Anda di halaman 1dari 41

PENGARUH AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIA

A. Mengenal Agama Hindu dan Buddha


Sebelum masuk ke pembahasan lebih mendalam tentang bagaimana agama Hindu dan
Agama Buddha masuk ke Indonesia, kita akan membahas secara ringkas tentang kedua
agama dan kebudayaan ini.

1. Agama Hindu
Agama Hindu diperkirakan muncul di India antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM
(ada yang mengatakan sekitar tahun 1500 SM) dan merupakan agama tertua di dunia. Agama
ini tumbuh bersamaan dengan masuknya bangsa Arya, yaitu bangsa nomaden yang masuk
India dari Asia Tengah melalui Celah Kaiber. Kedatangan bangsa Arya ini mendesak bangsa
Dravida, penduduk asli India dan termasuk dalam kategori ras Australoid, dari sebelah
selatan sampai ke Dataran Tinggi Dekkan. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi
percampuran antara kebudayaan bangsa Arya dan bangsa Dravida, yang menghasilkan
kebudayaan Hindu.
Perkembangan agama Hindu di India pada hakikatnya dapat dibagi menjadi empat fase,
yakni zaman Weda, zaman Brahmana, zaman Upanisad, dan zaman Buddha.

a. Zaman Weda (1500 SM)


Zaman ini dimulai ketika bangsa Arya berada di Punjab di lembah Sungai Sindhu,
sekitar 2500—1500 tahun SM, setelah mendesak bangsa Dravida ke sebelah selatan sampai
ke Dataran Tinggi Dekkan. Bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi. Mereka
menyembah dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa, dan sebagainya. Dewa
tertinggi yang mereka anggap sebagai penguasa alam semesta mereka sebut Trimurti, yang
terdiri dari: Brahma (pencipta alam), Wisnu, (pemelihara alam), dan Siwa dewa perusak alam
dan dewa kematian). Walaupun banyak, semuanya merupakan manifestasi dan perwujudan
Tuhan Yang Maha Esa (disebut Brahman). Jadi, agama Hindu adalah agama monoteisme ,
bukan politeistis.

Gambar3.1 Trimurti

HISTORIA
Agama Hindu meyakiniTuhan itu Maha Esa. Salah satu ajaran filsafat Hindu,Adwaita
Wedanta menegaskan hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada
(Brahman), yang memanifestasikan (mewujudkan) diri-Nya kepada manusia dalam beragam
bentuk (dewa-dewa). Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang
disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima
keyakinan tersebut, yakni:
1) Widhi Tattwa, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya.
2) Atma Tattwa, percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk.
3) Karmaphala Tattwa, percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap
perbuatan.
4) Punarbhava Tattwa, percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi).
5) Moksa Tattwa, percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia.

Weda adalah kitab suci agama Hindu, muncul pada zaman ini. Weda termasuk dalam
golongan Sruti, secara harfiah berarti “yang didengar”, karena umat Hindu meyakini isi Weda
sebagai kumpulan wahyu dari Brahman (Tuhan).

Pada zaman ini pula masyarakat dibagi atas empat kasta:


1) Brahmana (ulama dan pendeta),
2) Ksatria (raja, bangsawan, panglima, dan tentara),
3) Vaisya (pedagang), dan
4) Sudra (pelayan semua golongan di atasnya).
Ada pula orang-orang yang dianggap berada di luar kasta, yaitu golongan Paria
(pengemis dan gelandangan).

b. Zaman Brahmana (1000-750 SM)


Pada zaman ini, kekuasaan kaum Brahmana amat besar dalam kehidupan keagamaan.
Merekalah yang mengantarkan persembahan umat kepada para dewa. Pada zaman ini pula
mulai disusun tata cara upacara keagamaan yang teratur dalam apa yang kemudian disebut
Kitab Brahmana. Weda menjadi pedoman penyusunan tata cara upacara agama ini.

c. Zaman Upanisad (7500-500 SM )


Pada zaman ini, yang dipentingkan tidak hanya upacara dan sesaji saja, tetapi lebih dari
itu, yaitu pengetahuan batin yang lebih tinggi. Zaman ini adalah zaman pengembangan dan
penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang berfilsafat atas dasar Weda.

d. Zaman Agama Buddha (500 – 300 SM)


Zaman ini dimulai ketika putra Raja Suddhodana yang bernama Siddharta menafsirkan
Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk
mendekatkan diri dengan Tuhan.

2. Agama Buddha
Agama Buddha merupakan perkembangan lebih lanjut dari agama Hindu. Buddha
sebenarnya merupakan sebutan bagi seseorang yang telah memperoleh pencerahan. Hal itu
sesuai dengan asai kata Buddhe itu sendiri: dari bahasa India berarti yang mencapai
pencerahan sejati. Awalnya agama Buddha bukanlah agama, melainkan ajaran dari seseorang
yang telah memperoleh pencerahan bernama Siddartha Gautama.
Pangeran Siddharta adalah anak raja beragama Hindu dari suku Sakya bernama
Suddhodana dan ratu Maha Maya Dewi. Sebagai anak raja, ia dilimpahi kemewahan. Ia
dilahirkan pada tahun 563 SM. Oleh para pertapa diramalkan Sang Pangeran kelak akan
menjadi entah ‫؛‬eorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau menjadi seorang Buddha. Konon,
Raja Suddhodana sedih mendengar ramalan tersebut; sebab, bila sang Pangeran menjadi
Buddha, tidak ada yang akan mewarisi takhta. Untuk mencegah terjadinya ramalan itu, para
pertapa menyarankan agar sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam situasi: orang
tua, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa. Itu berarti, tidak diperkenankan keluar
istana.
Suatu hari di usianya yang ke-29, Siddharta menyelinap keluar dari istana, ditemani
seorang kusir. Dalam perjalanan ia bertemu pengemis, orang tua, orang sakit, dan orang
meninggal, suatu pengalaman yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Ia berpikir, ‘mengapa
semua itu terjadi?’ ‘apakah yang dapat membebaskan manusia dari semuanya itu?’ Untuk
mencari jawabannya ia memutuskan untuk keluar dari istana dan berkelana sebagai pertapa.
Suatu saat sampailah ia di kota Bodh Gaya dan beristirahat di bawah pohon bodhi. Di
sini kemudian pada saat bulan purnama bulan Wai-sakha (April-Mei), ia memperoleh
jawaban atas pertanyaan itu, yang dilukiskan sebagai Penceerahan dan Kesadaran Sempurna.
Apakah kesadaran yang sempurna itu?
Buddha menemukan bahwa hidup ini adalah penderitaan (ketidakpuasan).
Penderitaan atau pengalaman ketidakpuasan itu disebabkan oleh nafsu keinginan
(keserakahan), ketidaksukaan (kebencian), dan kebodohan (kegelapan, kurangnya
kebijaksanaan). Ada keadaan damai di mana tidak ada penderitaan atau pengalaman
ketidapuasan, yaitu yang disebut Pencerahan atau Nirwana. Dengan Pencerahan manusia
bisa bebas dari penderitaan atau perasaan ketidakpuasan. Namun, pencerahan itu dapat
dicapai hanya dengan melakukan dan menghayati delapan jalan mulia (delapan jalan
kebenaran)) yaitu: Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perilaku Benar,
Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar.
Sepeninggal Buddha, para penganutnya menyebarkan ajarannya dan lahirlah agama
Buddha, dengan Kitab Suci Tripitaka. Agama ini berkembang sangat pesat di India di bawah
Raja Ashoka, yang semula beragama Hindu, dari Dinasti Maurya. Ia menyebarkan banyak
pendeta Buddha ke seluruh wilayah kekuasaannya, bahkan sampai di luar wilayah kerajaan.

negara bagian Bihar, India, tempat Siddartha Gautama mendapatkan Pencerahan


Pohon Bodhi di Bodh
Pada tahun 78 M, terjadi perpecahan di antara penganut Buddha. Perpecahan
melahirkan dua aliran, yaitu, Buddha Mahayana dan Buddha Hinayana. Ajaran dalam
Buddha Mahayana lebih kompleks karena banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan
lain, seperti agama Hindu atau Taoisme sehingga mengenal dewa-dewi juga. Sedangkan
Buddha Hinayana mendekati ajaran Buddha yang sesungguhnya. Di Indonesia, termasuk juga
Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos, aliran Hinayanalah yang berkembang,
sedangkan aliran Mahayana lebih berkembang di Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang.

HISTORIA
Sebelum kedatangan kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia menganut
kepercayaan tradisional berupa penghormatan terhadap roh leluhur, kekuatan alam
semesta, dan benda-benda tertentu (animisme dan dinamisme). Pengaruh Hindu-Buddha
membuat kepercayaan animisme-dinamisme beralih ke kepercayaan kepada dewa-dewi.

B. Proses Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia


Indonesia merupakan negara kepulauan yang letaknya strategis: berada di jalur
pelayaran yang menghubungkan negara-negara Barat dan Timur. Berlabuhnya kapal-kapal
dagang berbagai bangsa membuat masyarakat Indonesia tidak dapat menghindar dari
pengaruh luar. Faktor lainnya adalah alam, seperti pola angin musim yang berubah setiap
enam bulan sekali, yang memudahkan kapal-kapal dagang itu singgah di Indonesia dalam
waktu cukup lama.
Hubungan dagang antara Indonesia dan India diawali sejak tahun 1 M. Hubungan
perdagangan ini diikuti pula dengan hubungan kebudayaan seperti agama, sistem
pemerintahan, sosial dan budaya sehingga terjadi percampuran kebudayaan di antara dua
bangsa tersebut. Hubungan itu membuat bangsa Indonesia mengenal agama Hindu dan
Buddha.
Berikut beberapa teori (hipotesis) terkait proses masuknya agama dan kebudayaan
Hindu dan Buddha ke Indonesia.

Gambar 3.5 Penyebaran awal agama Hindu (tampak pada peta yang berwarna gelap).

1. Teori Waisya
Teori ini, dikemukakan oleh N. J. Krom, didasarkan pada alasan bahwa motivasi
terbesar datangnya bangsa India ke Indonesia adalah .:muk berdagang. Golongan terbesar
yang datang ke Indonesia idalah para pedagang India (kasta Waisya). Mereka bermukim di
Indonesia, bahkan menikah dengan orang Indonesia, dan ،emudian aktif melakukan
hubungan sosial tidak saja dengan nasyarakat Indonesia secara umum tetapi juga dengan
pemimpin kelompok masyarakat. Lewat interaksi itu mereka menyebarkan dan
memperkenalkan agama dan kebudayaan mereka.
Teori Waisya diragukan kebenarannya. Jika para pedagang yang berperan terhadap
penyebaran kebudayaan, maka pusat-pusat •cebudayaan mestinya hanya terdapat di wilayah
perdagangan, ‫؛‬eperti di pelabuhan atau di pusat kota yang ada di dekatnya. Kenyataannya,
pengaruh kebudayaan Hindu ini banyak terdapat di wilayah pedalaman, seperti dibuktikan
dengan adanya kerajaan-xerajaan bercorak Hindu di pedalaman Pulau Jawa.

2. Teori Ksatria
Menurut teori yang dikemukakan F.D.K Bosch ini, pada masa lampau di India sering
terjadi perang antargolongan. Para prajurit vang kalah atau jenuh menghadapi perang lantas
meninggalkan India. Rupanya, di antara mereka ada pula yang sampai ke wilayah Indonesia.
Mereka inilah yang kemudian berusaha mendirikan Koloni-koloni baru sebagai tempat
tinggalnya. Di tempat itu pula terjadi proses penyebaran agama dan budaya Hindu.
Kelemahan teori ini adalah tidak adanya bukti tertulis bahwa pernah terjadi kolonisasi
oleh para Ksatria India.

3. Teori Brahmana
Menurut teori yang dikemukakan J.C. van Leur ini, para Brahmana datang dari India
ke Indonesia atas undangan pemimpin suku dalam rangka melegitimasi kekuasaan mereka
sehingga setaraf dengan raja-raja di India. Teori ini didasarkan pada pengamatan terhadap
sisa-sisa peninggalan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu di Indonesia, terutama prasasti-
prasasti berbahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Di India, bahasa dan huruf itu hanya
digunakan dalam kitab suci Weda dan upacara keagamaan, dan hanya golongan Brahmana
yang mengerti dan menguasainya.
Teori ini pun diragukan kebenarannya. Alasannya: kendati benar hanya para Brahmana
yang dapat membaca dan menguasai Weda, para pendeta Hindu itu pantang menyeberangi
lautan.

4. Teori Arus Balik


Menurut teori yang dikemukakan oleh G. Coedes ini, berkembangnya pengaruh dan
kebudayaan India ini dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia mempunyai
kepentingan untuk datang dan berkunjung ke India, seperti mempelajari agama Hindu dan
Buddha. Sekembalinya dari India, mereka membawa-serta pengetahuan tentang agama dan
kebudayaan di India.
Banyak orang lebih meyakini teori arus balik: bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia
karena dibawa oleh orang Indonesia, yang mempelajarinya ketika mereka berada di India
untuk berbagai keperluan. Meski demikian, sampai saat ini teori arus balik masih
memerlukan banyak bukti lagi untuk memperkuat kebenarannya.
Sementara itu, sekitar abad ke-5 M agama Buddha mulai dikenal di Indonesia. Pada
akhir abad ke-5, seorang biksu Buddha dari India mendarat di sebuah kerajaan di Pulau Jawa,
tepatnya di Jawa Tengah sekarang. Pada akhir abad ke-7, I Tsing peziarah Buddha dari
Tiongkok, berkunjung ke Pulau Sumatra, kala itu disebut Swarnabhumi, tepatnya di Kerajaan
Sriwijaya. Ia menemukan bahwa Buddhisme diterima luas oleh rakyat, dengan Sriwijaya
sebagai pusat penting pembelajaran Buddhisme.
Pada pertengahan abad ke-8, Jawa Tengah berada di bawah kekuasaan raja-raja Dinasti
Syailendra yang merupakan penganut Buddha. Mereka membangun berbagai monumen
Buddha di Jawa, seperti Candi Borobudur. Monumen ini selesai dibangun awal abad ke-9.

C. Kehidupan Politik, Ekonomi,

Terlepas dari teori manakah yang paling benar tentang proses masuknya pengaruh
Hindu-Buddha ke Indonesia, pengaruh agama dan kebudayaan tersebut sangat tampak dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagian peninggalannya bahkan masih dapat kita saksikan
sampai saat ini, baik yang bersifat fisik (material) maupun nonfisik (abstrak). Berikut ini
bentuk-bentuk pengaruh Hindu-Buddha:

1. Bahasa dan Tulisan


Masuknya bangsa India (kebudayaan Hindu) ke Nusantara sejak abad ke-1 Masehi
mengantarkan masyarakat Nusantara ke budaya tulis atau masa aksara (masa ketika mereka
mengenal dan mempraktikkan tradisi tulisan). Budaya tulis itu menggunakan bahasa
Sanskerta dengan huruf Pallawa, yaitu sejenis tulisan vang ditemukan juga di wilayah India
bagian selatan. Dalam perkembangannya, huruf Pallawa menjadi dasar dari huruf-huruf lain
di Indonesia seperti huruf Kawi, Jawa Kuno, Bali Kuno,

Gambar : Perbandingan huruf-huruf dari beberapa daerah yang ada di Indonesia yang didasari oleh
huruf Pallawa. Huruf Pallawa memberi pengaruh pada beberapa aksara di Nusantara, termasuk di
antaranya aksara Jawa, Sunda, Bugis, dan Batak.

Lampung, Batak, dan Bugis-Makassar. Sedangkan bahasa Sanskerta tidak berkembang


sepesat huruf Pallawa; sebab, bahasa Sanskerta digunakan hanya di lingkungan terbatas, yaitu
di lingkungan istana dan oleh para Brahmana dalam upacara keagamaan.
Bukti pertama dikenalnya tulisan (aksara) di Nusantara adalah penemuan tulisan di atas
tujuh buah yupa abad ke-4 Masehi di wilayah Kutai, Kalimantan Timur.
Jejak sejarah berupa tulisan itu dapat dilihat melalui berbagai prasasti, kitab, dan
manuskrip (naskah).

a. Prasasti
Prasasti, dari kata bahasa Sanskerta yang berarti pujian, merupakan piagam atau
dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama, yang memuat informasi tentang
sejarah, peringatan atau catatan tentang sebuah peristiwa. Di antara berbagai sumber sejarah
kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, prasasti dianggap sumber terpenting karena
mampu memberikan kronologis suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat suatu
prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur
penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut
dikeluarkan. Hampir semua prasasti pada masa kerajaan Hindu, juga penggubahan karya
sastra sejak zaman Kerajaan Kediri, menggunakan huruf Pallawa.
Meski sebagian berisi pujian terhadap raja dan beberapa lainnya berisi tentang silsilah
suatu tokoh, utang-piutang, dan kutukan atau sumpah, sebagian besar prasasti yang
ditemukan di Indonesia berisi tentang sima, yaitu tentang perpindahan hak, pengumpulan
pajak dengan imbalan, dan pemberian jasa pada lembaga agama. Tulisan-tulisan pada prasasti
biasanya mengikuti format tertentu, seperti berisi tanggal, tahun, dan nama pejabat yang
memerintahkan pembuatan prasasti tersebut.
Prasasti ternyata tidak hanya ditulis di atas batu, tetapi juga dituliskan di atas
lempengan emas, perunggu, tembaga, daun lontar, daun nipah, kulit pohon, daluang (kertas
tradisional yang dibuat dari serat-serat tanaman yang memiliki tekstur kasar; digunakan
khususnya di pulau Jawa dan berkembang pesat pada masa Islam, sebagai pengganti kertas
lontar), kain, dan kertas.
Prasasti di Indonesia dapat dikelompokkan sesuai bahasanya. Prasasti dalam bahasa
Sansekerta terdapat pada prasasti-prasasti yang dibuat pada abad ke-4 sampai abad ke-9.
Misalnya, prasasti yang dipahatkan pada tiang batu (yupa) di wilayah Kerajaan Kutai,
prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara (Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Pasir Awi,
Muara Cianten, Tugu, dan Cidangiang).
Prasasti berikutnya adalah prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuno .
Jumlahnya tidak terlampau banyak, di antaranya Prasasti Kedu, Prasasti Dinoyo, dan prasasti-
prasasti dan prasasti-prasasti lain peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Bahasa Jawa Kuno
diperkirakan mulai digunakan sekitar abad ke-9.
Selain kedua bahasa tersebut, ditemukan juga prasasti dalam bahasa Melayu Kuno,
yang banyak ditemukan di Sumatra. Contoh: Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti TalangTuo,
dan Prasasti Telaga Batu, semuanya peninggalan Kerajaan Sriwijaya. selanjutnya, prasasti
dalam bahasa Bali kuno biasanya digunakan oleh kerajaan-Kerajaan Bali; selain huruf
Pallawa, prasasti ini juga menggunakan huruf Jawa Kuno dan Pranagari. Contoh prasasti
dalam huruf Bali Kuno adalah Prasasti Julah dan Prasasti Ugrasena.
Selain bahasa dan aksara yang telah disebutkan, di Indonesia ‫؛‬uga ditemukan prasasti
dalam aksara Persia. Aksara ini banyak digunakan untuk menuliskan teks-teks keagamaan
dan teks pada batu nisan. Kebanyakan prasasti dengan aksara ini berangka tahun sekitar abad
ke-11, misalnya prasasti yang terdapat di makam Raja Malik As-Saleh di Sumatra Utara,
berangka tahun 1297 M. -Aksara tersebut bahkan sudah digunakan jauh lebih awal lagi, yang
dibuktikan pada makam Fatimah binti Maimun (475 H/1082 M) d‫ ؛‬Leran, Gresik, Jawa
Timur.
b. Kitab
Dalam perkembangannya, pengenalan bahasa dan tulisan memungkinkan pujangga
Nusantara melahirkan karya-karya sastra berupa kitab. Kitab adalah kumpulan kisah, catatan,
atau laporan tentang suatu peristiwa, kadang di dalamnya terdapat juga mitos; pada masa
Hindu-Buddha biasanya kitab ditulis di atas daun lontar. Tulisan di dalamnya umumnya
bukan merupakan kalimat langsung, melainkan ditulis dalam rangkaian puisi yang indah dan
terbagi ke dalam sejumlah bait yang disebut pupuh. Adapun ungkapan yang ditulis dalam
bentuk puisi ini biasa disebut kakawin.
Kitab dapat dikategorikan sebagai karya sastra kuno, yang dalam perkembangannya di
Indonesia terdiri dari beberapa tahap:
1) Tahap pertama atau kesusastraan tertua, lahir pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Kitab
terkenalnya adalah Sang Hyang Kamahayanikan, oleh Sambara Suryawanasa. Kitab ini
menjelaskan tentang ajaran Buddha aliran Tantrayana.
2) Tahap kedua, lahir pada masa Kerajaan Kediri. Pada tahap ini lahir karya sastra besar
Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Mpu Kanwa, Kresnayana yang ditulis oleh Mpu
Dharmajaya, dan Bharatayuda yang ditulis oleh Mpu Sedah dan kemudian diselesaikan
oleh Mpu Panuluh. Kerajaan Kediri tercatat sebagai kerajaan yang memiliki hasil sastra
kuno yang cukup banyak, terutama pada saat pemerintahan Raja Jayabhaya.
3) Tahap ketiga, yaitu kesusasteraan yang lahir pada zaman Majapahit. Pada tahap ini lahir
Kitab Negarakertagama, ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Dari kitab inilah
kita banyak mengetahui tentang kehidupan masyarakat pada zaman Majapahit dan
silsilah dari para leluhur raja. Kitab ini juga menjadi salah satu sumber penulisan sejarah
politik Jawa dari abad ke-8 sampai abad ke-15. Selain Nagarakertagama, terdapat juga
Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular dan Kitab Pararaton, yang berisi mitos
tokoh Ken Arok (pendiri Singasari), dan Kitab
Bubhuksah, kitab yang berkisah tentang dua orang
bersaudara yang berusaha mencari kesempurnaan.

c. Manuskrip
Manuskrip adalah naskah tulisan tangan peninggalan
masa lalu yang berisi berbagai hal seperti cerita
kepahlawanan, hukum, upacara keagamaan, silsilah, syair,
mantra sihir, dan resep obat-obatan.
Contoh:
 Pustaha, yaitu naskah Batak yang ditulis dengan
aksara Batak di atas lembaran kayu alim;
 I La Galigo, yaitu sebuah naskah kuno dari Sulawesi
Selatan yang merupakan naskah epos (kepahlawanan)
yang berisi kisah tentang Kerajaan Luwu masa pra-
Islam; semula naskah ditulis menggunakan aksara
Bugis, namun dalam perkembangannya ditulis dalam
berbagai bahasa. Sejarawan Robert Wilson
menganggap I La Galigo sebagai hasil sastra kuno
terbaik karena ditulis dengan mengedepankan
objektivitas dan fakta sejarah.
Selain kedua naskah itu, ada juga naskah kuno
Lampung, yang ditulis di atas kulit kayu pohon bunut, 3.8 Pendharmaan Raja Anusapati (Majapahit) di Candi
menggunakan aksara Lampung. Aksara Lampung adalah Kidal, Malang, Jawa Timur. Tradisi memuliakan raja
bagaikan dewa (pendharmaan) dengan membangun
bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara candi khusus untuknya setelah meninggal merupakan
Pallawa dari India Selatan, yang diperkirakan masuk ke tradisi dewa raja.
Pulau Sumatera pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya.

2. Politik dan Sistem Pemerintahan


Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia, sistem pemerintahan yang
dianut di Indonesia adalah sistem pemerintahan desa, yang dipimpin seorang kepala suku dan
dipilih berdasarkan kekuatan dan kelebihannya. Dengan masuknya pengaruh Hindu muncul
konsep dewa raja: pimpinan tertinggi dalam sebuah kelompok adalah seorang raja, yang
diyakini sebagai titisan atau reinkarnasi dewa (Dewa Siwa ataupun Dewa Wisnu). Konsep ini
melegitimasi (mengesahkan) pemusatan kekuasaan pada raja.
Dari konsep ini pulalah Indonesia mulai mengenal sistem Pemerintahan Kerajaan,
dengan raja sebagai pimpinan tertinggi dibantu sejumlah pejabat yang bertugas sesuai
fungsinya (misalnya urusan ketatanegaraan, agama, hukum, perpajakan, upeti, dan lain-lain).
Sebagai penguasa, raja memiliki wewenang penuh terhadap seluruh tanah di wilayah
kerajaannya, sedangkan rakyat hanyalah penggarap. Rakyat juga wajib memberikan kesetiaan
yang penuh terhadap titah raja, termasuk dalam membangun istana dan candi tanpa menuntut
upah.
Sistem pemerintahan kerajaan pada masa kerajaan Hindu dan Buddha pada umumnya
terbagi dalam beberapa bidang, yaitu: bidang pertahanan atau angkatan perang, perdagangan,
keuangan, urusan luar negeri, pajak, dan hukum. Jabatan-jabatan ini dapat dirangkap hanya
oleh beberapa orang tergantung keinginan raja dan luasnya kerajaan. Raja adalah pemimpin
tertinggi.
Terdapat perbedaan sistem pemerintahan antara kerajaan Hindu-Buddha yang berlokasi
di Jawa Timur, Jawa Tengah bagian utara, dan Jawa Tengah bagian selatan. Hal ini dapat
diidentifikasi dengan melihat denah bangunan candi di dalam sebuah kompleks.
Pemerintahan kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Tengah bagian selatan bersifat feodal.
Hal ini terlihat dari denah bangunan candi: candi induk ditempatkan di bagian tengah dan
dikelilingi candi-candi perwara. Hal ini menandakan pusat pemerintahan sepenuhnya berada
di tangan raja. Sementara itu, bangunan candi-candi di Jawa Tengah bagian utara
mencerminkan sistem pemerintahan ferderal, di mana pemerintah pusat memerintah
kerajaan-kerajaan kecil yang sederajat secara demokratis. Hal ini tercermin dari lokasi-lokasi
dalam denah bangunan candi yang menyebar dalam kompleks percandian. Sistem federal
juga terlihat pada kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur, di mana negara-negara bagian
{state) yang berada di wilayah kekuasaannya memiliki otoritas penuh. Hal ini ditunjukkan
oleh denah bangunan candi: candi yang besar yang melambangkan pemerintah pusat
dibangun di bagian belakang candi-candi yang lain.

3. Ekonomi dan Sistem Mata Pencarian Hidup


Pengaruh India dalam bidang ekonomi tidak begitu besar. Sebab, sejak masa praaksara
penduduk Nusantara telah mengenal tradisi agraris, pedagangan, dan pelayaran. (M. Dj.
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto mencatat pada zaman prasejarah penduduk
Indonesia adalah pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Lautan bukan
penghalang tetapi penghubung. Hubungan antarpulau malah lebih tnudah dibandingkan
dengan daerah pedalaman. Pusat-pusat perdagangan sudah tumbuh pesat di pesisir-pesisir
Sumatra dan Jawa. Menurut hasil penelitian F. Heger, adanya benda-benda peninggalan
bersejarah seperti nekara di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan adanya hubungan
antara kepulauan di Nusantara dengan berbagai daerah di Asia Tenggara.)
Kedatangan India memperkuat tradisi agraris, misalnya dengan mengenalkan teknologi
irigasi, serta semakin meramaikan aktivitas perdagangan dan pelayaran. Hal ini dibuktikan
dengan semakin berkembangnya kota-kota pelabuhan sebagaimana ditunjukkan Kerajaan
Pajajaran (Pelabuhan Sunda Kalapa), Sriwijaya, dan Majapahit.
4. Agama dan Sosiai Budaya
Sebelum pengaruh Hindu-Buddha masuk, bangsa Indonesia telah mengenal sistem
kepercayaan animisme dan dinamisme serta sejumlah kegiatan upacara yang terkait pemujaan
terhadap roh nenek moyang. Masuknya pengaruh Hindu membuat masyarakat Indonesia
mengenal dewa-dewi, yang merupakan perwujudan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap dewa-
dewi memiliki tempat dan perannya yang khas.
Dalam kehidupan sosial, pengaruh kebudayaan Hindu yang nyata adalah dikenalnya
sistem pelapisan sosial di dalam masyarakat yang disebut sistem Kasta. Meski demikian,
sistem kasta yang berlaku di Indonesia tidak seketat di negeri asalnya, India. Agama Buddha
tidak mengenal kasta.
Hasil budaya dua kebudayaan ini sampai sekarang masih dapat kita jumpai dalam
bentuk bangunan-bangunan candi seperti di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Bali. Ada candi
yang berstruktur agama Hindu dan ada pula candi yang bercorak agama Buddha.

5. Seni Bangunan, Seni Pahat dan Relief Candi


Candi merupakan bangunan utama yang banyak didirikan pada masa pengaruh Hindu-
Buddha. Candi-candi bercorak Hindu umumnya berfungsi untuk menghormati dan
memuliakan dewa-dewi Hindu. Contoh-contoh candi Hindu adalah Prambanan (untuk
memuliakan Dewa Siwa), Kalasan (Dewi Tara), Sewu (Manjusri), Gebang, kelompok Candi
Dieng, Candi Gedong Songo, Candi Panataran, dan Candi Cangkuang. Adapun candi-candi
bercorak Buddha berfungsi sebagai sarana ritual (memuliakan Buddha), menyimpan relikui
Buddhis ataupun biksu terkemuka atau keluarga kerajaan penganut Buddha (seperti abu
jenazah), atau sebagai tempat ziarah bagi para penganutnya. Contoh-contoh candi Buddha:
Borobudur, Sewu, Sari, Plaosan, Banyunibo, Sumberawan, Muara Takus.
Sementara itu, bangunan candi pada umumnya terdiri atas tiga bagian utama, yaitu:
 Bhurloka, yaitu bagian bawah candi yang melambangkan kehidupan dunia fana,
Ilustrasi tiga bagian utama Candi Prambanan: bhurhka bhurvaloka, Svarloka.

 Bhurvaloka, adalah bagian candi yang melambangkan tahap pembersihan dan


pemurnian jiwa, dan
 Svarloka, yang melambangkan tempat para dewa atau jiwa yang telah disucikan.

Meski struktur bangunan semua candi sama, masih terdapat perbedaan penting antara
bentuk candi di Jawa Tengah dan di lawa Timur. Ciri-ciri candi di Jawa Tengah adalah
berbentuk :ambun dengan hiasan kalamakara di atas gawang pintu masuk, puncak candi
berbentuk stupa, bahan utamanya batu andesit, dan _mumnya menghadap ke timur.
Sedangkan di Jawa Timur, ciri-ciri candinya adalah berbentuk lebih ramping, puncak candi
berbentuk kubus dan di atas gawang pintu terdapat hiasan atau wujud kepala raksasa yang
bentuknya lebih sederhana dari kalamakara, bahan utama dari batu bata, dan umumnya
menghadap ke barat.
Ciri utama candi Hindu adalah adanya ratna (hiasan berbentuk bunga teratai yang
masih kuncup) di puncaknya, relief (ukiran-ukiran yang membentuk suatu seri cerita atau
ajaran) di dinding-dindingnya, arca Trimurti, Durgamahisasuramardini, Agastya, serta
Ganesha (baik dalam bilik candi maupun relung dinding candi). Sedangkan ciri utama candi
Buddha adalah banyaknya patung Buddha dengan atribut sederhana serta bangunan stupa
dengan patung Buddha di dalamnya; selain itu, di kening Buddha selalu terdapat bintik kecil
yang disebut dengan urna, sebuah tanda yang menyimbolkan mata ketiga, yang mampu
memandang ke dunia ilahi (nirwana). Candi Buddha juga mengenal relief, seperti terdapat
pada dinding Candi Borobudur (yang menggambarkan kehidupan sang Buddha dan ajaran-
ajarannya).
Dalam seni pahat, kebudayaan Hindu dan Buddha meninggalkan banyak pengaruh,
yang sudah dirintis oleh nenek moyang kita pada zaman Megalithikum dalam rupa patung-
patung besar. Seni patung masa Hindu memiliki bentuk yang lebih proporsional dan memiliki
banyak atribut seperti tampak pada patung-patung dewa yang menghiasi candi. Pada candi
Buddha, meskipun bentuknya lebih sederhana, patungnya dibuat dengan mudra (gestur atau
sikap tubuh yang bersifat simbolis atau ritual)

D. Kerajaan-kerajaan Tradisional di Indonesia yang Bercorak Hindu dan/atau Buddha


Terdapat banyak kerajaan yang bercorak Hindu dan Buddha di
Indonesia. Kita hanya akan membahas beberapa kerajaan yang
pengaruhnya besar terhadap perkembangan sejarah Indonesia,
yaitu sebagai berikut.
No Kerajaan Agama Tahun Letak Raja Terkenal
1 Kutai Hindu Abad ke-4 M Kutai, Kalimantan Timur Mulawarman
2 Tarumanagara Hindu Abad ke-5 M Jawa Barat Purnawarman

3 Pajajaran Hindu Abad ke-7 M -ke- Bogor, Jawa Barat Sri Baduga Maharaja
(Sunda) 16 M
4 Melayu Buddha Abad ke-7 M -ke- Jambi S.T. Mauli
14 M Warmadewa,
Adityawarman

5 Kalingga Buddha Abad ke-7 M Blora dan Cepu, Jawa Ratu Sirna
Tengah

6 Sriwijaya Buddha Abad ke-7 M -ke- MuaraTakus (Riau) dan Dapunta Hyang,
15 M Palembang Dharmasetu,
Balaputradewa
7 Mataram Hindu (Sanjaya), Hindu & Abad ke-8 M Pedalaman Jawa Tengah (di Sanjaya,
Buddha (Syailendra), lalu sekitar daerah yang banyak Rakai Panangkaran,
kembali ke Hindu (Raja dialiri sungai seperti Progo, Samaratungga, Rakai Pikatan
Rakai Pika-tan, Sanjaya) Bogowonto, dan Bengawan
Solo)
Medang Hindu Abad ke-10 M Jawa Tengah, dan Jawa Mpu Sindok,
Kamulan Timur (dekat Jombang, tepi Dharmawangsa,
Sungai Brantas Airlangga

5 Kediri Hindu Abad 11-13 M Kediri, Jawa Timur Jayabhaya,


(1042-1222) Kertajaya

10 Singasari Hindu Abad ke-13 Singasari, Malang, Jawa Ken Arok, Ranggawuni,
Timur Kertanagara, Jayaka twang

11 Majapahit Hindu Abad ke-13 M -ke- Trowulan, Jawa Timur Raden Wijaya, Hayam Wuruk
15 M
12 Bali Hindu Abad ke-9 M Bali Dharma Udayana
Warmadewa

1. Kerajaan Kutai
a. Lokasi dan Sumber Sejarah
Kutai (Kutai Martadipura) merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia.
Berdiri sekitar abad ke-4, kerajaan ini berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Pusat
pemerintahannya diperkirakan di hulu Sungai Mahakam dengan wilayah kekuasaan meliputi
hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur.
Bukti arkeologis tentang keberadaan kerajaan ini adalah temuan prasasti yang ditulis di
atas tujuh buah yupa (tugu batu) antara tahun 1879 dan 1940 di daerah hulu Sungai
Mahakam. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pallawa (huruf yang banyak digunakan di
wilayah India selatan) dan berbahasa Sanskerta.

Peta kerajaan Kutai


Dari salah satu yupa tersebut diketahui raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu
adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya
menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana. Jadi, ketujuh yupa itu dibuat oleh
para Brahmana. Berikut hasil terjemahan sebuah prasasti:
“Sang Maharaja Kudungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang masyhur, Sang
Aswawarmman namanya, yang seperti Angsuman (=dewa Matahari) menumbuhkan
keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarmman mempunyai putra tiga, seperti api (yang
suci). Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarmman, raja yang
berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarmman telah mengadakan kenduri
(selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan)
itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana. ”
Prasasti-prasasti tersebut tidak memiliki angka tahun, namun gaya bahasa dan ciri
tulisan dalam prasasti tersebut banyak digunakan di India sekitar abad ke-4 M.
b. Keadaan masyarakat dan kehidupan sosila budaya
Keadaan masyarakat dan kehidupan sosial budaya Sumber tentang Kerajaan Kutai
sangat terbatas. Namun dari ketujuh yupa dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, disebutnya nama Kudungga, yang menurut para sejarawan merupakan nama
asli Indonesia. Disebutkan pula, Kudungga mempunyai putra bernama Aswawarman, yang
disebut-sebut sebagai pendiri Dinasti. Aswawarman memiliki putra bernama Mulawarman.
Dua nama terakhir jelas menggunakan bahasa Sanskerta, yang menunjukkan raja-raja Kutai
adalah bangsa Indonesia asli yang memeluk agama Hindu.
Kedua, Raja Mulawarman melakukan upacara pengurbanan dan memberikan hadiah
atau sedekah kepada para Brahmana sejumlah 1.000 ekor sapi. Hal ini menunjukkan Kerajaan
Kutai di bawah Mulawarman cukup kaya dan makmur.
Dari letaknya yang tidak jauh dari pantai, Kutai kemungkinan besar merupakan tempat
singgah kapal-kapal dagang India yang akan berlayar ke Cina dengan melalui Makassar dan
Filipina.
Pada masa Kerajaan Kutai ini pula mulai dikenal kebiasaan menulis di atas batu. Hal ini
merupakan keberlanjutan dari tradisi megalithik yang sudah ada sebelum masuknya pengaruh
Hindu, yaitu dalam bentuk menhir dan punden berundak, sebab di India tidak ditemukan
kebiasaan menulis di atas tugu batu. Di sini tampak terjadi percampuran antara kebudayaan
Hindu dan kebudayaan asli yang telah berkembang pada zaman praaksara.
Kerajaan Kutai (bercorak Hindu) berakhir saat raja Kutai Maharaja Dharma Setia tewas
di tangan raja Kutai Kartanegara ke-13 Aji Pangeran Anum Panji Mendapa (kerajaan Islam).

2. Kerajaan Tarumanegara
a. Lokasi dan sumber sejarah
Kerajaan Hindu tertua lainnya adalah Kerajaan Tarumanagara. Letaknya di wilayah
Jawa Barat sekarang. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah prasasti di daerah sekitar
Bogor (Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, dan Prasasti Muara Cianten),
Prasasti Tugu di Cilincing (Jakarta Utara), dan Prasasti Cidanghiang di desa Lebak, Banten
Selatan.
Kerajaan ini diperkirakan ada sejak abad ke-5 M, sezaman dengan Kerajaan Kutai. Hal
ini diperkuat oleh berita Cina yang menyebut kerajaan To-Lo-Mo (Tarumanagara)
mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 528, 538, 665, dan 666 M untuk sebuah kunjungan
persahabatan yang didasari oleh adanya hubungan dagang. To-Lo-Mo disebutkan terletak
terletak di sebelah tenggara Cina.
Kata taruma mungkin berasal dari kata tarum, yang berarti nila. Sampai sekarang nama
ini masih dapat kita jumpai sebagai nama sungai, yaitu Sungai Citarum. Raja yang
memerintah bernama Purnawarman. Sama dengan raja-raja di Kutai, Purnawarman adalah
asli bangsa Indonesia yang menggunakan nama India dan memeluk Hindu. Wilayah
kekuasaannya, menurut Prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat, yaitu
membentang dari Banten, Jakarta, Bogor, hingga Cirebon.

b. Kondisi Soaial politik kerajaan


Gambaran kondisi sosial-politik kerajaan adalah melalui tulisan yang terdapat pada
prasasti-prasasti tersebut. Dalam Prasasti Ciaruteun atau Prasasti Ciampea tertulis
“Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu ialah telapak
yang mulia sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia. ”
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan atau penaklukan raja atas daerah tempat
ditemukannya prasasti tersebut. Raja Purnawarman diibaratkan Dewa Wisnu (dewa
pemelihara alam semesta), yang menunjukkan pada masa itu rakyat menganggap Raja
Purnawarman sebagai pemelihara dan pelindung rakyat. Tulisan ini juga menggambarkan
pemerintahan di Kerajaan Tarumanagara telah menerapkan konsep dewa raja: raja yang
memerintah disamakan dengan Dewa Wisnu.
Dalam Prasasti Kebon Kopi terdapat gambar tapak kaki gajah, yang disamakan dengan
gajah Airawata, atau gajah kendaraan Dewa Wisnu. Sayangnya, sebagian isi prasasti ini tidak
terbaea.
Prasasti Tugu merupakan prasasti terpanjang dan terpenting dari Raja Purnawarman.
Tulisan yang ada di atas batu dapat dibaca secara melingkar, yang isinya antara lain
menyebutkan tentang pembangunan saluran air yang panjangnya 6.112 tombak (setara
dengan 11 km) yang diberi nama Gomati. Saluran ini dibuat ketika Raja Purnawarman telah
memerintah selama 22 tahun dan diselesaikan hanya dalam waktu 21 hari. Selain itu, prasasti
ini juga menyebutkan tentang penggalian Sungai Candrabagha, yang menurut para ahli sama
dengan Sungai Bekasi sekarang. Bekasi berasal dari kata baghasasi, sedangkan candra berarti
bulan atau sasi. Sangat dimungkinkan penggalian sungai ini adalah untuk mengatasi masalah
banjir, serta untuk mengairi sawah pada musim kemarau. Berikut kutipan terjemahan lengkap
prasasti tersebut:
“Dahulu sungai bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan
yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnawarman, untuk mengalirkannya ke
laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termasyhur. Pada
tahun ke-22 dari takhta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilau-kilauan karena
kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka
sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan
berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di
tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnawarman).
Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya
berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebuta panjangnya 6.122
tombak. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1.000 e kor sapi yang
dihadiahkan.
Dari prasasti-prasasti tersebut dapat kita ketahui pada masa itu di Jawa Barat telah
terdapat sebuah kerajaan yang besar dan cukup makmur, dan penduduknya hidup dari hasil
pertanian.
Pada akhir masa pemerintahan raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja
Linggawarman (memerintah 666-669 M), Kerajaan Tarumanagara pecah menjadi dua, yaitu
Kerajaan Sunda, vang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara di bawah
kekuasaan menantunya bernama Tarusbawa, dan Kerajaan Galuh di bawah Wretikandayun.
Baik Sunda maupun Galuh sebelumnya merupakan kerajaan bawahan Tarumanagara. Kelak
di bawah Sanjaya (putra Sanna raja ketiga Galuh), kedua kerajaan ini dipersatukan kembali
(tahun 732 M). Sanjaya menjadi pewaris takhta ibunya (Sanaha) di Bumi Mataram (Kalingga
utara), yang kelak melahirkan Kerajaan Mataram Kuno, sedangkan Galuh, Sunda, Kuningan,
dan Galunggung dibagi kepada dua orang putra hasil perkawinannya dengan putri dari
Tarusbawa). Di Mataram, Sanjaya mewariskan takhta kepada putranya Rakai Panangkaran,
hasil perkawinannya dengan Dewi Sudiwara, yaitu putri Dewasinga penguasa Kalingga
selatan alias Bumi Sambara.

3. Kerajaan Pajajaran (Sunda)


a. Lokasi dan Sumber Sejarah
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan
Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16)
pernah berdiri di wilayah barat Pulau Jawa, meliputi Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat,
dan sebagian Jawa Tengah sekarang. Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian
selatan Pulau Sumatra. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat
sekarang.

Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama
ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda sering disebut Kerajaan Pajajaran. Kerajaan ini
bercorak Hindu dan Buddha. Sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota d‫؛‬
Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Sunda Kalapa dan Banten
(Banten Girang).
Informasi penting di atas baru diketahui ketika ditemukan Prasasti Canggal (732 M).
Prasasti ini menyebutkan seorang bernama Sanjaya membangun sebuah tempat pemujaan
untuk Dewa Siwa di daerah Gunung Wukir, Jawa Tengah. Disebutkan pula nama dua orang
bernama Sanna dan Sanaha, orang tua Sanjaya. Selanjutnya dalam Kitab Carita Parahyangan,
sebuah naskah berbahasa Sunda Kuno dari abad ke-J6 dijumpai keterangan tentang Sanjaya.
Sanjaya dikatakan sebagai anak dari Raja Sena (Sanna) yang berkuasa di Galuh. Sumber
utama tentang kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke-15 sampai awal abad ke-16
dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan
kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno tersebut. Lalu,
bagaimana sebetulnya kondisi sosial-politik Kerajaan Pajajaran ini?
b. Kondisi sosial-politik kerajaan
Menurut Carita Parahyangan, Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun
669 (591 Saka). Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan
tarumanegara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja kinggawarman (memerintah
666-669 M), memiliki dua anak, semuanya perempuan. Dewi Manasih, putri sulungnya,
menikah dengan Tarusbawa dari Sunda (kerajaan bawahan Tarumanagara), sedangkan vang
kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Janayasa, pendiri Kerajaan
Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada
menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, juga kerajaan bawahan
Tarumanagara, bernama Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari
Tarumanagara serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga
menginginkan melanjutkan Kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan
kekuasaannya ke Sunda, di hulu Sungai Cipakancilan, tempat di mana Sungai Ciliwung dan
Sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini; sedangkan Tarumanagara
kerajaan bawahannya. Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaan yaitu Sungai
Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Gambar : Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaannya yaitu Sungai Citarum
(Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Pada masa pemerintahan Sanna raja ketiga Galuh, saudara seibu Sanna, bernama
Purbasora melakukan kudeta. Sanna meminta bantuan Tarusbawa, sahabat baiknya. Atas
bantuan Tarusbawa, Sanjaya berhasil merebut kembali takhta di Galuh. Hubungan baik ini
berlanjut menjadi hubungan kekeluargaan: putra Sanna, Sanjaya, menikahi putri Tarusbawa.
Sepeninggal Tarusbawa, Sanjaya menyatukan kembali Sunda dan Galuh. Ketika ia kembali
ke Mataram untuk meneruskan takhta ibunya (Sanaha), Sanjaya menyerahkan Sunda dan
Galuh kepada seorang putranya.
Dalam Prasasti Sang Hyang Tapak yang ditemukan di daerah Cibadak, Sukabumi,
Jawa Barat (berangka tahun 1030 M) yang menggunakan bahasa Jawa Kuno dan huruf Kawi,
disebutkan seorang raja bernama Maharaja Sri Jayabhupati dan berkuasa di Prahajyan Sunda.
Prahajyan Sunda di sini adalah sebutan lain untuk Kerajaan Sunda atau Pajajaran, bukan
sebuah kerajaan sendiri. Prasasti ini menyebutkan adanya pemujaan terhadap tapak kaki.
Terlihat juga bahwa Raja Jayabhupati memeluk agama Hindu aliran Siwa; hal ini jelas
ditunjukkan oleh gelarnya sendiri, yaitu Wisnumurti. Raja Jayabhupati digantikan oleh
Rahyang Niskala Wastukencana, dan kemudian baru disebut-sebut nama Raja Sri Baduga
Maharaja, yang dalam Kitab Pararaton diceritakan terlibat dalam “Perang Bubat” dengan
Kerajaan Majapahit pada tahun 1357.
Raja Pajajaran berikutnya adalah Prabu Ratu Dewata (memerintah 1535-1543). Pada
masa pemerintahannya terjadi serangan dari Banten (kerajaan bawahan Sunda) yang telah
bercorak Islam, di bawah pimpinan Maulana Hassanudin. Serangan berikutnya masih dari
Kerajaan Banten; kali ini dipimpin oleh Maulana Yusuf, pada tahun 1579. Serangan ini
mengakhiri riwayat Kerajaan Sunda (Pajajaran), dan disimbolkan dengan diboyongnya
Palangka Sriman Sriwacana (singgasana raja) dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan
di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu diboyong
karena tradisi politik agar di Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, serta
menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah (buyut
perempuannya adalah putri Sri Baduga Maharaja, raja Sunda). Singgasana tersebut saat ini
bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten
menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri.
Konon, saat ditaklukkan Banten, sejumlah punggawa istana Kerajaan Pajajaran
meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan
mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai ornng Baduy (ini adalah sebutan
dari peneliti Barat terhadap mereka; sementara mereka sendiri menyebut diri urang Kanekes
atau orang Kanekes). Meski demikian, kebenaran tentang asal-muasal orang Baduy sebagai
bekas punggawa istana Pajajaran masih menjadi kontroversi.

4. Keajaan Melayu
a. Lokasi dan sumber sejarah
Kerajaan Melayu adalah kerajaan bercorak Buddha yang terletak di Sumatra. Lokasinya
dekat Selat Malaka, yaitu sekitar Jambi (Chan-pei), yaitu di tepi kiri-kanan Sungai
Batanghari. Hal itu karena banyak ditemukan candi dan arca di tempat ini.
Lokasinya strategis: pelabuhan perdagangan yang menghubungkan India dan Cina.
Selat Malaka memang merupakan jalur perdagangan yang ramai. Umumnya kapal-kapal
dagang berlabuh untuk membongkar, memuat barang dagangan (terutama lada), serta
menambah perbekalan.
Sumber sejarah tentang Kerajaan Melayu hanyalah dari sumber Cina. Tidak ada sumber
dari prasasti. Berita dalam sejarah Dinasti Tang (618-906 M), misalnya, mencatat tentang
datangnya utusan dari Mo-lo-yeu pada tahun 644 M dalam rangka hubungan dagang, dengan
membawa hasil bumi sebagai perkenalan. Disebutkan juga telah berdiri beberapa kerajaan
lain di Sumatra seperti To-lang-po-hwang (Tulangbawang), Mo-lo-yeu (Melayu) dan Che-li-
fo-che (Sriwijaya). Seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing menceritakan bahwa pada
tahun 671 M ia telah melakukan perjalanan dari Kanton (Cina) ke India, dan dalam
perjalanan singgah di Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta. Pada tahun 685 M, I-
Tsing kembali lagi ke Sriwijaya, dan menerjemahkan beberapa kitab suci agama Buddha dari
bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. I-Tsing tinggal selama empat tahun lamanya di
Sriwijaya. Saat kembali lagi ke Sriwijaya tahun 692 M, Kerajaan Melayu tidak ada lagi;
kemungkinan telah ditaklukkan Sriwijaya (sekitar tahun 692 M itu).

b. Kondisi Sosial politik kerajaan


Penduduk kerajaan Melayu sebagian besar memeluk agama Budda. Seorang pendeta
Buddha bernama Dharmapala pernah didatangan secara khusus dari India untuk mnegjaarkan
agama ini.
Sekitar tahun 692 M, kerajaan nini ditaklukan Sriwijaya. Sampai abad ke-12 tidak ada lagi
keterangan sedikit pun tentang kerajaan Melayu.

HISTORIA
Menurut Kitab Pararaton dan Nagarakertagama, sete ‫؛‬ah menerima Arca
Amoghapasa, raja Melayu menyerahkan kedua putrinya, Dara lingga dan □ara Petak,
dengan maksud untuk dipersunting Raja Kertanagara (Singasari). Namun maksud mulia ini
tidak terwujud oleh karena pada tahun 1292 Kertanagara dibunuh oleh kerabat dekatnya,
^aitu Jayakatwang (bupati Gelang-Gelang), yang kemudian membangun ibu kota baru di
Kediri. Menantu Kertanagara, yaitu Raden Wijaya, yang lolos dari maut mempersunting
Dara Petak (putri raja Melayu), yang melahirkan layanagara (kelak menjadi raja kedua
Majapahit); sedangkan Dara Jingga dipers^ting seorang bangsawan Singasari dan
melahirkan Adityawarman. Selanjutnya, berkat bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya
diampuni oleh layakatwang dan diberi kekuasaan untuk mengelola lahan di Desa Majapahit.
Pada tahun 1293 datang pasokan Mongol untuk menaklukkan tawa. Pasukan ini diperalat
oleh Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kediri. Raden Wijaya dengan cerdik
mengusir tentara Mongol pasca-kerontuhan Kediri, dan mendirikan Kerajaan Majapahit.
Diangkat sebagai perdana menteri oleh Raden Wijaya, Adityawarman melancarkan ekspansi
militer Majapahit dan menakikkan wilayah pantai timur Sumatra lalu memperkuat kembali
Kerajaan Melayu dengan pusat kerajaan di Pagaruyung, Sumatra Barat.
(Sumber: dari berbagai sumber)
Sekitar tahun 1275 kerajaan ini pulih kembali (pusatnya di Dharmasraya) dengan
menguasai Sriwijaya serta perdagangan di Selat Malaka. Menururt kitab Negarakertagama,
raja Kertanegara dari Singasari melakukan apa yang disebut Ekspedisi Pamalayu yang
diikuti pengiriman Arca Amoghapasa pada tahun 1286 sebagai hadiah kepada Maharaja
Melayu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ekspedisi Pamalayu dimaksudkan untuk
menjalin persahabatan serta menggalang kekuatan militer bersama untuk membendung
kemungkinan serangan dari bangsa Mongol (di bawah Kubilai Khan).
Kerajaan Melayu mencapai puncak perkembangan pada masa pemerintahan
Adityawarman, putra bangsawan Majapahit dari ibu seorang putri Melayu bernama Dara
Jingga (putri dari Maharaja Melayu Mauli Marwadewa). Wilayah kekuasaannya mencakup
seluruh pantai timur Sumatra. Hingga tahun 1347 M, Adityawarman memperluas wilayah
kerajaannya sampai Pagaruyung, Sumatra Barat. Namun, kerajaan-kerajaan Hindu dan
Buddha di Sumatra berakhir menjelang abad ke-13.

5. Kerajaan Sriwijaya
a. Lokasi kerajaan Sriwijaya dan wilayah kekuasaannya.
Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari (maritim) bercorak Buddha yang
pernah berdiri di Pulau Sumatra dan memberi banyak pengaruh di Nusantara. Daerah
kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra,
Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” atau
“gemilang”, dan wijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya
bermakna “kemenangan yang gilang-gemilang”. Meskipun dikenal kuat secara ekonomi dan
militer, nyaris tidak ada bukti yang menunjukkan letak persis kerajaan ini di Sumatra.
Berdasarkan temuan sumber tertulis serta berita Cina dan Arab, Kerajaan Sriwijaya
diperkirakan berdiri sekitar abad ke-7 M. 1 Tsing, pendeta Tiongkok, yang melakukan
kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya ke Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695,
melaporkan Sriwijaya menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. I Tsing juga melaporkan
terdapat 1.000 orang pendeta yang belajar agama Buddha pada Sakyakirti, seorang pendeta
terkenal di Sriwijaya.
Dari berita Arab diketahui banyak pedagang Arab melakukan kegiatan perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya. Bahkan di pusat kerajaan ditemukan perkampungan-perkampungan
sementara orang Arab. Sumber dan bukri tertulis lainnya adalah prasasti-prasasti seperti Kota
Kapur, Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, Karang Berahi, dan Ligor.
Prasasti tertua adalah Kota Kapur, yang ditemukan di Pulau Bangka dan berangka
tahun 686 M. Melalui prasasti ini, kata “Sriwijaya” pertama kali dikenal. Di dalamnya
disebutkan “bumi Jawa tidak mau tunduk pada Sriwijaya” (yang dimaksud “bumi Jawa”
adalah Kerajaan Tarumanagara). Prasasti berikutnya adalah Kedukan Bukit yang berangka
tahun 605 Saka atau 688 M. Prasasti ini berisi 10 baris kalimat yang antara lain mengatakan:
“Seseorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddayatra)
dengan perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara sebanyak
20.000 orang. ”
Tentang isi prasasti ini ada dua catatan. Pertama, kendati Dapunta Hyang berhasil
memperluas kekuasaan Sriwijaya dari hasil perjalanan tersebut, jumlah tentara yang sebegitu
banyak masih disangsikan kebenarannya. Kedua, Minangatamwan adalah sebuah daerah
pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri (Riau). Hal ini
menunjukkan awalnya Kerajaan Sriwijaya tidak berpusat di Palembang, melainkan di Muara
Takus (Riau). Pernyataan ini didukung temuan arkeologis, berupa stupa di Muara Takus
(Kabupaten Kampar, Riau). Penguasaan dan pemindahan ibukota ke Palembang
dimaksudkan agar Sriwijaya mudah menguasai daerah-daerah sekitarnya seperti Bangka,
Jambi Hulu, dan Jawa Barat (Tarumanagara). Maka, pada abad ke-7 M Sriwijaya berhasil
menguasai jalur-jalur kunci perdagangan seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka,
dan Laut Jawa bagian barat.
Prasasti lain yang menyebut nama Dapunta Hyang (beristrikan Sobakancana putri
kedua dari raja terakhir Tarumanagara Sri Maharaja Linggawarman) adalah Prasasti Talang
Tuo (684 M); di dalamnya disebutkan tentang selesainya pembangunan sebuah taman oleh
Dapunta Hyang Jayanasa, yang diberi nama Srikserta.

b. Konidisi sosial politik kerajaan


Melalui tulisan pada Prasasti Ligor (775 M), disebutkan raja Sriwijaya, Dharmasetu
mendirikan pelabuhan di Semenanjung Melayu di dekat Ligor. Ia juga membangun sejumlah
bangunan suci agama Buddha.
Masyarakat Sriwijaya sebagian besar hidup dari perdagangan dan pelayaran. Letaknya
strategis: di jalur perdagangan antara India dan Cina. Hal ini menjadi salah satu faktor
Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan maritim yang penting di Sumatra, dan bahkan
menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok.
Hasil bumi yang diperdagangkan antara lain kemenyan, lada, damar, penyu, dan
barang-barang lain seperti emas, perak, dan gading gajah. Orang Arab bahkan menyebut
aneka komoditas lain seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading,
emas, dan timah. Sementara pedagang asing menukar barang-barang tersebut dengan
keramik, kain katun, dan sutra.

HISTORIA
Menurut Prasasti Nalanda (India), Balaputradewa berasal dari Jawa keturunan
Dinasti Syailendra (JawaTengah). Ayahnya Samaragrawira dan ibunya DewiTara, putri
Raja Dharmasetu (Sriwijaya). Samaragrawira memiliki dua orang putra, yaitu
Samaratungga (sulung) dan Balaputradewa (bungsu). Ada dua pendapat populer mengapa
Balaputradewa meninggalkan Pulau Jawa. Pertama, sejak awal ia memang tidak memiliki
hak atas takhta Jawa, mengingat ia hanyalah adik Maharaja Samaratungga. Kedua, terjadi
perebutan takhta antara Balaputradewa dan Rakai Pikatan (suami dari keponakannya
Pramodawardhani); kalah perang pada tahun 856 M melawan Rakai Pikatan,
Balaputradewa menyingkir ke Sumatra. Apa pun alasannya, fakta sejarah mengatakan
Balaputradewa menyingkir ke Sumatra dan menjadi raja Sriwijaya, yang telah dikuasai
Wangsa Syailendra. Berdasarkan analisis terhadap Prasasti Ligor, Sriwijaya dikuasai
Wangsa Syailendra sejak zaman Maharaja Wisnu.
Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya. Dalam rangka menjaga
monopoli perdagangan, Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar
pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya.
Ligor, Tanah Genting Kra, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Sunda, misalnya, berhasil
ditaklukkan dan menjadi kerajaan-kerajaan bawahan (vassat) Sriwijaya. Dengan banyak
kerajaan bawahan, Sriwijaya menikmati banyak upeti. Pada akhir abad ke-9 M, Kerajaan
Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara, seperti Selat
Sunda, Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting Kra (wilayah Thailand dan
Myanmar). Rakyatnya hidup dengan aman dan makmur.
Kerajaan ini mencapai zaman keemasan di bawah Raja Balaputradewa, yang berkuasa
sekitar pertengahan abad ke-9 (850-an M). Raja ini menjalin hubungan dengan kerajaan-
kerajaan di luar wilayah Indonesia, terutama kerajaan-kerajaan di India (Nandala atau
Benggala dan Cholamandala) dan kerajaan di Tiongkok (Cina).
Ringkasnya, kemajuan yang pesat dari Kerajaan Sriwijaya didukung oleh adanya
beberapa faktor:
 letaknya strategis: berada di jalur perdagangan antara India dan Cina.
 menguasai jalur-jalur pedagangan: Selat Malaka, Selat Sunda, Semenanjung Melayu, dan
Tanah Genting Kra.
 hasil-hasil buminya seperti emas, perak, dan rempah-rempah menjadi komoditi
perdagangan yang berharga.
 armada lautnya kuat, karena menjalin kerja sama dengan armada laut kerajaan-kerajaan
di India dan Cina.
 pendapatan melimpah dari upeti raja-raja yang ditaklukkan, cukai terhadap kapal-kapal
asing dan barang dagangan serta hasil buminya sendiri.
Raja-raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung dan penganut agama yang taat.
Tidak mengherankan agama Buddha berkembang pesat. Sriwijaya bahkan tercatat sebagai
pusat agama Buddha (Mahayana) yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Hal ini
pernah ditulis seorang pendeta China, I-Tsing; sempat tinggal empat tahun di Sriwijaya untuk
menerjemahkan kitab suci agama Buddha, I Tsing menyebutkan adanya seorang pendeta
Buddha terkenal bernama Sakyakirti. Selain itu, menurut berita dari Tibet seorang pendeta
bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011—1023 M) dalam rangka belajar agama
Buddha dari seorang guru bernama Dharmapala.
Sriwijaya mengalami kemunduran sekitar abad ke-12, yang antara lain disebabkan oleh:
 Serangan Kerajaan Medang Kamulan, Jawa Timur, di bawah Raja Dharmawangsa, pada
990 M. Saat itu Sriwijaya diperintah oleh Raja Sudamaniwarwadewa. Meski tidak
berhasil, serangan ini cukup melemahkan Sriwijaya.
 Serangan Kerajaan Colamandala dari India pada 1023 M dan 1030 M. Tidak ada sumber
tertulis tentang sebab-sebab terjadinya serangan tersebut; namun diperkirakan masalah
politik dan persaingan perdagangan.
 Negara-negara yang pernah ditaklukkan seperti Ligor, Tanah Genting Kra, Kelantan,
Pahang, Jambi, dan Sunda, satu per satu melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Hal
ini tentu saja berakibat pada kemunduran ekonomi dan perdagangan.
 Terdesak oleh Kerajaan Thailand yang mengembangkan kekuasaannya sampai
Semenanjung Malaya.
 Serangan Majapahit pada 1477 M, dan berhasil menaklukkan Sriwijaya; sejak itu
berakhirlah kekuasaan Sriwijaya.
TUGAS
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jelas.
1. Jelaskan hubungan antara Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Pajajaran (Sunda).
2. Jelaskan hubungan antara Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Galuh.
3. Faktor apa yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Tarumanagara?
4. Jelaskan hubungan antara Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Kalingga.
5. Jelaskan hubungan antara Kerajaan Pajajaran (Sunda) dan Kerajaan Mataram (Medang).
6. Jelaskan hubungan antara Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Banten. -
7. Apa yang membuat Kerajaan Sriwijaya maju, dan apa yang membuatnya runtuh?
8. Manakah yang menunjukkan bahwa pada masa keemasannya Sriwijaya menjadi pusat
belajar agama Buddha?
9. Jelaskan hubungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Singasari.
10. Dari materi yang sudah dibahas, apa yang paling menarik bagi Anda? Mengapa?

6. Kerajaan Kalingga
Kalingga adalah kerajaan bercorak Buddha di Jawa Tengah ‫؛‬ekitar abad ke-7 M. Nama
“Kalingga” berasal dari sebuah nama kerajaan yang terdapat di wilayah India selatan.
Lokasinya masih diperdebatkan, kemungkinan di sekitar Blora dan Cepu (Jawa Tengah).
Sumber sejarah kerajaan ini kebanyakan diperoleh dari sumber Cina, tradisi atau kisah
setempat, dan naskah Carita Parahyangan vang disusun berabad-abad kemudian. Sumber-
sumber manuskrip Cina ditulis pada masa Dinasti Tang, oleh I-Tsing yang menyebut
kerajaan ini dengan nama Ho-ling (Kalingga) dan berlokasi di Cho-po (Jawa). Di dalam
catatan itu disebutkan misalnya hal-hal sebagai berikut:
 Kalingga disebutkan terletak di Jawa di Laut Selatan. Kerajaan ini berada di antara
Kamboja di sebelah utara, Bali di sebelah timur, dan Sumatra di sebelah barat.
 Ibu kota kerajaan pada waktu itu dikelilingi benteng yang terbuat dari tonggak kayu.
 Legenda
 Raja tinggal di istana kerajaan yang tersusun atas bangunan bertingkat yang besar,
mempunyai atap dari pohon aren, serta singgasana dari gading gajah.
 Penduduknya pandai membuat arak dari nira pohon kelapa.
 Selain gading gajah dan cula, kerajaan ini menghasilkan banyak barang tambang berupa
perak dan emas.
@Pusat kekuasaan, Ibu kota
@Situspenting SAMUDRA HINDIA
@Ranah inti Kerajaan Kalingga Kawasan Kerajaan Kalingga
A Gunung berapi A Gunung
Lokasi Kerajaan Kalingga dan wilayah kekuasaannya.
Pada tahun 664 M di Ho-ling datang seorang pendeta Cina yang bermaksud
menerjemahkan kitab suci agama Buddha. Sesampainya di sana ia mendapat bantuan dari
pendeta Ho-ling bernama Jnanabadhra. Hal ini menunjukkan kerajaan ini memiliki peran
penting dalam pengembangan agama Buddha.
Sumber lainnya adalah Prasasti Tuk-Mas yang ditemukan di kaki Gunung Merbabu,
(Jawa Tengah) dan tidak berangka tahun. Dari bentuk hurufnya, prasasti ini diperkirakan
berasal dari tahun 500 M. Isinya tentang adanya mata air (tuk) yang jernih dan bersih.

b. Konidisi sosial politik kerajaan


Karena keterbatasan sumber sejarah, tidak banyak yang dapat diceritakan tentang
kehidupan sosial-politik kerajaan ini. Berita Cina hanya menyebutkan kerajaan ini memiliki
hasil bumi yang sangat laku diperdagangkan seperti emas, perak, cula badak, dan gading
gajah. Disebutkan juga pada 674 M negara ini dipimpin seorang ratu bernama Sima, yang
memerintah dengan keras namun adil. Di bawah pemerintahannya rakyat hidup aman dan
makmur.
Konon, sepeninggal Sima, Kalingga terbagi dua, yaitu Kalingga utara (dikenal dengan
nama Bumi Mataram) di bawah Sanaha (cucu ratu Sima) dan Kalingga selatan (Bumi
Sambara) di bawah Dewasinga. Sanaha menikah dengan Bratasenawa atau Sanna (raja ketiga
Kerajaan Galuh), yang melahirkan Sanjaya. Sanjaya kelak menikahi putri Dewasinga
bernama Dewi Sudiwara, yang melahirkan Rakai Panangkaran, raja kedua Kerajaan Medang
Mataram Kuno.

HISTORIA
Cerita lokal yang berkembang di Jawa Tengah utara menceritakan tentang seorang
maharani legendaris, bernama Ratu Sima, yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan
kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. la menerapkan hukuman yang keras bagi
pencuri, yaitu potong tangan. Konon, cerita tentang kejujuran dan sikap taat huk’um rakyat
Kalingga sampai ke telinga seorang raja seberang lautan. Untuk mengujinya ia meletakkan
sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak seorang pun berani
menyentuh apalagi mengambilnya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu tersentuh kaki
putra mahkota yang lantas mengambilnya. Menjunjung tinggi hukum, Ratu Sima
menjatuhkan hukuman mat kepada putranya, namun dewan menteri memohonkan ampun
baginya. Hukumannya pun dikurangi dengan hanya dipotong kakinya.
Legenda
Pusat kekuasaan, ibu kota
Situs penting
Ranah inti Kerajaan Medang
Wilayah Kerajaan Medang
Gunung berapi
Gunung

Lokasi Kerajaan Mataram (Medang) periode Jawa Tengah dan periode Jawa Timur serta wilayah kekuasaannya,
keraiaan Mataram

7. Kerajaan Mataram
a. Lokasi dan sumber sejarah
Kerajaan Mataram (Mataram Kuno atau Mataram Hindu atau Kerajaan Medang petiode
Jawa Tengah) adalah kelanjutan dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah sekitar abad ke-8,
yang kemudian pindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Sebutan “Mataram Kuno” atau
“Mataram Hindu” adalah untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang
berdiri pada abad ke-16. Kerajaan Mataram ini runtuh pada awal abad ke-11.
Kerajaan ini berlokasi di pedalaman Jawa Tengah, di sekitar daerah yang banyak dialiri
sungai seperti Sungai Progo, Bogowonto, dan Bengawan Solo. Daerah ini juga dilingkari
oleh pegunungan, di antaranya gunung berapi yang sewaktu-waktu meletus.
Sumber tertulis tentang kerajaan ini adalah Prasasti Canggal (732 M) dan Prasasti
Mantyasih. Keduanya menyebutkan seorang raja bernama Sanjaya memeluk agama Siwa
(Hindu): ia membangun kuil pemujaan kepada Siwa berbentuk candi dengan hiasan patung
lembu, yang dipercaya sebagai kendaraan Dewa Siwa. Dalam Prasasti Canggal juga
disebutkan beberapa hal, seperti pendirian sebuah lingga (pusat pemerintahan) di Desa
Kuntjarakunya oleh Raja Sanjaya, kondisi ekonomi Jawa yang kaya akan padi dan emas
(Jawadivipa), dan asal-usul Sanjaya. Menurut prasasti ini, Jawa mula-mula diperintah oleh
Raja Sanna (beristrikan Sanaha), raja ketiga Kerajaan Galuh (baca keterangan di Historia). Ia
memerintah dengan bijaksana dalam waktu cukup lama. Setelah meninggal ia digantikan oleh
putranya bernama Sanjaya. Sanjaya menciptakan pemerintahan yang aman makmur dan
sentosa. Ia kemudian dianggap sebagai pendiri Dinasti (Wangsa) Sanjaya dan berkuasa di
Kerajaan Mataram dalam kurun waktu yang panjang.
HISTORIA
Menurut tafsiran atas naskah Carita Parahyangan, Sanjaya digambarkan sebagai
pangeran dari Galuh yang akhirnya berkuasa di Mataram. Ibunya adalah Sanaha, cucu Ratu
Sirna dari Kerajaan Kalingga. Ayah Sanjaya adalah Sena/Sanna/Bratasenawa, raja ketiga
Galuh. Sanna digulingkan dari takhta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna)
dalam tahun 716 M, dan meminta perlindungan pada sahabat baiknya, raja Kerajaan
Pakuan (Sunda) bernama Tarusbawa. Tarusbawa adalah raja pertama Kerajaan Sunda
(setelah Tarumanagara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh). Persahabatan
ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Atas bantuan
mertuanya itu, ia bertekad balas dendam terhadap Purbasora. Hal itu diwujudkannya ketika
ia menjadi raja Sunda atas nama istrinya. Purbasora ditundukkan, dan Sunda serta Galuh
pun dipersatukan kembali. Pada tahun 732 M Sanjaya mewarisi takhta Kerajaan Mataram
dari orang tuanya. Jadi, Sanjaya menjadi penguasa empat kerajaan sekaligus: Sunda,
Galuh, Kalingga (setelah Sanaha mangkat), dan Mataram. Saat mewarisi Mataram (732 M),
ia membagi kekuasaannya di Jawa Barat kepada kedua putranya: Sunda dan Galuh menjadi
kekuasaan Tamperan, sedangkan Kuningan dan Galunggung menjadi.wilayah kekuasaan
Resi Guru Demunawan. Sedangkan Kalingga masih tetap di bawah kekuasaannya selama 22
tahun (732-754), dan digantikan oleh putranya dari Dewi Sudiwara, yaitu Rakai
Panangkaran. Rakai Panangkaran ini kelak menjadi penerus Kerajaan Mataram
sepeninggal Sanjaya.

b. Konsisi sosial politik kerajaan


Pengganti Sanjaya adalah Rakai Panangkaran. Kuat dugaan pada masa pemerintahan
Rakai Panangkaran inilah Dinasti Syailendra dari Sumatra (Kerajaan Sriwijaya) menguasai
Mataram dan menjadikan raja-raja dari Dinasti Sanjaya sebagai raja bawahan Sriwijaya. Ada
tiga sumber sejarah yang menguatkan hal ini.
Pertama, Prasasti Kalasan (Jawa) yang berangka tahun 778 M. Prasasti ini menyebutkan
Rakai Panangkaran mendapat perintah dari Maharaja Wisnu, raja dari Dinasti Syailendra
(Sriwijaya) untuk mendirikan Candi Kalasan (candi Buddha). Diperkirakan Dinasti
Syailendra menguasai Dinasti Sanjaya sekitar tahun itu. Dalam prasasti itu Rakai
Panangkaran disebut sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”.
Kuat dugaan, kendati telah menguasai Dinasti Sanjaya, Dinasti (Wangsa) Syailendra tetap
memperlakukan Dinasti Sanjaya dengan rasa hormat dan memberi mereka kedudukan atau
posisi penting di istana.
Kedua, Prasasti Kota Kapur (Sumatra). Berdasarkan prasasti ini Sriwijaya telah menguasai
bagian selatan Sumatra, Pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga
menyebutkan Sri Jayanasa (Dapunta Hyang) telah melancarkan ekspedisi militer untuk
menghukum “Bhumi Jawa” karena “bhumi Jawa tidak mau tunduk pada Sriwijaya'.
“Bhumi Jawa” yang dimaksud adalah Kerajaan Tarumanagara. Kemungkinan besar
Kerajaan Mataram ikut dikuasai, dan menjadikan Rakai Panangkaran sebagai raja
bawahan Sriwijaya (Dinasti Syailendra).
Ketiga, menurut analisis atas Prasasti Mantyasih, dalam masa pemerintahannya Rakai
Panangkaran banyak mendirikan candi-candi seperti Candi Sewu, Plaosan, dan Kalasan.
Dilihat dari struktur bangunannya, candi-candi ini bercorak agama Buddha. Buddha
adalah agama yang dianut di Kerajaan Sriwijaya. Kuat dugaan Rakai Panangkaran pindah
ke agama Buddha ketika Mataram dikuasai Dinasti Syailendra (Sriwijaya). Kendati
demikian, di bawah Dinasti Syailendra toleransi beragama di Mataram tetap terjaga.
Bangunan-bangunan candi menunjukkan hal tersebut: candi-candi di wilayah Jawa Tengah
bagian utara bersifat Hindu, sedangkan candi di wilayah Jawa Tengah bagian selatan
bersifat Buddha.
Menurut Prasasti Kelurah (782 M), sepeninggal Rakai Panangkaran Mataram
diperintah oleh Raja Dharanindra atau Raja Indra (memerintah 782-812 M) dari Wangsa
Syailendra. Setelah Dharanindra, kekuasaan diwariskan kepada Raja Samaragrawira.
Raja Samaragrawira mempunyai dua orang putra bernama Samaratungga dan
Balaputradewa. Pada masa pemerintahan Samaratungga dibangun candi terkenal: Borobudur.
Ia menikah dengan putri Raja Dharmasetu dari Sriwijaya, dan melahirkan seorang putri
bernama Pramodawardhani, yang kelak menikah dengan pewaris takhta dari Dinasti Sanjaya
bernama Rakai Pikatan.
Sepeninggal Samaratungga, sempat terjadi perebutan kekuasaan antara
Pramodawardhani-Rakai Pikatan di satu sisi dan Balaputradewa di sisi lain. Ambisi Rakai
Pikatan (dari Dinasti Sanjaya) untuk menjadi raja menjadi pemicu konflik tersebut.
Balaputradewa merasa berhak sebagai penerus Dinasti Syailendra, sedangkan Rakai Pikatan
menganggap Mataram milik Dinasti Sanjaya. Balaputradewa kalah, lalu menyingkir ke
Sumatra (Sriwijaya), tempat asal kakek dan buyutnya (Dinasti Syailendra). Dengan demikian,
setelah berkuasa lebih dari satu abad, sejarah Wangsa Syailendra di Jawa pun berakhir.
Balaputradewa menjadi raja di Sriwijaya sekitar tahun 850-an M. Di bawah
pemerintahannya, Sriwijaya mencapai zaman keemasan.
Selanjutnya, pada masa Rakai Pikatan kekuasaan Mataram meluas sampai meliputi
seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Semangat kebudayaan Hindu dihidupkan kembali
dengan membangun candi Hindu yang besar, yaitu Candi Prambanan.
Setelah Rakai Pikatan, penguasa Mataram (berturut-turut) adalah: Rakai Kayuwangi,
Rakai Watuhumalang, Dyah Balitung (konon pernah menyerang Bali), Daksa (memerintah
tahun 919 M dan menyelesaikan pembangunan Candi ?rambanan yang telah dimulai oleh
Rakai Pikatan), Tulodhong, dan Wawa (memerintah 924 M). Dengan demikian, Wawa
adalah raja terakhir Dinasti Sanjaya.

Candi Prambanan, candi Hindu terbesar di Indonesia.


Sumber: andriyanians.wordpress.com

8. Kerajaan Medang Kamulan


a. Lokasi dan sumber sejarah
Sumber sejarah tentang kerajaan ini adalah Prasasti Paradah (943 M) dan Prasasti
Anjukladang (973 M). Keduanya menyebutkan nama ibu kota Kerajaan Medang ini,
Watugaluh, sekarang sebuah desa di dekat Jombang di tepi aliran Sungai Brantas.
Kerajaan bercorak Hindu ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram. Pada abad
ke-10, kerajaan ini dipindahkan oleh Mpu Sindok ke Jawa Timur; karena itu, disebut juga
Kerajaan Medang periode Jawa Timur.
Mpu Sindok adalah menantu Raja Wawa, yang pada masa pemerintahan Raja
Tulodhong dan Raja Wawa menjabat sebagai mahamantri (jabatan tingkat tinggi yang
biasanya hanya diisi putra mahkota). la naik takhta pada tahun 929 M dan dianggap sebagai
pendiri dinasti baru bernama Dinasti Isyana.
Menurut para ahli, pemindahan Kerajaan Mataram (Medang) ke Jawa Timur
disebabkan terjadinya letusan Gunung Merapi yang disertai gempa bumi dan hujan material
vulkanik yang memporak- porandakan sebagian besar wilayah Jawa Tengah.

b. Kondisi Sosial Politik kerajaan


Mpu Sindok memerintah bersama-sama dengan permaisurinya. Beberapa prasasti
lainnya menyebutkan pada masa pemerintahannya negara aman dan tenteram. Meskipun
menganut Hindu aliran Siwa, ia tetap menaruh toleransi yang besar terdapat agama lain.
Misalnya, ia menganugerahkan Desa Wanjang sebagai hadiah kepada seorang pujangga
bernama Sri Sambhara Suryawarana, vang telah berjasa menulis kitab Buddha aliran
Tantrayana berjudul Sang Hyang Kamahayanikan. Dengan demikian, Mpu Sindok
memfasilitasi perkembangan agama Buddha Tantrayana, vaitu sinkretisme (percampuran)
antara ajaran Buddha dan agama Hindu aliran Siwa.

Airlangga sebagai Dewa Wisnu.


Penguasa Medang setelah Mpu Sindok adalah (berturut-turut): Sri Isyanatunggawijaya,
Sri Makutawangsawardhana, Dharmawangsa (punya saudari bernama Mahendradatta), dan
Airlangga. Dharmawangsa pernah menyerang Sriwijaya pada tahun 990 M, dan menguasai
pesisir pantai Sriwijaya sehingga hubungan Sriwijaya dengan dunia luar terputus.
Dalam tahun 1016 M, kerajaan ini mengalami pralaya atau malapetaka. Ketika pesta
pernikahan antara putri Dharmawangsa dan Airlangga (hasil pernikahan Mahendradatta
dengan Raja Udayana dari Bali) sedang berlangsung, tiba-tiba Kota Watan diserbu Raja
Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang Desa Ngloram, Cepu, Blora), sekutu Kerajaan
Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa dan seluruh anggota keluarga istana tewas,
sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (Wanagiri) ditemani pembantu setianya
Mpu Narotama. Di sana ia menjalani hidup sebagai pertapa.
Tidak lama kemudian, Airlangga dinobatkan sebagai raja oleh para pendeta pada tahun
1019 M dan membangun pusat kerajaan di Kahuripan, Sidoarjo (kelak dipindahkan lagi ke
Daha, Kediri). Namun wilayah kekuasaannya tidak seluas saat mertuanya berkuasa oleh
karena sebagian wilayah tidak mau tunduk lagi kepada Airlangga. Maka, sejak tahun 1025
Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring melemahnya Sriwijaya. Langkah
pertama yang dilakukannya adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali
kekuasaan Wangsa Isyana atas Pulau Jawa. Hal ini terwujud pada tahun 1037: semua wilayah
Kerajaan Medang tunduk pada Airlangga. Selanjutnya, ia memberi kedudukan (posisi)
kepada setiap orang yang berjasa terhadap kerajaan. Lebih dari itu, ia dikenal sangat
memperhatikan rakyat. Selama masa pemerintahannya pun karya-karya sastra berkembang,
di antaranya Kitab Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa pada 1035 M.

HISTORIA
Konon Barathayudha ditulis atas perintah Jayabhaya sendiri. Isinya tentang perang
memperebutkan negara Astina oleh dua saudara sepupu, Kurawa dan Pandawa, yang
melambangkan perang antara Jenggala dan Kediri, yang sama-sama keturunan Airlangga.
Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab
Mahabharata karya Vyasa, yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya
juga keturunan Vyasa. Kisah Kakawin Barathayudha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa
Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman
Kasuhunan Surakarta.

Usaha Airlangga untuk meningkatkan kesejahteraan Medang, antara lain:


 memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh di muara Kali Brantas. Pelabuhan Hujung Galuh
dan Tuban menjadi pelabuhan dagang yang ramai. Kapal-kapal dari India. Birma,
Kamboja, dan Champa berkunjung ke kedua tempat itu.
 membangun waduk Waringin Sapta untuk mencegah banjir musiman.
 membangun jalan-jalan yang menghubungkan pesisir ke pusat kerajaan.
Agama yang berkembang pada masa pemerintahan Airlangga adalah agama Hindu
beraliran Wisnu. Airlangga memang dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, dan pada masa
pemerintahannya berkembang banyak aliran keagamaan seperti Hindu aliran Siwa dan
Buddha; dan Airlangga toleran terhadap semua aliran itu.
Sebelum mengundurkan diri sebagai raja, Airlangga membagi dua kerajaannya kepada
dua putranya: Kerajaan Jenggala kepada Mapanji Garasakan (anak istri kedua Airlangga)
dengan ibu kota Kahuripan, dan Kerajaan Panjalu atau Kediri kepada Sri Samarawijaya
(putra mahkota) dengan ibu kota Daha. Itu dilakukan untuk menghindari pertumpahan darah
karena perebutan takhta. Ia sendiri kemudian menjadi pertapa, dan wafat pada 1049 M. Di
pemakamannya di Candi Belahan, ia digambarkan sebagai Dewa Wisnu yang sedang
mengendarai burung garuda.
Wilayah Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta Sungai Brantas dengan
pelabuhan meliputi Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Sedangkan wilayah Kediri meliputi
Kediri dan Madiun sekarang.
Kerajaan Kediri adalah kerajaan agraris dengan raja pertama Sri Samarawijaya, yang
kemudian digantikan oleh (secara berturut-turut) Sri Jayawarsa dan Bameswara. Tidak ada
catatan tertulis terutama tentang kedua nama terakhir ini.
Gambar 3.28 Lokasi Kerajaan Kediri dan wilayah kekuasaannya.
Yang jelas, pembagian wilayah kekuasaan tidak menghentikan perang antara dua
kerajaan bersaudara ini. Kisah perang saudara antara Jenggala dan Kediri kemudian
diabadikan dalam sebuah kakawin (kitab) berjudul Barathayudha (tahun 1157 M) oleh ditulis
Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Ketika berhasil menguasai Jenggala pada masa pemerintahan
Jayabhaya, Kediri menjadi satu-satunya kerajaan yang berdiri di Jawa Timur pada masa
tersebut.
Jayabhaya adalah raja Kediri yang sangat terkenal dengan ramalan-ramalannya; ia juga
dikenal sebagai seorang sastrawan. Ramalan-ramalannya kemudian dibukukan dalam buku
berjudul Jangka Jayabhaya. Pada masa pemerintahannya, Kediri mencapai puncak kejayaan:
tidak saja berkembang sebagai negara agraris, tetapi juga kerajaan maritim. Adanya jabatan
Senapati Sarwajala, vang dapat disamakan dengan laksamana atau panglima angkatan laut,
menunjukkan kemajuan Kediri dalam bidang maritim.
Sesudah Jayabhaya, ada seorang raja yang cukup terkenal, Raja Kameswhara (1182 M),
la terkenal karena pada masa pemerintahannya karya sastra Jawa berkembang pesat, seperti
kitab-kitab dalam bentuk kakawin dan cerita kisah Panji atau kisah kepahlawanan lainnya.
Kameswhara menikah dengan seorang putri dari Jenggala bernama Kirana alias putri
Chandrakirana. Kisah perkawinan ini ditulis dalam Kakawin Smaradhahana oleh Mpu
Dharmaja. Kameswhara dikisahkan sebagai titisan Dewa Kamajaya, seorang dewa cinta yang
sangat tampan.
Masa pemerintahan Kameswhara tidak lama. Pada 1185 M, ia digantikan oleh
Kertajaya (Prabu Dandang Gendis). Pada masa pemerintahannya, situasi Kediri penuh
ketidakstabilan. Pokok permasalahannya adalah perselisihan dengan para brahmana.
Bersekutu dengan para Brahmana, seorang akuwu (bupati) dari.

HISTORIA
Pada akhir pemerintahannya Kertajaya menyatakan ingin disembah oleh para pendeta
Hindu dan Buddha (kaum Brahmana). Keinginan itu ditolak, meskipun Kertajaya pamer
kesaktian dengan duduk di atas sebatang tombak yang berdiri. Kertajaya murka. Merasa
terancam para pendeta itu mencari perlindungan pada Ken Arok, akuwu (setara bupati)
Tumapel sekaligus bawahan Kediri. (Catatan: sebelum menjadi akuwu, Ken Arok menjadi
pengawal pribadi akuwu sebelumnya yaitu Tunggul Ametung. Ken Arok membunuh Tunggul
Ametung demi ambisinya menjadi akuwu, dan agar bisa mengawini istri Tunggul Ametung
yang cantikjelita bernama Ken Dedes yang sudah lama diincarnya.)
Kembali ke perselisihan Kertajaya dan kaum Brahmana. Dengan dukungan para
Brahmana, Ken Arok menyatakan ^mapel (bagian dari Kediri) sebagai kerajaan merdeka
dengan dirinya sendiri sebagai raja. Kertajaya pun memaklumatkan perang. Dalam perang
antara T^apel dan Kediri di dekat Desa Ganter tahun 1222 M, Kediri kalah. Kertajaya
sendiri diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk
men^jukkan la tewas. Sejak tahun 1222 M Kediri menjadi daerah bawahan Tumapel.
Menurut Nagarakertagama, putra Kertajaya bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai
bupati Kediri. Talun 1258 Jayasabha digantikan oleh putranya, Sastrajaya. Kemudian tahun
1271 Sastrajaya digantikan putranya bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang
memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.
Tumapel (bagian dari Kediri) bernama Ken Arok mengalahkan Kertajaya dalam
pertempuran di Ganter (1222). Meninggalnya Kertajaya dalam pertempuran tersebut
menandai berakhirnya kekuasaan Dinasti Isyana di Jawa Timur. (Lihat Historia)

11. Kerajaan Singasari (Tumapel)


a. Lokasi dan sumber sejarah
Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur yang
didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada
di daerah Singasari. Malang. Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singasari
adalah Tumapel. Menurut Nagarakertagama, ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu
kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja. Nama Singasari yang merupakan nama ibu kota
kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Nama Tumapel juga muncul dalam
kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.
Raja pertamanya adalah Ken Arok (memerintah 1222 M—1227 M). Ken Arok lahir
dari keluarga petani. Berkat jasa seorang pendeta bernama Lohgawe, ia menjadi pengawal
pribadi akuwu (bupati) Tumapel bernama Tunggul Ametung. TunggiL Ametung memiliki
seorang istri yang sangat cantik bernama Ken Dedes. Kecantikannya menimbulkan hasrat
Ken Arok untuk memperistrinya. Ken Arok memesan sebuah keris pada seorang ahli
pembuat keris bernama Mpu Gandring, dan dengan keris itu ia membunuh Mpu Gandring
dan Tunggul Ametung. Ia kemudian memperistri Ken Dedes lalu menjadi akuwu Tumapel
yang baru.

SAMUDRA HINDIA
Legenda
Ibu Kota Singasari !! Ranah inti Singasari, Negeri taklukan Singasari. Wilayah laut di
bawah pengaruh Singasari Kutaraja Singasari. Utusan dan ekspedisi laut Singasari -Ekspedisi
militer atas perintah Kertanegara (Pamalayu dan Pabali)
Lokasi Kerajaan Singasari dan wilayah kekuasaannya.

b. Kondisi sosial politik kerajaan


Hanya menjadi akuwu tidak memuaskan Ken Arok. Ia selalu mencari cara untuk dapat
mengalahkan Kertajaya. Ia mendapatkan kesempatan ketika datang serombongan Brahmana
dari Kediri meminta perlindungan. Para Brahmana ini tidak mau tunduk pada keinginan
Kertajaya agar menyembahnya sebagai dewa. Kertajaya juga konon mengeluarkan peraturan-
peraturan yang membatasi kewenangan para Brahmana.
Hal ini dimanfaatkan oleh Ken Arok. Dengan dalih melindungi para Brahmana, ia
melancarkan pemberontakan dan mengalahkan Kertajaya dalam pertempuran di Ganter (1222
M). Ia lalu menjadi raja, mempersatukan seluruh wilayah Kerajaan Kediri termasuk Tumapel,
serta membangun kerajaan baru dengan nama Singasari. Ia juga dianggap sebagai pendiri
dinasti baru, Dinasti Girindra
Ken Arok kemudian tewas dibunuh oleh Anusapati, anak dari Ken Dedes dan Tunggul
Ametung. Anusapati memerintah selama 21 tahun (1227-1248 M). Berita tentang kematian
Ken Arok akhirnya sampai juga ke telinga Tohjaya, anak Ken Arok dari istrinya yang lain
bernama Ken Umang. Tohjaya membalas dendam kematian ayahnya Ken Arok dengan
membunuh Anusapati, lalu menduduki takhta Singasari.

HISTORIA
Korban pertama keris pesanan Ken Arok adalah Mpu Gandring sendiri. Sebelum
meninggal, Mpu Gandring konon sempat mengutuk kelak keris tersebut akan merenggut
nyawa tujuh keturunan Ken Arok, termasuk Ken Arok sendiri. Lalu, mengapa Mpu Gandring
dibunuh? Ada setidaknya tiga versi mengenai hal ini. Pertama, Ken Arok marah karena keris
belum jadi pada waktu yang telah ditentukan. Kedua, Ken Arok ingin menguji kesaktian keris
itu pada pembuatnya sendiri (yang dikenal sakti). Ketiga, dengan membunuh Mpu Gandring
terlebih dahulu, Ken Arok menghilangkan saksi kunci tentang senjata yang dipakai untuk
membunuh Tunggul Ametung. Nyatanya, keris itu memang membunuh banyak orang: Mpu
Gandring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo (rekan Ken Arok), Ken Arok, Ki Pengalasan
(pengawal Anusapati yang membunuh Ken Arok), dan Anusapati sendiri. Sedangkan Tohjaya
dikisahkan mati terkena tusukan tombak pengikut Ranggawuni (anak Anusapati).

Masa pemerintahan Tohjaya hanya beberapa bulan. Hal itu karena Ranggawuni, anak
dari Anusapati, segera mengetahui ayahnya dibunuh Tohjaya. Ia pun menyerang Singasari
untuk membalas dendam. Tohjaya sempat melarikan diri dari istana, namun terbunuh oleh
tombak pengikut Ranggawuni. Ranggawuni kemudian menjadi raja (memerintah 1248—
1268 M).
Pengganti Ranggawuni adalah Kertanagara (memerintah 1268-1292 M). Ia juga
penganut agama Tantrayana, yaitu agama sinkretisme (percampuran) agama Hindu beraliran
Siwa dan agama Buddha.
Kertanagara adalah raja dengan cita-cita politik yang tinggi: ingin
meluaskan kekuasaannya ke seluruh Nusantara. Untuk itu, ia banyak
mengirimkan utusan atau ekspedisi khususnya ke kerajaan-kerajaan yang
berlokasi di luar Jawa yang disebutnya politik cakrawala mandala. Pada
tahun 1275 M, ia mengirimkan ekspedisi ke Melayu (Pamalayu) dan pada
tahun 1284 M ke Bali. Berhasil menjalin persahabatan dengan Kerajaan
Melayu, pada tahun 1286 M ia kembali mengirim ekspedisi dengan
membawa arca Amoghapasa sebagai hadiah untuk Sri Maharaja
Mauliwarmadewa. Ekspedisi Pamalayu punya tujuan khusus: menjalin kerja sama pertahanan
untuk menghadapi ekspansi Mongol (di bawah Kubilai Khan) ke Asia tenggara.
Ekspansi Mongol akhirnya memang sulit dibendung. Pada tahun 1281 M, Mongol
berhasil menguasai Kerajaan Champa (Vietnam) dan pada tahun 1287 menguasai Pagan
(Birma). Arca Amoghapasa sejak tahun 1280 (hingga 1289) Kubilai Khan telah beberapa kali
mengirim utusan ke Singasari, meminta Kertanagara untuk tunduk. Kertanagara menolak,
dan bahkan menghina Kubilai Khan dengan memotong telinga salah seorang utusan terakhir
Mongol. Marah besar, Kubilai Khan mengirim armadanya untuk menghukum Kertanagara.
Namun, sebelum pasukan Mongol datang Raja Kertanagara wafat dibunuh oleh Jayakatwang
(keturunan Kertajaya, raja Kediri) atas saran Arya Wiraraja, Bupati Sumenep. Arya Wiraraja
sakit hati karena disingkirkan menjadi bupati Sumenep (Madura), konon karena mengkritik
langkah ekspansi Kertanagara. Sementara itu, setelah lama menjadi bawahan Kertanegara,
Jayakatwang sendiri yang saat itu menjadi bupati Gelang-gelang (bagian dari Kerajaan
Singasari) ingin sekali memulihkan Kerajaan Kediri.
Selain karena pasukan Singasari banyak berkonsentrasi ke wilayah-wilayah lain di luar
Jawa, strategi eerdas berikut ini menjadi faktor lain yang memuluskan serangan Jayakatwang:
ia mengirim pasukan kecil untuk menyerbu Singasari dari utara. Kertanagara terkecoh,
mengira itulah pasukan utama Jayakatwang. la lantas mengirim menantunya. Raden Wijaya,
untuk menghadapi pasukan utara itu. Raden Wijaya berhasil, padahal itu hanyalah taktik
Jayakatwang supaya pertahanan di Kota Singasari kosong. Tanpa diduga oleh Kertanagara,
pasukan kedua dari arah selatan yang justru lebih besar datang menyerang Singasari. Dalam
serangan kedua ini (tahun 1292) Kertanagara tewas. Jayakatwang lalu menjadi raja, dan
memindahkan pusat kerajaan ke Kediri. Dengan meninggalnya Kertanagara berakhir pulalah
Kerajaan Singasari.
Raden Wijaya sendiri, atas saran Wiraraja, menyerah dan memohon ampun, serta
menyatakan ingin mengabdi pada Jayakatwang. Terkesan dengan sikap dan kecerdasannya
selama masa pengabadian, Jayakatwang memberinya hadiah berupa sebidang tanah, yaitu
Hutan Tarik, sebuah tempat yang subur di mana ia membangun sebuah desa yang besar
bernama Majapahit. Perkembangan Majapahit cukup cepat karena Raden Wijaya berhasil
menarik orang-orang dari Kediri dan Singasari untuk tinggal di Majapahit. Karena letaknya
yang strategis, hubungan dengan Wiraraja di Sumenep berjalan lancar; bantuan orang-orang
Madura dalam membangun desa dan melatih tentara juga telah mempercepat perkembangan
desa yang menjadi cikal-bakal Kerajaan Majapahit ini.
Bertepatan dengan selesainya persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Raden Wijaya,
tibalah pasukan Mongol di Singasari pada 1293 M. Pasukan Mongol belum tahu bahwa telah
terjadi perubahan politik di kerajaan yang mereka tuju; dan kesempatan ini digunakan oleh
Raden Wijaya untuk mengelabui mereka. Mengaku sebagai raja Singasari, ia menyatakan
akan tunduk kepada Mongol asalkan pasukan Mongol terlebih dahulu membantu
mengalahkan raja dari Kerajaan Kediri. Pimpinan tentara Mongol menyanggupi permintaan
itu. Gabungan kekuatan Mongol, Majapahit, dan Sumenep kemudian menyerbu Kediri.
Dalam perang ini (menurut sumber terjadi pada 20 Maret 1293) Kediri berhasil dikalahkan.
Kemudian Raja Jayakatwang ditawan, dan lima ribu orang tewas.
Tidak lama setelah kekalahan Kediri, Raden Wijaya menyerang balik tentara Mongol
melalui sebuah tipu muslihat: dalam sebuah pesta kemenangan ia menjejali tentara Mongol
dengan minum-minuman keras sampai mereka tidak sadarkan diri. Saat itulah pasukannya
menyerang dan mengusir mereka. Sebelum meninggalkan Jawa, pihak Mongol sempat
menghukum mati Jayakatwang dan putranya Ardharaja di atas kapal mereka. Kemenangan
atas Kediri dan pasukan Mongol menandai lahirnya Kerajaan Majapahit.

11. Kerajaan Majapahit (1293-1500)


a. Lokasi dan sumber sejarah
Pusat Kerajaan Majapahit diperkirakan di daerah Trowulan sekarang, 10 km sebelah
barat daya Kota Mojokerto, Jawa Timur. Hal ini didasarkan temuan artefak berupa bekas
tembok dan fondasi bangunan, pintu gapura, candi, saluran air, dan tiang-tiang rumah.
Tanggal pasti berdirinya Kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya
sebagai raja (memerintah 1293-1309 M), yaitu 10 November 1293.
Sumber utama para sejarawan mengenai Kerajaan Majapahit adalah Pararaton (Kitab
Raja-raja) dan Nagarakertagama. Pararaton tidak hanya menceritakan Ken Arok, tetapi juga
memuat sejarah ringkas lahirnya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan
puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah Hayam Wuruk. Apa
yang terjadi setelah masa itu tidak banyak yang tahu. Beberapa prasasti dalam bahasa Jawa
Kuno ataupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain juga membantu
menyingkapkan sejarah Majapahit.

SAMUDRA HINDIA
Legenda
Ibu Kota Majapahit UI Ranah inti Majapahit
Negeri bawahan Majapahit 11! Kawasan laut di bawah pengaruh Majapahit
Jangkauan ekspedisi armada laut Majapahit
Lokasi Kerajaan Majapahit dan wilayah
Hidup di Ibukota Majapahit
Ibukota Majapahit adalah jantung kemaharajaanyang berjaya pada abad ke-14 sampai abad ke-
15. Kawasan urban padat yang dihuni penduduk yang kosmopolitan, maju, dan menjalankan berbagai
macam pekerjaan. Berikut adalah gambaran mengenai Majapahit, perkiraan kehidupan sehari-hari
masyarakat kota awal dalam sejarah Indonesia.

Garnbar di atas adalah impresi seniman tentang tehidupan masyarakat Majapahit. Berdasarkan
replika rumah, relief permukiman, serta temuan barang-barang tembikar )Majapahit. Keterangan: Kanal
Kota: Di situs Trowulan ditemukan bekas jaringan kanal kuno yang membelah dan mengelilingi kota.
Diperkirakan dibangun sebagai sarana tata air dan drainase untuk mencegah air masuk menggenang ‫؛‬
pusat kota. Selain itu juga berfungsi sebagai transportasi air; Bangunan Kerajaan: Contoh keagungan
gaya bangunan Kerajaan Majapahit dapat diiihat pada Gapura Bajang ratu dan Gerbang Wringin
L.awang ‫ ؛‬Rumah Kawula Majapahit: Penduduk ibukota Majapahit tinggal dirumah yang dibuat dari
bahan kayu, bambu, dengan fondasi batu bata dan genteng atap dari tanah liat. Mereka banyak
menggunakan barang tembikar untuk perabot rumah tangga seperti piring, gentong, tegel lantai,
celengen, patung perhiasan, ornamen atap, hingga pipa air. Replika rumah Majapahit dalam ukuran
sebenarnya pernah dibuat oleh Museum Nasional dalam pameran Majapahit tahun 2007. Replika ini
dibuat berdasarkan temuan di Situs Segaran 5. (.Sumber: Harian Kompas; replika dibuat oieh
Gunawan Kartapranata).

b. Kondisi sosial politik kerajaan


Raden Wijaya menghargai semua orang yang berjasa terhadapnya dengan memberi
mereka kedudukan dalam pemerintahannya atau kekuasaan di daerah tertentu di Majapahit.
Kakawin Nagarakertagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya
keraton yang adiluhur dan anggun dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi,
serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit
sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatra ke Papua, mencakup
Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih
mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan
langsung oleh Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali; di luar daerah itu
hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan
kedaulatan Majapahit atas mereka. Segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan
Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras. Pada tahun 1377, beberapa
tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk
menumpas pemberontakan di Palembang. Meskipun penguasa Majapahit memperluas
kekuasaannya ke berbagai pulau dan terkadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian
utama Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan
perdagangan di Kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar
agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

Pengganti Raden Wijaya adalah Jayanegara (memerintah 1309—1328 M), yang pada
waktu itu masih berusia sekitar 15 tahun. Berbeda dari ayahnya, Jayanegara tidak memiliki
kecakapan memerintah, sehingga ia mendapat julukan “Kala Gemet” yang berarti lemah dan
jahat. Pemerintahan Jayanegara diwarnai banyak pemberontakan. Dari seluruh
pemberontakan tersebut, pemberontakan oleh salah seorang kepercayaan dan penasihat raja
(disebut golongan Dharmaputra) bernama Ra Kuti disebut-sebut sebagai yang terbesar,
karena hampir berhasil menggulingkan Majapahit. Beruntung Gajah Mada, yang saat itu
menjadi bhayangkara (sebutan untuk pasukan pengawal raja) berhasil memadamkannya. Ia
menyelamatkan Jayanegara dengan mengungsikannya sementara ke sebuah desa bernama
Badander. Jayanegara akhirnya meninggal akibat operasi (penyakit) oleh seorang tabib
bernama Tancha, yang menaruh dendam terhadap Jayanegara. Tancha kemudian dibunuh
oleh Gajah Mada.
Karena Jayanegara tidak berputra, ia digantikan oleh adiknya bernama Gayatri atau
Bhre Kahuripan, dengan gelar Tribhuana Tunggadewi (memerintah 1328-1350 M). Pada
masa pemerintahannya, yaitu pada tahun 1331 M, terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta,
keduanya berada di wilayah Besuki, Jawa Timur. Pemberontakan ini dapat diatasi oleh Gajah
Mada. Atas jasanya ini ia diangkat sebagai Mahapatih Hamengkubumi Majapahit. Pada saat
pengangkatannya tahun 1336 M, Gajah Mada mengucapkan sumpah terkenalnya, yang
disebut Sumpah Palapa. Isinya: Gajah Mada pantang bersenang-senang sebelum dapat
menyatukan Nusantara. Yang dimaksud Nusantara adalah pulau-pulau yang meliputi Malaka,
Sumatra, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan, Sunda kecil (Nusa Tenggara), dan Maluku.
Gayatri meninggal tahun 1350 M, dan digantikan oleh putranya, Hayam Wuruk (memerintah
1350-1389 M).

HISTORIA
Bhinneka Tunggal Ika
Tahukah Anda bahwa frasa "Bhinneka Tunggal Ika" yang menjadi moto atau
semboyan Indonesia berasal dari masa Majapahit, tepatnya dari kakawin Sutasoma
karangan Mpu Tantular? Frasa ini, yang berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali
diterjemahkan dengan kalimat "Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan
umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di
bawah ini:
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal,
Berbeda-beda, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-
beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata
"aneka"dalam bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu”. Kata ika berarti "itu". Secara
harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan.
Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras,
suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Pada masa Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak kejayaan: wilayahnya sangat
luas, seluas wilayah Indonesia sekarang, bahkan pengaruhnya sampai ke beberapa negara lain
di wilayah Asia Tenggara. Tidak dapat dimungkiri peran Gajah Mada sangat besar, yang
konsisten mewujudkan Sumpah Palapa-nya.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pula karya sastra mengalami kemajuan pesat.
Pada tahun 1365 ditulis Kitab Nagarakertagama oleh Mpu Prapanca, demikian juga kitab-
kitab lain seperti Sutasoma dan Arjunawijaya oleh Mpu Tantular {baca Historia). Seorang
musafir Cina, Ma-Huan, menulis pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit telah
mengenal kemajemukan budaya, agama, dan adat istiadat; sebab pada waktu itu Majapahit
juga dihuni oleh penduduk yang berasal dari Samudra Pasai dan Malaka, orang-orang
Tionghoa yang telah memeluk agama Islam, serta penduduk asli yang beragama Hindu dan
Buddha.
Kota Majapahit adalah kawasan urban awal dalam sejarah Indonesia. Himpunan
kompleks permukiman dikelilingi oleh tembok bata berdenah kotak-kotak. Masing-masing
blok kompleks dipisahkan oleh jalan, kebun, atau kanal. Pola tata letak seperti ini masih
dapat ditemukan di Bali. Kemungkinan besar ibukota Majapahit tersusun atas himpunan unit
permukiman seperti ini.

‫ ؛‬Surya Majapahit; dewasa ini


sering dipakai sebagai ornamen
rumah.

Kemakmuran Majapahit diduga karena majunya pertanian lembah Sungai Berantas


serta dikuasainya jalur perdagangan rempah-rempah Maluku. Ekonomi Majapahit menjadi
semakin kompleks sehingga memerlukan pecahan uang receh untuk mendukung aktivitas
ekonomi mikro di pasar. Karena kebutuhan itu, sejak 1300 Majapahit mengimpor banyak
uang kepeng perunggu dari Cina. Masyarakat Majapahit mulai suka menabung. Peninggalan
menarik adalah celengan babi yang mungkin merupakan asal-usul istilah “celengan” karena
kata “celeng” berarti “babi hutan”.
Politik penyatuan Nusantara Gajah Mada baru berakhir pada 1357 M dalam apa yang
disebut Perang Bubat, yaitu perang antara Kerajaan Pajajaran (Sunda) dan Kerajaan
Majapahit. Latar belakangnya sebagai berikut: Pada tahun 1357 Hayam Wuruk berniat
meminang putri raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja bernama Dyah Pitaloka Citraresmi atau
Citra Rashmi (1340-1357). Pihak Pajajaran menganggap lamaran ini sebagai perjanjian
persekutuan. Pada tahun 1357 rombongan raja Pajajaran beserta keluarga dan pengawalnya
bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri. Sri Baduga memerintahkan pasukannya
berkemah di lapangan Bubat menunggu Hayam Wuruk menjemput putrinya. Namun, Gajah
Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa Kerajaan Sunda takluk. Ia melarang
Hayam Wuruk menjemput dan menginginkan Sri Baduga sendirilah yang datang sebagai
tanda takluk. Sri Baduga murka dan menolak mentah-mentah. Perang pun tidak terelakkan.
Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, Sri Baduga dan seluruh anggota
pasukannya terbunuh. Dyah Pitaloka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela
kehormatan negaranya.
Gajah Mada meninggal tahun 1364. Selama tiga tahun | berikutnya, jabatan Mahapatih
Mangkubumi dibiarkan kosong. Baru ،5 pada tahun 1367, diangkatlah Gajah Enggon sebagai
penggantinya.
Pada tahun 1389, Hayam Wuruk wafat. Sepeninggal Hayam I Wuruk dan setelah
mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur
melemah, terutama akibat konflik perebutan takhta. Ia digantikan oleh putrinya bernama
Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam
Wuruk juga memiliki seorang putra (dari selirnya) bernama Wirabhumi, yang juga menuntut
hak atas takhta. Sebetulnya Wirabhumi telah diberi kekuasaan sebagai raja Blambangan, di
bagian timur Jawa Timur sekarang. Diperkirakan pada tahun 1405-1406 terjadi perebutan
takhta antara Wirabhumi dan Wikramawardhana, yang dikenal dengan nama Perang
Paregreg. Perang ini berakhir dengan kemenangan Wikramawardhana, sementara
Wirabhumi ditangkap dan dipaneung.

HISTORIA
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, antara kurun waktu 1405 sampai 1433,
serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin laksamana Cheng Ho, seorang
jenderal muslim Cina, tiba di Jawa. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah
menciptakan komunitas muslim Cina dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara
Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki
pijakan di pantai utara Jawa.

Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah


taklukannya. Negara-negara keeil yang selama ini menjadi taklukan Majapahit satu per satu
melepaskan diri. Kondisi ini tertulis dengan jelas dalam Kitab Pararaton dan dalam
beberapa prasasti di Sawentar Kanigoro, Blitar, Jawa Timur.
Wikramawardhana meninggal pada 1429, setelah sebelumnya mengangkat Dewi
Suhita, anak Bhre Wirabumi menjadi raja. Hal ini dilakukan untuk mengobati kekeeewaan
Bhre Wirabumi yang tidak berhasil menjadi raja di Majapahit. Pada tahun 1444, Suhita
meninggal, dan digantikan oleh Dyah Kertawijaya; demikian selanjutnya Majapahit masih
terus berganti-ganti raja tanpa mampu mengembalikan zaman keemasannya. Pada 1456,
Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dan setelah itu masih tercatat pemerintahan Bhre
Ranawijaya (Brawijaya) hingga kemudian Majapahit dikuasai oleh Demak, kerajaan Islam
pertama di Indonesia yang muncul pada tahun 1522.

12. Kerajaan Bali


a. Lokasi dan Sumber sejarah
Prasasti Bali yang tertua berangka tahun 882 M. Isinya adalah tentang pemberian izin
kepada para biksu agama Buddha untuk membuat pertapaan di Bukit Cintamani (Kintamani).
Dalam prasasti ini tidak disebutkan nama raja, tetapi disebut nama kerajaannya:
Singhamandawa. Dalam Kitab Carita Parahyangan disebutkan Kerajaan Bali pernah diserbu
Kerajaan Mataram (di bawah Raja Dyah Balitung) pada 730 M. Hubungan antara penerus
Mataram dan Kerajaan Bali memang dekat: Airlangga (raja Mataram) adalah putra hasil
perkawinan Raja Dharma Udayana Warmadewa (Bali) dan Ratu Mahendradatta (putr‫ ؛‬Raja
Dharmawangsa dari Mataram). Setelah peristiwa Pralaya, Airlangga menggantikan
Dharmawangsa menjadi raja.

b. Keadaan sosial-politik kerajaan


Informasi tentang raja-raja yang memerintah Bali ditemukan melalui Prasasti Sanur
(913 M). Prasasti yang ditulis dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Bali Kuno ini dibuat oleh
raja pertama Bali, Sri Kesarimarwadewa. Di dalamnya disebutkan Raja Ugrasena
(memerintah 915-942 M), yang sezaman dengan pemerintahan Mpu Sindok (Medang
Kamulan). Pada masa pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, di antaranya
membebaskan beberapa desa dari kewajiban membayar pajak karena desa-desa menjadi
penghasil kayu untuk kebutuhan kerajaan. Raja setelah Ugrasena adalah Tabendra
Warmadewa. Ia membangun permandian Tirta Empul di Tampak Siring. Raja setelah
Tabendra Warmadewa berturut turut adalah Jayasingha Warmadewa, Jayasadhu Marwadewa,
Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi, dan Dharma Udayana Warmadewa (yang menikahi
Mahendradatta dan melahirkan Airlangga).
Pada masa pemerintahan Udayana tampak sekali kuatnya pengaruh Jawa di Bali:
hampir seluruh prasasti ditulis dalam bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi.
Raja-raja yang memerintah Bali berikutnya tidak meninggalkan catatan-catatan yang
berarti tentang pemerintahannya, kecuali pada masa pemerintahan Anak Wungsu (1049-
1077). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Bali memperluas wilayah kekuasaannya.

HISTORIA
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah Raja Bedahulu
dengan patih Kebo Iwa. Terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin
ekspedisi bersama panglima Arya Damar. Setelah Bedahulu wafat dan putranya
Pasunggrigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Majapahit lalu menunjuk
Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali karena ia dianggap memiliki
hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal Wangsa Kepakisan.
dan ia mengeluarkan sebanyak 28 prasasti yang menceritakan tentang sejumlah
kegiatan yang dilakukannya. Anak Wungsu tercatat sebagai raja Bali dari Dinasti
Warmadewa yang terakhir, karena ia tidak memiliki keturunan. Ia meninggal pada tahun
1080 M dan dimakamkan di Gunung Kawi, daerah Tampak Siring.
Raja-raja Bali yang paling banyak meninggalkan keterangan tertulis adalah Udayana,
Jayapangus, Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam pemerintahan, raja dibantu oleh suatu
badan penasihat pusat, yang disebut juga “panglapuan”. Badan ini beranggotakan beberapa
orang senapati dan pendeta Siwa dan Buddha.
Dalam prasasti-prasasti sebelum masa kekuasaan Raja Anak Wungsu, disebut beberapa
jenis seni. Baru pada masa Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni yang ada ke
dalam dua kelompok besar: seni keraton dan seni rakyat. Terkadang seni keraton
dipertunjukkan juga kepada masyarakat di desa-desa, dan bukan monopoli raja atau keraton.
Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah terutama dari zaman Megalitikum
sangat kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan pada pemujaan roh nenek moyang
yang disimbolkan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramida atau
bangunan berundak-undak. Terkadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu
monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada
bangunan pura yang mirip punden berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung,
laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum Hindu tetap tercermin dalam kehidupan
masyarakat. Sejak awal hingga masa pemerintahan Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui
dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dari nama-nama biksu yang memakai
unsur nama Siwa, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Hindu
Siwa. Pada masa pemerintahan Raja Udayana, ada dua aliran agama besar di Bali: Hindu
Siwa dan Buddha.
Raja terakhir Bali adalah Paduka Batara Sri Artasura atau yang lebih dikenal dengan
Raja Bedahulu. Raja ini memiliki dua orang patih terkenal bernama Kebo Iwa dan
Pasunggrigis, yang bersama-sama dengan rajanya berjuang mempertahankan kemerdekaan
Bali (meski akhirnya tunduk) dari ekspansi Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada.

E. Berakhirnya kerajaan-kerajaan Hindu Buddha


Bagaimana akhir zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia? Pada akhir
abad ke-13 seiring berkembang pesatnya pengaruh Islam dari Fimur Tengah, kerajaan-
kerajaan Islam mulai berdiri di Sumatra, dan agama Islam segera menyebar ke Jawa dan
Semenanjung Malaya lewat penaklukan dan penyebaran sistematis oleh sekelompok ulama
yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Akibatnya, pengaruh agama dan kebudayaan Hindu
dan Buddha menurun dan pada akhir abad ke-15 Islam adalah agama yang dominan di
Nusantara dan Semenanjung Malaya. Agama Buddha diperkenalkan kembali ke Nusantara
hanya pada abad ke-19, dengan kedatangan pedagang dan orang-orang Tiongkok, Srilanka,
dan imigran Buddha lainnya. (Kita akan membahas lebih lengkap tentang sejarah
perkembangan agama dan kebudayaan Islam di Indonesia dalam Bab 4)

TUGAS
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jelas.
1. Dari pembahasan sebelumnya, informasi manakah yang menunjukkan bahwa kerajaan-
kerajaan Hindu-Buddha menjunjung tinggi toleransi beragama?
2. Bagaimana Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya menjalankan kekuasaan di Mataram?
3. Apakah Ekspedisi Pamalayu pada masa pemerintahan Kertanegara di Singasari mencapai
tujuannya? Mengapa?
4. Ketika bicara konflik politik dewasa ini, orang selalu mengambil contoh pribadi Ken
Arok. Mengapa dan dalam situasi politik mana orang mengambil contoh pribadi
tersebut? Apa pendapat Anda sendiri?
5. Apa hubungan antara Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit?
6. Jelaskan dinasti-dinasti berikut: Syailendra, Sanjaya, Isyana, dan Girindra.
7. Apakah faktor utama yang membuat Kerajaan Majapahit runtuh?
8. Dari materi yang sudah dibahas, apa yang paling menarik bagi Anda? Mengapa?

RANKUMAN
1. Ada beberapa teori (hipotesis) rerkait proses masuk dan berkembangnya agama dan
kebudayaan Hindu dan Buddha ke Indonesia, di antaranya: Teori Waisya, Teori Ksatria,
Teori Brahmana, dan Teori Arus Balik. Namun, banyak orang lebih meyakini agama
Hindu masuk ke Indonesia karena dibawa oleh orang Indonesia, yang mempelajarinya
ketika mereka berada di India untuk berbagai keperluan.
2. Sekitar abad ke-5 M, agama Buddha mulai dikenal di Indonesia. Sriwijaya (sekarang
Palembang) merupakan pusat penting untuk pembelajaran Buddhisme. Pada pertengahan
abad ke-8, Jawa Tengah berada di bawah kekuasaan raja-raja Dinasti Syailendra yang
merupakan penganut Buddhisme. Mereka membangun berbagai monumen Buddha di
Jawa, yang paling terkenal yaitu Candi Borobudur.
3. Masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia membawa pengaruh yang sangat positif bagi
bangsa Indonesia, yaitu pengenalan budaya tulis dalam rupa huruf Pallawa dan bahasa
Sanskerta.
4. Sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Buddha ke Indonesia, sistem pemerintahan
yang dianut bangsa Indonesia adalah sistem pemerintahan desa, yang dipimpin oleh
seorang kepala suku dan dipilih berdasarkan kekuatan dan kelebihannya (primus
interpares). Dengan masuknya pengaruh Hindu, muncul konsep tentang dewa raja:
bahwa pimpinan tertinggi dalam sebuah kelompok adalah seorang raja; raja tersebut
diyakini sebagai titisan dewa, yaitu Dewa Wisnu. Karena merupakan titisan dewa,
kekuasaannya bersifat mutlak dan berlangsung turun-temurun.
5. Seperti masa-masa sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, sistem mata pencarian
masyarakat Indonesia bertumpu pada tradisi pertanian atau agraris. Pemahaman tentang
pertanian bertambah maju ketika orang-orang India ini mengenalkan sistem irigasi dan
sistem pelayaran.
6. Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bangsa Indonesia telah mengenal sistem
kepercayaan animisme dan dinamisme serta sejumlah kegiatan upacara yang terkait
dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Masuknya pengaruh Hindu membuat
masyarakat Indonesia mengenal dewa-dewi, yang merupakan perwujudan atau
manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan sosial, pengaruh kebudayaan
Hindu yang nyata adalah dengan dikenalnya sistem pelapisan sosial di dalam masyarakat
yang disebut sistem kasta.
7. Candi merupakan bangunan utama yang banyak didirikan pada masa pengaruh Hindu-
Buddha. Hal ini karena agama Buddha maupun agama Hindu sama-sama memiliki
konsep pemujaan, baik terhadap Buddha maupun terhadap dewa-dewa agama Hindu.
Candi dalam agama Hindu memiliki fungsi yang lebih luas: selain sebagai tempat
pemujaan, juga berfungsi sebagai makam raja (menyimpan abu jenazah). Hal ini terkait
dengan konsep dewa raja, di mana seorang raja harus dihormati sedemikian rupa karena
raja adalah titisan Dewa Wisnu sang pemelihara alam.
8. Kerajaan Kutai merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan yang
berdiri sekitar abad ke-4 ini berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan 'I'imur. Sumber
sejarah yang menjadi bukti arkeolog‫؛‬s tentang keberadaan kerajaan ini adalah dari
temuan prasasti yang ditulis di atas yupa atau tugu batu berjumlah tujuh buah, yang
ditemukan sekitar tahun 1879 dan tahun 1940 di daerah hulu Sungai Mahakam. Prasasti
tersebut ditulis dengan menggunakan huruf Pallawa , yaitu huruf yang banyak digunakan
di wilayah India selatan dan berbahasa Sanskerta.
9. Kerajaan Hindu tertua lainnya adalah Kerajaan Tarumanagara. Letaknya di wilayah Jawa
Barat sekarang.
10. Kerajaan Melayu merupakan sebuah nama kerajaan bercorak Buddha yang terletak di
Pulau Sumatra. Sementara di Jawa, kerajaan bercorak Buddha adalah Kerajaan Kalingga.
11. Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari (maritim) bercorak Buddha yang pernah
berdiri di Pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah
kekuasaan membentang dari Sumatra, Jawa, pesisir Kalimantan, Kamboja, ^ailand
selatan, dan Semenanjung Malaya. Masyarakat Sriwijaya sebagian besar hidup dari hasil
perdagangan dan pelayaran. Kerajaan ini mengendalikan jalur perdagangan maritim di
Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, I,aut Jawa, Selat Karimata, dan bahkan
Tanah Genting Kra (Thailand dan Myanmar).
12. Kerajaan Mataram, tepatnya Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu,
adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian
berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Kerajaan Mataram ini runtuh pada awal
abadke-11.
13. Kerajaan Medang Kamulan sebenarnya merupakan kelanjutan dari ‫ن'ا'ا>ا‬،‫ آالتوز‬Mataram;
jadi, bercorak Hindu. Menurut para ahli telah terjadi bencana alam, yaitu letusan dari
Gunung Merapi yang sangat hebat. Bencana alam itu telah mem^r^-^randakan sebagian
besar wilayah Jawa Tengah, sehingga pusat pemerintahan dipindahkan oleh Mpu Sindok
ke Jawa Timur.
14. Kerajaan Kediri adalah kerajaan agraris dengan raja pertama Sri Jayawarsha. Setelah
Jenggala berhasil dikuasai oleh Kediri pada masa pemerintahan Jayabhaya, kerajaan ini
menjadi satu-satunya kerajaan yang berdiri di Jawa Timur pada masa tersebut. Kisah
perang saudara antara Jenggala dan Kediri kemudian diabadikan dalam sebuah kakawin
(kitab) yang berjudul Barathayudha (tahun 1157), yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh.
15. Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur yang didirikan
oleh Ken Arok pada tahun 1222. Raja pertamanya adalah Ken Arok.
16. Pusat Kerajaan Majapahit diperkirakan berada di daerah Trowulan sekarang, yang
terletak sekitar 10 km sebelah barat daya Kota Mojokerto, Jawa Timur. Perkiraan ini
didasarkan oleh adanya temuan-temuan artefak yang berupa bekas tembok dan fondasi
bangunan, pintu gapura, candi, saluran air, dan bekas tiang-tiang rumah.
17. Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal berdirinya Kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu 10 November 1293. Raden Wijaya
memerintah dari tahun 1293-1309 M.

Anda mungkin juga menyukai