Anda di halaman 1dari 3

Pengertian dan Makna Banten Byakala atau

Byakaon
Written By Mutiara Hindu  Saturday, August 4, 2018  2 Comments

HINDUALUKTA -- HINDUALUKTA -- Umat hindu tidak bisa lepas dari sarana


persembahyangan seperti dupa, banten, bunga dan lainnya. Sebab dalam lontar
yadnya prakerti dijelaskan bahwa Sehananing Bebanten pinaka raganta tuwi. pinaka
warna rupaning Ida Bhatara pinaka Andha Buwana. Artinya: "Semua banten lambang
diri kita (manusia), lambang aneka kemahakuasaan Tuhan dan lambang Bhuwana
Agung.

Banten Byakala atau Byakaon


Banten merupakan  salah satu komponen penting dalam kehidupan mereka ibaratnya
masyarakat hindu menggunakan banten seperti mereka menggunakan  udara untuk
bernafas. Banten memiliki arti sebagai  persembahan  serta sarana bagi umat Hindu
Bali sebagai rasa bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi
Wasa atas dasar tulus ikhlas, perwujudan cinta kasih, serta tidak lupa untuk
mewujudkan rasa terima kasih atas semua anugerah yang telah di limpahkan-Nya.

Pengertian Banten Byakala atau Byakaon


Banten Byakala/Bayakaon terdiri dari dua suku kata yaitu: baya dan kaon. Baya berarti
segala marabahaya dan kaon artinya menghilangkan. Dalam artikel Sejarah Hari Raya
& Upacara Yadnya di Bali dijelaskan bahwa Banten Bayakaon berasal dari akar kata
baya dan kaon. Baya artinya segala sesuatu yang membahayakan baik pada setiap
upakara yadnya, pralingga, termasuk yang terdapat dalam diri sendiri, yang kemudian
dapat menimbulkan gejolak-gejolak negatif tatkala berpikir, berucap dan berprilaku yang
bersumber dari ahamkara (egoisme). Sedangkan kata Kaon artinya menghilangkan.  
Makna Banten Byakala/Bayakaon
Banten Bayakaon bermakna sebagai lambang untuk menghilangkan segala bentuk
marabahaya. Dalam bentuk banten bayakaon pada intinya terdiri dari warna merah
yaitu: sampiyan dibuat dari daun andong merah dan tetebus yang dipakai juga
berwarna merah. Warna merah sebagai lambang agni/api, api sebagai lambang bayu,
bayu sebagai lambang aktivitas atau perilaku. 

Banten Byakala/Bayakaon digunakan untuk memohon kekuatan kepada Sang Hyang


Agni agar segala perilaku  terhindar dari segala hal-hal yang tidak baik atau yang
membahayakan.  Dalam penggunaan banten byakala, dijalankan pada bangunan
bagian bawah (ring sor), dalam tubuh manusia dilaksanakan pada bagian kaki.
Sedangkan dalam wujud Tri Bhuwana sebagai pensucian bhur loka. 

Pada Tri Mandala dilaksanakan pada nistha mandala, di dalam Tri Premana sebagai
pensucian bayu, dalam wujud Tri Kaya sebagai pensucian dari perilaku ataupun
perbuatan (Wijayananda, 2004: 71-72).  Pada upacara tutug kambuhan banten byakala
sebagai sarana untuk menghilangkan semua gejolak negatif yang bersumber dari
ahamkara (egoisme), pada saat proses upacara byakala tirtha dipercikkan ke bawah
atau dari pinggang ke bawah dan diayab ke belakang.   

Dalam Lontar Rare angon dikatakan: 


“Banten Bayakaon inggih punika maka sarana ngicalang sekancanin pikobet-pikobet sane
nenten ecik, dumugi sidha galang apadang”.
Dengan demikian Banten Bayakaon berfungsi sebagai sarana untuk menghilangkan
semua gejolak negatif yang bersumber dari ahamkara (egoisme).

Fungsi Banten Byakala/Bayakaon


Banten Byakala/Byakaon berfungsi sebagai penetralisir kekuatan bhuta kala yang
bersifat negatif, yang mengandung arti membersihkan dan menyebabkan bahaya atau
menetralisir kekuatan bhuta kala yang bersifat negatif untuk dijadikan bhuta hita.   Pada
upacara tutug kambuhan banten byakala dipergunakan sebagai manggala upacara,
baik unsur Bhuwana Agung maupun Bhuwana Alit dengan tujuan mencapai
keseimbangan antara lahir dan bhatin. Secara niskala untuk menghilangkan kekuatan-
kekuatan buruk bhuta kala serta mengembalikan ke sumbernya dan tidak mengganggu
proses upacara. 

Sebagai sarana menstanakan, mengembalikan, memanggil agar premana atau karisma


(taksu) pada suatu bangunan dan diri manusia kembali bersinar dengan cerah. Setelah
Tri Bhuwana, Tri Mandhala, Tri Premana dan Tri kaya kita terlepas belenggu mala atau
kekotoran membelenggunya, dengan sinar Atma yang cerah akan dapat menyatu
dengan sinar Ida Sang Hyang Widhi, sebagai sumber dari segala kehidupan
(Wijayananda, 2004: 75). 

Anda mungkin juga menyukai