Anda di halaman 1dari 51

Agama Hindu (disebut pula Hinduisme) merupakan agama dominan di Asia Selatan—terutama di India

dan Nepal—yang mengandung aneka ragam tradisi. Agama ini meliputi berbagai aliran—di antaranya
Saiwa, Waisnawa, dan Sakta—serta suatu pandangan luas akan hukum dan aturan tentang "moralitas
sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Agama Hindu cenderung
seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang
baku dan seragam.[1]

Agama Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini,[a] dan umat
Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म),[b] artinya
"darma abadi" atau "jalan abadi"[11] yang melampaui asal mula manusia.[12] Agama ini menyediakan
kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—
seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.

Para ahli dari Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan
kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya
meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan
tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan
dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, "sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga
sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di bawah dominansi
kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas[13]), agama Hindu
ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen.
Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang
menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada
abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan jati diri bangsa India.

Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa),
perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut sadu (orang suci)
memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu
melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi
mencapai moksa.

Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar") dan Smerti (apa
yang "diingat"). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan
bahkan kaidah arsitektur Hindu.[14] Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya
tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti, dan Agama (semuanya
tergolong Smerti).[14]

Dengan penganut sekitar 1 miliar jiwa,[15] agama Hindu merupakan agama terbesar ketiga di dunia,
setelah Kristen dan Islam.
PERKEMBANGAN AGAMA HINDU-BUDHA DI INDIA Ujang Sudrajat/Pis Perkembangan
Agama Hindu-Budha tidak dapat lepas dari peradaban lembah Sungai Indus di India, Di Indialah
mulai tumbuh dan berkembang agama Hindu dan Budha Baiklah kita mulai Pembahasan
mengenai perkembangan Agama Hindu-Budha di India. 1.Agama Hindu AGAMA Hindu
sebenarnya merupakan Sinkretisme (percampuran) antara kebudayaan bangsa Arya dengan
kebudayaan bangsa Dravida. Sifatnya Polytheisme, yaitu percaya terhadap banyak dewa, tiap-
tiap dewa merupakan lambang kekuatan terhadap Alam, Penganut Agama Hindu percaya setiap
dewa memiliki peranan dalam mengatur kehidupan manusia. Di antara dewa yang mereka yakini
adalah tiga dewa utama yang dikenal dengan Trimurti, yaitu Brahma sebagai dewa pencipta,
Wisnu sebagai dewa pelindung, dan Syiwa sebagai dewa penghancur karena agama hindu
bersifat polytheisme atau percaya terhadap bannyak dewa maka mereka juga mempercayai dewa
lainya seperti: Dewa Pretivi sebagai dewa Bumi, Vayu sebagai Dewa Angin, Varuna sebagai
Dewa laut,dan Agni sebagai sebagai Dewa Api,Percampuran kebudayaan Arya dengan penduduk
Weda menghasilkan budaya Weda yang menjadi cikal bakal lahirnya peradaban Hindu. Sejak itu
agama Hindu mulai berkembang di India. Dalam bidang kemasyarakatan, agama Hindu
mengenal istilah tingkatan sosial masyarakat yang disebut kasta. Penetapan kasta ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan campuran antargolongan masyarakat,Kasta
tersebut terdiri dari a. Kasta Brahmana yang terdiri dari kaum pemuka agama, b. Kasta Ksatria
yang terdiri dari, pejabat dan bangsawan, c. Kasta Waisya terdiri dari para pedagang petani,
pemilik tanah dan prajurit, d. Kasta Sudra terdiri dari para pelayan dan pekerja kasar, buruh, dan
tukang kebun,Dalam agama Hindu di ajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu
penderitaan atau kesengsaraan (samsara), akibat perbuatan (karma) yang kurang baik pada masa
sebelumnya. manusia di lahirkan kembali (reinkarnasi) memperoleh kesempatan untuk
memperbaiki diri,sehingga pada masa kelahiranya nanti dapat di lahirkan dalam kasta yang lebih
tinggi.sebaliknya jika berbuat jahat ia akan di lahirkan kembali dalam kasta yang lebih rendah
atau di lahirkan menjadi binatang. Seseorang yang telah sempurna hidupnya dapat mencapai
Moksa, yaitu lepas dari samsara,atau meninggal tanpa meninggalkan badan jasmaninya, mereka
yang telah mencapai moksa, tidak di lahirkan kembali, tetapi tinggal abadi di nirwana (surga),
dalam hal ini ajaran hindu bersifat pesimis, karena menyatakan bahwahidup berarti menderita
dan bukan menikmati isi dunia,Di dalam agama hindu ada beberapa cara untuk mencapai
Nirwana yaitu: 1.Manusia wajib menjalankan dharma,artha,dan kama. Dharma berarti memenuhi
kewajiban sebagai manuisa,artha artinya menjalankan kewajiban sebagai mana mestinya, dan
kana artinya tidak berlebihan mersakan kenikmtan duniawi. 2.Untuk Triwangsa,yang terdiri atas
kaum brahmana, kesatria dan waisya,di wajibkan mempelajari kitab kitab suci Weda,serta
berbakti kepada gurunya,setelah selesai dalam usia ia meningkat menjadi grahasta,artinya
menjadi kepala keluarga, ia di wajibkan menikah dan menjalankan tugas sebagai penggantinya
dan ia lebih tua,maka hidup yang di jalani selanjutnya adalah sebagai pariwrajaka artinya orang
yang pergi atau hilang,ia hidup sebagai fakir yang menderita dan hanya makan atas pemberian
orang.penderitaan orang.penderitaan demikian di maksudkan sebagai usaha peleburan dosa agar
dapat masuk nirwana. 3.Dilakukan upacara keagamaan yang ada pada umumnya berupa upacara
korban dan di sebut dengan yajna upacara Yajna dalam kehidupan manuisia ada beberapa bagian
yaitu Yajna dalam kehidupan manusia ada beberapa bagian yaitu Yajna besar dan Yajna kecil.
Tentu setiap agama mempunyai kitab masing- masing begitu juga dengan agama hindu, kitab
utamanya adalah Weda atau Veda artinya pengetahuan tentang agama, di mana pembagianya
terdiri dari 4 buah kitab yaitu:(1). Regveda(2). Samaweda (3). Yajurweda(4). Atharwaweda Di
samping kitab Weda atau Veda ada juga di kenal kitab Brahmana,dan kitab Upanisad.kitab
Brahmana merupakan tafsir kitab Weda,sedangkan kitab Upanisad berisi tentang ajaran tentang
cara-cara tentang menghindarkan dari samsara. Dalam agama hindu, ada babakan waktu,
diantaranya: 1.Zaman Weda Kata weda berasal dari kata Vid yang artinya mengetahui. Weda
merupakan sastra tertua di dunia yang pengaruhnya sangat penting bagi perkembangan agama
hindu.zaman weda meliputi zaman weda kuno,zaman brahmana dan zaman Upanisad. a.Zaman
Weda Kuno periode zaman weda kuno bisa dikatakan pula sebagai awal kedatangan bangsa Arya
di Lemba Sungai Indus sekitar 1500 SM. Dalam masa pertama priode ini system kepercayaan
beraliran politeisme yakni sistem kepercayaan terhadap banyak dewa. b.Zaman Brahmana
Zaman ini merupakan perkembangan weda yang berpusat pada kehidupan keagamaan yang
berupa ritual-ritual upacara persembahan kepada keyakinan mereka,pada zaman ini kedudukan
brahmana sangat penting,Mengapa,karena tanpa ada adanya brahmana maka upacara tidak dapat
di laksanakan. c.Zaman Upanisad zaman ini berpangkal pada filosofi kerohanian,di zaman ini
pengetahuan batin sehingga membuka takbir alam ghaib. Dalam proses perkembangannya agama
hindu mengalami kemunduran sekitar abad ke 6 SM yang di sebabkan beberapa faktor: 1.kaum
brahmana yang memonopoli upacara membuat sebagai dari mereka bertindak sewenang-
wenang.contoh: rakayat di bebankan untuk memberikan korban yang telah di tetapkan. 2.sistem
kasta di india yang membedakan derajat dan martabat manusia berdasarkan kelahiranya. 3.timbul
golongan yang berusaha mencari jalan sendiri untuk mencapai hidup abadi yang sejati yang di
himpun oleh sidharta.a 2.Agama Budha Agama budha di ajarkan oleh sidharta,putra Raja
sudhodama dari kerajaan kapilawastu,sidharta berarti orang yang mencapai tujuanya ia juga di
sebut budha Gautama karena telah menerima Bodhi,atau juga di sebut cakyamuni yang berarti
orang bijak dari keturunan suku bangsa cakaya. Peristiwa kelahiran,memrima penerangan
agung,dan kematianya terjadi pada tanggal yang bersamaan,yaitu waktu bulan purnama dalam
bulan mei,ketiga peristiea tersebut di rayakan umat budha sebagai hari waisak,sedangkan pada
keempat tempat suci itu di beri tanda oleh kaisar ashoka sebagai lambang kelahiran budha berupa
bunga seroja,pohon pippala atau Bodhi sebagai lambang mulai memberikan ajaran dan stupa
sebagai lambang kematianya,Seperti halnya agama Hindu, India juga menjadi cikal bakal
berkembangnya agama Buddha. Agama ini lahir sebagai akibat rasa prihatin dari Siddharta
Gautama putra raja Suddodhana melihat penderitaan rakyat yang ada di luar lingkungan
kerajaan, seperti kehidupan pengemis, orang sakit, dan penderitaan lainnya.Dalam
perkembangannya agama Buddha mendapat sambutan yang baik dari rakyat karena tidak
mengenal kasta. Agama Buddha berpedoman kepada kitab tripitaka yang mengajarkan Empat
Kebenaran Utama dan Delapan Jalan Kebenaran. Ajaran itu merupakan pengalaman Siddharta
Gautama selama mengembara untuk mencari makna kehidupannya. Seseorang yang mau masuk
agama budha di wajibkan mengucapkan tridharama,yang berarti tiga kewajiban,yaitu: a.saya
mencari perlindungan pada budha. b.saya mencari perlindungan pada dharma. c.saya mencari
perlindungan pada sanggha. Ada empat tempat yang di anggap suci oleh umat budha yaitu:
1.Taman lumbini di kapilawastu yang menjadi tempat kelahiran si dhrta tahun 563 SM. 2.bodh
gaya,sebagai tempat si dharta menerima penerangan agung. 3.Benares,sebagai tempat si dhrta
mengajarkan ajaranya. 4.kucinegara,sebagai tempt wafatnya sang budha Gautama tahun 482 SM.
Setiap agama pasti memilki kitabnya masing masing begtitupun dengan agama budha,ajaran
agama budha di bukukukan dalam kitab Tripitaka artinya (tiga keranjang) kitab tripitaka terdiri
atas 3 bagian yaitu: 1.Sutta Pitaka 2.Vinaya Vitaka 3.Abdidharma Vitaka Setelah mengalami
perkembanyangan yang pesat dan memiliki umat yang banyak, dalam perkembangan
selanjutnya, agama Buddha terpecah menjadi dua golongan, yaitu Theravada atau Hinayana dan
Mahayana. Golongan yang pertama meyakini bahwa jalan individual dengan aturan yang sangat
ketat merupakan jalan terbaik supaya terbebas dari karma dan mencapai nirwana. Para
pengikutnya banyak terdapat di Sri Langka dan Asia Tenggara. Adapun golongan yang kedua,
yakni Mahayana merupakan ajaran yang lebih universal dan menyatakan bahwa ajaran Buddha
dipersembahkan untuk semua bangsa. Untuk terhindar dari karma, manusia harus bekerja sama
dengan orang lain dan memelihara tanggung jawab sosialnya. Sangat jelas bahwa agama budha
pernah berpengaruh besar di india,yaitu pada zaman pemerintahan raja asoka,bahkan menjadi
agama Negara.tetapi dalam perkembangan selanjutnya di india,pengikut agama budha semakin
berkurang hal ini di sebabkan: 1.Setelah kaisar Raja Ashoka meninggal (232 SM) tidak ada raja-
raja yang mau melindungi dan mengembangkan agama budha di india. 2.Agama hindu berusaha
memperbaiki kelemahan-kelemahannya sehingga pengikut pengikutnya banyak yang kembali.

Mine coins - make money: http://bit.ly/money_crypto


Etimologi

Dalam teks berbahasa Arab, al-Hind adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suku bangsa di suatu
daerah yang kini disebut India, sedangkan 'Hindu' atau 'Hindoo' digunakan sejak akhir abad ke-18 dan
seterusnya oleh orang Inggris untuk menyebut penduduk 'Hindustan', yaitu bangsa di sebelah barat
daya India. Akhirnya, 'Hindu' menjadi istilah padanan bagi 'orang India' yang bukan Muslim, Sikh, Jaina,
atau Kristen, sehingga mencakup berbagai penganut dan pelaksana kepercayaan tradisional yang
berbeda-beda. Akhiran '-isme' ditambahkan pada kata Hindu sekitar tahun 1830-an untuk merujuk pada
kebudayaan dan agama kasta brahmana yang berlainan dengan agama lainnya, dan kemudian istilah
tersebut diterima oleh orang India sendiri dalam hal membangun jati diri bangsa untuk menentang
kolonialisme, meski istilah 'Hindu' pernah dicantumkan dalam babad berbahasa Sanskerta dan Bengali
sebagai antonim bagi 'Yawana' atau Muslim, sekitar awal abad ke-16.

— Gavin Flood, An Introduction to Hinduism.[16]

Kiri: Peta kawasan peradaban Lembah Indus (ditandai dengan warna hijau) beserta kota-kota kuno di
sekitar aliran sungai Sindhu.

Kanan: Peta aliran sungai Sindhu di negara Pakistan, yang terletak di antara negara Afghanistan dan
India.

Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu nama sebuah
sungai di sebelah barat daya Subbenua India—sebagian besar alirannya terletak di wilayah negara
Pakistan—yang dalam bahasa Inggris disebut Indus.[16][c] Menurut Gavin Flood, pada mulanya istilah
'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut suku bangsa yang tinggal di
seberang sungai Sindhu.[16] Para sejarawan pun menyebut peradaban suku tersebut sebagai Peradaban
Lembah Indus. Maka dari itu, awalnya istilah 'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu
pada suatu agama.

Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Europa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada negeri
bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar sungai Sindhu.[19] Istilah Arab tersebut berasal istilah Persia
Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-13, Hindustan muncul sebagai nama
alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti "Negeri para Hindu".[20]

Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa Sanskerta seperti
Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, kr. 1450) dan beberapa teks mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad
ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali, seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata. Istilah
itu digunakan untuk membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha.[21] Sejak abad ke-18 dan
seterusnya, istilah Hindu digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para
penganut agama tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa Inggris pada
abad ke-19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli India.

Definisi

Studi tentang India beserta kebudayaan dan agamanya—demikian pula definisi "Hinduisme"—telah
dibentuk oleh minat kolonialisme, serta gagasan orang Barat tentang agama tersebut.[22][23] Sejak
1990-an, pengaruh-pengaruh beserta dampaknya telah menjadi topik perdebatan di kalangan ahli
Hindu,[22] dan turut dicampuri oleh kritik-kritik terhadap India menurut pandangan Barat.[24] Karena
istilah tersebut melingkupi berbagai tradisi dan gagasan yang luas, maka sulit untuk memperoleh definisi
yang komprehensif.[16] Tanpa keseragaman, Hinduisme didefinisikan sebagai agama, tradisi
keagamaan, dan seperangkat kepercayaan religius.[25]

Pengaruh kolonial

Gagasan untuk sebuah sebutan umum bagi beberapa aliran kepercayaan dan tradisi di India sudah
mendapat perhatian sejak abad ke-12.[26][27] Gagasan "Hinduisme" sebagai "tradisi keagamaan dunia
yang tunggal" dipopulerkan pada abad ke-19 oleh Indolog Eropa yang mengacu kepada "kasta-kasta
brahmana" sebagai informasi mereka tentang agama-agama di India.[28] Hal ini mengacu pada suatu
kecenderungan untuk menegaskan sastra dan keyakinan terhadap Weda sebagai "esensi" bagi praktik
keagamaan Hindu pada umumnya, serta bagi hubungan 'doktrin Hindu' masa kini dengan berbagai
perguruan Wedanta (khususnya Adwaita Wedanta).[23]

Kolonialisme telah menjadi faktor signifikan dalam pengaruh kasta brahmana dan "brahmanisasi" dalam
masyarakat Hindu. Adat kaum brahmana juga memengaruhi pengertian Hinduisme di mata orang Eropa.
Kaum brahmana melestarikan kitab-kitab Hindu yang kemudian diteliti oleh orang-orang Eropa.
Kewenangan kitab-kitab tersebut telah menjadi sasaran penelitian orang Eropa. Penetapan basis-basis
tekstual agama Hindu oleh kaum orientalis Eropa didasari oleh kecenderungan untuk mengacu kepada
otoritas tertulis daripada otoritas lisan. Kaum brahmana dan ilmuwan Eropa memiliki persepsi yang
sama tentang "suatu deklinasi umum dari sebuah agama yang mulanya murni".[22]

Pendapat orang Hindu

Menurut Sarvepalli Radhakrishnan, "Hinduisme tidak sekadar keyakinan. Ia adalah gabungan antara
penalaran dan intuisi yang tak dapat didefinisikan, namun hanya bisa dirasakan."[29]

Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah jalan hidup tradisional.[30] Banyak penganutnya yang menyebut
Hinduisme sebagai Sanātana-dharma, artinya "darma yang abadi" atau "jalan yang abadi".[11] Istilah ini
mengacu kepada kewajiban "abadi" yang harus dijalankan oleh seluruh umat Hindu—tanpa memandang
derajat, kasta, atau sekte/aliran—seperti kejujuran, tidak menyakiti makhluk hidup, menjaga kesucian,
berniat baik, pemaaf, bersabar, mengendalikan nafsu, mengendalikan diri sendiri, murah hati, dan
bertafakur. Ini berbeda dengan swadarma, artinya "darma seseorang", yaitu kewajiban yang harus
dijalankan sesuai aliran yang diikuti dan tingkatan kehidupan.[31] Menurut Kim Knott, perihal darma ini
mengacu pada gagasan bahwa sumbernya melampaui sejarah umat manusia, dan kebenarannya
disampaikan oleh Tuhan (Sruti) serta diwariskan dari zaman ke zaman, hingga masa kini, dalam suatu
kumpulan kitab tertua di dunia, yaitu Weda.[12]

Menurut Encyclopædia Britannica:

Pada masa kini, istilah [Sanatana-dharma] itu pun digunakan oleh para pemuka, reformis, dan nasionalis
Hindu untuk menyebut Hinduisme sebagai suatu agama dunia yang bersatu. Maka dari itu, Sanatana-
dharma menjadi sinonim bagi kebenaran dan ajaran Hindu yang "abadi", yang kemudian dipahami
bahwa tidak hanya transenden bagi sejarah dan tak berubah-ubah, namun juga tak terbagi-bagi dan
pada pokoknya bukanlah sektarian.[d][31]

Sebagai tanggapan atas kolonialisme dan orientalisme Barat, para pemuka dan ahli Hindu
menginterpretasikan agamanya dalam suatu upaya yang disebut "modernisme Hindu" oleh orang Barat.
Tokoh terkemuka dalam upaya tersebut adalah Swami Vivekananda, Sarvepalli Radhakrishnan, dan
Mahatma Gandhi.[32] Menurut Gavin Flood, Vivekanda (1863–1902) adalah tokoh penting dalam
pengembangan pemahaman diri umat Hindu masa kini dan telah merumuskan pandangan terhadap
Hinduisme bagi orang Barat.[33] Intisari dalam filsafatnya adalah gagasan bahwa "percikan dari Tuhan"
berada dalam setiap makhluk hidup, sehingga seluruh umat manusia dapat mencapai persatuan dengan
"sifat ilahi bawaan" tersebut, dan dengan memandang bahwa sifat ilahi ini juga terkandung pada setiap
orang maka berkembanglah kasih sayang dan harmoni sosial.[34] Menurut Flood, pandangan
Vivekananda terhadap Hinduisme adalah yang paling umum diterima oleh kebanyakan umat Hindu
golongan menengah berbahasa Inggris (English-speaking middle-class Hindus) pada masa kini.[35]

Sarvepalli Radhakrishnan adalah salah satu cendekiawan terpelajar dari India yang bergelut dengan
filsafat Barat dan India.[36] Ia mencari keselarasan antara rasionalisme barat dengan Hinduisme, dan
memperkenalkan Hinduisme sebagai pengalaman religius yang pada hakikatnya rasional dan humanistis.
[37][e] Wawasan Radhakrishnan disebut sangat relevan dan penting dalam membentuk jati diri Hindu
kontemporer.[37]

Pendapat orang Barat

Monier-Williams (1819–1899), Profesor Sastra Sanskerta dan Indolog terawal, berpendapat bahwa
"berawal dari Weda, Hinduisme telah merangkul berbagai bentuk kepercayaan, dan menyajikan fase
yang cocok bagi berbagai pikiran. Paham tersebut begitu toleran, rendah hati, komprehensif, dan
menerima [berbagai bentuk tradisi]."[f]

Toleransi agama Hindu terhadap aneka ragam aliran kepercayaan dan tradisi yang berbeda-beda
membuatnya sulit untuk didefinisikan sebagai suatu agama menurut pemahaman tradisional orang
Barat.[41] Dalam sejumlah kajian didapati bahwa agama Hindu dapat dipandang sebagai suatu kategori
dengan "batas-batas yang kabur", daripada suatu lembaga yang tegar dan terdefinisikan dengan baik.
Beberapa aktivitas keagamaan Hindu dapat dipandang sebagai hal yang lazim dalam agama tersebut,
sementara yang tak lazim pun masih dapat dimasukkan ke dalam kategori agama Hindu. Berdasarkan
pemikiran-pemikiran tersebut, Ferro-Luzzi menulis suatu 'pendekatan Teori Prototipe' untuk
mendefinisikan Hinduisme.[42]

Menurut Flood, globalisasi kebudayaan Hindu diprakarsai oleh Swami Vivekananda dengan mendirikan
Misi Ramakrishna, dan diikuti oleh para pemuka Hindu lainnya, yang membawa ajaran yang menjadi
kekuatan kultural penting dalam masyarakat Barat, dan sebagai akibatnya menjadi kekuatan kultural
penting di India, tempat ajaran itu bermula.[43] Hinduisme Global tersebut menarik minat di seluruh
dunia, melampaui batas-batas nasional, dan telah menjadikannya suatu agama dunia yang
berdampingan dengan Kekristenan, Islam, dan Buddhisme, bagi komunitas Hindu seluruh dunia maupun
orang-orang Barat yang tertarik dengan kebudayaan dan kepercayaan non-Barat.[44] Agama ini
menekankan nilai-nilai spiritual universal seperti keadilan sosial, kedamaian, serta "transformasi spiritual
umat manusia."[44] Sebagian perkembangannya disebabkan oleh "re-enkulturasi" atau efek Pizza, yaitu
suatu kondisi ketika unsur-unsur kebudayaan Hindu diperkenalkan ke Dunia Barat, lalu mendapatkan
popularitas di sana, dan sebagai akibatnya juga mendapatkan popularitas yang lebih besar di India.[45]

Karakteristik

Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama Buddha dan Jainisme
diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka memang demikian berbeda.[46]
Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat lebih teistik. Sebagian besar sekte dan aliran
Hinduisme meyakini suatu pengatur alam semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang
memanifestasikan diri dalam berbagai wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara,
Dewa, Batara, Hyang, dan lain-lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia
merupakan bagian dari Brahman. Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang
misteri Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal ataupun
impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya, serta melalui
penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan melalui praktik-praktik brata atau
meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan
percaya (sradha).

Akar Hinduisme
Seorang wanita melakukan puja saat matahari terbenam di Rishikesh, Haridwar.

Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu telah menjadi
perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah 'Hinduisme' atau 'agama
Hindu', tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah berpangkal sejak purbakala.[47] Selain
itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena ketiadaan seorang tokoh pendiri agama tersebut.
Para cendekiawan memandang Hinduisme sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang
ada di India.[48][49][50] Salah satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India
pada Zaman Besi,[51][49] yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan
dan peradaban Harrapa.[52] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu meliputi
Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta kebudayaan mesolitik dan neolitik di India,
seperti agama-agama peradaban lembah sungai Indus,[53][54][55] tradisi bangsa Dravida,[56] serta
tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di India.[57]

Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan kr. 300 M,[48] pada permulaan periode "Wiracarita dan
Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul[48] (masa ketika dimasukkannya
pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan tradisi bhakti ke dalam balutan
Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul di bawah tekanan perkembangan
Buddhisme dan Jainisme.[58] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, kitab-kitab Purana disusun,
digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani
masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism)
yang memiliki perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang
berpegang pada Dharmasastra dan Smerti). Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh
berdampingan,[59] sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[60][61]

Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India Selatan dan
sebagian Asia Tenggara.[62] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan: pengadaan permukiman
bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;[63][64] dimasukkannya atau
diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut dalam Weda) yang populer;[65][66] dan proses
Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-orang dari berbagai strata masyarakat India cenderung
menyesuaikan kehidupan religius dan sosial mereka dengan norma-norma Brahmanis".[65][67] Proses
asimilasi tersebut menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung
persamaan konseptual.[68]

Keanekaragaman

Diversitas Hinduisme

Anak-anak Hindu saat perayaan gaijtra di Kathmandu, Nepal.

Ritual keagamaan Hindu di Candi Prambanan, Yogyakarta, Indonesia.


Tari kebaktian yang dilakukan wanita Hindu di Moskwa, Rusia.

Upacara Puja barthaband di Bagmati, Nepal.

Seorang petapa Hindu di tepi sungai Gangga, Benares, India.

Ritus tindik lidah saat thaipusam di Batu Caves, Malaysia.

Perayaan mandi suci (baruni snan) di Bangladesh.

Praktisi yoga melakukan sikap halasana di Zhengzhou, Tiongkok.

Prosesi keagamaan Hindu di Bali, Indonesia.

Anak-anak Hindu dengan pakaian tradisional dari Afghanistan.

Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang memiliki "sifat kompleks,
bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala inkonsisten secara internal."[69] Agama Hindu tidak mengenal
"satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan keyakinan atau iman",[16] namun
menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi keagamaan di India.[70][71] Menurut
Mahkamah Agung India:

Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu tidak mengklaim satu nabi saja, tidak memuja satu
dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, tidak mengikuti atau mengadakan satu ritus
keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri [agama Hindu] itu tidak seperti agama atau kepercayaan lain pada
umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama [Hindu] itu merupakan suatu jalan hidup.[g][72][73]

Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah "agama Hindu" adalah adanya fakta
bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh seorang tokoh.[16][74] Agama ini merupakan sintesis dari
berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda tetapi memiliki persamaan.[48][50]

Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran bersifat monoteisme
—mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa—sementara aliran lainnya bersifat monisme, yang
memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan manifestasi beragam dari Yang
Maha Esa.[75] Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—sebagaimana disebutkan dalam kitab
Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam semesta, namun alam semesta
bukanlah Tuhan.[76] Beberapa filsafat Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan)
tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis
yang memandang Hinduisme tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama.

Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari "keselamatan" (salvation),
[16] namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi keagamaan.[77] Beberapa tradisi
Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi keselamatan, namun berbagai pandangan
mengenai hal tersebut juga hadir secara berdampingan. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya
kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan
gagasan tentang "keselamatan" adalah kondisi saat individu terbebas dari siklus lahir-mati yang terus
berputar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling
kompleks dari seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.[78]

Persamaan

Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam Hinduisme.[79] Menurut
tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental dalam tubuh Hinduisme, yang
mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk pelaksanaannya.[34] Pada umumnya, umat Hindu
mengenal berbagai nama dan gelar seperti Wisnu, Siwa, Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara. Beberapa
aliran memandang nama dan gelar tersebut sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang
Mahakuasa, sehingga agama Hindu dapat dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan
dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak setara dengan
Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya sebagai manifestasi dari Yang
Mahakuasa.[75] Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme—adalah iman
tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak
(darma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang disebut Weda,
meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya.[80] Sekte Hindu seperti Linggayata bahkan tidak
mengikuti Weda, namun masih memiliki kepercayaan akan Siwa.[81] Sebaliknya, sekte Ayyavazhi
memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu Ammanai,[82] namun masih mengimani Tuhan
yang sama dengan Hinduisme—contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang
mirip dengan mitologi Hindu pada umumnya.

Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau Narayana dan
Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa (Saiwisme). Dilihat dari luar,
aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan. Menurut
Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran keagamaan yang
mandiri, ada kadar interaksi dan saling acu antara para teoretikus dan pujangga dari masing-masing
tradisi yang mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang
sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar [kepercayaan] secara umum.[79]

Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai
memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal dari Upanishad, wiracarita,
Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang
umum."[26] Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga digarisbawahi oleh Burley.[83] Hacker
menyebut perihal tersebut sebagai "inklusivisme",[84] dan Michaels berpendapat tentang "sifat
identifikasi diri".[85] Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara
kaum Muslim dan Hindu,[86] dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan kaum
Hindu dengan kaum Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[87] Menurut Michaels:

Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi yang
berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu: pembentukan sekte-
sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa berikutnya … Para orang suci, dan
kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti pujangga Maratha [bernama] Tukaram (1609–1649) dan
Ramdas (1608–1681), menyuarakan gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada
masa lampau. Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah, terutama
eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat reflektif untuk
menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang berbagai subjek.[h][88]

Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan reformasi Hindu
dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.

Penggolongan
Agama Hindu sebagaimana biasanya dapat digolongkan ke dalam beberapa mazhab atau aliran besar.
Dalam suatu kelompok mazhab pada masa lalu—yang digolongkan sebagai "enam darsana"—hanya dua
mazhab yang popularitasnya masih bertahan: Wedanta dan Yoga. Golongan-golongan utama Hinduisme
pada masa kini disesuaikan dengan aliran-aliran besar yang ada: Waisnawa (Waisnawisme), Saiwa
(Saiwisme), Sakta (Saktisme), dan Smarta (Smartisme).[89]

Enam tipe umum

Prosesi ganga aarti di Dashashwamedh Ghat, Benares.

Menurut J. McDaniel, ada enam tipe umum dalam tubuh agama Hindu, yang disusun dengan maksud
menampung berbagai pandangan terhadap suatu subjek yang kompleks. Adapun enam tipe tersebut
sebagai berikut:[90]

Agama Hindu rakyat, yaitu agama Hindu yang berdasarkan pada tradisi masyarakat setempat serta
pemujaan dewa-dewi lokal, seperti Hindu Tamil, Hindu Newa, Hindu Bali, Hindu Manipuri, Hindu
Kaharingan, dan lain-lain. Berpangkal dari masa prasejarah atau setidaknya mendahului penulisan Weda.
[90]

Srauta atau Agama Hindu Weda, dilaksanakan oleh kaum brahmana-tradisional yang disebut srautin.

Agama Hindu Wedanta, yaitu agama Hindu yang mengacu pada filsafat Wedanta, meliputi Adwaita
Wedanta (Smarta), dan menekankan pendekatan filosofis pada kitab-kitab Upanishad.

Agama Hindu Yoga, yaitu sekte yang menitikberatkan pelaksanaan yoga menurut Yogasutra Patanjali.

Agama Hindu Dharma atau agama "moralitas sehari-hari", yaitu Hinduisme yang berdasarkan pada
realisasi karma dan pelaksanaan norma kemasyarakatan seperti wiwaha (adat pernikahan Hindu).

Bhakti, yaitu agama Hindu yang menekankan pelaksanaan kebaktian bagi entitas tertentu, seperti
Kresna, Siwa, Ganesa.

Religi dan religiositas Hindu

Menurut Axel Michaels, ada tiga bentuk religi (agama) Hindu dan empat macam religiositas
(pengabdian) umat Hindu.[77]

Pembagian agama Hindu menjadi tiga bentuk bersuaian dengan metode pembagian dari India yang
mengelompokkannya sebagai berikut: praktik ritual menurut Weda (vaidika), agama rakyat dan lokal
(gramya), dan sekte keagamaan (agama atau tantra).[91] Menurut Michaels, tiga bentuk agama Hindu
yakni:
Hinduisme Brahmanis-Sanskritis (Brahmanic-Sanskritic Hinduism): suatu agama politeistis, ritualistis, dan
kependetaan yang berpusat pada suatu keluarga besar serta upacara pengorbanan, dan merujuk kepada
kitab-kitab Weda sebagai keabsahannya.[77] Agama ini mendapat sorotan utama dalam banyak risalah
tentang agama Hindu karena memenuhi banyak kriteria untuk disebut sebagai agama, serta karena
agama ini merupakan yang dominan di berbagai wilayah India, sebab masyarakat non-brahmana pun
mencoba untuk mengasimilasinya.[77]

Agama rakyat dan agama suku: suatu agama lokal yang politeistis, kadangkala animistis, dengan tradisi
lisan yang luas. Kadangkala bertentangan dengan Hinduisme Brahmanis-Sanskritis.[92]

Agama bentukan: tradisi dengan komunitas monastis yang dibentuk untuk mencari keselamatan
(salvation), biasanya menjauhkan diri dari belenggu duniawi, dan seringkali anti-Brahmanis.[77] Agama
ini dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian:

Agama sektarian: aliran keagamaan yang menggarisbawahi suatu konsep filosofis dari Hinduisme dan
menekankan praktik religius menurut konsep tersebut, contohnya Waisnawa dan Saiwa.[92]

Agama-bentukan sinkretis: agama tersendiri yang terbentuk dari sinkretisme antara Hinduisme dengan
agama lain, contohnya Hindu-Islam (Sikhisme), Hindu-Buddha (Buddhisme Newara), atau Hindu-Kristen
(Neohinduisme).[92]

Agama proselitisis (proselytizing religions), atau "Guru-isme": kelompok keagamaan yang berawal dari
seorang guru dan biasanya menekankan isu universalisme, contohnya Maharishi Mahesh Yogi dengan
gerakan Meditasi Transendental, Sathya Sai Baba dengan Federasi Satya Sai, Bhaktivedanta Swami
Prabhupada dengan gerakan ISKCON, Maharaj Ji dengan Divine Light Mission, dan Osho.[92]

Menurut Michaels, empat macam religiositas Hindu yakni:

Ritualisme: terutama mengacu pada ritualisme Weda-Brahmanistis (Vedic-Brahmanistic ritualism) yang


domestik dan butuh kurban, namun dapat juga meliputi beberapa bentuk Tantrisme.[91] Ini merupakan
karma-marga klasik.[93]

Spiritualisme: kesalehan intelektual, bertujuan untuk mencari kebebasan (moksa) bagi individu, biasanya
dengan bimbingan seorang guru. Ini merupakan karakteristik Adwaita Wedanta, Saiwa Kashmir, Saiwa
Siddhanta, Neo-Wedanta, Guruisme esoterik masa kini, dan beberapa macam Tantrisme.[91] Ini
merupakan jnana-marga klasik.[93]

Devosionalisme: pemujaan kepada Tuhan, seperti yang ditekankan dalam tradisi bhakti dan Kresnaisme.
[91] Ini merupakan bhakti-marga klasik.[93]

Heroisme: bentuk religiositas politeistis yang berpangkal dari tradisi militeristis, seperti Ramaisme dan
sebagian dari Hinduisme politis.[91] Ini juga disebut wirya-marga.[93]

Toleransi

Pendeta Hindu diberi kesempatan melantunkan doa dalam suatu upacara yang diselenggarakan umat
agama Romuva di Lituania.
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran karena tiadanya skisma
meskipun ada kemajemukan tradisi yang bernaung di bawah simbol-simbol agama Hindu.[94][95] Pada
awal perkembangannya, saat tiadanya perselisihan antaragama, umat Hindu menganggap setiap orang
yang mereka temui sebagai umat Hindu pula.[96][97] Tetapi pada masa kini, umat Hindu menerima
pengaruh dari Barat tentang pengadaan konversi agama.[98] Maka, banyak umat Hindu berpendapat
bahwa identitas kehinduan diperoleh semenjak lahir,[99] sementara yang lainnya berpendapat bahwa
siapa pun yang mengikuti kepercayaan dan praktik agama Hindu merupakan seorang Hindu.[100]

Gandhi menyatakan bahwa Hinduisme bebas dari dogma-dogma yang memaksa, serta dapat
menampung berbagai bentuk ekspresi diri dalam ruang lingkup yang besar.[101] Dalam tubuh agama
Hindu, perbedaan pada setiap tradisi—bahkan pada agama lain—tidak untuk diperkarakan, karena ada
keyakinan bahwa setiap orang memuja Tuhan yang sama dengan nama yang berbeda, entah disadari
atau tidak oleh umat bersangkutan.[102] Dalam kitab Regweda terdapat suatu bait yang sering dikutip
oleh umat Hindu untuk menegaskan hal tersebut, sebagai berikut:

एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति (Ekam Sat Viprāh Bahudhā Vadanti)

Arti: "Hanya ada satu kebenaran, tetapi para cendekiawan menyebut-Nya dengan banyak nama."
(I:CLXIV:46)

Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Swami Vivekananda sebagai perwakilan India
mengawali pidatonya dengan salam "Sisters and brothers of America!" dan mendapatkan sambutan
yang hangat.[103] Ia memperkenalkan Hinduisme sebagai agama yang mengajarkan toleransi dan
bersikap sangat terbuka.[104]

Agama Hindu memandang seluruh dunia sebagai suatu keluarga besar yang mengagungkan satu
kebenaran yang sama, sehingga agama tersebut menghargai segala bentuk keyakinan dan tidak
mempersoalkan perbedaan agama.[105] Maka dari itu, agama Hindu tidak mengakui konsep murtad,
bidah, dan penghujatan.[94][106][107] Agama Hindu bersifat mendukung pluralisme agama dan lebih
menekankan harmoni dalam kehidupan antar-umat beragama, dengan tetap mengindahkan bahwa tiap
agama memiliki perbedaan mutlak yang tak patut diperselisihkan.[108] Menurut tokoh spiritual Hindu
Swami Vivekananda, setiap orang tidak hanya patut menghargai agama lain, namun juga merangkulnya
dengan pikiran yang baik, dan kebenaran itulah yang merupakan dasar bagi setiap agama.[109]

Dalam agama Hindu, toleransi beragama tidak hanya ditujukan pada umat agama lain, namun juga pada
umat Hindu sendiri. Hal ini terkait dengan keberadaan beragam tradisi dalam tubuh Hinduisme. Agama
Hindu memberikan jaminan kebebasan bagi para penganutnya untuk memilih suatu pemahaman dan
melakukan tata cara persembahyangan tertentu.[95][110][111] Sebuah sloka dalam Bhagawadgita
sering dikutip untuk mendukung pernyataan tersebut:
ये यथा मां प्रपद्यन्ते तां स्तथै व भजाम्यहम् मम वर्त्मानु वर्तन्ते मनु ष्या: पार्थ सर्वश:

(Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham mama vartmānuvartante manusyāh pārtha
sarvaśah.)

Arti: "Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua
orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai Arjuna." (Bhagawadgita, IV:11)

Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Vivekananda juga mengutip suatu ayat yang
menyatakan bahwa setiap orang menempuh jalan yang berbeda-beda dalam memuja Tuhan,
sebagaimana berbagai aliran sungai pada akhirnya menyatu di lautan.[104]

Mazhab, aliran, dan gerakan

Partisipasi umat Waisnawa dalam acara Festival Woodstock di Polandia.

Hinduisme tidak mengandalkan otoritas berdasarkan doktrin sentral seperti kredo, rukun iman, atau
syahadat.[112] Meskipun tradisi Hindu tidak seragam, banyak umat Hindu yang tidak mau mengakui
dirinya sebagai penganut aliran atau sekte Hindu tertentu.[112] Pada umumnya, aliran dibedakan
berdasarkan pada dewa yang dipuja sebagai manifestasi Yang Mahakuasa, serta pada tradisi mengenai
cara pemujaan dewa tersebut.

Ada empat aliran utama yang sering teramati: Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta.[113] Umat
Waisnawa memuja Wisnu sebagai manifestasi Yang Mahakuasa; umat Saiwa memuja Siwa sebagai
manifestasi Yang Mahakuasa; umat Sakta memuja Sakti (kekuatan) atau Dewi yang dipersonifikasikan
sebagai wanita ilahi; sedangkan Smarta meyakini kesatuan mendasar dari lima (Pancadewa) atau enam
(Shanmata) dewa sebagai personifikasi dari Yang Mahakuasa. Aliran lainnya seperti Ganapatya
(pemujaan terhadap Ganesa) dan Saura (pemujaan terhadap Surya) kurang menyebar secara luas.

Sejumlah gerakan keagamaan terkategorikan ke dalam salah satu aliran besar Hinduisme, contohnya
Gerakan Hare Krishna terkategorikan ke dalam golongan Waisnawa. Ada pula gerakan keagamaan Hindu
yang sukar ditentukan untuk dimasukkan ke dalam golongan yang disebutkan di atas, contohnya Arya
Samaj yang diprakarsai Swami Dayananda Saraswati. Gerakan keagamaan ini berbeda dengan tradisi
Hindu pada umumnya, yaitu tidak memuja Tuhan dengan sarana arca atau lukisan. Gerakan ini berfokus
kepada Weda dan yadnya (yajña; ritus keagamaan berdasarkan Weda).
Di samping empat aliran besar dalam agama Hindu, sekte-sekte keagamaan yang ada meliputi
Ayyavazhi, Swaminarayana, Ravidassia, Linggayata, dan lain-lain. Beberapa sekte memiliki konsep,
mitologi, serta pustaka suci tersendiri yang berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya. Sekte-sekte
tertentu pun memiliki aliran di dalamnya, misalnya tradisi Tantra.[114]

Enam mazhab filsafat

Artikel utama: Filsafat Hindu

Lukisan Kapila, dari abad ke-19.

Menurut sistem astika dan nastika, ada sembilan filsafat India klasik. Enam di antaranya merupakan
filsafat Hindu klasik (astika) yang mengakui otoritas Weda sebagai kitab suci. Tiga filsafat lainnya
merupakan aliran heterodoks (nastika) yang tidak mengakui otoritas Weda, namun menekankan tradisi
perguruan yang berbeda. Adapun enam filsafat Hindu tersebut sebagai berikut:

Samkhya: mazhab filsafat yang—dipercaya secara tradisional—digagas oleh Resi Kapila. Mazhab ini
dianggap sebagai salah satu mazhab filsafat tertua di India.[115] Mazhab ini bersifat dualisme.[116][117]
[118] Menurut Samkhya, alam semesta terdiri dari dua realitas: purusa (kesadaran) dan prakerti
(materi). Jiwa adalah kondisi saat purusa terikat pada prakriti karena suatu "perekat" yang disebut
kehendak, dan akhir dari ikatan itu disebut moksa. Samkhya menolak bahwa sumber segalanya adalah
Iswara (Tuhan).[119] Samkhya tidak mendeskripsikan apa yang terjadi setelah moksa, dan tidak
menyinggung apa pun yang berkaitan dengan Iswara atau Tuhan, karena filsafat ini menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan esensial antara purusa individu dengan alam semesta setelah mencapai moksa.

Yoga: mazhab yang menekankan pada pengendalian diri dan pikiran. Mazhab Yoga menerima psikologi
dan metafisika yang diajarkan Samkhya, namun bersifat lebih teistis daripada Samkhya, karena
ditambahkannya entitas ketuhanan pada 25 elemen realitas menurut Samkhya.[120] Mazhab ini digagas
oleh Resi Patanjali. Yoga menurut Patanjali dikenal sebagai Rajayoga, yaitu suatu sistem untuk
mengontrol pikiran.[121] Berbagai tradisi Yoga didapati dalam agama Hindu, Buddha, dan Jaina.[122]
Para guru dari India memperkenalkan Yoga ke Dunia Barat,[123] mengikuti keberhasilan Vivekananda
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[123] Pada tahun 1980-an, salah satu jenis Yoga menjadi
populer sebagai suatu sistem latihan jasmani di Dunia Barat. Bentuk Yoga semacam itu disebut
Hathayoga.

Nyaya: mazhab logika dalam Hinduisme. Mazhab spekulasi filosofis ini berdasarkan kitab-kitab yang
disebut Nyayasutra, ditulis oleh Aksapada Gautama pada abad ke-2 Masehi.[124] Kontribusi signifikan
dari mazhab Nyaya adalah metodologi untuk membuktikan keberadaan Tuhan, menurut kitab Weda.
Menurut mazhab Nyaya, ada empat sumber untuk memperoleh pengetahuan (pramana): persepsi,
inferensi, perbandingan, dan testimoni. Pengetahuan yang diperoleh melalui masing-masing sumber
tersebut bisa saja sahih atau tidak. Sebagai dampaknya, para filsuf Nyaya berusaha keras untuk mencari
cara membuktikan kesahihan pengetahuan melalui sejumlah bagan penjelasan.
Waisesika: mazhab atomisme dalam Hinduisme yang menyatakan suatu postulat bahwa segala benda di
alam semesta dapat dibagi-bagi menjadi sejumlah atom. Mazhab ini mulanya digagas oleh Resi Kanada
sekitar abad ke-2 Masehi.[125] Secara historis, mazhab ini dikaitkan erat dengan Nyaya. Meskipun
sistem Waisesika dan Nyaya berkembang secara mandiri, keduanya bergabung karena teori-teori
metafisis yang memiliki keterkaitan. Akan tetapi, dalam bentuknya yang klasik, ajaran Waisesika
berbeda dengan Nyaya, karena Nyaya mengakui empat sumber pengetahuan, sementara Waisesika
hanya mengakui persepsi dan inferensi.

Mimamsa: mazhab yang kajian utamanya adalah sifat-sifat darma berdasarkan hermeneutika pada
kitab-kitab Weda. Sifat-sifat darma tidak dapat diakses untuk penalaran atau pengamatan, sehingga
harus dikaji melalui otoritas wahyu-wahyu yang dikandung dalam Weda, yang diyakini kekal, tanpa
pengarang (apauruṣeyatva), dan sempurna.[126] Mazhab Mimamsa mengandung doktrin yang ateistis
maupun teistis dan tidak terlalu tertarik pada keberadaan Tuhan, namun pada karakteristik darma.[127]
[128] Mimamsa sangat memerhatikan penafsiran tekstual, sehingga memberi rintisan pada kajian
filologi dan filsafat bahasa. Gagasannya tentang "tuturan" (śabda) sebagai kesatuan suara dan makna
(penanda dan petanda) yang tak dapat dibagi lagi dipengaruhi oleh Bhartṛhari (kr. abad ke-5).[129]

Patung Adi Shankara, filsuf mazhab Adwaita yang tertemuka, terletak di Mysore, India.

Wedanta: mazhab yang berfokus pada kajian tentang tiga sastra dasar dalam filsafat Hindu, yaitu
Upanishad, Brahmasutra, dan Bhagawadgita.[130] Sekurang-kurangnya, ada sepuluh aliran dalam
mazhab Wedanta,[131] namun tiga di antaranya—Adwaita, Wisistadwaita, dan Dwaita—lebih
termasyhur.[132]

Adwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Adi Shankara (awal abad ke-8) dan guru besarnya,
Gaudapada, yang menjabarkan Ajatiwada. Menurut perguruan ini, Brahman adalah satu-satunya
kenyataan, sedangkan dunia yang teramati hanyalah ilusi belaka. Karena Brahman adalah kenyataan
sejati, Ia tidak dapat dikatakan memiliki atribut. Kekuatan ilusif dari Brahman yang disebut maya (māyā)
membuat dunia ini tampak ada. Ketidaktahuan akan kenyataan tersebut merupakan penyebab adanya
penderitaan di dunia, sehingga kebebasan (dari penderitaan) hanya bisa diperoleh melalui kesadaran
akan Brahman. Ketika seseorang mencoba memahami Brahman melalui pikirannya, maka—karena
pengaruh maya—Brahman hadir sebagai Tuhan berkepribadian (Iswara), yang berbeda dengan dunia
dan juga individu. Pada kenyataannya, tiada perbedaan antara esensi individu yang sejati (jiwatman)
dengan Brahman. Kebebasan dapat diperoleh dengan merasakan bahwa tiada perbedaan antara
keduanya. Maka dari itu, jalan kebebasan ditempuh dengan pengetahuan (jñāna).[133]

Wisistadwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Ramanuja (1017–1137). Menurut perguruan ini,
jiwatman adalah bagian dari Brahman, sehingga mereka mirip, tetapi tidak sama. Menurut
Wisistadwaita, Brahman dinyatakan memiliki atribut (Saguna-brahman), termasuk materi dan jiwa
kesadaran individu. Brahman, materi, dan jiwa individu tidaklah sama tetapi merupakan entitas yang
tidak terpisahkan. Perguruan ini menegaskan Bhakti atau pengabdian kepada Tuhan—yang dibayangkan
sebagai Wisnu—sebagai jalan untuk mencapai kebebasan (moksa). Dalam perguruan ini, maya
dipandang sebagai daya cipta dari Tuhan.[133]
Dwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Madhwacarya (1199–1278). Perguruan ini juga disebut
sebagai tatvavādā – "Filsafat Kenyataan". Perguruan ini menyamakan Tuhan dengan Brahman, sehingga
tiada berbeda dengan Wisnu atau pun berbagai perwujudan-Nya seperti Kresna, Narasinga,
Wenkateswara, dan lain-lain. Perguruan ini memandang Brahman, jiwa individu, dan materi sebagai
entitas yang berbeda. Perguruan ini menekankan Bhakti sebagai jalan yang benar untuk mencapai
kebebasan, dan pengabaian akan Tuhan akan berujung pada neraka serta ikatan duniawi. Menurut
Dwaita, segala tindakan diberdayakan oleh jiwa yang diberi kekuatan oleh Tuhan, dan hasil tindakan
tersebut dilimpahkan kepada jiwa, namun Tuhan tidak ikut terpengaruh oleh hasil tindakan tersebut.
[133]

Dalam sejarah agama Hindu, keberadaan enam mazhab tersebut di atas mencapai masa gemilang pada
masa Dinasti Gupta. Dengan bubarnya Waisesika dan Mimamsa, perguruan filsafat tersebut kehilangan
pamornya pada masa-masa berikutnya, sedangkan berbagai aliran-aliran Wedanta mulai naik pamor
sebagai cabang-cabang utama dalam filsafat keagamaan. Nyaya bertahan sampai abad ke-17 dan
berganti nama menjadi Nawya-nyaya ("Nyaya Baru"), sedangkan Samkhya lenyap perlahan-lahan,
namun ajarannya diserap oleh Yoga dan Wedanta.

Empat aliran utama

Umat Saiwa di kuil Pashupatinatha, Nepal.

Empat aliran utama yang sering didapati adalah Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta. Dalam masing-
masing aliran, ada beberapa perguruan atau aliran lain yang menempuh caranya sendiri.

Waisnawa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Wisnu—dewa pemelihara menurut konsep
Trimurti (Tritunggal)—beserta sepuluh perwujudannya (awatara). Aliran ini menekankan pada
kebaktian, dan para pengikutnya turut memuja berbagai dewa, termasuk Rama dan Kresna yang diyakini
sebagai perwujudan Wisnu. Pengikut aliran ini biasanya non-asketis, monastis (mengikuti cara hidup
biarawan), dan menekuni praktik meditasi serta melantunkan lagu-lagu pemujaan.[134][135][136]
Biasanya umat Waisnawa bersifat dualisme. Aliran ini memiliki banyak tokoh suci, kuil, dan kitab suci.
[137] Aliran ini terbagi dalam beberapa golongan, yaitu: Sri Sampradaya (Waisnawa yang memuja
Laksmi sebagai pasangan Wisnu), Brahma Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu secara eksklusif),
Rudra Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu atau para awatara, seperti Kresna, Rama, Balarama,
dan lain-lain), Kumara Sampradaya (Waisnawa yang memuja Caturkumara).

Saiwa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Siwa. Kadangkala Siwa digambarkan sebagai
Bhairawa yang menyeramkan. Umat Saiwa lebih tertarik pada tapa brata daripada umat Hindu aliran
lainnya, dan biasa ditemui berkeliaran di India dengan wajah yang dilumuri abu dan melakukan ritual
penyucian diri.[134][135][136] Mereka bersembahyang di kuil dan melakukan yoga, berjuang untuk
dapat menyatukan diri dengan Siwa.[137] Aliran ini terbagi dalam beberapa golongan, yaitu: Pasupata
(Saiwa yang menekankan tapa brata, terutama tersebar di Gujarat, Kashmir, dan Nepal), Saiwa
Siddhanta (Saiwa yang mendapat pengaruh Tantra), Kashmira Saiwadarshana (Saiwa yang monistis dan
idealistis), Natha Siddha Siddhanta (Saiwa yang monistis), Linggayata (Saiwa yang monoteistis), Saiwa
Adwaita (Saiwa yang monistis dan teistis).

Umat Hindu Nepal mengoleskan tika dan jamara pada puncak hari raya Dashain, yaitu hari pemujaan
terhadap 9 manifestasi Dewi Durga selama 9 hari berturut-turut.

Sakta: aliran Hinduisme yang memuja Sakti atau Dewi. Pengikut Saktisme meyakini Sakti sebagai
kekuatan yang mendasari prinsip-prinsip maskulinitas, yang dipersonifikasikan sebagai pasangan dewa.
Sakti diyakini memiliki berbagai wujud. Beberapa di antaranya tampak ramah, seperti Parwati (pasangan
Siwa) atau Laksmi (pasangan Wisnu). Yang lainnya tampak menakutkan, seperti Kali atau Durga. Sakta
memiliki kaitan dekat dengan Hinduisme Tantra, yang mengajarkan ritual dan praktik untuk penyucian
pikiran dan tubuh.[134][135][136] Umat Sakta menggunakan mantra-mantra, sihir, gambar sakral, yoga,
dan upacara untuk memanggil kekuatan kosmis.[137] Aliran ini mengandung dua golongan utama, yaitu:
Srikula (pemujaan kepada dewi-dewi yang bergelar Sri) dan Kalikula (pemujaan kepada dewi-dewi
perwujudan Kali).

Smarta: aliran Hindu-monistis yang memuja lebih dari satu dewa—meliputi Siwa, Wisnu, Sakti, Ganesa,
dan Surya di antara dewa dan dewi lainnya—tetapi menganggap bahwa dewa-dewi tersebut merupakan
manifestasi dari zat yang Maha Esa. Dibandingkan tiga aliran Hinduisme yang disebutkan di atas, Smarta
berusia relatif muda. Berbeda dengan Waisnawa atau Saiwa, aliran ini tidak bersifat sektarian secara
gamblang, dan berdasarkan pada iman bahwa Brahman adalah asas tertinggi di alam semesta dan
meresap ke dalam segala sesuatu yang ada.[134][135][136] Pada umumnya, umat Smarta memuja Yang
Mahakuasa dalam enam personifikasi: Ganesa, Siwa, Sakti, Wisnu, Surya, dan Skanda. Karena umat
Smarta menerima keberadaan dewa-dewi Hindu yang utama, mereka dikenal sebagai umat liberal atau
non-sektarian. Mereka mengikuti praktik-praktik filosofis dan meditasi, serta menekankan persatuan
antara individu dengan Tuhan melalui kesadaran.[137]

Sekte dan aliran lainnya

Upacara tiwah yang dilaksanakan umat Hindu Kaharingan di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Para peniup seruling saat hari raya Gaijatra yang dirayakan oleh umat Hindu Newa.

Umat Hindu Cham di Vietnam merayakan festival Kuil "Yan Po Nagar", alias Dewi Bhagawati.

Tarian tradisional saat festival Lai Haroaba yang dirayakan umat Hindu Manipur.

Pengikut Gerakan Hare Krishna di Rusia menyelenggarakan prosesi Rathayatra pada musim dingin 2011.
Agama Hindu Newa: agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar suku Newa di Nepal. Agama Hindu
ini mengenal beberapa tradisi unik seperti tarian sakral dengan topeng yang disebut Chachaa Pyakhan.
Agama Hindu ini juga mengenal sejumlah hari raya, dan adakalanya bertepatan dengan perayaan
Buddhis di sana.

Agama Hindu Nusantara: tradisi serta kepercayaan masyarakat Indonesia yang telah mengalami
akulturasi/berasimilasi dengan konsep-konsep Hindu dari India, sehingga membentuk suatu tradisi
Hindu yang unik, contohnya Hindu Jawa dan Hindu Bali. Karena sikap lembaga Hindu yang terbuka,
beberapa kepercayaan asli Nusantara pun diakui sebagai bagian dari agama Hindu Nusantara sehingga
mendapatkan label Hindu, contohnya Hindu Kaharingan dan Hindu Tollotang.

Agama Hindu Swaminarayana: agama yang dianut oleh sebagian besar orang Hindu Gujarat.[138]
Pengikut Hindu Swaminarayana memuja Wisnu atau Kresna sebagai Tuhan sehingga sering dianggap
sebagai salah satu aliran dalam Waisnawa. Tetapi—tidak seperti aliran Waisnawa pada umumnya—
Hindu Swaminarayana tidak membedakan Wisnu dan Siwa. Aliran ini menggunakan pemahaman
sebagaimana aliran Smarta bahwa para dewa adalah manifestasi dari Brahman.[139][140]

Ayyavazhi: sistem kepercayaan monistis berdasarkan darma yang berasal dari India Selatan. Aliran ini
dikatakan sebagai agama tersendiri oleh media massa dan beberapa penganutnya, tetapi banyak
penganutnya yang mengaku sebagai umat Hindu, sehingga Ayyavazhi juga dianggap sebagai sekte
Hindu.[141][142] Ayyavazhi berpusat pada ajaran dan khotbah Ayya Vaikundar; gagasan dan filosofi
mereka berdasarkan kitab Akilattirattu Ammanai dan Arul Nool. Ayyavazhi memiliki banyak kesamaan
dengan Hinduisme dalam hal mitologi dan praktik, namun memiliki perbedaan dalam konsep baik dan
buruk, serta perbedaan pandangan tentang darma.

Balmiki: sekte yang memuja Begawan Walmiki sebagai leluhur dan dewa mereka. Pengikutnya meyakini
bahwa Walmiki adalah awatara Tuhan, dan menghormati karya-karya gubahannya, seperti Ramayana
dan Yoga Vasistha, sebagai kitab suci.

Ekasarana Dharma: aliran Hindu-panenteistis yang dirintis oleh Srimanta Sankardeva pada abad ke-15.
Kini, banyak penganutnya yang tinggal di negara bagian Assam. Aliran kepercayaan ini menolak upacara
dan ritus berbasis Weda, menentang pelaksanaan kurban hewan, dan hanya melakukan pemujaan
dengan menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Kitab pegangan bagi aliran ini adalah Sankardewa
Bhagawata. Aliran kepercayaan ini terbagi menjadi empat golongan: Brahma-sanghati, Purusha-
sanghati, Nika-sanghati, dan Kala-sanghati.

Ganapatya: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Ganesa sebagai Tuhan Yang Mahakuasa.
Ganesa dipuja sebagai bagian dari Saiwa sejak sekitar abad ke-5. Sekte Ganapatya mulai muncul sekitar
abad ke-6 dan ke-9. Kemudian, sekte ini dipopulerkan oleh Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya mulai
masyhur antara abad ke-17 dan ke-19 di Maharashtra.

Kapadi Sampradaya: aliran dan tradisi Hinduisme yang dianut sebagian masyarakat kesatria di Gujarat,
terutama di Kutch. Pengikut tradisi ini memuja Rama sebagai Tuhan Yang Mahakuasa. Kepercayaan ini
terbagi menjadi empat golongan: Ramsnehi, Ashapuri, Sravani, dan Makadbantha.

Kaumaram: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Murugan atau Skanda di kawasan India
Selatan, terutama yang didominasi oleh suku Tamil. Tradisi tersebut juga dapat ditemui di luar India,
khususnya di kawasan permukiman imigran Tamil.
Mahima Dharma: sekte Hinduisme yang penganutnya banyak terdapat di Orissa, India. Sekte ini
diprakarsai oleh seorang guru spiritual yang dikenal dengan nama Mahima Swami atau Mahima Gosain.
[143] Sekte ini memusatkan kebaktian pada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Alekha, serta menolak
pemujaan Tuhan dengan sarana arca, gambar, ataupun pratima.[143]

Pranami Sampradaya: disebut pula Nijananda Sampradaya, adalah suatu aliran monoteistis yang
memuja Tuhan dengan sebutan Raj Ji atau Prannath Ji. Pengikut kepercayaan ini tidak diperkenankan
makan daging, mengonsumsi alkohol, atau merokok. Mereka juga memiliki kitab tersendiri yang disebut
Kuljam Swarup atau Tartam Sagar. Pengikut kepercayaan ini banyak terdapat di Najarpur, Nepal.

Saura: sekte Hinduisme yang memuja Surya sebagai Saguna-brahman. Aliran ini berpangkal dari tradisi
Weda kuno. Kini, hanya ada sedikit penganut aliran ini di India.

Srauta: golongan brahmana ortodoks yang mengikuti Purwamimamsa, berbeda dengan Wedanta yang
diikuti oleh kaum brahmana lainnya. Mereka merupakan penganut tradisi ritual konservatif dan
membentuk golongan minoritas di antara umat Hindu di India. Penganut aliran ini biasanya terdapat di
negara bagian Kerala (kaum Nambudiri) dan Karnataka (Mattur, Holenarsipur, Sringeri).

Gerakan keagamaan

Beberapa gerakan Hindu modern muncul di India pada periode antara abad ke-18 dan ke-20, antara lain
sebagai berikut:

Brahmoisme: gerakan keagamaan yang berasal dari Benggala pada awal abad ke-19. Gerakan ini
didirikan oleh Ram Mohan Roy. Dia menggagas pentingnya pemanfaatan nalar untuk mereformasi
praktik sosial dan religius agama Hindu, dengan pengaruh dari agama monoteistis dan ilmu pengetahuan
modern.[144] Brahmoisme menolak dogma, takhayul, otoritas kitab suci, dan penggambaran Tuhan.
[145]

Prarthana Samaj: gerakan reformasi sosial dan keagamaan yang dimulai di Bombay, didirikan oleh Dr.
Atmaram Pandurang pada tahun 1867 dengan tujuan agar masyarakat meyakini satu Tuhan dan hanya
menyembah satu Tuhan. Gerakan ini dimulai sebagai reformasi sosial dan keagamaan sebagaimana
Brahmo Samaj. Perintis Prarthana Samaj di Mumbai adalah Paramahamsa Sabha, perkumpulan rahasia
untuk memajukan gagasan-gagasan liberal yang didirikan oleh Ram Balkrishna Jaykar.[146]

Arya Samaj: gerakan reformasi Hindu yang diprakarsai oleh Swami Dayananda, dan didirikan pada
tanggal 7 April 1875.[147] Gerakan ini bermaksud mengamalkan Weda sebagaimana mestinya, dan
mengesampingkan kitab-kitab yang ditulis setelah Weda. Gerakan ini bersifat monoteistis karena tidak
mengakui dewa-dewi tertentu,[148] serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana patung atau lukisan.
[149][150]

Misi Ramakrishna: gerakan filantropis dan sukarela yang diprakarsai oleh murid Ramakrishna, Swami
Vivekananda, pada tanggal 1 Mei 1897. Gerakan ini berfokus pada masalah kemanusiaan seperti
pemeliharaan kesehatan, bencana alam, kesejahteraan masyarakat desa, pendidikan, dan lain-lain. Misi
gerakan ini berdasarkan konsep Karmayoga.[151] Dalil-dalil yang digunakan adalah filsafat Wedanta.
[152]
Masyarakat Internasional Kesadaran Krishna (The International Society for Krishna Consciousness –
ISKCON): gerakan keagamaan berdasarkan tradisi Gaudiya Waisnawa. Gerakan ini juga dikenal dengan
nama "Gerakan Hare Krishna", didirikan pada tahun 1966 di New York City oleh A. C. Bhaktivedanta
Swami Prabhupada. Ajarannya berpegang pada Bhagawadgita dan Srimad Bhagawatam. Gerakan ini
didirikan untuk menyebarkan Bhaktiyoga dan memuja Tuhan dengan wujud Kresna.

Di luar Asia Selatan dan Asia Tenggara, aliran Hindu yang cukup populer adalah tradisi Waisnawa yang
dibawa oleh misionaris Gerakan Hare Krishna. Tradisi Hindu juga dilaksanakan di beberapa negara
dengan jumlah imigran India yang signifikan, seperti Mauritius (Afrika bagian selatan) dan Trinidad dan
Tobago (Amerika Tengah).

Keyakinan

Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci.[47] Meskipun
demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi Hindu. Perihal yang umum dijumpai
dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu—namun tidak untuk terbatas pada beberapa hal tersebut
—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa (dapat disebut sebagai Iswara, Awatara, Dewata,
Batara, dan lain-lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan
kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan dari samsara), dan
berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).[153]

Konsep ketuhanan

Agama Hindu memiliki konsep Nirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau Tuhan
impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi yang
berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan dengan nama
Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan), contohnya Saraswati (gambar).

Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang bersifat
monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme.[154][155][156][157] Konsep
ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan
filsafat yang diikuti. Kadangkala agama Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan pemujaan
terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui keberadaan para dewa), namun istilah-istilah demikian
hanyalah suatu generalisasi berlebihan.[158]

Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan keberadaan
Tuhan.[159] Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan "logis" bahwa
[keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab" di balik
semuanya.[160]
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan
sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta
sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.[161] Tetapi, umat Hindu tidak menyembah Brahman
secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah yang disematkan bagi suatu kekuatan
yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang
dirapalkan para ahli Weda, sehingga mereka disebut brahmana.[162] Kadangkala, Brahman dipandang
sebagai Yang Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang,
benda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang
Brahman, maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa
atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan aliran.

Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan yang
berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat baik manusia
seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya), sehingga mereka
memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain, tergantung aliran masing-
masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang dipandang sebagai zat mahakuasa dengan
supremasi dari sifat baik manusia—daripada dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas—disebut
Iswara, Bhagawan, atau Parameswara.[163] Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara,
mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai
pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab
Adwaita.[164] Dalam banyak tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa
menyebutnya sebagai Kresna, dan kadangkala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam
aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran
Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh nama-nama ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti,
Surya, dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.

Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada hakikatnya
Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.[165] Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau
menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada
hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti pelindung,
penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya.[166] Menurut mazhab ini, pikiran manusia yang
terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut
tertentu, yang dapat disebut sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya.[166] Mazhab
ini menegaskan bahwa tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, namun
tujuan hidup sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk
sesungguhnya tiada berbeda dengan Brahman.[167] Mazhab Adwaita dapat dikatakan sebagai monisme
atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, namun pada
"hakikatnya" sama dengan Brahman.[168]

Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa.[169] Dalam kitab
Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak
dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui.[170] Samkhya berpendapat bahwa
Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang senantiasa berubah. Dikatakan bahwa
Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu keadaan.[171] Pendukung dari aliran
Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti
untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat
postulat tentang suatu "pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda
atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara.[127] Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang
tertulis dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk
keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya merupakan
"kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.[172]

Atman dan jiwa

Diagram yang menunjukkan lapisan penyelubung atman:

• annamayakosa (lapisan badan kasar yang mengandung daging dan kulit)

• pranamayakosa (lapisan tenaga kehidupan)

• manomayakosa (lapisan pikiran atau indra yang menerima rangsangan)

• wijanamayakosa (lapisan nalar, akal budi, atau kecerdasan)

• anandamayakosa (lapisan kebahagiaan atau tubuh kausal)

Dalam agama Hindu terdapat keyakinan bahwa ada "sesuatu yang sejati" dalam tiap individu yang
disebut atman, sifatnya abadi atau tidak terhancurkan.[173] Taittiriya-upanishad mendeskripsikan
bahwa atman individu diselimuti oleh lima lapisan: annamayakosa, pranamayakosa, manomayakosa,
wijanamayakosa, dan anandamayakosa.[174] Istilah atman dan jiwa kadangkala dipakai untuk konteks
yang sama. Dalam suatu pengertian, atman adalah percikan dari Brahman, sedangkan jiwa adalah
penggerak segala makhluk hidup.[175]

Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), sukma individu
sama sekali tiada berbeda dari Brahman. Sukma individu disebut jiwatman, sedangkan Brahman disebut
paramatman. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.[164] Ketika tubuh individu hancur, jiwa
tidak turut hancur. Sebaliknya, ia berpindah ke tubuh baru melalui reinkarnasi (samsara). Jiwa
mengalaminya karena diselubungi oleh awidya atau "ketidaksadaran" bahwa dirinya sesungguhnya
sama dengan Paramatman. Tujuan kehidupan menurut mazhab Adwaita adalah untuk mencapai
kesadaran bahwa atman sesungguhnya sama dengan Brahman.[176] Kitab Upanishad menyatakan
bahwa siapa pun yang merasakan bahwa atman merupakan esensi dari tiap individu, maka ia akan
menyadari kesetaraan dengan Brahman, sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan dari
proses reinkarnasi/samsara).[177]
Yoga dari Resi Patanjali—sebagaimana yang diuraikan dalam Yogasutra—berbeda dengan monisme yang
diuraikan dalam filsafat Adwaita.[178] Menurut yoga, pencapaian spiritual tertinggi bukanlah untuk
menyadari bahwa segala kemajemukan di alam semesta merupakan maya. Jati diri yang diperoleh saat
mencapai pengalaman religius tertinggi bukanlah atman belaka. Itu hanyalah salah satu jati diri yang
ditemukan oleh individu. Meruntuhkan "tembok alam sadar manusia" untuk membangun "persatuan"
jati diri individu (jiwatman) dengan sukma alam semesta (paramatman), merupakan tujuan praktik yoga.
[179]

Menurut pemahaman dualistis seperti mazhab Dwaita, jiwa merupakan entitas yang berbeda dengan
Tuhan, namun memiliki kesamaan. Jiwa bergantung kepada Tuhan, sedangkan pencapaian moksa (lepas
dari samsara) bergantung kepada cinta pada Tuhan serta kasih sayang Tuhan.[180]

Para dewa dan awatara

Lukisan dari akhir abad ke-18, menggambarkan tiga dewa utama Hinduisme—Brahma, Wisnu, dan Siwa
—beserta sakti (pasangan) masing-masing.

Umat dari berbagai sekte agama Hindu memuja dewa-dewi tertentu yang tak terhitung banyaknya dan
mengikuti aneka upacara untuk memuja dewa-dewi tersebut. Karena merupakan agama Hindu, maka
para penganutnya memandang kekayaan tradisi tersebut sebagai ungkapan dari suatu realitas yang
kekal. Dewa-dewi yang memanggul senjata dipahami oleh umatnya sebagai simbol-simbol dari suatu
realitas sejati yang tunggal.

— Brandon Toropov & Luke Buckles, The Complete Idiot's Guide to World Religions.[181]

Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang disebut dewa (atau dewi dalam bentuk
feminin, sedangkan dewata bersinonim dengan dewa), bermakna "yang bersinar", atau dapat
diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi".[182][183] Para dewa merupakan bagian integral dalam
kebudayaan Hindu dan ditampilkan dalam kesenian (lukisan, patung, relief), arsitektur, dan ikon. Cerita
mitologis mengenai keberadaan mereka terkandung dalam sejumlah sastra Hindu, terutama wiracarita
Hindu dan Purana.

Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai manifestasi dari Brahman.[i] Pustaka Weda dan Upanishad
tidak mengajarkan panteisme ataupun politeisme, melainkan monoteisme dan monisme.[185] Ada
banyak dewa, namun mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari suatu "kenyataan sejati".[185]
Keberadaan konsep monisme dan monoteisme berjalin-jalin. Dalam banyak sloka, kenyataan sejati
dikatakan imanen, sedangkan dalam sloka lainnya dikatakan transenden.[186] Secara monisme,
kenyataan sejati tersebut adalah Brahman, sedangkan pandangan monoteisme lebih berfokus pada
wujud-wujud beratribut (Saguna) dari Brahman.[186]
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara (Tuhan Yang Maha Esa), meskipun banyak umat
Hindu menyembah Iswara dalam suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada Tuhan yang berbeda)
sebagai istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu) dari Tuhan yang cenderung
dipuja.[187][188] Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang atau menurut tradisi regional
dan keluarga.[189]

Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa atau dewata, dan Purana menjelaskan bahwa
sebagian di antaranya merupakan para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan merupakan murid
dari Wrehaspati. Menurut mitologi Hindu dalam Purana, sebelum memperoleh keabadian melalui tirta
amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan makhluk yang berseteru dengan para asura atau
raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran. Kekuatan dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang
abadi—Brahma, Wisnu, Siwa.

Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa karena kemasyhuran mereka dalam kitab suci dan
pemujaan.[190] Mereka berdua, beserta Brahma, dipandang sebagai Trimurti—tiga aspek dari Yang
Mahakuasa. Ketiga aspek tersebut melambangkan seluruh siklus samsara menurut agama Hindu:
Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pelindung atau pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur. Dua di
antara tiga dewa tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki pengikut dengan jumlah banyak sehingga
membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan Saiwa) dalam tubuh agama Hindu. Dalam kajian tentang
Trimurti, Sir William Jones menyatakan bahwa umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga wujud:
Wisnu, Siwa, Brahma … Gagasan fundamental agama Hindu, bahwa metamorfosis, atau transformasi,
dicontohkan melalui [konsep] awatara."[191]

Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama Hindu memiliki peran penting sebagaimana Trimurti dan berfungsi
sebagai pasangan bagi Trimurti. Brahma adalah Sang Pencipta, sehingga ia membutuhkan pengetahuan
atau Dewi Saraswati. Wisnu adalah Sang Pelindung, sehingga ia membutuhkan kemakmuran, yang
dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri). Sedangkan Siwa adalah Sang Pelebur, sehingga ia
membutuhkan Dewi Parwati, Durga, atau Kali sebagai kekuatannya. Para dewi tersebut adalah
manifestasi dari satu entitas, yaitu Sakti.

Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah tentang turunnya Tuhan ke dunia (inkarnasi)
dalam wujud fana demi menegakkan di masyarakat dan menuntun manusia mencapai moksa. Inkarnasi
itu disebut pula awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan perwujudan Wisnu, meliputi Rama
(tokoh utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting dalam Mahabharata).

Karma dan reinkarnasi


Dua sadu di Kuil Pahupatinatha, Nepal.

Sadu adalah istilah bagi kaum yogi yang sedang menempuh Rajayoga, yaitu jalan pengendalian pikiran,
demi melepaskan diri dari belenggu duniawi sehingga dapat mencapai kesadaran spiritual tingkat tinggi
atau bahkan moksa.

Karma diterjemahkan secara harfiah sebagai tindakan, kerja, perbuatan,[192] dan dapat dideskripsikan
sebagai "hukum moral sebab–akibat".[193] Menurut hukum karma, nasib baik berasal dari tindakan baik
terdahulu, dan nasib buruk berasal dari tindakan buruk terdahulu, yang merupakan suatu sistem aksi-
reaksi dan membentuk suatu siklus reinkarnasi.[194] Fenomena sebab-akibat tersebut tidak hanya
berlaku bagi dunia material, namun juga terhadap pikiran, perkataan, tindakan, dan tindakan yang
dilakukan berdasarkan perintah seseorang.[195]

Menurut kitab Upanishad, suatu jiwa membentuk sanskara (kesan) dari tindakan, baik secara fisik atau
mental. Linga-sarira (tubuh yang lebih halus daripada tubuh fisik namun lebih kasar daripada jiwa)
dilekati kesan-kesan tersebut, dan membawanya ke kehidupan selanjutnya, sehingga menciptakan jalan
kehidupan tersendiri bagi setiap orang.[196] Maka dari itu, konsep karma—yang universal, netral, dan
tak pernah meleset—berkaitan dengan reinkarnasi, demikian pula kepribadian, watak, dan keluarga
seseorang. Karma menyatukan konsep kehendak bebas dan nasib.

Karena agama Hindu meyakini bahwa jiwa tidak dapat dihancurkan,[197] maka kematian tidak
dipandang sebagai momok bagi kehidupan karena merupakan fenomena alami.[198] Maka dari itu,
seseorang yang sudah meninggalkan ambisi dan keinginannya, tidak memiliki tanggung jawab lagi di
dunia, atau terjangkiti penyakit mematikan dapat mengusahakan kematian dengan cara Prayopavesa.
[199]

Siklus aksi, reaksi, kelahiran, kematian, dan kelahiran adalah proses berkesinambungan yang disebut
samsara (reinkarnasi). Pemahaman akan reinkarnasi dan karma merupakan premis kuat dalam filsafat
Hindu. Dalam kitab Bhagawadgita (II:22) tertulis:

Seperti halnya seseorang memakai baju baru dan menanggalkan baju yang lama,

demikian pula jiwa memasuki tubuh yang baru, meninggalkan tubuh yang lama.

Dalam kepercayaan Hindu, samsara memberikan kesempatan bagi manusia untuk menikmati
kesenangan sesaat pada setiap kelahiran. Selama manusia terlena untuk terus menikmati kesenangan
tersebut, maka mereka akan dilahirkan kembali. Akan tetapi, pelepasan diri dari belenggu samsara
(melalui moksa) diyakini dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian abadi.[200] Menurut
kepercayaan ini, setelah mengalami reinkarnasi berkali-kali, pada akhirnya suatu atman akan mencari
persatuan dengan sukma alam semesta (Brahman/Paramatman).
Dalam agama Hindu, tujuan hidup sejati—yang disebut sebagai moksa, nirwana, atau semadi—dipahami
dalam berbagai arti: realisasi penyatuan jiwa dengan Tuhan; realisasi hubungan kekal dengan Tuhan;
realisasi dari penyatuan seluruh hal yang ada; wawas diri sempurna serta pengetahuan akan diri yang
sejati; pencapaian atas kedamaian batin yang sempurna; dan pelepasan dari segala keinginan duniawi.
Realisasi semacam itu membebaskan seseorang dari samsara dan mengakhiri siklus lahir kembali.[201]
[202]

Konseptualisasi moksa berbeda-beda tergantung mazhab atau aliran Hinduisme. Sebagai contoh,
mazhab Adwaita Wedanta berpedoman bahwa setelah mencapai moksa, atman tidak lagi mengenali
dirinya sebagai individu, melainkan menyadari bahwa Brahman identik dalam segala hal, termasuk
kesamaannya dengan atman. Pengikut mazhab Dwaita (dualistis) memandang individu sebagai bagian
dari Brahman, dan setelah mencapai moksa, mereka yakin akan memperoleh kekekalan di loka bersama
dengan manifestasi Iswara yang dipilihnya. Maka dari itu, dianalogikan bahwa pengikut dwaita berharap
untuk "menikmati gula", sementara pengikut Adwaita berharap untuk "menjadi gula".[203]

Tujuan hidup manusia

Filsafat Hindu klasik mengakui empat hal yang harus dipenuhi sebagai tujuan hidup manusia—
sebagaimana dijabarkan di bawah ini—yang disebut purusarta:

Darma: Darma adalah prinsip yang tak boleh diabaikan oleh umat Hindu. Darma dapat dipandang
sebagai kewajiban (dalam hal kegiatan duniawi ataupun rohani), hukum, keadilan, tindakan benar, dan
berbagai kualitas yang mendukung harmoni segala sesuatu. Brihadaranyaka-upanishad memandang
darma sebagai prinsip universal—tentang aturan, kewajiban, dan harmoni—yang berasal dari Brahman.
Darma berlaku sebagai prinsip moral bagi alam semesta. Darma merupakan sat (kebenaran), ajaran
pokok dalam agama Hindu. Hal ini berpangkal pada pernyataan dalam Regweda bahwa "Ekam Sat,"
(Kebenaran Hanya Satu), dari keyakinan bahwa Brahman itu sendiri merupakan "Satcitananda"
(Kebenaran-Kesadaran-Keberkatan). Darma tidak hanya sekadar aturan atau harmoni, namun
kebenaran murni. Dalam Mahabharata, Kresna mendefinisikan darma sebagai penegak perkara di dunia
manusia dan dunia lain (Mbh 12.110.11). Kata Sanātana berarti 'kekal', 'tak mati', atau 'selamanya';
maka, agama Hindu sebagai Sanātana-dharma bermakna suatu darma yang tidak berawal atau berakhir.
[204]

Arta: Arta adalah upaya mencari harta demi penghidupan dan kemakmuran. Hal ini juga mencakup
usaha mencari pekerjaan, berpolitik, memelihara kesehatan, dan mencari kesejahteraan material.[205]
Arta dibutuhkan demi mencapai kehidupan yang makmur sentosa, terutama bagi umat yang sudah
berumah tangga. Ajaran tentang arta disebut Arthashastra, dan yang termasyhur di antaranya adalah
Arthashastra karya Kautilya.[206]

Kama: Kama berarti hasrat, keinginan, gairah, kemauan, dan kenikmatan panca indra. Kama dapat pula
berarti kesenangan estetis dalam menikmati kehidupan (seni, hiburan, kegembiraan), kasih sayang,
ataupun asmara.[207][208] Akan tetapi, kama dalam hubungan asmara atau percintaan hanya dapat
dipenuhi melalui hubungan pernikahan. Kama dibutuhkan dalam membangun kehidupan rumah tangga,
atau grehasta.

Moksa: Moksa atau mukti adalah tujuan hidup yang utama bagi umat Hindu. Moksa adalah keadaan
yang sama sekali berbeda dengan pencapaian surga. Moksa adalah suatu kondisi saat individu
menyadari esensi dan realitas sejati dari alam semesta, sehingga individu mengalami kemerdekaan dari
kesan-kesan duniawi, tanpa suka ataupun duka, lepas belenggu samsara, serta lepas dari hasil
perbuatan (karma) yang melekati individu selama mengalami proses reinkarnasi.[209]

Jalan menuju Tuhan

Karma marga

Karmayoga

Bhakti marga

Bhaktiyoga

Jñāna marga

Jnanayoga

Rāja yoga

Rajayoga

Empat jalan spiritualitas (caturmarga) dalam agama Hindu. Setiap jalan menyediakan cara yang berbeda
untuk mencapai moksa.

Umat Hindu memenuhi tujuan hidupnya dengan menempuh jalan yang berbeda-beda. Jalan tersebut
merupakan yoga. Yoga di sini dapat diartikan sebagai disiplin fisik, mental, dan spiritual demi
memperoleh kedamaian dan ketenangan pikiran.[210] Dalam konteks dan tradisi lain, yoga dapat pula
didefinisikan sebagai "upaya mengendalikan pikiran agar [pikiran] tidak liar", atau "[usaha]
mempersatukan diri dengan Tuhan".[210] Ajaran tentang pelaksanaan yoga dihimpun dan diuraikan
oleh para resi atau orang bijak. Kitab yang memuat ajaran yoga meliputi Bhagawadgita, Yogasutra,
Hathayoga-pradipika, dan Upanishad sebagai basis filosofis dan historisnya. Yoga mengarahkan umat
Hindu untuk mencapai tujuan hidup yang spiritual (moksa, samadhi, atau nirwana), baik secara langsung
maupun tidak langsung. Empat macam jalan (yoga) utama yang sering disinggung yakni:[211]

Karmayoga (melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya dengan ikhlas)

Bhaktiyoga (mencintai Tuhan dan menyayangi segala makhluk)

Jnanayoga (mencari pengetahuan dan berkontemplasi tentang Tuhan)

Rajayoga (mengendalikan pikiran dengan meditasi, sikap tubuh, atau semacamnya)

Seseorang dapat memilih salah satu atau beberapa yoga sekaligus, sesuai dengan kecenderungan dan
pemahamannya. Beberapa aliran Hinduisme yang menekankan pengabdian mengajarkan bahwa bhakti
adalah satu-satunya jalan praktis untuk mencapai kesempurnaan spiritual bagi masyarakat awam,
berdasarkan kepercayaan bahwa dunia sedang berada pada masa Kaliyuga (salah satu jangka waktu
dalam siklus Yuga yang kini sedang berlangsung).[212] Melaksanakan salah satu yoga tidak berarti
mengabaikan yang lainnya. Banyak mazhab Hinduisme mengajarkan bahwa berbagai yoga secara alami
berbaur dan mendukung pelaksanaan yoga lainnya. Contohnya praktik jnanayoga, yang dianggap pasti
mengarahkan seseorang untuk memberikan kasih sayang murni (tujuan utama bhaktiyoga), dan
demikian sebaliknya.[213] Seseorang yang mendalami meditasi tingkat tinggi (seperti yang ditekankan
raja yoga) harus mewujudkan prinsip pokok dari karmayoga, jnanayoga, dan bhaktiyoga, baik secara
langsung maupun tak langsung.[211][214]

Pustaka suci

Artikel utama: Susastra Hindu

Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, agama Hindu berdasarkan kepada himpunan
pedoman spiritual yang ditemukan oleh orang yang berbeda-beda pada zaman yang berbeda-beda.[215]
[216] Selama berabad-abad, pedoman itu diwariskan secara lisan dalam bentuk syair agar dapat
dihafalkan, sampai akhirnya dituliskan.[217] Selama berabad-abad, para resi menyaring ajaran tersebut
dan memperluas dalil-dalilnya. Pada masa setelah Periode Weda dan menurut keyakinan Hindu masa
kini, banyak pustaka Hindu tidak untuk ditafsirkan secara harfiah. Yang diutamakan adalah etika dan
makna metaforis yang terkandung di dalamnya.[218] Di antara pustaka suci tersebut, Weda merupakan
yang paling tua, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam
mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah
Tantra, Agama, Purana, serta dua wiracarita, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah
ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering
disebut sebagai intisari Weda. Banyak pustaka Hindu yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Pustaka-
pustaka tersebut digolongkan menjadi dua kelas: Sruti dan Smerti.

Sruti

Regweda adalah salah satu kitab suci tertua di dunia. Naskah Regweda dalam foto ini ditulis dengan
aksara Dewanagari.

Sruti (artinya "apa yang didengar")[219] terutama mengacu kepada kumpulan Weda, yang merupakan
bentuk pustaka Hindu tertua. Banyak umat Hindu mengagungkan Weda sebagai kebenaran abadi yang
diwahyukan kepada para resi purbakala,[216][220] sementara umat yang lain tidak menyangkutpautkan
penyusunan Weda dengan Tuhan atau seseorang. Umat Hindu meyakini kumpulan Weda sebagai
pedoman bagi dunia spiritual, yang akan ada selama-lamanya, bahkan tetap ada jika seandainya tidak
pernah diwahyukan kepada para resi.[215][221] Umat Hindu memiliki kepercayaan demikian karena
mengimani bahwa kebenaran spiritual dalam Weda bersifat kekal, yang dapat terus diungkapkan
dengan cara-cara yang baru.[222]
Ada empat kitab Weda, yaitu Regweda (Ṛgveda), Samaweda (Sāmaveda), Yajurweda (Yajurveda), dan
Atharwaweda (Atharvaveda). Kitab Regweda adalah kitab Weda yang pertama dan terpenting. Setiap
Weda dibagi menjadi empat bagian: yang utama—Weda yang baku—adalah Samhita (Saṃhitā), yang
menghimpun mantra-mantra. Tiga bagian lainnya membentuk seperangkat golongan suplemen bagi
Samhita, biasanya dalam bentuk prosa dan dipercaya berusia lebih muda daripada Saṃhitā. Adapun tiga
bagian tersebut adalah Brahmana (Brāhmaṇa), Aranyaka (Āraṇyaka), dan Upanishad. Dua bagian
pertama disebut Karmakanda (Karmakāṇḍa; porsi ritual), sedangkan yang terakhir disebut Jnanakanda
(Jñānakāṇḍa; porsi pengetahuan).[223] Kumpulan Weda berfokus kepada pelaksanaan upacara,
sementara kumpulan Upanishad berfokus kepada pandangan spiritual dan ajaran filosofis, serta
memperbincangkan Brahman dan reinkarnasi.[218][224][225]

Smerti

Kitab-kitab Hindu yang tak termasuk Sruti digolongkan ke dalam Smerti (ingatan). Kitab Smerti yang
terkenal yaitu wiracarita India (Itihasa), terdiri dari Mahabharata (Mahābhārata) dan Ramayana
(Rāmāyaṇa). Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah
kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat
keagamaan, mitologi, dan cerita tentang makhluk supernatural.

Kitab Bhagawadgita (Bhagavadgītā) merupakan suatu bagian integral dalam Mahabharata, dan
merupakan salah satu kitab suci Hindu yang masyhur. Kitab tersebut mengandung ajaran filosofis yang
dinarasikan oleh Kresna—sebagai awatara Wisnu—kepada Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra.
Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-
jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan
suci sekaligus pokok-pokok ajaran Weda.[226] Akan tetapi, kitab yang termasuk Gita—kadangkala
disebut Gitopanishad—seringkali digolongkan ke dalam Sruti, karena konteksnya bersifat Upanishad.
[227]

Kitab-kitab Purana (Purāṇa)—yang menguraikan ajaran-ajaran Hindu melalui kisah-kisah yang gamblang
—tergolong ke dalam Smerti. Purana memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman purba yang
diyakini kebenarannya oleh umat Hindu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno".
Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab
Purana yang disebut Mahapurana.

Kitab lain yang tergolong ke dalam Smerti meliputi Dewimahatmya (Devīmahātmya), Tantra, Yogasutra,
Tirumantiram, Siwasutra, dan Agama (Āgama). Selain itu, ada kitab Manusmerti, yang merupakan kitab
hukum preskriptif yang mendasari aturan kemasyarakatan dan stratifikasi sosial yang kemudian
menuntun masyarakat membentuk sistem kasta di India. Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan
masing-masing aliran dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat
suci Hindu dan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk
menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem
astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya.
Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.

Sejarah

Periodisasi

James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi sejarah India
menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania.[228][229] Periodisasi ini menuai kritik
karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya.[230] Periodisasi lainnya memilah-milah menjadi periode
kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[231] Smart[232] dan Michaels[233] tampaknya mengikuti
periodisasi menurut Mill,[j] sedangkan Flood[234] dan Muesse[236][237] mengikuti periodisasi yang
terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[238]

Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:

Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik". Itu merupakan
periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[k] Jainisme, dan Buddhisme. Menurut Smart,
"periode klasik" berlangsung dari 100 M hingga 1000 M, dan bertepatan dengan suburnya "Hinduisme
Klasik", serta pertumbuhan dan kemunduran Buddha Mahayana di India.[240]

Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa "Reformisme Asketis",[241]
sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M adalah masa "Hinduisme Klasik", karena adanya
titik balik antara agama Weda dan agama Hindu.[242]

Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu antara 800 SM dan 200 SM, yang
ia sebut sebagai "Periode Klasik". Menurut Muesse, beberapa konsep dasar agama Hindu, yaitu karma,
reinkarnasi, serta pencerahan dan transformasi seseorang—yang tidak ditemui dalam agama Weda—
berkembang pada periode tersebut.[243]

Smart[232] Michaels[14] Muesse[237] Flood[244]

Umum Detail

Peradaban Lembah Sungai Indus

dan

Periode Weda

(kr. 3000 – 1000 SM) Agama-Agama Pra-Weda

(prasejarah – kr. 1750 SM) Peradaban Lembah Sungai Indus

(3300 – 1400 SM) Peradaban Lembah Sungai Indus


(kr. 2500 – 1500 SM)

Agama Weda Kuno

(kr. 1750 – 500 SM) Periode Weda Awal

(kr. 1750 – 1200 SM) Periode Weda

(1600 – 800 SM) Periode Weda

(kr. 1500 – 500 SM)

Periode Weda Pertengahan

(dari 1200 SM)

Periode Praklasik

(kr. 1000 SM – 100 M) Periode Weda Akhir

(dari 850 SM) Periode Klasik

(800 – 200 SM)

Reformisme Asketis

(kr. 500 – 200 SM) Periode Epos dan Purana

(kr. 500 SM – 500 M)

Hinduisme Klasik

(kr. 200 SM – 1100 M) Hinduisme Praklasik

(kr. 200 SM – 300 M) Periode Epos dan Purana

(200 SM – 500 M)

Periode Klasik

(kr. 100 M – 1000 M) "Zaman Kejayaan"

(Kemaharajaan Gupta)

(kr. 320 – 650 M)

Hinduisme-Klasik Akhir

(kr. 650 – 1100 M) Periode-Purana Pertengahan dan Akhir

(500 – 1500 M) Periode-Purana Pertengahan dan Akhir

(500 – 1500 M)

Peradaban Hindu-Islam

(kr. 1000 – 1750 M) Penaklukan Muslim dan


Kemunculan Sekte-Sekte Hinduisme

(kr. 1100 – 1850 M)

Abad Modern

(1500 – kini) Abad Modern

(kr. 1500 – kini)

Periode Modern

(kr. 1750 – kini) Hinduisme Modern

(sejak kr. 1850)

Agama-Agama Pra-Weda

Artefak yang disebut cap Shiva-pashupati (Siwa sang penguasa satwa), berasal dari masa Peradaban
Lembah Sungai Indus.

Ras manusia pertama yang menduduki India (kr. 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat periode Paleolitik)
adalah Australoid yang mungkin memiliki hubungan dengan penduduk asli Australia.[245] Ada dugaan
bahwa ras tersebut hampir punah atau terdesak oleh gelombang migrasi pada masa berikutnya.[246]

Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras Kaukasoid (meliputi bangsa Elamo-Dravida [kr. 4000[247]
hingga 6000 SM][248] dan Indo-Arya [kr. 2000[249] hingga 1500 SM][250]) dan Mongoloid (Sino-Tibet)
bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida[l] ada kemungkinan berasal dari Elam, kini merupakan
wilayah Iran.[247][248][251][252]

Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama Hindu[m]—berasal
dari zaman mesolitik[254] dan neolitik.[253] Beberapa agama suku di India masih bertahan, mendahului
dominansi agama Hindu, namun tidak harus dianggap bahwa ada banyak kemiripan antara masyarakat
suku pada zaman prasejarah dengan masa kini.[255]

Menurut antropolog Gregory Possehl, peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM) mengandung
titik pangkal yang logis, atau mungkin arbitrer, bagi beberapa aspek pada tradisi Hindu di kemudian hari.
[256] Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan kepada Dewa Yang Mahakuasa, yang
dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama John Marshall) sebagai proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu
Dewi, yang mendasari figur Sakti. Praktik-praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang
berlanjut ke periode Weda meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan tetapi, hubungan antara dewa-
dewi dan praktik agama lembah sungai Indus dengan agama Hindu masa kini telah menjadi subjek
perselisihan politis serta perdebatan para ahli.[257]
Periode Weda

Artikel utama: Periode Weda dan Brahmanisme

Peta dataran subur India Utara.

Periode Weda—yang berlangsung dari kr. 1750 sampai 500 SM[233][n]—disebut demikian karena
berdasarkan agama berbasis Weda yang dianut oleh bangsa Indo-Arya,[259][o] yang bermigrasi ke India
barat daya setelah mundurnya peradaban lembah sungai Indus[260][261][262] (ada kemungkinan dari
stepa Asia Tengah).[251][263] Bangsa ini membawa serta bahasa[264] dan agama mereka.[250][265]
Agama mereka berkembang lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran India Utara setelah kr. 1100 SM dan
menjadi pastoralis.[266][267][268]

Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal dari bahan-bahan
agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis),[269] sastra yang mendasari tradisi pada masa itu
adalah Weda Samhita, sehingga periode tersebut dinamai demikian. Kitab tertua di antara sastra Weda
tersebut adalah Regweda, yang diperkirakan telah disusun pada periode 1700–1100 SM.[p] Sastra Weda
memusatkan pemujaan kepada para dewa seperti Indra, Baruna, dan Agni, serta melangsungkan
upacara Soma. Kurban dengan api, yang disebut yadnya (yajña) dilaksanakan dengan merapalkan
mantra-mantra Weda.[271][272] Sastra Weda dikodifikasi ketika bangsa Indo-Arya mulai menduduki
dataran India Utara yang subur, kemudian melakukan transisi dari masyarakat penggembala menuju
masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul. Masyarakat
baru tersebut melibatkan penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur tersebut. Mereka
dimasukkan ke dalam sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas politik dan keagamaan
berada di tangan kaum brahmana dan kesatria.[273]

Selama Periode Weda Awal (kr. 1500–1100 SM), suku-suku penganut Weda merupakan suku
penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut.[274] Setelah 1100 SM, seiring ditemukannya
besi, suku-suku penganut Weda berpindah ke dataran India Utara sebelah barat, dan mengadaptasi gaya
hidup agraris.[275][276] Bentuk-bentuk wilayah berdaulat yang belum sempurna mulai muncul, dan
yang paling menonjol atau berpengaruh adalah kerajaan suku Kuru.[266][277] Kerajaan tersebut
merupakan ikatan kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi masyarakat setingkat negara—yang
pertama kali tercatat dalam sejarah Asia Selatan—sekitar 1000 M.[266] Secara terang-terangan, mereka
mengubah warisan budaya dari Periode Weda sebelumnya, mengumpulkan himne-himne Weda
menjadi suatu himpunan, dan mengembangkan upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban
India sebagai upacara-upacara srauta,[266] yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis
Hindu".[273][48]
Pada abad ke-9 dan ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-kitab Upanishad tertua.[278] Upanishad
membentuk suatu dasar teoretis bagi Hinduisme Klasik dan dikenal sebagai Wedanta (kesimpulan dari
Weda).[279] Kitab-kitab Upanishad kuno menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah.
[280] Spekulasi monistis yang beragam dari ajaran Upanishad disintesiskan menjadi suatu kerangka
teistis dalam kitab suci Hindu Bhagawadgita.[281]

Etika dalam kitab-kitab Weda berdasarkan konsep satya dan reta. Satya adalah prinsip integrasi yang
berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang meregulasi dan mengkoordinasi
jalannya alam semesta beserta segala sesuatu di dalamnya.[282] Kesesuaian dengan reta akan
memungkinkan sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan
hal yang tidak diinginkan.[283] Istilah dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang
dipandang sebagai aspek dari reta.[284] Istilah reta juga dikenal dalam agama Proto-Indo-Iran, yaitu
agama orang-orang Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab Weda (Indo-Aryan) dan Zoroastrianisme
(Iran). Asha (aša) adalah istilah dalam bahasa Avesta yang mirip dengan ṛta dalam Weda.[285]

Kitab-kitab Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata mengungkapkan
gagasan atau praktik yang populer.[286] Agama berbasis Weda pada periode selanjutnya hadir
berdampingan dengan agama-agama lokal—seperti pemujaan Yaksa[273][287][288]—dan ia sendiri
merupakan hasil dari campuran antara kebudayaan Indo-Arya dengan Harrapa.[52]

Reformisme Asketis

Mahavira

Mahavira

Buddha Gautama

Siddhartha Gautama

Dua tokoh terkemuka dari golongan Sramana, tradisi yang tidak mengakui kewenangan sastra Weda. Di
kemudian hari, Mahavira menjadi figur utama dalam Jainisme, sedangkan Siddhartha Gautama dalam
Buddhisme.

Artikel utama: Sramana

Peningkatan urbanisasi di India pada abad ke-7 dan ke-6 SM telah mendukung terjadinya gerakan asketis
atau Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai upacara.[289] Mahavira (kr. 549–477 SM,
pemuka Jainisme) dan Buddha Gautama (kr. 563–483 SM, penggagas tradisi Buddhisme) adalah tokoh-
tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut.[290] Menurut Heinrich Zimmer, Jainisme dan Buddhisme
adalah bagian dari warisan kebudayaan pra-Weda, yang juga meliputi Samkhya dan Yoga:
Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya] Brahman-Arya,[q] tetapi mencerminkan kosmologi
dan antropologi masyarakat kuno pra-Arya golongan atas [yang tinggal] di India bagian timur laut –
dengan berpangkal pada dasar-dasar yang sama tentang spekulasi metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya,
dan Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India lainnya yang tidak berbasis Weda.[r][291][292]

Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan kematian (siklus
reinkarnasi), konsep samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari reinkarnasi tersebut), yang
menjadi karakteristik Hinduisme.[293]

James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist Pilgrimage menulis bahwa
Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915), dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa
Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin
menyatakan ketiadaan pengaruh apa pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian
tertentu, Sang Buddha menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.[294]

Hinduisme Klasik

Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan dengan zaman
kejayaan Hindu pada masa Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode Hinduisme Klasik Akhir. Periode
Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan agama Islam ke Asia Selatan, lalu diikuti dengan
pendirian aliran atau sekte dalam agama Hindu.

Hinduisme Praklasik

Pada periode dari 500[48] hingga 200 SM,[295] dan kr. 300 M, terjadi "sintesis Hindu",[48] yang
menyerap pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha,[295][296] serta kemunculan tradisi bhakti dalam
balutan Brahmanisme melalui pustaka Smerti.[297] Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan
agama Buddha dan Jainisme.[58]

Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan agama berbasis
Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di bawah naungan agama Weda.
[298] Ketika Brahmanisme mulai kehilangan pamornya[242] dan harus bersaing dengan Buddhisme dan
Jainisme,[297] agama-agama yang populer mendapat kesempatan untuk menonjolkan ajarannya.[298]
Menurut Embree:

Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas perkembangan [agamanya] sebagai maksud
untuk menghadapi gempuran aliran-aliran yang lebih heterodoks. Pada saat yang sama, di kalangan
agama-agama pribumi yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan sastra Weda telah memberikan suatu
tali persatuan yang tipis—namun begitu signifikan—di antara kemajemukan dewa-dewi dan praktik
keagamaan [yang ada].[s][298]

Menurut Larson, para brahmana menanggapinya dengan asimilasi dan konsolidasi. Hal tersebut
tercerminkan dalam pustaka Smerti yang mulai disusun pada periode itu.[299] Kitab-kitab Smerti dari
periode 200 SM–100 M mempermaklumkan kewenangan Weda, sehingga pengakuan terhadap
kewenangan Weda menjadi kriteria utama untuk membedakan Hinduisme dengan aliran heterodoks
yang menolak Weda.[300] Sebagian besar gagasan dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal dari
pustaka Smerti, yang kemudian menjadi inspirasi dasar bagi kebanyakan umat Hindu.[299]

Dua wiracarita India terkemuka—Ramayana dan Mahabharata—yang tergolong ke dalam Smerti,


disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan awal zaman Masehi.[301]
Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para pemimpin dan peperangan pada zaman
India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan ajaran agama. Sastra Purana yang disusun pada masa
berikutnya mengandung cerita tentang para dewa-dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan
pertempuran mereka melawan para rakshasa. Kitab Bhagawadgita memperkuat keberhasilan[302]
konsolidasi agama Hindu,[302] dengan memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan Sramana
menjadi suatu kebaktian yang teistis.[302][303][304]

Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab filsafat Hindu dikodifikasikan secara formal, meliputi
Samkhya, Yoga, Nyaya, Waisesika, Purwamimamsa, dan Wedanta.[305]

"Zaman Kejayaan"

Artikel utama: Kemaharajaan Gupta

Candi Dashavatara di Deogarh, negara bagian Uttar Pradesh, India. Candi ini dibangun pada abad ke-6,
era Dinasti Gupta.

Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring dengan berkembangnya perdagangan ke
negeri yang jauh, standardisasi prosedur legal, dan pemberantasan buta huruf.[306] Buddhisme aliran
Mahayana menyebar, sedangkan kebudayaan Brahmana ortodoks mulai disegarkan kembali di bawah
perlindungan Dinasti Gupta,[307] yang dipimpin para raja penganut Waisnawa.[308] Kedudukan para
brahmana diperkuat kembali dan kuil-kuil Hindu mulai didirikan sebagai dedikasi untuk dewa-dewi
Hindu.[306] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, sastra Purana mulai ditulis, digunakan untuk
menyebarkan ideologi keagamaan umum di kalangan masyarakat pribumi dan buta huruf yang
menjalani akulturasi.[309] Para raja Gupta melindungi tradisi Purana yang mulai berkembang demi
perbawa wangsa mereka.[308] Hal ini menyebabkan timbulnya Hinduisme-Puranis (Puranic Hinduism),
yang berbeda dengan Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada Dharmasastra dan Smerti.[309]
Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan tradisi bhakti yang
tumbuh sangat cepat, bermula di Tamil Nadu (India Selatan). Para Nayanar dari aliran Saiwa (abad ke-4 –
ke-10)[310] serta para Alwar dari aliran Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi
bhakti ke berbagai penjuru India dari abad ke-12 hingga ke-18.[311][310]

Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi intelektual—kurun waktu
paling gemilang dalam perkembangan filsafat India, ketika filsafat Hindu dan Buddha tumbuh subur
secara berdampingan.[312] Carwaka, mazhab materialisme ateistis, tampil di India Utara sebelum abad
ke-8.[313]

Hinduisme Klasik Akhir

Setelah runtuhnya kemaharajaan Gupta dan Harsha, kekuasaan di India mengalami desentralisasi.
Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan negeri taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan
tersebut dipimpin dengan sistem feodal. Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih
besar. Maharaja sulit dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan,[314] sebagaimana yang
digambarkan dalam mandala Tantra, dan kadangkala raja digambarkan sebagai pusat mandala.[315]

Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta persaingan religius.
[316] Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh Hinduisme-Brahmanis ritualistis
(ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang.[316] Gerakan rakyat dan kebaktian mulai bermunculan,
seiring dengan [tumbuhnya] aliran Saiwa, Waisnawa, Bhakti, dan Tantra, meskipun pengelompokan
menurut sekte hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-aliran tersebut.[316] Gerakan
keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari penguasa lokal. Agama Buddha kehilangan
pamornya setelah abad ke-8, lalu mulai memudar di India.[316] Hal tersebut tersirat dari penghentian
ritus puja Buddhis di lingkungan istana-istana India pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu
menggantikan peran Buddha sebagai pelindung kerajaan.[317]

Sastra Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di kalangan
masyarakat pribumi yang mengalami akulturasi. Seiring dengan dadal yang dialami Dinasti Gupta, tanah-
tanah perawan dikumpulkan oleh para brahmana, yang tidak hanya menjamin keuntungan agraris dari
eksploitasi tanah yang dimiliki para raja, tetapi juga memberikan status bagi kelas penguasa yang baru.
[318] Para brahmana menyebar ke berbagai penjuru India, berinteraksi dengan warga lokal yang
menganut kepercayaan dan ideologi berbeda. Para brahmana menggunakan Purana untuk mengajak
berbagai klan menjadi masyarakat agraris, serta mengikuti agama dan ideologi para brahmana.[64]
Menurut Flood, para brahmana yang mengikuti agama berbasis Purana kemudian dikenal sebagai
Smarta, artinya orang yang bersembahyang berdasarkan Smerti, atau Pauranika, yaitu penganut Purana.
[319] Kepala suku dan warga lokal diserap ke dalam sistem warna, demi mengendalikan tindak tanduk
kaum "kesatria dan sudra baru" tersebut.[320] Kelompok-kelompok brahmana semakin besar dengan
mengikutsertakan orang lokal, seperti pendeta dan rohaniwan lokal. Hal ini mengarah ke stratifikasi bagi
kaum brahmana, sehingga ada golongan brahmana yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan
brahmana lainnya.[64] Penarapan sistem kasta lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-
aliran Sramana (Buddha atau Jaina). Pustaka Purana mencantumkan suatu riwayat silsilah yang luas
sehingga dapat memberikan status kesatria baru bagi suatu golongan. Sementara itu, ajaran Buddha
menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara orang yang terpilih dengan rakyat, dan
chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda dengan model penaklukkan yang dilakukan para
kesatria dan kaum Rajput Hindu.[320]

Lukisan Kresna sebagai Gowinda atau "pelindung para sapi", dari abad ke-19.

Brahmanisme berdasarkan pustaka Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi radikal di tangan
para penyusun Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis (Puranic Hinduism),[309]
bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan", yang kemudian melintangi segala agama-
agama yang ada.[321] Hinduisme Puranis merupakan sistem kepercayaan yang terdiri dari banyak
bagian yang tumbuh dan meluas dengan menyerap dan memadukan gagasan-gagasan bertentangan dan
berbagai tradisi pemujaan.[321] Agama ini berbeda dengan Smarta yang menjadi pangkalnya.
Perbedaan itu terletak pada ketenaran, pluralisme teologis, pluralisme sekte, pengaruh Tantra, dan
pengutamaan bhakti.[321]

Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme Puranis. Wisnu dan Siwa
tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan dengan Sakti/Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya
menimbulkan kultus Narayana, Jagatnata, Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:

Beberapa inkarnasi Wisnu seperti Matsya, Kurma, Waraha, dan bahkan Narasinga membantu pemaduan
simbol-simbol totem populer dan mitos penciptaan, khususnya yang berkaitan dengan babi hutan, yang
umumnya meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan [inkarnasi] lainnya seperti Kresna dan
Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan mitos lokal yang berpusat pada dewa-dewa
pedesaan dan pertanian.[t][322]

Rama dan Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi bhakti, yang terutama diungkapkan dalam
Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa kultus berbasis naga, yaksa, bukit, dan
pepohonan.[323] Siwa menyerap kultus-kultus lokal dengan menambahkan kata Isa atau Iswara pada
nama dewa-dewa lokal, contohnya Buteswara, Hatakeswara, Candeswara.[324] Dalam lingkungan
keluarga raja pada abad ke-8, puja terhadap Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi
Hindu. Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah satu awatara Wisnu.[325]
Mazhab Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh agama Buddha[326]—
dirumuskan kembali oleh Adi Shankara dengan membuat sistematisasi karya-karya para filsuf
pendahulunya.[327] Pada masa kini, karena pengaruh Orientalisme Barat dan Perenialisme terhadap
Neo-Wedanta India dan nasionalisme Hindu,[328] Adwaita Wedanta mendapatkan sambutan yang luas
dalam kebudayaan India dan di luar India sebagai contoh paradigmatis dari spiritualitas Hindu.[328]

Kehadiran Islam dan sekte Hindu

Informasi lebih lanjut: Penaklukan India oleh Muslim

Reruntuhan Candi Somnath pada tahun 1869. Candi ini pernah didirikan dan dihancurkan berkali-kali
selama periode penaklukan India oleh Muslim, sampai akhirnya dipugar pada tahun 1951.

Meskipun Islam sudah datang ke India sejak awal abad ke-7 (seiring dengan kedatangan para pedagang
Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi agama utama selama periode penaklukan Islam
di Asia Selatan pada masa selanjutnya.[329] Pada periode tersebut, agama Buddha memudar secara
drastis, dan banyak umat Hindu pindah agama ke Islam.[330][331] Banyak penguasa muslim beserta
panglimanya, seperti Aurangzeb dan Malik Kafur yang menghancurkan tempat ibadah umat Hindu dan
menindas kaum non-muslim;[332][333] akan tetapi, beberapa penguasa muslim seperti Akbar bersikap
lebih toleran.

Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh Guru Ramanuja yang terkemuka,
serta Guru Madhwa, dan Sri Caitanya.[329] Pengikut gerakan Bhakti beralih dari konsep Brahman yang
abstrak—yang dianjurkan oleh filsuf Adi Shankara berabad-abad sebelumnya—dengan tradisi kebaktian
yang lebih bersemangat terhadap pemujaan para awatara yang lebih mudah dibayangkan, terutama
Kresna dan Rama.[334] Menurut Nicholson, antara abad ke-17 dan ke-16, beberapa cendekiawan
tertentu mulai menarik benang merah pada kanekaragaman ajaran filosofis dalam Upanishad,
wiracarita, Purana, dan mazhab filsafat yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat
Hindu yang umum.[335] Lorenzen menentukan bahwa asal mula identitas ke-Hindu-an yang khas
berawal dari interaksi antara muslim dan umat Hindu,[86] dan dari suatu proses pencarian jati diri yang
membedakan diri dengan muslim,[336] yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[87] Baik cendekiawan
India ataupun Eropa—yang mempopulerkan istilah "Hinduisme" pada abad ke-19—telah mendapat
pengaruh dari filsafat tersebut.[26] Michaels menggarisbawahi bahwa historisasi muncul sebelum
nasionalisme di kemudian hari, yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.
[88]

Hinduisme masa kini

Di tengah kekuasaan British Raj (penjajahan Inggris atas India), Renaisans Hindu mulai bangkit pada abad
ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan agama Hindu, baik di India ataupun di
Barat.[13] Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian kebudayaan India dari sudut pandang Eropa) didirikan
pada abad ke-19, dipimpin oleh para ahli seperti Max Müller dan John Woodroffe. Mereka memboyong
filsafat dan pustaka Weda, Purana, dan Tantra ke Eropa. Para orientalis mencari-cari "hakikat" agama-
agama di India, dan menemukannya pada pustaka Weda,[337] sambil membuat gagasan bahwa
"Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari berbagai adat keagamaan dan gambaran populer mengenai
‘India yang mistis’.[338][13] Gagasan tersebut diambil alih oleh beberapa gerakan reformasi Hindu
seperti Brahmo Samaj, yang didukung untuk sesaat oleh Gereja Unitarian,[339] bersama dengan
gagasan Universalisme dan Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama memiliki dasar mistisisme
yang sama.[340] "Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka seperti Vivekananda, Aurobindo, serta
Radhakrishnan menjadi panutan dalam pemahaman populer mengenai agama Hindu.[341][342][343]
[344]

Tokoh Hindu yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah Ramana Maharshi, B.K.S. Iyengar, Paramahansa
Yogananda, Swami Prabhupada (pendiri ISKCON), Sri Chinmoy, dan Swami Rama, yang menerjemahkan,
merumuskan ulang, dan memperkenalkan pustaka dasar agama Hindu bagi khalayak awam masa kini
dengan imla yang baru, mengangkat pandangan tentang Yoga dan Wedanta di Dunia Barat, serta
menarik pengikut baru dan perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.

Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai kekuatan politis dan acuan bagi
jati diri bangsa India. Sejak pendirian Hindu Mahasabha pada 1910-an, banyak gerakan bertumbuh
dengan perumusan dan perkembangan ideologi Hindutva pada dekade-dekade berikutnya; pendirian
Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan percabangan RSS—yang kemudian berhasil—
yaitu Jana Sangha dan Bharatiya Janata Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa pascakemerdekaan
India.[345] Religiositas Hindu juga memainkan peran penting dalam gerakan nasionalis.[346]

Pranata

Caturwarna

Sekelompok pendeta Hindu suku Tengger, Jawa Timur. Foto dari tahun 1910-an.

Artikel utama: Warna dalam agama Hindu

Masyarakat Hindu dikategorikan menjadi empat kelas, disebut warna, yaitu sebagai berikut:

Brahmana: pendeta dan guru kerohanian

Kesatria: bangsawan, pejabat, dan tentara

Waisya: petani, pedagang, dan wiraswasta

Sudra: pelayan dan buruh


Kitab Bhagawadgita menghubungkan warna dengan kewajiban seseorang (swadharma), pembawaan
(swabhāwa), dan kecenderungan alamiah (guṇa).[84] Berdasarkan pengertian warna menurut
Bhagawadgita, tokoh spiritual Hindu Sri Aurobindo membuat doktrin bahwa pekerjaan seseorang
semestinya ditentukan oleh bakat dan kapasitas alaminya.[347][348] Dalam kitab Manusmerti terdapat
pengelompokan kasta-kasta yang berbeda.[349]

Mobilitas dan fleksibitas dalam warna menampik dugaan diskriminasi sosial dalam sistem kasta,
sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa sosiolog,[350][351] meskipun beberapa ahli tidak
sependapat.[352] Para ahli memperdebatkan apakah sistem kasta merupakan bagian dari Hinduisme
yang diatur oleh kitab suci, ataukah sekadar adat masyarakat.[353][354][u] Berbagai ahli berpendapat
bahwa sistem kasta dibangun oleh rezim kolonial Britania.[356] Menurut guru rohani Hindu Sri
Ramakrishna (1836–1886):

Para pencinta Tuhan tidak tergolong dalam kasta tertentu … Seorang brahmana tanpa cinta pada Tuhan
bukanlah brahmana lagi. Dan seorang paria tanpa cinta pada Tuhan bukanlah paria lagi. Melalui bhakti
(pengabdian kepada Tuhan), seorang hina dina dapat menjadi suci dan derajatnya pun meningkat.[357]

Menurut sastra Wedanta, orang yang berada di luar warna disebut "warnatita". Para ahli seperti Adi
Sankara menegaskan bahwa tidak hanya Brahman yang melampaui seluruh warna, namun seseorang
yang dapat bersatu dengan-Nya juga dapat melampaui seluruh perbedaan dan pembatasan kasta-kasta.

Jenjang kehidupan

Upacara pernikahan umat Hindu menurut adat di Orissa, India.

Artikel utama: Caturasrama

Secara tradisional, kehidupan umat Hindu terbagi menjadi empat āśrama atau caturasrama (empat fase
atau empat tahapan). Bagian pertama dalam kehidupan seseorang adalah Brahmacari, yaitu masa
menuntut ilmu. Tahap ini dilaksanakan sebelum masa kawin, untuk dapat berkontemplasi secara murni
dan bijaksana di bawah bimbingan Guru, demi membangun pikiran dan fondasi spiritual. Tahap
berikutnya adalah Grehasta, yaitu tahap membangun kehidupan rumah tangga, dilaksanakan dengan
cara menikah dan memenuhi kāma (kenikmatan indria) dan arta (kemakmuran). Setelah berumah
tangga, kewajiban moral yang dilaksanakan meliputi: mengasuh anak, merawat orang tua, menghormati
tamu dan orang suci.

Setelah berumah tangga dalam jangka waktu tertentu, umat Hindu kemudian menempuh tahap
Wanaprasta, yaitu masa pensiun atau masa melepaskan diri dari kesibukan duniawi. Tahap ini dapat
dilaksanakan dengan cara menyerahkan tanggung jawab kepada keturunan, agar pensiunan
mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk melakukan aktivitas keagamaan dan mengunjungi
tempat-tempat suci. Tahap yang terakhir adalah Sannyasa, yaitu masa menghabiskan sisa hidup dengan
melakukan tapa brata, atau berusaha melepaskan diri dari ikatan duniawi. Pelepasan tersebut dilakukan
dalam rangka menemukan Tuhan, serta untuk mencari cara meninggalkan tubuh fana secara damai,
agar mencapai suatu kondisi yang disebut moksa.[358]

Praktik keagamaan

Praktik keagamaan Hindu biasanya bertujuan untuk mencari kesadaran akan Tuhan, dan kadangkala
mencari anugerah dari para dewa. Maka dari itu, ada beragam praktik keagamaan dalam tubuh
Hinduisme yang dimaksudkan untuk membantu seseorang dalam upaya memahami Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari.

Persembahyangan

Seorang praktisi Bhaktiyoga sedang bermeditasi.

Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, umat Hindu biasanya mengucapkan mantra. Mantra adalah
seruan, panggilan, atau doa yang membantu umat Hindu agar dapat memusatkan pikiran kepada Tuhan
atau dewa tertentu, melalui kata-kata, suara, dan cara pelantunan. Pada pagi hari, di tepi sungai yang
dikeramatkan, banyak umat Hindu yang melaksanakan upacara pembersihan sambil melantunkan
Gayatri Mantra atau mantra-mantra Mahamrityunjaya.[359] Wiracarita Mahabharata mengagungkan
japa (lagu-lagu pujaan) sebagai kewajiban terbesar pada masa Kaliyuga (zaman sekarang, 3102 SM–kini).
[360] Banyak aliran yang mengadopsi japa sebagai praktik spiritual yang utama.[360]

Praktik spiritual Hindu yang cukup populer adalah Yoga. Yoga merupakan ajaran Hindu yang gunanya
melatih kesadaran demi kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual. Hal ini dilakukan melalui
seperangkat latihan dan pembentukan posisi tubuh untuk mengendalikan raga dan pikiran.[361]

Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-lagu pujian. Praktik ini memiliki bentuk beragam: dapat
berupa mantra semata atau kirtan, atau berupa dhrupad atau kriti dengan musik berdasarkan raga dan
tala menurut musik klasik India.[362] Biasanya, bhajan mengandung syair untuk mengungkapkan cinta
kepada Tuhan. Istilah tersebut sepadan dengan bhakti yang artinya "pengabdian religius", menyiratkan
pentingnya bhajan bagi gerakan bhakti yang menyebar dari India bagian selatan ke seluruh subkontinen
India pada masa Moghul.

Penggalan cerita dari kitab suci, ajaran para orang suci, serta deskripsi para dewa telah menjadi subjek
bagi pelaksanaan bhajan. Tradisi dhrupad, qawwali Sufi,[363] dan kirtan atau lagu dalam tradisi Haridasi
berkaitan dengan bhajan. Nanak, Kabir, Meera, Narottama Dasa, Surdas, dan Tulsidas adalah para
pujangga bhajan terkemuka. Tradisi dalam bhajan seperti Nirguni, Gorakhanathi, Vallabhapanthi,
Ashtachhap, Madhura-bhakti, dan Sampradya Bhajan dari India Selatan memiliki repertoar dan cara
pelantunan masing-masing.

Upacara

Upacara choroonu (nama lain dari annaprashan) di Kerala.

Banyak umat Hindu dari berbagai aliran yang melaksanakan ritual keagamaan sehari-hari.[364][365]
Banyak umat Hindu yang melaksanakannya di rumah,[366] tetapi pelaksanaannya berbeda-beda
tergantung daerah, desa, dan kecenderungan umat itu sendiri. Umat Hindu yang saleh melaksanakan
ritual sehari-hari seperti sembahyang subuh sehabis mandi (biasanya di kamar suci/tempat suci
keluarga, dan biasanya juga diiringi dengan menyalakan pelita serta menghaturkan sesajen ke hadapan
arca dewa-dewi), membaca kitab suci berulang-ulang, menyanyikan lagu-lagu pemujaan, meditasi,
merapalkan mantra-mantra, dan lain-lain.[366] Ciri menonjol dalam ritual keagamaan Hindu adalah
pembedaan antara yang murni dan sudah tercemar. Ada aturan yang mengisyaratkan bagaimana
kondisi-kondisi yang dikatakan tercemar atau tak murni lagi, sehingga pelaksana upacara harus
melakukan pembersihan atau pemurnian kembali sebelum upacara dimulai. Maka dari itu, penyucian—
biasanya dengan air—menjadi ciri umum dalam kebanyakan aktivitas keagamaan Hindu.[366] Ciri
lainnya meliputi kepercayaan akan kemujaraban upacara dan konsep pahala yang diperoleh melalui
kemurahan hati atau keikhlasan, yang akan bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu sehingga
mengurangi penderitaan di kehidupan selanjutnya.[366]

Ritus dengan sarana api (yadnya) kini tidak dilakukan sesering mungkin, meskipun pelaksanaannya
sangat diagungkan dalam teori. Akan tetapi, dalam upacara pernikahan dan pemakaman adat Hindu,
pelaksanaan yadnya dan perapalan mantra-mantra Weda masih disesuaikan dengan norma.[367]
Beberapa upacara juga berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai contoh, pada masa beberapa abad
yang lalu, persembahan tarian dan musik sakral menurut kaidah Sodasa Upachara yang standar—
sebagaimana tercantum dalam Agamashastra—tergantikan oleh persembahan dari nasi dan gula-gula.

Peristiwa seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian melibatkan seperangkat tradisi Hindu yang
terperinci. Dalam agama Hindu, upacara bagi "siklus kehidupan" meliputi Annaprashan (ketika bayi
dapat memakan makanan yang keras untuk pertama kalinya), Upanayanam (pelantikan anak-anak kasta
menengah ke atas saat mulai menempuh pendidikan formal), dan Śrāddha (upacara menjamu orang-
orang dengan makanan karena bersedia melantunkan doa-doa kepada "Tuhan" agar jiwa mendiang
mendapatkan kedamaian).[368][369] Untuk perihal pernikahan, bagi sebagian besar masyarakat India,
masa pertunangan pasangan muda-mudi serta tanggal dan waktu pernikahan ditentukan oleh para
orang tua dengan konsultasi ahli perbintangan.[368] Untuk perihal kematian, kremasi merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kerabat mendiang, kecuali bila mendiang adalah sanyasin, hijra,
atau anak di bawah lima tahun. Biasanya, kremasi dilakukan dengan membungkus jenazah dengan
pakaian terlebih dahulu, lalu membakarnya dengan api unggun.

Ahimsa

Artikel utama: Ahimsa

Mahatma Gandhi adalah tokoh Hindu dari India yang memilih untuk menerapkan praktik ahimsa dalam
upaya menentang pemerintah kolonial Inggris pada masa Gerakan Kemerdekaan India.

Umat Hindu menganjurkan praktik ahimsa (ahiṃsā; artinya "tanpa kekerasan") dan penghormatan
kepada seluruh bentuk kehidupan karena mereka meyakini bahwa "percikan dari Tuhan" juga meresap
ke dalam setiap makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan hewan.[370] Istilah ahimsa disebutkan dalam
kitab-kitab Upanishad[371] dan wiracarita Mahabharata. Ahimsa adalah yang pertama di antara lima
yama (pancayamabrata; lima prinsip pengendalian diri) dalam Yogasutra Patanjali,[372] dan menjadi
prinsip pertama bagi seluruh anggota Warnasramadarma (brahmana, kesatria, waisya, dan sudra)
menurut Manusmerti.[373]

Konsep ahimsa dalam Hinduisme tidak seketat agama Buddha dan Jainisme, karena jejak keberadaan
praktik-praktik pengorbanan dapat ditelusuri dalam kitab-kitab Weda, contohnya mantra-mantra untuk
kurban kambing (dalam Regweda),[374] kurban kuda (Aswameda, dalam Yajurweda), dan kurban
manusia (Purusameda, dalam Yajurweda),[375] sedangkan dalam ritus Jyotistoma ada tiga hewan yang
dikurbankan melalui upacara yang masing-masing disebut Agnisomiya, Sawaniya, dan Anubandya.
Yajurweda dianggap sebagai Weda pengorbanan dan ritual,[376][377] serta menyebutkan beberapa
ritus pengurbanan hewan, contohnya mantra dan prosedur pengurbanan kambing putih kepada Bayu,
[378] seekor anak lembu kepada Saraswati, seekor sapi bertutul kepada Sawitr, seekor banteng kepada
Indra, seekor sapi yang dikebiri kepada Baruna, dan lain-lain.[379]

Tanggapan yang menentang pelaksanaan kurban datang dari aliran Carwaka yang menuliskan kritik
mereka dalam Barhaspatyasutra (abad ke-3 SM) sebagai berikut:

"Jika hewan yang dikurbankan dalam ritus Jyotistoma akan segera mencapai surga,

mengapa si pelaksana tidak segera mengurbankan ayahnya saja?"[380]

Pada masa perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di India, para raja Buddhis seperti Ashoka
memengaruhi rakyatnya dengan larangan pelaksanaan kurban.[375] Pada masa pemerintahan Ashoka,
sebuah titah diberlakukan dan dituliskan pada sebuah batu, dengan kata-kata sebagai berikut:
"Ini adalah titah dari orang yang disayangi para dewa, Raja Piyadasi. Tindak pembunuhan kepada hewan
tidak boleh dilakukan untuk seterusnya."[375]

Dari sini, reaksi sosial berkenaan dengan kitab tata cara pengorbanan (Brahmana) dapat ditelusuri.[375]
Menurut Panini, ada dua macam Brahmana, yaitu Brahmana Lama dan Brahmana Baru.[375] Dalam
Brahmana Lama—seperti Aitareya Brahmana untuk Regweda—pengorbanan benar-benar dilakukan,
namun dalam Brahmana Baru seperti Shatapatha Brahmana, hewan kurban dilepaskan setelah terikat
pada tiang pengorbanan.[375] Hal ini merupakan reaksi dari kebangkitan agama-agama Sramana—
seperti agama Buddha dan Jainisme—yang berakibat pada peletakan konsep ahimsa di kalangan praktisi
kitab Brahmana.

Vegetarianisme

Masakan vegetarian khas India Utara yang disajikan di suatu restoran di Tokyo, Jepang.

Sesuai dengan konsep ahimsa, maka banyak umat Hindu yang mengikuti vegetarianisme (tidak makan
daging) demi menghormati bentuk kehidupan yang tingkatannya tinggi. Sejumlah umat justru pantang
makan daging hanya pada hari-hari tertentu. Budaya makan juga bervariasi sesuai komunitas dan
kawasan. Sebagai contoh, beberapa kasta memiliki sedikit penganut vegetarianisme, sedangkan
masyarakat pesisir cenderung bergantung kepada masakan laut.[381][382] Perkiraan jumlah lakto-
vegetarian di India (mencakup umat seluruh agama di sana) bervariasi antara 20% dan 42%.[v]

Dalam agama Hindu, kemurnian makanan bersifat sangat penting karena ada keyakinan bahwa makanan
mencerminkan tiga kualitas sifat (triguna) yang umum, yaitu: kesucian (satwam), semangat (rajas), dan
kelambanan (tamas). Maka dari itu, aturan makan yang sehat akan menjadi sesuatu yang turut
membersihkan hati seseorang.[383] Berdasarkan alasan tersebut, umat Hindu dianjurkan untuk
menghindari atau meminimalkan konsumsi makanan yang tidak meningkatkan kebersihan hati.
Beberapa contoh makanan yang dimaksud adalah bawang merah dan bawang putih, yang diyakini
mengandung sifat rajas (keadaan yang dicirikan oleh sifat suka menentang dan egois), serta daging
(daging dari hewan apa pun), yang diyakini mengandung sifat tamas (keadaan yang dicirikan oleh
kemarahan, kerakusan, dan iri hati).[384]

Vegetarianisme dianjurkan oleh sejumlah aliran Hinduisme—meliputi Waisnawa dan Saiwa—yang


melarang pengorbanan hewan,[385] tetapi tidak dianjurkan oleh aliran Hinduisme yang mengizinkan
pengorbanan hewan.[386] Pada umumnya, pengorbanan hewan dilakukan oleh umat Hindu dari aliran
Sakta,[387] (beberapa) komunitas Hindu dari golongan sudra dan kesatria,[388][389] penganut aliran
Hinduisme di India Timur,[386] serta penganut aliran Hinduisme di Asia Tenggara.[390]
Pada umumnya, umat Hindu yang mengonsumsi daging tidak akan mau memakan daging sapi. Dalam
masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai pengasuh manusia serta merupakan figur keibuan,[391] dan
mereka menghormatinya sebagai lambang kasih tak bersyarat.[392] Maka dari itu, praktik
penyembelihan sapi dilarang secara resmi di hampir seluruh negara bagian di India.[393]

Pada masa kini, ada banyak kelompok keagamaan Hindu yang menekankan praktik vegetarianisme yang
ketat. Salah satu contoh yang terkenal adalah gerakan ISKCON (International Society for Krishna
Consciousness), yang mewajibkan pengikutnya untuk tidak hanya pantang makan daging (termasuk ikan
dan unggas), tetapi juga menghindari sayuran/tumbuhan tertentu yang dianggap dapat memberikan
pengaruh negatif, seperti bawang merah, bawang putih,[383] dan jamur.[394] Contoh yang kedua
adalah gerakan Swaminarayan. Pengikut gerakan ini juga sangat setia untuk tidak mengkonsumsi daging,
telur, dan ikan.[395]

Pertapaan

Tiga petapa Hindu di Lapangan Durbar, Kathmandu.

Sejumlah umat Hindu memilih untuk hidup sebagai petapa (Sanyāsa) dalam upaya mencapai "moksa"
ataupun bentuk kesempurnaan spiritual lainnya. Para petapa berkomitmen untuk hidup sederhana,
tidak berhubungan seksual, tidak mencari harta duniawi, serta berkontemplasi tentang Tuhan.[396]
Petapa Hindu disebut sanyasin, sadu, atau swāmi, sedangkan yang wanita disebut sanyāsini.

Orang yang melepaskan diri dari ikatan duniawi memperoleh respek yang tinggi dalam masyarakat
Hindu karena egoisme dan ikatan duniawi yang mereka lepaskan menjadi inspirasi bagi umat yang masih
berkeluarga untuk berjuang dalam pengendalian pikiran. Beberapa petapa tinggal di tempat suci atau
asrama, sedangkan yang lainnya berkelana dari satu tempat ke tempat lain dengan keyakinan bahwa
hanya Tuhan yang dapat memenuhi keinginan mereka.[397] Bagi umat Hindu awam, menyediakan
makanan dan kebutuhan untuk para petapa atau sadu merupakan jasa yang sangat besar. Sebaliknya,
para sadu menerimanya dengan rasa hormat dan simpati—tanpa memedulikan orang miskin atau kaya,
baik atau jahat—tanpa perlu memuji, mencela, menunjukkan rasa senang, ataupun sedih.[396]

Tempat suci

Artikel utama: Tempat suci Hindu

Tempat suci atau tempat peribadatan umat Hindu pada umumnya disebut kuil. Beberapa istilah lokal
untuk menyebut tempat suci Hindu meliputi candi, pura, mandir, devasthana, ksetram,
dharmakshetram, koil, deula, wat, dan bale keramat. Pembangunan kuil dan tata cara persembahyangan
diatur dalam beberapa kitab berbahasa Sanskerta yang disebut Agama, yang berhubungan dengan
dewa-dewi individual. Ada perbedaan substansial dalam arsitektur, adat, ritual, dan tradisi mengenai
kuil di berbagai wilayah India.[398]

Umat Hindu dapat menyelenggarakan puja (persembahyangan atau kebaktian) di rumah atau kuil.
Untuk peribadatan di rumah, biasanya umat Hindu membuat kamar suci atau kuil kecil dengan ikon atau
altar yang didedikasikan bagi dewa atau dewi tertentu (istadewata), misalnya Kresna, Ganesa, Durga,
dewa-dewi lokal, atau entitas lainnya yang dihormati (misalnya leluhur atau roh pelindung). Umat Hindu
melakukan persembahyangan melalui suatu murti atau pratima, dapat berupa arca, lingga, atau sesuatu
lainnya—sebagai lambang dari dewa yang dipuja—yang disakralkan/disucikan terlebih dahulu melalui
suatu upacara.

Biasanya, bangunan kuil didedikasikan sebagai tempat pemujaan kepada suatu dewa utama beserta
dewa-dewi sekunder yang terkait. Adapula bangunan kuil yang didedikasikan untuk beberapa dewa
sekaligus. Bagi sebagian besar umat Hindu di India, mengunjungi kuil bukanlah suatu kewajiban,[399]
dan banyak umat yang mengunjungi kuil hanya pada saat ada perayaan/hari raya. Murti atau pratima
dalam kuil berperan sebagai medium antara umat dan Tuhan.[400] Pencitraan murti dianggap sebagai
perwakilan atau manifestasi dari Tuhan, sebab umat Hindu meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana.
Meskipun demikian, ada golongan umat Hindu yang tidak melakukan persembahyangan dengan murti
dalam bentuk apa pun; contoh yang terkemuka adalah aliran Arya Samaj.

Anda mungkin juga menyukai