Anda di halaman 1dari 5

Ajaran Tantrayana

Tantrayana itu, agama atau sekte dari sebuah agama?


Lalu, adakah hubungannya dengan Buddha atau Hindu?
Tantrayana merupakan perkembangan dari agama Hindu-Siwa dan Buddha itu sendiri. Maka dari itu,
mari kita telusuri sekilas sejarah kemunculan Tantrayana ini.

Perpaduan Hindu Siwaisme dengan Buddha Mahayan


Dasar-dasar paham Tantra sebenarnya telah ada di India sebelum bangsa Arya datang di India, jadi
sebelum kitab Weda tercipta. Pada masa itu, di peradaban lembah Sungai Sindu, cikal-bakal paham
Tantra telah terbentuk dalam praktik pemujaan oleh bangsa Dravida terhadap Dewi Ibu atau Dewi
Kemakmuran. Dalam salah satu seloka lagu pujaan,
Dewi ini dilukiskan sebagai penjelmaan kekuatan (sakti) penyokong alam semesta. Timbullah paham
Saktiisme, atau disebut juga Kalaisme, Kalamukha, atau Kalikas (Kapalikas), yang dianut oleh penduduk
asli India tersebut. Karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India, maka oleh bangsa Arya
disebut Sudra Kapalikas.
Aliran ini memusatkan pemujaan terhadap Devi/Dewi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga atau Kali).
Sebagai sakti (istri) Dewa Siwa, kedudukan Dewi Durga ini lebih ditonjolkan daripada dewa itu
sendiri.Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran ini disebut Kalimasada
(Kali-Maha-Husada), artinya Dewi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan
moral, pikiran, dan perilaku.
Pengikut Saktiisme ini tidak mengikuti sistem kasta dan Veda (Weda). Dalam menunaikan ajaran,
pengikutnya melaksanakan Panca Ma yang diubah arti dan pemahamannya menjadi pemuasan nafsu;
maka dari itu akhirnya aliran ini dikucilkan dari Veda, keluar dari Hindusme.
Padahal, dalam kisah awal ketika terjadi peperangan antara bangsa Arya melawan Dravida, lahirlah
Sadashiva, artinya "dia yang selalu terserap dalam kesadaran", yang kemudian dikenal sebagai Shiva
(Siwa), seorang guru rohani. Sumbangan terbesar Siwa terhadap peradaban adalah pengenalan konsep
dharma. Seperti ajaran kuno lain, ajaran Siwa disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru kemudian
dituliskan ke dalam sebuah kitab. Istri Siwa, Parvati (Parwati), sering bertanya padanya mengenai
pengetahuan rohani. Siwa memberikan jawabannya, dan kumpulan tanya-jawab tersebut dikenal sebagai
Tantra Shastra. Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam Nigama, sedangkan praktik-praktiknya dalam buku
Agama. Sebagian buku-buku kuno itu hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam
tulisan rahasia yang dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan Tantra terhadap mereka yang awam.
Kitab-kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali, kurang lebih ada 64 macam, antara lain:
Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra.
Istilah Tantra berasal dari kata tan, artinya memaparkan kesaktian/kekuatan dewa. Tantra sendiri bisa
diartikan sebagai intisari, esensi, atau asal. Dalam perkembangannya, paham ini begitu memuja sakti
Siwa secara ekstrim. Setelah abad ke-5, paham Tantrayana ini muncul di tenggara Benua India di daerah
Bengal dan Assam.
Dan sejak kematian Siwa, tak ada guru yang sepadan lagi dengannya, dan Tantra pun mengalami
kesurutan. Berbagai ajarannya hilang dan sebagian lagi melenceng. Padahal, dalam kitab Wrehaspati

Tattwa, rumusan sakti adalah: orang banyak ilmu dan banyak kerjanya. Jadi, orang sakti itu adalah orang
yang rajin belajar dan banyak kerja mengamalkan ilmunya.
Praktik upacara Tantrayana, yakni Maka Kama Pancaka atau lebih terkenal dengan Panca Ma atau
Malima, sering disalahartikan. Panca Ma (Lima M) itu adalah: madya, mamsa, matsya, mudra, dan
maithuna. Ajaran tersebut lebih diarahkan kepada konsep karma marga, bakti yoga, dan jnana marga.
1. Mada/Madya(kebingungan/tengah), artinya lebih kepada jalan tengah, tidak terlalu banyak atau
kurang, tidak terlalu keras atau lemah, yang kemudian ditafsirkan menjadi mabuk minuman atau tidak
sadar.
2. Mamsa (mam=aku, sa= pertiwi/tanah), artinya lebih kepada memadamkan nafsu dan keinginan,
mematikan semua indra, yang kemudian ditafsirkan menjadi mematikan hewan, memakan daging dan
meminum darah.
3. Matsya (nyaman, luwes, mengalir), artinya lebih kepada keluwesan pergerakan, merasakan empati
dan simpati, tidak kaku (dalam yoga, disebut pranayama, yang bertujuan agar pikiran menjadi tenang dan
mudah bermeditasi), yang kemudian ditafsirkan menjadi memakan ikan (kembung yang beracun).
4. Mudra(bayu, tekad, jiwa), adalah penjiwaan yang mendalam, penuh tekad, pelaksanaan tindakan dan
pembuktian, yang kemudian ditafsrikan menjadi melakukan gerak-gerik tangan dan tarian hingga lelah.
5. Maithuna(persatuan, menghancurkan), yakni menyatukan pikiran kepada kosmis, menghancurkan
pikiran, tenggelam kepada kehampaan, mencapai kebebasan pikiran, yang kemudian diartikan sebagai
persetubuhan massal.
Selanjutnya, paham Tantrayana pun memengaruhi agama Buddha, terutama aliran Mahayana. Seperti
kita ketahui bahwa dalam Buddha terdapat dua aliran: Mahayana dan Hinayana yang muncul pada abad
pertama Masehi. Mazhab Mahayana menitikberatkan kepada usaha saling membantu antarpengikutnya
dalam mencapai kebebasan jiwa (nirvana), sedangkan Hinayana lebih bersifat individualistis dalam
mencapai nirwana. Aliran Hinayana berkembang di Sri Langka, Burma, dan Thailand, namun kemudian
tak berkembang dan lebih dulu menghilang. Sementara itu, Mahayana berkembang seiring dengan
pesatnya paham Tantrayana yang ikut melebur di dalamnya (disebut Tantra Vajrayana atau Tantra
Mahayana).
Akibat pengaruh Siwaisme, dalam Mahayana kemudian dikenal pendewaan atas diri Buddha dan
Bodhisatwa, surga dalam artian tempat, bhaktimarga (jalan bakti), dan dewa-dewa lainnya yang patut
disembah. Penyelewengan ajaran ini tentunya makin menjauhkan Buddhisme dari semangat Buddha
Siddharta, karena ajaran Buddha asli tak mengenal adanya Tuhan, tak mengenal doa, tak mengenal
dewa-dewa layaknya dalam Hindu. Maka dari itu, di India sendiri ajaran Buddha menghilang dan
kemudian lebih banyak dianut di Asia Timur dan Tenggara. Pada abad ke-7 Tantrayana menyebar ke
Tibet, Cina, Korea, Jepang, hingga Indonesia (Jawa dan Sumatra). Malah, pada abad ke-7, Kerajaan
Sriwijaya merupakan pusat studi Mahayana di Asia Tenggara.
Mazhab Tantrayana memiliki akar pandangan yang sama dengan Mahayana, khususnya dalam hal
Yogacara. Namun, Tantrayana berbeda dengan Mahayana dalam hal tujuan, wujud manusia yang telah
mencapai tujuan Tantrayana, dan cara pengajarannya. Hal ini terlihat salah satunya dari pemujaan
terhadap sakti Boddhisatwa dan pemujaan terhadap kekuatan gaib dari Dhyani Buddha. Ajarannya lebih
bersifat esoterik karena penyebarannya bersifat rahasia dan tersembunyi. Tantra diajarkan oleh seorang
guru pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk ujian.
Ritual-ritual Tantrayana
Tantrayana mengenal adanya meditasi dengan menggunakan alat berupa mandala (bagi penganut
Buddha) atau yantra (bagi penganut Hindu). Mandala adalah yantra yang dianut Hindu dalam variasi lain
yang bercorak Buddha, yakni lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari. Alat

tersebutdibuat dari tanah, kain, pada dinding, logam, atau batuharus digunakan oleh mereka yang
mencari pelepasan dari rangkaian siklus (lingkaran) kelahiran kembali. Penggunaan mandala/yantra ini
biasanya dibarengi dengan memegang aksamala (tasbih atau rosario) oleh tangan kanan untuk
menghitung mantra yang diucapkan terus menerus hingga kadang-kadang orang yang bersangkutan
merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Tantrayana mengajarkan agar badan, perkataan, serta pikiran
digiatkan oleh ritual, mantra, dan samadi.
Dalam Tantrayana Hinduseperti telah dibahas di atas mengenai Panca Ma, konsep sakti Siwa
mengakibatkan lahirnya kegiatan hubungan intim yang dianggap suci dan membawa manusia kepada
kebebasan jiwa dalam upacara Tantra. Begitu pula dalam Tantrayana Buddha (Wajrayana), yang
ditandai dengan adanya hubungan Dewi Tara dengan Dyani Buddha. Tantrayana menganggap bahwa
penciptaan alam semesta beserta isinya dilakukan oleh Unsur Asal (dalam Buddhisme disebut Buddha,
dalam Hinduisme disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim dengan istrinya. Dalam hubungan
intim, unsur jantan disebut upaya (alat mencapai kebenaran yang agung), sedangkan unsur wanita
disebut prajna (kemahiran yang membebaskan). Maka timbul penyelewengan paham bahwa maithuna
adalah paham kebebasan, tepatnya kebebasan untuk bersenggama antara pria dengan wanita. Mereka
melakukan upacara tersebut di ksetra atau lapangan tempat membakar mayat, sebelum mayat dibakar
saat gelap bulan.
Ajaran Tantrayana ini makin menyimpang dengan adanya penggunaan minuman keras oleh para
pengikutnya, sebagai penyimpangan dari konsep madya/mada. Minuman keras ini dimaksudkan untuk
mempercepat peleburan diri dengan Unsur Asal. Pun, mereka selalu mengutamakan makananmakanan lezat dan mewah, sebagai penyimpangan dari konsep mamsa dan matsya, yang jelas
bertentangan dengan ajaran Buddha yang menolak minuman keras dan hidup berfoya-foya.
Dalam ajarannya, Tantra pun banyak memuat kutukan atau sumpah. Misalnya, Prasasti Sanghyang
Tapak (Cibadak) peninggalan Kerajaan Sunda/Pajajaran menyebutkan sejumlah kutukan yang lumayan
mengerikan, yakni agar orang yang menyalahi ketentuan dalam prasasti tersebut diserahkan kepada
kekuatan-kekuatan gaib untuk dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya,
memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya. Di Sriwijaya, di mana aliran ini lebih dulu
berkembang pada abad ke-7, terdapat sejumlah prasasti, yakni Talang Tuwo dan Kota Kapur, yang berisi
kutukan dan sumpah. Berikut kutipan bunyi Prasasti Kota Kapur yang dibuat pada 686 M.
. pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya
seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Sriwijaya, dan biar mereka / dihukum bersama
marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu
ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun,
memakai racun upas dan tuba, ganja / saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain
dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah
melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang
menghasut orang / supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena
kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak
setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut / mati kena kutuk .
Jejak-jejak Tantrisme di Nusantara
Selain di Sriwijaya, aliran ini berkembang pula di Jawa. di Jawa Tengah pada abad ke-8 dalam Prasasti
Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci, Candi Kalasan,
untuk memuja Dewi Tara. Dewi Tara merupakan salah satu bentuk penyimpangan Buddha Mahayana
karena dewi tersebut dianggap sebagai istri (sakti) para Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai
kama (syahwat) merupakan musuh terbesar manusia.
Di Jawa Timur abad ke-10 pun keberadaan penganut Tantra telah diakui oleh Mpu Sindhok Raja Medang,
pendiri Wangsa Isana. Meski Raja Sindhok penganut Siwa, ia menganugerahkan Desa Wanjang sebagai
wilayah sima (yang dibebaspajakkan) kepada pujangga bernama Sambhara Suryawarana yang
menyusun kitab Tantra, Sanghyang Kamahayanikan.

Contoh lain adalah raja terakhir Singasari (sebelumnya bernama Tumapel) yakni Kertanagara (12681292). Oleh Pararaton, ia disebut Bhatara Siwa Buddha, yang berarti ia memeluk Hindu-Siwa sekaligus
Buddha. Nagarakretagama karya Mpu Prapanca menguraikan bahwa raja ini, karena telah menguasai
ajaran Siwa dan Buddha, maka disebut telah terbebas dari segala dosa; bahkan pesta minuman keras
adalah salah satu acara ritual agamanya. Bahkan ketika diserang tentara Kubilai Khan dari Mongol, Sang
Raja tengah melakukan ritual Tantra bersama para menteri dan pendeta, dalam keadaan mabuk
minuman. Sebagai penganut dua agama, ia bergelar Sri Jnanabajreswara atau Sri Jnaneswarabajra dan
diarcakan sebagai Jina Mahakshobhya (kini berada di Taman Apsari, Surabaya) sebagai simbol
penyatuan Siwa-Buddha; arca ini populer dengan sebutan Joko Dolog. Kertanegara dimuliakan sebagai
Jina Wairocana dan di Candi Singosari sebagai Bhaiwara.
Di Kerajaan Sunda-Pajajaran pun diketahui ada sejumlah rajanya penganut Tantra, di antaranya: Sri
Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana raja terakhir Pajajaran). Naskah kuno
karya anonim pada abad ke-16, Carita Parahyangan mengurai, Karena terlalu lama Raja (Nilakendra)
tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan
tingkat kekayaan.
Di Sunda, para penganut Tantra menjalankan ibadahnya di bangunan-bangunan megalitik.
Seperti disebutkan di atas bahwa paham Tantrayana-Hindu identik dengan paham Siwa-Bhairawa.
Bhairawa (artinya hebat) ini perwujudan Siwa yang mengerikan, digambarkan ganas, memiliki taring,
bertubuh besar, dan berwujud raksasa.
Bukti-bukti dari keberadaan paham Bhairawa di antaranya: arca Bhairawa Heruka di Padang Lawas,
Sumatra Barat, arca Adityawarman dalam wujud Bhairawa Kalacakra pada masa Majapahit, dan arca
Bhairawa Bima di Bali. Aliran Bhairawa ditenggarai memunyai tendensi politik guna untuk mendapatkan
kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian keamanan negara. Misalnya, Kertanagara
menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kekuatan kaisar Kubilai Khan di Cina yang menganut
Bhairawa Heruka. Adityawarman menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi raja Pagaruyung di
Sumatra Barat yang menganut Bhairawa Heruka.
Arca Bhairawa ini tangannya ada yang dua, ada yang empat. Ada pun arca Adityawarman sebagai
Bhairawa hanya memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah manusia dan tangan
kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat, maka biasanya dua tangan lainnya memegang
tasbih dan gendang kecil yang bisa dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru atau
ksetra. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual matsya atau mamsa. Ada
pun mangkuk berfungsi untuk menampung darah untuk upacara minum darah. Sementara tangan yang
satu lagi membawa tasbih. Wahana atau kendaraan Siwa dalam perwujudan Siwa Bhairawa adalah
serigala, karena upacara dilakukan di lapangan mayat dan serigala merupakan hewan pemakan mayat.
Sementara itu terdapat sejumlah arca tengkorak di atas kaki Bhairawa.

Bukti Fisik Keberadaan Tantra


Keberadaan Tantrayana ini dibuktikan pula oleh peninggalan-peninggalan fisik. Di Jawa Tengah,
misalnya, kita dapat melihat bukti tersebut di komplek Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu, Dukuh Berjo,
Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan tulisan candrasangkala di
gapura teras 1 dan 2, candi ini didirikan antara tahun 1437-1456 M; jadi di era Majapahit menjelang
keruntuhannya. Struktur bangunan candinya sendiri berbentuk piramidamirip peninggalan budaya
Maya di Meksiko atau Inca di Peru.

Ada yang mengatakan bahwa Candi Sukuh dibangun oleh pengikut Siwa, ditandai dengan relief Kidung
Sudamala dan relief lingga-yoni (yang jumlahnya lebih dari satu). Kidung Sudamala (diadaptasi dari salah
satu parwa atau bab Mahabharata) mengisahkan lakon Sadewa (bungsu Pandawa) yang
menyembuhkan putri seorang pertama Ni Padapa yang buta dan juga harus membebaskan Bhatari
Durga (dewi utama sesembahan Tantris). Ada pun lingga adalah perlambang Dewa Siwa. Selain itu ada
pula dua patung garuda dan arca kura-kura yang melambangkan bumi dan Dewa Wisnu. Tiga arca kurakura tersebut berbentuk meja yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sesaji dan mungkin sebagai
tempat perebahan najako.
Ada pula ahli yang menenggarai lebih spesifik bahwa candi ini didirikan oleh para Tantris-Bhairawa. Pada
dinding-dinding candi terdapat berbagai relief tentang proses kehidupan dan kesuburan semesta: dari
bersenggama hingga proses kelahiran manusia baru. Relief lingga-yoni, lambang pria dan wanita
terpahat di dinding candi yang terbuat dari batu andesit.

Anda mungkin juga menyukai