melihat masih adanya ambiguitas antara persepsi dengan ide itu sendiri, apakah
persepsi yang dimaksudkan dengan pencerapan indrawi atau persepsi itu sendiri
sebagai sebuah ide, atau lebih tepatnya ide sederhana. Dia juga menggunakan istilah
sensasi untuk menunjukkan beberapa makna seperti; proses untuk mempunyai ide
indrawi, sebagai ekuivalen untuk persepsi indra dan sebagai effek psikologi dalam organ
dan otak dan sebagai konsekuensi dari konsep ide nya. Jadi disni jelas bahwa sensasi
berperan hanya dalam membentuk apa yang disebutnya dengan ide sederhana, yang
kalau dlihat dari kacamata psikologi hanya merupakan hasil dari mekanisme kerja indra
dan otak

Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah penggunaan istilah ide. Dalam ide
sederhana mungkin dimaksudkan untuk mencakupi gagasan gagasan mental. Akan
tetapi ini menjadi sebuah permasalahan dan memunculkan keambiguan. Misalnya ini
akan terlihat ketika Locke memberikan gagasan tentang “kemerahan” sebagai contoh
dari simple ide dari indra. Itu sama saja bahwa untuk mempunyai ide kemerahan di
dalam persepsi, kita sudah menerima sesuatu yang disebut merah. Walaupun kita tidak
mempunyai konsep yang jelas dan umum tentang merah itu sendiri. Keambiguan
penggunaan istilah ini bukan tanpa alasan, ini merefleksikan juga pada keambiguan
dalam berpikir. Locke kurang tegas dalam menghubungkan konsep persepsi dalam
menghasilkan sebuah ide.

Kemudian dalam pandangannya tentang kompleks idea, Locke menunjukkan bahwa ide
kita dibangun dari simple ide. Dimana pengetahuan yang lebih luas dan rumit adalah
persepsi-persepsi yang kita terima dalam pikiran kita saling terhubung, adanya
persamaan dan persetujuan, atau perselisihan paham, tentang segala gagasan kita. Dan
itu menjadi sangat kompleks dalam pikiran kita ketika ada proses refleksi. Atau proses
inteleksi lebih lanjut.

Tetapi terlihat bahwa Locke kurang konsisten ketika dia mengklaim bahwa ada tiga
tingkat ide kita; yaitu intuitif, demonstrative dan sensitive. (IV 3, 21 dan IV p ff) Locke
mengklaim bahwa kita mempunyai pengetahuan intutif terhadap keberadaan kita,
pengetahuan demonstrative tentang keberadaan Tuhan, dan pengetahuan sensitif
tentang keberadaan sesuatu yang sangat halus.6 Dia berusaha menjustifikasi
pengetahuan kita pada keberadaan yang particular dengan menunjukkan pandangan
bahwa ide kita sama seperti sesuatu yang menyebabkan mereka ada.

Tetapi bagaimanapun juga Locke adalah pembuka jalan baru dalam menemukan
konsep ide. Mungkin disini kita melihat Dia kurang kritis dan lebih berusaha untuk
membatasi pengetahuan tidak seperti kalangan Rasionalisme. Tetapi bagaimanapun
juga dia adalah pioner dalam usahanya untuk melihat apakah dari pengalaman itu
sendiri dapat membangun pengetahuan dari semua hal yang material.

B. George Berkeley (1685 – 1753).


Tampaknya disini ia berusaha untuk menyempurnakan kekurangan Locke dalam hal
ketidakkonsistenan dengan doktrin empiris umumnya bahwa semua ide adalah terpisah
dari pengalaman indrawi. Berkeley memberi kita gambaran dunia dalam sebuah istilah
yang mungkin dapat kita sebut sebagai Locke yang “ disucikan”. Tetapi kesucian ini
memebawa dia untuk memandang bahwa jauh lebih paradoksal dari pada yang
dihasilkan Locke.bagaiman itu bisa terjadi?

Berkeley juga mengambil istilah yang dipakai Locke yaitu “Ideas” dan digunakan dalam
kritik yang berbeda. Dalam karya awalnya, The New Vision Theory of Vision. 44 dia
mendifinisikan “ide” sebagai sesuatu objek dari indra atau pemahaman yang segera. Dia
tidak mengartikan pengetahuan / pemahaman, walaupun dalam The Principles of
Human Knowledge,27 menunjukkan bahwa dia telah menggunakan kata ini dalam
istilah “persepsi”. Dalam karya setelahnya; dia mengatakan bahwa untuk mempunyai
sebuah ide, semua orang harus merasa dan mempersepsi. Dan dia sering menggunakan
istilah “ide” dan “sensasi” sebagai pilihannya. Dalam Principle dia sangat hati-hati
dalam mengklasifikasi ide-ide yaitu:
1. yang dicerap oleh indra
2. yang diterima dengan hadirnya nafsu dan system operasi pikiran.
3. dibentuk dengan bantuan memory dan imagination; ataupun pencampuran,
pembagian, atau hampir tidak mewakili yang diterima dengan jalan tersebut.

Ide-ide yang ada dalam persepsi indra tidak tergantung kepada kehendak, ketika
memory atau imaginasi dan ini menunjukkan sisi aktif. Ini mungkiin yang membedakan
Berkeley dari empiris lainnya bahwa ide dari imagnasi adalah kurang teratur, tetap dan
berbeda dengan indra (Principe, 29, 33). Ketika ide dari imaginasi menunjukkan sisi
aktif dalam diri kita, Berkeley secara hati-hati berpandangan bahwa ide sendiri adalah
pasif dan dia menambahkan sedikit perhatian akan menemukan untuk kita bahwa
keberadaan ide menunjukkan kepasifan dan kelambanan di dalamnya (Principle, 25).
Ide yang kita punya dalam persepsi adalah sepenuhnya pasif, dimana persepsi adalah
seluruhnya juga pasif.

Lebih jauh lagi sebenarnya Berkely melanjutkan pandangan Locke. Tetapi akhirnya dia
berpendapat bahwa ide dihasilkan didalam pikiran dengan sesuatu yang kita terima
(kita cerap). Berkeley setuju bahwa ide harus di dalam pikiran, tetapi dia meolak bahwa
mereka dapat dihasilkan dari sesuatu yang material diluar kita. Menurut Berkeley, kita
dapat mempunyai pengetahuan tentang sesuatu yang fisik kecuali dengan jalan ide, dan
disini kita dapat mempunyai pengetahuan yang bebas tentang sesuatu dan itu bagian
dari ide. Ketika dengan persepsi kita mempunyai alasan untuk percaya hanya dengan
apa yang kita cerap. Dan ketika semua persepsi ada dalam ide yang kita punya, kita
dapat percaya kebenaran didalam keberadaanya. Tetapi kita tidak punya pembenaran
untuk mempercayai adanya subtansi materi berada dibelakang ide tersebut. Tentang
keberadaan ide, Berkeley berpikir bahwa materi itu ada jika kita persepsi atau kita
dicerap. Inilah yang kemudian dikenal dengan teori, esse is percipi. adalah benar
dengan definisi bahwa ide eksis (ada) jika itu kita persepsi cerap, dan disana tidak selalu
sesuatu yang subtansinya materi.7

Menurut Berkeley ide tidak selalu berkaitan dengan sesuatu. Kita mencatat bahwa
beberapa ide, yang kita namakan imaginasi adalah subjek untuk kehendak kita, dan
disiini mungkin dapat dikatakan untuk menjadi dihasilkan kita. Untuk itu kita dapat
melihat pemikiran Berkeley bahwa ide dihasilkan oleh pikiran atau spirit dimana spirit
itulah yang kita bangun. Ide dari persepsi, tidak dihasilkan oleh diri kita, tetapi harus
dihasilkan didalam pikiran kita dengan beberapa spirit lainnya, yaitu Tuhan. Spirit
adalah satu-satunya sumber ide, dimana mereka satu-satunya sesuatu yang aktif. Ide
selalu dicatat, menjadi pasif karena definisi. Tetapi menurutnya kita tidak mempunyai
ide tantang Spirit (Tuhan) tetapi kita mempunyai beberapa pandangan tentang mereka,
dimana kita dapat memahami apa yang kita maksud dengan kata Spirit itu dan karena
kita mengetahui bahwa kita adalah sumber dari beberapa ide (Principles, 140)

Jika kita menghubungkan dengan pendahulunya, disini kita melihat Berkeley berusaha
mengganti pandangan Lockean bahwa materilah menyebabkan ide dengan pandangan
bahwa dalam pikiran kita terdapat ide hanya Spirit yang dapat melakukannya. Persepsi
kita secara khusus disebabkan oleh Tuhan. Pencerapan adalah selalu materi yang
mempunyai ide-ide tidak seperti yang dikatakan Locke bahwa mempunyai ide dimana
dalam beberapa kasus menyerupai sesuatu tanpa pikiran. Dalam teori Berkeley tentang
ide berhenti untuk diwakilkan dalam beberapa indra, dan walaupun mereka dihasilkan
dalam pikiran mereka tidak dihasilkan oleh sesuatu yang material (Principle.26) Disini
Berkeley mengindikasikan proses penerimaan ide ini sebagai bundle ide-ide. Dia ingiin
mengatakan bahwa sesuatu itu ada ketika kita mengiindra mereka, dan ketika kita tidak
mepersepsi mereka maka sesungguhnya keberadaan mereka dipertanyakan, bahkan
menurutnya tidak ada.

Locke telah membedakan antara kualitas primer dan sekunder pada sesuatu yang
material dan menurutnya adalah eksis. Dan Berkeley sama sekali berbeda ketika dia
menolak pembedaan tersebut atau bahkan menolak keberadaan materi itu, ketika kita
tidak mempersepsinya. Lebih jauh lagi dia berpendapat bahwa semua itu hanya sebuah
kekuatan untuk menghasilkan ide dalam pikiran kita. Dalam hal ini sebenarnya
Berkeley berbicara dalam masalah keberadaan subtansi materi yang menyebabkan ide
dalam dir kita. Menurutnya Locke telah berusaha untuk menggabungkan kualitas
skunder dengan sensasi dalam makna literal pengindraan.

Tetapi disisi lain, Berkeley tidak jelas dalam menerima perbedaan antara keduanya, dan
kemudian dia menggabungkan keduanya kedalam “sensasi”. Dalam bukunya (Dialogue
hal 203) dia memberikan beberapa argument, pertama untuk posisi bahwa kualitas
sekunder adalah satu-satunya sensasi dalam pikiran kita dan kedua adalah pendapat
bahwa disana tidak ada pembedaan antara kualitas primer dan sekunder. Pendapat
yang pertama mirip dengan Locke. Menurutnya penggabungan rasa hangat dari api
dengan perasaan sakit itu dihasilkan ketika itu terlalu panas. Dia berpandangan bahwa
perasaan intensitas panas adalah tidak dibedakan dari rasa sakit dan dia
menggambarkan kesalahan dalam menyimpulkan bahwa panas dari api pada dirinya
adalah hanya sensasi dalam pikiran kita. Ketika kita tidak merasakan intensitas panas
dan merasakan sakit adalah berbeda dan masih diperdebatkan., tetapi keduanya dapat
dibedakan dalam fakta dari panas yang menyebabkan ide tersebut.

Bagaimana kita menerima kualitas itu adalah tergantung pada kondisi ketika kita
mempersepsinya. Dari sini dia menyimpulkan bahwa tidak mungkin untuk
mengatakkan bahwa ada kualitas yang dicerap adalah nyata dari sesuatu objek.
Kesimpulan ini tidak benar ketika ini tidak diikuti dari fakta bahwa kita mencerap
sesuatu dengan cara yang bebeda. Bagaimanapun juga, Berkeley menyimpulkan bahwa
karena mereka bersifat dapat dihitung, kualitas yang nyata pada sesuatu harus nyata
menjadi sensasi dalam pikiran kita.

Disini kita juga akan melihat adanya kesamaan dengan Locke, tetapi mungkin dia lebih
mengembangkan argumennya tentang “kualitas primer”, yang mengindikasikan ukuran,
bentuk dll, adalah juga dicerap secara berbeda dalam kondisi yang berbeda. Dia
beranggapan bahwa untuk efek bahwa ukuran nyata harus menjadi relative terhadap
ukuran yang dicerap. Dia menggambarkan kesimpulannya bahwa semua kualitas yang
dicerap adalah sesuatu yang dapat diindera yang sebenarnya, dan itu adalah sensasi di
dalam pikiran. Dalam teorinya dia mengindikasikan akan perbedaan antara kualitas
yang dicerap dengan sensasi itu sendiri, menurutnya sensasi tidak selalu mengarah
kepada sensasi segala sesuatu. Menurutnya kualitas yang dicerap harus diatributkan
pada objek dan sensasi adalah pengalaman dari seseorang atau ide-ide yang dia punya.
Ini jelas berbeda dengan Locke yang cenderung kaku dalam pendapatnya tentang
sensasi dan hubungan antara kualitas primer dan sekunder dal objek.

Pada akhirnya. Berkeley berpandangan bahwa kita tidak menerima sesuatu tetapi kita
mempunyai koleksi sensasi-sensasi, yang dapat dibenarkan, dan mungkin paradoks. Dia
mengulang klaim bahwa pandangannya adalah lengkap dan sesuai dengan common
sense tergantung pada pernyataan bahwa kita tidak mencerap sesuatu tetapi dengan
sensasi itu bisa dilakukan, memberi kita pandangan, dan menunjukkan bahwa kita
tidak mencerap sesuatu tapi hanya qualitas-kualitasnya saja. Dan nantinya inilah yang
akan disempurnakan oleh Hume melalui bundle of percepci-nya.

Secara umum disetujui pada waktu itu bahwa persepsi adanya jarak dengan sesuatu
harus datang sebagai akibat dari pengetahuan. Berkeley berpandangan bahwa kita tidak
mempunyai pengetahuan tentang fakta ketika kita melihat sesuatu adanya jarak dari
kita. Ini mungkin menjadi benar bahwa kekurangan dalam penglihatan sebagai jarak
dari objek yang meningkat, tetapi kita tidak sadar terhadap persepsi objek. Dengan kata
lain, ini tidak dapat menjadi benar dalam bagaimana kita melihat sesuatu sebagai jarak,
kita tidak menganggap jarak sesuatu dalam cara ini. Berkeley bagaimanapun juga tidak
mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman ini adalah satu, pada jarak terhadap
objek. Di dalamnya dia mengatakan bahwa ide yang kita punya dan ide-ide khusus atau
sensasi yang dihasilkan dengan gerakan mata dalam cara yang lebih khusus lebih baik
sensasi jarak.

Inilah yang juga sedikit membedakannya dengan Locke, dimana Locke juga mengambil
alih subjektivisme Descartes, bahwa apa yang paling kita ketahui adalah akal kita
sendiri dan ide yang ada di dalamnya. Jadi disini ketika kita memasuki empirisme,
persoalan yang melekat pada subjektivisme yang kita dapati pada Descartes. Jarak
pemisah antara akal pikiranku bersama ide di dalamnya dengan objek jasmaniayah dan
manusia dimana ide pikiran merujuk diluar diri kita, berada di alam sosial dan fisik.
Bagaimana kita mengetahuinya jika kita telah terpaku untuk mengetahui kepastian
hanya dengan ide pikiran kita? Bagaimana kita bisa mengetahui pengetahuan sejati
tentang objek, jika objek itu sendiri terbebas dari akal kita di dunia ini? Inilah
sebenarnya pertanyaan-pertanyaan yang telah berusaha dijawab oleh Locke dan
Berkeley dan juga Hume.

Pandangan akhir Berkeley, sebagaimana yang kita lihat, adalah setiap indra
bertanggung jawab dari keterpisahan dan pembedaan sensasi, dan disini hanya
dihubungkan dengan pengalaman. Untuk mencerap atau mempersepsi selalu
mempunyai rangkaian ide-ide atau sensasi. Satu-satunya yang selalu mampu
memberikan kita ide sehari-hari dia menyebutnya sebagai Tuhan yang mempunyai
unsur ide-ide ketika kita tidak mempunyainya. Saya kira inilah pandangan Berkeley
yang lebih mengarah pada metafisika, walaupun dia sendiri tidak secara langsung
mengindikasikan kesana. Dan ini yang membedakannya dengan dua tokoh besar
empiris lainnya.
C. David Hume(1711 - 1776)
Mungkin dalam makalah ini akan lebih dalam melihat filsafat Hume, dengan begitu
akan menjadi lebih jelas pendangan-pandangan sebelumnya, karena dia dikenal sebagai
sang skeptis yang handal. Tentang pandangan terhadap ide atau pengetahuan dia akan
terus mempertanyakan pertanyaan mendasar tentang bagaimana kita tahu? Apa yang
menjadi asal mula pengetahuan dan apa yang menjadi batasan pengetahuan manusia?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menggiring Hume dalam kesimpulannya bahwa
sebenarnya manusia itu tidak memiliki pengetahuan, akan tetapi hanya sekedar
memiliki keyakinan bahwa yang kita rasakan itu benar. Inilah hasil skeptisme dari
Hume, tetapi yang perlu diteliti lebih lanjut adalah mengapa dia berpendapat seperti
itu? Ini akan kita lihat dalam beberapa argumentnya.

Dia mengkritik doktrin adanya dua jenis pengetahuan. Sebagai seorang empiris dia
berusaha mencari landasan bagi pengetahuan manusia melaui karyanya Treatise of
Human Understanding, dan kemudian menunjukkan bahwa hanya ada satu landasan
segala pengetahuan yaitu pengetahuan oleh persepsi panca indra. Dia bermaksud
meruntuhkan keyakinan filsafat lama bahwa ada dua jenis pengetahuan yaitu
pengetahuan yang biasa ditingkat bawah mengenai alam kasat mata, dimana Descartes
menamakannya “ide” pemikiran indra yang membingungkan dan kedua adalah
pengetahuan dengan penalaran sebagai sumbernya dan kepastian dimana Descartess
menamakannya dengan kebenaran kejelasan dan kejernihan ide. Hume membantah ada
dua jenis pengetahuan ini, menurutnya hanyalah ilusi. Menurutnya gagasan metafisika
sebagaimana Plato dan Descartes merupakan produk dari kesombongan yang gegabah
dan kepura-puraan yang angkuuh dan keluguan takhayul dari orang-orang yang
meyakininya.8

Menurut Hume, kita tidak dapat mencapai dan mengetahuai alam realitas yang
sebenarnya karena kita memahami bahwa ini merupakan pengetahuan yang tidak bisa
dimiliki manusia, karena apa yang kita ketahui hanya terbatas pada persepsi panca
indra. Untuk itulah kemudian Hume mempertanyakan dan bahkan menolak adanya
subtansi material di dunia luar, menurutnya subtansi hanyalah rangkaian persepsi-
persepsi yang pernah kita cerap dalam pikiran kita. Disini sanngat jelas perbedaan dan
penolakan terhadap Locke, bahwa yang bisa kita ketahui hanyalah persepsi bukanlah
objek. Karena kita tidak tahu secara pastoi bagaimana kaitan antara persepsi dan objek-
objek diluar diri kita. Dan bahkan juga berbeda dengan Berkeley yang sebenarnya juga
tidak percaya terhadap objek luar, akan tetapi dia masih mempercayai adanya subtansi
rohani, yaitu Tuhan. Sedangkan disini Hume benar-benar ingin mengatakan bahwa
subtansi itu sebenarnya hanyalah persepsi kita saja dan tidak ada diluar kita.

Lebih jauh lagi, ini jelas terlihat ketika Hume menganggap bahwa adanya kesadaran
akan diri kita sangat tergantung kepada persepsi-persepsi yang kita dapatkan. Misalnya
menurutnya, sewaktu tidur maka katanya kita tidak ada, dan lebh nyata lagi dalam
kasus kematian.

Persepsi pengindraan; kesan dan gagasan. (Impresi dan ide)


Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya dari kritik diatas adalah apa yang
dimaksud dengan persepsi panca indra sebagai satu-satunya sumber dalam
mendapatkan pengetahuan. Hume berusaha mengembangkan pandangan Locke dan
Berkeley dengan membuat pembedaan antara dua bagian persepsi, yaitu impresi dan
idea, atau kita sebut kesan dan gagasan, yang semuanya disebutnya sebagai “Ide’ atau
pengetahuan. Menurutnya, setiap orang mengetahui perbedaan antara perasaan dan
pemikiran. Perasaan adalah suatu hal dalam kesan yaitu terdiri dari sensasi dan emosi.
Sedangkan berpikir adalah ide atau gagasan. disini menjadi sangat jelas bahwa ide yang
dimaksudkan hume adalah gambaran mental.9
Kesan dalah sensasi, hasrat dan emosi seketika, data atas aktiftas melihat, menyentuh,
mendengar, keinginan, mencintai membenci seketika, dll. Sedangkan Gagasan adalah
gambaran salinan atau samaran dari kesan, misalnya apa yang kita dapatkan ketika
berpikir atau mengingat kesan seketika itu10

Akan tetapi ternyata tidak sesedarhana itu, dia kemudian membaginya lagi kedalam
pembedaan antara kesan yang sederhana dan kesan yang lebih rumit sebagai gambaran
kesan-kesan tadi. Menurutnya” bahwa setiap gagasan sederhana memiliki kesan
sederhana yang bersisi sama dan setiap kesan sederhana merupakan pembawa gagasan.
Menurutnya ide sederhana adalah salinan dari kesan. Dan inilah yang akan
menghasilkan ide yang lebih kompleks. Hume telah siap untuk menerima pengalaman
berpikir sebagai yang menyediakan prinsip-prinsip bahwa semua ide ini adalah terpisah
dari kesan.

Teori Hume tentang persepsi adalah salah satu yang bagian paling skepstis dalam
usahanya. Misalnya itu terlihat ketika dia memulai pada bab “” skeptisme terhadap
indra” dalam karyanya Treatise I iv 2, dengan menekankan bagaimana kita harus
mempercayai dalam keberadaan tubuh terbebas dari pikiran kita. Tetapi dia
menyimpulkan bahwa apakah indra kita menceritakan kita tentang dunia yang terbebas
dari objek.

Sebagaimana filosuf lainnya pada waktu itu, Hume menggunakan istilah persepsi”
untuk beberapa isi dari pikiran (ide), dan semua perbuatan atau aksi melihat,
mendengar, membenarkan, mencinta membenci dan berpikir, jatuh dibawah dominas
persepsi tersebut. (Treatise III I I hal 456). Karena alasan ini dia berpikira secara
aksiomatik bahwa ketiadaan adalah pernah hadir dalam pikiran tetapi itu adalah
persepsi. Lebih jauh lagi Hume menggunakan istilah yang sama yaitu “ide” dalam
pemikiran emprisnya. Dan kemudian dia membagi dua macam persepsi yang
dinamakannya dengan impresi dan ide. Dan dia membenahi bahwa ini adalah indra
murni, dan menurutnya telah disesatkan oleh Locke. Ide atau sesuatu yang sederhana
merupakan copy dari impresi-impresi(kesan), dan kemudan akhirnya mungkin
dibedakan dari pembentuk dengan kekuatan besar. Sehingga Hume kelihatannya ingin
membedakan antara impresi dan ide sesuatu yang berbeda dan bertingkat. Dia
menggunakan istlah persepsi sebagai ganti dari impresi, membicarakannya sebagai
yang pasif yang berbeda dengan kegiatan akktis dalam berpikir, dan dia juga
menggunakannistlah sensasi sama dengan apa yang dimaksudkan dengan impressi
(Treatise I iv 2 hal 189) 11

Hume membagi dua macam ide yaitu ide memori dan ide imaginasi. Menurutnya ide
memori lebih hidup dan memiliki kekuatan dari pad aide yang dihasilkan dari
imaginasi. Menurut prinsip umum, keduanya harus telah didahului oleh kesan
(impresi). Hume berpikir bahwa memori sebagai sesuatu yang ada dalam pikiran
sebagai rangkaian dari pengalaman sebelumnya. Sebenarnya kalau kita lihat ini metode
yang dipakai hampir mirip dengan pandangan Locke, akan tetapi akan menjadi sangat
berbeda karena basisnya juga berbeda dengan terlebih dahulu Hume menolak adanya
Subtansi materi dan menggantinya dengan pembedaan dua ide diatas. Sebenarnya
disinilah Hume membuat suatu argument empiris yang penting bahwa kita tidak bisa
tahu sesuatu jika sebelumnya kita tidak memiliki kesan yang di dapat panca indra

Ketika Hume menganggap bahwa Impressi adalah pasif dan ketika istilah itu
mendukung, dia tidak membuat perbedaan antara kesan dan gagasan dalam istilah
kepasifan yang membentuk ide. Penjelasan bahwa Hume berusaha untuk menggunakan
kesan dan gagasan sebagai bahan dalam menyusun pengetahuan sesuatu yang lain telah
disusunya. Dia setuju bahwa persepsi adalah sejajar dengan subtansi dalam sistemnya,
ketika mereka hanya berbeda, terpisah dan sesuatu yang terbebas. Untuk alasan yang
sama dia meyebutkan bahwa disana tidak ada sesuatu yang tidak mungkin dalam
pendapat adanya persepsi yang tidak dicerap, yaitu persepsi yang terpisah dari
rangkaian persepsi yang dalam pandangannya mendasari pikiran. Ini terlihat ketidak
konsistenan Hume untuk mendefinisikan kesan dengan hubungan terhadap pikiran,
atau istilah lainnya dalam kepasifan. Sebagaimana Berkeley dalam kasus ketika
membagi tingkatan ide. Ini akan terlihat jelas ketika istlah-istilah; seperti
impresi/kesan, sensasi dan persepsi adalah dimaksudkan dalam kepasifan.

Didalam menjawab, permasalahan bahwa adanya ide imaginatf yang dihasilkan pikiran,
sebagaimana teori Berkeley yang menyandarkannya pada kekuatan Spirit, yaitu Tuhan.
Maka disini Hume berusaha untuk menjahui itu dan dia menjawabnya dengan
membedakan antara ide dengan kesan tanpa merujuk kepada pemiliknya. Menurutnya
ide selalu menjadi ide-ide seseorang, dan itu sama benarnya dengan sensasi. Ini mirip
dengan mempersepsi adalah selalu dilakukan oleh beberapa orang. Disamping apa yang
Hume katakan, bahwa gagasan terhadap persepsi yang tidak dicerap, adalah persepsi
yang tidak ada pemiliknya, tidak dibuat oleh seseorang dan nampak menjadi tidak
konsisten.

Yang menjadi permasalahan Hume selanjutnya adalah tentang masalah Subtansi. Dia
menganggap bahwa persepsi adalah subtansi dunia dalam teorinya. Inilah yang
nantinya dia menyebutnya sebagai rangkain persepsi (bundle of percepetion). Tetapi dia
mempertanyakan ada yang salah dalam subtansi yang biasa. Objek Hume dalam
pendapatnya bahwa sesuatu yang biasa dapat disebut subtansi, bahkan dengan
pengindraan yang sederhana itu adalah sesuatu yang eksis dan tidak terikat. Ini sama
ketika kita mengetahui dengan mempersepsi adalah objek langsung dalam pikiran.

Disini Hume tidak setuju dengan Berkeley yang mempertanyakan ketika kita
mempunyai pengetahuan dalam pikiran terbebas dari persepsi kita, tetapi setuju
dengannya dalam berpikir bahwa hanya cara yang berbelit-belit yang susah dalam
mewakili teori persepsi bahwa kita hanya memiliki pengetahuan dengan persepsi.
Implikasi dari pandangan ini adalah Hume meyakini bahwa secara natural percaya akan
bukti indra kita dan mereka kelihatannya ingin menceritakan kepada kita, bahwa dunia
tidak dapat menjadi materi dari persepsi, dan ketika akal tidak dapat membenarkan itu,
ini harus dalam kaitan dengan imaginasi. Kesan kita mempunyai tingkatan koheren dan
imaginasi mengajak dalam perbuatan. Imaginasi harus menjadi attribute dalam
gagasan kita. menurut Hume tidak hanya materi persepsi dalam batasan indra ini juga
melibatkan imaginas, dan ini membawa kepercayaan dalam keberadaan objek yang
eksis dan terbebas dari kita.

Secara umum, Hume cenderung untuk mengambil implikasi dari filsafat Berkeley untuk
keekstreman nya. Tetapi dia tetap mempertahankan kepercayaan natural kita tentang
dunia, ketika pada waktu yang sama dengan tegas bahwa hanya objek yang dipersepsi
yang disebutnya dengan kesan, dan dia berpikir bahwa objek material atau apapun
kitasering menyebutnya adalah selalu rangkaian dari kesan. Hume dengan kata lain,
berpegang pada pandangan bahwa akal dapat memberikan bukan pembenaran
terhadap kepercayaan kita dalam objek materi, tetapi juga merealisasikannya bahwa
keduanya adalah natural dan berarti untuk menunjukkan bahwa memang disana ada
objek material. Jika ini memang benar pandangan Hume, maka ini sungguh tidak
memuaskan dan menenggelamkan sekeptisme yang telah dibangunnya.

Kesimpulan.
Setelah kita melakukan analisa terhadap ketiga tokoh Empirisme yaitu Locke, Berkeley
dan Hume, terlihat beberapa perbedaan diantara ketiganya walaupun sebenarnya
mereka tokoh utama empirisme yang mempercayai pengalaman Indrawi. Sebagaimana
tesis saya di awal bahwa di dalam teori mereka tentang ide atau pengetahuan, mereka
mengarah kepada pandangan bahwa pengalaman indrawi adalah sumber yang pasti di
dalam memperoleh pengetahuan atau “ide”.
Ini terlihat ketika ketiganya berusaha menyandarkan teorinya pada pandangan
tersebut, walaupun jika kita lihat Locke sebagai pioner memang secara pasti menerima
objek di luar sebagai sumber yang valid bagi pengetahuan kita, dengan menjatuhkan
semangat Cartesian. Pandangan Locke tentang ide masih sederhana dalam semangat
empirisme. Akan tetapi berbeda dengan Locke, Berkeley yang walaupun dia
mempercayai apa yang dikatakan Locke dalam tataran proses, tetapi dia tetap
menganggap bahwa sumber ide adalah spirit atau Tuhan, hal ini didasari karena dia
tidak bisa menerima adanya subtansi materi yang menghasilkan ide, sebagaimana teori
Locke. Disisi lain, setelah beberapa waktu, Hume tampil dengan lebih sekeptis, dimana
dia menyetujui beberapa aspek dari keduanya dan menolak beberapa yang menurutnya
ada yang salah dari keduanya, yaitu mempertanyakan ulang apa yang disebut
pengetahuan itu hanya pencerapan yang sesederhana teori Locke atau Berkeley? Dia
berusaha menemukan kelemahan dan menunjukkan teori baru dan argument yang
lebih dalam tentang pembagian ide kedalam dua bagian yaitu kesan dan gagasan.
Walaupun disini saya melihatnya, Hume mengembangkan kekurangan dari kedua tokoh
sebelumnya( mengembangkan metode Locke)
Kemudian mereka menganggap bahwa semua dunia material bagi pengetahuan itu
sendiri adalah terpisah dari diri kita, hal ini akan tampak dalam kritikan mereka
terhadap pandangan rasionalisme. Ini memang menjadi konsekuensi dari pandangan
empirisme mereka, akan tetapi ternyata ketiganya juga berbeda dan hal ini terlihat dari
teori-teori mereka tentang persepsi, sensasi, impressi dalam mendapatkan ide. Hal itu
jelas terlihat, ketika permasalahan persepsi telah dibahas oleh Locke, kemudian
dilanjutkan Berkeley dan disempurnakan oleh Hume. Akan tetapi yang menjadi
pertanyaan saya disini adalah apakah keterpisahan itu hanya dalam ranah ontologis
ataukah dalam pembicaran epistemologis? Karena saya melihat perbedaaan ketiganya
dalam memandang dunia luar apakah terpisah dengan pengetahuan kita tidak jelas dan
bahkan hanya dalam tataran psikologis. Walaupun jika kita teliti lebih dalam, saya
melihat pembicaraan mereka seharusnya mengarah kepada sisi epistemologis.
Kemudian ketika ketiganya dihadapkan dengan kalangan Rasionalis maka saya melihat
adanya adanya kesan bahwa mereka berusaha “membatasi” pengetahuan. Dalam artian,
mereka berusaha mempertanyakan dan bahkan menolak bahwa kita sebenarnya
mempunyai pengetahuan yang dapat dijustifikasi hanya dengan pikiran itu sendiri. Dan
itu akan mendewakan akal kita, sedangkan menurut mereka ada realitas diluar kita.
Walaupun ketiganya berbeda dalam memandang dunia luar.
Dan lebih khusus tentang permasalahan ide, saya masih setuju dengan setatement awal
saya bahwa perbedaan ketiga tokoh tersebut telah tampak pada persoalan “sumber ide”
dan “bagaimana ide itu mereka dapatkan”. Dan konsekuensinya adalah terhadap
konsep atau pemaknaan mereka tentang “ide” itu sendiri. Ide bagi Locke adalah
dhasilkan dari lluar kita, menurut Berkeley sumber ide adalah Tuhan dan Hume
menganggap bahwa sumber ide hanyalah rangkaian persepsi-persepsi dari pengalaman
keseharian kita yang sudah kita anggap benar, dan menjadi sebagai sebuah ide dalam
pikiran kita.

Bibliography

· Arner. Douglas.G. Perception, Reason, & Knowledge. Arizon State University. London.
1972
· Hamly. D.W. Sensation and perception. A History of the Philosophy of Perception. The
Humanities press. New York: 1961
· Hardiman. F. Budi. Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Neithche. Gramedia.
Jakarta. 2004
· Kenny, Anthony. The Rise of Modern Philosophy. Volume 3. Clarendon Press. Oxford;
New York. 2006 (PDF file)
· Lavine. T.Z. David Hume. Risalah Filsafat Empirisme. Jendela. Yogjakarta: 2003

http://kalimacan.blogspot.com/2009/09/ide-dalam-pandangan-locke-berkley-dan.html

Anda mungkin juga menyukai