Anda di halaman 1dari 109

Agama Buddha

agama dari anak benua India

Buddhisme (Sanskerta: बुद्ध, di Indonesia


disebut agama Buddha)[1][2] adalah
sebuah pandangan filosofis berpaham
nonteisme yang berasal dari bagian timur
anak benua India, dengan berlandaskan
kepada ajaran Siddhartha Gautama.
Penyebaran Buddhisme di India dimulai
sejak abad ke-4 SM hingga abad ke-6
SM.[3] Buddhisme adalah kelompok
kepercayaan terbesar keempat di
dunia[4][5] dengan lebih dari 520 juta
pengikut, atau lebih 7% populasi dunia,
yang dikenal sebagai Buddhis.[web 1][6]
Buddhisme juga meliputi beragam ilmu,
nilai tradisi, filosofi, kepercayaan,
meditasi, dan praktik spiritual yang
sebagian besar berdasarkan pada ajaran-
ajaran awal yang dikaitkan dengan
Siddhartha Gautama dan menghasilkan
filsafat yang ditafsirkan. Buddhisme lahir
di India kuno sebagai suatu tradisi
Sramana sekitar antara abad ke-6 dan 4
SM, menyebar ke sebagian besar Asia.
Sang Buddha dikenal oleh para Buddhis
sebagai Sang Maha Guru Agung yang
telah sadar atau tercerahkan yang
membagikan wawasan-Nya untuk
membantu makhluk hidup mengakhiri
penderitaan mereka dengan
melenyapkan
ketidaktahuan/kebodohan/kegelapan
batin (moha), keserakahan (lobha), dan
kebencian/kemarahan (dosa).
Berakhirnya atau padamnya moha, lobha,
dan dosa disebut dengan Nibbāna.[7]
Untuk mencapai Nibbana seseorang
melakukan perbuatan benar, tidak
melakukan perbuatan salah,
mempraktikkan meditasi untuk menjaga
pikiran agar selalu pada kondisi yang
baik atau murni dan mampu memahami
fenomena batin dan jasmani.
Buddhisme

Bendera Buddhis

Dharmacakra (roda dharma)

Total populasi

488–535 juta

Pendiri

Siddhartha Gautama

Wilayah dengan populasi signifikan

Tiongkok, Jepang, Korea, Taiwan, Sri Lanka,


Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Bhutan,
Tibet, Nepal, India, Australia, Lainnya...
Agama
Buddhisme

Kitab suci

Buddhavacana, Tripiṭaka, Sutra Mahayana,


Kanon Pāli, (Kanon Tibet, Kanon Tionghoa)

Bahasa

Sanskrit, Pali, Gandhari, Tionghoa Klasik,


Tibet Klasik, Tangut, Sinhala, Thai, Khmer,
Burma, Mon, Korea, Jepang, rumpun bahasa
Tionghoa, Vietnam

Situs

SuttaCentral (https://suttacentral.net)
Chattha Sangayana Tipitaka (https://tipitak
a.app/)
Bhagavant (http://bhagavant.com)
Just Be Good (http://www.justbegood.net)
Dua aliran utama Buddhisme yang masih
ada yang diakui secara umum oleh para
ahli: Theravāda ("Aliran Para Sesepuh")
dan Mahāyāna ("Kendaraan Agung").
Vajrāyāna, suatu bentuk ajaran yang
dihubungkan dengan siddha India, dapat
dianggap juga sebagai aliran ketiga atau
hanya merupakan bagian dari Mahāyāna.
Theravāda mempunyai pengikut yang
tersebar luas di Sri Lanka, dan Asia
Tenggara. Mahāyāna, yang mencakup
tradisi Tanah Murni, Zen, Nichiren,
Shingon, dan Tiantai (Tiendai) dapat
ditemukan di seluruh Asia Timur.
Buddhisme Tibet, yang melestarikan
ajaran Vajrāyāna dari India abad ke-8,[8]
dipraktikkan di wilayah sekitar Himalaya,
Mongolia,[9] dan Kalmykia.[10] Jumlah
umat Buddha di seluruh dunia
diperkirakan antara 488 juta[web 1] dan
535 juta[11], menjadikannya sebagai salah
satu agama utama dunia.

Dalam Buddhisme Theravāda, tujuan


utamanya adalah pencapaian
kebahagiaan tertinggi Nibbāna, yang
dicapai dengan mempraktikkan Jalan
Mulia Berunsur Delapan (juga dikenal
sebagai Jalan Tengah), sehingga
melepaskan diri dari apa yang dinamakan
sebagai siklus penderitaan dan kelahiran
kembali.[12] Buddhisme Mahāyāna,
sebaliknya beraspirasi untuk mencapai
kebuddhaan melalui jalan bodhisattva,
suatu keadaan di mana seseorang tetap
berada dalam siklus untuk membantu
makhluk lainnya mencapai pencerahan.

Setiap aliran Buddha berpegang kepada


Tipitaka sebagai referensi utama karena
dalamnya tercatat sabda dan ajaran
Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya
kemudian mencatat dan
mengklasifikasikan ajarannya dalam tiga
buku yaitu Sutta Piṭaka (khotbah-khotbah
Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan
atau tata tertib para bhikkhu) dan
Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum
metafisika dan psikologi).
Seluruh naskah aliran Theravāda
menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa
yang dipakai di sebagian India
(khususnya daerah Utara) pada zaman
Sang Buddha. Cukup menarik untuk
dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau
tulisan lain dalam bahasa Pali selain
kitab suci agama Buddha Theravāda,
yang disebut kitab suci Tipitaka, oleh
karenanya, istilah "ajaran agama Buddha
berbahasa Pali" sinonim dengan agama
Buddha Theravāda. Agama Buddha
Theravāda dan beberapa sumber lain
berpendapat, bahwa Sang Buddha
mengajarkan semua ajaran-Nya dalam
bahasa Pali, di India, Nepal dan
sekitarnya selama 45 tahun terakhir
hidup-Nya, sebelum Dia mencapai
Parinibbana.[13]

Seluruh naskah aliran Mahāyāna pada


awalnya berbahasa Sanskerta dan
dikenal sebagai Tripitaka. Oleh karena itu
istilah agama Buddha berbahasa
Sanskerta sinonim dengan agama
Buddha Mahāyāna. Bahasa Sanskerta
adalah bahasa klasik dan bahasa tertua
yang dipergunakan oleh kaum terpelajar
di India. Selain naskah agama Buddha
Mahāyāna, kita menjumpai banyak
catatan bersejarah dan agama, atau
naskah filsafat tradisi setempat lainnya
ditulis dalam bahasa Sanskerta.[13]
Sejarah

Akar filosofis

"Gua Tukang Kayu" Buddhis di Ellora,


Maharashtra, India

Secara historis, akar Buddhisme terletak


pada pemikiran religius dari India kuno
selama paruh kedua dari milenium
pertama SM.[14] Pada masa tersebut
merupakan sebuah periode pergolakan
sosial dan keagamaan, dikarenakan
ketidakpuasaan yang signifikan terhadap
pengorbanan dan rital-ritual dari
Brahmanisme Weda[note 1] Tantangan
muncul dari berbagai kelompok
keagamaan asketis dan filosofis baru
yang memungkiri tradisi Brahamanis dan
menolak otoritas Weda dan para
Brahmana.[note 2][15] Kelompok-kelompok
ini, yang anggotanya dikenal sebagai
sramana, merupakan kelanjutan dari
sebuah untaian pemikiraan India yang
bersifat non-Weda, yang terpisah dari
Brahmanisme Indo-Arya.[note 3] Para ahli
memiliki alasan untuk percaya bahwa
ide-ide seperti saṃsāra, karma (dalam
hal pengaruh moralitas terhadap
kelahiran kembali), dan moksha, berasal
dari sramana, dan kemudian diadopsi
oleh agama ortodoks
Brahmin.[note 4][note 5][note 6][note 7][note 8][note 9]
Pandangan ini didukung oleh penelitian di
wilayah di mana gagasan ini berasal.
Buddhisme tumbuh di Magadha Raya,
yang terletak di sebelah barat laut dari
Sravasti, ibu kota Kosala, ke Rajagaha di
sebelah tenggara. Negeri ini, di sebelah
timur aryavarta, negeri bangsa Arya, yang
dikenal sebagai non-Weda.[23] Naskah
Weda lainnya mengungkap
ketidaksukaan penduduk Magadha,
kemungkinannya karena Magadha pada
masa tersebut belum mendapat
pengaruh Brahmanisme.[24] Sebelum
abad ke-2 atau ke-3 SM, penyebaran
Brahmanisme ke arah timur memasuki
Magadha Raya tidaklah signifikan.
Pemikiran-pemikiran yang berkembang di
Magadha Raya sebelum abad tersebut
tidak tunduk pada pengaruh Weda. Ini
termasuk tumimbal lahir dan hukum
karma yang muncul dalam sejumlah
gerakan di Magadha Raya, termasuk
Buddhisme. Gerakan-gerakan ini
mewarisi pemikiran tumimbal lahir dan
hukum karma dari kebudayaan yang lebih
awal.[25]

Pada saat yang sama, gerakan-gerakan


ini dipengaruhi dan dalam beberapa hal
melanjutkan pemikiran filosofis dalam
tradisi Weda, sebagaimana terefleksi
misalnya di dalam Upanishad.[26]
Gerakan-gerakan ini termasuk, selain
Buddhisme, berbagai skeptis (seperti
Sanjaya Belatthiputta), atomis (seperti
Pakudha Kaccayana), materialis (seperti
Ajita Kesakambali), antinomian (seperti
Purana Kassapa); aliran-aliran terpenting
pada abad ke-5 SM adalah Ajivikas, yang
menekankan aturan nasib, Lokayata
(materialis), Ajnanas (agnostik) dan
Jaina, yang menekankan bahwa jiwa
harus dibebaskan dari materi.[27] Banyak
gerakan-gerakan baru ini berbagi
kosakata konseptual yang sama seperti
atman ("diri"), buddha ("yang sadar"),
dhamma ("aturan" atau "hukum"), karma
("aksi/perbuatan"), nirvana ("padamnya
nafsu"), saṃsāra ("lingkaran
penderitaan"), dan yoga ("praktik
spiritual").[note 10] Para sramana menolak
Weda, dan otoritas brahmana, yang
mengklaim mereka memiliki kebenaran
terungkap yang tidak bisa diketahui
dengan cara manusia biasa mana pun.
Selain itu, mereka menyatakan bahwa
seluruh sistem Brahmanikal adalah
penipuan: sebuah konspirasi para
brahmana untuk memperkaya diri mereka
sendiri dengan membebankan biaya
terlalu tinggi untuk melakukan ritual palsu
dan memberikan nasihat tak berguna.[28]

Kritik terutama dari Buddha adalah


pengorbanan hewan secara Weda.[web 2]
Dia juga menyindir "gita manusia kosmis"
dari Weda.[29] Namun, Sang Buddha
tidaklah anti-Weda, dan menyatakan
bahwa Weda dalam bentuk sejatinya
dinyatakan oleh "Kashyapa" kepada resi
tertentu, yang melalui pertapaan berat
telah memperoleh kekuatan untuk
melihat dengan mata ilahi.[30] Dia
menamakan para resi Weda, dan
menyatakan bahwa Weda orisinil dari
para resi[31][note 11] telah diubah oleh
beberapa Brahmin yang memperkenalkan
pengorbanan hewan. Sang Buddha
mengatakan bahwa hal tersebut
termasuk dalam pengubahan dari Weda
sejati sehingga dia menolak untuk
menghormati Weda pada masanya.[32]
Namun, dia tidak meninggalkan ikatan
dengan Brahman,[note 12] atau gagasan
diri menyatu dengan Tuhan.[34] Pada saat
yang sama, Hindu tradisional sendiri
secara bertahap mengalami perubahan
mendalam, bertransformasi menjadi apa
yang dikenal sebagai Hindu awal.

Doktrin dasar ajaran


Buddha

Empat Kebenaran Mulia

Ajaran dasar Buddhisme dikenal sebagai


Empat Kebenaran Mulia atau Empat
Kebenaran Ariya (Cattāri Ariya Saccāni),
yang merupakan aspek yang sangat
penting dari ajaran Buddha. Sang Buddha
telah berkata bahwa karena kita tidak
memahami Empat Kebenaran Ariya,
maka kita terus menerus mengitari siklus
kelahiran dan kematian. Pada ceramah
pertama Sang Buddha,
Dhammacakkappavattana Sutta, yang Ia
sampaikan kepada lima orang bhikkhu di
Taman Rusa di Sarnath, adalah mengenai
Empat Kebenaran Ariya dan Jalan Ariya
Beruas Delapan.[35]

Empat Kebenaran Ariya tersebut


adalah:[36]

Kebenaran Ariya tentang Dukkha


(Dukkha Ariya Sacca)

Pada umumnya dukkha dalam bahasa


Indonesia diartikan sebagai penderitaan,
ketidakpuasan, beban. Dukkha
menjelaskan bahwa ada lima
kemelekatan kepada dunia yang
merupakan penderitaan. Kelima hal itu
adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati,
disatukan dengan yang tidak dikasihi,
dan tidak mencapai yang diinginkan. Guru
Buddha bersabda, "Sekarang, O, para
bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha,
yaitu: kelahiran adalah dukkha, usia tua
adalah dukkha, penyakit adalah dukkha,
kematian adalah dukkha, sedih, ratap
tangis, derita (badan), dukacita, putus
asa adalah dukkha; berkumpul dengan
yang tidak disenangi adalah dukkha,
berpisah dari yang dicintai adalah
dukkha, tidak memperoleh apa yang
diinginkan adalah dukkha. Singkatnya
Lima Kelompok Kemelekatan merupakan
dukkha."[36]

Kebenaran Ariya tentang Asal Mula


Dukkha (Dukkha Samudaya Ariya
Sacca)

Samudaya adalah sebab. Setiap


penderitaan pasti memiliki sebab,
contohnya: yang menyebabkan orang
dilahirkan kembali adalah adanya
keinginan kepada hidup.

Pada bagian ini Guru Buddha


menjelaskan bahwa sumber dari dukkha
atau penderitaan adalah taṇhā, yaitu
nafsu keinginan yang tidak ada habis-
habisnya. Tanha dapat diibaratkan
seperti candu atau opium yang
menimbulkan dampak ketagihan bagi
yang memakainya terus-menerus, dan
semakin lama akan merusak fisik
maupun mental si pemakai. Tanha juga
dapat diibaratkan seperti air laut yang
asin yang jika diminum untuk
menghilangkan haus justru rasa haus
tersebut semakin bertambah.[36]

Kebenaran Ariya tentang Terhentinya


Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca)

Nirodha adalah pemadaman.


Pemadaman kesengsaraan dapat
dilakukan dengan menghapus keinginan
secara sempurna sehingga tidak ada lagi
tempat untuk keinginan tersebut.
Pada bagian ini Guru Buddha
menjelaskan bahwa dukkha bisa
dihentikan yaitu dengan cara
menyingkirkan taṇhā sebagai penyebab
dukkha. Ketika taṇhā telah disingkirkan,
maka kita akan terbebas dari semua
penderitaan (bathin). Keadaan ini
dinamakan Nibbana.[36]

Kebenaran Ariya tentang Jalan yang


Menuju Terhentinya Dukkha (Dukkha
Nirodha Ariya Sacca)

Marga adalah jalan pelepasan. Jalan


pelepasan merupakan cara-cara yang
harus ditempuh kalau kita ingin lepas dari
kesengsaraan.
Pada bagian ini Guru Buddha
menjelaskan bahwa ada jalan atau cara
untuk menghentikan dukkha, yakni
melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Jalan Menuju Terhentinya Dukkha dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu:[36]

Kebijaksanaan (Paññā), terdiri dari


Pengertian Benar (sammā-ditthi)
dan Pikiran Benar (sammā-
saṅkappa)
Kemoralan (Sīla), terdiri dari
Ucapan Benar (sammā-vācā),
Perbuatan Benar (sammā-
kammanta), dan Pencaharian
Benar (sammā-ājīva)
Konsentrasi (Samādhi), terdiri dari
Daya-upaya Benar (sammā-
vāyāma), Perhatian Benar (sammā-
sati), dan Konsentrasi Benar
(sammā-samādhi)

Empat Kebenaran Mulia tidak dapat


dipisahkan antara Kebenaran yang satu
dengan Kebenaran yang lainnya. Empat
Kebenaran Mulia bukanlah ajaran yang
bersifat pesimis yang mengajarkan hal-
hal yang serba suram dan serba
menderita. Dan juga bukan bersifat
optimis yang hanya mengajarkan hal-hal
yang penuh harapan, tetapi merupakan
ajaran yang realitis, ajaran yang
berdasarkan analisis yang diambil dari
kehidupan di sekitar kita.
Jalan Mulia Berunsur Delapan

Dharmacakra melambangkan Jalan


Mulia Berunsur Delapan

Dalam Dhammacakkappavattana Sutta;


Saṃyutta Nikāya 56.11 {S 5.420}, Buddha
mengajarkan Empat Kebenaran Ariya
kepada Lima Bhikkhu Pertama (Pali:
Pañcavaggiya Bhikkhu; Sanskerta:
Pañcavargīya Bhikṣu), yang di dalamnya
terdapat Jalan yang Menuju Terhentinya
Dukkha. Jalan itu disebut dengan Jalan
Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atṭhaṅgika
Magga). Di dalam Jalan ini mengandung
unsur sīla (kemoralan), samādhi
(konsentrasi), dan paññā
(kebijaksanaan).[37]

Berikut pengelompokan unsur yang


terkandung di dalamnya:

Divisi Faktor Berunsur Delapan Sanskerta, Pali

samyag dṛṣṭi,
Kebijaksanaan 1. Pengert ian (Pandangan) Benar
sammā ditthi
(Sanskert a: prajñā,
samyag saṃkalpa,
Pāli: paññā) 2. Pikiran Benar
sammā saṅkappa

samyag vāc,
3. Ucapan Benar
sammā vāca
Perilaku Et is
samyag karman,
(Sanskert a: śīla, 4. Perbuat an Benar
sammā kammanta
Pāli: sīla)
samyag ājīvana,
5. Pencaharian (Penghidupan) Benar
sammā ājīva

samyag vyāyāma,
6. Daya upaya Benar
sammā vāyāma

Konsent rasi samyag smṛti,


7. Perhat ian Benar
(Sanskert a and Pāli: samādhi) sammā sati

samyag samādhi,
8. Konsent rasi Benar
sammā samādhi

Jalan Mulia Berunsur Delapan dibabarkan


sebagai berikut:
1. Pengertian Benar (Sammā Diṭṭhi)
Pemahaman Benar adalah pengetahuan
yang disertai dengan penembusan
terhadap

a. Empat Kebenaran Mulia


b. Hukum Tilakkhaṇa (Tiga Corak
Umum)
c. Hukum Paṭicca-Samuppāda
d. Hukum Kamma

2. Pikiran Benar (Sammā Saṅkappa)


Pikiran Benar adalah pikiran yang bebas
dari:

a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu


keduniawian (nekkhamma-saṅkappa)
b. Pikiran yang bebas dari kebencian
(avyāpāda-saṅkappa)
c. Pikiran yang bebas dari kekejaman
(avihimsā-saṅkappa)

3. Ucapan Benar (Sammā Vāca)


Ucapan Benar adalah berusaha menahan
diri dari berbohong (musāvāda),
memfitnah (pisunāvāca), berucap
kasar/caci maki (pharusavāca), dan
percakapan-percakapan yang tidak
bermanfaat/pergunjingan
(samphappalāpa). Dapat dinamakan
Ucapan Benar, jika dapat memenuhi
empat syarat di bawah ini:

a. Ucapan itu benar


b. Ucapan itu beralasan
c. Ucapan itu berfaedah
d. Ucapan itu tepat pada waktunya

4. Perbuatan Benar (Sammā Kammantā)


Perbuatan Benar adalah berusaha
menahan diri dari pembunuhan,
pencurian, perbuatan melakukan
perbuatan seksualitas yang tidak
dibenarkan (asusila), perkataan tidak
benar, dan penggunaan cairan atau obat-
obatan yang menimbulkan ketagihan dan
melemahkan kesadaran.

5. Penghidupan Benar (Sammā Ājiva)


Penghidupan Benar berarti
menghindarkan diri dari bermata
pencaharian yang menyebabkan kerugian
atau penderitaan makhluk lain. "Terdapat
lima objek perdagangan yang seharusnya
dihindari (Aṇguttara Nikāya, III, 153),
yaitu:

a. makhluk hidup
b. senjata
c. daging atau segala sesuatu yang
berasal dari penganiayaan mahluk-
mahluk hidup
d. minum-minuman yang memabukkan
atau yang dapat menimbulkan
ketagihan,
e. racun

Dan terdapat pula lima pencaharian salah


yang harus dihindari (Majjima Nikāya.
117), yaitu:
a. Penipuan
b. Ketidaksetiaan
c. Penujuman
d. Kecurangan
e. Memungut bunga yang tinggi (praktik
lintah darat)

6. Usaha Benar (Sammā Vāyama)


Usaha Benar dapat diwujudkan dalam
empat bentuk tindakan, yaitu: berusaha
mencegah munculnya kejahatan baru,
berusaha menghancurkan kejahatan yang
sudah ada, berusaha mengembangkan
kebaikan yang belum muncul, berusaha
memajukan kebaikan yang telah ada.

7. Perhatian Benar (Sammā Sati)


Perhatian Benar dapat diwujudkan dalam
empat bentuk tindakan, yaitu:

- perhatian penuh terhadap badan


jasmani (kãyãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap perasaan
(vedanãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap pikiran
(cittanupassanã)
- perhatian penuh terhadap
mental/batin (dhammanupassanã)

Keempat bentuk tindakan tersebut bisa


disebut sebagai Vipassanã Bhãvanã.

8. Konsentrasi Benar (Sammā Samādhi)


Konsentrasi Benar berarti pemusatan
pikiran pada objek yang tepat sehingga
batin mencapai suatu keadaan yang lebih
tinggi dan lebih dalam.

Kamma atau Karma

Selain nilai-nilai moral di atas, agama


Buddha juga amat menjunjung tinggi
karma sebagai sesuatu yang berpegang
pada prinsip hukum sebab akibat. Secara
umum, kamma (bahasa Pali) atau karma
(bahasa Sanskerta) berarti perbuatan
atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik
dan ada pula aksi atau karma buruk. Saat
ini, istilah karma sudah terasa umum
digunakan, namun cenderung diartikan
secara keliru sebagai hukuman
turunan/hukuman berat dan lain
sebagainya.

Umat Buddha memandang hukum karma


sebagai hukum universal tentang sebab
dan akibat yang juga merupakan hukum
moral yang impersonal. Menurut hukum
ini sesuatu (yang hidup, yang tidak hidup,
maupun yang abstrak atau yang ada
karena kita buat dalam pikiran sebagai
ide) yang muncul pasti ada sebabnya.
Tidak ada sesuatu yang muncul dari
ketidakadaan. Dengan kata lain, tidak
ada sesuatu atau makhluk yang muncul
tanpa ada sebab lebih dahulu.[38]

Buddha dalam Nibbedhika Sutta;


Aṇguttara Nikāya 6.63 menjelaskan
secara jelas arti dari kamma:[39]

"Para bhikkhu, cetana (kehendak)lah yang


kunyatakan sebagai kamma. Setelah
berkehendak, orang melakukan suatu
tindakan lewat tubuh, ucapan atau
pikiran."

Jadi, kamma berarti semua jenis


kehendak (cetana), perbuatan yang baik
maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh
jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan
pikiran (mano), yang baik (kusala)
maupun yang jahat (akusala).

Kamma atau sering disebut sebagai


Hukum Kamma merupakan salah satu
hukum alam yang bekerja berdasarkan
prinsip sebab akibat. Selama suatu
makhluk berkehendak, melakukan
kamma (perbuatan) sebagai sebab maka
akan menimbulkan akibat atau hasil.
Akibat atau hasil yang ditimbulkan dari
kamma disebut sebagai Kamma Vipaka.

Dalam Samuddaka Sutta; Saṃyutta


Nikāya 11.10 {S 1.227}, Guru Buddha
menjelaskan cara bekerjanya kamma:[39]
"Sesuai dengan benih yang di tabur,
begitulah buah yang akan dipetiknya.
Pembuat kebajikan akan mendapatkan
kebaikan, pembuat kejahatan akan
memetik kejahatan pula. Taburlah biji-biji
benih dan engkau pulalah yang akan
merasakan buah daripadanya".
Kelahiran Kembali

Situs kremasi Gautama, Stupa


Ramabhar di Kushinagar, Uttar
Pradesh, India

Kelahiran kembali (Pali: Punabbhava)


merupakan 'suatu proses menjadi
ada/eksis kembali dari suatu makhluk
hidup di kehidupan mendatang (setelah
ia meninggal/mati) sehingga lahir (jati), di
mana proses ini merupakan akibat atau
hasil dari kamma (perbuatan)nya pada
kehidupan lampau.[40] Proses menjadi
ada/eksis atau kelahiran kembali atau
punabbhava terjadi pada semua makhluk
hidup yang belum pencapai Penerangan
Sempurna, ketika mereka telah
meninggal/mati.

Dalam Hukum Paticcasamuppada


(Sebab-Musabab yang Saling
Bergantungan), proses menjadi
ada/eksis atau punabbhava atau
kelahiran kembali disebabkan oleh
Kamma (perbuatan) yang kemudian
menghasilkan kemelekatan kepada
segala sesuatu termasuk kemelekatan
pada hidup dan kehidupan. Jadi makhluk
hidup apa pun yang mengalami proses
menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali
(punabbhava), merupakan makhluk yang
masih memiliki kemelekatan pada
sesuatu dalam kehidupan sebelumnya.
Dan seperti yang diuraikan dalam Hukum
Paticcasamuppada kemelekatan timbul
karena adanya Tanha
(keinginan/kehausan) dan juga Avijja
(ketidaktahuan/kebodohan).

Konsep Ketuhanan dalam


Buddhisme
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan
Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama
Buddha berbeda dengan konsep dalam
agama Abrahamik di mana alam
semesta diciptakan oleh Tuhan dan
tujuan akhir dari hidup manusia adalah
kembali ke Nibbana surga ciptaan Tuhan
yang kekal. Dalam
Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta Sutta, Udāna
8.3:
... Atthi, ... Ada, para bhikkhu,
bhikkhave, yang tidak dilahirkan,
ajātaṁ tidak menjelma,
abhūtaṁ tidak tercipta, tidak
akataṁ terkondisi. Jika, para
asaṅkhataṁ. bhikkhu, tidak ada
No cetaṁ, yang tidak dilahirkan,
bhikkhave, tidak menjelma,
abhavissa tidak tercipta, tidak
ajātaṁ terkondisi, maka
abhūtaṁ kalian tidak mungkin
akataṁ mengetahui jalan
asaṅkhataṁ, membebaskan diri
nayidha jātassa dari yang dilahirkan,
bhūtassa yang menjelma, yang
katassa diciptakan, dan yang
saṅkhatassa terkondisi. Tetapi,
nissaraṇaṁ karena ada yang
paññāyetha. tidak dilahirkan, tidak
Yasmā ca kho, menjelma, tidak
bhikkhave, atthi tercipta, tidak
ajātaṁ terkondisi, maka
abhūtaṁ kalian dapat
akataṁ mengetahui jalan
asaṅkhataṁ, membebaskan diri
tasmā jātassa dari yang dilahirkan,
bhūtassa yang menjelma, yang
katassa diciptakan, dan yang
saṅkhatassa terkondisi. ...
nissaraṇaṁ
paññāyatī”ti. ...

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari


Sang Buddha yang merupakan konsep
Nibbāna yang kemudian diinterpretasikan
sebagai Ketuhanan Yang Mahaesa.
Nibbāna sebagai Ketuhanan Yang
Mahaesa dalam bahasa Pali adalah
"ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ"
yang artinya "Suatu Yang Tidak
Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak
Tercipta, dan Tidak Terkondisi (Mutlak)".
Dalam hal ini, Nibbāna sebagai
Ketuhanan Yang Mahaesa adalah
sesuatu yang tidak terpersonifikasi atau
tanpa-Aku (anatta). Dengan adanya Yang
Mutlak atau Yang Tidak Terkondisi
(asaṅkhataṁ) maka manusia yang
berkondisi (saṅkhataṁ) dapat mencapai
kebebasan dari lingkaran kehidupan
(saṃsāra).[41]
Dengan membaca konsep Ketuhanan
Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat
bahwa konsep Ketuhanan dalam agama
Buddha adalah berlainan dengan konsep
Ketuhanan yang diyakini oleh agama-
agama lain. Perbedaan konsep tentang
Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini,
sebab masih banyak umat Buddha yang
mencampur-adukkan konsep Ketuhanan
menurut agama Buddha dengan konsep
Ketuhanan menurut agama-agama lain
sehingga banyak umat Buddha yang
menganggap bahwa konsep Ketuhanan
dalam agama Buddha adalah sama
dengan konsep Ketuhanan dalam
agama-agama lain.
Bila kita mempelajari ajaran agama
Buddha seperti yang terdapat dalam
kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya
konsep Ketuhanan yang berbeda dengan
konsep Ketuhanan dalam agama lain,
tetapi banyak konsep lain yang tidak
sama pula. Konsep-konsep agama
Buddha yang berlainan dengan konsep-
konsep dari agama lain antara lain
adalah konsep-konsep tentang alam
semesta, terbentuknya Bumi dan
manusia, kehidupan manusia di alam
semesta, kiamat dan Keselamatan atau
Kebebasan.

Di dalam agama Buddha tujuan akhir


hidup manusia adalah mencapai
kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi)
atau pencerahan sejati di mana satu
makhluk tidak perlu lagi mengalami
proses tumimbal lahir. Untuk mencapai
itu pertolongan dan bantuan pihak lain
tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa-
dewi yang dapat membantu, hanya
dengan usaha sendirilah kebuddhaan
dapat dicapai. Buddha hanya merupakan
contoh, juru pandu, dan guru bagi
makhluk yang perlu melalui jalan mereka
sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan
melihat realitas sebagaimana adanya.

Moralitas dalam ajaran


Buddha
Sebagaimana agama Kristen, Islam, dan
Hindu, ajaran Buddha juga menjunjung
tinggi nilai-nilai kemoralan.

Moralitas dalam ajaran Buddha bertujuan


praktis menuntun orang menjuju tujuan
akhir kebahagiaan tertinggi. Dalam jalan
umat Buddha menuju pembebasan,
setiap individu dianggap bertanggung
jawab untuk keberuntungan dan
kemalangannya sendiri. Setiap individu
diharapkan mengupayakan
pembebasannya sendiri melalui
pemahaman dan usaha. Keselamatan
umat Buddha adalah hasil
pemgembangan moral orang itu sendiri
dan tidak dapat diadakan atau diberikan
kepada seseorang oleh suatu perantara
eksternal. Misi Sang Budda adalah untuk
mencerahkan manusia akan sifat
keberadaan dan untuk menasihatkan
bagaimana cara terbaik untuk
kebahagiaan mereka dan keuntungan
orang lain. Secara konsekuen, etika umat
Buddha bukan merupakan perintah apa
pun yang memaksa manusia untuk
mengikutinya.[42]

Moralitas bagi umat Buddha dapat


dirangkum dalam tiga prinsip sederhana:
"Hindarkan kejahatan; lakukan kebaikan;
sucikan pikiran. Inilah nasihat yang
diberikan oleh semua Buddha."
(Dhammapada:183)[43]
Lima Sila (Pañcasīla)

Nilai-nilai kemoralan yang diharuskan


untuk umat awam umat Buddha biasanya
dikenal dengan Pañcasīla. Kelima nilai-
nilai kemoralan untuk umat awam
adalah:[44]

Pāṇātipātā veramaṇī sikkhāpadaṁ


samādiyāmi
Adinnādānā veramaṇī sikkhāpadaṁ
samādiyāmi
Kāmesu micchācārā veramaṇī
sikkhāpadaṁ samādiyāmi
Musāvāda veramaṇī sikkhāpadaṁ
samādiyāmi
Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā
veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi

Yang artinya:

Aku bertekad akan melatih diri


menghindari pembunuhan makhluk
hidup.
Aku bertekad akan melatih diri
menghindari pencurian/mengambil
barang yang tidak diberikan.
Aku bertekad akan melatih diri
menghindari melakukan perbuatan
asusila.
Aku bertekad akan melatih diri
menghindari melakukan perkataan
dusta.
Aku bertekad akan melatih diri
menghindari makanan atau minuman
yang dapat menyebabkan lemahnya
kesadaran.

Aliran dan tradisi Ajaran


Buddha
Umat Buddha secara umum
mengklasifikasikan diri mereka sebagai
Theravāda atau Mahāyāna.[45] Klasifikasi
ini juga digunakan oleh beberapa ahli[46]
dan merupakan salah satu penggunaan
yang lazim dalam bahasa Inggris.

Buddha Mahāyāna
Patung Buddha Tian Tan. Vihara Po Lin,
pulau Lantau, Hong Kong

Sutra Teratai merupakan Referensi


sampingan penganut Buddha aliran
Mahāyāna. Tokoh Kwan Im yang
bermaksud "maha mendengar" atau
nama Sanskerta-nya "Avalokiteśvara"
merupakan tokoh Mahāyāna dan
dipercayai telah menitis beberapa kali
dalam alam manusia untuk memimpin
umat manusia ke jalan kebenaran. Dia
diberikan sifat-sifat keibuan seperti
penyayang dan lemah lembut. Menurut
sejarahnya Avalokitesvara adalah
seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi
setelah pengaruh Buddha masuk ke
Tiongkok, profil ini perlahan-lahan
berubah menjadi sosok feminin dan
dihubungkan dengan legenda yang ada di
Tiongkok sebagai seorang dewi.

Pemujaan kepada Buddha Amitabha


(Amitayus) merupakan salah satu aliran
utama Buddha Mahāyāna. Surga Barat
merupakan tempat tujuan umat Buddha
aliran Sukhavati selepas mereka
meninggal dunia dengan berkat kebaktian
mereka terhadap Buddha Amitabha di
mana mereka tidak perlu lagi mengalami
proses tumimbal lahir dan dari sana
menolong semua makhluk hidup yang
masih menderita di bumi.

Mereka mempercayai mereka akan lahir


semula di Sorga Barat untuk menunggu
saat Buddha Amitabha memberikan
khotbah Dhamma dan Buddha Amitabha
akan memimpin mereka ke tahap
mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan
di mana kejahilan, kebencian dan
ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan
pemahaman Buddha yang paling disukai
oleh orang Tionghoa.

Seorang Buddha bukannya dewa atau


makhluk suci yang memberikan
kesejahteraan. Semua Buddha adalah
pemimpin segala kehidupan ke arah
mencapai kebebasan daripada
kesengsaraan. Hasil amalan ajaran
Buddha inilah yang akan membawa
kesejahteraan kepada pengamalnya.

Menurut Buddha Gautama, kenikmatan


Kesadaran Nirwana yang dicapainya di
bawah pohon Bodhi, tersedia kepada
semua makhluk apabila mereka
dilahirkan sebagai manusia. Menekankan
konsep ini, aliran Buddha Mahāyāna
khususnya merujuk kepada banyak
Buddha dan juga bodhisattva (makhluk
yang tekad "committed" pada Kesadaran
tetapi menangguhkan Nirvana mereka
agar dapat membantu orang lain pada
jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati
teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha
yang lalu dan hidup mereka telah disebut
"spoken of", termasuk Buddha yang akan
datang, Buddha Maitreya .

Buddha Theravāda

Aliran Theravāda adalah aliran yang


memiliki sekolah Buddha tertua yang
bertahan sampai saat ini, dan untuk
berapa abad mendominasi Sri Lanka dan
wilayah Asia Tenggara (sebagian dari
Tiongkok bagian barat daya, Kamboja,
Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan
Thailand) dan juga sebagian Vietnam.
abad ke-5. Diyakini Theravāda
merupakan wujud lain dari salah satu
aliran agama Buddha terdahulu yaitu
Sthaviravada (Bahasa Sanskerta: Ajaran
Para Sesepuh), sebuah aliran agama
Buddha awal yang terbentuk pada Sidang
Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga
merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada
yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of
Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion
of Reason).

Sejarah

Sejarah Theravāda tidak lepas dari


sejarah Buddha Gautama sebagai pendiri
agama Buddha. Setelah Sang Buddha
parinibbana (543 SM), tiga bulan
kemudian diadakan Sidang Agung
Sangha (Sangha Samaya).

Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan


setelah bulan Mei), berlangsung selama 2
bulan dipimpin oleh Y.A. Mahakassapa
dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang
semuanya Arahat. Sidang diadakan di
Gua Saptaparni di kota Rajagaha.
Sponsor sidang agung ini adalah Raja
Ajatasatu. Tujuan Sidang adalah
menghimpun Ajaran Sang Buddha yang
diajarkan kepada orang yang berlainan, di
tempat yang berlainan dan dalam waktu
yang berlainan. Mengulang Dhamma dan
Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap
murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran
lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan
Y.A. Ananda mengulang Dhamma.

Sidang Agung Sangha ke-2, pada tahun


443 SM, di mana awal Buddhisme mulai
terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok
yang ingin perubahan beberapa peraturan
minor dalam Vinaya, di sisi lain kelompok
yang mempertahankan Vinaya apa
adanya. Kelompok yang ingin perubahan
Vinaya memisahkan diri dan dikenal
dengan Mahasanghika yang merupakan
cikal bakal Mahāyāna. Sedangkan yang
mempertahankan Vinaya disebut
Sthaviravada.
Sidang Agung Sangha ke-3 (313 SM),
Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok
Sthaviravada. Sidang ini memutuskan
untuk tidak mengubah Vinaya, dan
Moggaliputta-Tissa sebagai pimpinan
sidang menyelesaikan buku Kathavatthu
yang berisi penyimpangan-penyimpangan
dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma
dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini
di tulis dan disahkan oleh sidang.
Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja
Asoka) membawa Tipitaka ini ke Sri
Lanka tanpa ada yang hilang sampai
sekarang dan menyebarkan Buddha
Dhamma di sana. Di sana ajaran ini
dikenal sebagai Theravāda.
Kitab suci ajaran Buddha

Kitab suci yang dipergunakan dalam


agama Buddha Theravāda adalah kitab
suci Tripitaka yang dikenal sebagai
Kanon Pali (Pali Canon). Tripitaka dalam
bahasa Pali umumnya disebut sebagai
Tipiṭaka. Kanon Pali merupakan kitab suci
agama Buddha yang paling tua, diketahui
hingga sekarang, dan tertulis dalam
bahasa Pali/Magadhi Kuno. Kitab ini
terbagi dalam tiga kelompok besar (yang
disebut sebagai "piṭaka" atau "keranjang")
yaitu: Vinaya Piṭaka, Sutta Piṭaka, dan
Abhidhamma Piṭaka.

Hari raya
Terdapat empat hari raya utama dalam
agama Buddha. Namun satu-satunya
yang dikenal luas masyarakat adalah
Hari Raya Trisuci Waisak, sekaligus satu-
satunya hari raya umat Buddha yang
dijadikan hari libur nasional Indonesia
setiap tahunnya.

Vesākha Pūjā (Waisak)

Penganut Buddha merayakan Hari


Waisak yang merupakan peringatan 3
peristiwa. Tiga peristiwa tersebut
meliputi hari kelahiran Pangeran
Siddharta (nama sebelum menjadi
Buddha), hari pencapaian Penerangan
Sempurna Pertapa Gautama, dan hari
Sang Buddha wafat atau mencapai
Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga
dikenal dengan nama Visakah Puja atau
Buddha Purnima di India, Vesak di
Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha
di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka.
Nama ini diambil dari bahasa Pali
"Vesākha", yang pada gilirannya juga
terkait dengan "Waishakha" dari bahasa
Sanskerta

Kathina Pūjā

Hari raya Kathina merupakan upacara


persembahan jubah kepada Sangha
setelah menjalani Vassa. Jadi setelah
masa Vassa berakhir, umat Buddha
memasuki masa Kathina atau bulan
Kathina. Dalam kesempatan tersebut,
selain memberikan persembahan jubah
Kathina, umat Buddha juga berdana
kebutuhan pokok para Bhikkhu,
perlengkapan vihara, dan berdana untuk
perkembangan dan kemajuan agama
Buddha.

Āsādha Pūjā

Kebaktian untuk memperingati Hari besar


Āsādha disebut Āsādha Pūjā / Āsāḷha
Pūjā. Hari raya Āsādha, diperingati 2
(dua) bulan setelah Hari Raya Waisak,
guna memperingati peristiwa di mana
Buddha membabarkan Dharma untuk
pertama kalinya kepada 5 orang pertapa
(Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana,
pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima
pertapa tersebut adalah Kondanna,
Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji,
dan sesudah mendengarkan khotbah
Dharma, mereka mencapai arahat. Lima
orang pertapa, bekas teman berjuang
Buddha dalam bertapa menyiksa diri di
hutan Uruvela merupakan orang-orang
yang paling berbahagia, karena mereka
mempunyai kesempatan mendengarkan
Dhamma untuk pertama kalinya.
Selanjutnya, bersama dengan Panca
Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha
membentuk Arya Sangha
Bhikkhu(Persaudaraan Para Bhikkhu
Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum
Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha,
maka Tiratana (Triratna) menjadi
lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha
dan Dhamma (yang ditemukan oleh
Buddha).

Tiratana atau Triratna berarti Tiga


Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma
dan Sangha. Tiratana merupakan
pelindung umat Buddha. Setiap umat
Buddha berlindung kepada Tiratana
dengan memanjatkan paritta Tisarana
(Sanskerta: Trisarana). Umat Buddha
berlindung kepada Buddha berarti umat
Buddha memilih Buddha sebagai guru
dan teladannya. Umat Buddha berlindung
kepada Dhamma berarti umat Buddha
yakin bahwa Dhamma mengandung
kebenaran yang bila dilaksanakan akan
mencapai akhir dari dukkha. Umat
Buddha berlindung kepada Sangha
berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha
merupakan pewaris dan pengamal
Dhamma yang patut dihormati.

Khotbah pertama yang disampaikan oleh


Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal
dengan nama Dhamma Cakka Pavattana
Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran
Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut,
Buddha mengajarkan mengenai Empat
Kebenaran Mulia (Cattāri Ariya Saccāni)
yang menjadi landasan pokok Buddha
Dhamma.

Māgha Pūjā

Hari Besar Māgha Pūjā memperingati


disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti
Agama Buddha dan Etika Pokok para
bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan
1.250 Arahat yang kesemuanya arahat
tersebut ditabiskan sendiri oleh Sang
Buddha (Ehi Bhikkhu: Bhikkhu yang
ditasbihkan sendiri oleh Sang Buddha),
yang kehadirannya itu tanpa diundang
dan tanpa ada perjanjian satu dengan
yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang
Buddha bertempat di Vihara Veluvana,
Rajagaha. Tempat ibadah agama Buddha
disebut Vihara.

Penyebaran di Asia dan


Indonesia

Peta penyebaran ajaran Buddha

Agama Buddha mulai berkembang di


India, yaitu tempat di mana Buddha
Gautama mengajarkan ajarannya.
Setelah wafatnya Buddha Gautama,
ajaran tersebut tidak lenyap begitu saja,
melainkan disebarkan oleh para pemuka
agama sehingga bertahan sampai
sekarang di berbagai belahan dunia,
khususnya di Asia.

Penyebaran di India dan Asia Tengah

Dimulai dari India, tempat di mana


Buddha Gautama lahir dan wafat. 100
tahun setelah Buddha mencapai Nirwana,
ajaran Buddha Gautama mulai memudar
sehingga para biksu disana memutuskan
untuk mulai melestarikannya agar tetap
hidup. Hal pertama yang dilakukan
adalah dengan membuat Dharma atau
pengajaran. Di India jugalah tempat di
mana mulai terbentuknya aliran
Mahāyāna dan Theravāda akibat
perselisihan antara kelompok biarawan
dan para kaum tua. Theravāda umumnya
mengajarkan bahwa tujuan tertinggi
adalah menjadi arahat, sedangkan
Mahāyāna mengajarkan bahwa tujuan
yang paling berharga adalah dengan
mencapai Kebuddhaan.

Selain melalui kaum biarawan,agama


Buddha juga disebarkan oleh raja-raja
besar di India seperti Raja Ashoka. Ia
mengajarkan kepada rakyatnya untuk
tidak berpikiran jahat seperti serakah dan
mudah marah. Ia menanamkan nilai-nilai
moral, seperti menghargai kebenaran,
cinta kasih dan amal. Ashoka juga
mengirim misionaris Buddha keberbagai
negara tetangga, termasuk ke Sri Lanka
di mana mereka diterima baik sehingga
Sri Lanka menjadi basis agama Buddha.

Penyebaran di Asia Timur

Selama abad 3 SM, Raja Asoka


mengirimkan misionaris ke barat laut
India yaitu Pakistan dan Afganistan. Misi
ini mencapai sukses besar karena
kawasan ini segera menjadi pusat
pembelajaran agama Buddha yang
memiliki banyak biksu terkemuka dan
sarjana. Ketika para pedagang Asia
Tengah datang ke wilayah ini untuk
berdagang, mereka belajar tentang
Buddhisme dan menerimanya sebagai
agama mereka. Dengan dukungan dari
pedagang, biara gua banyak didirikan di
sepanjang rute perdagangan di seluruh
Asia Tengah. Pada abad 2 SM, beberapa
kota Asia Tengah seperti Khotan, telah
menjadi pusat penting bagi Buddhisme.
Melalui Jalan Sutera inilah, pertama
kalinya orang Tiongkok mengenal agama
Buddha dari orang-orang di Asia Tengah
yang sudah beragama Buddha.

Bentuk awal penyebaran agama Buddha


di Tiongkok adalah dengan adanya
penerjemah yang bertugas
menerjemahkan teks penting mengenai
ajaran Buddha dari bahasa India ke
bahasa Tionghoa kala itu. Selain itu, juga
lahirnya berbagai karya seni dan pahat di
mana patung-patung Buddha dibuat.
Bentuk perkembangan lainnya adalah
dengan dibangunnya sekolah ajaran
Buddha di Tiongkok yang mencakup seni,
patung, arsitektur dan filsafat waktu itu.

Ada pula biarawan Tiongkok yang pergi


ke Semenanjung Korea untuk
memperkenalkan agama Buddha kepada
kerajaan-kerajaan yang ada di Korea
pada waktu itu. Sehingga pada abad ke-6
dan abad ke-7, agama Buddha telah
berkembang di bawah kerajaan tersebut.
Selain di Korea, Buddhisme juga
berkembang di kepulauan Jepang.

Penyebaran di Asia Tenggara


Persatuan Agama Buddha di
Selangor, Malaysia.

Pada awal era masehi, orang-orang di


berbagai belahan Asia Tenggara datang
untuk mengetahui ajaran Buddha sebagai
hasil dari meningkatnya hubungan
dengan para pedagang India yang datang
ke wilayah tersebut untuk berdagang.
Pedagang ini tidak hanya berdagang di
Asia Tenggara, tetapi juga membawa
agama mereka dan budaya dengan
mereka. Di bawah pengaruh mereka,
orang-orang setempat mulai mengenal
agama Buddha, tetapi tetap
mempertahankan keyakinan lama dan
adat istiadat mereka. Sejak masuk di
semenanjung Indocina (sekarang bagian
Asia Tenggara), Buddhisme mulai masuk
di Birma, Siam (sekarang Thailand),
Vietnam, semenanjung Malaya (sekarang
Malaysia Barat) dan kepulauan nusantara
(sekarang Indonesia).

Penyebaran di Nusantara

Candi Borobudur, monumen Dinasti Syailendra yang dibangun di


Magelang, Jawa Tengah.

Pada akhir abad ke-5, seorang biksu


Buddha dari India mendarat di sebuah
kerajaan di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa
Tengah sekarang. Pada akhir abad ke-7, I
Tsing, seorang peziarah Buddha dari
Tiongkok, berkunjung ke Pulau Sumatra
(kala itu disebut Swarnabhumi), yang kala
itu merupakan bagian dari kerajaan
Sriwijaya. Ia menemukan bahwa
Buddhisme diterima secara luas oleh
rakyat, dan ibu kota Sriwijaya (sekarang
Palembang), merupakan pusat penting
untuk pembelajaran Buddhisme (kala itu
Buddha Vajrāyāna). I Tsing belajar di
Sriwijaya selama beberapa waktu
sebelum melanjutkan perjalanannya ke
India.

Pada pertengahan abad ke-8, Jawa


Tengah berada di bawah kekuasaan raja-
raja Dinasti Syailendra yang merupakan
penganut Buddhisme. Mereka
membangun berbagai monumen Buddha
di Jawa, yang paling terkenal yaitu Candi
Borobudur. Monumen ini selesai di
bagian awal abad ke-9.

Di pertengahan abad ke-9, Sriwijaya


berada di puncak kejayaan dalam
kekayaan dan kekuasaan. Pada saat itu,
kerajaan Sriwijaya telah menguasai Pulau
Sumatra, Pulau Jawa dan Semenanjung
Malaya.

Akhir zaman kerajaan Hindu-Buddha

Pada akhir abad ke-13 seiring


berkembang pesatnya pengaruh Islam
dari Timur Tengah, kerajaan-kerajaan
Islam mulai berdiri di Sumatra, dan
agama Islam segera menyebar ke Jawa
dan Semenanjung Malaya lewat
penaklukan dan penyebaran sistematis
oleh sekelompok ulama yang dikenal
dengan sebutan Wali Sanga. Akibatnya
Buddhisme mengalami penurunan
popularitas dan pada akhir abad ke-15
Islam adalah agama yang dominan di
Nusantara dan Semenanjung Malaya.
Buddhisme diperkenalkan kembali ke
Nusantara hanya pada abad ke-19,
dengan kedatangan pedagang dan
orang-orang Tionghoa, Srilanka dan
imigran Buddhis lainnya.
Candi-Candi Peninggalan Kerajaan
Buddha di Nusantara

Candi-candi peninggalan agama Buddha


di Nusantara kebanyakan terdapat di
Jawa dan Sumatra, antara lain:

Candi Batujaya, stupa bata di


Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Diduga mulai dibangun pada abad ke-4
M, salah satu bangunan Buddha tertua
di Nusantara.
Candi Kalasan atau Tarabhavanam,
candi ini didirikan oleh Rakai
Panangkaran pada tahun 778 M untuk
memuja Dewi Tara. Candi ini terletak di
Yogyakarta.
Candi Sari, biara bertingkat dua yang
terkait dengan candi Kalasan.
Candi Sewu atau Prasada Vajrasana
Manjusrigrha, candi ini terletak di utara
dari Candi Prambanan dan menurut
Prasasti Manjusrigrha dibangun sekitar
tahun 792 M, dan dipersembahkan
untuk memuliakan bodhisatwa
Manjusri.
Candi Mendut, terletak pada satu garis
lurus ke arah timur dari Candi
Borobudur. Di dalamnya terdapat tiga
arca batu berukuran 3 meter yaitu
Buddha Wairocana diapit bodhisatwa
Awalokiteswara dan Wajrapani.
Candi Pawon, candi ini juga terletak
pada garis lurus arah timur antara
Candi Borobudur dan Candi Mendut.
Candi Borobudur, candi ini merupakan
candi Buddha terbesar di dunia. Candi
Borobudur dibangun oleh raja-raja
Wangsa Sailendra pada abad ke-9 M
dan bangunan candi terdiri atas
sepuluh tingkat. Candi Borobudur
terletak di Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah.
Candi Plaosan, candi ini terdiri atas
dua candi induk kembar, terletak di
arah timur Candi Sewu.
Candi Sojiwan, candi Buddha ini
dikaitkan dengan tokoh Rakryan
Sanjiwana atau Sri Kahulunnan
Pramodhawardhani. Pada bagian
kakinya terukir kisah fabel Jataka.
Candi Banyunibo, candi Buddha
terletak dekat kompleks purbakala
Ratu Boko.
Candi Muaro Jambi, kelompok candi
Buddha dari bata merah ini terletak di
tepi utara sungai Batanghari dekat
muara, Kabupaten Muaro Jambi, terkait
dengan Kerajaan Malayu di Jambi.
Candi Muara Takus, candi ini terletak di
Kabupaten Kampar, Riau.
Candi Bahal di dekat
Padangsidempuan, Sumatera Utara
merupakan bangunan bercorak
Buddha.
Candi Sumberawan, stupa ini terletak
di Kabupaten Malang, Jawa Timur,
terkait kerajaan Singhasari.
Candi Brahu, candi dari bahan bata
merah di Situs Trowulan, Jawa Timur.
Terkait kerajaan Majapahit
Candi Jabung, candi Buddha berbahan
bata merah ini juga terkait kerajaan
Majapahit. Terletak dekat Probolinggo,
Jawa Timur.

Demografis
Persentase umat Buddha berdasarkan negara,
menurut Pew Research Center, per tahun 2010.

Buddhisme diperkirakan dipraktikkan


oleh sekitar 488 juta,[web 1] 495 juta,[47]
atau 535 juta[11] penduduk dunia per
tahun 2010, merepresentasikan 7%
sampai 8% total populasi dunia.

Tiongkok merupakan negara dengan


populasi Buddhis terbesar, sekitar 244
juta jiwa atau 18,2% dari total
populasinya.[web 1] Mereka kebanyakan
adalah pengikut aliran Buddhisme
Mahāyāna, menjadikan Mahāyāna
sebagai aliran Buddhis yang terbesar
dibandingkan tradisi lainnya. Mahāyāna,
juga dipraktikkan secara luas di Asia
Timur, diikuti oleh lebih dari setengah
populasi Buddhis dunia.[web 1]

Berdasarkan analisis demografi yang


dilaporkan oleh Peter Harvey (2013)[11]:
Mahāyāna memiliki 360 juta pemeluk;
Theravāda memiliki 150 juta pemeluk;
dan Vajrāyāna memiliki 18,2 juta pemeluk.
Di luar Asia, jumlah umat Buddha
sebanyak tujuh juta jiwa.

Menurut Johnson and Grim (2013),


agama Buddha telah tumbuh dari total
138 juta penganut pada tahun 1910,
dengan 137 juta berada di Asia, menjadi
495 juta pada tahun 2010, dengan 487
juta berada di Asia.[47]

Buddha

Sepuluh negara di dunia dengan populasi


mayoritas Buddhis terbesar:
Buddhisme menurut persentase per tahun 2010[48]
Negara Estimasi populasi Buddhis % Buddhis dari total populasi

Kamboja 13.701.660 96,90%

Thailand 64.419.840 93,20%

Myanmar 38.415.960 80,10%

Bhut an 563.000 74,70%

Sri Lanka 14.455.980 69,30%

Laos 4.092.000 66,00%

Mongolia 1.520.760 55,10%

Jepang 45.807.480 at au 84.653.000 36,20% at au 67%[49]

Singapura 1.725.510 33,90%

Taiwan 4.945.600 at au 8.000.000 21,10% at au 35%[50]


Lihat pula
Agama
Buddha
Filsafat Buddha
Ajaran Buddha Vajrayana
Gautama Buddha / Siddhartha
Gautama
Agama Hindu dan Buddha dari A - Z
Amitabha
Garuda
Bahasa Palguna - Palgunadi
Sejarah Agama Buddha
Vihara
Buddha Maitreya I Kuan Tao
Catatan
1. Buddhism: The foundations of Buddhism,
The cultural context. In Encyclopædia
Britannica. Retrieved 19-07-2009, from
Encyclopædia Britannica Online Library
Edition
2. Encyclopædia Britannica Online.
Hinduism: History of Hinduism: The Vedic
period (2nd millennium – 7th century
BCE); Challenges to Brahmanism (6th –
2nd century BCE); Early Hinduism (2nd
century BCE – 4th century CE). Retrieved
19-07-2009.
3. According to Masih:[16] "Alongside
Hinduism was the non-Aryan Shramanic
culture with its roots going back to
prehistoric times."
4. Masih:[17] "This confirms that the doctrine
of transmigration is non-aryan and was
accepted by non-vedics like Ajivikism,
Jainism and Buddhism. The Indo-aryans
have borrowed the theory of re-birth after
coming in contact with the aboriginal
inhabitants of India. Certainly Jainism and
non-vedics [..] accepted the doctrine of
rebirth as supreme postulate or article of
faith."
5. Karel Werner:[18] "Rahurkar speaks of
them as belonging to two distinct 'cultural
strands' ... Wayman also found evidence
for two distinct approaches to the
spiritual dimension in ancient India and
calls them the traditions of 'truth and
silence.' He traces them particularly in the
older Upanishads, in early Buddhism, and
in some later literature."
6. Flood:[19] "The origin and doctrine of
Karma and Samsara are obscure. These
concepts were certainly circulating
amongst sramanas, and Jainism and
Buddhism developed specific and
sophisticated ideas about the process of
transmigration. It is very possible that the
karmas and reincarnation entered the
mainstream brahaminical thought from
the sramana or the renouncer traditions."
7. Padmanabh S. Jaini states:[20]
"Yajnavalkya's reluctance and manner in
expounding the doctrine of karma in the
assembly of Janaka (a reluctance not
shown on any other occasion) can
perhaps be explained by the assumption
that it was, like that of the transmigration
of soul, of non-brahmanical origin. In view
of the fact that this doctrine is
emblazoned on almost every page of
sramana scriptures, it is highly probable
that it was derived from them."
8. Govind Chandra Pande:[21] "Early
Upanishad thinkers like Yajnavalkya were
acquainted with the sramanic thinking
and tried to incorporate these ideals of
Karma, Samsara and Moksa into the vedic
thought implying a disparagement of the
vedic ritualism and recognising the
mendicancy as an ideal."
9. Kashi Nath Upadhyaya: "The sudden
appearance of this theory [of karma] in a
full-fledged form is likely due, as already
pointed out, to an impact of the
wandering muni-and-shramana-cult,
coming down from the pre-Vedic non-
Aryan time."[22]
10. Encyclopædia Britannica Online.
Buddhism: The foundations of Buddhism,
the cultural context. Retrieved 19-07-
2009.
11. "Atthako, Vâmako, Vâmadevo, Vessâmitto,
Yamataggi, Angiraso, Bhâradvâjo,
Vâsettho, Kassapo, and Bhagu" in P. 245
The Vinaya piṭakaṃ: one of the principle
Buddhist holy scriptures ..., Volume 1
edited by Hermann Oldenberg
12. Hāṇḍā: "Even so have I, monks, seen an
ancient way, an ancient road followed by
the wholly awakened ones of olden
time....Along that have I done, and the
matters that I have come to know fully as
I was going along it, I have told to the
monks, nuns, men and women lay-
followers, even monks, this Brahma-faring
brahmacharya that is prosperous and
flourishing, widespread and widely known
become popular in short, well made
manifest for gods and men."[33]

Referensi
1. Wells 2008.
2. Roach 2011.
3. Khairiah (2018). Agama Budha (http://rep
ository.uin-suska.ac.id/16977/1/Agama%
20Budha.pdf) (PDF). Pekanbaru:
Kalimedia. hlm. 2–3. ISBN 978-602-6827-
86-9.
4. "Buddhism". (2009). Encyclopædia
Britannica. Retrieved November 26, 2009,
from Encyclopædia Britannica Online
Library Edition.
5. Lopez 2001, hlm. 239.
6. "Christianity 2015: Religious Diversity and
Personal Contact" (https://web.archive.or
g/web/20170525141543/http://www.gor
donconwell.edu/resources/documents/1I
BMR2015.pdf) (PDF). gordonconwell.edu.
January 2015. Diarsipkan dari versi asli (h
ttp://www.gordonconwell.edu/resources/
documents/1IBMR2015.pdf) (PDF)
tanggal 2017-05-25. Diakses tanggal
2015-05-29.
7. Ven. Narada, Mahathera (03-11-2010). "N
I B B A N A" (http://www.samaggi-phala.o
r.id/naskah-dhamma/nibbana/) .
Samaggi Phala. Samaggi Phala. Diakses
tanggal 21-12-2015.
8. White, David Gordon (ed.) (2000). Tantra
in Practice (https://books.google.com/bo
oks?id=hayV4o50eUEC&pg=PA21) .
Princeton University Press. hlm. 21.
ISBN 0-691-05779-6.
9. Powers, John (2007). Introduction to
Tibetan Buddhism (https://books.google.
com/books?id=cy980CH84mEC&pg=PA
392) (edisi ke-Rev.). Ithaca, New York:
Snow Lion Publications. hlm. 26–27.
ISBN 978-1-55939-282-2.
10. "Candles in the Dark: A New Spirit for a
Plural World" by Barbara Sundberg
Baudot, p305
11. Harvey 2013, hlm. 5.
12. Gethin 1998, hlm. 27–28, 73–74.
13. The Reverend, Dr. Sunanda Putuwar. WFB
(1991). "Perbedaan Dan Persamaan
Antara Theravada Dan Mahayana" (http://
www.becsurabaya.org/artikel/kumpulan-
dhamma/320-perbedaan-dan-persamaan-
antara-theravada-dan-mahayana.html) .
Buddhist Education Surabaya. Buddhist
Education Surabaya. Diakses tanggal 24-
12-2015.
14. Gethin 2008, hlm. xv.
15. Warder 2000, hlm. 32.
16. Masih 2000, hlm. 18.
17. Masih 2000, hlm. 37.
18. Werner 1989, hlm. 34.
19. Flood 1996, hlm. 86.
20. Jaini 2001, hlm. 51.
21. Pande 1994, hlm. 135.
22. Upadhyaya 1998, hlm. 76.
23. Satapatha Brahmana 13.8.1.5
24. Oldenberg 1991.
25. Bronkhorst 2007.
26. Warder 2000, hlm. 30–32.
27. Warder 2000, hlm. 39.
28. Warder 2000, hlm. 33.
29. Gombrich 1988, hlm. 85.
30. Hardy 1863, hlm. 177.
31. Rhys Davids 1921, hlm. 494.
32. Hardy 1866, hlm. 44.
33. Hāṇḍā 1984, hlm. 57.
34. Rāhula 1974, hlm. 59.
35. K. Sri Dhammananda (2004). Keyakinan
Umat Buddha. Yayasan Penerbit Karaniya
dan Ehipassiko Foundation. hlm. 105.
36. Tim, Bhagavant.com. "EMPAT
KEBENARAN ARIYA (Cattari Ariya
Saccani)" (https://web.archive.org/web/2
0151225034839/http://bhagavant.com/h
ome.php?link=dhamma_sari&n_id=50) .
Bhagavant.com. Bhagavant.com.
Diarsipkan dari versi asli (http://bhagavan
t.com/home.php?link=dhamma_sari&n_i
d=50) tanggal 2015-12-25. Diakses
tanggal 24-12-2015.
37. Tim, Bhagavant.com. "Jalan Mulia
Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko
Magga)" (https://web.archive.org/web/20
160207082601/http://bhagavant.com/ho
me.php?link=dhamma_sari&n_id=51) .
Bhagavant.com. Bhagavant.com.
Diarsipkan dari versi asli (http://bhagavan
t.com/home.php?link=dhamma_sari&n_i
d=51) tanggal 2016-02-07. Diakses
tanggal 20 Desember 2015.
38. Cornelis, Wowor MA. (2004). Hukum
Kamma Buddhis. Jakarta: CV. Nitra
Kencana Buana. hlm. 2.
39. Tim, Bhagavant.com. "Kamma
(Perbuatan)" (https://web.archive.org/we
b/20151225065759/http://bhagavant.co
m/home.php?link=dhamma_sari&n_id=5
5) . Bhagavant.com. Bhagavant.com.
Diarsipkan dari versi asli (http://bhagavan
t.com/home.php?link=dhamma_sari&n_i
d=55) tanggal 2015-12-25. Diakses
tanggal 24-12-2015.
40. Tim, Bhagavant.com. "Punabhava
(Kelahiran Kembali)" (https://web.archive.
org/web/20151226022637/http://bhagav
ant.com/home.php?link=dhamma_sari&n
_id=75) . Bhagavant.com.
Bhagavant.com. Diarsipkan dari versi asli
(http://bhagavant.com/home.php?link=dh
amma_sari&n_id=75) tanggal 2015-12-
26. Diakses tanggal 25-12-2015.
41. Corneles, Wowor, M.A. (30 Oktober 2003).
"Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama
Buddha" (http://www.samaggi-phala.or.i
d/naskah-dhamma/ketuhanan-yang-maha
-esa-dalam-agama-buddha/) . Samaggi
Phala. Samaggi Phala. Diakses tanggal
20 Desember 2015.
42. K. Sri Dhammananda (2004). Keyakinan
Umat Buddha. Yayasan Penerbit Karaniya
dan Ehipassiko Foundation. hlm. 211–
212.
43. K. Sri Dhammananda (2004). Keyakinan
Umat Buddha. Yayasan Penerbit Karaniya
dan Ehipassiko Foundation. hlm. 212.
44. Paritta, Pali. "PANCASILA (Lima Latihan
Sila)" (https://web.archive.org/web/2015
1222075300/http://parittabuddhist.com/
paritta-pancasila-lima-latihan-sila/) .
ParittaBuddhist.com. Paritta dan Lagu
Buddhis. Diarsipkan dari versi asli (http://
parittabuddhist.com/paritta-pancasila-lim
a-latihan-sila/) tanggal 2015-12-22.
Diakses tanggal 20 Desember 2015.
45. Keown 1996, hlm. 12.
46. Smith 2006.
47. Johnson 2013, hlm. 34–37.
48. Pew Research Center 2012.
49. "Salinan arsip" (https://web.archive.org/w
eb/20150609154109/http://www.stat.go.
jp/data/nenkan/zuhyou/y2322a00.xls) .
Diarsipkan dari versi asli (http://www.stat.
go.jp/data/nenkan/zuhyou/y2322a00.xl
s) tanggal 2015-06-09. Diakses tanggal
2015-12-21.
50. [1] (http://www.state.gov/documents/org
anization/171672.pdf)

Sumber Internet

1. Pew Research Center. "Global Religious


Landscape: Buddhists" (https://www.pewf
orum.org/2012/12/18/global-religious-la
ndscape-buddhist/) . Pew Research
Center.
2. "Dharmacarini Manishini" (https://web.arc
hive.org/web/20130808043640/http://w
ww.westernbuddhistreview.com/vol4/ka
mma_in_context.html) . Western
Buddhist Review. Diarsipkan dari versi
asli (http://www.westernbuddhistreview.c
om/vol4/kamma_in_context.html)
tanggal 2013-08-08. Diakses tanggal
2016-01-01.

Pranala luar
Himpunan Mahasiswa Buddhis
Indonesia (HIKMAHBUDHI) (http://ww
w.hikmahbudhi.or.id/)
Perwalian Umat Buddha Indonesia
(Walubi) (http://www.walubi.or.id/)
Buddha dan Dhamma-Nya (http://www.
dhammatalks.net/index2.htm#Indone
sia)
Bhagavant.com (Ajaran Buddha
Gautama) (http://www.bhagavant.co
m/)
Samaggi Phala (Buddhist Information
Network) (http://www.samaggi-phala.o
r.id/)
(Inggris) Buddhanet.net (http://www.bu
ddhanet.net)

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Agama_Buddha&oldid=24355337"

Halaman ini terakhir diubah pada 29 September


2023, pukul 01.24. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 4.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai