Anda di halaman 1dari 182

BHUTA YADNYA

Bhuta Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu ketentraman
hidup manusia. Bagi masyarakat Hindu bhuta kala ini diyakini sebagai kekuatan-kekuatan yang
bersifat negatif yang sering menimbulkan gangguan serta bencana, tetapi dengan Bhuta Yadnya ini
maka kekuatan-kekuatan tersebut akan dapat menolong dan melindungi kehidupan manusia
Adapun tujuan Upacara Bhuta Yadnya adalah disamping untuk memohon kehadapan Hyang Widhi
(Tuhan Yang Maha Esa) agar beliau memberi kekuatan lahir bathin, juga untuk menyucikan dan
menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang disebut bhuta kala tersebut sehingga
dapat berfungsi dan berguna bagi kehidupan manusia.
Bhuta Yadnya, pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
 Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan kecil seperti segehan dan yang setingkat.
 Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan sedang (madya) yang disebut "caru".

 Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar (utama).

a. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil.

Upacara ini di sebut dengan “ Segehan “, dengan lauk pauknya yang sangat sederhana seperti
bawang merah, jahe, garam dan lain-lainnya. Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai
dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel
dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.

b. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang sedang ( madya ).


Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “ Caru “. Pada tingkatan ini selain
mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak
jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-
jenis caru tersebut adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru
yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru
panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang
lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.

c. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar ( utama ).


Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang
jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap
sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus
tahun sekali.

Caru Adalah Memaknai Ruang dan Waktu

Setiap upacara agama yang berdasarkan Veda selalu ada lima unsur yang memvisualkan nilai-nilai
suci upacara agama Hindu. Lima unsur tersebut adalah Mantra, Tantra, Yantra, Yadnya dan Yoga.
Yantra itu berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya alat atau sarana dalam bentuk simbol.
Yantra dalam upacara agama Hindu di Bali disebut banten atau upakara. Banten inilah yang
menggunakan sarana tumbuh-tumbuhan dan hewan di samping unsur unsur panca maha bhuta
lainya.
Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan, sebagai berikut, " ..... Sehananing bebanten pinaka
raganta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka Andha Bhuwana." Artinya, semua bebanten
adalah lambang dirimu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang isi alam semesta.
Berdasarkan uraian Lontar Yadnya Prakerti ini banten memiliki tiga makna. Banten bermakna
sebagai simbol manusia, baik lahir maupun batin, bermakna untuk melambangkan berbagai wujud
kemahakuasaan Tuhan dan banten juga melambangkan keberadaan isi alam semesta ini berupa
planet-planet isi ruang angkasa.

Caru Artinya Cantik


Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa
upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah
untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dalam kitab
Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan
Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya
menyejahtrakan alam lingkungan.
Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu
adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya
alam yang cantik.
ButhaYadnya pada hakekatnya merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air,
api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami, maka dari kelima unsur
itulah lahir tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itulah sebagai bahan dasar makanan hewan dan
manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun juga akan
terganggu. Dalam Bhagawadgita III.14 disebutkan tentang proses berkembangnya makhluk hidup
dari makanan. Dari hujan datangnya makanan. Hujan itu datang dari Yadnya. yadnya itu adalah
Karma. Dalam Bhagawadgita ini memang disebutkan hanya hujan. Namun dalam proses
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan tidaklah hanya hujan saja yang dapat melahirkan tumbuh-
tumbuhan. Kelima unsur alam tersebut juga berfungsi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
Tanah, api (matahari), udara dan ether juga berfungsi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
Peredaran kelima unsur alam itu melahirkan iklim serta siang dan malam. Karena itu upacara
mecaru itu berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat manusia agar memiliki
wawasan kesemestaan alam.
Hubungan antara manusia dengan alam haruslah berdasarkan konsep Cakra Yadnya sebagaimana
ditegaskan dalam kitab Bhagawadgita III.16. ini artinya antara alam dan manusia harus menjaga
kehidupan yang saling memelihara berdasarkan Yadnya. Keberadaan alam ini karena Yadnya dari
Tuhan. Karena itu manusia berutang moral pada Tuhan dan alam secara langsung. Utang moral
itulah yang disebut rina dalam kitab Manawa Dharmasastra. Dalam Yajurveda XXXX.l disebutkan
bahwa Tuhan itu berstana pada alam yang bergerak atau tidak bergerak (Isavasyam Idam Jagat). Ini
artinya alam itu adalah badan raga dari Tuhan. Karena itu upacara mecaru itu berarti suatu
kewajiban merawat badan raga Tuhan dalam wujud merawat alam.
Di dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40 disebutkan, tujuan digunakan tumbuh-tumbuhan dan,
hewan tertentu sebagai sarana upacara yadnya adalah sebagai upaya dan doa agar semua makhluk
hidup tersebut meningkat kualitas dan kuantitasnya pada kelahiran yang akan datang.
Akan menjadi tidak cantik kalau penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut hanya mentok
di tingkat upacara semata. Tujuan hakiki dari upacara mecaru itu adalah pelestarian alam dengan
eko sistemnya. Dari alam yang lestari itu manusia mendapatkan sumber kehidupan. Jadinya hakekat
Butha yadnya itu adalah mecaru untuk membangun kecantikan alam lingkungan sebagai sumber
kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan. Dan sudut pandang upacara; caru itu adalah salah satu
jenis upacara Butha Yadnya.
Kalau Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi dengan lauknya bawang jahe belum
menggunakan hewan itu disebut Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya. Ada segehan Nasi
Sasah, ada Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan sebagainya.
Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam, banten itulah yang disebut Caru. Ada
Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.
Menurut Lontar Dang Dang Bang Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan
binatang kerbau tidak lagi ia disebut banten Caru. Banten itu sudah bernama Banten Tawur.
Misalnya Tawur Agung sudah menggunakan binatang kerbau seekor. Umumnya dipergunakan
untuk Tawur Kesanga setiap menyambut tahun baru Saka. Kalau ditambah lagi dengan tiga ekor
kerbau disebut Mesapuh Agung, ditambah lagi dengan lima ekor kerbau. Demikian antara lain
disebutkan dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan. Namun pada hakekatnya semuanya itu
tujuannya adalah mecaru mewujudkan keharmonisan sistem alam semesta.

Dengan Caru Mengatasi Bhutakala

Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem menakutkan.
Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut
gendut dengan sikap garang. Keadaan itu sering diwujudkan dengan ogoh-ogoh menjelang Nyepi.
Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi para seniman dan rohaniawan.
Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta
Kala yang digambarkan di atas. Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali
ada istilah mecaru untuk nyomia Bhuta Kala. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat
ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan
baik. Jadi hakekat upacara mecaru itu adalah memotivasi spiritual agar selalu berbuat mengubah
sifat ganas menjadi lembut tentang keberadaan Bhuta Kala itu. Dengan demikian terjadilah suatu
hubungan yang harrnonis antara manusia dengan Bhuta Kala, Keharmonisan itulah tujuan dari
upacara mecaru itu.
Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup
bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam
kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Api dan air bisa
menjadi sahabat dan membantu kehidupan manusia. Bisa juga menjadi musuh manusia seperti
menimbulkan kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu selalu dapat bersahabat dengan manusia,
yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan
alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara
kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan cara niskala.
Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu
menjadi sahabat membantu kehidupan manusia.
Dari sudut arti kata, Bhuta Kala berasal dari kata Bhuta yang artinya unsur-unsur alam kita ini.
Bhuta dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu unsur tanah, air, api, udara
dan ether. Lima unsur itulah yang membangun alam ini seperti planet-planet yang bertebaran di
kolong langit ini. Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan matahari.
Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim. Waktu dalam bahasa Sanskerta adalah
Kala. Bhuta Kala arti sebenarnya adalah Ruang dan Waktu. Manusia hidup dalam suatu ruang dan
waktu tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu tertentu itu. Ruang dan
waktu itu dapat menjadi sahabat manusia dapat pula menjadi musuh yang menyusahkan manusia.
Dalam persahabatan ini manusialah yang semestinya aktif menjalin persahabatan dengan ruang dan
waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami peredaran ruang dan waktu itu dan segala
potensi yang dikandung dalam peredaran tersebut. Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan
secara positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta Kala tidak lagi mengerikan.

Mengapa caru Menggunakan Binatang

Banten Bhuta Yadnya yang disebut caru selalu menggunakan binatang kurban. Penggunaan
binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata
menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam.
Demikian seterusnya. Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya
telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40. Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang
digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan
berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut
juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain
termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu
akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang
sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan
atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.

Tingkatan Caru dan Binatang yang Dipakai

CARU
pada hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru dimaknai sebagai
upacara untuk menjaga keharmonisan alam, manusia dan waktu.

Di Bali Dikenal Tiga Jenis Caru


1. Caru Palemahan Bumi Sudha yaitu upacara caru untuk tempat atau wilayah. Baik itu untuk
mengharmoniskan tempat untuk dipakai tempat suci, dibangun rumah, atau sebuah wilayah
yang tertimpa musibah.
2. Caru Sasih yaitu caru yang dilaksanakan berkaitan dengan waktu-waktu tertentu yang
dipandang perlu diharmoniskan. Misalnya Caru Sasih Sanga (sehari sebelum Nyepi)
3. Caru Oton yaitu caru untuk orang atau benda sebagai unsur bhuana agung yang mengalami
berbagai siklus, baik terhadap waktu maupun perkembangannya. Misalnya caru oton untuk
anak yang baru lahir, untuk perkawinan, akil balik, kematian dll. yang sering juga disebut
dengan byakala.

Banten caru biasanya berisikan hal-hal khas

1. Aneka macam nasi, baik warna maupun bentuk


2. Aneka bumbu-bumbuan (bawang, jahe, terasi, garam)
3. Daging (terutama bagian jeroan)
4. Arang
5. Darah
6. Blulang atau bayang-bayang binatang
7. Tuak, arak dan berem
8. Api takep
9. Aneka bunyi-bunyian

Dewasa Caru

Upacara caru yang baik dilakukan pada:

 Sasih Kanem, Kapitu, Kawolu dan Kasanga.


 Hari/tanggal Panglong, atau Tilem
 Kajeng Kliwon
 Ingkel Bhuta.
Khusus untuk Caru Palemahan atau Bumi Sudha dilakukan secara insidental maupun rutin menurut
waktu atau sasih atau peristiwa dengan memperhitungkan hari dan ingkel.

Jenis Caru Palemahan:

* Caru Eka Sata

Sarana: Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang-bahasa Bali-red) dialasi sengkuwi
dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina, penyeneng dan canang (untuk semua jenis
caru).

* Caru Panca Sata

Sarana memakai 5 (lima) ekor ayam.


Ayam bulu hitam tempatnya Kaja (utara), putih siung (kuning) tempatnya Kauh (barat), ayam bulu
merah (barak) Kelod (selatan). Kangin (timur) ayam bulu berwarna putih dan di tengah ayam bulu
berwarna brumbun (segala warna). Selain itu dilengkapi juga dengan seekor bebek blang kalung.

* Caru Panca Sanak


Untuk Caru Panca Sanak dasarnya adalah caru Panca Sata sedangkan kelengkapannya ada beberapa
jenis binatang, jika dilengkapi:

1. Asu atau Anjing maka tempatnya terletak di arah Barat Daya/Kelod-Kauh.


2. Bebek bulu Singkep diperuntukkan diletakan di arah Kelod-Kangin (Tenggara).
3. Angsa letaknya Timur Laut/Kaja-Kangin
4. Kambing nerupakan caru yang diperuntukkan pada arah Kaja Kauh (Barat Laut)
Itulah beberapa caru dari segi sarana hewannya dan masih banyak lagi caru sesuai dengan namanya
dan sarana hewan yang dipersembahkan.
Yang disebutkan tadi dengan sarana bebek, kambing, anjing, ini merupakan tingkatan caru yang
disebut dengan Panca Sanak. Ini pun dapat dibagi lagi menjadi Panca Sanak yang sarananya asu,
dan bebek bulu sikep. Sedangkan Panca Sanak Agung sarananya, hewan angsa dan asu atau anjing.

* Caru Panca Sanak Madurga


Sarananya sama dengan Caru Panca Sanak ditambah dengan anak babi jantan hitam yang belum
dikebiri (kucit selem butuhan) dengan tambahan bebek atau yang lain.

* Caru Sanak Magodel


Sarana tambahannya dipakai anak sapi atau yang dalam bahasa Balinya disebut godel.
* Caru Rsigana
Adalah Caru Panca Sanak yang disertai dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai dewa
penghalau rintangan.

* Caru Balik Sumpah


Di tingkat yang lebih tinggi ada juga caru yang dikenal dengan nama Caru Balik Sumpah yang
sarana hewannya berupa kerbau dan kambing. Sedangkan yang lebih tingi lagi ada sejenis upakara
Malinggia Bhumi dan ini sarana binatangnya adalah sebanyak 45 kurban.

Pengertian Banten Caru, Banten Caru, BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti
sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten
Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar
ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu: "Pinaka Raganta Tuwi"
artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida
Bhatara" artinya banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan
"Pinaka Andha Bhuvana" artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana
Agung. Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari
tubuh manusia seperti Ulu atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku
(Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki fungsi
sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun Sanggar Tawang. Banten yang
berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau
suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru
merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni:
Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma
Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas)
serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan
bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang memiliki fungsi
sebagai suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya.
Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk
pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng,
Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip
atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol
atman. Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk
pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma,
Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk
dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang
bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah
satunya adalah Banten. Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang
Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina
Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, Bebangkit, Pula Gembal,
Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut
merupakan replica dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia
mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada
bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga
dalam pembuatan banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini.
Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal,
Tanam Tuwuh dan sebagainya.**

Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut
sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan
alam semesta ) Panca Maha Bhuta. Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:

Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus
kematian dalam keluarga, melanggar adat dll)

Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur
kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga
memerlukan caru jenis madya

Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia

Biasanya ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai pelengkap panca sata, urutan penempatan
caru (madya) panca sata adalah sebagai berikut:

1. ayam putih timur


2. ayam merah/biing selatan
3. ayam putih siungan barat
4. ayam hitam/selem utara
5. ayam brumbun tengah

Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan 'Car' dalam bahasa
Sanskrit artinya 'keseimbangan / keharmonisan'. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru
adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.
'Keseimbangan/keharmonisan' yang dimaksud adalah terwujudnya 'Trihita Karana' yakni
keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), sesama manusia
(pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu, misalnya :
pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang,
dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang
merusak palemahan, patut diadakan pecaruan.
Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ? Binatang terutama adalah binatang peliharaan /
kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian
berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan.
Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta
Kala) supaya tidak mengganggu.
Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di
gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Bahan utamanya adalah nasi berwarna beberapa kepal. Yang umum segehan: putih dan kuning.
Dalam Lontar Carcaning Caru, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu
lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan
campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-
masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya,
sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk
kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban
atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.

Caru
Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud dalam lontar Carcaning Caru tersebut mulai
digolongkan sebagai caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung
(alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg
linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan
proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.

Tawur
Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi
sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar (utama)
yang diselenggarakan pada pura-pura besar.
Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta).
Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan
1000 tahun untuk marebu bumi.
Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-
upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali.
Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi,
maupun negara.

Rsi Gana
Dalam upacara agama Hindu memang ada dikenal istilah Rsi Gana. Patut dipahami terlebih dulu
bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati
(Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini
diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan.
Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari penggunaan
caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru ~
kebanyakan orang menyebut dengan istilah caru Rsi Gana.

Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi
Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan.
 Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam
abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna).
 Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda).

 Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih,
menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.

Jadi, pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk memuja Dewa Gana Pati atau Ganesa
yang merupakan Dewa Penguasa para Gana atau para abdi Dewi Durga, Dewa Siwa, dan Gana Pati
sendiri.

SUMBER SASTRA DAN TEMPAT PELAKSANAAN TAWUR PANCA WALI KRAMA DI


BESAKIH.

Sumber sastranya.

Cukup banyak lontar-lontar yang mengungkapkan Taur Panca Wali Krama. Kebanyakan
mengungkapkan periode pelaksanaan Taur Panca Wali Krama yang dikaitkan dengan upacara Eka
Dasa Rudra hingga Eka Bhuwana sebagai satu siklus upacara seratus tahunan. Diantara sumber-
sumber tersebut antara lain :.
Lontar Widhi Sastraning Taur Eka Dasa Rudra, dari Wanasari Tabanan, menyebutkan :”Huwusning
Eka Dasa Rudra patawurakena Bhuta Panca Wali Krama, gaweya sanggar 5, tekaning
panggungan panca desa. Wusning mangkana patawurakena Tri Bhuwana, ngaran, patawurakena
Gurunya. Sanggar Tawang sanunggal panggungan sawiji. Mangkana yogyaniya gelarakena de
sang rumakseng praja mandala, lawan para wiku Aji, sang sampun kreta yaseng yadnya sinanggah
Weda Paraga.
Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur, menyebutkan : Ngadasa tahun amanca
wali Krama ring Basukih; puput panca Wali Krama ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring
kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra rah windu, tenggek windu. .
Widhi Sastra Niti Pedanda Sakti Wahu rawuh, antara lain menguraikan bahwa bilamana terjadi
“prawesaning jagat rusak” seperti bencana alam, banyak terjadi wabah penyakit patut dilaksanakan
upacara Taur Panca Wali Karma di Besakih, dan di batas-batas desa dilaksanakan upacara yang
lebih kecil.
Lontar Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, menyebutkan Wusni Eka dasa Rudra,
patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da, pas, u, ma. Telasning
mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggar tawang tiga saha panggungan siji sowang, u, ma,
da. Wus mangkana patawurakna Gurudya.
Lontar Bhama Kretih, menguraikan :”Wusning Eka Dasa Rudra patawurakna bhuta Panca Wali
Krama, lwire amanca desa, marep pur, da, pas, u, ma,. I Tlas mangkana muwah patawurakena Tri
Bhuwana angadegaken sanggar tawang 3, saha panggungan siji sowang, u, ma, da,. Wus
mangkana malih patawurakena Guruniya sanggar tawang 1.
Lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama, Geriya Telaga Sanur: menyebutkan : Nihan
tingkahing karya Panca Wali Krama keangge ring Negara krama, ring pempatan agung, durung
keangge ring parhyangan dewa pacang mahayu jagate ring Bali nganut I sojar ira Sri Jaya
Kasunu. Sumber ini menyebutkan Panca Wali Krama untuk tingkat negara karma (desa-desa),
tidak digunakan di pura-pura besar seperti Besakih.
Purana Pura Agung Besakih, tidak menyinggung periode pelaksanaannya, hanya menguraikan
tentang rincian upakaranya yang sedikit berbeda dalam hal binatang korban yang dipergunakan bila
dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya.

Tempat pelaksanaannya.

Tempat pelaksanaan upacara Taur Panca Wali Krama adalah di Bencingah Pura Agung Besakih.
Tempat ini diyakini merupakan sentral, oleh karena sesuai dengan struktur pura Agung Besakih,
dari tempat ini ke arah bawah disebut soring ambal-ambal” yang melambangkan alam bawah
(adhah) yang terdiri atas sapta patala. Sedangkan kearah atas dari bencingah agung disebut
luhuring ambal-ambal yang melambangkan alam atas (urdhah) yang terdiri atas saptra loka
Disamping Pura Agung Besakih secara umum diyakini sebagai central (madyaning mandala) .

BEBERAPA JENIS TAUR PANCA WALI KRAMA

Jenis-jenis upacara Taur Panca Wali Krama:


Upacara yang bersifat rutin yaitu ketika tahun saka bilangan satuannya menemui angka nol
( Tenggek windu). Ngadasa tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput Panca Wali Krama
ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra rah windu,
tenggek windu. (Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur).
Panca Wali Krama sebagai penutup Eka Dasa Rudra. (Wusni Eka Dasa Rudra, patawurakna Bhuta
Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da, pa, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana,
angadegaken sanggartawang tiga saha panggungan siji sowing, u, ma, da. Wus mangkana
patawurakna Gurudya. (Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, Hal. 9b).
Sesuai dengan Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran, Sanur, bahwa terkait dengan
rangkaian Eka Dasa Rudra, ada Panca Wali Krama di Danu Nyegjegang Bhatari Danu. Diuraikan
sebagai berikut : ….. mwah Danu Panca Wali Krama nyegjegang Bhatari Danu nlasang kebo 4,
tekaning pangelem.
Panca Wali Krama ketika jagat rusak, wenang gelaran Tawur Panca walikrama, sebagaimana
disebut dalam lontar Widhi Sastra Niti Pedanda Sakti Wahurawuh:
Panca Wali Krama di Negara krama, sebagaimana diuraikan dalam lontar Tingkahing Karya Panca
Wali Krama, Geriya Telaga Sanur:

RANGKAIAN UPACARA PANCA WALI KRAMA

Sebagaimana biasa diawali dengan ngatur piuning bahwa akan dilaksanakan Taur Panca Wali
Krama pada waktunya, dilanjutkan dengan Nuwasen Karya yang disertai dengan nunas tirta
pengandeg untuk disiratkan di setra. Dilanjutkan dengan rangkaian-rangkaian persiapan lainnya
seperti memineh empehan, membuat madu parka, nanding catur, nanding bagia pulakerti, nyukat
genah, nunas tirtha penyaksi karya, dll. Rangkaian lainnya adalah melaksanakan upacara melasti,
yang perjalanannya mengikuti rute tertentu sesuai dengan tradisi. Sehari sebelum puncak upacara
dilaksanakan upacara Mepepada, dan sore harinya upacara menben. Pada puncak Taur Panca Wali
Krama, juga disertai dengan Upacara Padanan, Upacara di Ayun Widhi, pemujaannya dilaksanakan
dari Bale Gajah, dan Upacara Tedun ke Paselang bertempat di Bale Paselang Penataran Agung.
Tiga hari setelah puncak Taur Panca Wali Krama ditutup dengan upacara Pangremekan. Setelah itu
menyusul rangkaian upacara Bhatara Turun Kabeh seperti biasa. Rangkaian terakhir adalah
Upacara Penyineban yang disertai dengan melaksanakan tirta panglebar dan akhirnya ditutup
dengan upacara Mejauman.

UPAKARA TAUR PANCA WALI KRAMA

Sesuai dengan lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Sanur, bahwa Taur Panca Wali Krama di
Besakih yang dilaksanakan dalam siklus sepuluh tahunan sekali merupakan satu kesatuan dengan
Candi Narmada, Panca Wali Krama di Danu (Nyegjegang Bhatari Danu), Eka Dasa Rudra, Tri
Bhuwana dan Eka Bhuwana yang dilaksanakan dalam siklus seratus tahunan sekali.
Dalam satu paket upakara Eka Dasa Rudra dengan rangkaiannya menghabiskan kerbau sebanyak
45 ekor yaitu: rangkaian upacara yang pertama adalah Candi Narmada menghabiskan 5 ekor
kerbau, diikuti dengan Panca Wali Krama di Danu, menghabiskan 4 ekor kerbau, dilanjutkan
dengan Eka Dasa Rudra menghabiskan 26 ekor kerbau, diikuti lagi dengan Panca Wali Krama,
menghabiskan 4 ekor kerbau, setelah itu Tri Bhuwana menghabiskan 4 ekor kerbau dan sebagai
rangkaian terakhir Eka Bhuwana menghabiskan 2 ekor kerbau. Tampaknya standar yang
dipergunakan dalam upakaranya ditentukan berdasarkan jumlah kerbau yang dipergunakan,
tentunya yang lain akan menyesuaikan, seperti banyaknya bebangkit, catur, suci, padudusan agung,
dan sebagainya.

Uraian tentang upakara Taur Panca Wali Krama disini tidak dimaksudkan secara teknis dan
mendetail, melainkan akan dikemukakan beberapa kelompok upakara yang dipandang menonjol
untuk pengkajian lebih lanjut tentang makna filosofisnya. Beberapa kelompok upakara tersebut
adalah :
Upakara di sanggar Tawang, Akasa dan Pertiwi.

Upakara di Sanggar Tawang :

Banten yang utama adalah catur, suci, dewa-dewi, dilengkapi pula dengan siwa bahu, pucuk bahu,
gana pikulan, panca saraswati, wedya, serta kelengkapan lainnya. Sanggar tawangnya sendiri
seperti biasa dihias dengan dahuduh dan peji.
Upakara di Sanggar Luhuring Akasa. Memakai Bebangkit putih dengan ulamnya itik putih.
Upakara untuk Ibu Pertiwi. Bebangkit ireng (merah ?),dengan ulam babi.
Ketiga kelompok upakara ini tampaknya juga memiliki makna untuk pelestarian ketiga alam
tersebut. Untuk mencapat kesejahtraan hidup di dunia ini patut di dukung dengan kelestarian dan
keharmonisan alam bawah dan alam atas, yang dikiaskan sebagai bapa akasa dan ibu pertiwi .

Upakara di panggungan,

Upakara di panggungan yang terletak pada empat penjuru mata angin (nyatur desa) berupa
bebangkit agung masing-masing 1 pasang yaitu memakai ulam itik dan satu lagi memakai ulama
bawi, dengan warna sesuai dengan kiblatnya. Kelengkapan lainnya tentu saja tidak dapat dilepaskan
adanya gayah utuh, karena tingkat bebangkitnya yang diperguanakan adalah bebangkit agung.
Sedangkan panggungan yang di tengah memakai bebangkit agung 5 buah (manca warna).

Pada masing-masing panggungan juga dilengkapi dengan penjor, di dalam lontar disebutkan :
penjorniya petung kinerik denabersih plawaniya andong, paku saji, sinwi wangun pramangke,
masurat sanjata paideran.

Upakara tawur dengan kelengkapannya.

Upakara tawur Panca Wali Krama yang biasa diperguanakan di Bencingan Pura Agung Besakih
adalah dalam tingkatan yang utama yaitu dengan “lawa tiga”, (tiga lapisan), bawah (adhah), tengah
(madya) dan atas (urdhah). Ketiga lapisan taur tersebut ditandai dengan memakai masing-masing
tiga jenis binatang korban pada kelima penjuru: mulai dari timur, selatan, barat, utara dan tengah
masing sebagai berikut: lawa paling bawah (adhah) memakai ayam putih, merah, kuning (putih
siyungan), hitam dan brumbun. Pada lawa yang ditengah (madya) bertutur-turut menggunakan :
angsa, asu bang bungkem, banyak, bawi butuan serta itik belang kalung. Pada lawa yang paling atas
(urdhah) terdiri dari: sapi (lembu), kidang, menjangan, kebo serta kambing belang.
Tiga lapisan upakara taur ini mungkin juga ada kaitannya dengan pelestarian tiga lapisan alam
semesta yaitu alam bawah, tengah dan atas.

Upakara Tri Samaya di sanggar suku tiga

Upakara yang dikenal dengan “tri semaya” ditempatkan pada tempat khusus berupa sanggar suku
tiga mengingatkan kita pada ceritra Dewa Wisnu ketika mengalahkan raksasa Bali dengan
melangkahkan kakinya (sukunya) pada tiga dunia ini. Apakah ada korelasi makna upakara ini
dengan pelestarian tiga alam bhur, bhwah dan swah menarik untuk kita kaji bersama. Inti
upakaranya adalah bebangkit.

Upakara Panunggun Tawur,

Diantaranya memakai daksina sarwa 7, beras 7 catu, bebangkit, serta kelengkapan upakara lainnya

Upakara lantaran bhatara

Upakara ini diletakkan di sor sanggar tawang yang ada di tengah, yang utama memakai kebo
yosbrana dengan kelengkapan upakaranya, seperti cau-cau, kekuduk, pering, bebangkit, dan lain-
lain, disertai pula dengan upakara Yama Raja, yang memakai sarana tepung sebagai alas untuk
menuliskan aksara-aksara suci simbul Yama Raja. Alat penulisnya menggunakan duri pohon bila.

Upakara di tempat pemujaan.

Upakara yang utama disini adalah upakara-upakara yang bersifat menyucikan yang utama adalah
padyus-dyusan (padudusan agung) dengan tirtha nawa ratna, dan berbagai jenis tirtha penyucian
lainnya .

Upakara Padanan.

Khusus untuk padanan merupakan satu kesatuan tersendiri karena lengkap dengan Sangar
Tawangnya, disertai dengan upakara di Bale Padanan, serta upakara caru dalam tingkat “wrhaspati
kalpa” (Memakai sarana ayam lima warna dan asu bangbungkem, diletakkan di arah barat daya
(Kelod kauh).

Upakara Ayun Widhi,

Upacara di Ayun Widhi juga meliputi tiga unsur, yaitu upakara di luhur yang ditempatkan di
Sanggar Tawang lengkap dengan Sanggar Akasa dan Pertiwinya. Upakara di madia, yaitu upakara-
upakara di bale panggungan, yang terdiri dari bebangkit agung beserta gayah utuhnya. Dan upakara
di sor adalah caru di sor sanggar tawang yang merupakan dasar dari lantaran Ida Bhatara.

Upacara tedun ke Paselang.

Paselang juga merupakan satu kesatuan upakara yang terdiri dari upakara di Sanggar Tutuwan,
upakara lantaran di sor dan upakara di Bale Paselang. Upakara di Bale paselang yang menonjol
adalah pemujaan kehadapan Sanghyang Semara Ratih, yang disertai pula dengan upacara
“Majijiwan”

Makna upakara secara umum diuraikan dalam lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama Geriya
Telaga Sanur sebagai berikut

Apan pabanten pinaka sarira bhatara, Ikang Sanggar Tawang pinaka Siwalingga Bhatara, bantene
ring panggungan agung pinaka Bahuangga Bhatara, Ikang paselang pinaka Jagana bhaga-purus
Bhatara Ikang caru sor pinaka Suku delamakan Bhatara,.

Semua binatang korban yang dipergunakan dalam kelompok-kelompok upakara tersebut ditekankan
yang masih muda, tidak cacat, dan khusus untuk binatang yang berkaki empat agar belum
“metelusuk” dan umurnya telah lewat 6 bulan
Dalam rangkaian taur Panca Wali Krama dan Bhatara Turun Kabeh tahun ini semua pura
Pedharman diharapkan agar ikut ngiringang Ida Bhatara melasti ke segara Klotok, dan nyejer
sebisanya, sebagai wujud ikut “ngertiyang karya agung ini”.Selanjutnya untuk upakara dalam
hubungan dengan Bhatara Turun Kabeh, pada dasarnya berlaku seperti biasa karena telah rutin
dilaksanakan setiap tahun sekali. Tidak ada kekhusan walaupun diawali dengan taur Panca Wali
Krama.

Banten
Beberapa Jenis Persembahan:

Canang Genten
Sebagai alas dapat digunakan taledan, ceper ataupun daun pisang yang berbentuk segi empat.
Diatasnya berturut-turut disusun perlengkapan yang lain seperti: bunga dan daun-daunan, porosan
yang terdiri dari satu/dua potong sirih diisi sedikit kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong
janur, sedangkan bunganya dialasi dengan janur yang berbentuk tangkih atau kojong. Kojong
dengan bentuk bundar disebut "uras-sari".
Bila keadaan memungkinkan dapat pula ditambahkan dengan pandan-arum, wangi-wangian dan
sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten ini sangat sederhana, tetapi hampir semuanya
mempunyai arti simbolis antara lain:
jejaitan/tetuwasan reringgitan, melambangkan kesungguhan hati,
daun-daunan melambangkan ketenangan hati.
Sirih, melambangkan dewa wisnu,
kapur melambangkan dewa siva,
pinang melambangkan dewa brahma,
suci bersih, dan wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah kesegaran dan
kesucian.
Canang ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu digunakan untuk melengkapi sesajen-sesajen
yang lain, hanya saja bentuk alat serta porosannya berbeda-beda.

Canang Buratwangi

Bentuk banten ini seperti canang genten dengan ditambahkan "burat wangi" dan dua jenis "lenga
wangi". Ketiga perlengkapan tersebut masing-masing dialasi kojong atau tangkih. Burat wangi
dibuat dari beras dan kunir yang dihaluskan dicampur dengan air cendana atau mejegau. Ada
kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lenga Wangi ( minyak wangi) yang
berwarna putih dibuat dari menyan, 'malem" ( sejenis lemak pada sarang lebah), dicampur dengan
minyak kelapa. Lenga wangi (minyak wangi) yang berwarna kehitam-hitaman dibuat dari minyak
kelapa dicampur dengan kacang putih, komang yang digoreng sampai gosong lalu dihaluskan.
Ada kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas), yang juga digoreng
sampai gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran yang baik, terlebih dahulu minyak kelapa
dipanaskan, kemudian barulah dicampur dengan perlengkapan lainnya. Secara keseluruhan "lenga-
wangi" dan "burat-wangi" melambangkan Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang Siva,
Majegau melambangkan Hyang Sadasiva sedang cendana melambangkan Hyang Paramasiva
Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya
Saraswati dan melengkapi sesajen-sesajen yang lebih besar.

Canang Sari

Bentuk banten ini agak berbeda dengan banten/canang genten sebelumnya, yaitu dibagi menjadi
dua bagian. Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun segiempat seperti ceper atau taledan.
Sering pula diberi hiasan "Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa,
porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras), pisang emas atau yang sejenis dan beras
kuning yang dialasi dengan tangkih. Dapat pula ditambah dengan burat wangi dan lengawangi
seperti pada canang buratwangi. Di atasnya barulah diisi bermacam-macam bunga diatur seindah
mungkin dialasi dengan sebuah "uras sari/sampian uras".
Canang sari dilengkapi dengan sesari berupa uang kertas, uang logam maupun uang kepeng.
Perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut "raka-raka".
Raka-raka melambangkan Hyang Widyadhara- Widyadhari.
Pisang emas melambangkan Mahadewa,
secara umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara,
sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma.
Canang sari dipergunakan untuk melengkapi persembahan lainnya atau dipergunakan pada hari-hari
tertentu seperti: Kliwon, Purnama, Tilem atau persembahyangan di tempat suci.

Canang Pesucian

Canang ini disebut juga canang pengeraos yang terdiri atas dua buah aled atau ceper. Pada bagian
bawah berisi kapur, pinang, gambir, tembakau yang dialasi dengan kojong. disusuni beberapa
lembar daun sirih, sedangkan aled atau ceper yang lain berisi bija serta minyak wangi yang dialasi
celemik atau kapu-kapu kemudian dilengkapi bunga yang harum.

Tadah Pawitrah / Tadah Sukla

Bentuknya seperti canang genten ditambahkan dengan pisang kayu yang mentah, kacang komak,
kacang putih, ubi dan keladi. Semua perlengkapan digoreng dan masing-masing dialasi tangkih dan
kojong. Banten ini dipergunakan untuk melengkapi beberapa jenis sesajen seperti: daksina
Pelinggih dan lain-lainnya.

Cane

Dipakai sebuah dulang kecil dihiasi dengan sesertiyokan dari janur. Ditengah-tengahnya
ditancapkan batang pisang. Disekitarnya diisi perlengkapan lain seperti: Bija, Air cendana dan burat
wangi, masing-masing dialasi dengan empat buah tangkir atau mangkuk kecil. Dilengkapi pula
dengan kojong empat buah yang berisi tembakau, pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang
dilengkapi dengan gambir dan kapur dan diikat dengan benang. Dapat pula ditambah dengan rokok
dan korek api sebanyak empat batang.
Bunganya ditancapkan menlingkar pada batang pisang dan paling diatas diisi cili atau hiasan-hiasan
lainnya. Cane dipergunakan terutama pada waktu upacara melasti dijunjung mendahului pratima
atau dasksina pelinggih. Cane juga digunakan pada rapat-rapat desa adat untuk memohon agar
pertemuan berjalan lancar. Setelah pertemuan selesai, cane akan dilebar yaitu dengan jalan
membagi-bagikan air cendana, Bidja, Bunga serta perlengkapan lainnya.

Canang Meraka

Sebagai alas dari canang ini digunakan ceper atau tamas, diatasnya diisi tebu, pisang, buah-buahan,
beberapa jenis jajan dan sebuah "sampian" disebut "Srikakili" dibuat dari janur berbentuk kojong
diisi plawa, porosan serta bunga. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis canang tubungan, Canang
Gantal, Canang Yasa. Canang pengraos dan lain-lain.
Pada umumnya bahan yang diperlukan hampir sama, hanya bentuk porosan dan cara pengaturannya
yang berbeda. Rupanya pemakaian sirih, kapur dan pinang mempunyai dua fungsi sebagai simbul
atau lambang yaitu:

1. Sirih melambangkan Dewa Wisnu


2. Pinang melambangkan Dewa Brahma
3. Kapur melambangkan Dewa Siwa
Untuk persembahan biasa berfungsi sebagai makanan, dalam hal ini penggunaannya dilengkapi
dengan tembakau dan gambir.

Daksina

Alas Daksina disebut wakul Daksina atau bebedogan. Kedalamnya berturut-turut dimasukan
tampak (sejenis jejahitan berbentuk silang atau tampak dara) beras, sebutir kelapa yang sudah
dikupas sampai bersih (mekelas), serta beberapa perlengkapan yang dialasi dengan kojong seperti
telur itik yang mentah, bija ratus (campuran berbagai biji-bijian), gantusan (campuran berbagai
jenis bumbu), Kelawa peselan (Daun salak, ceruring, Manggis,durian, dll), base-tampel, kemiri
(tingkih), tangi, Pisang kayui yang mentah, uang, canang payasan, yaitu sejenis canang genten
tetapi alasnya berbentuk segitiga ditempelin dengan reringgitan yang khusus. Dapat pula dilengkapi
dengan canang buratwangi atau canang sari atau yang lain.
Perlengkapan seperti telur itik uang, ataupun gantusan kiranya dapat digolongkan buah sebab
pengertian buah mempunyai arti yang agak luas. Persembahan yang berupa daksina dianggap sudah
lengkap sebagai mana disut dalam Bagawadgitha. Disamping itu penggunaan telir itik dan uang
rupanya mempunyai fungsi tersendiri secara umum kelapa dapat digolongkan sebagai buah, tatapi
yang lebih diutamakan airnya
Diusahakan mempergunakan telur itik bukan telur ayam sebab itik lebih banyak menunjukan sifat-
sifat satwam sedangkan ayam lebih banyak menunjukan sifat rajas dan tamas oleh karena itu pula
beberapa daksina terutama yang melambangkan bhutkala dipergunakan telur ayam, tetapi bila
ditujukan kepada Hyang Widhi para Dewat dan Leluhur sedapat mungkin dipergunakan telur itik.
Penggunaan uang yang disebut pula sesari atau akah kiranya untuk menyempurnakan isi daksina
sehingga persembahan yang dilengkapi dilengkapi dengan daksina benar-benar diharapkan
memberikan kesukseskan atau hasil yang sebagai mana diharapkan.

Daksina disebut Juga "YadnyaPatni" yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga
dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten
yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakerti
disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua nama tersebut
adalah nama lain dari Dewa Siwa.

Ajuman

Bahan perlengkapan yang diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi yang disebut "penek"
atau "telompokan", beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur,
kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam,
dan sambal. Sebagai alasnya dapat digunakan "taledan" atau yang lainnya. Di atasnya diisi dua
buah penek, lauk pauk yang dialasi dengan tangkih berbentuk segitiga, jajan buah-buahan dan
sampaian soda (sampian ajuman) berbentuk tangkih. Kadang bagian atasnya dibuat agak indah
seperti kipas disebut "sampian kepet-kepetan". Dapat pula dilengkapi dengan canang genten/
canang sari/ canang burat wangi.
Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya
diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan serta buah-
buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk,
diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang
burat wangi atau yang lain.

Peras

Perlengkapan serta cara penyusunannya hampir sama dengan ajuman, tetapi nasinya berbentuk
tumpeng (dua buah), alasnya ditempeli "Kulit-peras" yaitu sejenis jejahitan yang khusus, sedangkan
sampaiannya disebut Sampian Tupeng (Sampian Peras).
Banten ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten
yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya
dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka
seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada "kulit-peras", dan menaburkan
beras yang ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang
Tri Guna-Sakti.

Kiranya kata "Peras" dapat diartikan "sah" atau resmi, seperti kata: "meras anak" mengesahkan
anak, "Banten pemerasan", yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila
suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya
"tan perasida", yang dapat diartikan "tidak sah", oleh karena itu banten peras selalu menyertai
sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu.

Banten Jotan

Banten jotan (saiban) disebut pula "Yajnasesa", merupakan yadnya setiap hari bagi umat Hindu di
Bali khususnya. Di India juga dapat ditemukan hal yang sama. Bahan perlengkapannya adalah:
sedikit nasi, garam, serta lauk pauk lainnya yang baru dimasak. sebagai alas dapat dipakai daun
atau piring kecil-kecil.

Banten Suci

Alas dari banten suci ini adalah beberapa buah tamas. Warna jajan yang dipergunakan adalah putih
dan kuning, jajan yang berwarna putih ditempatkan disebelah kanan dan yang kuning ditempatkan
disebelah kiri. Di antara jajan tersebut ada yang dinamakan "sasamuhan" terbuat dari tepung beras
yang dicampur sedikit tepung ketan, parutan kelapa serta air. Campuran tersebut lalu dibentuk
kemudian digoreng. Jajan-jajan tersebut ada yang diberi nama: Kekeber, Kuluban, Puspa, Karna,
Katibuan-udang, Panji, Ratu-magelung, Bungantemu dan lain sebagainya.
Yang perlu diperhatikan di sini adalah perbandingan antara jajan yang berwarna putih hendaknya
lebih banyak dari pada jajan yang berwarna kuning, misalnya 12:6, 9:5, 7:5, 5:4, dst.
Pada banten suci tiap tempat /tamas diisi perlengkapan yang jumlahnya telah ditentukan, seperti:
tamas yang paling bawah berisi pisang, tape, buah-buahan, masing-masing 5 biji/iris, jajan
sesamuhannya 1 biji tiap jenis: tamas yang kedua berisi 2 biji/iris, dst. Secara sederhana 1 soroh
suci terdiri dari: Suci, daksina, peras, ajuman, tipat kelan, duma (sejenis banten) pembersihan,
canag lengawangi/ buratwangi, canang sari dan buah pisang. Pada upacara yang agak besar
dilengkapi dengan perayunan.

Banten Gebogan / Pajegan


Gebogan atau pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian makanan
termasuk juga buah-buahan dan bunga-bungaan. Umumnya dibawa dan ditempatkan dipura dalam
rangkaian upacara Panca Yadnya. Ini karena keindahan bentuknya, hanya digunakan hanya sebagai
dekorasi.

Penjor

Pejor adalah sarana keagamaan sebagai persembahan dan juga perlambangan Gunung Agung, Naga
Basuki dan Naga Ananta Boga.Penjor dipasang pada hari penampahan Galungan di depan pintu
masuk sebagai pertanda kemenangan dharma. Penjor dengan segala perlengkapannya, yang
menggunakan hiasan seperti daun daunan, ibi ubian, buah buahan, jenis jajan, kain uang kepeng
sebagai simbul dari Naga Anantha Bhoga dan Naga basuki.
Kedua Naga ini perlambang anugrah dari Hyang Widhi. Naga Anantha Boga simbul tanah yang
dapat membrikan kesejahteraan dan kemak muran bagi kehidupan manusia. Sedangkan Naga
Basuki lambang keselamatan, yaitu selamat dari penyakit, penderitaan. Itulah sebabnya, penjor
menyerupai bentuk Naga, dengan kepalanya di bawah penjor dilukiskan mulut dari naga.
Pada hari Umanis galungan penjor tersebut digoyang goyangkan sedikit agar dahan perlengkapan
yang tergantung jatuh dengan maksud mohon anugrah dari Hyang Widhi. Setelah budha keliwon
Pegatwakan, 35 hari setelah Galungan penjor dicabut dan sampahnya dibakar habis abunya
dimasukan ke dalam kelapa gading ditanam di depan rumah dengan harapan agar memberi sesuatu
kekuatan untuk memperkokoh jiwa agar penghuni menjadi selamat.

Lamak

Lamak adalah suatu ukiran dari janur, daun enau baik yang warna hijau maupun yang warna krem
sebagai alas yang ditempatkan dalam suatu bangunan pelinggih. Dalam lamak terdapat berbagai
ukiran simbol-simbol keagamaan yaitu: Simbul Gunungan atau kekayonan, Cili-cilian, Bulan,
Bintang, Matahari dan sebagainya. Penggunaannya dilengkapi denga Plawa, Canang dan Dupa.

ASRAMA

Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama
hidupnya, yaitu :
1.Brahmacari,
2. Grhastha,
3. Vanaprastha, dan
4. Bhiksuka.
Karena menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan catur ashrama
dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.

Brahmacari
Brahmacari adalah masa belajar, masa menuntut ilmu/pendidikan. Brahmacari dalam arti sempit
adalah masa belajar secara formal misalnya belajar sejak TK sampai perguruan tinggi. Brahmacari
dalam arti yang lebih luas, adalah upaya meningkatkan pengetahuan dengan berbagai cara (formal
dan informal) yang berlangsung sepanjang masa kehidupan karena sebenarnya proses belajar-
mengajar berlangsung tiada henti. Brahmacari dalam arti khusus ada dua yaitu :
1. Brahmacari dalam kaitan masa aguron-guron (belajar agama/spiritual) seorang sisya (siswa)
kepada Nabe (guruspiritual) dimana Nabe tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik dan
melatih, dan
2. Brahmacari dalam arti menjauhkan diri dari keinginan sex atau tidak kawin/nikah selama
hidup. Yang terakhir ini disebut sebagai sukhla brahmacari. Pentingnya Brahmacari Ashrama,
disebutkan dalam Atharvaveda sebagai berikut :

Brahmacaryena tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate


(XI.5.17).
Sa dadhara prthivim divam ca
(XI.5.1).
Tasmin devah sammanaso bha vanti
(XI.5.1)

Artinya :
Seorang pemimpin dengan mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan seorang
guru yang melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang yang sempurna; Seseorang yang
melaksanka brahmacari akan menjadi penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi)
bersemayam pada diri seorang brahmacari.

Dari kutipan Veda itu jelaslah kiranya bahwa kewajiban manusia yang utama dan yang pertama
dilakukan adalah menuntut ilmu atau belajar dan berpendidikan, karena dari pendidikan /
pengajaranlah pikiran dikembang kan untuk menuju kepada Catur purushaarta seperti yang telah
dikemukakan dalam uraian tentang catur purushaarta terdahulu. Pelajaran dan pendidikan juga akan
membangun kemampuan berpikir untuk memilah antara dharma (perbuatan baik) dan adharma
(perbuatan tidak baik) sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup.
Kitab suci Sarasamusccaya 2 :
Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavistam subhesvevavakarayet.

Artinya :
Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat
melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik segala yang buruk
itu; demikianlah pahalanya menjadi manusia.

Dalam Upanisad disebutkan pula bahwa arti kata Manusah adalah : Manu = kebijaksanaan, sah =
mempunyai. Jadi manusia adalah mahluk yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh
dari tiga kemampuan kodrati manusia yaitu:
1. Sabda (kemampuan berbicara),
2. Bayu (kemampuan bergerak) dan
3. Idep (kemampuan berpikir).
"Idep" yang dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan akan menjadikan manusia itu lebih
bijaksana sehingga disebut sebagai manusia yang sempurna.
Mahluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja yaitu kemampuan bergerak
(bayu) dan kemampuan bersuara (sabda). Binatang tidak mempunyai kemampuan berpikir (idep)
oleh karena itu binatang beraktivitas berdasarkan naluri, tidak berdasar kan pikiran. Tumbuh-
tumbuhan hanya mempunyai kemampuan tumbuh (bayu) saja, tidak mempunyai sabda dan
idep.Selanjutnya Sarasamusccaya menyatakan bahwa kita wajib bersyukur karena atman telah
menjelma menjadi manusia, mahluk yang utama, karena itu gunakanlah kesempatan hidup yang
sempit ini dengan sebaik-baiknya, kesempatan mana sungguh sangat sulit diperoleh; lakukanlah
segala sesuatu yang baik (melalui brahmacari) yang mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan,
gunakanlah kesempatan ini untuk mencapai moksa/sorga. "Paramarthanya, pengpengen ta pwa
katemwaniking si dadi wwang, durlabha wi ya ta, saksat handaning mara ring swarga ika,
sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damelakena"

Dana Punia

Apakah Pengertian dari Dana Punia itu ?


Dana Punia terdiri dari dua kata yaitu Dana = Pemberian, sedangkan Punia artinya selamat, baik,
bahagia, indah, dan suci.
Jadi Dana Punia artinya pemberian yang baik dan suci.

Apakah yang menjadi landasan Dana Punia ?


Sedikitnya ada dua landasan dari Dan Punia itu antara lain :
1. Landasan Filosofis : Tat Twam Asi
2. Landasan Sastra :
a. Weda Smerti
b. Manawadharmasastra Bab IV, sloka 33,226
c. Sarasamuscaya sloka no. 175, 176, 192, 198, 217,178,207, 211, 182, 183, 184, 222, 181,
202, 205,206,216,187, 188, 191, 193, 194, 212, 213, 223, 261, 262,263.
d. Sanghyang Kamahayanika, sloka 56,57,58.
e. Slokantara, Sloka nomor 2,4,5.
f. Ramayana, sargah I, bait 5, sargah II bait 53, 54.
g. Nitisastra, sargah III bait 8, sargah XIII bait 11.
h. Lontar Yadnya Praketi.
Berapa jeniskah kita mengenal Dana Punia ? Perincian dana punia yang dapat mendatangkan pahala
ya besar adalah :

1. Desa : harta benda


2. Agama : ajaran sastra, agama, dan ilmu pengetahuan
3. Drewya : benda benda duniawi/material.

Dalam Sanghyang Kamahayanika dijelaskan bentuk dana punia yaitu:


1. Dana : harta benda
2. Atidana : anak gadis yang cantik
3. Mahatidana : jiwa raga
Siapakah yang berkewajiban melaksanakan dana punia ?

* Para pengusaha negara / pemerintah


* Para pemuka agama
* Penyelenggara yadnya
* Saudagar, usahawan
* Orang orang yang mampu
* Sewaktu waktu diwajibkan bagisemua umat
* Bagi umat yang berpenghasilan tetap
* Bagi umat yang berpenghasilan tinggi.

Siapakah yang berhak menerima Dana Punia ?

* Para Guru Rohani / Nabe


* Dangacarya /Sulinggih
* Orang miskin yang terlantar
* Orang cacat
* Orang yang terkena musibah
* Tempat suci / Parahyangan
* Lembaga lembaga sosial
* Rumah sakit
* Pasraman / Pendidikan

Bagaimana Pelaksanaan Dana Punia ?


Saat yang baik melaksanakan dana punia adalah :
1. Uttarayana (purnama kedasa ) Umat Hindu diwajibkan melaksanakan dana punia secara
serentak
2. Sewaktu waktu tepatnya pada purnama dan tilem baik Uttarayana, swakala, daksinayana
(matahari menuju utara, di katulistiwa, dan menuju selatan).
3. Saat gerhana matahari dan bulan
4. Dalam keadaan pancabaya.

Apakah dasarnya dana Punia ?


Dalam Sarasamuscaya sloka 261, 262, 263 dan Ramayana sarga II bait 53, 34 disebutkan bahwa
harta yang didapat (hasil guna kaya) hendaknya dibagi tiga yaitu untuk kepentingan:

* Dharma 30%
* Kama 30%
* Dana harta ( Modal Usaha 40% )

Sampai kapankah Dana Punia itu dilaksanakan ?


* Selama dalam status grehaste untuk setiap umat wajib melakukan dana punia.
* Dalam rangka pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran berdana punia di kalangan anak anak
maka perlu kegiatan dana punia

MOKSA

Menurut kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala bentuk ikatan
dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah roh, jiwa. Sedangkan hal-hal yang
termasuk ikatan adalah :
1) pengaruh panca indria,
2) pikiran yang sempit,
3) ke-akuan,
4) ketidak sadaran pada hakekat Brahman-Atman,
5) cinta kasih selain kepada Hyang Widhi,
6) rasa benci,
7) keinginan,
8) kegembiraan,
9) kesedihan,
10) kekhawatiran/ketakutan, dan
11) khayalan.
Moksa dapat dicapai oleh seseorang baik selama ia masih hidup (disebut : Jivam Mukta), maupun
setelah meninggal dunia (disebut : Videha Mukta). Jika selama masih hidup seseorang itu mencapai
moksa maka ia telah mencapai tingkat moral yang tertinggi, kehidupannya sempurna (krtakrtya),
penuh dengan kesenangan (atmarati) karena terbebas dari 11 jenis ikatan yang disebutkan diatas,
memandang dirinya ada pada semua mahluk (eka-atma-darsana), memandang dirinya ada pada
alam semesta (sarva-atma-bhava-darsana). Kesenangan juga tercapai karena pengetahuan dan
kesadaran bahwa brahman-lah atman yang ada didirinya (brahmanbhavana). Jika moksa dicapai
setelah meninggal dunia maka terjadilah proses menyatunya atman dengan brahman sehingga
atman tidak lahir kembali sebagai mahluk apapun atau bebas dari samsara, disebut juga sebagai
kedamaian abadi (sasvatisanti).

Moksa adalah tujuan hidup manusia yang tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap manusia bila ia :
1) Mampu membebaskan atman dari ikatan.
2) Mempunyai pengetahuan utama(paravidya) tentang brahman.
3) Melaksanakan disiplin kehidupan yang suci.

Oleh karena itu moksa juga dikatakan sebagai pahala yang tertinggi dari Hyang Widhi atas karma
manusia utama, suatu anugerah yang maha mulia.
Ada kutipan Svetasvatara Upanisad I.6 yang sangat indah :

Sarvajive sarvasamsthe brhante asmis, hamso bhramyate brahmacakre, prthag atmanam


pretitaram ca justas, tatas tenamrtatwam eti.
Artinya :

Dalam roda Brahman yang maha besar dan maha luas, didalamnya segala sesuatu hidup dan
beristirahat, sang Angsa mengepak-epakkan sayapnya dalam melakukan perjalanan sucinya. Sejauh
dia berpikir bahwa dirinya berbeda dengan Sang Maha Penggerak maka ia dalam keadaan tidak
abadi. Apabila dia diberkahi oleh Hyang Widhi maka ia mencapai kebahagiaan sejati dan abadi.

Makna dari sloka upanisad di atas adalah :


Sekalipun anda telah melaksanakan disiplin kehidupan suci dan membebaskan atman dari ikatan-
ikatan, namun bila anda tidak menyadarkan atman bahwa Brahmanlah atman, maka anda belum
mencapai moksa

KESIMPULAN : Moksa adalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati adalah sorga yang
sebenarnya. Moksa dapat dicapai dengan upaya yang tekun melaksanakan
Banten Caru Eka Sata dan Banten Caru Rsi Ghana Alit
CARU pada hakikatanya dipahami sebagai persembahan
untuk Bhuta Kala. Upacara caru dimaknai sebagai upacara
untuk menjaga keharmonisan alam, manusia dan waktu.

Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya: korban


(binatang), sedangkan ‘Car’ dalam bahasa Sanskrit artinya
‘keseimbangan/ keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka
dapat diartikan: Caru adalah korban (binatang) untuk
memohon keseimbangan dan keharmonisan.

‘Keseimbangan/ keharmonisan’ yang dimaksud adalah


terwujudnya ‘Trihita Karana’ yakni keseimbangan dan
keharmonisan hubungan manusia dengan: Tuhan
(parhyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan
alam semesta (palemahan).

Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan


keharmonisan itu terganggu, misalnya: pelanggaran dharma/
dosa, atau merusak parhyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian,
huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak palemahan,
patut diadakan pecaruan.
Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang? Binatang terutama adalah binatang peliharaan/
kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan.
Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan. Korban manusia juga
dilakukan oleh agama lain, ingat Yesus Kristus yang disalib, dan Islam juga menggunakan korban
binatang sapi/ kambing di kala Idul Adha.

Dapatkah binatang digantikan dengan simbol binatang terbuat dari tepung?

 Pernah/ sering terjadi, misalnya eka dasa rudra di Besakih yang harus menggunakan penyu
dan badak, karena kedua binatang itu dilindungi, maka digantikan patung dari tepung beras.
 Untuk binatang lain yang masih mudah dicari: ayam, kambing, bebek, babi, banteng, dll.
masih digunakan hingga sekarang. Mungkin hal ini bisa dibicarakan oleh Paruman
Sulinggih.

Orang-orang Hindu yang arif bijaksana sudah lama menyampaikan bahwa dalam kehidupan ini, ada
suatu kekuasaan yang tak terpikirkan oleh manusia. Dalam ajaran Hindu, kekuasaan itu disebut
sebagai ‘Asta Aiswarya,’ yakni ‘delapan kemahakuasaan Tuhan’.

Mencegah bencana alam tertentu dengan teknologi modern ‘mungkin’ bisa dilakukan, misalnya
mencegah tanah longsor dan banjir dengan memelihara hutan, membersihkan alur sungai,
meninggikan tanggul, dll. Tetapi toh tidak bisa menghentikan hujan deras yang membuat air
meluap.
Mencegah kebakaran hutan ‘mungkin’ bisa dengan berhati-hati atau tindakan prefentif lainnya.
Tetapi mencegah gempa bumi dan tsunami bagaimana ya caranya? Mencegah kilat bagaimana ya
caranya? Mencegah gunung meletus bagaimana ya caranya?

Ada satu ayat dalam Manawa Dharmasastra yang ingin saya kutipkan yaitu MawaDharma Sasra
Buku ke V pasal 39:
Yajnartham Pasawah Sristah Swamewa Sayambhawa Yajnasya Bhutyai Sarwasya Tasmadyajne
Wadhowadhah
Artinya:
Swayambhu (Tuhan) telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara-upacara kurban.
Upacara-upacara kurban (caru) telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini.
Dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti yang
lumrah saja.
Ayat ini berkaitan dengan pengertian caru untuk memenuhi perintah Tuhan, dan dalam upaya
pendekatan diri manusia kepada-Nya. Di Bali tradisi ini sudah berlangsung berabad-abad.
secara umum Caru Eka Sata, Sarana: Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang
--bahasa Bali-red) dialasi sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina,
penyeneng dan canang (untuk semua jenis caru).

banten CARU EKA SATA secara lengkapnya

untuk banten caru eka sata haruslah ada banten - banten berikut, seperti Durmanggala,
Pesucian, Tebasan Pemyak kala, Tebasan Panca kelud, Pemali Caru, Pengambean ( tumpeng
5), Prayascita, Santun dan daksina alit serta peras suci. berikut penjelasan dari masing - masing
banten tersebut:

Banten caru eka sata:

Sami metatakan talendan gede (ron): Tipat kelanan, Peras, Tatakan


bulang siap, Urip2 siap (kepelan manut urip metatakan muncuk
don biu), Nyiwan (soroan alit), dan bungkak nyuh sudamala
mecarak 8.

banten Durmangala dan

tirta nyuh mulung

Durmanggala

Sebagai alasnya kulit sayut, diatasnya diisi sebuah tumpeng, diisi bawang jahe dan terasi bang
(mentah). Mengenai tumpeng dalam hal ini ada yang membuat berwarna hitam dan putih (poleng)
tetapi ada sumber yang mengatakan tumpeng biasa (putih). Kemudian dilengkapi dengan
pesucian/pangresikan, penyeneng, daksina yang berisi uang 225, pras, ajuman, canang tubungan,
sampian nagasari, serta lauk – pauknya, telur bukasem (telur asin), jajan dan buah-buahan, lis dari
selepan kelapa hijau.

Pasucian:

ada daripada banten ini biasanya dipergunakan sebuah ceper, diatasnya diisi 7 jenis alat
pembersihan dan masing – masing dialasi sebuah celemik dan paling diatasnya diisi sebuah
pahyasan. Ketujuh alat pembersihan yang dimaksud adalah:
1. Sigsigan: adalah jajan begina yang dibakar sampai hangus, ada kalanya dilengkapi dengan
tebu.
2. Ambuh: yang dibuat dari daun pucuk disisir (diiris) halus, dilengkapi dengan kelapa yang
diparut, asam seperti belimbing, jeruk dan sebagainya.
3. Kekosok / urud: dibuat dari tepung beras dicampur kunir
4. Minyak kelapa / wangi
5. Tepung tawar: dibuat dari tepung, daun dapdap dan kunir
6. Wija: yang dibuat dari beras dan benang putih (benang tukel), bunga yang diiris alus
dicampur air cendana.
7. Canang tubungan: Canang ini bentuknya mirip canang genten tetapi beda porosannya
dibuat dari 5 lembar daun sirih (base), yaitu 4 lembar dan tiap – tiap lembar dilipat dua dan
ditengahnya diisi kapur dan seiris pinang, diletakkan sedemikianrupa sehingga mirip hurup
X, lalu ditengahnya diikat dengan selembar sirih yang berbentuk kojong. Porosan ini juga
disebut “base tubungan”. Didalam upacara – upacara tertentu terutama untuk persembahan
(nyumbah) untuk sang pitara, dewata/dewati, sirih tersebut dibiarkan lunggahan, sehingga
dalam proses ini disebut “canang tubungan merampe”. Perlu kiranya disini dijelaskan
apabila canang tubungan merampe ini disusunkan diatas canang genten, maka proses ini
disebut “canang pucang cangurip”, biasanya dapat dipergunakan dalam upacara pawintenan
oleh sulinggih pada waktu napak dan mapewisikan jro mangku.

Tebasan Pemyak kala

Sebagai alasnya kulit sayut, berisikan nasi gibungan (diambil dr ujung kukusan) di belah dengan 2
lembar daun pandan berduri yg panjangnya kira-kira 1 jengkal sehingga berbentuk tampak dara (+),
kwangen dan ulam isin jeron atau isin tukad yang warnanya disesuaikan dengan warna pangider-
ider.

Tebasan Panca kelud

alas tempeh, diatasnya disusun dengan kulit sayut 5 buah yang masing – masing diisi tumpeng
berwarna sesuai dengan arah mata angin, maulam ikan nyalyan, lele, udang, yuyu dan telur
bekasem atau terasi mentah. Diisi raka – raka, saet limang (ilalang), daun dapdap, padang lepas
yang semuanya di ikat dengan benang. Coblong dengan air-nya, jahitan padma, sampian naga sari 4
buah ditaruh di empat arah mata angin, ditengah diisi terag - penyeneng, dan bungkak nyuh gading.
Pemali Caru

nasi tompel dan tulung beralaskan kulit sayut dan sampian nagasari 2 buah, peras tumpeng
beralaskan tamas / kitak-kituk dengan penyeneng, sayut dengan nasi iseran, dan sampian.

Pengambean ( tumpeng 5)

Sebuah nare yang berisikan 3 buah taledan dan 2 buah peras. taledan yang diisi dengan kulit peras,
penek 2, nasi gempel 2, sebuah taledan berisikan tumpeng 3, tipat, tulung, bantal pengambeyan dan
tupeng 2 yang juga beralaskan taledan di isi raka-rakapenek 4 ysng beralaskan kulit sayut, nasi
gempel 1 beralaskan sebuah kulit sayut.

Prayascita

kulit sayut, di tengah –tengah ditaruh sebuah siwer yang diatasnya diisi tanceb cerawis, dikelilingi
dengan: penek 5 yang masing2 ditancapkan daun dapdap, tulung 5, kwangen 5, tipat sari 5 dan
sebuah sampian nagasari. Sebuah Santun, dan sebuah daksina alit,

peras suci:

beralaskan tamas, yang berisikan tangkih yang masing – masing berisikan: 5 macam sayur /lampad
(nangka, gedang, buah kacang, daun jepun, klongkang), kacang2, telur, Gerang (ikan teri), pelas,
terong. Nasi sucinya: penek 4 berisikan nasi dan telur 1 butir

ULAM CARU EKA SATA (urip 33)

berikut ini sususan ulam caru menurut "Lontar


Somia Mandala", dimana dalam penyusunan ulam
tersebut dipilah menjadi 3 dan dibatasi dengan alas
kelabang. dan sebagai dasar adalah rajah caru eka
sata atau ayam brumbun dengan urip 33.
ini rajah untuk dasar CARU EKA SATA

rajah caru ayam


brumbun

Ulam Caru Bagian Bawah


 tatakan klabang 9 (sengkui butha matra), katur majeng sang ngawe urip, nawasanga.
 Lawar (barak, putih, jukut) + lembat + asem + calon = 33 tanding

kelabang urip 9 (sengkui butha matra)


setelah kelabang butha matra ditaruh diatas rajah dasar caru, kemudian
diletakkan ulam lawar satenya. yang beralaskan daun pisang. adapun
komposisi dari ulam ini adalah:

bahan lawar
 Lawar Barak: seoerti lawar biasa untuk dikonsumsi yang sudah sering dibuat dibali,
dimana komposisi lawar ini adalah daging dari ayam caru ini dicampur darah dengan sedikit
sambal, terasi goreng, garam dan merica, dicampur nangka dan kelapa yang sudah dirajang
halus, terakhir masukan bawang merah serta bawang putih goreng.
 Lawar Putih: komposisinya sama seperti lawar barak, hanya saja tanpa darah.

 Lawar Gadang atau Jangan (jukut), komposisinya hampir sama dengan lawar putih, tapi
ditambah sedikit sayur (biasanya digukan daun belimbing) dan dicampur kalas (santan +
daging+bumbung rajang gede, kemudian direbus) dan sedikit gula aren.
 Sate lembat: merupakan sate lilit biasa, cara membuatnya: daging /tulang leher dan dada
ayam di cincang kemudian ditumbuk sampai tulangnya menjadi lembut. kemudian daging
tersebut dicampur gula aren, aduk sampai dagingnya benar-benar lengket dan menyatu,
ditambah terasi dan sedikit garam, setelah itu masukkan kelapa parut diaduk sampai merata,
setelah itu baru masukkan sambal rajang gede yang masih mentah. setelah jadi lilit seperti
membuat sate biasa.
 Sate Calon, merupakan sejenis sate yang terbuat dari pisang yang ditusuk dengan batang
sate, kemudian dilumuri tepung terigu yang sudah dicampur sedikit air. atau bisa juga
menggunakan cara kedua, yaitu: pisang dan jajan bali (jaje uli) ditumbuk sampai merata dan
halus, kemudian diaduk dengan sedikit base rajang (sambal rajang gede) kemudian di pepes.
setelah pepesnya setengah mateng baru dililitkan dibatang satenya yang terbuat dari pelepah
daun kelapa.
 Sate Asem, merupakan sate tusuk bisa yang bahannya bisa diambil dari jeroan ayam
carunya.
 Sambal dan Garam, ditaruh di pojok alas daun pisangnya.

berikut contoh gambarnya:


ajengan caru
buat ajengan caru seperti gambar diatas sebanyak 33 buah, kemdian taruh diatas kelabang / Sengkui
Butha Matra yang sudah siap, sehingga terlihat seperti gambar berukut ini:

ajengan caru pada dasar ulam banten caru


sejumlah 33 tanding

Ulam Caru Bagian Tengah

 Tatakan klabang 7 9sengkui Prana Matra) pinaka sapta petala


 Lawar+ lembat = 33 tanding
untuk bagian tengah diawali dengan menaruh kelabang urip 7 diatas ulam caru dasar seperti yang
sudah dipaparkan diatas. berikut contohnya:

sengkui Prana Matra urip 7

dibawah sengkui Prana Matra diisi kembali dengan ulam caru sebanyak 33 tanding seperti diatas,
tapi tanpa sate calon dan sate asem, seperti gambar berikut:

Ulam Caru Bagian Atas

 Tatakan klabang 5 (sengkui Pradnya Matra), pinaka pangider buana


 Bakaran alit

 Balung Gending

 Lawar + lembat + asem + calon = 1 tanding

Sebagai sekat antara ulam caru bagian tengah dan atas, digunakan kelabang urip 5 atau sengkui
Pradnya Matra yang merupakan simbol arah mata angin atau ider bhuana. berikut contoh
gambarnya:

sengkui Pradnya Matra urip 5


setelah itu, di isi dengan 1 takir "balung gending (tulang pangkal paha) dengan sambal dan
garamnya, serta 1 takir "bakaran Alit (hati, jantung, usus, limpa, paru dan darah, kesemuanya masih
mentah),seperti gambar berikut:

Balung gending (kiri) dan Bakaran Alit (kanan)


diatasnya di isi dengan ulam caru seperti waktu di bagian tengah, seperti gambar berikut ini:
ulam caru
diatasnya taruh layang- layang (blulang ayam), seperti berikut

layang - layang ayam brumbun

CARU RSI GHANA

Nista matatakan caru ekasata (ayam brumbun), madya madasar caru panca sanak atau panca kelud
dan yang utama madasar caru sane agung seperti pamalik sumpah dan lain – lain. Apapun jenisnya
tapi tetandingnya sama.
Tetanding caru rsi ghana:

Nasi 9 pulung, matatakan don naga sari marajah dasaaksara diletakkan menurut pangidernya. Setiap
nasi brisikan bunga teratai dan ditengahnya diberikan kober ganapati dengan rangkaian
rerajahannya dengan dasar bendera kain putih. Bang-bang di tengah caru berisikan tepung putih
yang juga merajah dasaksara menurut letaknya. Di carune diisi kewangen 11 buah dengan letaknya
sedemikian rupa mengikuti arah mata angin. Maulam itik guling, jeroannya diolah dan dibagi 9
tanding mawarna dan diletakkan menurut pangideran. Dan ingat tatakan (dasar) caru berisi
rerajahan aksara juga.
Setelah carunya selesai dipuput oleh sang sadaka, caru tersebut semua dikubur dengan diatasnya
ditutupu “pane” yang juga sudah dirajah. Dan lubang tempat menanampun dirajah juga.
Adapun cara mengolah jeroan itik putih tersebut adalah: kumpulkan betukanya (lambung), nyali
(empedu), ati, papusuhan (jantung), basing wayah (usus), paparu, ungsilan (ginjal), limpa.
Dibungkus dan di masak “tambus” dan setelah itu haluskan, gunakan jadikan lawar menjadi 9
tanding yang kesemuanya ikut pangideran.
Untuk rerajahan mulai dari aled caru (dasar), rurub caru (selimut penutup), dan rerajah lainnya
termasuk kober bisa di mohOnkan “tunasin” di ida pandita sulinggih.
April 13, 2012 · 11:32 am

BHAMA KERTIH
Awighnam astu !

Nihan lwirning BHAMA KERTIH, nga. :

Yania harep hanyimpen salwiring wawangunan, Parhyangan, Pakarangan. Ri tkaning padewasania,


wenang macaru rumuhun, antuk :

Ayam brumbun, olah dadi 33 tanding, genahnia hamancadesa, mwah pakala-hyangan, lwirnia :
sesayut durmanggala, prayascitamala, katur ring Sanghyang Bhuta Bwana, mwang, segehan agung,
saha tatabuhan, katur ring Sang Bhuta Dengen.

Wus mangkana, raris tebahin sukat, hanutakna ring Hasta-Kosali, wenang dasarin dumun antuk
bata bang, merajah mapinda Badawang-nala, masurat AM. Iki rupania : masusun kalungah nyuh
gading mekasturi, bwangen toyania, masurat ONG ( ), dagingin wangi-wangi, lenga wangi, burat
wangi, dedes, mwah kwangen kararas, majinah 11, winungkus dening wastra petak, iniket dening
lawe petak warna, mapusak antuk kawangi, majinah 33, manut hurip ing bwana, canang satangkep,
tumpeng bang hadanan, iwak ayam mapanggang, saha raka den agenep, raris penpen sami, nanging
Prayascita dumun.

Kuwuban Babaturane, karyanang bangbang dumun, merpat, raris margyang pangupakarane,


Pamyak-kalane, jugjugin antuk keris, carita lanang, miwah carang dapdap, kedukin antuk cawan
sutra, reresikin, helisin, lukat antuk Bhumi-sudha, Giri-manca, mwang Sarwa Balikam, siratin tirtha
pabresihan dening Soma-gangga.

Ring luhur ing bangbang, ngadegang Sanggah Surya, ring Sanggah munggah banten Pamukuhan,
lwirnia : Dhaksina 1, Pras, sidahan putih kuning, mabe tutu, mahukem-hukem, raka geti-geti, lenga-
wangi, burat-wangi, panyeneng 1, harthania 127, magenah ring daksina. Ring luhur ing bangbang,
ngadegang Sanggah Surya, ring Sanggah munggah banten Pemakuhan, lwirnia : Dhaksina 1, pras,
sidahan, putih kuning, mabe tutu, mahukem-hukem, raka geti-geti, lenge wangi, burat wangi,
penyeneng 1,h arthania 127, magenah ring dhaksina. Sang hadrewe wewangunan kabeh, yan
pahumahan mwang Sanggah Kabuyutan, Pura, salwir ing Pralinggan Dewa, wenang ngabakti ka
Pretiwi, ngacep Sang Hyang Lemah, Sanghyang Ayu, mwah Sanghyang Anantha Bogha, mwah
ngabakti marep munggah, ri Sanghyang Akasa, ngarep Sanghyang Çiwa-Sunia, Sanghyang Bwana-
Kamulan, Sanghyang Prajapati.

Wusnia ngabakti, pulang Kwangene ring bangbange, pinaka dasar.

Wus mangkana, pulang tumpeng barake, tetehin antuk batha bange merajah, susunin antuk susunan
nyuh gadhinge, raris urugin akedik.

Luhur punika, malih dagingin batha bang, masurat Dasaksara, iki ya :


luhur batha bange, medaging batu bulitan, merajah Triaksara, iki ya : AM ( ), UM ( ), MAM (
). Luhur batu bulitan, kwangi 1, majinah 11, merajah Ongkaramretha, iki ya ( ). Raris urugin
asahan. Mangkana kramania, yan sira niti krama ing dadi, haywa hima, tlas.

Iki ling ira BHAGAWAN WISWAKARMA, pangalihan karang, anggen karang paumahan,
mangde tan kabheda-bheda dening lara kageringan, helingakna pidhartania, lwirnia :

Yan wenten karang tegeh ring paschima, hayu, nga, manemu labha sang ngumahin.

Yan karang seng ring utara, hayu ika, sawetunining anaknia, putunia, tan kurang bhoga sang
ngumahin.

Yan karang hasah natarnia, hala ayu kojarania, tan kurang pangan kinum, sang ngumahin.

Yan ana tanah bang alus, mahambu lalah, hayu ika, sibin kadhang warga, nga, tekeng anaknia,
menemu hayu sang momahin iriya.

Yan tanah selem magobe hucem, mahambu, panes, haywa ngumahin.

Yan ana tanah mahambu bengu, halid, hala dahat, haywa ngumahin.

Yan ana karang tunggal pameswan, manyaleking, nga, hala, mwah karang ne nyakitin.

Yan karang tumbak jalan gde, hala nyakitin, karubuhin jalan, nga.

Yan karang tumbak rurung, sandang lawe, nga, gering maderes.

Yan karang singkuhin rurung mwang hapit jalan, kutha kabhanda, nga, hala.

Yan ana umah nanggu, nora matabeng umah di harepe hala dahat.

Yan karang saling suduk papagerania, suduk angga, nga, hala.

Yan ana wang matunggalan sanak, mangapit jalan umahnia, sang tunggal bhaga urus, sandang
lawang, nga, hala dahat sang momah iriya, amada-mada Bhatara, nga.

Yan umah mapemeswan dadwa, hala dahat, boros wang, nga.

Mwah ne tan wenang genahin umah, lwirnia, karang wit pura, wit ibu, wit sma, pabajangan, wit
payajnyan sang brahmana, karang lebon amuk, karang genah wang mati magantung, yan sampun
ping tiga kalebon amuk, tan wenang genahin umah, hala dahat.

Iki PANGAWAS CAYAN KARANG mwang Kahyangan :

Yan dhemdhem renteb hinang katon (katonang), Dewa ngukuni karang ika, tan kurang pangan sang
ngumahin.
Mwah cayan karang tenget, karasa ngawang-awang katonang, twi suwung katonang, tri bhuta
dengan mangumahin, henggal manemu bhaya sang ngumahin.

Malih ingon-ingon pathikawenang, metu salah rupa, iki cirin gumi rusak.

Mwah karang panes, asu, bangkung, manak tunggal, cirin panes karang ika, wenang hanyut, bhuta
salah wetu, nga.

Mwah bhumi sayongan, katiban kuwung-kuwung, panes bhumi ika.

Mwah ring pakarangania metu kukus, panes karang ika.

Mwah karang tumbak rurung, tumbak jalan, tumbak tukad manamping marga pempatan, namping
pura, namping bale banjar, makadinia ngulonin bale banjar, panes karang ika.

Malih babi baberasan, satha asaki ring salu, mwang tabwan ring pakubonan, lalipi masuk ring
pakubonia, panes karang ika.

Mwah pakubonia, yan puhun lakare, taler kari ingangge, pada cacada lawan naga-sesa, tan pegat
milara.

Mwah yan ana bale pungkat, malih jujukang, sajawining gebug lindu maka bhumi, pada cacade ring
balene ring balene puhun lakare.

Mwah yan ana bale mesu adegania ring legungane, balu makabun nga, hala.

Yan ana bale materestes bunter sami, cacad, dongkang makahem, nga, tan wenang hingangge, hala
dahat.

Mwah yan ana bale tarojogan, magerantang mahileh, cacad, dongkang makabun, nga, hala.

Iki PAMANAS KARANG, salwirning, panes, sane ngadakang panes karang, lwirnia :

Kapanjingan gelap mwang puhun, wenang ngadegang linggih Padma-Handap, palinggih


Sanghyang Indrablaka, tan pegat hamanggih lara bhaya, yadin ping dasa carunin tan sida purna
dening caru ika. Apan Sanghyang Indrablaka, dadi Sanghyang Kalamaya, dadi Kala-Desti.
Mangkana kojarniya.

Mwah yan ana kayu rempak, pungkat, mwang punggel, tan pakarana, pada panese, tan pegat
hamilara.

Mwah nyuh macarang, bwah macarang, jaka macarang, ntal macarang, byu macarang, mwang
wetunya kembar, tunggal panese, kadi kageni – bhaya, nga, panes.

Yan ana sanggah pungkat, mwang jineng, pawon, pungkat tan pakarana, mwang katiben amuk,
kaleban amuk, panca bhaya, nga, panes.
Yan ana hanggawe pungkate, panas karang ika, kewala cacad, tan kawenang malih ingangge,
wenang gentosin lakare sami.

Mwah yan ana wong mentik ring babatar ing salu, wong bhaya, nga, panes.

Yan ana lulut metu ring pakarangan, kalulut bhaya, nga, panes.

Yan ana getih kentel ring pakarangan, mwang sumirat ring umah, ring pakubwan, tan pakrana,
karaja-bhaya, nga. Yan ana samangkana, apang sampunang langkungan ring petang dasa dina,
mangda puput macaru, dados caru ika alitan. Yan langkung ring petang dasa dina, ageng nagih
waru, ika kangentakna.

Yan ana karang katumbak rurung, tumbak jalan, katumbak labak, katumbak jalinjingan, mwang
tukad, katumbak pangkung, panes karang ika, Sanghyang Kala Durgha anglarani, wenang
ngadegang Padma Alit, palinggih Sanghyang Dhurgamaya.

Yan ana tabwan sirah, tabwan kulit, mwang nyawan ring salu, ring paumahan, ring kubwan, pateh
panese.

Yan ana manipi ring umah, ring salu, ring kubwan, pateh panese.

Yan ring lumbung, ring kamulan, hayu ika.

Mwah yan ana ingon-ingon patik wenang-wenang, salah rupa wetune, panes karang ika, wenang
rarung kasagara, tugel gulene, kawandaniya rewekan ring rwi walatung, talining dening budur,
bwangen ring payonidi. Raris glarana Panca – tawur.

Yan ana taru salah pati, mwang manusa salah pati ring pakarangan, panes karang ika.

Mwah salwir ing jadma salah pati, hanuli pejah, sagenah-genahniya pejah, ika tan wenang malih
hantukakna maring pagenahan, hala dahat, hanuli pendhem ring setra, nganut linging Sastra-
Bwana-Purana. Mangkana kramanya.

Mwah yan ngingsirang Lumbung mwang Dengen, Pabrahmana kunang, wenang tuntun dening
lawe, panyunjungniya, taruma tangkis pang tiga, saha banten pangulapan, daksina 1, pras, sodan,
asep menyan astanggi. Mangkana kramaniya. Yan tan tuntun, ila-ila dahat.

Iki CARUN UMAH CACAD, yan ana wang manampih Bataturan, gawenen caru, Pamangguh
Pamali, alit, nga, lwirniya :

Iwakniya rumbah-gile, malih punjungan putih kuning 1, uyah areng, iwak ayam ireng pinanggang,
raka biyu matah salirang, sajeng manis, mwang daksina 1, katipat kelanan, soda 1, tlas.

Mantrani Pamangguh Pamali Alit, caru ika pendhem ring genahe macaru, tlas.

Iki caru mawug maumah mwang magingsir ngarangin, maka pangraksan ing karang, sa :
Daksina 2, gnep, pirak 500, mwang tumpeng poleng 1, mabe taluh, wusniya matanem, malih
tetebasan 1, pras 1, tulung 3, wusniya pinangan.

Malih caru getih sapinggan, hati sahundhuh, wusniya, hati getih mwang tumpeng, metanem ring
areping sanggar kawitan. Mwah besi anggen titi, ring pameswane, iku enjeki, dumara ngawug
umahe, ma. :

Ih Sang Hyang Wariwastu ya namah swaha, Ih Sang Kala Naga, Sang Kala Bhumi, Sang Gumatap-
Gumitip, …………. Ampunane raren ingsun, poma. Telas.

Iki upakara ing pangrapuh carik, salwir ing rapuh ring gaga ring tegal sawah, mwah ginawe umah,
lwirniya :

Sasayut 1, maiwak satha putih pinanggang, mwang Pangambean 1, iwakniya bebek putih ginuling.
Pabresihan, pras, penyeneng, sagawu tepung tawar lis, misi daksina 1, katipat kelanan, ajuman
putih kuning, canang genten hatanding, munggah ring sanggah cucuk, katur ring bhatara surya
mwang segehan 2, tanding, matabuh twak arak brem, nunas toya kabadugul Panghuluning sawah,
mwang ring Brahmana Panditha, Telas.

Nihan kramaning ngehed sawah, mwang hanepas, nyapuh pundukan. Upakaraniya :

Pras panyeneng, rayunan putih kuning, bubuh mewadah suyuk 5 tanding, katipat kelanan, pras
ajengan, sasantun 1, hartha 727. Malih caruning natar.

Carike, caru bebek selem, holah jajatah lembat asem, dadi 5 tanding, ketengan 33 tanding, padha
ngawa sengkwi ketengan ika swang, kulite layang-layang, sasantun 1.

Parisudha dening toya mawadah sangku tembaga, siratakna ider kiwa, ping 3, ma : (ngud carik,
utawi nyakapang).

Om Nini Pamali Wates, Kaki Pamali Wates, tan hana jurang pangkung, aku ibu pretiwi, anglebur
sakalwiring hala, Om Bhuta sih, Kala sih, Dewa teka purna, Om Sa Ba Ta A I.

Iki caru Pangasih bhuta, nga, pamahayu pakarangan, pamahayu Sanggar pomahan, upakaraniya,
ca :

Tumpeng putih kuning den agung, hinideran sarwa sekar, rakaniya putih kuning, canang genten,
iwaknia satha sudhamala grungsang kumatandhang, mapanggang, mwah ithik putih ginuling,
mawadah dulang anyar merajah surya candra.

Wus minantran, pendhem tengahing natar.

Phalania, yan ana wong hakarya hala, salwiring tuju tluh taranjana, leyak prakasa, Buta Kala
Dengen, mari denia dewa sihin bhuta wedhi.
Mangkana kramania, haywa Sang Pandhita mapi tan wruh sastra iki, apan sinilib de Sang Hyang
Licin, nging aja Wera, sahasya temen.

Iki Caru panganggihan, nga,

Yaning karang paumahan karase panes, maka cihna ing karang panes, yania katibanan kagringan
tan pantara, mwang kasusupan dening brangti, ngimur-imur kalanan, mwang sering kna wicara,
manusaniya tan renga ring gagaman manusa.

Yan mangkana cihnaniya, wenang hacaru ring pakarangan lwirnia, ngadegang Sanggar Tutwan,
munggah banjotan kelanan mwang canang lengha-wangi, burat-wangi, canang gantal.

Ring sorithik bulu sikep, hingolah, hurap bang putih, jajatah, dadi 33 tanding, wewalungania
winangun hurip, hangkebang ring caru ika.

Ring Sanggah Kamulan, ngaturang prayascita lewih, malih nunas pakuluh, pamuput caru ika.

Ring natar genah carune, madhatengan ayam putih hingolah dadi 5 tanding, saha canang daksina,
prayascita ring Sanggah, raris kepakubenan maprayascita.

Yan wus puput ika, buncal ring parempatan agung.

Iki carun karang hapanes,

Apa lwire cihnaning karang panes, gring luminta tan pegat, matemahan pati, mwang sarwa paksi,
sathonia tlas kagringan, kweh pejah, wenang caru ika.

Glarakna ring pakarangan, mangdene sampurna ikang sarwa magalak ring pakarangan, lwir ing
caru, sa, tumpeng putih hadanan, iwak satha winangun hurip, jajatah calon rateng tan winalik, hanut
hurip ing dina, mwang rumbah gile, suruh putih hijo, saha canang daksina, pras panyeneng lis,
hartha 225.

Mwah hana papendheman rontal rinajah kaya iki : ( ),( ).

Iki mantrania, ma :

Panca bhuta, raksasa-raksasi, dustha durjana, henduh ta kita, yan kita wruh hamaca sastranku; yan
sira tan wruh hamaca sastranku, lunghana kita ; yan kita wruh palungha kita, tan wruh yan wruh,
yan alumuh lungha kita, pangerengkepangraksanta ri ngong, hana tadhah sajinta, pulawa sapunggel,
susuruh putih ijo, sega rong penek, ayam winangun hurip, rinumbah gile, sasak mentah, jajatah
calon tan winalik, twasanta hangraksa hulun.

Wus hangrajah, wus anyaksenana kang caru, pendhemakna rarajahane ring rontal.

Iki Carun panganggihan karang, lwirnia :


Tumpeng 9 danan, iwak ithik bulu sikep, hinglah dena sangkep, dadi 9, tanding, kulite layang-
layang.

Mwah nasi mapindha wong-wongan, malih nasi mawadah tangkulak, benia getih matah lebeng,
segehan agung, masambleh satha ireng, maruntutan pamangguhan agung.

Iti pamangguhan pamali, lwirnia :

Caru bulan ring tengah. cawu petik bilang samping (sisi), manca desa genahnia, halednia don byah,
beten don byahe, klupakan tiying, madaging hole-hole, sami porosania don girang-girang, pamornia
tahin blek, buahnia biluluk, plawania lateng ayam, iwaknia lindung, bluwang, katak, balang,
capung, sami maguling.

Iki pamangguhan alit, nga. :

Salwir ing caru manca-sanak agung alit, panca klud wali walik sumpah, tawur gentuh masasapuh,
panca-wali-krama, eka-dasa-ludra, maligya bhumi, mwah salwirning caru, wang hamanak salah
ring pamanggahan, ring sawah, ring hulun empelan, ika sami wenang dulurana pamangguh pamali,
mwang sasayut durmanggala, sasayut pancaklud, hanulakna ageng alit ing swakarya, wenang
lakwakna. Nihan tingkah ing karang pahumahan, kna gering tutumpur sasab mrana, mwang kna
pamali pulung, tan pegat kena gering kabhaya-bhaya, lara sang madrebe humah, reh matonya.

I Bhuta Jigramaya, rupania hamanca warna, ika ratuning kala dengen, mahanak pamali pulung
raksa, mahanak I Pamali Mundar-mandir, kwehnia 11 diri, ika hangadakaken, kapanjingan hyang
lalah, kasander ing glap, katiben amuk, kalebon amuk, katiban lulut, kasiratan rah, mati magantung,
salwir ing cuntaka bhaya, ika mamirudha, nga, Ki Bhuta Jigra-mangsa. Yan kurangan pracaru, tan
pegat katibanan gering, krana wenang carunin, sagenah karang ika, lwiring pacarunia :

Nasi wong-wongan 3 tanding, marupa manca warna, padha matatakan don byu, mawadah klakat,
canangnia hanut nasi wong-wongan, kwangen pada masiki, jinah padha 2, sowang-sowang, nasi
wong-wongan ika, madaging tumpeng, hanut warna, sami pada madanan iwaknia satha brumbun,
holah dadi 5, tanding, rupania mancawarna, sangkwinia 11, bidang, bayuhania 5, wadah, sasantun
1, bras 3 kulak, hartha 777, genep sahupakaran ing sasantun, lis 5 puwun, susunang ring sega
wong-wongan ika, ring madya gnahnia. Mwah sega pangkon 1, iwaknia kawisan, madaging, jajren
matah, masusun basa rajang, mawadah limas andong bang, tok 5, sujang, harak brem, padha 5
tekor. Malih sega panganggon pamali hatanding, nasi takilan, mawadhah don kumbang, iwak bawi
magoreng, trasi bang yadin alit wenang, sabagya yan agung.

Malih jumput tanah humahe bilang bucu, mwang ring tengah padha, ping 3, tatakin don waru,
padha 3 bidang. Raris genahang ring nasi wong-wongan ika. Genah caru ika ngarepin pawon,
tunasang toya ring Sanggah Kamulan, Toya pangihid pamali, mwang sarwa bhuta durgha.
Yan wus puput winasu, geseng tatimpug ika. Wus mangkana, nasi wong-wongan ika, bwangakna
ring sagara, ring lwah ing kadi wenang, tkaning banten kabeh.

Mwah sang gring wehin bubuh tajin, toyahin antuk candana mahasab, raris tunasang toya ring
Kamimitan, Sanggah Kamulania, mangde mangkana manih kagringania.
Malih tunasang toya pangentas sarwa Bhuta, raris lukat ring pomahania, paungin pangentas. Ri meh
hanganut banten ika kabeh. Pangentas ika kadi pangentas janma mapreteka, karyanang bubuh pirata
5 tanding, wus ing pinuja panglepas, bubuh pirata ika, tkaning wulantangania, salan-laning toya
panglepas, pendhem ring hareping pawone.

Mangkana kramania, karana panggih hayu Sang Bhuta Kala Dengen, tan hana sira malih
hanggringin sang momah-omah, sakurenania, tkaning anak putunia, hamanggih dirgayusa.

Yobawe weta hurip, gring tutumpur punah, leyak mari, Bhuta Kala Dengen hasih, Bhakti sahidhep.
Samangkana tingkah carune ring Pabrahman, matemahan kayu sang madruwe umah.

Malih carun karang kageringan, karang panes, karang angker, karang aeng mwang sane ngenahin
tan pakala miyegan, mawyadi, wenang carunin karang ika, lwir caruniya, ayam putih maholah, didi,
5, tanding, padha majajatah lembat asem, hurab bang putih sowang, walulange malih winangun
hurip, tumpengniya pada madanan, macaru bilang bucu ing karang, matanem, layang-layangniya
ring tengah tanem.

Yan nora carunin, ngimuh ikang Kala Bhuta kabeh, harep hanadhah manyakitin, sang adrewe
humah, tan manggeh yasaniya, rahina wengi katadhah hantuk Kalan Bhatari Durgha, yan sampun
tawurin, enak tekang sarwa Kala Bhuta, matemahan hayu sang madrewe humah.

Iki mantraniya, ma :

Ih Ki Bhuta Jigramaya, marupa mancha-warna, kita ratuning Bhuta Kala Dengen, mahanak I
Pamali Pulung-raksa, I Undar-andir, eka desa rowang ira, kita hanggawe kapanjingan Hyang Lalah,
kasander ing Glap, katiben hamuk, kalebon hamuk, kasiratan rah, salwir ing canthaka bhaya,
kapunah denira Sang Bhuta Jigramangsa,

OM AM Ksama sampurna ya namah,

SA BA TA A I NA MA SI WA YA,

OM AM UM MAM.

Iki pamangguh Pamali, nga. Sana agung :

Sadhana, banten 5 nyiru, sega cacahan 33 tanding, nganut pahideran, ne putih, purwa; ne barak,
daksina; ne kuning, paschima; ne ireng, utam ; ne brumbun, ring madya; nganut hurip ing Pancha-
warna.

Mangkana dandananiya, raka saka wenang, iwaknia satha mancha-warna, lis padha mapuhun, malih
magawe Sanggah linggih Pamali mwang boki, 5 besik, mahaled klopekan tiying, maplawe rwan
tihih, rwan bwah, mabuhu rwan temen, gagirang kayu tulak, rwan ing dhapdhap, slepan, matali
benang tridatu, 5, pesel kwehniya, genahang ring linggih Pamaline, genahnia mancha-desa. Ring
madhya suci asoroh, boki hika madaging tumpeng padha madanan, lwirnia :
Purwa, putih 2;Ddaksina, bang 2; Paschima, kuning, 2; Utara, ireng, 2; Madhya, mancha warna, 5;
iwaknia manurut tumpeng, tetebus mancha-warna, kwangen 5 harthaniya, nganut hurip ing pancha-
desa.

Mwah hameten clebingkah ring pakarangania, midher mancha – desa, kumpulakna ring genahe
macaru, mwah mancha-desa genahnia, sinurat dening aksara Pancha Brahma, SAM, PUR, BAM,
(DA); TAM, (PA); AM, (U); IM, (MA); matorek pamor mah empat, raris genahang ring bokine.

Banten ika, matatakan klatkat pakideh, mwah sangkwi gde, pur, da, pa, u mwah twak den akeh,
mawadah kawu mabulu, 5 besik, pras panyeneng, sesantun 1, bras sakulak, hartha 777, pamarginia
ring dina nemu Kajeng Kliwon ring Sanda denis hacaru.

Wenten mamangguh dumun, mahider mangidul, mangulon, maring tengah. Mangkane tingkahe
mamangguh Pamali, raris punduhang ring tengah, irika raris sasontengin, malih tunasang tirtha ring
Panghulun Setra.

Iki ngaran Pamangguh Pamali, wenang hangunduraken Pamali, iki pujania, ma :

Pukulun kaki Pamali, nini Pamali, ingsun hangunduraken Pamali Agung, pesengan I Gubar
Gumi, pramantran I Pamali, ngaran I Guyang hati, prebekel I Pamali, ngaran I Tunjuk Hati, sedahan
I Pamali, ngaran I Sandi Pati, panyarikan I Pamali, ngaran I Tumbak Api, kesinoman I Pamali,
ngaran I Kuyang-kaying, juru tulis I Pamali, ngaran I Tuwek Wesi, bhujanggan ing Pamali, ngaran I
Muyang-maying, juru cendek I Pamali, ngaran I Pular Palir, maka dewan ing Pamali, mapesengan
Sang Ratu Manjaya, tka madocararan I Pamali, ngaran I Pamali Banthang, Pamali Tunggak, Pamali
Tunggek, Pamali Pacek, Pamali Jangat, Pamali Brahma, Pamali Wisnu, Pamali Pulung, Pamali
Sukat, Pamali Jalingjingan, Pamali Tukad, Pamali Sawah, Pamali Sema, Pamali Desti, Pamali
Teluh, Pamali Moro, Pamali Hangin. Satus hakutus haraning Pamali, tka kita kabeh, padha patuh
hingkup, asanak ring pun anu, sang adrewe caru, puniki hana ganjaran ira, katur ring Ra Kaki
Pamali, Nini Pamali pahingkup agung, pamangguh agung, ingsun anugraha, hamukti sari, lawan
sanak ira kabeh, wahana wadoracan ira samodaya, sampun sira malih hanggringin, janma manusane
pun anu, wehana hurip warasa, dirgha-yusa tkan ing hanak putunia kabeh 10 mukti pwa sira wus
amukti, mantuka sira ri Kahyangan ira sowang-sowang.

Ong Sarwa Pamala – pamali bhyo swaha, apanaku rumawak Sang Hyang Brahma jati.

Iti Sasayut Panca-klud, kawruhakna, lwirniya :

Tumpeng poleng 1, makalung, maplekir, kwangen 5, padhang lepas 5, katih, muncuk hambengan
sehet mingmang 5, nyatur desa genahniya, sisiniya madaging penek 5, nyatur desa genahniya,
mwang payuk 1, misi yeh, misi sehet mingmang. Mwah Pamyak-kala, nasi pangkonan, mapyak
mah empat selatin antuk pandan, iwakniya ne kangin, nyalyan; ne klod, udang ; ne kawuh, yuyu ;
ne kaja, lele ; ne ring tengah iwakniya swandhu.

Iki Mantraniya, ma :
Pukulun Sang Kala Purwa, Sang Kala Sakti, Sang Kala Brajamuka, Sang Kala Preta, Sang Kala
Ngulalang, iki tadhah sajin ira, iwak trasi bang, bawang – jahe, mwah hantiga, mwang panca-klud,
mwang pamyak-kala, manawi wenten kurang, iki jinah satak lima likur, atumbasa sira mareng pasar
agung, weha sanak rabin ira mwang putu buyut, haja sira usil silih gawe, lunghaha sira hamarah-
marah, desa, haja marangke Mwah, den pada sidhi swaha.

Yan tan harep hanglewihi, Sasayut Durmenggala, sasayut prayascita, pamyak-kala wenang, Panca –
klude, tumpenge poleng ring tengah, iwakniya trasi bang, taluh bukasem.

Iki prayascita saka lwiring Durmenggala, ca :

Penek 1, iwakniya trasi bang, bawang jahe, daksina 1, bras akulak, lawe satukal, pirak satak salawe,
segaru, tepung tawar, bungkak nyuh gadang 1, lis salepan tan sumalah ring salu, taluh bukasem 1,
ma :

Pukulun Sang Kala Purwa, Sang Kala Sakti, Sang Kala Braja, Sang Kala Ngulalang, Sang Kala
Tamba Petre, Sang kala Suksma, aja sira pati panjingin, patya poporotongi, iki tadhah sajin ira,
pnek lawan trasi bang bawang jahe, hanadhah sira tur lungha, manawi kurang tatadahan ira, maraha
sira maring Pasar Agung, wehana hanak rabin ira mwang putu buyut, haja marangke Mwah, den
padha hewanaha, raksa rumaksa, padha sidhi swaha.

Nihan Pamatuh Pamali, ring pomahan, sa. :

Kwangen 5, kojong, nasinia hentip, jinah wijinan padha 2, skar patut ing kwangen, ma. :

OM Sarwa dewi broh namah, bhuta yaksa namah swaha, pamala-pamali bhuta-bhuti, kala kali kala
dengen, patuh kangin patuh kawuh, patuh kaja patuh kelod, patuh ring tengah, padha patuh ingkup,
tka patuh, (3x).

Yan kita mahyun kinasihaning bhuta, iki pengasih Dewa mwang sarwa bhuta, tkan ing pangasih
manusa, hanggen ngabakti ring dewa wenang, masadana Gandhana Jenggi, bhasmakna ring
selaning lalatha, ma :

Ingsun hangidephana Sang Hyang Tunggal, rumasuk ring sariran ingsun, tri nadhi sama bhaktya,
dewa mantara masya, Tunggal, amatuhana tri nadi, sing tka patuh ingkup, (3x).

Iki Tatebasan Kabuyutan Lumbung mwang greha, karubuhan taru agung :

Carunia, tumpeng 2, meiwak ayam kandhungan 1, winangun hurip, dagingnia hingolah, hurab bang
putih, jajatah 9, calon 9, hebatnia linawar, bawang jahe kasuna cekuh 11 trasi tinunu, gulawinahan
takir, hebatnia suci, haywa ngedhapin, sajeng sagecha, jangan sakawali, palawania sembung, toya
ring bruk anyar, tepung tawar, wingaturang arep ing karubuhan, ikang rinubuhan winangun Mwah.

OM Sang Bhuta Kulalwing, Sang Kala Butha, Sang Kala Mang, Haja sira pati papanjingan, iki
tadhah sajin ira, tumpeng hadanan, trasi tinunu, bawang jahe, bras agonja, lawe satukel, harta satak
salawe.
Wus winantran, tatebasi kang kurubuhan, mwang sang adwe umah. Ikang caru tinilar ing
parempatan jalan, haywa tinolik kang tinilar.

Iki pamabayuh karang, hawet deniya manggih hayu, caru hangus, ing, lwirnia :

Bubuh pirata, nasi hangkeb, sorohan asoroh, suci satampa, tumpeng, 9, besih, mawarna, 9,
mawadah tamas maraka kadi sodahan, hasu bang bungkem, 1, dagingnia, halah jangkep
walulangnia winadhahan sankwi mapinda cacing, hinangkeban, dening walulangnia.

Malih punyan tiyih katut humbinya, 4 puwun. Daksina, 1, hartha, 770, katipat sedahan, katur ring
Bhatara Kala, kasaksenan den Bhatara Surya, mwang watek Dewata Nawa-sangha, tumut hangania
maka sami.

Wusnia, pendhem ikang caru, nasi hangkebe lebarang ring jaban pameswane, punyan tiyihe,
pamula disamping pameswane, diharep ing korine, kiwe tengen ring jroning kori mwang ring
jabania.

Mangkana kramania, graha macaru ring natar wenang.

Nihan Kaputusan Sang Hyang Resi Ghana, pamarisudhan ing karang hangker, salwir ing panes.

Yan mati salah pati, kalebon hamuk, sinamber ing glap, makrane sang adrewe humah kabhaya-
bhaya kojarnia, caru iki glarakna ring pomahan ring sanggar ring parhyangan mwang ring tegal,
sawah, sagenah ing karang panes aheng mwang hangker, yadyan kapanjingan Bhuta Kala Dengen,
umah ing dete, caru iki glarakna, lwirnia :

Nanceb sanggar Tutwan, munggah suci, 2 soroh, genep salanlaning suci, tkeng rantasania, hartha,
1700, haja ngelongin + saji 1 soroh. Astha-dala, maka gnah ing caru Resi Ghana.

Resi Ghana ika, sega, 9, pangkon, wadhahnia tamas ageng, melawa don nagasari, marajah sowang-
sowang, OM, madhya; AM, pur; RE, ghne; SI, da; GHA, nai; Na, pa; BYO, ba; NA, u; MAH, aer.

Sga ika tinanceban skar tunjung sowang-sowang, iwaknia ingolah ithik den asangkep, nora
majajatah.

Carune ring natar, hayam manca-warna, melayang-layang, matatakan klabang mikuh, daginge olah,
nganut hurip ing Panca-warna, holahnia haywa kerup, ne putih kangin, olah urab bang putih, jajatah
lembat asem pada, 5, katih dadi limang bayuh. Ne klod hayam biying, olahnia urab bang putih,
jajatah lembat hasem pada, 9, katih, calon, 9 katih, dadi, 9, bayuh. Ne kawuh, hayam putih syungan,
olah urab bang putih, jajatah lembat hasem pada, 7, katih, calon, 7, katih, dadi 7, bayuh. Ne kaja,
hayam ireng, olah urab bang putih, jajatah lembat hasem, padha, 8, katih, calon, 8, dadi, 8, bayuh +
caru bebek blangkalung.

Padha matatakan sangkwi, calon mawadhah limas, maduluran sasayut pangambeyan, pangulapan,
prayascita lewih, mwah tumpeng hagung, 1, iwaknia guling ithik putih, daksina 1 soroh, jinahnia
5555, pane hanyar Mwah nasi ketengania, ngatengah suci 1, mwang sasayut durmenggala, sasayut
panca-klud pamyak-kala, dulurana pamangguh pamali.

Ring Sanggar Kamulania, suci 1 soroh, den agenep. Ri Sang Ngrajengin, suci 1. Ri telas pinuja
salanlaning panglukatan, pras lis tatimpug. Saksina Sang Ngerajah natere, hartha 135. Daksina
Sang Ngerajah rwan ing sarpasari, hartha 77.

Ri tlas pinuja de Sang Sadhaka, kon sang adruwe caru, tkeng pratissantanania kabeh, ngabakti, ka
surya holih skar, ka Sanggar Kawitan, ring Sang Hyang Resi Ghana, hantuk skar mwah masaksi ka
Surya dening Kwangi, tlas.

Wus mangkana raris lukat sang adruwe caru, tepung tawari buwuni, lisih, tirthanin, raris jaya-jaya
sakawruhta.

Wus mangkana, kinon sang adruwe caru, ngayab caru.

Wus ngayab, raris gabungin layang-layange, rames nasin carune mancha desa, wadahin pane,
pahidang layang-layange, hider kiwa, sambehang nasi ramese, mwang prayascita durmanggalane,
saha sampat tulud mwang obor-obor, kulkul, sembar ring tri katuka, mantra dening Tatulak agung,
mwang lis panglukatan, saha cengceng kendhang kempul, dulurania surak awu, pangihid Bhuta,
nga.

Ri tlas mider kiwa, ping, 3, raris pendem layang-layange ring gnahe macaru Resi Ghanane. Sesan
ing mapendhem, bwangen ring pampatan jalan, ring jurang, ring lwan wenang, tlas.

Iki Sang Hyang Resi Ghana, ma :

OM AM Resi Ghana bhyonamah,OM hana sira Sang Hyang Resi Ghana, rupaniya kadya liman,
guna nirana kaya jaladhi sangha, matan ira dumilah, pancha maha-bhuta ring tengah, hangilangaken
satru, kala-traya, tuju tluh taranjana, kalukat den ira Sang Hyang Resi Ghana, OM SA BA TA A I
NA MA ÇI WA YA.

OM Etat mantram prawaksyamam, madhya , OM Kara sang sthitah angkare, purwa, sang sthopi,
aghneuesya dre narakah, Çikare daksina jayayah, nairitya, nghewa sang sthitah tawat nakara
paçchime,bayoh çikara sang sthitah, Naka rota rawi jnyeyah, makare saniya rewaca,tatah
mantramniacet widwan, Ghanarsi nama raksane,Dwija gni nayanah bayu, gune wipre ndriyo nujah,
pramondo rupa, nesi candra Resi catu.

OM Indah ta kita Sang Hyang Resi Ghana, tulung manusan ira, katiben ing marana agung, haweta
urip manusanta, mwang dirghayusa. OM Sidhir astu ya namah swaha.

Iki caru kaputusan Sang Hyang Resi Ghana, pamarisudha ing karang panes, mwang sanggar :

Ngadegakan Sanggar Tutwan, mapenjor pring gadhing, matunggul kasa, 2, marajah Ghana, ngawa
Bajra 1, ngawa gadha1, malih rwan bingin acarang, ring aersania gnahniya, kapwa rwania marajah
Cakra, magenah ring harep ing Sanggar, sucinia 2. Gnep matupeng hadanan, pras daksina, harthania
1700, canang lenga-wangi, burat-wangi, munggah ring Sanggar.

Mwah ring harep ing Sanggar, natarnia marajah padma, 13 astha-dala, sastrania : pur, SAM; da,
BAM; TAM, pa; AM, u; YAM, ghne; ÇIM, ne; WAM, ba; NAM, ai; MAM, ma.

Raris gnahin Caru Resi Ghanane, lwirnia, sga 9 punjung, wadahnia tamas agung, mahaled don
sarpa-sari, rinajah sowang-sowang: OM, ma; AM, pur; REM, ghne; SI, da; GHA, nai; NE, pa;
BHYO, wa; NA, u; MAH, ae;

Ikang sega tancebin sekar tunjung, sowang-sowang, 9 katih. Iwaknia ithik ingolah den asangkep,
nora majajatah. Carunia, satha manca-warna, malayang-layang, winangun hurip, matatakan
sangkwi mikuh, dagingnia holah gnep, haywa korup, jajatah lembat hasem, calon agung mwang
tumpengnia padha nganut hurip, mancha-desa, manceb Sanggah Cucuk 5, mancha-desa gnahnia,
makober mancha-warna.

Ring purwa, putih; daksina, bang; paschima, kuning; utama hireng; ring madhya, brumbun.
Bantenia tumpeng adanan.

Ring tengah, daksina gdhe 1, hartha 500. Bayuhania padha ngawa panyeneng. Sasayut
pangambeyan. Ring tengah suci hasoroh, glar sangha, agawu, tepung-tawar, bahu, lis, tatebasan
prayascita lewih 1, prayascita durmanggala 1, pane hanyar 1, kuskusan 1, siwur penek, tatimpug,
sujang 5, madaging twak mentah, harak brem.

Ring pamujan, suci 1, genep salan-lan ing panglukatan, daksina Sang Wiku hamuja, hartha 1700.

Maka wnangnia Caru ika ring Pomahan, ring Sanggar, ring Parhyangan, Dalem, Desa Puseh Bale-
agung mwang ring Tegal Sawah, ring Pangulun Hempelan.

Kramania wus pinuja ikang Caru, ngabhakti ka surya hantuk skar mwang ring Sang Hyang Ghana.
Mwah Kwangi pasaksi ka surya.

Wus mangkana, raris malukat sang adrewe Caru, matirtha, majaya-jaya. Raris pendhem Caru Resi
Ghnanane ring natar ring ghahe macaru, layang-layang bebek mwang hayam, gabungin nasi hider
bwanane, rames wadahin pane hanyar, siratin tirtha.

Panglukatan, pahidang ider kiwa ring pakarangan, ping tiga, saha hobor-hobor mwang sampat
tulud, sembarin Tri katuka. Mantrania Pangihid Bhuta, saka wruhtawnang linakwan Tlas.

Nihan Panulak Marana mwang Tutumpur, Karubuhan Dhangdhangan, kapanjingan hamuk,


kapanjingan buron, saka lwir ing Durmanggala, lwirnia :

Ngadegaken Sanggar Tutwan, munggah suci 2 soroh, gnep salanlaning suci, tumpeng adanan, pras,
rantasan, sapradeg, tubungan putih ijo 7, bwah 7, mawadhah limas, bungkak nyuh gading
makasturi, canang lenga-wangi, burat-wangi, daksina, hartha 1700.
Sornia pagnen, malih magawe lahapan, banten munggah lahapan, babangkit asoroh, maguling bawi,
gnep salanlaning pabangkit, kadi tingkah ing Madudus halit.

Carune ring natar, hayam mancha warna, malayang-layang winadhahan sangkwi mikuh,
daginge holah, lwirnia :

Hayam putih, daginge holah, hurab bang putih, jajatah lembat hasem, padha 5 katih, calon 5 dadi 5,
bayuh ring purwa gnahnia.

Hayam biying, daginge holah, urab bang putih, jajatah lembat hasem, padha 9 katih, calon 9, bayuh,
daksina gnahnia.

Hayam putih syungan, daginge holah, urab bang putih, jajatah lembat hasem, padha 7 katih, calon
7, bayuh, Paschima gnahnia.

Hayam ireng, daginge holah, urab bang putih, jajatah lembat hasem, padha 4 katih, calon 4 dadi 4,
bayuh, utara gnahnia.

Hayam Brumbun, daginge holah, urab bang putih, jajatah lembat hasem, padha 8 katih, calon 8,
dadi kutus bayuh, gnahnia ring madhya. Padha winadhahan sangkwi.

Mwah Asu Bang Bungkem, kang durung awawajang, malayang-layang, winadhahan sangkwi
mikuh, daginge holah, urab bang putih, jajatahnia lembat hasem, padha 33, dadi 3 sangkwi, ulam
karangan 1.

Mwang calon agung manut urip ing paidheran, mwang kakepuh takep-takepan.

Mwah sega punjungan, putih, habang, kuning, ireng, brumbun, padha ngawa pras pengambeyan
tulung sasayut.

Mwah tumpeng hanut pahideran 33, sega ketengan 33, nanceb Sanggah Cucuk, mancha desa
gnahnia, munggah banten dandanan, canang sari canang gantal, sujang rempet 5, mesi twak harak.

Carune ring tengah, suci 1 gnep, salan-laning suci, mwang prayascita lewih, prayascita
durmanggala, sasayut pancha – klud, pamyak kala, mwang pamangguh pemali, lis sangga hurip
padha ngawa, canang berkat hamancha desa, rantasan mancha warna, kober mancha warna, carune,
sania 33, saha takep-takepan, mwah dyun pere misi toya mancha desa, mesi alas-alasan, agawu,
tepung tawar padha ngawa, tetebus mwang – rarakih.

Mwah ring pamujan, suci gnep salan-laning suci, mwang panglukatan, gnep sopakaran ing
panglukatan, samsam bija kuning, alas-alasan, sodha pras lis, buhu, sgawu, tepung tawar, sasari,
tetebus mancha warna.

Iki Caru Pancha-sanak Madurgha, nga, wenang glarakna ring Kahyangan Panghulun ing Setra.
Mwah yan gentosin hasune hantuk bawi butwan, Caru Pancha-sanak Tawur Madhya, nga.,
wenang hanggen ring Pura Dalem.

Caru iki sane kalih soroh, padha tan wenang ngawa Pabangkit, Adyapi pacang hanggen Ngusabha
ring sawah, wnang glarakna, caru iki, kewala nasin carune mancha desa, sga punjungan hingangge,
maka tigang desa tiga, nganut warnan pahideran.

Yadyan hanggen madudus alit, wnang caru iki ingangge.

Yan pacang mangge ring desa-desa, wenang nunas tirtha pamuput caru ring Dalem Kahyangan,
Panghulun ing Setra.

Yan mangge ring sawah, wnang nunas tirtha pamuput caru ring Badugul Panghulun ring sawah.
Mangkana kramania.

Mantran asu Bang Bungkem, ma :

Pakulun Sang Bhuta hulu Kuda saking kidul, Pahing pancha-warna ira, iki Asu Bang Bungkem
rinancana, makadi saruntutan ipun, twak sagecha, bali saliyus, enak sira hamanga anginum, tkan
ing anak putu buyut ira, aja sira ngadhakaken bhaya pakewuh, ring Gaga, ring Sawah, ring
Pomahan, ring Pakarangan, tulaken kang sasab maraana kabeh, OM Shidhir astu ya nama swaha.

Caru Madurgha, ma ;

Pukulun Kaki Bhatara Kala, paduka Bhatari Durgha, Ra Kaki Bhatara Ghana, Sang Pancha Muka,
sira hanyangkala, hanyangkalani pakarangane pun anu, apan sampun hangaturaken Caruka Bhaya-
kalan, amuktya sira, sama paduka sira sang adrewe caru, dirga-yusa yowanaweta hurip, tka waras
(3x).

Ri wus pinuja, ken sang adrewe caru, ngabktika-Surya, ka Durgha Dewi, saha Kwangi pasaksi. Wus
mangkana bwangen tang caru mareng sagara, ring parampatan, jurang, ring lwah agung, wnang.

Iki pamuktyan caru salwirniya, ma :

Pukulun Ra Nini Bhatara Durgha, manusa tanayan Bhatari, kinengken paduka Bhatara, hangaturi
tadhah sajin ira samodhaya, manawi paduka Bhatari kaget pukulun, apan paduka Bhatari hangaturi
tadhah caru ring desa kamaranan, manusa ira hangaturi tadhah sajin ira, makadi balan ira
samodhaya, sangang atau puluh, padha sira hangarepi tadhah sajn ira sowang-sowang, pihana saka
belan ira, hajaken rowang ira, kabeh hamangan anginum, sing kirang sing luput, sampun tan wirati,
hagung pangampuran ira, mangke ta ri huwus amangan anginum, lungha ta sira kabeh, haja sira
kari hingkene, ring pakarangan, ring pakubonan, ring pagagan ring sawah, lungha sira maring Bale
Agung, maring talutu agung, lungha sira maring parampatan agung, mulih ta ngko maring
sangkanta, padha mulih ta ngko maring sangkanmu, yen ke hawali paksamu hala, mogha ko
hakalung hususmu, kikilmu maka anting-antingmu, paparunmu maka kembanganmu, rudhiranmu
pinaka bhasmanmu, klod-kawuh pahunduranmu, batu lumbang palungguhanmu, haja ke kariha ring
pakarangan, ring pakubonan, ring gaga sawah, hajaken wado-kalan ira kabeh, haja kariha, yantuli
jawalen, yan rumpuh gandhongen, yen wuta tuntunen, haja kariha ring kene, lah tka lungha, (3x),
OM Sarwa bhuta bhyonamah.

Iti pangater caru, ma :

Pukulun paduka Bhatari Durgha, Bhatari Ghuna, Sang Yama-raja, Sang Hudug Basur, Sang Pulung,
Sang Dengen, Sang Raksasa, Sang Wil, Sang Bhuta Yoni Sakti, mapupul ta sirakabeh, hajaken
sarowang ira kabeh, iki tadhahan ira tan sopadin, haturane manusan ira sang akarya, hayo tan
wirati, den sama suka, den sama sahiring, sang mawaweha kadirgha yusan, sang akarya, Mwah
sang amuja, luputa ring hila-hila, luputa ring jaya-marana, sama hamanggiha suka rahayu.

OM Kala Bhyo Bhoktaya, OM Pisace Bhyo bhoktaya,

OM Sukam bhawantu, OM Purnam bhawantu swaha,

Iki mantran salwir ing caru, wenang ruhunakna, haywa hinge, ma :

Pukulun mundura Kaki Sang Gumulang gumulingang lemah, mundura sira sang haneng lemah
sangar, lemah mendek, mundura Kaki Pulung Dharah, manawa sira kedekan, hal ngkahan, saka
sandung, saka sampar, saka babad, saka lempang, saka pacul, kaki sira wong Dhengen sanak,
lunghana sira kidul kulon, kidul wetan, nggonan ira hagawaya griya hingkene, OM Kaki Yama-
raja, Kaki Brahma-raja, Kaki Banaspati-raja, Kaki Dharma-raja, hundurakna balan ira kabeh, kaki
wong dengen sanak, sira rahuh hireku, hingsun ruhune sira, sira hasih hireku, ingsun hasiheng sira,
sira sanake riku, ingsun hasanakeng sira. Rahasya temen mantra iki, deniyan pinaka
pangruhenakna. Tlas.

Nihan pratingkah ing Carun ing Bhuta ring awakta mwang ring pakarangan panes, :

Pangwehan I Bhuta Benggala, sarenehang ira Ki Bhuta Syu, hana ta dwen ira Bhatara Brahma, ne
mangawe gringe kabeh, ne mangaran Ki Bhuta Bragala, Ki Bhuta Kapiragan, Ki Bhuta Setan, Ki
Bhuta Hejin, Ki Bhuta Kakawah, Ki Bhuta hari-hari, Ki Bhuta Ludrira, ika hanggawe gringe
manusa kabeh, hanglimuh ring jro, dadi ya hambheda-bheda satata, tan polih papanganan ira,
mwang labhahan kabeh, iku karana ya anggringin, ring jron ing pakarangan, yan tuhu wruh
manusane, iku wehin caru, apa lwire, bebek welang kalung winangun hurip, layang-layang, daginge
olah dadi, 108, tanding, lwir ing olahnia habang, 25; ireng, 25; putih, 25; kuning, 25; manca warna,
8; nasinia sama nurut hiwak bebek kuning, 25; manca warna, 8; nasinia sama nurut hiwak bebek
hika.

Mwah Pancha-satha, hanurut rupane hamancha desa, iwake mwang nasine, sama hanurut
hamancha desa, padha winangun hurip, padha ngawa sasantun daksina mwang bayuhan, pras
panyeneng, sesayut pangambeyan, suci asoroh genep.

Caru munggah ring Sanggah Tutwan, suci, 2, soroh den asangkep.

Kesaksenan ke Sang Wiku lewih, tinodyanan de Bhatara Surya, nguniweh ring Bhatara Brahma,
mwah ring sang nggawe gringe, saka lwir ing (salwir ing) sarwa bhutane hambheda-bheda ring jron
ing pakarangan, kasaksi ring Sang Hyang Tiga Sakti, Mwang ring sarwa Bhutane, padha ngelingin
labahan ira.

Iki caru Bhuta Bregala, nga, wenang tuten samangkana, tan hana hambheda-bheda, malih, trus
tumus tkeng hanak putun ira, hamanggih hayu dalan apadhang, mawedi sakwehing hala-hala.

Mangkana Kramaniya sang mahyun hayu. Yan tan mangkana, akweh prabhedaniya, dening sarwa
Bhuta kabeh. Mangkana kojar ing sastra, den pwa yatna sira humawas, karana hana kandha catur, ri
dalem sarira, hanata swa, hanan ing swa, dadi lanang, dadi wadon, wruh anggawe laha anggawe
hayu. Yan tuhu wruha, tan hana hambheda-bheda ring sarira, yan tan wruha, ingkana ya
hamrebheda. Kayaki sastraniya, AM AH, ring jaba; ring jro, AM AH, wruh sira ring sarira.

Yan tan wruha, haywa langgana umawas, sastra iki, apan sodhan ira sang watek Dewata kabeh,
haywa ngiwangin sastra iki, apan arang wong ngawruhi, kasimpenan ira sang Hyang Rwa Bhineda,
kang ring jaba lawan kang ring jro.

Mangkana warah ira Sang Hyang Rwa Bhineda, haywa wera, kakesen ring jnyananta, tuhu ya Guru
Iswara, tan hana Guru Kaparagan, apan bwatiang jro unggwaniya, utama dahat. Tlas.

Iki Mantran Pancha-satha, ma :

OM Sang Bhuta Janggitan purwa; Sang Bhuta Langkir, dadaksina; Sang Bhuta Lembu-kaniyam
paschima; Sang Bhuta Taruna, Utara; Sang Bhutati Sakti, madhya, mapupul ta kita kabeh, yan sira
wus hamangan anginum, pamantuka sira, hangarenana hurip warasa, teguh timbul, bhujana kulit,
hakulit tambaga, hawalung wesi, ahotot kawat, mangkana den ira hagawe hanugraha, ri sang
adrewe caru,

OM SAM BAM TAM AM IM, NAM MAM ÇIM WAM YAM, AM UM MAM.

OM AM KAM Kasolkaya isana, swasthi-swasthi sarwa bhuta suka pradhana ya namo namah
swaha.

Ri wus sira hamuktyaken caru, pamuliha sira ri pasnetan ira sowang-sowang, wehana hurip waras,
dirgha yusa, OM Sidhir astu swaha.

Mwah hana caru Bhuta-yajna, ngaraniya, wenang mangge ring karya Madhana-dhana,
lwirniya,Pancha-satha kadi nguni, malayang-layang, holahniya mwang bayuhaniya, nganut hurip
ing Pancha wara, mwah hasu bang bungkem, winangun hurip, bayuhaniya 33, nairiti genahniya.

Mwah ithik welang kalung, malayang-layang, padha matatakan kalabang mikuh, dagingniya
hingolah, hurab bang putih, jajatah lembat hasem, dadi 88 bayuh, dadi 8, sangkwi, ring tengah
genahniya, mwang calon agung, nganut pahideran meneha desa, sopakaraniya kadi kwir ing Caru
Madurgha.
Yan hangge ring Padudusan Halit, wenang Caru ika ngawa Pabangkit hasoroh, wenang hangge ring
Parhyangan mwang ring Sanggar Kabuyutan ring tani-tani, wenang hanggen manglinggihang Dewa
ring Sanggar Parhyangan, Wrespati Halit, nga.

Sakarya hika wenang hingangge ring Sanggar Kabuyutan ring tani-tani, pracarune, haywa nglewihi,
hila hestu phalaniya, kegetakna de Sang Tapini, Sang aharep weruha ri kalingan ing karya Nistha
Madya Utama, haywa salah hingge.

Nihan kraman ing Caru, Pancha Sanak Agung, nga : purwa Angsa kanelet winangun hurip, daginge
holah, dadi 50 tanding.

Ba, Banteng winangun hurip, daginge holah dadi 90 tanding.

Pa, Hasu Bang Bungkem, daginge holah dadi 70 tanding.

U, Kambing winangun hurip, daginge holah dadi 40 tanding.

Ma, Bebek Blang Kalung, winangun hurip, daginge holah dadi 80 tanding.

Saha jajatah Lembat Asem, sami padha ngawa Karangan, padha 1, sowang. Muwang Calon Agung,
segeniya hanut babayuhaniya, nganut rupa mancha desa, padha ngawa Suci sorohan sowang,
Sopakaran ing Banten Caru, genep kaya nguni, maduluran satha mancha warna, winangun hurip,
seganiya nganut holahaniya, hamancha desa. Ne ring Madhya, Suci hasoroh, Guling Pabangkit
asoroh genep.

Caru hiki yan hangge ring desa-desa, ring Parhyangan : Desa, Dalem, Puseh, Bale Agung, salwir
Parhyangan wenang.

Yan harep kinchit, wenang hingengge Padudusan Alit.

Yan hangge ring Padudusan Agung kang kinchit, juga wenang hiki, tepung putih ring Yamaraja,
Hangsa tapakan Bhatara ring Sanggar Tawang, Wedhus tapakan Bhatara ring Paselang.

Ring Padudusan tan wenang manawa-ratna, tan pabagya pula kreti. Yan Kambing tapakaniya
Bhatara ring Sanggar Tawang, Kebo tapakan Bhatara ring Paselang.

Ring Padudusan wenang Manawa-Ratna, ring Panggungan harep ing Widhine, wenang Mabagya
pula kreti. Mangkana kengetakna, haja salah harep de Sang Anukangin. Pabanten agung alit, kadhi
kojar ing Widhi ing Widhi-sastra.

Mwah Caru Pancha-Wali-Krama, nga. ; lwirniya :

Satha mancha warna malayang-layang, dagingniya holah, hurab bang putih, nganut pahideran
pancha desa. Kunang lawa ring Urdha.
Pur, bebek putih winangun hurip. daginge holah, dadi 55 bayuh, karangan 1 calon agung, nganut
hurip ing pahideran pancha desa.

Da, hasu bang bungkem, winangun hurip, daginge holah, dadi 99 bayuh.

Pa, hangsa winangun hurip, daginge holah, dadi 77 bayuh.

U, bawi butwan winangun hurip, daginge holah, dadi 44 bayuh.

Na, bebek blang kalung, daginge holah, dadi 88, bayuh.

Padha ngawa jajatah lembat hasem, karangan mwang calon, pabangkitniya ring tengah, 1 soroh den
agenep, padha angwa sorohaniya kadi nguni mwang saduluraniya kabeh.

Malih yang gentosin Hangsane magenah Kawuh hantuk banyak, belahaniya teher kadi olahan ing
Angsa, Pancha-Wali Karma Madya, nga, Caru iki.

Mwah salwir ing Pancha Sanak Agung Alit, wenang dulurana sasayut Durmanggala, Prayascita
Lewih, Sasayut Pancha Kelud, Pamyak Kala mwang Pamangguh Pamali agung alit. Kraman ing
Caru iki, pateh pamargine kadi kraman ing Caru Pabcha-Sanak Hagung.

Mangkana kramaniya, haywa salah harep.

Nihan Caru Pancha Rupa Pancha Klud, ngaraniya weneh, lwirniya :

Bebek bulu sikep, Chneyan genahniya, malayang-layang; daginge holah ketengan, 88, 1 karangan,
sami Suci dandanan sowang.

Hasu bang bungkem, Nairiti genahniya, malayang-layang, daginge holah ketengan, dadi 33,
karangan, 1.

Kambing, Wayabya genahniya, malayang-layang, daginge holah ketengan, dadi 21, karangan 1.

Hangsa, Aersaniya, genahniya, malayang-layang, daginge holah ketengan, dadi 2 karangan, 1.

Hithik blang kalung, ring Madya genahniya, malayang-layang, daginge holah, dadi 88, karangan, 1.

Satha putih, pur genahniya, holah ketengan, dadi 5.

Satha wiring, Da, genahniya, holah ketengan, dadi 9.

Satha putih syungan, Pa, genahnya, holah ketengan, dadi 7.

Satha ireng, U, Genahniya holah ketengan, dadi 4.

Satha brumbun ring Madhya genahniya, holah ketengan, dadi 8.


Padha ngawa jajatah lembat hasem mwang calon agung, seganiya hanut warnan ing dik widik.

Iki Caru Pancha Kelud, nga, ring Sanggar Macatur Rebah, Mapulangembal, 1, bantene ring tengah.

Tanahe maraja Yamaraja, luhur ing Rarajahan, kebatin kasa, raris dagingin tepung putih, marajah
Yamaraja, dagingin banten, kadi kramaniya nguni.

Caru iki maka patang soroh, yan anggen ngalinggihang dewa ring Parhyangan hagung halit,
Wrehaspati – kalpha hagung, nga, Swakaryane. Kalinganiya, Wrehaspati, nga: Ngayahnya Dewa ;
Kalpha, nga : Sepakara Banten. Adyapi hanggen Pamungkah Makihis ring Parhyangan agung alit
wenang, ngamadhyanin, nga, swakaryane, Mapadudusan agung kawenanganiya. Kaweruhakna
sorohan ing banten agung alit, hywah hipal-hipal, hanutakna kaya ling ing Widhi-sastra Kusuma
Dewa.

Yan tan hanur ri kaojaran ing sastra Kusuma Dewa, tinemah den ira Sang Hyang Kala Suniya,
huwus ing karyaninya matemahan rusak sang akarya, hamanggih bhaya agung, kahawa dening
Tukang hangrucuk, Tukang Patemon, Tukang Tejagra. Haywa pepeka, apan hana Sang Hyang
Sastra Widhi Krama. Telas.

Nihan kraman ing Caru Walik – Sumpah, kang utama, lwirniya : pur, Hangsa Winangun hirip,
dagingnya holah, dadi, 55.

Da, Bantheng Winangun hurip, dagingniya holah, dadi 99.

Nai, Hasu bang bungkem, winangun hurip, dagingniya holah lah dadi, 33.

Pa, Kambing winangun hurip, dagingniya holah, dadi, 77.

U, Celeng plen, winangun hurip, dagingniya holah, dadi, 44.

Ma, Kebo winangun hurip, dagingniya holah, dadi, 88.

Pabangkitniya, 1, soroh genep, ketenganiya nganut dik-widik, pangkunaniya nganut dik-widik,


sorohan, kawisan, karangan, glar-sanga, cawu pangrekan. Malih banten ring Panggungane
Pabangkit ageng asoroh. Malih bantene ka Surya, teher kadi nguni.

Muwang Padudusan ring harep Sang Amuja, Suci, 2 sasantun genep, grudha padudusan, pras pungu
– pungu, pras pachawara, kren, kekeb, pagedangan, cevepan, catur kumbha, payuk, 8, duwengan
mawarna, buhu, hisuh – hisuh, tepung tawar segawu, taluh, pras sang alabha, keklentingan,
kuskusan, soksokan, hilih, prabot manusa genep, dhadhampar, tikeh dadakan, tekang ing Prayascita
Gumi, Durmanggala Prayascita.

Yan pabalik sumpah ring madhya pangambila, kramaniya tanggal kadi nguni, kewala tuna kebo,
magentos antuk bebek welang kalung, pancha sathaniya teher kadi nguni.
Yan Malik Sumpah nis-tha pangambile, yan ring desa-desa ring gaga, ring sawah, kramaniya,
angunuh Hasu Bang Bungkem, olah genep winangun hurip, dadi, 9, tanding, mawadah sangkwi,
seganiya, mawadhah rwan ing tlujungan, magenah herep naititi, Hangsa mangkana, olahniya dadi,
55, genahniya marep purna mwang pancha satha, olahniya kadi nguni.

Ring Sanggar Tawang, Caru, telung dandanan, Mwah ginawe Dangsil, Pisang Ghana hadegakna ro.
Mesi sumbu lalima, padha srembengana, kang ring puncak, banten penek bang sanunggal, iwak
satha wiring pinanggang sanunggal, masampyan handong bang, maduluran sarwa phala-bungkah
phala-gantung. sakwehe sumbu ika, padha maka lalima, kang sor ing puncak, caru katipat padha
makelan sowang-sowang, mwang raka-raka, pucang sereh, mapulawa handong bang, paku pidpid,
sakwehe mapulawa mangkana, mapenjor, 2, madaging sawaliha ring sawaha, majonthek klapa
kulitan padha, 2, bungkul, genahakna ring harep ing Sanggar Tawang.

Ring genahe Macaru, dulurana sasayut agung, sasayut katututan, pangambeyan, peras panyeneng,
lis dadwa, sasawah padha Ngusaba.

Wus tinoyan, lisana, masegawu, tepung tawar, wai ring kumba, patatabana kang sawah, sasayut
pangambyan, pras panyeneng.

Mwah kang Caru ring Sanggar, karuhun tinirten mwang dangsil ika tpyakna.

Ikang Caru ring Sanggar Tawang ring luhur, katur ring Bhatara Cri.

Ikang Caru ring sor, ring sarwa bregalan ing sawah, sasayut pangambeyan, katur ring Bhatara Çri,
pras lis mwang sarimpen, tan kari lawan iringan Bhatari Çri, mukyan ing pari.

Mwah ring desan ira, guling Pabangkit bawi asoroh, mwang saduluraniya, mwang gayah, penek
petang dasa bungkul. magenah ring lahapan.

Sanding ring sang ngawya tirtha, caru suci sadandanan, peras sanunggal, lis, 3. Mangkana
kramaniya wang asasawahan, abresih kang pari.

Nihan Kramanin ing Mamalik Sumpah ring Carik, ring Desa ring Karang Paumahan, genep salah-
salah ing Pabanten ring Hasagan, guling pabangkit, celeng Gajah, sulampitan, glar sangha, jangan
sakawali.

Mwang ring Sanggar, ring harep sang amuja, banten suci sadandanan, pras lis.

Ring tanggun Bale Agung genah ing Hasagan.

Ring Caru, takep-takepan hanut watek, mawadah sangkwi, 5, sajeng sabarerong, pras lis,
byakawon, asu blang bungkem hebat genep, daksinaniya, bras, 3, catu, gedhang satangkep, lawe
satukel, artha, 1700. Pras Gayah, jinah, 500. Guling, 1, ayam ….. bebek, 3, tekaning cucukan, jun
pere, 1, kumba carat hanut watek, klungah, 5, manca warna, hisuh-hisuh genep, takep-takepan
hanut watek.
Celeng, 9, ping 5, bebek, 7, ping 5. Syap, 5, ping, 5, sudang taluh, 3, ping 5, huyah areng, 1, ping 5,
Tibakna ring sangkwi, 5.

Corok ing klungah ;

Nyuh Sudhamala …………………… 9 ……………………… Nyuh Nyamblung 11

Nyuh Gading ………………………… 7 ……………………… Nyuh Bajulit 5

Nyuh Tabah …………………………. 3

Mwah jinahniya hanut caratniya, matali benang tri datu.Yeh anakan tibakna ring dyun.

Yan Hamalik Sumpah ring Carik, dumun hamuja ring Hulun Carik, klungah ika paro, ka Hulun
Carik, 2, ka Bale Agung 3. Ring Tilem Hamalik Sumpah.

Yan ring Purnama Hangayu-hayu ring Bale Agung, kramaning banten kadi nguni, Matani Haluh,
nga, raris ngalebarang. Ika wenang magawe swasthan ing nagara, apan nganut Niti krama kadi
nguni. Banten ring Pangulun Carik hasoroh, saha guling pabangkit, mwang catur kumba, pane kren,
pangedhangan. Mwah takep-takepan wawalungan, makadinya, Kbo, pur, 50. ghene, 80. Da, 90 nai,
30 pa, 70 wa. 10 u, 40 ae, 60. ma, 80. Telas.

Nihan kramaning Caru Pancha Wali Krama, lwirnya :

Marep, Pur, Sampi, Da, Manjangan, Pa, Kidang. U, Kbo. Ma, kambing blang.

Mwah rarajah ing Wahana, Pur, lembu. Da, Mregha. Pa, mong, U, Grudha, Ma, Padma.

Mangkana rarajah ing Wahananiya.

Rajah Penjor : Pur, Bajra. Ghene, dupa, Da, Dhandha. Nai, Kadga, Pa, Pasa. Wa, Dhwaja. U,
Gadha. Ae, Hangkus. Ma, Sahanan ing sanjata Pahideran.

Niyan tingkahing Caru Tawur Gentuh, Nga :

Ngadegang Sanggar Rong, 3, munggah suci laksana tiba, 4 Soroh, macatur wodhyaghana,
mapancha saraswati, kiwa tengen citra gotra, siwa bahu, pucuk bahu, papadha, dewa-dewi, tegen-
tegenan, bebek hayam, sasantun gede, saji, 4, soroh, rantasan, 2, pras, 2, ajuman, 2, bebek, 16, siki,
sasantun saka bwatan, utama, 16000, madhya, 8000.

Ring panggungan pabangkit asoroh, genep sahadaniya, pagnen.

Ne ring sor, bantheng winangun urip, daginge olah, dadi 55, purwa gnahniya.

Hasu Bang Bungkem, Winangun urip, daginge olah, dadi 99, Daksina genahniya.
Kambing, winangun urip, halahniya, dadi 77, Paschima gnahniya.

Celeng Plen, winangun urip, olahniya dadi 44, Utara genahnya.

Banyak winangun urip, halaniya dadi 55, ring sor genahniya.

Kbo winangun urip, olahniya dadi 88, ring Madhya genahniya. Hangsa winangun urip, dadi 1, ring
Urdha gnahnya.

Mwang sorohaniya, pangkonanya, hanur widik-widik, tembekur hanut dik-widik, cawu dandanan
hanur dik-widik, tulung matangga nut dik-widik, cawu pangrekan, suci asoroh, daksina, sasantun,
glar sangha, nasi soka, bakaran, tuwak arak berem, 21, yeh padha mawadhah sujang, duwegan
pateh sowang-sowang, masanggah cukcuk, hanut paideran, macaniga don byu, mapalawa aha
bahas, ketenganiya hanut pangideran, pangkonaniya padha nunggal sowang, babakarane padha
nunggal sowang.

Mwah Pancha Satha winangun urip, olah anut pahideran, ring tengah, suci, daksina, sasantun,
sorohan, karangan, gelar sangha, bayuha, bakaran, ketenganiya, hanut paideran, pangkonaniya
hanut pahideran, harthaniya nut dik-widik : pur, 555, Da, 999. Pa, 777. U, 444. Ma. 888. Ring
addhah, 555. Ring Urddha, 111. Ma-Yamaraja.

Niyan indik Caru Tawur Agung, Nga :

Ngadegakna Sanggar Tawang, rong, 3, munggah suci, 4, soroh, macatur wedhya ghana, pikulan,
pancha saraswati. Pucuk bahu, Siwa bahu, papadha, saji kiwa tengen, 4. Citra gotra, guru hagung,
pras ajuman, bebek ka surya, 22, dewa-dewi, rantasan, sasantun ageng, nyuh, 8, sowang. Ring sor
pagneyan.

Ring Panggungan pabangkit agung, 2, slam kapir, hulam bebek putih jambul, saha dangsil
hapasang, tumpang, 5, gnep sahedan ing pabangkit agung, makaras.

Caru ring sor, kang marep Purwa, Sampi Wiangun urip, halahniya dadi, 55. Daksina, Majangan
Winangun urip, holahniya, dadi 99. Paschima, Kidang winangun urip, holahniya, dadi 77 Yan tan
polih Kidang, wenang rarajahaniya, holah-holahaniya gentosin hantuk bebek putih winangun hurip,
dagingniya holah, dadi, 44.

Ikang padha duluranan pabangkit sowang-sowang.

Mwah ring Addhah, Banyak winangun urip, dagingniya holah, dadi, 55, dulurana pabangkit.

Mwah ring Urddha, Hangsa winangun urip, dagingniya hingolah, dadi, 1, dulurana pabangkit.

Ring Madhya, Kbo winangun urip, dagingniya holah, dadi, 88, dulurana pabangkit.

Ring Gheneya, Luwak winangun urip, dagingniya holah, dadi, 88, nora mapabangkit.
Ring Nairiti, Hasu Bang Bungkem, winangun urip, dagingniya holah, dadi 33, nora mapabangkit.

Ring Bayabya, Penyu winangun urip, dagingniya holah, dadi, 22, nora mapabangkit.

Ring Aersaniya, Kambing winangun urip, dagingniya holah dadi, 66 nora mapabangkit.

Mwah Ayam Mancha-warna winangun urip, holahniya nganut ketengan, nganut dik-widik,
kawisaniya, 1, sowang. Karanganiya 1, sowang. Gelar sangha, 1, sowang. Babakaran, 1, sowang.
Pangkonaniya, nganut pahideran, tulung matangga, nganut pahideran. Tambekur nganut pahideran.
Cawu dandan nganut pahideran. Takep-takepan nganut pahideran. Kakepuhniya nganut suku. Telas

Iki Banten Maguru Piduka, lwirniya :

Suci asoroh, sasayut pangambeyan, salaran bebek, hayam, sami hurip, tegen-tenganan, tumpeng
guru, 1, mahulam bebek putih, pras panyeneng, sasantun, soddha putih kuning makembaran,
maduluran sasayut dirgha-yusa-bhumi.

Iki Tatebasan Bendu Piduka, nga lwirniya :

Tumpeng, 1, matatakan kulit sasayut, iwakniya rarasmen, sudang, taluh, tulung, 1, canang pawitra,
maraka jaja bendhu, mwang woh-wohan, sampyan nagasari.

Tatebasan iki hingangge kalan ing hanedhuh ing desa.

Iki Tatebasan Guru Piduka, nga, lwirniya :

Tumpeng, 1, mapucak manik, matatakan kulit sasayut, iwakniya ithik ginuling, 1, tulung agung, 1
kwangen 3, sampyan naga sari, canang pahyasan, katipat sidha purna, 1 raka woh-wohan.

Mantran Maguru Piduka, Ma :

Om Sang Hyang Pradhana Hyang Purusa, Hyang Ciwa Guru, Hyang Surya Candra, manusa ira
Maguru Piduka, hangaturaken pamahayon, wus katanggapana de Sedahan ira Bhagawan
Panyarikan, enakan ira Bhagawan Citra Gotra/Gotri, manusan ira hanembaha Citra tangan karo,
hanedha sinampura, manawi wenten sabda sawud, campur, liyok, lepas pangucap, sampun ta
ngadakaken ta ya sukrectha, manusan ira haneda tirtha Dharmamretha, Hyang Iswara, Hyang
Mahesora, Hyang Brahma, Hyang Rudra, Hyang Mahadewa, Hyang Sangkara, Hyang Wisnu,
Hyang Sambhu, Hyang sarwa Dewata, manusan ira Maguru Piduka.

Om Sidhir astu ya namah swaha.

Mwah Tatebasan Guru Piduka, nga, lwirniya :

Bras akulak ginawe tumpeng, mapucak hati, taluh, tumpenge maplekir busung, iwakniya hayam
putih panggang, haledniya kulit sasayut, dasarniya bras akulak, lawe satukel, hartha, 225.
Sasayut Dhirgha yusa-bumi, nga, lwirniya :

Tumpeng, 9, bungkul, matancheb sekar tunjung sowang, kwangi, 9, hartha, 2, sowang, munchuk
dhapdhap padha makatih sowang, sampyaniya padha ngawa, iwakniya satha brumbun pinanggang,
1, raka sarwa galahan, sedhah woh mwang woh-wohan, pancha, phala, dadi hadulang.

Iki Sasayut Prayaschita Gumi, nga,

Ri kala gumin ira sang ratu, katiben durmanggala, upakaraniya, tumpeng, 9, warna, hanut genah
tataning gumi, penek, katipat sidha purna, katipat pandhawa, katipat sari, tulung urip, tulung
sangkur, raka woh-wohan sarwa, 5 bantal pudhak, 5, pisang gadhing, 5, iwak tihik putih ginuling,
lis busung nyuh gadhing, tkan ing sampyaniya, pras penyeneng, sesantun jinah, 400, tumpeng di
tengah, medaging horthi, sekar hanut warnan ing tumpeng. kwangi, 9, tunjung tri warna, penek ike
tanehebin sekar sulasih mrik,munchuk dhapdhap, tatebus, 9, warna, canang arum, saha abresihan,
klungah nyuh gadhing kinasturi, dagingin bras kuning, skar kungning, Yan nora nyuh gadhing,
siwur cemeng wenang, medaging toya hempul. Sang Pandita hangastrenin. Kukundanganiya : Ma:

Pukulun Hyang Iswara, Hyang Mahesora, Hyang Brahma, H Hyang Ludra, Hyang Mahedewa,
Hyang Sangkara, Hyang Wisnu, Hyang Sambhu, Hynag Siwa, Paduka Bhatara sowang, harotistha
gumi, hamurnaken letuh ing jagat kabeh, hangunduraken gering kamaranan ing jagat kabeh,
hantukaken pramanan ing jagat, makadi pagehan ing Sang Hyang Candra, hane lehin jagat,
mangkana pageh Hyang Nawa Sangha, masarira ring jagat kabeh, mangkanan Bhatara Sowang-
sowang.

Panglukataniya, panawa ratnan, pangastrenin, dulurin panglukatan saka weruhta.

Yana ngange sasayut hiki, phalaniya pageh bang sarwa Dewa mahyang ring bhumi ira Sang Prabhu,
gering madoh sing tandhur wredhi. Telas.

Niyan tingkah ing Mapag ring Hampelan, lwirniya, Banten sorohan, 2, soroh. Katur ring Badugul,
1, ring Panghulun Empe lan, 1. Rawuh ing Pancawan Pancha Satha.

Ring Penapin toya asoroh, maduluran gayah, nasiniya beras hacatu, lebengiya dadi pangkonan, 1,
jajatah gayah lembat asem, jajatahniya hanut gaideran gayah, manistha madhya utama, jinah
daksinaniya, utaniya, 1700, madhya 700, nistha, 500, nisthan ing nisthan, 250.

Salaraniya genep, bebek putih, hayam putih, bras ketan injin, tgen-tegenan padha macatu, tibakna
ring teya. Telas.

Nihan pratingkah Macaru ring Tatumpur,

sasah merana wang makweh gering ngebus, ngelempuyeng, ring Desa Tepisiring Samudra, wisya
Bhatara Baruna mirogha mwang Kala Bhatara Tengen ing Sagara (Samudra), ngawesyanin, tan
kaparisudha den ing Dharma Hosadhi, kadulurin pamirogan 1 Macaling, ring Kahyangan ring Hyas
Muntig, ring Desa Nusa Bali, ri kalan ing sasih Cetra, yatika rawuh hangrubhedanin desa tepin ing
samudra, hangadakaken gering tutumpur, sasab marana, hamati-mati jnama.
Teka wenang Sang Bhupalakeng Rat, yatna rumakseng rat, hangawe kanayon kanayon ing wadwan
ira, hamanggih dirgha yusa, teka wenang gewenen Caru, Patawuran ri tepin ing samudra, ri hiring
ing sadesa-desa wenang, lwirniya ;

Ngagakna Sanggar Tutwan, munggah suci, 2, dena sangkep, ri sor ing Sanggar Tutwan, pageneyan ;
maduluran sa-krama desane maturan canang daksina, katipat kelanan mwang sodha saha rakaniya,
malih masalaran ithik putih, saha tegen-tegenen dan asangkep, banten ika mapulang ring sagara,
katur ring Bhatara Baruna, maduluran bawi. Mangkana kramaniya.

Mwah hana labahan I Macaling, bawi butwan, 1, masambleh, mwah ithik blang kalung, segehan
agung, mapotong ayam wiringmanih sega pangkonan, 5, pangkonaniya maiwak bawi maholah dena
genep, sajeng rateng, twak waragang, dhaksina, hartha, 777. Mangkana kramaniya. Telas

Nihan hupakara Malabuh Gentuh ring Segara. Lwir upakaraniya, kadi tingkah Ngeka-Desa-Rudra.

Ring Purwa, guling pabangkit bawi, ithik, 2, soroh, sarwa putih sowang, upakara desa sangkep,
guling pabangkit ithik putih.

Munggah ring Sanggar Tutwan, suci,2, soroh, macatur wedhya ghana, saji dena genep, sakabehniya
sarwa putih mapanggung, genep upakara ing panggungan. Rawuhing Sang Amuja mabhusana
sarwa putih.

Mwah ring Daksina, upakaraniya tunggil kadi ring wetan, nanghing sarwa bang.

Mwah ring Paschima, upakaraniya tunggil kadi ring Daksina, nanghing sarwa pitha.

Mwah ring Utara, upakaraniya tunggil kadi ring Paschima, naghing sarwa ireng.

Mwah ring Madhya, ngedegang Sanggar Tawang rong Tigasana, madudus agung mapeselang,
matiti mahmah kbo luh muwani. Munggah suci ring Sanggar kiwa, 2. Ring Tengah, 3, mawedhya,
maghana pikulun, macatur pandhiri, mapancha saraswati, masaji genep sowang, nanapan mas,
mawadhah kada wadhah pasuciyan, cempungin mirah tri warna, munggah ring Sanggar Tawang.

Upakaraniya pabangkit macha warna, pabangkit, 2, makaras.Malih upakara Panyegjeg hyanamadha


hasoroh, kadi paniegjegang manusa, taler maguling pabangkit hageng, makaras, maduluran dangsil,
2, tumpeng, 11. Malih pabangkit ithik, 1, mapanggungan agung. Sang amuja mabhusana sarwa
mancha warna.

Malih pracarune tiningkah Pancha-Karma, tunggil hupakaraniya.

Malih ring Cheneyan, pabangkit, 1, hanut warnan pahideran, masanggah tutwan, nora madudus ring
pamujan, kewala sopakaran ing panglukatan, genep kadi nguni.

Padha ngawa ring Neriti, ring Wayabya, ring Aersaniya, padha ngawa pabangkit padha masoroh,
sanggah tutwan padha ngawa, munggah suci padha, 2.
Sang Amuja padha ngawa, nganut wanan ing gumi.

Caru : Kbo, Wedhus, Bantheng, Banyak, Ithik, Hayam, tiningkah kadi Pancha-Wali-Karma,
kengentakna.

Malih upakara ring Hyang Kala Suniya, sane nguyup wain ing segara, doniya pasang surud, guling
pabangkit bawi hasoroh, suci, 2, soroh, maduluran banten katipat kelanan, muwang salaran sarwa
pikulin, bras, kertha injin, padhama pikul, rantasan saparadeg wedhus, bantheng, ithik, hayam
banyak, ika kumlaken winadhahan phalwa, Sang Pandhita hangastranin ring lawut, mantra de ing
Kala Suniya Murthi.

Mwah sahanan ing Hyang pangadegan Dewa, tedhunakna ring samudra, maprayaschita,
sakramaniya, kadi Mahelis, sarwa pangadegan dewa, pramangke budal, ngungsi pasembyangan.

Upakara Malabuh Gentuh ika, ring Tepin ing Segara, nutugang tigang rahina, raris Ngaremekin,
wus mangkana, geseng Sanggar Tawange, hanyut ring samudra.

Mwah ri kala Malalasti, pangadengan Widhine, lebuhe ring Parhyangan, jemput bilang bucu
mancha desa, wadhahin kwangen, hanyut ring samudra, hidhep hanyut letuh ing bumi.

Mwah sapurin Sang Amengku Bhumi, lebuhe ring puri, wadhahin don kumbang, dulurin dawun
Kayu Tulak, buncal ring segara, Ngakeludang letuh ing jagat, nga.

Mangkana kramaniya, Ngaturang Tawur Labuh Gentuh ring segara, yang nora mangkana
kramaniya, phalaniya tan sidha karya, hanghing yan taher linaksanan, yang nora kadi ling, sastra
iki, banchana kapanggih, sarwa pasu haningat ngamuk, kapwa krura, pangadug Hyang Kala Suniya,
tekan ing sang ngamong karya bhaya.

Iki Cnadhi Narmadha Tatwa, nga.

Iki Widhi Sastra, saking Niti Bhatara Putra Jaya, malinggih ring Basakih, katama ring Sang
Sadhaka kina-kina, sapratingkah Sang Aji Bali, harmunja Hyang, selwir ring upakara Dewa,
Makihis, makadi Tawur, ring Çasih Cetra masa kawenang niya.

Haja Sang Ratu ngelyanin ring sasih tileh ing Cetra, Hala kajar ing sastra, kabheda holih sarwa
Bhuta.

Malih kahalangan hantuk wuku Dunggulan, Langkir, Medhangasya, pujut, pahang, ika tan wenang
ngawangun gawe hamuja Hyangyan nuju wedhalan Hyang wenang.

Mwah Pancha-Wali-Krama, Tawur, tan yogya marginin saking wuku Sungsang, Dunggulan,
Kuningan, Langkir, Madangsya, Pujut Pahang.

Yan wusan wuku pahang wenang, yan nuju tilem ing cetra, sawusan wuku Dungulan, sabanen
Budha Kliwon Pahang, haywa ngawangun Tawur, phalaniya tan sidha karya, Dewa malalis
phalaniya.
Iki Karya Caru Pancha-Wali-Krama, nga, lwirniya :

Caruniya ring Purwa, Goh Winangun urip, dadi, 50, sangkwi.

Sastra galahan, calon galahan, sasate watang, 50, pabangkit putih, 1, suci, 2, soroh, guling bawi.

Ring Daksina, Kidang Winangun urip, dadi 99, sangkwi.

Sasate galahan, calon galahan, sasate watang, 90, pabangkit habang, 1, suci, 2, soroh, guling bawi.

Ring Paschima, Manjangan winangun urip, dadi 70, sangkwi.

Sasate galahan, calon galahan, sasate watang, 70, pabangkit kuning, 1, suci, 2, soroh guling bawi.

Ring Utara, Kbo Yos Brana, kang durung rinapitan, winangun urip, dadi, 40 sangkwi.

Sasate galahan, calon galahan, pabangkit hireng, suci, 2, soroh, guling bawi. Ne ring Madhya Wiw i
winangun urip, dadi, 80, sangkwi.

Sasate galahan, calon galahan, sasate watang, 80, katih, pabangkit mancha warna, 1, suci, 2, soroh,
guling bawi terus gunung, 1.

Cawu dandanan sakadi nguni.

Malih ring Madhayayan, pur, bebek putih, dadi, 5 sangkwi.

Da, hasu bang bungkem, dadi, 9, sangkwi, Pa, banyak, dadi, 7, sangkwi. Ut, bawi plen, dadi, 4,
sangkwi. Ma, bebek blang kalung, dadi, 8 sangkwi.

Tkeng sasate mwang calon, sami galahan, seganiya padha nganut urip mancha wesa, pabangkit
asoroh, harthaniya ketengen, hanut pahideran mancha desa, tekan ing caloniya, jinahniya ketengan.

Yan ing utama pangambila, Sanggar Tawang Rong Tiga, maka 5, munggah suci, padha, 4, soroh,
kadi nguni.

Yan madhya pangambila, sami munggah suci, padha, 2, soroh Sanggarniya Sanggar Tutwan.

Sang Amuja, Brahmana, 1, senggu 5, saka bwatan wedhaniya mwang pangas thawaniya ring
Bhatara sami, saha dhaksina, padha sakotama.

Saha pepenjoran,petungniya kineri desa bresih, plawaniya handong, maka sami wawanguniya
premangke.

Malih bentene ring Panggungan, pabangkit agung, 2, soroh suci, 4, guling ithik putih jambul, 1,
nganut aji saptawara, saha pikulan mwang dangsil apasang, tumpeng, 5, tkeng pangiring,
maduluran holah-holahan kabeh, padha makawisan, base hambungan, bwah banchangan, tkan ing
balung kikil, 2, pisang jati, tigasan, tkeng phala bungkah, phala gantung, makadi tales, 1, rantasan,
2 prapradeg, saha penjor kadi ring arep. byu lalung, dawudhuh peji, padha, 2, tumpeng maneha
warna, genep sakraman ing Panggungan.

Mwah bantene ring padhangan, adegakna Sanggar Tawang, Rong Tiga, marep Utara, munggah suci
laksana, 4, soroh, catur wedhya ghana, 4, soroh saha pagenen, glarsangha, cicirik bang bungkem,
hithik blang kalung, holah-holah kadi nguni, hasu dadi, 9, sangkwi. Hithik dadi, 8, sangkwi. Hayam
manca warna, nganut dik-widik, hayam putih dadi, 5. Hayam biying dadi, 9. Hayam putih syungan,
dadi 7. Hayam hireng dadi 4. Hayam brumbun dadi, 8.

Malih Bhagya-Pula-Kreti, saha pring, 2, pasang, wastra rong peradeg, pabangkit hagung, 2, pasang.
Slam kapir, kayu mas slaka, tkan ing kembangniya mas, tkeng rarawenia, janma lakistri, kris saha
bhusana, harthaniya, 16000, bungkung, 2, masoca mirah, skaruraniya, hartha, 1700, kakrecen
sakotaman, bungkung masoca mirah ring sekarura, wastra, 5, warna, gnep sahupakaran ing
Padhanan.

Wedhus tapakan Bhatara ring Sanggar Tawang, Kbo tapakan Bhatara ing Paselang. Yan ring
madhya pangambile, Hangsa tapakan Bhatara ring Sanggar Tawang, Wedhus tapakan Bhatara ring
paselang, tepung putih ring Yamaraja, nora ma-Kbo, pabangkitniya, 1, harepan Widhene,
pabangkite matumpeng mancha warna.

Ring Caru pabangkit, 1, carune pah ro, kakreceniya ngamadhyanin, papendhemane ring harep,
paripih mas, masurat udang, selaka masurat nyalyan, tambaga masurat yuyu. Dewane halitan sami
paripih, mawadah rapetan kadi nguni, guling gayah, 1, nganut aji sapta-wara, satakan, 1. Ring
Panggungan pabangkit, 1, sapratingkah kadi ring arep.

Malih ne ring Padhanahan, tan pajanma, tan palembu, tan pakayu, kewala kris apatuba, maka
wenangniya, sapratingkah kadi ring arep, teher maharep utara, jinahniya, 8000, kakreceniya sami
ngamadhyanin.

Mwah yan nistha pangambile, munggah suci hapatut ipun, Mayama-raja, nora mapabangkit
kapretiwi, kewala harepan widine mapabangkit, padagingane, kewala paripih kadi nguni,
pangorengan, rapetan, prabot dena sangkep.

Ring Paselang wedhus tapakan Bhatara, ring Sanggar Tawang matapakan Angsa wenang. Carune
lawa ro.

Ring Panggungan, pabangkit, 1, suci, 2, soroh, sapratingkah kadi lagi, padhagingan Padhanane,
harthaniya, 4.000, tan pabhagya pula krethi, tan pakerris, tan patiyuk, sanggarniya, Sanggar Tutwan
marep utara, munggah suci, 2, genep caruniya teher kadi nguni. Mangkana kramaniya, kang nistha
madhya utama. Telas.

Nihan widhanan ing tawur, Eka-Dasa-Rudra, nga,

kaweruhakna pratekaniya, hanut pasang sethananiya sowang-sowang, lwirniya : Ikang Caru marep
Purwa, Gheneya, Daksina, Nairiti, Paschima, Bayabya, Utara, Aersaniya, Madhya, Sor, Luhur.
Samangkana kwehniya, saha Panggungan siji sowang, harahab, lelamak, hapenjor, hawarana pupus
ing lirang. Pratekan ing banten kang munggah ring Panggungan ring Purwa lwirniya :

Gajah, celeng, 1, hingolah desa sangkep, sakraman ing gayah, walulange hutuh, saha jajatah calon.
Tumpeng mawarna, 35, tagok ungang, pabangkit putih, pisang, 2, guling celeng, 1. Tumpeng, 2,
tadhah, 1, pras banten, 1. Mayama, 2, jinah, 25, guling bebek, 1, tumpeng, 2, panggang ayam, 1,
tumpeng 2, Mwah tumpeng 1, mewak sudang taluh. Sasayut agung, 1, mewak guling bebek,
Sasayut Katututan, mewak sudang taluh. Sangga hurip, 1, panyeneng, 1, tanem tuwuh, 1, tulung,
35, mewak sudang taluh, lis, 1, tikeh dadakan, singketan putih, 1, tepung tawar, hisuh-hisuh,
wayahana cuwek, 1, hebu, hayam ireng, 1, malayang-layang; bebek cemeng, 1, malayang-layang.
Tumpeng sadandanan, mewak sudang taluh. Pane, 1, payuk, 1, hingisenan toya hanyar, kuskusan,
helis, sibuh pepek, rwin ing halalang, 108, jinah, 25, jayanti, jaya mandhalu, samsam dawun ing
tibah, wari bang, tahin ing wesi, carak nyuh bulan, kucurniya, 5.

Mwah Carune ring lemah, Hangsa, kinelet winangun urip, wadahin sangkwi mikuh, daginge olah,
jajatah calon sarwa, 50, rateng sasigar mentah sasigar, padha wadhahi sangkwi, 5, makadi sasate
calon, sarwa, 5, wadhahi hanchak-hanchak, 5, ginawa ring tengah, caru dandanan, 5, madaging sega
putih, mahulam hurab barak hurab putih.

Malih papanchak, wadhahi klakat, 2, mewak sudang taluh, 1, mewak hurab bang, 1, takep,
takepaniya, 5, mewak hurab bang putih.

Gelar sanga, jangan sekawali, sega sawakul, sajeng sagecha, rumbah gile. Sega hasok (sokan),
bebek cemeng, 1, kinelet carmane, winangun urip, daginge olah, sasate calon padha, 50, rateng
sasigar, mentah sasigar, hurab bang hurab putih, padha wadhahi sangkwi, dadi, 5, mesi sega wera,
mewak jajatah calwan. Bhaya-kala, panimpug, pras harepan, 1, hayam, 2, hartha, 225, lawe satukel.

Mwah pabantene ring panggungan, pabangkit agung, 1, suci, 2, titindih, kampuh putih akuwub,
hartha, 500.

Mwah banten suci ring Sang Amuja, sadandanan, genep sakraman ing suci, saha daksina genep,
kampuh putih sakuwub, sabuk putih, 1, hartha, 100.

Kunang dandan ing suci, kang munggah ring Sanggar Tawang lwirniya, kadi lagi, genep saha catur
wedhya ghana, pancha Saraswati.

Yan manut laksana ing Eka-Dasa-Rudra, yan ring Purwa, putih; ring Gheneya, dahu; Daksina,
habang; Nairiti, kuning sari; Paschima, kuning; Wayabya, hijo; Utara, ireng; Aersaniya, pelung;
ring Madhya, mancha-warna. Mwah ring Tengah kang Kidul, habang; ring Tengah Utara, ireng.

Mwah hunggwan ing Caru sor, Hangsa, Pur; Wedhus, Ghen; Bantheng, Da; Hasu Bang Bungkem,
Nai; Kbo, Pa; Manjangan, Wa; Irengan, Ut; Hundhakan, Aer; Kidhang, ma; sama padha ngawa sega
kalatkat, kunang ring Madhya rajah Yamaraja, natarniya galempung mancha warna, saha sanjata.
Ring matambeh Caru Sarwa Mangsa, padha winangun urip, walulange katut mastakaniya, lwire :
Wuhaya, Mong, Halu, Mamah, Rase, Luwak, Landhak, Kalesih, Ula, Tikus, Dleg, Be Julit, Lele,
Hempas, Sikep, Gagak, Irengan Bojog, Godogan, Uler.

Salwire padha mangsa wenang, pepek caru kang ring Tengah, sawarnaniya.

Kunang lwirning banten kang munggah ring Sanggar Tawang tumpeng hagung, guru, 1, mewak
kapiting, 1, hantiga rarasmyah, sudang taluh.

Mwah tumpeng agung, 1, mewak ladha hutuh, tumpeng lalampadan, 3, mewak bebek, hingolah, 1.

Mwah tumpeng catur warna, 4, mewak bebek ginoreng, walulange padha hutuh, pisang kembang,
pisang jati, kembang pahes, tadhah-pawitra, sedhah guru, 8, Mwah sedhah mancha desa, 5, Dhuma,
pancha-phala, saraswati, sasamwan, bira, punten, sekul huduk, tambola, dandanan, suci, 5.

Tekan ing catur warna, wedhya ghana pikulan, pancha saraswati, den agenep, lingga, 2.

Mwah ring Sanggar kiwa tengen, dandanan den agenep, sakraman ing suci.

Mwah titindih ring tengah, kampuh putih, 2, kuwub, jinah 450.

Mwah ring Sanggar kiwa tengen, titindih sakuwub sowang. Jinah, 225, sowang, sekah dewa, 2,
banyu kuwung, 3.

Malih titindih ring tengah, 1, hartha, 800, wadhahin wakul, deh kadi daksina, bras rong kulak,
kethan injin, sudang, taluh, byu, nyuh, sedhah, woh.

Mwah Panggungan kang ring tengah, lalamakana kading lagi, hararahab saha penjor.

Banten kang munggah ring Panggungan, pabangkit agung, mawarna sapajeg, tumpeng agung, 1,
guling celeng, 1, suci dwang dandanan, genep sopakaran ing suci.

Mwah saput sarembon, 1, hartha, 800, daksina den agenep, tumpeng alit, 35, papanggang ayam, 8,
guling celeng, 1, guling bebek, 1.

Mwah tumpeng, 2, celeng gayah, 1, holah dena sangkep sarwa galahan.

Mwah tumpeng pamubug, 35, pras, mewak hayam pinanggang, 2, penek, 2, jinah, 11. Tanem
tuwuh, tadhah, 1, mewak ayam, 1. Tulung, 1, mewak sudang taluh. Sasayut agung, 1, mewak guling
bebek. Sasayut Tutuwan, 1, mewak sudang taluh, sangga hurip, 1, panyeneng, 1, Mwah bawi, 1,
ginawe suluh agung den agenep. Mwah suluh balang, den agenep. Layang-layang bebek cemeng, 1,
hayam hireng, 1, daging ing bebek mwang daging ing hayam, holah sasigar, jajatah calon, padha
sarwa, 8, sama winadhahan hanchak-hanchak, sarwa, 1, sowang, mesi sagawu mwang phala
bungkah phala gantung den agenep, pras kamaligi, 1.
Mwah banten tumpeng, 2, mewak hayam, 2, pegu putih, 1, pane hanyar, 1, dyun, 1, kumba-corat, 1,
susu, 8, mesitoya hanakan, kumkuman, 1, sibuk pepek, rwi-rwi, 108, jinah, 25, lis, 1, janur niyuh
warna, 8, samsam rwan ing tibah, waribang, tahin ing wesi, jayanti, jaya manthalu, tumbak maling,
wunut bulu, kamuning, toya mawarna den agenep, tikeh dadakan, sisingkep sarembon, 1, kamaligi,
hubag-abig.

Mwah dawuduh, hampeji, katut wohe, wit ing byu katut wohe.

Mwah wakul-wakulan, 1, mesi bras acatu, hartha, 225, lawe satukel, kadi tingkah ing sasantun, den
agenep, ron ing bunut panggang, hanchak, waringin, 7, langsat, croring, duren, manggis, bulwan,
mwang tegen-tegenan, bras, kethan hinjin padha rong tapis, sudhang taluh, bubungkilan, jawa jali,
woh hijengan, sedhah sagulung, hapuh sawungkus, sahang ron busung, sajeng, sabrerong.

Mwah celeng hurip, 1, basa den agenep.

Mwah celeng; 1, maka daging hempal-hempal; wadhanniya pinggang, 1.

Mwah tambekur, 8, mesi sega wera, daging ing loh, sawah, tambak.

Mwah pras bhumi, 1, hartha, 1000 matumpeng, 2, hayam, 2 lawe satukel, mwang bhaya-kala,
mewak hayam pinecel, lis busung mawarna den agenep.

Mwah kumbha-cacat, 3, pdha susu 8, tepung tawar, sagawu, hisuh-isuh, wadhahin cubek, nyuh, 1,
wadhahi dulang, saha dhaksinan sang amuja den agenep, mwang catur kumbha, kren, 1, mesi
dhangdhang, sega garudha, sega sanga wara, sega tadhah, 1, nyiru, 1, glar sanga, pancha wara,
pancha sanak, sega hanut hurip ing dinan ing karyane, panyucuk celeng pelen, 1, bebek blang
kalung, 1, hayam sudha mala, 1, pari rong tanah, saha prabot ing hanenun, kaping hesi beras, 2,
kulak, jinah, 225, talen ing benang satukel, Mwah nyiru, 1, masurat ghana, lamakana rwan ing
pisang wahu kebur, hanut tarujungan, titihana lalamak rwan ing sembung, mesi sga, hnahakna ring
pretiwi, Mwah tambekur hupih, 8, hesi sga, mewak daging ing sawah, iwak loh, daging ing bhuh,
sagara, taluh tambar, 80.

Mwang sekar taman, pulagembal, pula sakadaton, kalepikan jagarasa, tadhah, halas, sekar katut
dahuniya, sekar pacah, tiga kanchu, dhalima wanta, sempol, mandasuli, bahus, padma, tunjung
sawarnaniya.

Mwah carune ring lemah, celeng hagung, 1, pinaka suluh hagung den agenep, getih sapanjang,
walung gegendhing, sami mentah, penchok kacang, taluh bukasem, sakelan, sesaniya sadhaging ing
hulam mentah, holah den agenep, jajatah calon, hurab bang putih, maka iwak kayogya iwak bawi.

Mwah celeng blang, 1, maka panubuh pinet carmane, winangun urip, winadahan kalabang mikih.

Daginge mentah sasigar, wadhahi hanchak-hanchak, 8.

Kang sasigar mateng, hingolah jajatah calon, sarwa, 80, hurab bang putih, wadhahin hanchak-
hanchak, 8 mesi sga wara.
Mwah caru ring Tri Samaya, tulung, 3, mesi sega putih habang ireng, mewak sudhang taluh.

Mwah caru ring Nawa-graha, tulung agung, 9, mesi sega wara, mewak hebatan celeng, jajatah
calon.

Mwah caru ring Sad Winayaka, nga, kekepuh, 6, mesi sega putih, 3, mesi sega habang, 1, sega
kuning, 1, sega ireng, 1.

Mwah caru Catur Warna, kekepuh, 1, mesi sega catur warna.

Mwah tembekur putih, 1, mesi sega putih, 1, hnahakna ring pabrahman.

Mwah tembekur, 8, mesi sega wera, mewak jajatah calon, sami mentah.

Mwah tambekur ireng, 8, mesi sega wara, mewak jajatah calon, sami rateng.

Mwah tambekur, 8, padha mesi sekar-ura.

Mwah Caru ring Pancha Syan ira, tulung, 5, mesi sega putih, 1; sega bang, 1; sega kuning, 1; sega
ireng, 1; ring tengah, 1, mesi sega catur warna, sama mewak kalendah, susukitan.

Mwah Caru ring Nagara, caru dandan, hanut pahideran bhumi nawa desa, mesi sega sawakul,
mewak jajatah calon, sami sahuyun.

Mwah jangan sakawali, glar sangha, sajeng sagecha, rumbah gile, sega basok, hantiga, 9, sami
padha mapanimpug.

Mwah caru sarwa mangsa, hnahakna ring lemah, ring madhya genahniya, sami winangun urip,
mwang pras, kalamigi, 1.

Mwah pancha satha, pinancha warna, 5, walulange winangun urip, daginge hingolah, jajatah calon,
hurab bang putih, 30, nganut hunggwan mancha desa, mwang huripniya, wadhahi kalatkat, mesi
tumpeng padha madanan, hanut warnan ing pahideran.

Nahan tan widhin ing TARU EKA DASA RUDRA, sidha mamrayasa bhumi, matangniyan sawelas
wiji, hangadegaken sanggar tawang saha panggunganiya siji sowang, den agenep, widhi-widhanan
ing caru, kramaniya, nganut warna pasang sethananiya.

Wusning Eka Dasa Rudra, patawurakna Bhuta Pancha Wali Krama, lwire, hamancha desa marep,
Pur, Da, Pa, U, Ma. Telasning mangkana.

Patawurakna Tri Bhuwana, hangadegakna Sanggar Tawang, 3, saha wangunan siji sowang, U, Ma,
Da.

Wus mangkana, patawurakna Guruniya. Sanggar Tawang, 1, Telas.


Nihan daging Panjegjegan ing Bhumi, lwirniya :

Hana Pancher mawat mas, slaka, tambaga, besi, timah, hiket den ing wenang tri datu, hungkusang
sapisan, tanchebakna ring niyuhe wahu menthik, lebohakna ring tengah ing gebeh, maduluran suci
hasoroh, katipat kelanan, bras, 10, ceheng, jinah, 2000, benang, 10, tukel, muwang sarwa tumuwuh,
pancha phala sarwa besikan, baligo, manas, sin dadi twara hada, genahakna tengah ing gebeh, peji,
huduh, bwah, jaka, sri kikili, 3, hambengan, 3, puhun,

Gebeh ika makamben putih, masabuk putih, sangket, 108, lahit, 108, sangket mas, 1, slaka, 1,
tambaga, 1, besi, 1, timbrah, 1.

Mwah lahit mas, slaka, tambaga, besi, timrah, padha, 1.

Iki Panjegjegan Hyang Narmadha hasoroh, kadi panjegjegan manusa, taler maguling pabangkit,
upakara padudusan asoroh, guling pabangkit ageng, makaras, maduluran dangsil, 2, tumpeng, 1.

Manih pabangkit ithik, 1, mapanggungan agung. Sang Amuja mabhusana mancha warna.

Nihan kraman ing Hanjegjegang Bhumi, hamuja ta karubun, yar wus ing Prama Gangga, tlas iang
Abasma, sahindikan ing sasira.

Sirat ring Sanggar, Astra Mantra, sangkepi. Utpti Sthiti Bhatara ring Sanggar, Dewa Prathista,
Kutha Mantra, sangkepi, haturana Anantasana, Padmasana, Siwakaranani, Pangpadhya, Tarpana
Toya, sangkepi. Raris ngastawa SURYA sakabwatan.

Wus mangkana makarya Panglukatan, mwang Padudusan.

Wus mangkana Masirat ring Bhumi, Astra Mantra, sangkepi. Kang sinambat, ma:

Pakulun Paduka Bhatari Prethiwi, paduka Bhatara Akasa, Brahma Wisnu Iswara, Saraswati, Sang
Hyang Jagat Natha, Sang Hyang Giripati, Sang Hyang Pradhana Purusa, Sang Hyang Triyo Dasa
Saksi, Sang Hyang Lumanglang, den kadi pagehakna tuwuh ing bhumi, jegjeg wetan, pageh kulon,
jegjeg lor pageh kidul, Bhatara Guru hanjegjegang tuwuh ing bhumi, jegjeg kangin jegjeg kawuh,
jegjeg kaja jegjeg kelod, bener adhah, urdhah, apasek apageh, kukuh Sang Hyang Bhumi,
……………………………………………. Om Sri yawe
namu namah swaha, Om Sidhir astu ya namah swaha.

Wus mangkana, linukat ikang bhumi, lisin, Karosodanani, Anantasana, Catur Aswarya, Padmasana,
Utpti, Dewa Prasthita, Sthiti, Kuthamantra, tirthani mwang hayabi, mwang pras. Telas.

Yan Panjegjegan Manusa, mantra iki anggen Pangabhakti, yen alit upakaraniya, ma :

Pukulun Kaki Prajapati, Nini Prajapati, Kaki Citragotra, Nini Citragotra, Kaki Samantara, Nini
Samantara, pangabhaktin ipun hanjegjegang tuwuh ipun, jegjeg kangin jegjeg kawuh, jegjeg kaja
jegjeg kelod, beneh menek beneh tuwun, apageh hapasek, hakukuh Sang Hyang Hurip sarirane ipun
anu,
Om Sri yawe namu namah swaha.

Nihan daging GEBEH PANJEGJEGAN ING MANUSA, lwirniya:

Pancher wat mas, slaka, tambaga, besi, timrah, hiket den ing lawe tridatu, hungkusang sapisan,
tanchebang ring niyuh wahu menthik, lebokakna ring tengah ing gebeh, maruntutan suci asoroh,
katipat kelanan, bras, 10, ceheng, jinah, 2000, benang, 10, tukel.

Mwang sarwa tumuwuh, pancha phala sarwa besikan, baligo manas, sing dadi twara hada, pejang
tengah gebehe, henthik peji, huduh, bwah, jaka, sri kikili, 3, hambengan, 3 puhun.

Gebeh hika makamben putih, masabuk putih, sangket, 108, lahit, 108, sangket mas, 1, slaka, 1,
tambaga, 1, timrah, 1, lahit mas, slaka, tambaga, besi, timrah, padha, 1. Telas

Nihan dharma ing HANAHUR SOT HATHANI HALUH, SASANGI, nga:

Yan Magayah Kbo, angadhegaken Sanggar Tawang mwang Panggungan, saprakaraniya den kadi
lagi, hnahakna iyarep ing Parhyangan, ring genah ing Amegat Sot.

Caru kang munggah ing Sanggar, banten suci, 3, dandanan mwang Catur Wdhya Ghana, Pancha
Saraswati, genep saprakaran ing suci, padha mahiwak guling ithik sowang-sowang, tkan ing ladha
bebek, paripin kanchana, 2, maka lingga, rinajah, Çiwa mwang Ghana.

Mwah caru ring sor ing Panggungan, tadhah pabangkit, pras lis, panyeneng, tahenan, gayah kbo, 1,
pangiring gayah bawi, 1, guling celeng, 1, pangiring guling memeri, 1, tulung, 1, sasayut katututan,
ibu sugih, pula sakadaton, sekar sataman tadhahalas, kaklepikan, jagarasi, padha, 1, glar sangha,
gangan ing kawali, daksina, 1, pamugbug gayah, tumpeng, tumpeng, 35, bungkul. Mwah hayam,
35, siki.

Mwah iyarep ing Sanggar Tawang. Pegat Sot, tumpeng hagung, 1, mawadhah nyiru hanyar, surat
ing nyiru, yan pagatam ring Dewa, iki, ( ). Yan ring Pitara, iki, ( ). Maled kaping, raka sarwa
gelahan, rateng mentah, mawadhah nyiru.

Mwah Panjenukan ring sor iyarep ing Sanggar Tawang, sega mawadhah wakul, 1, mewak jajatah
celeng, 12 katih, mawadhah wakul.

Mwah Katipat Bulayag, padha makelan, padha mewak jajatah celeng, 12, mawadhah wakul.

Muwang jaja kukus kaput, mawadhah wakul, byu mas ahijas.

Mwah tulung, 2 manak padha, 11. Muwang tatandingan, 5, tanding.

Sega mancha warna, Pur, putih, mewak taluh; Da, habang, mewak hurang; Pa, kuning, mewak
kuning taluh; U, ireng, mewak lele; Ma, brumbun, mewak yuyu. Mwah tatandingan, 20 tanding.
Sega putih mewah babayuhan.
Mwah ring Lebuh, ngadegaken Pangubengan, tengahniya madaging Sanggar, caru ring
Sanggarniya, suci sadandahan mwang parerebwan, mewak guling bebek.

Ring sorniya tadhah pabangkit, 1, maguling celeng, 1, pangiringniya guling mameri, 1, gayah
celeng recah, 1, pras, lis, panyeneng, tulung, sasayut, katututan, 1, sasayut, 1, sasayut agung, 1,
tutuwuhan, ibu sugih, padha masiki.

Mwah iyarep ing Sanggar, Pakala-migiyan, maguling mameri, 1.

Mwah ring pangambilan hutange, caru suci sadandanan, parerebwan, bebek, 1.

Mwah iyarep ing Sang Amegat Sot, daksina, 1, pras lis, sorohan, 1, sasayut sidha-karya, panyahag.

Mwah daksina panukun jiwa, 1, mabras acatu, taluh, 1, klapa, 1, byu ahijas, genep saprakaran ing
sasantun, sarwa bungkulan, benang satukel, sasari gung artha, 4000.

Mwah banten suci ring gagaluhan, 1, ring panchuran suci, 1, ring pawon suci, 1, ring bras, suci, 1.

Mwah suci ring parerebwan, 1, sami padha mapaduwuk.

Mwah aket, nistha madhya utama, den kayeng lagi.

Genep saprakaraniya.

Wus mangkana, lumkas tang Dudukun akala-mligi ring Parhyangan karuhun, raris ring sang
masasangi.

Wus akala-mligi, munggah banten ring Parhyangan, mwang lamak saprakaraniya kabeh.

Raris ngabejiyang saha honiyan-oniyan.

Wus ngabejiyang, hasaha, ngalinggihang, ngayabang.

Lumekas Dhang Guru mamuja, PUJA BWAT PARIKRAMA.

Wus mangkana, ngabhakti sang aswat, raris hanicip toyan Çiwamba, saha Tirtha ring Parhyangan,
saha sasayut sidhakarya, lawan sasayut saduluraniya.

Raris hanebas surat pasaksi, hanuli winaca, tkan ing hanebit kang surat, bhasminen, harengniya
curakakna ring papegatan, hariniya, lebwakna ring niyu danta, pendhem iyarep iang Parhyangan,
raris hapaggatan, nyahagang, ngababang, nurunang, madu-adwan, mabyasa, saha kinehang. Telas.

Nahan KRAMAN ING MAPAG TOYA ! dandanan kbo, 1, kalungana suntagi, wastra putih.

Iyarep ing kbo, bras tegenan, saha honiyan-honiyan, mapradaksina, ping, 3.


Wus mangkana, ikang kbo ginawe Titi-mahmah, walulange maksih utuh, daginge oleh den agenep,
sasate calwan, dadi, 8, tanding, mahaled klatkat saha sanga, 8, tanding, saha raka, wak-wakan gnep,
glar sangha, jangan sakawali, mwang segehan.

Mwah ring Panggungan, guling pabangkit, genep salanlan ing pabangkit den agenep.

Dyun pere, 1, buwu, 1.

Dandanan ring Sanggar, suci sadandanan genep.

Sang Amiyos, suci sadandanan, pras, 1, mwang lis, daksina, hartha, 700. Telas.

DINAN ING HAMAPAG TOYA, nangken sasih, ka, 4; ka, 8. Banthangan wong Bali ika, katkan
ing guling, 1, pabangkit, 1, suci, 5, soroh, marechah bawi, 1, hingolah den asangkep, saha
Rentheng, tatajen.

Haturan ring Dewane di Gunung Agung, bras acaru, hinjin hacatu, daksina, 3, padha putih (pethak),
jinah katur ring Gunung Agung, 381.

Mwah ring Dewi Daru ring Batur, haturan bebek putih, 3, daksina, 3, bras, kethan, hinjin, pada
macatu, raka den agenep, lawe satukel, jinah, 333.

Metu tirtha ring Batur mwang ring Pangubengan.

Maka pangenteg, pamapag ring Hulun Swi, ika ne katiru saking Majapahit.

Haci-haci ing sawah duk ring Majapahit, katur ring Semeru, ring Bhatara Pasupati.

Kramana di Bali, katur ring Dewa di Gunung Agung, di Batur.

Hana sapa ring Basukih, ring Bali Basukihan, hasing ngenchak haci-haci ring Hulun Swi, makadi
Panyungsungan Dewane di Mascheti, makadi Bhatari Rambut Sedhana, Bhatari Çri, Hamogha tan
pabhukti sarin ing sawah, WUNG RING PEJANG RING DEPUKAN, RING CATUHAN, pangan
kinum mantuk ring Gunung Agung, ring Batur, sarin ing sawah ika.

Trang tikang bhuwana, sasab makweh, manusa kali sangara.

Mwah Sang Bhaka Bhumi, manyeneng ring Hulun Swi, palinggan ira Bhumi Satumpuk, modhal
mangulon.

Parhyangan Dewan ing Gunung Agung, ring Batur, Limasari, Limaschatu, Gedhong Angnurah
Bhumi, Bhumi Baturnya, Bhykitnya hanaman tlung kelan, bel kbo sacengkang, sambel pedhes.

Malih pyasan hapit lawang, mabhukti katipat padha makelan sowang.

Malih panyungsungan Dewa di Mascheti, mangraksa tikus ika wenang sungsung.


Malih yan hana candhalan ing Hempelan, ring Hulun Swi, wenang Binalik Sumpah, Tingkahe
Hamancha Wali Krama.

Nihan Kramaning NGUSABHA HYANGNING DHAWUHAN, nangken pari wayah, hakarya


Panggungan, tan kari hampiji huduh, mwang pisang katut wohniya, banten sadandanan gnep, bari
hingol.

Winangun hurip mwang sarwa sisih, babi, limpa, hati, pupusuh, babwahan winadhahan hanchak-
hanchak, mesi banten takep-takepan, dwang hanchak-anchak mesi padha, 100, slem sasigar, putih
sasigar, padha, 50.

Caru dandanan hanut takep-takepan, yan putih, putih caruniya; yan hireng, hireng caruniya; ring
tengah ing hanchak-anchak, banteniya padha-padha wadhahin lamak tan panglong, calon dandanan,
20, barabas, 20, wadhahin hancha-anchak, tengah ing hanchak-anchak, mesi banten kang
mawadhah lamak tan panglong, 1, jawung-jawung, 2.

Mwah banten kang ring Sanggar, sakraman ing banten suci sadandanan den agenep.

Mwah bantene ring Panghulun ing Toya, masanggar cucuk banteniya guling ithik putih, satha pes
talengis mwang jukung-jukungan, layarniya haren ing pisang, layarakna ring hulun ing toya, saha
babanten hatanding genep, hendongan, hasyani, jaja saha raka, lis lebeng, 1.

Mwah sor ing panggungan, pasegeh, panyehag, 11, mawadhah nyiru.

Mwah bebek, 1, hayam, 1; Mwah ring panggungan, kayesin ing pasilih.

Mwah agawu, tepung campah.

Mwah sangku hisyani toya nirmala.

Mwah yan harep Amapag, teher kadi kecap ing arep.

Nihan kraman ing WANG HANGANGKID, hangadegaken Sanggar Tutwan, caru, suci dandanan.

Mwah ring sor, ca, pabangkit, 1, tumpeng, 2, papanggang ayam, 2, grih agung, 2, kapiting, 2,
hantiga, pelas, gedhang, çri, padha, 2, pras,1.

Mwah tumpeng bira, 1, tumpeng agung, 1, mewak guling ithik, 1, hurang agung, pisang kembang,
pisang jati, pane hanyar, 1, saha ririhan, mesi pirak, 25, panebasan, jinah 777, kaya daksina,
kampuh saparadeg, lis dyun, kuskusan hanyar, siwur pepek.

Nggwan ing acaru, ri tepin ing samudra ring lwah agung kunang.

Hana duluraniya WANG ANGANGKID, saha tegen-tegenan, bras, kethan, hinjin, mwang salaran
ithik ayam, mwang jukung-jukungan, mesi banten dandanan, lebwakna ring samudra. Telas.
Nihan kraman ing BANTEN PASELANG, lwirniya : Hangandegaken Sanggar Tutwan, segenep ing
sanggar, banten kang munggah ring Sanggar, suci tiba ro, 2, soroh, macatur rebah, bale gadhing,
mesi suci hasoroh, mewak ithik ginuling.

Mwah nasi putih hatebog, maiwak taluh mapelut, 6.

Nasi kuning hatebog, mewak ithik putih mabakakak.

Nasi plug hatebog, mewak banyak mabakakak.

Jrimpen kuning 1, jrimpen sirat mawarna, 8 asiki.

Kunang sekarniya, sekar sekasthi, kedhapan Nagasasi, gadhung, sekar cempaka warangan, rajah
ratih candra.

Sekar tunjung, rajah Yaksa, Danawa, Kuwera, Sanat Kumara Surya.

Ikang sekar tunjung, tanchebang ring teboge manasi putih.

Sekar cempaka warangane, tanchebang ring teboge manasi kuning.

Malih wastra cepuk sari, kampung megha mendhung, sabuk cacirupan, sabuk balengki.

Malih bantene ring balen Paselange, lwire : Pulagembal, sekar taman, pakekeh, pula sakadaton,
bagya, ibu sugih, tuwuh-tuwuhan, tegteg bunching.

Malih dhadhagan, mawadah nyiru, patingkeb, pungu-pungu, sapta soca, nawa soca, watu jawa,
ceheng, prahu-prahuwan, mas mirah, wawangi, colok.

Malih ketan, bras, padha masok, dhangdhang tembaga, cil dhateng, mwah papindhayan Rare
Hangon manegakin kbo-kbohan.

Malih jan tebu pangpang tlu.

Pring 2 pasang, ring Sanggar sapasang, suci 2 soroh, lis dhegdheg, wangsul, palangka gadhing.

Malih Dewa Nini, Gagaluh.

Babangkitniya Ardha Nareswari, gulingniya matudag uli tundhun.

Mwah iyarep ing tutwan, matiti mamah, kbo yos bharana, saha olah-olahaniya, pabangkit ireng
asoroh, tan paguling, maled patola sutra, daksina agung 1, hartha 1725.

Dangsil, tumpeng, 5, pagheneyan, mesi suci asoroh, gelar sanga.


Yan MADHYA ring PASELANG, kewala kbo winangun urip, matatakan pitola sutra, pabangkit
hasoroh, hedhaniya kadi nguni YAN NISTHA RING PASELANG, wedhus wenang, holahaniya
kadi harep, pabangkit alit asoroh, sakrama kadi nguni, tan padange.

Yan MANGGE ring WANG, utara, madhya, nistha, pangamete tan padangsil, tan pagagaluh, tan
padewa Nini. Mangkane kramaniya, haywa korup.

Iki rajahning pipil dadagan, den anut widik-widik, saha pasang sethananiya, iti suratniya :

Ghenin ira Bhatara Iswara, Purwa, SAM.

Ghenin ira Bhatara Mahesora, Ghne, NAM.

Ghenin ira Bhatara Brahma, Da, BAM.

Ghenin ira Bhatara Rudra, Nai, MAM.

Ghenin ira Bhatara Mahadewa, Pa, TAM.

Ghenin ira Bhatara Sangkara, Bya, ÇIM.

Ghenin ira Bhatara Wisnu, U, AM.

Ghenin ira Bhatara Çambu, Ac, WAM.

Ghenin ira Bhatara Sadha Çiwa, Ma, IM.

Ghenin ira Bhatara Çiwa, Sor, YAM.

Nihan pracarun ing adudus, caru ring sor, celeng ji hanut hurip ing pancha-warran ing weton,
hingolah dagingniya, den kadi hesin ing panggungan, den agenep.

Kunang sirahniya, balung, buntut, kikil, dalemaniya padha madidik sowang, den maksih mentah,
sampilaniya sanunggal, den masih utuh, winangun hurip, den ing hatingkah.

Kunang daging kang ingolah, rwaniya sega ring nyiru, gelar sangha ring tatempeh, rajah ing nampi,
Garuda hulu kurma, hisen ing glar sangha, sega sakepel, tinumpangan gagechok, jinajar telu,
tambekur hanut pancha-wara, hingisenan sekul, molam gagechok bang, putih, pagu, nga, mesi kadi
tambekur, tadhah kadi kraman ing tadhah, den agenep, poporosan den agnep, pras, 2, tumpeng
wawarnan, kayesin ing panggungan, pisang kembang, pisang jati, papahes, ririhan, hisuh-isuh,
karamas, jangan sakawali, sega sawakul, penchok sepanjang, hantiga hanut pancha-waran ing
weton.

Gambra hingolah dagingniya winangun hurip, tendhasniya, buntutniya, kikilniya, sega sahidan,
urip-uripan, celeng plen, pakanakna ring suku, hayam 2, rupanut pancha waran ing weton,
pakanakna ring asa, bebek, 2, pakanakna ring murdha, huwurana bras apapangan.
Mwah HUPACARAN ING HADUDUS, kuskusan rajah padma, hilir rajah Astra Pasupati, mwang
ikang dhangdhang pane, rajah sarasi, sasenden, rajah kadi hilir. Dyun rajah naga. Kren rajah trisula,
cakra, padma. Caratan, mesi trisula, salaka, Kumbhacarat, mesi trisula, salaka. Kumbhacarat mesi
banyun ing hapande. Wasuhakna ring suku.

Kaklentingan, 4 mesi paripih catur dhatu, mwang astanggi hnahakna ring jayanti jayamantelu.

Rajut ikang kaklentingan, den iang lawe tri warna, lis, siwur pepek, lungguh ing adyus, dadampar
pari rong tenah, tikeh 2, mwang prabot hanenun. Iki papalin ing wong adudus habhicari. Telas.

Nihan tingkah NGETEH-ETEHIN MANUSA, yaniya MADUDUS, risampune punut mapatlasan.

Hambil hambangane mapesel, tebahang ring bawu tengen, ping 3; ring baku kiwa, ping, 3; ring
punuk, ping 3; ring tungtung ing irung, ping 3.

Raris ambil caratane, kechirin ring pabahane, ping 3, ring bahu tengen, ping 3, ring bahu kiwa ping,
3, ring tangan tengen, ping 3, ring tangan kiwa, ping 3.

Nganchukang jawum ring çiwa-dwara, ring bahu kiwa, ring bawu tengen, ring tangan tengen, ring
tangan kiwa.

Ngerik antuk tyuk, ring çiwa-dwara, ring bawu tengen, ring bawu kiwa, ring tangan tengen, ring
tangan kiwa. Pandhusin antuk rerebhu.

Cucukin bebek, ring çirah. Cucukin ayam, ring tangan.

Cucukin bawi, ring suku. Ngereb patelasan. Mabisuh-isuh. Pandusin.

Wus punika masasarik, matetebus, raris matirtha. Raris natab.

Malih kabale paselange majijiwan. Raris natab, wusniya raris mapadhamel. Wus mapadhamel, raris
natab banten ane beten.

Raris ngiderang pring, ping 3.

Rihin mabhakti ring Sanggar Paselange. Wus mabhakti, raris munggah ka bale Paselange. Wus
mabhakti, raris munggah ka bale paselange. Majijiwan.

Iki Sang Hyang Mretha Karsana, nga, wenanggen panjaya-jaya Rare, Ça, Wai wenang, mawadhah
payuk, samsam sekar je wija jenar, ma. :

Ong Para dewita rupa ya, dewa grantincha hamekam, wangi swamba ya ucyate, dewa Wisnu
payodayat.

Om Aklesa ya namah, Om Um Wasat bhaya ya namah, Om Mam Wasat sidhi sampurna ya namah,
he bhyo namah.
Telas.

Druwen :

Ida Pedanda Putra Tembau

Griya Aan – Klungkung

Yama Purana Tatwa


Om Awighnam Astu !

Iti Sastra Yama Purana Tatwa, ngaran, /Indik sakramaning wwang mati mapendhem, / Yan atahun,
dwang tahun, tigang tahun, /Petang tahun, mwang salawase nora maprateka, /Yaning wawu satahun
maprateka, /Tan hana wighnan Sang Hyang Hatma, /Nanghing wwange mati bener. /Yan Iiwaring
satahun, atmanya matmahan dete, /Tonyan setre, manas ring desa – desa, /Anggawe gring,
mangkana halanya, /Mwah wwang mati mapendhem yan hana mrateka, /Haywa ngarepang mrateka
tawulaning wwangke ika, /Mwah hana pawarah Bhatara Yama, /Munggwing sastra ling Bhatara.
“Uduh Sang Pandita ring janaloka, /Yan hana wwang mati samuruping ksithi dharani, /Aja sira
mrateka marepang tawulane wwangke ika, /Phalanya tan prasiddha hilang ikang letuh ikang
hatma, / Tan siddha kang prateka apan wwangke ika, /Mulih ring jroning garbhan Sang Hyang Ibu
Prathiwi, /Waluya sampun mageseng, humawak tanah, /Saletuhing prathiwi rumaket ing wwangke
ika, /Tka wenang Pandhita ngarccana hayu hatman sang kaprateka, /Mangke wnang Sang Pandhita
nugraha ring manusa loka, /Anggen awak-awakan sang mati, /Siddha mulih hatmanya ring bhyoma
siwa, /Amanggih hayu, mangde nirmala, / Telas saletuhing hatma, rawuhing wwangkenya, /Gawen
manih pangawak sang mati, /Yaning wwangsa Brahmana, Ksatriya, Waisya, /Candana-rum
inganggen pangawak sang mati, /Panjangnya salengkat ring samusti, /Wiarnya patang nari, mesi
sastra Pancaksara, /Dasaksara, Ongkara mula, rwa ambheda, /Duluren upakara ring mati
pakraman, /Ring desa wenang upakara, ika tan hana salah, /Mwah wwangke mapendhem ika,
/Wnang gagah ring dina pabresihan-ira hesuk, /Tulang wangke ika, wasuh dening we
kumkuman, /Mwang toyan kalungah nyuh sasih, /Tulang wwangke ika genahakna ring setra,
/Gawene kuwu wehana dahar kasturi, /Manah pangawak adegan sang mati, /Hembanen ring setra,
hulapin hatman sang mati, /Kinon mulih ring dununganya, duk kari hurip, /irika sang hatma
kapratistha umawak Candana miik, /Tkaning dina patiwa-tiwanya, /Tunggalang geseng tulang
wwangke ika, /Pareng ring awak-awakan sang mati, /Haywa mrateka tulang juga, /Sang mati
mapendhem, /Hidhep amrateka I Bhute Cuwil, /Ngaran tulang wwangke ika, /Atmanya tan kna
preteka, mangkana kojaring sastra, /Mwah yening wwang sudra mati matenem, /Majagawu nggen
awak-awakan sang mati, /Kramanya tunggal kadi nguni, /Yan nora samangkana, kna upadrawa sang
angentas, /De Sang Hyang Prajapati, /Mwang sang angarepin sawa, /Mwah sang pitara sang
ingentas, Wahu lumaris rawuh ring banjaran santun, /Katon dening widyadara-widyadari, /Atma
rawuh merupa Cuwil, mahambu apek apengit, /Malayu watek apsara, duleg angambuning atma
wawu rawuh, /Hinatur haturing Bhatara Guru, /”Atma letuh iki rawuh “. /Teher tinundung
hingineban dwara wesi, /Atma ika, klinon munggwing jurang ajrem, /Masarira dete mangrik,
/Angadakang gring marana ring bhumi, /Angrusak sadesa-desa, /Angrusak sang wiku, mwang
sarwa pasu, /Amati-mati wwang, emanasi bhumi, /Anggawe gring tatan papegatan, /Ngebus
gumigil, anglempuyeng, /Huyang, paling, tan wnang tinamban, /Mwah Sang Pandhita, /Tkening
Sang Ratu ring Madhyaloka, /Haywa murug linging sastra iki, /Phalanya rusak ika sebhumi
nira, /Muwah yan hana wwang mati salah pati, /Wwang mati gring ika agung, /Ring smasana juga
prateka, tawulanya juga, /Nghing yan hana sengkernya, mangkana kajaring sastra, /

Muwah iti Uma Tatwa, pawarah Bhatari Uma Dewi, /Munggwing sastra, ri sedheng Bhatari Uma
malingga, /Ring Kahyangan Dalem Panguluning Setra Agung, /Ling Bhatari Uma, “Ritatkala
rawuh Kaliyuga Bhumi, /Gring sasab marana, makweh wwang mati, /Hana wangsa Brahmana,
Ksatriya, Waisya, Sudra, / Mati kna gring, harep age amreteka, / Rawuh sangkalaning bhumi,
sumurupaken ring prathiwi, /Yan mahyun mamreteka diglis, /Gawenan banten pajati karihin,
/Wawu pinendhem, katur ring Hyang Bhatari Uma, /Mwang ring Sang Asedahan Setre, /Ring
Penataran Dalem Panghulun Setre, /Ngaturang daksina 1, ajuman 3 sorah, den asangkep. /Nunas
nugraha amrateka, kang sinambat, /Pukulan Bhatari Prathiwi, /Mwah Sang Asedahan Setra
Agung, /Nghulun aminta nugraha ring Bhatari, /Rumaksa sawa iki saksana, /Nugraha nghulun age
amreteka, /Tan panganti tahunan, nugraha atma ipun, /Tan amanggih papa narake, /Tekaning hana
gawe mrateka, /Irika nghulun anebas ring Bhatari Prathiwi, /Mwah ring sira Asedahan Setra Agung,
/Nghulun aminta nugraha ring Bhatari rumaksa sawe, /Mwah ring paduka Bhatari Dalem
Panguluning Ksetra Agung, /Mwah ring Sang Sedahan Sma, haywa ta padha Bhatari, /Mweng
watek Bhute rumakse setre midhanda, / Ong siddhi, siddhi pamastu ni nghulun”, Tlas, /Yan
mangkana kramanya, /Phalanya rahayu Sang Hyang Atma, /Tkaning sang angentas,
kasubhagan, /Mwah sang adrewe sawa, amanggih dirghayusa, /Yan nora samangkana, wenang
pendhem anganti tahunan. /Mwah yaning wwang mati mapendhem, /Teher anganti tahunan, /Tan
kawenang sakama-kama, alphayusa sang amreteka, /Hala kajaring sastra, /Yan wwang sudosa mati
sakawangsanya, /Tka wenang nganti sengkernya dadi maprateka, /Yaning wwang ngulah pati,
/Sengkernya 11 tahun, wenang prateka, /Yan dudu mangulah pati, matmahan sinangkala, /Kawase
pjah, mapa lwirnya : sininghating kbo sapi, /Tiba mamenek, salwring mati kapangawan, /Padha 3
tahun sengkernya, /Yan lalung sengkernya, tan wenang hentasen, /Haywa murung linging sastra iki,
/Rusak ikang bhumi, sang Prabu Pralaya, /Sang Pandihta sudosa,/

Iti Sastra Yama Purwwana Tatwa, /Sedheng Bhatari Durgga ring gaganantara, /Ngaksi atma
sangsara ring kawah agni, /Malinggod bhawa Bhetari, /Marupa SangHyang Yamapati, /Ngamel hale
heyuning atma, /Waneh ring Yamaloka, mantuking panti bhumi, /Dadi Bhatari Uma Dewi, /Ring
sedheng sira malinggih ring Setra Agung, /Maraga Bhatari Durgga Dewi, /Mangke cinarita
Padandha Alapa Ender /Jumujug maring Iinggih Bhatari, /Dadi kagyat Paduka Bhatari, /Mangrak-
mangrik, kadi singha rodra, /Agya nugela gulu nira, /Sang jumujug ring Iinggih Bhatari, /Saksana
dhateng Bhatari Brahma, /Humuhuti glong Paduka Bhatari, /Inangken anak de Bhatara Brahma,
/Katkan lesu glong Bhatari, /Irika sira Sang Atapa Ender, /Aminta nugraha ring Bhatari, /Kasiddhya
ning ajnyana kretta siksa, / Yan mahyun anaycang suryya siddha denya,/Mwah aminta pangilangang
letuhing atma ning wwang, /Siddha molih swatgga siwa bhawana, /Irika Bhatari asiluman rupa,
/Arupa Sang Hyang Yama, akrura rupa, /Tulya Rudra murtti, / Irika Sang Hyang Yama nugraha
wanra warah suksme, /Ring sang Atapa Ender, kanugraha sing pntanen, /Sahunduking amahayu
sawa ika, /Yatika kalane hana sastra Yama Purwwana Tatwa, /Sampun kabyaya de sang sadhaka
kina-kina, /Ring pasuruhan, mwang Balangbangan, /Katkeng bhumi Bali rajya, /Rontal iki druwen
Ida Bagus Gede Wiyana, /Agrha ya ring GrhyaWanasari Sanur, /

Iti mangkana linging sastra, /Sahaning wwang mati mapendhem, ne mati bener, /Hidhep mulih ring
jroning garbhan Hyang Ibu Prathiwi, /Hidhep sampun bhasmi, /Waluya mawak tanah, yadyan hana
tawulan kantan kari, /Sampun winastu de Bhatara Yama, /Mawak Bhuta Cuwil, /Ya tika kalane
wenang gawenen awak-awakan sang mati, /Olih candana miik, yadyan kusaghra ngalalang,
/Matulang candana, wkasan Sang Hyang Atma molih rahayu, /Rawuhing sang amreteka, /
Amanggih dirgghayusa, tkaning bhumi nira, / Tananggani cuntaka titir. Tlas. /

Nyan tingkahing lare, yan mawangsa Brahmana, / Ksatriya, Waisya, yan matuwuh 5 lek, / Pjah
kneng gring, wehana toya penglepas lare, / Gawenen saji tarpene, gesengakna juga, / Hanyut
galihnya ring sagara pramangke, / Yan nora samangkana, winastu de nira Bhatara Yama, / Dadi
Shuta Anggalara, / Angadhang-adhang atma wawu rawuh, / Wkasan tumitis, tan pangidhep tutur, /
Yan hana Atma rawuh, wawu wus kaprateka, / Kahadang olih rare bajang, / Tatan sapira kwehnya, /
Humampel-ampel sukuning atma wawu rawuh, / Kroda watek atma, tinembung dening lajer, /
Tinedhel, pinanting rare bajang ika, / Pabrengik manangis, wkasan supat, / Dumadi jadma ring
madyapadha, dadi dyog, / dopang, kibih, bengkuk, perut, cedangga awaknya, / Mwah hana atma
kapangguh naraka, / Munggwing alang-alang aking. / Mangob ring soring wadhuri, reges, /
Katiksnan dening panasing suryya, / Manangis mangisek-isek, / Sumambe anak putunya sangkan
hurip, / Lwir sabdhaning atma papa, / “Uduh anakku ring madhyapada, / Tan hena matra wlas ta
ring kawitanta, / Maweh bubur, muwah we satahap. / Akweh mami madrewya anak putu, / Padha
mami maweh kasukan ring setra, / Muwah drewya mami hana kagamla de ne kite. / Tan hana
wwang ku mati, sira juga amisesa, / Angge sira kasukan, tan heling sira ring rama rena, / Aweh
tirttha panglepas, / Jah tas mat ta kita santananku, / Wastu kita amangguh halpha yusa”, / Mangkana
tmah sang atma papa, Tlas./

Iti Widhisastra, saking nithi Padhanda Wawu Rawuh, / Indiking wwang mati, / Sumuruping ksithi
maring Setra, / Yanya durung hana satahun, / Haywa mrateka, yen kedoh amreteka, / Phalanya tan
prasiddha knaingentasatmen sang pinrateka, / Anemu sangsara ikang atma, Sang Hyang Pratiwi
rumaga ibhu, / Kadi rare rare umunggwing, garbhan sang ibhu, / Durung puput leknya kinon mijila,
/ Salah wetu ika, dosa sang angentas, / Tkaning sang amrateka, / Tan kawenang wenangaken, /
Asing tumuwuh ring prathiwi, / Hana sukat leknya, / Asing tinanem hana sukat leknya, / Hantinen
patuwuhanya, yan nora samangkana, / Bahur ikang rat, hiweng kang bhumi tan pahingan, /
Mangkana tka halaning rat, / Muwah yen hane sawe mependhem ring setre, / Yan sampun hana
satahun sengkernya, / Yan hana mrateka, ring smasana prateka, / Haywa mrateka sawa mapendhem,
/ Anggawa ring desa tawulanya, / Yan hana nggawa ring desa, / Letuh ikang bhumi phalanya, /
Karanjingan dening Kala Bhute desa ika, / Dewa mur tan suka mahyangan ring desa ika, /
Mangkana halanya, mwah aja ngeliwaring setahun, / Amrateka wwangke ika, / Yan liwaring
satahun, / Winastu de Bhatara Yama, / Tawulan wangke ika humawak Bhuta, / Sangsara atma ika,
mwah salwiring mwang mati, Sumuruping ksithi tala, yan hana mrateka, / Wenang ring sma
prateka, / Reh hana sawa sake watang pratistha, / Uttama dahat gawe ika, / Dulurane awak-awakan
sang mati, / Olih candana miik, tinulis pinindha sang mati, / Mesi sastra dasaksara, triyaksara, /
Ongkara Mrettha, rwa bhineda, / Mangkana kramanya genahakna ring sawa, / Muwah yan hana
wwang mati ten pasewa, / Wenang gawenen awak-awakan dening wwai wangke ika, / Sakama-
kama wenang genahing mamrateka, / Yan wwang mati bener, / Muwah tingkahing wwang mati
pinendhem, / Wenang mapangentas sang wawu mapendhem, / Phalanya molih genah Sang Hyang
Atma, / Munggwing batur kamulan, / Yadyan masuwe tan kaprateka, / Rahayu ikang atma, yen nora
mangkana, / Winastu de Bhatara, / Mawak Shuta, salamine tan ingentas, / Muwah tingkahing mati
pinendhem, / Ring desa pakraman angarccana pangawak sang mati, / Lwirnya ne wenang angge
candana miik kadi nguni, / Dulurin upakaraning mati masawa, / Ya tika pinangaskara de sang
guru, / Ring desa pakraman, wnang prateka, / Tulang wangkene mapendhem, / Ika wangunen
karihin maring setre, / Wehin tirttha panglukatan mwang pabersihan, / Dahar kasturi, suci, /
Rawuhing dina patiwa-tiwanya geseng tulang Ika, / Sarengang awak-awakan wangke ika, / Siddha
rahayu Sang Hyang Atma, / Nora ngeletuhin jagat, / Prasiddha ingentas Sang Hyang Atma, /
Muwah sang mati sawangsanya, / Yan mahyun amendhem, mangde aglis mamrateka, / Hana
panugraha Bhatara Yama, / Wenang ngaturang pajati suci mwang daksina, / Ring wawu pinendhem,
/ Aminta nugraha ring Bhatari Delem Pangulun Setra-Gung, / Mwang ring Hyang Prattiwi, /
Rumaksa sawa saksana, / Tan panganti sengker, mwang tahunan, / Nunas anugraha ring Bhetari, /
Mwah ring Sang Sedahan Aweci, / Digelis amrateka, irika sira anebas atma, / Ji gung arttha 8.000 ;
maduluran suci daksina, / Mwang pras, katur ring Bhatari Panguluning Setra, / Muwah ring Bhatara
Yama, sega pangkonan, / Iwak bawi ingolah, den asangkep, / Labahan Sang Asedahan Aweci, /
Tunggal kadi labahan Bhatara Yama, / Yan durung hana segkernya, waneng tahunanya, / Yan
prateka wwang mati mapendem, / Phalanya rusak ikang rat, nagaran, / Bahur ikang nagara, gring
marana tan pgat, / Sang prabhu mwang sang Panditha, / Kabhedha-bhedha de Bhatara Yama, /
Mangkana kajaring sastra,/

Iti Widhissastra, nga; saking niti Bhatara Mahadewa, / Jumeneng ring Kahyangan ring Basukih, /
Tumut Bhatara Manik Gumawang, / Jumeneng ring Kahyangan Watumadheg ring Basukih, / Mwah
Bhatara Ghnijaya, / Malingga ring Kahyangan Giri Lampuyang. / Tumut Bhatara Jayaningrat. /
Jumeneng ring Giri Beratan, / Maka miwah Bhatara ring Pejeng, / Sira Bhatare Manik Galang, /
Ling Bhatara Mahadewa, “Uduh anak mami dewata kabeh, / Rengo pawarah mami den pahenak, /
Tata kramaning bhumi Bali, / Pati huriping manusa kabeh,/ Tan pakrama unduk kapetyania, / Tan
paulah ring Pandhita ring madhyapada, / Tan paweda mantre, / Haji panglepas atmaning wwang
mati, / Tan hilang letuhing sawa, / Trus katkaning linggih Bhatara letuh, / Kang jumeneng ring
khayangan Bali, / Karanjingan ikang bhumi, / Olih Bhuta-Bhuti sarwwa Durgga Kali, / Wehen
unduk tataning wwang kapatyania, / Nora hana angletuhin bhumi nira; / Reh pade Bhatara nusup
malingga ring desa pakraman, / Tka wenang sang sadhaka mratistha wwang pati hurip, / Tkaning
kahyangan Dewa, / Ling Bhatara Mahadewa munggwing sastra, / Mawara nugraha warah
munggwing haji. / Udhuh sira para punggawa ratu Bali, / Catraning bhuwana kabeh, / Hana
pawarahku ring sire, / Ri tatkalaning wwang mati, / Hana sumuruping ksithi tala maring setra, /
Mala kapatyan, ngaran, / Yan tan matirttha panglepas, / Wkasan yan hana mrateka, / Haywa wineh
amrateka ring Desa Pakraman, / Sebel punah aku, / Salwiring sawe mependhem, / Masarira Bhuta
Cuwil, / Yadyan nambut sawe karesyan mawak candena, / Haywa mrateka ring desa Pakraman, /
Ring sma sana juga prateka, / Salwiring wwang mati mapendhem, / Kalane mangkana, Desa
Pakraman umawak Kahyangan, / Ring Setra umawak Kawah, / Phalanya yen mangkana, /
Kasusupan sarwwa letuh ring setra, / Rumaketing Kahyangan ring Desa, / Reh subhe karmane
swasthe ring aghni, / Winalik sira sumuruping ksithi, / Ika ingaran wwangke kamalan, / Yadyan
mati bener, salah ulah hidhepe, / Hidhep mati kapangawan, / Mangkana halaning wwang mati
mapendhem, / Tka wenang geseng juga mangde swastha, / Ya tika gugwanen, yan kahalangan
bhumi, / Wnang mapajati ring Sang Sedahan Setra, / Banten suci, daksina, pras, / Nunas
dununganing sawa ring Hyang ibu Prettiwi, / Mangkana kramanya, / Reh tan wenang wwange mati
bener mapendhem, / Geseng juga kawenanganya, / Ne wenang mapendehem salwiring wwang
salah pati, / Mati kapangawan, wwang kneng gring agung, / Mangkana ling Bhatara munggwing
sastra. / Muwah ling Bhatara Yama, / Yan hana punggawa ring Bali Rajya, / Yanya murug pawarah
aku munggwing sastra, / Phalanya tan pegat gring sang Bhupati, / Reh Bhatara Mahadewa sira
jumeneng ring Basukih, / Padha mahyang ring kahyangan Agung-Alit, / Ring Negara Bali Rajya, /
Tan kataman letuh ikang Desa Pakraman, / Duhka sarwa dewata kabeh ring sang Ratu Bali, / Dewa
mur kalabuing gring sasab marana tan pgat, / Sang ratu mwang sang Brahmana, kna gring agung, /
Para pitra duhkita tan molih genah hayu, / Mangkana halaning jagat, / Haywa sang rumaksa jagat
mwang sang Pandhita, / Murug Iinging sastra iki, /

Iti Widhisastra, saking niti Bhatara Manik Gumawang, / Jumeneng ring Kahyangan Watumadheg
ring Basukih, / ling Bhatara, “Udhuh sang ratu Bali, / Hana pawarah mami munggwing haji, /
Krama kepayaning wwang, / Haywa mendhem sawa ring ksithi, liwaran ring satahun, / Yan hana
wawu satahun, prateka juga wenang, / Rahayu ikang rat, yan lwaring satahun, / Yanya 2 tahun, 3
tahun, / Winastu de Bhatara Yama, / Dadi mawak Bhuta Atmanya, / Sah sangkeng Aweci Bhuta
ika, / Ngranjing ring manusa loka, / Angadakaken gring sasab marana, / Amati-mati wwang sadesa-
desa, / Tan papgatan wwang agring agung sabhumi nira, / Muksah Bhatara ring Basukih, / Mantuk
maring gunung Mahameru. / Tan suka mahyang ring Nagara Bali, / Reh Nagara Bali dahating letuh,
Kasusupan Bhuta, / Mangke wenang sang Haji Bali, / Kon amreteka wwang mati de age, / Aja sira
nganti liwaring satahun, / Mangkana ling Bhatara munggwing sastra. / Muwah hana ling Bhatara
samuha ring Basukih, / Tingkahing wwang mati mapendhem, / Mala kapatyan nga, / Yan hana
mrateka wenang ring setra juga prateka, / Tawulan wangke ika dulurana sawa karesyan, / Tan
wenang prateka ring Desa Pakraman, / Letuh ikang bhumi, / Haywa sira sang aji Bali amurug ling
sastra iki, / Tan wandya kna upadrawa sang aji Bali, / Tkeng sang angentas, de Bhatara Basukih.
Tlas. /

PERAYAAN HARI SUCI SIWARATRI


Kegiatan diseputar Siwaratri belakangan ini sudah semakin banyak dilakukan oleh lapisan
masyarakat, baik dikalangan masyarakat umum, para pelajar / Maha Siswa, para ilmuwan, generasi
muda maupun di kalangan pencinta seni sastra. Sebagaimana diketahui bahwa perayaan hari suci
Siwaratri ini erat kaitannya dengan sebuah kisah seorang pemburu bernama Lubdhaka yang
diuraikan sebuah Karya Sastra Jawa Kuna, Kekawin Siwaratri Kalpa karya Empu Tanakung dan di
Bali lebih dikenal dengan Kekawin Lubdhaka. Kalau kita telusuri secara seksama kisah Lubdhaka
ini mempuyai wawasan relegius yang sangat dalam serta dijiwai oleh nilai ajaran Hindu baik aspek
filosofisnya, aspek moral atau etikanya dan juga aspek ritualnya. Di masa lampau kita pernah
mendengar persepsi bahwa cerita Lubdhaka dengan brata Siwaratri dikaitkan dengan usaha umat
Hindu dalam melakukan Dharma peleburan dosa atau malam penebusan dosa, namun setalah dikaji
dengan hati-hati dan lebih mendalam ternyata nilai yang terkandung di dalamnya tidaklah sesempit,
sedangkal dan semudah itu orang-orang dapat menebus dosa-dosanya, serta nampaknya sangat
bertentangan dengan Srddha hukum karma atau Karma Phala. Perlu diingat bahwa si pemburu
Lubdhaka sebagai orang yang hidupnya papa. Kata Papa disini tidak sama maknanya disini dengan
kata dosa kendatipun kata-kata itu dapat diterjemahkan dengan dosa. Dalam hal ini kepapaan si
Lubdhaka jiwanya diliputi oleh kegelapan atau Awidya yang berakibat munculnya ketidak- sadaran,
kebodohan, rendah kualitas hidup yang selalu dibelenggu oleh keduniawian dan ini ia lakukan
dengan perbuatan himsa karma yaitu memburu dan membunuh binatang buruannya setiap hari guna
dapat menghidupi keluarganya. Kisah Lubdhaka dengan Siwaratrinya sesungguhnya mengandung
makna sebagai tonggak peringatan dimana umat Hindu senantiasa berusaha untuk melebur
kepapaan hidupnya, pada malam payogan Bhatara Siwa agar terlepas dari belenggu kegelapan
hidup, gelapnya jiwa atau Awidya, bebas dari kebodohan, bebas dari ketidaksadaran, bebas dari
ikatan duniawi, hingga pada akhirnya nanti dapat mencapai Widya, hidup yang terang, jagadhita
dan tercapainya moksa bersatu kembali dengan asal mula kehidupan yaitu Sang Hyang Widhi.

Pada bagian kisahnya diceritakan bahwa dalam perburuannya Lubdhaka kemalaman di hutan. Hal
ini mengandung arti simbolis bahwa dirinya yang hidupnya papa itu sesungguhnya berada dalam
kegelapan duniawi. Jiwa atau pikiran yang ada dalam kegelapan, ketidak sadaran, ketidak tahuan
disebut Awidya. Inilah kiranya yang melandasi kenapa itu disebut Siwaratri atau Malam Siwa.
Malam berarti gelap. Pikiran atau jiwa yang gelap, berarti Awidya, dan orang yag berada dalam
keadaan Awidya pasti hidupnya papa. Sedang kata Siwa tiada lain Ista Dewa Sang Hyang Widhi
dalam fungsi beliau sebagai pelebur. Jadi Siwaratri atau Malam Siwa berarti peleburan Awidya atau
peleburan kepapaan hidup.

Guha petang tang mada moho kasmala, Maladi yolanya magong mahawisa, Wisata sang wruh
rikanang jurang kali, Kalinganing sastra suluhnikapraba.

Artinya :

Bahwa diri kita ibaratnya seperti sebuah gua yang gelap, tempatnya kecongkakan, kekalutan
pikiran dan keangkuhan perilaku ; segala keburukan itu ibaratnya seekor ular besar berbisa
dasyat; bila orang itu dapat memahami hal itu akan tetap merasa tenang kendatipun berada dalam
lembah penderitaan; karena sastra pulalah merupakan pedoman sebagai sesuluh menerangi hidup
ini.

Lubdhaka menyadari hidupnya yang papa itu, lalu berusaha meningkatkan kualitas hidupnya itu
melalui berata Siwaratri yaitu Jagra, Upawasa dan Monobrata.

 Jagra berarti selalu mawas diri, sadar diri dengan terus berusaha mempertinggi
pengetahuannya, sehingga ia menjadi orang yang melek atau orang yang
berpengetahuan, tetapi harus tetap jagra atau mawas diri, karena kepandaian
itu sendiri sering kali mendorong orang lupa diri atau mabuk menyombongkan
kepandaiannya itu yaitu berada dalam siklus Guna Timira, karena itu kita harus
tetap waspada, tidak mudah terbawa arus “Guna” sambil mengintrospeksi diri
akan semua perbuatan di masa lampau. Kesalahan demi kesalahan dibuang
atau ditinggalkan satu demi satu, ibaratnya Lubdhaka tatkala memetik-metik
daun Bila atau Maja, serta serahkan semua itu agar lebur sirna dibawah
kekuatan kekuasaan Siwa Lingga, sehingga pada akhirnya dapat mencapai
kesadaran yang agung, jiwa menjadi terang (Widya).
 Upawasa yaitu brata untuk tidak makan atau minum, mengandung makna
pengendalian diri, untuk membebaskan diri dari belenggu duniawi sehingga
tahap demi tahap hidup ini dapat diarahkan untuk mencapai kesempurnaannya

 Monobrata yaitu pantang dalam berbicara untuk waktu tertentu guna


mendapatkan suasana yang hening, tentram sehingga mempermudah
pemusatan pikiran dalam mengadakan yoga (menghubungkan diri dengan
Tuhan). Dengan demikian jiwa atau pikiran ini benar-benar menjadi terang
(Widya). Hanya orang yang telah mencapai tingkat hidup Widya sajalah yang
memungkinkan mencapai Siwa Loka (Sorga), sebagaimana halnya Lubdhaka
yang telah berhasil melaksanakan Brata Siwaratri itu mampu mencapai
tingkatan hidup Widya, terlepas dari belenggu Awidya (Papa), akhirnya dapat
bersatu dan bertemu dengan Tuhan di Siwa Loka atau mencapai Sorga.

Keadaan si pemburu Lubdhaka yang pada mulanya hidupnya papa itu, namun akhirnya berkat
ketaatannya melaksanakan brata Siwaratri dapat mencapai Siwaloka masuk sorga. Disini
sebenarnya Bhatara Siwa telah membuka kuncinya, sebagaimana yang diterangkan dalam Pustaka
Wrhespati Tattwa sebagi berikut :

Yan matutur ikang atma ri jatinya, Irika ta ya alilang, Sanghyang Atma juga humidepe saka
sukhadukha ning sarira, Apan sira magopta hanerikang sarira.

Artinya :

Jika dapat memahami keadaan atma yang sebenarnya, saat itulah ia (papa itu) akan lenyap,
Sanghyang Atma jualah yang dapat memahami sukha dukanya badan yang bersembunyi berada
dalam badan kita.

Untuk dapat memahami Sanghyang Atma yang diinterpretasikan dengan “Kesadaran akan sang
diri”, dapat dicapai melalui keutamaan berata Siwaratri yang sangat mulia itu.

Nah sekarang, bagaimanakah sebenarnya petunjuk betara Siwa berkenaan dengan papa yang
dikaitkan dengan keutamaan berata Siwaratri. Dalam hal ini dapat kita simak kutipan lontar
Kekawin Siwaratri Kalpa berikut ini :

Sapapa niki nasa de nikin atanghi, manuju Siwaratri kotama, sapapa nika sirna de ni phala ning
brata winuusakenku tan salah.

Artinya :

Segala tapa itu akan lebur oleh pelaksanaan Jagra yang dilakukan pada hari Siwaratri yang
utama itu, segala papa itu akan musnah oleh pala brata yang telah kuceriterakan, tiadalah salah.

Adapun pelaksanaan brata dan upacara Siwaratri itu dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
tingkatannya yaitu :

1. Upacara tingkatan Nista, dengan brata cukup Jagra saja.


2. Upacara tingkatan Madya, dengan brata ; Jagra dan Upawasa.

3. Upacara tingkatan Utama, dengan brata yang lengkap yaitu : Jagra, Upawasa
dan Monobrata.

Khusus upacara tingkatan utama ini akan sulit dilakukan secara berkelompok banyak orang karena
ada Monobrata nya, sehingga cenderung dilaksanakan secara individual atau dalam kelompok kecil
saja. Khusus mengenai pelaksanaan upacara Siwaratri tingkat Nista (kecil) yaitu upacara yang biasa
dilakukan oleh masyarakat pada umumnya sesuia dengan hasil Paruman Sulinggih Propinsi Bali
(September 1995), khusus bagi welaka adalah sebagai berikut :
Pagi hari sejak matahari terbit pada purwaning Tilem kapitu, melakukan asuci laksana, mandi serta
berpakaian rapi sesuai sesana, mulai saat ini sudah menggelar brata Jagra ; sambil memohon
tuntunan kehadapan Bhatara Surya dan Bhatara Kamimitan agar beliau berkenan memberi
kekuatan.

Sarana upacara Siwaratri pada tingkat ini yang perlu dipersiapkan antara lain :

1. Di Sanggar Surya menghaturkan banten pejati.


2. Di hadapan memuja menghaturkan sesayut pengambian, prayascita dan
banten lingga yang terbuat dari bunga widuri putih beralaskan daun pisang
kayu, dihiasi dengan bunga, padang dreman, wangi-wangian dan 108 lembar
daun Bila (Maja).

3. Untuk di Pura / Kemimitan menghaturkan banten daksina dan beberapa canang


dan dinatar menghaturkan segehan nasi cacah.

Pelaksanaan jagra dilakukan selama 36 jam yaitu sejak matahari terbit pada pengelong ping 14
sasih ka pitu sampai keesokan harinya setelah matahari terbenam yaitu setelah upacara mapunia.

Adapun acara pemujaan dilakukan pada malam harinya sebanyak 3 (tiga) kali / tahap dengan
upakara yang telah dipersiapkan.

1. Sejak malam tiba pada pengelong ping 14 sasih ke pitu, melakukan pemujaan
yang ditujukan kehadapan Bhatara Siwa Lingga dengan beberapa Ista dewata
beliau. Persembahyangan pada tahap ini ditujukan ke hadapan Bhatara
Suryaraditya, Iswara, Wisnu, Brahma Siwa dan Bhatara Sumur (gangga) dan
Gana.
2. Pada pase kedua (tengah malam), kembali melakukan pemujaan dengan sarana
upakara tadi yang juga dibarengi dengan persembahyangan. Kali ini sembah
ditujukan kehadapan Suryaraditya, Iswara, Wisnu, Brahma, Siwa dan Giriputri.

3. Pada pase ketiga (menjelang pagi) melakukan pemujaan yang sama dengan
persembahyangan ditujukan kehadapan Suryaraditya, Iswara, Wisnu, Brahma,
Siwa dan Bhatara Kumara.

Perlu kami ingatkan disini bahwa setiap kali kita selesai melaksanakan persembahyangan maka
seperti biasa dilanjutkan dengan nunas tirtha dan mebija. Namun pada kesempatan ini sehabis
metirtha dan mebija akan diakhiri dengan menaburkan sepertiga daun bila (Maja) keatas
Siwalingga dari daun bila 108 lembar yang disertakan pada banten Lingga tadi dengan cara
setengah dari sepertiga bagian daun Bila tadi ditaburkan keatas Siwalingga dan sebagiannya lagi
disobek-sobek lalu dimasukkan ke dalam sebuah Kumba. Pusatkan pikiran pada Padmasana dan
kekuatan tengah samudra agar lebur segala papa neraka kita sekalian. Mohonlah persaksian
kehadapan Bhatara Siwaditya, Predana Purusa, Triyodasasaksi, Jagatnatha dan Pasupathi.

Keesokan harinya pagi-pagi dilakukan upacara nyurud dengan ngelebar brata puasa dan monobrata
(bagi yang melaksanakan) tapi brata jagra masih tetap dilakukan sampai sore harinya menjelang
matahari terbenam. Jagra baru berakhir tatkala telah dilakukan upacara Medana-punia.
Demikian yang dapat kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, semoga ada
manfaatnya.

KAMAHATMIANAN GENTA PINARA PITU


Om Awignhamastu Nama Sidham,

Om Ksantawya ta Sang Hulun, tan kawrateng capa tulah,

Mangastawa Dhanyang mangke, Dhanghyang Dwijendra sinuhum,

Nganugraha tattwa kawruh, tattwa gama Hindu Bali,

Weda mantra tembang kidung – solah bhawa tatacara, lawan Pancayajna kabeh,

Dewayajneka maka di gumawe treptining kahyun, rahaywa jiwat maningong,

Mogha Dhanghyang tulus asung, mangasraya ri Sang Hulun,

Sidharekang don swanegara trepti winong …..

Semoga tidak ada bencana dan berhasil!

Sembah sujud kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dalam prabawa Beliau, sebagai Sang Hyang Aji
Saraswati yang selalu menjadi kekasih seorang sisya di dalam perjalanannya menuju kesadaran
kosmis, sehingga mendorong keinginan untuk menjadi dekat dan berbakti kepada Beliau, sebagai
ungkapan rasa terima kasih atas ilmu pengetahuan serta pencerahan yang telah diterima timbul
kesadaran untuk mengabdikan diri (ngayah) kepada Beliau dengan cara mendalami nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran dan simbol-simbol agama Hindu. Setiap aktivitas keagamaan tidak
terlepas dari simbol, atribut atau simbol-simbol tersebut merupakan media bagi umat Hindu untuk
mendekatkan diri dengan sang Pencipta, menghantarkan persembahan (yajna), mengadakan dialog
(param parum = saka ‘Purusapura’ = sepi / heneng ‘Bali Semarapura’ melalui kemahatmianan
genta pinara pitu) serta mohon perlindungan dan waranugraha-Nya. Kata kunci dari dinamika
kehidupan beragama dalam masyarakat Bali adalah pelaksanaan yajna yang direpresentasikan
dalam sistem upacara yang rumit. Yajna merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh
pemeluk agama Hindu dan berasal dari bahasa Sanskerta ‘yaj’ berarrti korban, sedangkan yajna
berhubungan dengan pengorbanan dilakukan berdasarkan rasa pengabdian dan cinta kasih (Putra,
1982:1).
‘Puputan Klungkung’ merupakan yajna Bali yang tidak terpisahkan dengan kejayaannya yang
telah mewarisi peradaban agung-adiluhung Nusantara ini sebagai salah satu warisan kesatuan
budaya yang dijiwai oleh agama Hindu di Bali dengan berbagai nilai budaya yang berorientasi pada
sejarah, sains, dan seni. Untuk memahami nilai-nilai budaya tersebut perlu dilakukan pembacaan
kembali teks-teks masa lalu yang dikondisikan dengan sejarah dan nilai-nilai kekinian. Pada saat
yang sama, teks dan konteks kekinian akan memberikan penafsiran yang mempengaruhi
keberadaan masa lalu. Membaca masa lalu tergantung pada penilaian tertentu terhadap sejarah pada
saat ini. Secara simultan pemahaman kita terhadap lingkungan saat ini dipengaruhi oleh apa yang
telah diwarisi oleh para leluhur kita di masa lalu. Inilah Grebeg Aksara Prasadha 100 Tahun
Puputan Klungkung yaitu yajna (pengorbanan suci) jiwa & raga yang membangkitkan Kemurnian
Jiwa Ksatria Mahottama sebagai simbol penciptaan serta kebangkitan spiritualitas etika dari adicita
– adistana satyam, sivam dan sundaram.

GENTA PINARA PITU : NADA BRAHMAN

Seluruh sistem agama Hindu dan Filsafat Hindu didasarkan pada ilmu tentang vibrasi yang disebut
nada brahman (Donder, 2005: 74). Demikian pula halnya dengan suara genta sulinggih bisa juga
disebut dengan nada brahman yang kemudian bervibrasi membentuk beraneka-ragam nada / suara
yang dipakai dalam gambelan Bali.

Selanjutnya perkembangan ajaran filsafat Siwa dan Buddha dalam dimensi lima memiliki
kesamaan, sehingga apabila di interpretasikan dalam bentuk empat kuku kawang dan satu
lingga/pusuh cepaka akan mendapatkan formulasi sebagai berikut :
Persamaan filsafat Siwa dan Buddha dalam dimensi lima menurut Siwa Tattwa (Siwa Gama) dan
Sanghyang Kamahayanikan, sebagai berikut :

SIWA BUDDHA
1. Panca Brahma : – Içwara 1. 1. Panca Tathagata:
(Sadhyota)
- Aksobhaya (Ah)
– Brahma (Bamadewa)
- Ratna sambhawa (Rih)
– Mahadewa (Tatpurusa)
- Amitabha (Trang)
– Wisnu (Aghora)
- Amogasiddhi (Hum)
– Çiwa (Icana)
- Wairocana (Ang)
2. Pancaksara : 2. Pancaksara : Na,Ma,Bu,Da,Ya
Na,Ma,Si,Wa,Ya

3. Panca Mahabhuta : – Pertiwi 3. Panca Dhatu :- Akasa

– Bayu - Apah

– Apah - Teja

– Teja - Bayu

– Akasa - Pertiwi

Apabila disimak, makna yang terkandung dari kutipan di atas bahwa dengan maksud mengundang
para dewa, manusia menyuarakan kentongan dewa, suara kentongan yang di dengar menimbulkan
reaksi asosiatif dari para dewa bahwa di dunia ada upacara ritual dan manusia bermaksud
mengundang para dewa. Geger atau hiruk pikuk, gemuruh (Zoetmulder,2004: 285) merupakan
wujud nyata dalam bentuk perilaku yang timbul dari reaksi asosiatif karena mendengar suara genta.
Sesuai dengan konsep melakukan puputan sudah pasti diikuti dengan suasana ramya dan sepi
(Heneng = nengakna). Skema di bawah ini mungkin lebih memudahkan untuk memahami fungsi
asosiasi sebuah genta.

Skema Asosiatif Genta sebagai Sebuah Tanda

Gambar di atas merupakan imajiner dari pemahaman fungsi asosiasi genta. Dimulai dari sulinggih
yang menyuarakan genta. Sulinggih berperan sebagai penanda atau yang memberikan tanda dalam
bentuk suara genta yang kemudian di dengar oleh manusia di alam bwah loka, bhuta kala di alam
bhur loka dan dewa-dewa di alam swah loka. Masing-masing kelompok yang ada pada tri loka
mengasosiasikan tanda atau těngěran (bahasa Jawa Kuno) sebagai pertanda adanya upacara.

Skema Integrasi yang Bersumber dari Asosiatif Genta

Berdasarkan upacara yang berlangsung, genta memiliki beberapa fungsi praktis diantaranya :

1. 1. Fungsi sebagai alat komunikasi dan menghantarkan persembahan


umat
2. 2. Fungsi praktis sebagai alat konsentrasi

Apabila bentuk genta dengan aksara ongkara pranawa dibandingkan akan ditemukan adanya
persesuaian bentuk dan makna. Nāda ( ) disesuaikan dengan lingga/pusuh cepaka, windu ( O )
diposisikan pada pangkal lingga yang menyatukan ke-empat kuku kawang, ardha candra ( )
disesuaikan dengan dua kuku kawang dalam posisi horizontal, sedangkan angka tiga ( O )
diposisikan sama dengan tangkai dan bogem genta, apabila hal pendekatan tersebut digambarkan
akan terlihat seperti:
Berdasarkan kutipan di atas, tentunya dapatlah dipahami bahwa genta berasal dari Śiwa (ghanta
mijil saking nada), dipergunakan oleh sulinggih (Śiwa sekala), secara struktur mengandung konsep
Śiwa dan nada atau suara genta kembali kepada Śiwa tertinggi atau sunia, kehampaan. Secara
ringkas apa yang dipaparkan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar di bawah ini akan memudahkan pemahaman terhadap makna genta sebagai penyatuan tiga
konsep arah pemujaan yang direalitakan dengan kehidupan di sebuah gunung.

Ramya artinya rame; dalam kehidupan berarti dinamis, penuh gejolak, semarak. Śūnya artinya
kosong, kehampaan, sepi, sunyi, puput, nengakna tidak bergerak (Zoetmulder, 2004: 1147).
Dalam kehidupan di sebuah gunung, situasi ramya terjadi pada bawah gunung. Di sana hidup
bermacam-macam tumbuhan dan binatang termasuk manusia sehingga menjadi ekosistem yang
besar menyebabkan rantai makanan yang panjang akibatnya timbulah kehidupan yang dinamis,
penuh gejolak. Diperlukan upaya untuk memelihara dan menyeimbangkan kehidupan yang
kompleks tersebut dan ini merupakan tugas bhujangga (bhuta mātra), menghadapi situasi yang
kompleks dan penuh resiko bhujangga mempergunakan banyak peralatan antara lain genta, genta
uter, genta orag, ketipluk dan sangkha atau sunggu.

Pada kehidupan dipertengahan gunung, ekosistem mulai mengecil, rantai makanan menjadi pendek,
gejolak mulai berkurang, secara kasat mata hanya tumbuhan dan hewan yang mampu beradaptasi
dengan udara dingin dan air yang mampu bertahan, untuk menjaga keseimbangan alam tengah (air
dan udara) disebut dengan prana mātra buddha mempergunakan genta dan bajra, selanjutnya pada
ujung gunung sebagai simbol alam atas yang sudah sunya sulinggih Śiwa hanya mempergunakan
genta, ini merupakan tahapan terakhir dari proses pendakian spiritual atau proses peleburan untuk
mencapai kelanggenngan, kebijaksanaan, kesadaran akan pengetahuan tertinngi (pradnya mātra).

Penelitian oleh para ahli terhadap bunyi, banyak menghasilkan teori-teori yang sangat membantu
kehidupan manusia dalam bidang ilmu filsafat. Khususnya bidang kosmologi, lahir sebuah teori
yang dikenal dentuman besar atau ledakan mahadasyat (big bang), yang sangat dibanggakan oleh
dunia barat. Sebenarnya dalam kosmologi Hindu hal tersebut sudah lebih dulu diungkapkan pada
zaman Weda oleh para Rsi, walaupun dengan cara pandang dan gaya bahasa yang berbeda namun
prinsip-prinsip dasarnya sama, yaitu teori big bang memandang bahwa semua zat (citta dan
triguna) dalam prosesnya dahulu menjadi berbentuk suatu massa yang padat, yang menyerupai
sejenis atom raksasa (hiranyagarbha), kemudian massa itu meletus (mahāswara, nāda, om)
membentuk bola api (Brahmā). Selanjutnya, materi ledakan lainnya yang terpencar membentuk
gugusan tata surya. Sedangkan esensi, asal dari semua zat yang disebutkan dalam teori big bang
belum dapat diuraikan melalui sains, hal itu hanya bisa dijelaskan melalui sudut pandang agama.

Pada Mikrokosmos, suara genta pinara pitu disamakan dengan tujuh cakra yang terdapat dalam
tubuh manusia di sekitar merudanda, yang dikenal dengan sapta cakra, yang mengandung pancaran
energi ke-Tuhanan. Berikut gambar posisi cakra utama yang disesuaikan dengan badan fisik :
Sumber Gambar: Kamajaya, 1998: 67

Perputaran cakra-cakra tersebut menghasilkan gelombang-gelombang energi dan suara. Proses


pengendalian cakra-cakra ini diajarkan dalam yoga. Pengaruh positif terhadap cakra-cakra bisa
juga terjadi melalui berkah yang diberikan seorang yang suci (yogin) dengan meletakkan tangannya
pada sahasrara cakra atau dapat disebabkan oleh bunyi (Kamajaya, 1998: 71).

Setiap titik cakra di dalam tubuh cenderung untuk merespon secara khusus bunyi, nada, irama
tertentu. Cakra dasar merespon secara khusus terhadap nada- nada bass. Cakra dasar erat kaitanya
dengan nada C, termasuk nada C minor dan C sharp (Setiadarma dalam Donder, 2005: 41).
Terserapnya musik atau bunyi ke dalam sukma yang mempengaruhi perputaran cakra-cakra
menuju puncaknya digambarkan oleh Granoka, sebagai berikut :
Pada esensi puncak dari suara genta pinarah pitu merupakan penyatuan purusa-pradana yang
disebut dengan prana-pramana-tiga, yaitu suara Ongkara, sapta ongkara, nawa pranawa yang
kemudian digambarkan sebagai berikut :

Sumber Gambar: Granoka, 1998: 44

Lontar Prakempa menyebutkan bahwa bunyi, suara mempunyai kaitan erat dengan panca maha
bhuta yang masing-masing memiliki warna dan suara, kemudian menyebar ke seluruh penjuru
bumi dan akhirnya membentuk sebuah lingkaran yang disebut pengider bhuana. Untuk jelasnya,
berikut ini gambar yang kami kutip dari Prakempa :
Kemudian, oleh Bhagawan Wiswakarma suara-suara itu dibentuk menjadi dua kelompok nada,
yaitu limanada laras pelog dan lima nada laras slendro. Laras pelog berkaitan dengan panca tirta
sebagai manifestasi dari Bhatara Smara. Laras slendro berkaitan dengan panca gni sebagai
manifestasi dari Bhatari Ratih. Dari sepulu nada yang dijiwai oleh Smara-Ratih, lahirlah tujuh buah
nada yang kemudian disebut genta pinara pitu. suara genta juga dimaknai sebagai suara sukma,
suara hati yang timbul dari Buddhi yang hning atau dikenal dengan Kecaping Buddha Kecapi.

Membicarakan kamahamiatmanan genta piara pitu tidak cukup memandang dari sudut panca
nada (kukul, gambelan, kidung, genta dan mantra) karena menyangkut dua komponen yaitu genta
dan pemakainya. Namun, di dalam mengungkapkan atau mengkaji hal tersebut di atas tidaklah
mudah disebabkan oleh keterbatasan penulis. Apalagi penulisan tentang Kemahamiatmanan Genta
Pinara Pitu yang sangat rahasya seperti tersurat di dalam Lontar Pandita Kalimosada (druwen
Grhya Wanasari Sanur 1b. …. agar diketahui jika kita tahu dengan katikelaning genta pinara pitu
/ perumusan sepuluh aksara suci, dan sastra sanga / sembilan aksara suci pengider bhuwana serta
Bhodakacapi, boleh kita mengucapkan aksara Kalimosada putus dan sastra sanga serta
Bhodakacapi ….., dst.

Dalam Lontar Prakempa, diuraikan asal, jenis, dan makna suara yang ada di jagat raya ini, yang
disebut genta pinarah pitu yang memiliki hubungan erat dengan konsep genta yang akan
dibicarakan. Menurut kamus bahasa Kawi-Indonesia, kata ghanta merupakan bahasa Kawi yang
dalam bahasa Indonesia berarti lonceng, genta, tirtir (Simpen, 1982: 49).

1. Genta artinya : Suara yang keluar dari dalam tubuh dan pikiran yang paling
dalam yang mengandung kesucian yang lebih sering disebut “suara sukma“
atau suara batin, dengan kata lain genta merupakan perwujudan dari suara
sukma atau suara batin
2. Genta artinya : Suara yang maha suci dan agung yang memenuhi jagat raya
yang bersumber dari inti bumi sehingga juga disebut dengan “Maha Suara”.
Artinya genta merupakan replika dari sumber suara alam atau
makrokosmosBerdasarkan dua sumber yang berbeda yaitu antara kamus dan
hasil wawancara jelas sekali tampak adanya perbedaan yang mendasar dimana
arti kata genta pada kamus masih bersifat fariatif/jamak sedangkan pada hasil
wawancara arti kata genta dari beberapa pendapat sulinggih ada titik temunya
(persamaanya) yaitu genta artinya suara, perbedaan terletak pada sumber
suara yaitu antara buana alit dan buana agung. Demikian halnya, kata ghantā
dalam kamus Simpen yang artinya lonceng, genta, tirtir belum menunjukan
adanya hubungan dengan genta yang berarti suara karena masih bersifat kata
benda. Namun, apabila dicermati ke-tiganya memiliki persamaan yaitu bisa
mengeluarkan suara apabila difungsikan. Dalam pasang kalimat kata genta
bisa berarti suara dimana kata genta akan berubah bunyi mengikuti sifat
kalimat yang dimaksud. Misalnya, dalam kalimat “sambat-sambatnyâmlas-asih
tan pendah gěntěr alaŋu”. Genter artinya suara guntur, atau dalam kalimat
“swara niŋ mrdaŋga kalawan tabě-taběhan ahöm agěnturan”. Agenturan dalam
hal ini artinya suara gemuruh (Zoetmulder, 2004: 290).

Suara atau bunyi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, melalui suara
atau bunyi-bunyian manusia bisa berkomunikasi untuk menyampaikan segala sesuatu yang ada
dalam pikiranya baik itu berupa pendapat, permohonan, tujuan dan lain-lain. Begitu pula halnya
dalam kegiatan keagamaan sangat dibutuhkan adanya suara dan bunyi-bunyian disesuaikan dengan
tingkat dan jenis upacara yang dilakukan, dengan harapan yang dilandasi suatu keyakinan bahwa
suara dan bunyi-bunyian tersebut mampu menggantarkan dan menyampaikan maksud, tujuan dan
isi dari upacara dan upakara yang dimaksud. Karena suara/bunyi berperan penting dalam upacara
keagamaan sehingga dikenal adanya istilah panca nada (dalam konteks yadnya), yaitu suara: (1)
kulkul, sunari dan pindekan, (2) kidung atau nyayian suci, (3) gambelan, (4) genta sulinggih atau
pamangku, (5) mantra/doa.

Bandem, dengan judul Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali pada tahun 1986. Dari hasil
penelitian Lontar Prakempa ditemukan adanya empat unsur pokok yang terkandung di dalam
Lontar Prakempa yaitu unsur filsafat, unsur etika, unsur estetika dan teknik menabuh. Yang
berkaitan dengan penelitian tentang genta adalah unsur filsafat yang mana dikatakan bahwa bunyi,
suara, nada dan ritme diciptakan oleh Sang Hyang Tri Wisesa yang diwujudkan dengan bisah ;,
taleng e , dan cecek ,. Bersamaan dengan itu pula terciptalah panca tan matra dan panca maha
bhuta yang masing-masing mengeluarkan suara dan aksara yang menyebar keseluruh penjuru yang
kemudian disebut pengider bhuana. Oleh konstruktor bunyi yaitu Bhagawan Wiswakarma dari
nada-nada tersebut dibentuklah bermacam-macam kelompok nada diantaranya kelompok nada
tujuh yang dikenal dengan genta pinara pitu yang disebutkan pula bahwa sumber bunyi berasal
dari dasar bumi.

Lontar Śiwapakarana. Ada dua Lontar Śiwapakarana yang dipakai sumber acuan yaitu lontar
koleksi Ida Pedanda Gde Putra Tembau serta lontar koleksi Perpustakaan UNHI Denpasar, secara
prinsip isi ke-dua lontar tersebut tidak jauh berbeda, secara umum isinya memaparkan tentang dewa
yang bersemayam pada masing-masing sarana pemujaan, tempatnya dalam tubuh sang wiku, asal
kedatangannya, hakikat dari karawista, hakikat dari air (tirta) dalam buana agung dan buana alit,
inti sari dari petanganan dan selebihnya mengenai ajaran kediatmikan

Lontar Aji Gurnita dalam bentuk alih aksara pada tahun 1993, koleksi Kantor Dokumentasi Budaya
Bali. Isi Lontar Aji Gurnita secara umum memiliki kesamaan dengan Lontar Prakempa, isinya
antara lain menyebutkan apabila sang wiku sedang merapalkan weda-weda pada suatu yadnya
sepatutnya diiringi gambelan, dikatakan pula bahwa gambelan tidak hanya membuat manusia
berbahagia dan senang tetapi dewa pun ikut merasakan, masing-masing jenis gambelan
berpengaruh pada dewa-dewa tertentu pula, termasuk bhuta kalapun memiliki gambelan dengan
nada dan tempo tertentu sehingga tertarik untuk datang ke tempat upacara. Ada benang merah
antara apa yang dipaparkan Lontar Aji Gurnita khususnya terhadap pengaruh bunyi terhadap dewa-
dewa tertentu dihubungkan dengan banyaknya jenis-jenis genta yang mengeluarkan suara berbeda
dengan fungsi yang berbeda-beda pula.

Kitab Sanghyang Kamahayanikan I.12 (Departemen Agama R.I, 1980: 47-48), menyebutkan :

Haywa ika umara-marahaken ika Sanghyang Bajra ghanta mudra ring wwang adrasta mandala,
tapwan samayika rahasyan kubdan atah sira, tan awara wiryyakna irikang wwang tapwan
krtopadece ..…

Terjemahannya :

Janganlah engkau membicarakan bajra yang keramat ini, genta dan sikap tanganmu kepada orang
yang buta terhadap alam semesta ini, demikian juga mengenai hakikat semuanya itu. Rahasiakan
dan sembunyikan benar-benar semua itu, jangan diajarkan kepada orang yang belum sempurna
pengetahuannya…

RAHASYA = MAKNA RUANG DAN WAKTU

Ruang dan waktu adalah sarana bagi proses perkembangan manusia. Demikianlah Tuhan
menciptakan masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu memberikan kita pengalaman. Masa
kini memberi kita kesempatan untuk bertindak. Masa depan memberi kita harapan. Makna dari
ketiga waktu itu sangat penting bagi kita yang percaya pada hukum karma dan reinkarnasi. Hidup
kita sekarang merupakan akumulasi dari pengalaman hidup kita sebelumnya. Masa depan kita tidak
terbatas. Kita memiliki bukan satu kehidupan, tetapi satu rangkaian kehidupan.

Makna waktu berbeda bagi mereka yang percaya pada doktrin predestinasi, yang percaya
bahwa hidup dan keberadaan manusia sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan. Waktu baginya adalah
saat untuk melaksanakan skenario Tuhan. Waktu adalah saat Ki Dalang memainkan wayangnya.
Pengalaman kesempatan bertindak, dan pengharapan tidak memiliki makna bagi wayang. Memakai
pengertian Eric Fromm, mereka yang percaya pada doktrin predestinasi memiliki hidup yang
sepenuhnya dijadikan oleh Tuhan. Bagi kita yang percaya pada hukum karma dan reinkarnasi,
hidup adalah proses menjadi. Waktu adalah kesempatan bagi kita untuk menjalani proses itu. Waktu
mengajari manusia satu hal penting. Waktu terus mengalir. Demikian pula hidup kita terus mengalir.
Tetapi waktu hanya mengalir ke satu arah, ke depan! Demikian hidup kita? Sungai karena
kodratnya dengan tekun terus mengalir ke laut. Tetapi kemanakah hidup kita menuju? Tujuan akhir
manusia, menurut agama Hindu adalah Moksa, Manunggaling kawula lan gusti. Bersatunya Atman
dengan Brahman. Hidup kita menuju sangkan paraning dumadi, asal dari kehidupan. Ada tiga jalan
utama yang disediakan untuk mencapai tujuan itu; jalan pengetahuan (Jnana Marga), jalan cinta
kasih (Bhakti Marga) dan jalan kerja (Karma Marga). Menurut Arvind Sharma, guru besar
perbandingan agama dari Universitas McGill, Kanada, jalan yang cocok untuk zaman ini adalah
Karma Marga. Sebab dalam Karma Marga sudah terkandung unsur Jnana dan Bhakti, sebagaimana
dipraktekkan oleh Mahatma Gandhi. Namun sebelum mencapai tujuan akhir ini, ada tiga tujuan lain
yang juga sangat penting yang harus dicapai manusia, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Apabila
orang tidak menghendaki dirinya dilanda dan hanyut menuju kemerosotan dari suksma menjadi
sthula (materi), maka pikiran dan perbuatan haruslah dikendalikan dengan dharma. Tiga yang
pertama tujuan kehidupan (triwarga) yang terdapat di jalan prawrtti ialah dharma, artha dan kama.

1. Dharma

Dharma artinya sesuatu yang mesti dipegang erat-erat, misalnya ialah hukum, kebiasaan, adat-
istiadat, agama, kasih sayang, kebenaran, keadilan, kewajiban, prestasi dan moralitas. Jadi dharma
itu tidak lain dari prinsip-prinsip yang utuh dan kekal (sanatana) yang menyangga seluruh alam
semesta ini menjadi satu kesatuan, baik pada bagian-bagiannya maupun pada keseluruhannya,
hidup atau mati. “Sesuatu yang menunjang dan mempersatukan seluruh makhluk di alam semesta
disebut dharma”. “Dharma dicanangkan untuk menciptakan dan memberikan keutuhan hidup.
Dharma itu menunjang dan memelihara. Karena dharma itu menunjang dan mempersatukan, maka
ia disebut dharma. Dengan dharma umat manusia dipertahankan”. Jadi dharma itu bukan
merupakan aturan bikinan (artificial), tetapi merupakan kaidah (prinsip) untuk hidup benar. Ciri-ciri
dharma, sama dengan ciri-ciri kebaikan, yaitu perilaku yang baik (achara), melalui perbuatan baik
itu dharma itu diwujudkan sehingga dicapailah kemashuran secukupnya di dunia ini dan di alam-
alam selanjutnya. Landasan dari sanatana dharma ialah revelasi (shruti) seperti tercantum di dalam
sastra-sastra, seperti Smrti, Purana dan Tantra. Dharma artinya agama, dharma juga berarti
kewajiban-kewajiban. Memahami kewajiban, memahami agama merupakan landasan bagi hidup
bermoral.

2. Artha

Artha berarti benda atau sarana yang dapat memuaskan naluri dan juga berarti tujuan hidup
harta benda dan kekayaan. Pengertiannya secara luas ialah sarana yang dibutuhkan untuk
menunjang kehidupan ini dalam pengertian biasa berarti makanan, minuman, uang, rumah, tanah,
dan berbagai bentuk kekayaan yang lain; lebih lanjut itu juga berarti segala sesuatu yang dapat
memuaskan keinginan luhur, seperti kekaguman terhadap keindahan, pemujaan, di mana untuk itu
pun artha diperlukan. Bantuan yang diberikan kepada orang lain, dalam bentuk apa pun, itu pun
artha. Jadi tegasnya, artha itu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memuaskan keinginan,
yang sifatnya rendah atau tinggi. Untuk kebahagiaan dan ketentraman hidup di dunia ini, dorongan
keinginan itu hendaknyalah dorongan keinginan yang baik dorongan yang mengakui bahwa
manusia harus tunduk kepada dharma maka demikian itu pula halnya dengan benda-benda yang
dicari untuk memuaskan keinginan tersebut, benda-benda pemuas itu pula harus dikendalikan oleh
dharma. Ketika sedang menempuh prawritti marga, triwarga harus dipupuk juga dengan penuh
keseimbangan, karena orang yang keranjingan kepada salah satu saja dari unsur triwarga itu yang
tidak dibenarkan (dharmmartha kamah samanewa sewyah yo hyekasaktah sa jano jagha nyah).

3. Kama

Kama ialah dorongan keinginan (nafsu) dan dapat diterjemahkan dengan kata naluri, nafsu dan
keinginan, seperti misalnya dorongan keinginan untuk menikmati kekayaan, kesuksesan, keluarga,
kedudukan, atau bentuk-bentuk lain kesenangan untuk sediri maupun untuk orang lain. Adapun
naluri yang sangat kuat mempengaruhi jiwa mahluk hidup terutama manusia, yaitu lapar, dahaga
dan nafsu birahi (sexual impulse). Selain dari pada itu yang tiga jenis naluri, nafsu atau keinginan
ini terdapat juga naluri yang lain pada jiwa manusia sebagai takut, marah, senang dan keinginan-
keinginan untuk mendapat serba benda, kepuasan duniawi dsb. Kama juga mendorong manusia
untuk menikmati dan memiliki hal-hal yang bersifat besar dan mulia, keinginan atau ambisi untuk
memiliki hal-hal sedemikian itu merupakan ciri betapa besarnya jiwa itu. Keinginan, apakah
tingkatnya tinggi atau rendah, haruslah diatur, dan manusia dikendalikan oleh dharma yang
mengatur kehidupannya. dalam kerangka Dharma, Artha dan Kama memperdalam bobot spiritual
manusia. Agama hindu sama sekali tidak mengabaikan kehidupan duniawi. Kehidupan duniawi ini
(dharma, Artha dan Kama) merupakan syarat untuk mencapai Moksa.

4. Moksha

Dari empat tujuan itu, moksha atau mukti merupakan tujuan sejati dan terakhir. Tiga tujuan
yang lain itu masih dihantui oleh berbagai bentuk kekhawatiran, dan kematian sebagai
keakhirannya. Mukti berarti “membuka ikatan” atau membebaskan. Jiwa dibebaskan dari ikatan
samsara, ikatan dari eksistensi phenomenal ini, sehingga dengan demikian menyatu dengan
berbagai tingkat kesempurnaan paramatma. Kebebasan sedemikian itu bisa didapatkan dengan
sarana pengetahuan spiritual (atmajnana) dan tentu saja pengetahuan sedemikian itu harus terlebih
dahulu dilandasi dengan kehidupan moral melalui pelekatan diri kepada dharma. Untuk mencapai
sifat kesejatian jiwa itu, pengetahuan itulah yang diperlukan, belum cukup sekedar memiliki moral
dan etika itu diremehkan, moral dan etika harus dimiliki terlebih dahulu, tetapi sampai tingkat
kesadaran tertentu, moral itupun kehilangan keampuhan untuk melanjutkan perjalanan menuju
tujuan yang terakhir ini. Moksa itu merupakan ujung terakhir dari niwriti marga. Triwarga (dharma,
artha dan kama) ialah ujung terakhir prawritti marga. Kautilya, atau Canakya, cendikiawan besar
Hindu yang hidup kira-kira 2300 tahun yang lalu mengatakan “Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Bila satu dari keempat hal ini tidak dicapai oleh manusia, maka lahir ke dunia ini hanyalah
untuk mati”.

KONTEMPLASI DAN PROYEKSI

Lalu apa makna puputan dengan genta pinara pitu disini? Mengapa pada hari itu beliau memilih
untuk puputan? Mengapa pada saat itu beliau berparum param dengan Tuhannya menjadi
Mahaeswara-Maheswari merasuk ke dalam perut parashaktimaya ‘garbha datu’ dan hadir di dalam
swayambhu lingga kundalini? Simbolik apa yang dikandungnya?

Marilah kita bayangkan kita sedang menyusuri sungai dengan rakit. Setelah menempuh
perjalanan selama seabad, kita berhenti sejenak. Menepi ke pinggir sungai. Rakit ditambatkan. Kita
mencari tempat berteduh di bawah pohon yang rindang. Kita melihat ke belakang, menilai kembali
ziarah kita. Berapa jauhkah jarak yang sudah kita tempuh? Rintangan apa yang telah kita hadapi?
Bagaimana kita menghadapi rintangan itu? Apakah cara kita mengayuh sudah benar? Setelah
mengetahui hasil evaluasi ini, sekarang kita melihat ke depan. Apakah tujuan itu tampak dengan
jelas? Apakah arahnya jelas? Jalan mana yang harus kita tempuh untuk mencapai tujuan itu? Berapa
jauh jarak yang ingin kita tempuh selama seabad / berabad-abad yang akan datang? Bagaimana kita
mengayuh agar rakit kita bergerak lebih cepat?
Demikian kita membagi perjalanan kita dalam 100 tahun Puputan Klungkung. Di belakang
kita ada tahunan. Di depan kita tahunan lagi. Diantara kedua ruas waktu itu kita ambil satu hari
untuk menilai dan membuat rencana. Dalam bahasa sekarang, pada hari itu kita melakukan
kontemplasi, refleksi dan proyeksi. Suasana yang hening dan sunyi dibutuhkan agar hal itu dapat
dilakukan dengan baik.

Perjalanan ke depan adalah ziarah menuju harapan. Tetapi tidak ada kebahagiaan tanpa
pengorbanan. Maka kita harus menyiapkan diri, secara jasmani dan rohani, mental dan spiritual.
Berbeda dengan air sungai yang mengalir begitu saja, sesuai kehendak alam. Kita harus
mengarahkan, mengatur, dan mengendaliakan. Kita tidak ingin tenggelam dalam jeram yang dalam
bersama rakit yang kita biarkan hanyut terbawa arus tanpa kendali.

Parum-Param Puputan adalah Awal Penciptaan

Puput (Nengakna) adalah awal dari sepi. Sepi adalah prasyarat bagi penciptaan (lihat Big
Bang). Rig Weda dalam sloka penciptaan (Hymn of Creation) mengatakan : Pada awalnya tidak
ada yang ada dan yang tidak ada, seluruh dunia adalah energi yang belum terwujud. Yang Satu
(Tuhan) bernafas, tanpa nafas, dengan kekuasaanNya sendiri, tiada sesuatu pun di sana.

Ayat pertama Kitab Kejadian dari PerjanjianLama mengatakan : Pada mulanya Tuhan
menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong ; gelap gulita memenuhi
samudera raya, dan roh Tuhan melayang-layang di atas permukaan air.

Dalam agama Buddha, bukan Tuhan, mahluk (being) atau substansi tetapi sepi atau Sunyata yang
merupakan hakikat kenyataan yang terakhir (Ultimate reality). Segala sesuatu berasal dari Sunyata.
Karena Sunyata segala sesuatu menjadi ada. Sepi dalam konsep Hindu, dan Sunyata dalam konsep
Buddha bukan sesuatu yang negatif. Seluruh penciptaan, dari penciptaan alam semesta sampai
penciptaan sebait puisi berawal dari sepi. Mencipta adalah proses membuat ada dari yang tidak ada.
Dengan melompati diskusi filsafat, kehadiran serta kegiatan kita di dunia ini memerlukan satu
derajat sepi atau kekosongan. Kita memerlukan tempat kosong bila hendak mendirikan rumah. Air
hanya dapat ditaruh dalam gelas yang kosong. Tanpa ruang kosong kita tidak bisa berada di atas
bumi ini.

Penciptaan Adalah Kebahagiaan

Prasna Upanishad mengatakan : “Pada awalnya Sang Pencipta merindukan kebahagiaan


dari penciptaan. Ia diam dalam meditasi, lalu muncullah Rayi, materi (zat) dan Prana, hidup.
“Kedua hal ini”, pikir-Nya, “akan menciptakan mahluk-mahluk untukKu”.

Chandogya Upanishad mengatakan :

Di mana ada penciptaan, di sana ada kemajuan. Di mana tidak ada penciptaan, di sana tidak ada
kemajuan ketahuilah hakikat dari penciptaan.

Di mana ada kebahagiaan, di sana ada penciptaan. Di mana tidak ada kebahagiaan, di sana tidak
ada penciptaan ; ketahuilah hakikat dari kebahagiaan.
Di mana ada yang Tak Terbatas, di sana ada kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan dalam yang
terbatas; hanya dalam yang Tak Terbatas ada kegahagiaan; ketahuilah hakikat dari yang Tak
Terbatas.

Di mana tidak ada sesuatu pun terlihat, atau terdengar, atau diketahui, di sanalah ada yang Tak
Terbatas. Di mana ada sesuatu yang terlihat, terdengar atau diketahui di sana ada yang terbatas.
Yang Tak Terbatas abadi ; tetapi yang terbatas fana.

Kita memulai perjalanan tahun kita dengan sepi, hening dan heneng (Nengakna).

Bersatu Dengan Kesadaran Murni

Dalam kehidupan manusia, sepi merupakan bagian yang sangat penting. Deepak Chopra,
penulis India yang kini bermukim di Amerika Serikat, yang telah menulis banyak buku-buku best
seller, menulis: “Mempraktekkan diam berarti membuat satu komitmen untuk mengambil satu
waktu tertentu untuk semata Menjadi (Be). Menjalani sepi berarti secara berkala menarik diri dari
aktivitas berbicara. Ia juga berarti secara berkala menarik diri dari kegiatan-kegiatan menonton
televisi, mendengar radio, membaca buku. Bila anda tidak pernah memberi kesempatan diri anda
untuk mengalami sepi, ini akan menciptakan kekacauan dan keributan dalam dialog internal
(parum param) anda.”

“Mengapa kita memerlukan heneng?” kata Chopra lagi, “Hakikat kita (manusia) adalah kesadaran
murni. Kesadaran murni adalah potensialitas murni; ia adalah wilayah segala kemungkinan dan
kreativitas yang tak terbatas. Kesadaran murni adalah inti spiritual kita. Bersifat tidak terbatas dan
tidak terikat, ia juga adalah kebahagiaan murni. Atribut atau nama lain dari kesadaran adalah ilmu
pengetahuan murni, sepi tanpa batas, keseimbangan sempurna, yang tak dapat ditaklukkan, kese-
derhanaan dan wara nugraha (rakhmat)”.

Melalui meditasi kita akan belajar mengalami sepi murni dan kesadaran nurani. Dalam lapangan
sepi yang murni terdapat korelasi yang tak terbatas, lapangan penyatuan kekuatan/kekuasaan yang
tak terbats, landasan terakhir dari penciptaan di mana segala sesuatu dihubungkan secara tak dapat
dipisahkan dari segala sesuatu yang lain. Dengan kata lain, dalam sepi jiwa kita (Atman) bersatu
dengan jiwa alam semesta (Brahman atau Tuhan).

Taittiriya Upanishad mengatakan : “Dia yang mengetahui Tuhan (Brahman) yang adalah
Kebenaran, Kesadaran, dan Kebahagiaan Tak Terbatas, tersembunyi di tempat terdalam dari jiwa
kita dan di surga yang tertinggi, menikmati segala sesuatu yang diinginkannya dalam persatuan
dengan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Dari Tuhan (Brahman) pada awalnya muncul ruang. Dari
ruang muncul udara. Dari Udara muncul api. Dari api muncul air. Dari Air muncul tanah yang
padat. Dari tanah muncul tumbuh-tumbuhan. Dari tumbuh-tumbuhan muncul makanan dan biji
(bibit). Dan dari biji dan makanan muncullah satu makhluk hidup, manusia”.

Mendengar Suara Hati Nurani : Dharma Sunya

Melalui aspek waktu kita menilai hasil. Melalui suara hati kita menilai cara. Teknologi
modern telah menyediakan kita sarana untuk melakukan komunikasi secara ajaib. Melalui teknologi
telekomunikasi kita dapat berbicara dengan orang lain yang berada di ujung dunia yang lain.
Melalui teknologi elektronika kita bisa bicara dengan jutaan orang sekaligus. Namun teknologi
modern tidak menyediakan kita sarana untuk bicara dengan diri kita sendiri. Malah sebaliknya,
teknologi modern telah mempersulit komunikasi itu. Gemuruh suara mesin di jalan dan di tempat
kerja, hingar bingar suara hiburan dan banjir informasi dari alat-alat elektronik di rumah, telah
membuat telinga batin kita hampir tuli. Tetapi hambatan yang paling besar berasal dari sikap hidup
atau nilai-nilai kemodernan. Dua dari padanya adalah nilai efisiensi dan kompetisi. Efisiensi
dimaksudkan bahwa semua aktivitas kita harus menghasilkan sesuatu dalam jumlah sebanyak-
banyaknya dan dengan mutu sebaik-baiknya. Kompetisi menetapkan yang baik adalah yang
menang. Dalam persaingan murni, yang menang adalah yang paling efisien. Mau tidak mau kita
harus menyesuaikan diri dengan kedua nilai-nilai ini. Sikap hidup dan teknologi modern telah
bersekongkol untuk merampas waktu kita untuk berdialog, untuk parum param ttg dahsyatnya
genta pinara pitu dengan diri kita sendiri.

Tetapi kita umat Hindu di Indonesia sangat beruntung. Karena hari sepi (henengakna)
memberikan kita kesempatan penuh untuk melakukan dialog dengan diri kita sendiri. Lalu apa yang
kita bicarakan dengan hati kita? Hal-hal sederhana tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap hidup
kita.

Kita bertanya : “Apakah perbuatan kita selama ini membawa kebaikan kepada orang lain?
Atau sebaliknya merugikan orang lain? Apakah karena keberhasilan itu kita telah menjadi
sombong?” Pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam ini yang harus kita ajukan secara berulang-
ulang. Kemudian kita harus menunggu jawabannya dengan sabar. Suara hati itu sangat halus
getarannya. Makin tebal keserakahan dan kesombongan menutupi hati kita makin sulit suara itu
terdengar. Sebaliknya semakin bersih hati kita akan semakin jernih suara itu kedengaran. Dalam
masyarakat modern Heneng, sepi, suara hati semakin relevan dan bagaimana aktualisasinya? Itulah
sabda Brahman dalam aktualisasi Kemahatmianan Genta Pinara Pitu dan Memaknai Puputan
dalam konteks pembangunan semesta menuju ke kesempurnaan, kelepasan, Nirbhana/Tyaga.

Dalam kekawin Dharma Sunya buah karya Danghyang Nirartha disuratkan :

//ambek sang wiku siddha tan pakahingan tamutuga ri kamurtining taya/tan linggar humeneng
licin mamepekin bhuwana sahananing jagat raya/norang lor kiduling kidul telas hane sira juga
pamekas nirarsraya/kewat kewala sunya nirbana lengong luput inangen-angen winarna ya //

Artinya : bathin seorang maha pandita adalah tidak terbatas lagi, beliau telah dapat menjangkau
alam tertinggi/bhatinnya tidak terpencar lagi, tenang, halur dan menyusupi seru sekalian
alam/sebutan utara – selatan, telah tidak ada padanya, hal itu disebutkan hakikat nirarsra-
ta/langgeng, berbadan sunya yang sempurna, indah, dan sangat sukar memikirkan dan
menggambarkannya //

Pada bagian lain kekawin Dharma Sunya ini menyuratkan bahwa bathin seorang mahayogi,
mahamuni, atau mahakawi, artinya dia telah memasuki alam Sunyata, adalah laksana samudera
cemerlang tanpa noda, bebas dari ikatan dan telah menikmati sari-sari keindahan. Ia bagaikan seo-
rang maha pandita yang nyata-nyata sebagai lingganya dunia, bagaikan nyala api pemujaan hasil
karyanya membawa terang dimana-mana. Dan banyak lagi sejumlah karya sastra yang secara
eksplisit menyebutkan Sunya seperti Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa dll.

Yang terpenting dalam kajian sastra tersebut dapat disimpulkan bahwa Sunya tersebut adalah
kesadaran ketika telah bersatu dengan Paramasiwa. Sunya adalah kesadaran Paramasiwa,
Kesadaran ketika telah menikmati bhoga paramasiwa sehingga para pengawi terutama pada bagian
pemujaan kekawin ini Danghyang Nirartha memuja Paramasiwa sebagai Sang Hyang Sekalatma,
berarti jiwa dari segala yang hidup. Paramasiwa dilukiskan sebagai “Sang Saksat pinakesti ning
manah aho”’ Ia yang tak ubahnya sebagai isi alam pikiran suci, dan “Sang mawak ring tuturku”’ Ia
yang mewujudkan alam kesadaranku. Kepada “Ia” yang ada di dalam diri sang pengawi tersebut.

Demikian alam sunya adalah merupakan tujuan ideal umat Hindu. Tujuan ideal atau tujuan yang
tertinggi tersebut diyakini dapat tercapai apabila melalui latihan-latihan yang terus menerus. Itulah
sebabnya agama Hindu memberi kedudukan terpenting pada ajaran Tapa, Brata, Yoga dan Semadi,
serta melakukannya secara bersamaan pada keyakinan akan melakukan tindakan Puputan-
Kelepasan / Tyaga.

PROSES KEHINDUAN DI BALI


I. PENDAHULUAN

Belum dapat dipastikan, kapan agama Hindu muncul di Indonesia. Demikian pula mengenai siapa
yang membawa agama Hindu ke Indonesia, belum diketahui secara jelas. Dari data-data yang
sementara ini dapat dikumpulkan memberi gambaran, bahwa agama Hindu muncul di Indonesia
diperkirakan sejak permulaan abad Masehi. Kendatipun demikian namun kontak-kontak
pendahuluan mengenai hubungan Indonesia dengan India telah terjadi jauh sebelumnya.

Perkembangan agama Hindu secara menyeluruh di Indonesia merupakan suatu deretan sejarah yang
panjang serta mengalami pasang surut dan akhirnya ekstensinya tetap ada di Indonesia sampai
sekarang. Situasi kehidupan negara Indonesia yang mantap memberikan gambaran bahwa prospek
kehidupan agama Hindu di Indonesia dimasa mendatang adalah cerah. Berkembangnya kembali
agama Hindu di Indonesia (baca : di luar Bali) disebabkan aleh beberapa faktor antara lain sebagai
berikut :

1. KuItur Indonesia sebelum datangnya agama-agama lain adalah kultur Hindu.


Dari pustaka Negarakertagama dapat diketahui bahwa Kerajaan Majapahit pada
abad 14 berhasil mewujudkan suatu negara kesatuan Nusantara di bawah
naungan Majapahit. Kultur inilah tumbuh kembali setelah disentuh oleh ajaran-
ajaran agama Hindu lewat buku-buku agama Hindu yang beredar sekarang,
disamping juga sastra-sastra agama Hindu yang tersimpan dalam berbagai
lontar yang kini banyak ada di Bali dan Lombok.
2. Ajaran agama Hindu menyentuh rasa bathin dan jiwa yang mendalam dan
membuka pemikiran yang konsepsianal. Pembahasan dilakukan secara rasional
dan filosofis, sehingga dapat membuka kungkungan dari dogmatis.

3. Ajaran agama Hindu bersifat fleksibel dan elastis. Sifat fleksibelitas ini
didasarkan atas ajaran-ajaran yang supel dan luwes bersumber pada Weda
yang senantiasa bersifat up to date. Dengan demikian, maka agama Hindu
tidak tergoyahkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta proses
modernisasi.

Dalam banyak hal, corak agama Hindu di Indonesia (baca : di Bali) berbeda dengan corak agama
Hindu di India, meskipun sumber dan inti hakekatnya sama. Apabila di India Tri Murti dipuja
secara horizontal, maka di Indonesia Tri Murti dipuja secara vertikal dengan pujaan utama kepada
Dewa Siwa. Konsepsi pemujaan Tri Murti mulai dikenal di Indonesia sekitar pertengahan abad 7,
sedangkan pemujaan terhadap Dewa Siwa lebih awal dikenal di Indonesia yaitu sekitar abad 4 M.
Dengan demikian pada awal kedatangan agama Hindu di Indonesia, dikenal dua konsepsi yaitu
konsepsi Siwa Siddhanta dan konsepsi Tri Murti. Dalam proses perkembangan agama Hindu di
Indonesia, maka konsepsi Tri Murti luluh dengan konsepsi Siwa Siddhanta. Maka itulah kita dapati
di Indonesia suatu lingga tribaga berdiri tegak diatas yoni .

Implikasi agama Hindu dengan kebudayaan terutama di Bali sangat pekat. Agama Hindu menyinari
kebudayaan, sedangkan kebudayaan menopang aktivitas agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, maka upacara-upacara agama Hindu dan saran-sarana keagamaannya dapat
diwujudkan secara meriah yang penuh dengan arti dan simbolis. Di sinilah muncul anggapan pada
mereka yang kurang memahami yang mengatakan bahwa, agama Hindu adalah agama budaya.
Sudah tentu anggapan seperti itu tidak benar dan perlu diluruskan. Berbagai anggapan keliru
dilontarkan kepada agama Hindu seperti : agama budaya, politheisme, menyembah berhala,
membakar jenazah dikatakan kejam, memakai dupa dikatakan memanggil setan, upacara agama
dikatakan pemborosan materi dan sebagainya. Tanggapan keliru itu perlu dihilangkan dengan
memberikan penjelasan-penjelasan yang rasional dan konsepsional. Karenanya masalah Theisme
atau konsepsi Ketuhanan di dalarn agama Hindu perlu dijelaskan secara gamblang.

Peninggalan monumental seperti Candi di Jawa dan Pura di Bali, patut dikenal arti dan fungsinya,
karena peninggalan-peninggalan itu menampakkan kebesaran agama Hindu di masa lalu pada
zamannya. Demikian pula karya sastra Hindu berupa pustaka lontar yang memuat berbagai
pengetahuan, perlu dikenal dan diresapkan isinya, karena sebagian besar dari karya sastra itu
membentangkan masalah tattwa, tata susila dan upacara dan acara agama.

Hal-hal seperti itulah yang melintasi pikiran didalam upaya mengungkapkan Proses Kehinduan di
Indonesia khususnya di Bali.

II. LATAR BELAKANG AGAMA HINDU DI INDONESIA

Agama Hindu bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa / Hyang Widhi yang turun di India
sekitar 2500 tahun BC. Wahyu-wahyu itu merupakan pengetahuan suci yang diterima oleh orang-
orang suci atau Rsi-Rsi dalam keadaan semadhi, kemudian dihimpun oleh beberapa Maharsi antara
lain Maharsi Wyasa yang mengumpulkannya menjadi Catur Weda berasal dari akar kata wid yang
artinya tahu. Dari akar kata wid ini menjadi kata Weda yang berarti pengetahuan suci. Juga dari
akar kata wid menjadi kata Widhi artinya yang memberi/sumber pengetahuan suci itu. Dari akar
kata wid ini juga, menjadi kata widya yang artinya kesadaran atau ilmu pengetahuan dan kebalikan
dari widya adalah awidya yang artinya ketidaksadaran/kegelapan (ignorance).
Dengan turunnya Weda di India, maka timbullah suatu periode sejarah yang disebut zaman Weda.
Pada zaman ini berkembanglah suatu corak kebudayaan baru di India yang mengambil sumber pada
Weda dan meliputi beberapa aspek kehidupan yang disebut dengan suatu istilah Hinduisme
sebagaimana disebutkan di dalam Arya Warta.

Dalam perkembangan lebih lanjut pada Zaman Upanisad dimana bermunculan filsafat-filsafat di
India, maka muncullah aliran-aliran yang disebut paksa atau sekte dalam agama Hindu, anatara lain
sekte Saiwa, sekte Waisnawa, sekte Brahma, sekte Tantrayana dan lain-lain. Sekte Saiwa memuja
Dewa Siwa sebagai suatu tokoh yang paling utama, sekta Waisnawa memuja Dewa Wisnu sebagai
satu-satunya Tokoh yang paling utama, sekta Brahma mentokohkan Dewa Brahma dalam
pemujaannya dan sekte Tantrayana memusatkan pemujaannya kepada Dewi Durga. Tiga dewa :
Brahma, Wisnu dan Siwa dipuja secara horizontal, sebagai Dewa Tri Murti manifestasi dari Hyang
Widhi.

Disamping agama Hindu, bahwa di India pada abad ke 5 BC muncullah agama Buddh2 yang
menekankan ajarannya kepada masalah etika dan hukum karma. Agama Buddha juga mengajarkan
berbagai aturan hidup masyarakat dan menimbulkan suatu paham yang disebut Buddhisme. Agama
Buddha dibagi menjadi dua kelompok besar yang disebut Mahayana dan Hinayana. Dari masing-
masing kelompok ini terbagi lagi menjadi beberapa mazab (aliran).

Pengertian Hinduisme di India, tidaklah mencakup Buddhisme dan kedua isme itu berdiri sendiri
menempuh jalan sendiri dalam proses perkembangannya masing-masing. Tetapi pengertian
Hinduisme di Indonesia mencakup pula Buddhisme Mahayana atau dengan kata lain Hinduisme di
Indonesia mencakup semua paham yang berasal dari India yang masuk ke Indonesia pada abad
permulaan tarikh Masehi yang didukung oleh budaya lokal di Indonesia.

III. PROSES PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI INDONESIA

Pengaruh Hindu datang di Indonesia diperkirakan pada permulaan tarikh Masehi. Proses
kedatangannya berlangsung secara damai dan bertahap-tahap. Kontak pendahuluan melalui media
perdagangan yang dilakukan oleh pedagang India dengan para pedagang Indonesia (ada beberapa
teori mengenai ini). Bukti-bukti ke Hinduan yang tertua di Indonesia diberikan persaksian oleh batu
bertulis (Yupa) yang terdapat di Kutai Kalimantan Timur, memakai huruf Pallawa dan berbahasa
Sansekerta. Berdasarkan huruf Pallawa yang dipakai dalam Yupa tersebut, ditarik kesimpulan
bahwa pengaruh Hindu yang masuk ke Indonesia, diperkirakan pada abad ke 4 Masehi, berasal dari
daerah Koromandel di India Selatan. Dari segi keagamaan, keterangan yang tertulis pada Yupa itu
menunjukkan corak Siwais, dinyatakan dalam kata Vaprakesvara yang berarti suatu tempat suci
yang berhubungan dengan pemujaan terhadap Iswara yaitu nama lain dari Dewa Siwa.
Diperkirakan sekitar 5 Masehi, muncullah ke Hinduan di Jawa Barat, ditandai dengan ditemukan 7
buah prasasti batu. dari segi keagamaan terdapat berbagai spekulasi mengenai agama yang dianut
oleh kerajaan Tarumanegara. Ada bukti kuat yang menduga bahwa raja Pumawarman memuja
Dewa Wisnu. Ada pula pendapat lain yang mengatakan raja Pumawarman memuja Siwa dan ada
juga yang berpendapat bahwa ia menganut paham Brahmanical Religion.

Bukti-bukti masuknya agama Hindu di Jawa Tengah diberikan persaksian oleh prasasti batu Tuk
Mas di desa Dakawu yang menyebutkan pujian terhadap kesucian sungai Gangga disertai gambar-
gambar atribut Dewa Tri Murti, yaitu : Kendi (amrta-Brahma), Gadha (Wisnu) dan Trisula (Siwa)
yang diperkirakan dibuat pada tahun 650 Masehi.

Pada zaman yang berikutnya, prasasti Canggal di gunung Wukir Jawa Tengah yang berangka tahun
654 S = 732 Masehi, menyebutkan pemujaan terhadap Dewa Siwa, Wisnu dan Brahma dalam suatu
susunan yang vertikal, dengan mentokohkan Dewa Siwa sebagai yang paling dominan. Ini berarti
secara konkrit pada 732 Masehi agama Hindu dalam arti pemujaan Tri Murti telah muncul di Jawa
Tengah.

Munculnya agama Hindu di Jawa Timur ditandai oleh prasasti Dinoyo pada 760 Masehi. Di dalam
prasasti ini terdapat kata putikeswara yang berarti api suci dari Dewa Siwa. Perkembangannya
kemudian merupakan kelanjutan dari Jawa Tengah dengan berbagai corak.

Pengertian Tri Murti di Indonesia adalah pemujaan terhadap tiga dewa yaitu Brahma, Wisnu dan
Siwa secara vertikal dengan pemujaan terhadap Dewa Siwa paling menonjol. Karena itu paham Tri
Murti di Indonesia sering disebut Siwaisme atau sebaliknya Siwaisme atau agama Siwa adalah
cakupan Waisnawa dan Brahmaisme. Inilah yang secara nyata kita anut di Indonesia sekarang.
Mengenai siapa yang menyebarkan agama Siwa (baea : Hindu) di Indonesia, para ahli
menunjukkan kepada seorang tokoh yaitu : Maharsi Agastya yang banyak namanya diabadikan
pada prasasti-prasasti dalam Kesusastraan Jawa Kuno.

Disamping agama Hindu, maka agama Buddha juga masuk ke Indonesia. Menurut penelitian para
ahli, bahwa agama Buddha Hinayana masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke 3 Masehi. Hal
ini diberikan persaksian oleh arca perunggu berbentuk Buddha Dipangkara yang terdapat di
Sempaga-Sulawesi Tengah yang memakai gaya amarawati. Di Jawa Tengah agama Buddha
Hinayana telah ada tahun 664 Masehi, dimana seorang pendeta Buddha Cina bernama Hwining
menterjemahkan kitab Mulasarwastiwadanikaya, yaitu salah satu kitab suci Buddha Hinayana,
bersama pendeta Indonesia (Holing) yang bernama Jnanabhadra.

Pada abad ke 7 Buddha Mahayana masuk dan berkembang di Sumatera Selatan bersama dengan
pertumbuhan kerajaan Sriwijaya, yang diberikan persaksian oleh prasasti batu Kedukan Bukit tahun
683 Masehi dan prasasti batu Talang Tuwo tahun 684 Masehi. Dalam prasasti Talang Tuwo itu
terdapat kata Wajrasarira yang artinya berbadan Wajra. Ini memberikan data, bahwa agama
Buddha Mahayana yang masuk ke Sriwijaya adalah mazab Wajrayana atau juga disebut Buddha
Tantra. Selain mazab Wajrayana, maka mazab Yogacara dari Buddha Mahayana juga masuk ke
Indonesia.

Agama Buddha Mahayana ini juga masuk ke Jawa Tengah pada abad ke 8 Masehi, periode awal
Sailendrawangsa di Jawa Tengah diberi persaksian oleh prasasti Kalasan tahun 754 M. Masuknya
Buddha Mahayana ke Jawa Tengah yang diduga perkembangan dari Sriwijaya, mendesak Buddha
Hinayana di daerah itu, sehingga Buddha Hinayana tidak lagi disebut-sebut dalam sejarah Agama di
Indonesia.

Dari abad ke 8 sampai abad ke 9 agama Siwa dan agama Buddha Mahayana hidup berdampingan
secara damai di Jawa Tengah (peaceful coexistence) di bawah dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra.
hal ini dibuktikan dengan adanya Candi Borobudur sebagai lambang kemegahan agama Buddha
Mahayana pada abad ke 9 (824-842 Masehi) dan Candi Prambanan pada abad ke 9 juga (± 856
Masehi) sebagai lambang kemegahan agama Siwa di Jawa Tengah.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejarah mencatat terjadinya perluluhan antara beberapa unsur
agama Siwa dan agama Buddha Mahayana dan dalam proses perluluhan ini, agama Siwa lebih
dominan. Titik permulaan luluhnya antara kedua agama di mulai di Jawa Tengah sejak abad ke 9,
kemudian berkembang di Jawa Timur sejak abad ke 10. Secara intensif perluluhan itu memuncak
pada periode Singosari di Jawa Timur dan Kertanegara sendiri bergelar Prabu Siwa Buddha.
Dalam zaman Majapahit perluluhan itu lebih luas lagi meliputi bidang filsafat, upacara agama, seni
bangunan, kesusastraan dan tata pemerintahan. Pada periode inilah muncul kakawin Sutasoma dan
cerita Bhukbhuksah Gagangaking yang bertenden Siwa-Buddha.

IV. SEJARAH AGAMA HINDU DI BALI

Sesuai dengan sifat Sejarah, bahwa pengetahuan mengenai kedatangan Hinduisme di Bali
didasarkan atas fakta yang dapat dikumpulkan. Menurut hasil penelitian para ahli sejarah, bahwa
Hinduisme yang datang di Bali, ada yang datang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera dan ada
juga datang dari Thailand. Kapan mulai masuknya Hinduisme di Bali ? menurut bukti-bukti dalam
Stupika Buddha yang terdapat di Pura Penataran Sasih di Pejeng, bahwa dalam abad ke 8 di Bali
telah terdapat Hinduisme dalam wujud agama Buddha Mahayana dan agama Siwa. Juga prasasti
tembaga yang tersimpan di desa SukawanaKintamani tahun 882 Masehi sudah menyebutkan nama-
nama Bhiksu Siwa Nirmala, Bhiksu Siwa Praja dan Bhiksu Siwa Kangsita. lni berarti keberadaan
agama Siwa dan agama Buddha di Bali adalah pada kurun waktu yang bersamaan.

Dari data-data sejarah Bali Kuna, diperoleh keterangan, bahwa raja-raja Bali Kuna sebelum
kedatangan Gajah Mada ke Bali tahun 1343 Masehi, adalah memeluk agama Buddha Mahayana.
Agama Buddha Mahayana di Bali dianut oleh raja-raja dan para pejabat tinggi pemerintahan Bali
Kuna dahulu, sedangkan agama Siwa dianut oleh masyarakat.

Perluluhan agama Siwa dengan Buddha secara intensif di Bali, dimulai sejak akhir abad ke 10,
ditandai dengan perkawinan Dharma Udayana raja Bali Kuna yang beragama Buddha Mahayana
dengan Mahendradatta putri raja Jawa Timur yang beragama Siwa. Sejak itu agama Siwa
berkembang secara meluas di Bali dan agama Buddha tidak mengembangkan dirinya, melainkan
lu1uh ke dalam agama Siwa (baca : Hindu).

Pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu di Bali (abad ke 11), datanglah Empu Kuturan dari
Jawa Timur ke Bali. Be1iau berkedudukan di Silayukti Padangbai sekarang. Empu Kuturan datang
ke Bali, mengajarkan konsepsi pemujaan Tri Murti dan diterapkan pada masing-masing desa
pakraman. Beliau juga mengajarkan tentang Upaeara Ngaben Swasta, tentang upacara Manusa-
Yajna (Dharmakahuripan), tentang cara membuat meru di Besakih, tentang pedagingan pa1inggih
dan mendirikan Sad Kahyangan Jagat Bali serta beberapa Kahyangan lainnya lagi dan lain-lainnya.
Disamping itu beliau juga menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali dari sebelumnya serta
menghimpun beberapa sekte agama Hindu yang telah ada di Bali seperti : sekte Kala, sekte
Sambhu, sekte lndra, sekte Brahma, sekte Waisnawa dan sekte Saiwa.

1. Kala paksa : mengajarkan tentang upacara untuk tanam-tanaman (pertanian).


2. Sambhu paksa : mengajarkan tentang mengupacarai jagat (bhuwana), mengadakan tawur
dan caru kepada Panca maha bhuta.
3. Indra paksa : mengajarkan tentang mengupacarai laut, gunung, merebu bumi ngenteg
linggih (Dewahara).
4. Agni paksa : mengajarkan tentang mengupacarai atma atau rokh manusia serta sekalian
mahluk (sarwa prani).
5. Waisnawa paksa : mengajarkan tentang mengupacarai danau, sawah, ladang dan segala
pembersihan lahir bathin.
6. Saiwa paksa : mengajarkan tentang mengupacarai manusia dalam bentuk upacara-upacara
Janmaprawerti dan Dharmakahuripan.

Singkatnya :

Sambhu paksa : mengajarkan Jagatkrtih

lndra paksa : mengajarkan Samudrakrtih

Agni paksa : mengajarkan Atmakrtih

Waisnawa paksa : mengajarkan Danukrtih

Kala paksa : mengajarkan Wanakrtih

Siwa paksa : mengajarkan Janakrtih

Ajaran tersebut diatas disebut Sad-Kertih yang menjadi dasar dari bentuk-bentuk upacara agama
Hindu di Bali yang akhimya disempumakan dan dicakup ke dalam Panca Yadnya, disertai paham
Tantrayana.

Pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong di Gelgel (1460-1550 Masehi), datanglah Dang
Hyang Nirartha dari Kediri Jawa Timur Ke Bali. Kedatangan beliau ke Bali bertujuan ganda yaitu :

1. Mempertahankan Bali dari desakan paham baru (baca : Islam) yang telah
meruntuhkan Majapahit.
2. Meningkatkan dan menyempurnakan cara-cara hidup beragama Hindu di Bali
menuju kepada kemurniannya.

Beliau mengajarkan tentang Tripurusa dalam konsepsi Siwa Sidhanta yaitu : Siwa, Sada Siwa dan
Parama Siwa yang diidentikkan dengan Tri Murti. Beliau juga mengajarkan membuat palinggih
Padmasalla sebagai linggih Hyang Widhi. Beliau melakukan Karya Ekadasarudra di Besakih, guna
memohon kesentosaan rakyat Bali. Selain itu beliau juga mengajarkan tentang Panca Yadnya yang
disempurnakan di Bali dan juga menyusun Weda yang dipakai pegangan oleh para Pedanda
sekarang di Bali. Beliau adalah sastrawan besar dan berbagai karya sastra beliau diwariskan di Bali
sekarang seperti : Dharmasunya, Nitisastra, Ekapratama, Usana Bali, Ampik, Sebun Bangkung dan
sebagainya. Perjalanan beliau sebagai dharmayatra di Bali banyak diabadikan dalam Pura, seperti :
Purancak, Rambut Siwi, Tanah Lot, Peti Tenget, Uluwatu, Sakenan, Air Jeruk, Ponjok Batu dan
sebagainya. Beliau berdharmayatra sampai ke Lombok dan Sumbawa dan akhimya moksa di
Uluwatu.

Dalam periode ini pula datanglah Dang Hyang Astapaka dari Jawa Timur ke Bali. Beliau adalah
seorang pendeta Buddha dari keturunan Dang Hyang Angsoka yang beraliran Wajrayana dengan
pemujaan yang terutama kepada Wairocana yaitu Dhyani Buddha yang di tengah dalam susunan
Panca Tatagatha Buddha. Keturunan beliau sekarang terdapat di desa Budha Keling Karangasem, di
desa Batuan-Gianyar dan juga tempat lain.

Pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali yang berasal dari Majapahit menerapkan tradisi yang
berlaku di Majapahit seperti dalam upacara-upacara agama yang besar dipimpin oleh pendeta Siwa
dan Buddha, sebagaimana diuraikan didalam Negarakertagama yang kita warisi sekarang ini di
pulau Bali dan berkembang menurut desa, kala dan patra.

Dalam perkembangan lebih lanjut, bahwa sejarah mencatat terjadinya perubahan sistem kenegaraan
di Indonesia. Dengan dijajahnya Indonesia oleh Belanda, maka mulailah diterapkan pendidikan
klasikal di Indonesia, dengan sistem pendidikan baru. lni mengakibatkan berkembangnya pemikiran
intelektual di masyarakat termasuk dikalangan umat Hindu. Dengan demikian maka ajaran-ajaran
agama Hindu mulai dikaji secara mendalam dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan analisis-
analisis rasional. Hal yang demikian itu dipelopori oleh orang-orang Hindolog yang berhasil
menyelesaikan pendidikannya di India. Mereka mulai memperkenalkan Kitab Bhagawadgita dan
Kitab-kitab Upanisad yang sebelumnya kurang dikenal di Indonesian. Pandangan-pandangan
rasional bermunculan dan secara perlahan-Iahan menggugah hati nurani Umat Hindu untuk
memperdalam pengetahuan serta keyakinannya terhadap agama Hindu. Ini adalah proses awal
terbentuknya Parisada.

Sekarang Umat Hindu telah tersebar di seluruh propinsi di Indonesia, lebih-Iebih lagi di Jawa
Tengah dan di Jawa Timur. Berkembangnya kembali Umat Hindu di Indonesia yang pemah
mengalami masa kejayaan di Indonesia jaman Majapahit, bukanlah berarti menyebarkan agama
baru, melainkan mereka sendiri dengan penuh keyakinan untuk kembali menganut agama Hindu
yang dianut oleh nenek moyangnya dahulu.

V. PENGERTIAN TANTRAYANA

Tantrayana berpangkal pada Konsepsi-Dewi (Mother Gooddes) yang bukti-buktinya terdapat di


Lembah Sidhu. Dari Konsepsi-Dewi itu muncullah Saktiisme yaitu suatu ajaran yang
mengkhususkan pemujaannya kepada Sakti, yaitu kekuatan dari Dewa, terutama sekali pemujaan
terhadap Dewi Durga. Golongan pemuja Sakti disebut Sakta. Perkembangan lebih lanjut dari
Saktiisme itu munculan Tantrisme. Golongan itu memuja Sakti secara Ekstrim dan mereka disebut
Tantrayana. Tantra berasal dari kata Tan artinya memaparkan (memaparkan kekuatan dari Sakti
itu). Dari Tantrisme ini muncullah suatu pada Bhairawa yang artinya Iwhat. Paham Bhairawa itu
secara khusus memuja kehebatan daripada Sakti itu, dengan caracara yang spesifik. Mereka
melaksanakan barata lima MA, yaitu: mamsa, matsya, madhya, maituna dan mudra yang disebut
Panca Tattwa. Praktek ajarannya pada waktu malam diatas kuburan serta ditempat yang angker dan
mereka menggunakan masker. Kegunaan dari pada ini adalah untuk mendapatkan kharisma yang
tinggi yang diperlukan dalam suatu pengendalian pemerintahan. Maka dari itu aliran ini hanya
diikuti olh Raja dan Staf Pejabat Tinggi saja jaman dahulu. Bhairawa ada tiga macam yaitu :
Bhairawa Heruka, Bhairawa Kalacakra dan Bhairawa Bhima. Aliran ini mempunyai tendensi
politik dalam suatu pemerintahan dalam menghadapi musuh.

Di Bali, perkembangan dari Konsepsi-Dewi itu nyata sekali yaitu pemujaan Dewi/Bhatari lebih
menonjol dari pada pemujaan Dewa/Bhatara, misalnya pemujaan terhadap Dewi Saraswati, Dewi
Durga, Dewi Sri, Ibu Pertiwi dan sebagainya. Di dalam sistem kekeluargaan di Bali, banyak sekali
dijumpai Pura Ibu.

Perkembangan Saktiisme di Bali, menjurus kepada dua aliran yaitu : Pangiwa dan Penengen.
Kelompok Pangiwa memunculkan : Leyak, Desti, Teluh Taranjana dan Wegig. Kelompok Panengen
memunculkan Kawisesan dan Pragolan. Pangiwa berasal dari sistem Niwerti dalam Bhairawa,
sedangkan Panengen berasal dari sistem Prawerti dalam Bhairawa.

VI. CAKUPAN SUBSTANSI AGAMA HINDU DI BALI

6.1 Alam Pikiran Lokal

Alam pikiran (baca : Bali) adalah bersifat fleksibel dan elastis yaitu mau menerima unsur-unsur
pengaruh luar secara selektif untuk memperkaya pemikiran di Bali dan memberikan wama
tersendiri serta mengembangkannya menurut alam pikiran Bali, sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan sifat-sifat dan kepribadian masyarakat Bali. Pandangan yang luwes itu
melandasi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali,
sehingga mampu beradaptasi dengan produk-produk pemikiran dari luar, tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip kepribadian masyarakat Bali.

Sebelum kedatangan agama Hindu di Bali, Bali (baca : Indonesia) telah memiliki unsur-unsur
kebudayaan yang bemilai tinggi yang di dalam bahasa populernya disebut local genious, disamping
juga memiliki alam pikiran kerohanian dalam wujud religi yang bemilai tinggi. Alam pikiran inilah
yang disebut alam pikiran lokal yang telah ada sebelum datangnya pengaruh Hindu di Bali.

Setelah datangnya pengaruh Hindu di Bali dalam wujud sosial, budaya dan agama, maka terjadilah
akulturasi kebudayaan dan sinkritisme kepercayaan anatara alam pikiran lokal di Bali dengan
pengaruh Hindu yang selanjutnya berproses sedemikian rupa dan muncullah tatanan kehidupan
sosial, budaya dan agama Hindu di Bali. Oleh karena kualitas alam pikiran Hindu lebih tinggi
daripada alam pikiran lokal di Bali, maka dalam proses akulturasi dan sinkritisme itu alam pikiran
lokal menjadi dasamya dan pengembangannya diwamai oleh alam pikiran Hindu. Dengan lain
perkataan, bahwa tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali sekarang adalah
agama Hindu yang dilandasi oleh alam pikiran lokal di Bali.

Terjadinya hubungan harmonis antara alam pikiran lokal dengan alam pikiran Hindu di Bali
disebabkan oleh dua hal yaitu :

1. Alam pikiran lokal mau menerima alam pikiran Hindu secara selektif dan
menyesuaikannya dengan alam pikiran lokal yang hidup di Bali.
2. Alam pikiran Hindu yang masuk ke Bali tidak bersifat kaku, melainkan
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi alam pikiran lokal di Bali. Hal itu
disebabkan karena adanya konsep : desa, kala, patra dan kallistlta, madya,
utama dalam alam pikiran Hindu. Inilah menyebabkan mengapa agama Hindu
dapat hidup sepanjang zaman sehingga selalu up to date.

Beranjak dari analisis ini, maka tidak semua pengaruh Hindu diserap secara utuh di Bali, melainkan
diambil dan dipilih yang sesuai dengan alam pikiran lokal di Bali (baca : Indonesia), Catur Weda,
Manawadharmasastra, Nawadarsana, Ajaran Sekte, Tata Kemasyarakatan, Seni-Budaya, upacara
dan lain-lainnya. Dari sini dapat diketahui bahwa dalam banyak hal kehidupan agama Hindu di
India berbeda dengan agama Hindu di Bali, kecuali sumbernya yang sama yaitu Weda.

6.2 Sinkritisme Substansi Sekte

Di dalam bahasa Weda, sekte itu disebut paksa yang artinya bagian. Sekte-sekte itu telah ada sejak
zaman Reg Weda. Munculnya sekte-sekte itu karena penonjolan pemujaan kepada Dewa-Dewa
tertentu. Dewa-dewa yang terkenal di dalam Reg Weda antara adalah : agni, Indra, Marutha, Rudra
dan lain-lainnya. Perkembangannya kemudian terutama zaman Upanisad, sekte-sekte itu bertambah
banyak, bahkan banyak muncul sub-sekte antara lain : Saiwa, Waisnawa, Brahma, Saurapatha,
Indra, Wayu, Kala, Tantrayana dan sebagainya. Sekte Saiwa terbagi menjadi 4 aliran yaitu :
Ganapatha, Linggayat, Pasupatha dan Siwa Sidhanta. Demikian pula sekte yang lain juga terbagi
menjadi aliran-aliran.

Sekte-sekte ini masuk ke Indonesia dan ke Bali pada tahap awal kedatangan pengaruh Hindu ke
Indonesia dan Bali. Dr. R. Goris menyatakan ada 9 sekte agama Hindu di Bali yaitu : Siwa-
Sidhanta, Pasuphatha, Bhairawa, Waisnawa, Buddha, Brahmana, Resi, Ganapatha dan Sora. Tetapi
di dalam lontar Sad Agama disebutkan ada 6 sekte agamaHindu di Bali yaitu : Brahma, Waisnawa,
Saiwa, Bauddha, Kala dan Bayu. Apabila diteliti secara seksama, baik di dalam tradisi, maupun
didalam prasasti dan kesusastraan, dapat disimpulkan sekte-sekte agama Hindu yang ada atau
pemah ada di Bali adalah:

1. Brahma : Homatraya dan Agenisala ;


2. Waisnawa : Danukrtih;

3. Linggayat : Pemujaan Lingga;

4. Ganapatha : Pemujaan Gana;

5. Pasupatha : Pemujaan Pasupati ;

6. Siwa-Siddhanta : Pemujaan Tripurusa ;

7. Tantrayana : Pemujaan Durga dan Dewi;

8. Indra : Pemujaan Akasa dan mohon hujan;

9. Kala : Mengupacarai Gunung dan Lautan ;

10.Sambhu : Mengupacarai Jagat ;

11.Bayu : Pemujaan terhadap kekuatan (pramana) ;


12.Saurapatha : Pemujaan Surya;

13.Bauddha : Pemujaan Wairocana ;

Sekte-sekte ini mengalami perluluhan atau sinkritisme antara yang satu dengan yang lain. Proses
perluluhannya adalah sebagai berikut :

1. Perluluhan pertama terlihat pada prasasti Canggal tahun 732 di Jawa Tengah
dimana Brahma- Wisnu-Siwa dipuja dalam kesatuan vertikal dengan
mentokohkan Dewa Siwa sebagai pujaan yang utama.
2. Perluluhan kedua terlihat pada prasasti Klurak tahun 762 M di Jawa Tengah
antara agama Hindu (baca : Tri Murti) dengan agama Buddha Mahayana.
Perluluhan Siwa-Buddha ini makin kuat di Jawa Timur mulai Zaman
pemerintahan raja sendok dan berlanjut sampai zaman Singosari dan zaman
Majapahit serta ke Bali.

3. Perluluhan ketiga terjadi secara intensif di Bali dimulai dari periode Empu
Kuturan di Bali tahun l039 M, dengan tahapan sebagai berikut :

1. Sekte-sekte agama Siwa (Linggayat, Ganapatha, Pasupatha dan Siwa-


Sidhanta) luluh dan menyatu ke dalam Siwa-Sidhanta.

2. Sekte-sekte yang lain (selain Bauddha) luluh menjadi satu yaitu : Tri Murti
yang terdiri dari : Brahma- Wisnu-Siwa (Iswara) dalam suatu kesatuan
vertikal.

3. Konsepsi Tri Murti di Bali luluh dengan Konsepsi Tripurusa yang


merupakan hakekat dari pada ajaran Siwa-Sidhanta dengan menonjolkan
Paramasiwa sebagai Sang Hyang Widhi.

4. Konsepsi Tripurusa seperti tersebut pada butir c, luluh dengan Konsepsi


Buddha Mahayana dengan menyamakan Panca Tathagatha dengan Panca
Dewata dalam agama Hindu. Di dalam perluluhan Siwa-Budha ini,
Siwaisme lebih dominan dari pada Buddhisme.

Hakekat ajaran sekte-sekte itu semuanya menyatu menjadi satu konsepsi agama Hindu dan
ditopang oleh nilai-nilai alam pikiran lokal di Bali yang hidup di masyarakat. Inilah gambaran
kehidupan agama Hindu di Bali yang telah belangsung harmonis secara turuntemurun dalam
tatanan masyarakat Hindu di Bali.

Berbeda halnya dengan di India dimana sekte-sekte itu berdiri sendiri dan sulit terjadinya
perluluhan antara sekte yang satu dengan sekte yang lain, bahkan bertentangan antar sekte banyak
sekali.

6.3 Menghayati Agama Secara Utuh

Agama harus dihayati, dicamkan, direnungkan dan diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-
hari. Agama bukan hanya diomongkan, melainkan dilaksanakan dengan penuh keyakinan yang
bermuara pada logika dan rasa batin (atmanastuti). Ada dua komponen yang terpadu dalam agama
yaitu: rasa dan rasio. Didalam perpaduan ini, rasa (baca : rasa batin) mendominasi, karena Sang
Hyang Widhi tidak membedakan orang yang pintar dengan orang yang bodoh, melainkan
membedakan orang yang batinnya suci dengan orang yang batinnya kotor. Dalam hal ini ada dua
istilah yang dapat diangkat, yaitu: ahli agama dan agamawan. Ahli agama belum tentu agamawan,
tetapi agamawan sudah tentu tahu agama walaupun sangat minim. Karena itu agamawan lebih
tinggi nilainya dari pada akhli agama.

Metoda yang baik untuk mewujudkan adalam dalam kehidupan adalah melaksanakan Catur-Marga
(bhakti-marga, karma-marga, jnana-marga dan yoga-marga) secara utuh, karena hal itu merupakan
suatu kesatuan. Tidaklah dibenarkan apabila Catur-Marga itu dilaksanakan secara terpisah-pisah,
karena kualitas sumber daya manusia umat tidak sama kuatnya, maka adanya penonjolan salah satu
marga itu dapat dipahami, namun harus tetap dalam konteks kesatuan Catur-Marga itu secara utuh.

Kita memahami, bahwa agama Hindu memiliki tattwa, susila, upacara dan acara. Inipun harus
diwujudkan secara nyata didalam kehidupan sehari-sehari, karena semuanya itu merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila menonjolkan tattwa (baca: filsafat) saja tanpa diwujudkan
dengan susila, ini akan dapat memunculkan kemunafikan. Apabila menonjolkan susila saja tanpa
melaksanakan upacara (dalam arti luas), ini sulit menamakan apakah mereka beragama atau tidak.
Apabila upacara saja tanpa disadari tattwa dan susila, ini dikatakan dogmatis. Demikian pula
apabila melaksanakan acara (tradisi) saja tanpa didasari tattwa dan susila, ini dikatakan buta.

Maka dari itu kewajiban kita umat Hindu haruslah melaksanakan agama secara utuh, mencakup
tattwa, susila, upacara dan acara, sehingga suatu kesempurnaan akan dapat dicapai didalam
kehidupan ini. caranya adalah : tattwa harus dicamkan, susila harus dijadikan pedoman dan arahan
berperilaku, upacara harus dilakukan atas dasar Catur-Marga, dan acara harus dihormati sebagai
nilai luhur warisan budaya bangsa. Dengan demikian kesejahteraan batin dan kemantapan rohani
serta kestabilan jiwa akan dapat dicapai dalam kehidupan.

VII. KOMPARASI KEHINDUAN DI INDIA DENGAN BALI

7.1.1. Sosial, Budaya dan Agama Hindu

7.1.2. Sosial:

Masyarakat Hindu di India terdiri dari beberapa ethnis dan tribes seperti: Dravida, Arya, Naga, Sikh
dan lain-lain (Agama Sikh adalah campuran Hindu dengan Islam) yang masing-masing
menampakkan kharakternya sendiri-sendiri. Di sana ada perkampungan-perkampungan seperti desa
di Bali yang disebut Grama. Grama yang besar atau kumpulan beberapa Grama disebut Pura yang
berarti kota semacam Kota Kecamatan di Bali. Kehidupananya sangat kumuh dan kotor berbaur
dengan ternak sapi yang diperliharanya dan banyak sekali sapi liar yang berkeliaran di jalan-jalan.

Keadaan perkonomian masyarakatnya sangat lemah dan mundur serta banyak pengemis yang
berkeliaran di jalan-jalan. Pada umumnya tanah-tanah dikuasai oleh tuan-tuan tanah dan banyak
rakyat kecil yang tidak mempunyai tanah. Hal ini mungkin disebabkan penduduk India sangat padat
± 900 juta jiwa, disamping juga karena dampak politik swadesi dan satyagraha yang diajarkan oleh
Mahatma Gandhi yang menyebabkan ketertutupan India dari pengaruh dunia luar.
Suatu hal yang menarik perhatian dan merupakan suatu ironis adalah murahnya harga kain sutra
dan woll. Demikian pula buku-buku yang bagus berstandar internasional sangat banyak dan murah
harganya bila dihitung dengan rupiah Indonesia. Makanan pokok sehari-hari adalah susu dan
tepung beras dan gandum yang diramas sedemikian rupa dicampur gula dan bumbu-bumbuan yang
pedas. Jenis makanan yang paling umum di India adalah capati (seperti jajan kering) dan tali
(semacam jajan dicampur kentang dan sayur-sayuran). Orang India sebagian besar vegetarian,
lebih-lebih lagi di daerah Resikesh dan Haridwar di India Utara yang menerapkan kehidupan full
vegetarian dan juga didalam kehidupan Ashram-Ashram.

7.1.3. Budaya

Pada umumnya orang India pandai bersilat lidah, kikir dan sulit dapat menepati janji. Mereka
sangat berorientasi kepada nilai-nilai spiritual dan agaknya menyampingkan nilai-nilai kehidupan
duniawi, sehingga tampaknya kurang seimbangnya antara kehidupan skala dan niskala.

Produk budaya dalam wujud ilmu pengetahuan, teknologi, kesusastraan dan filsafat, sangat maju di
India. Demikian pula arsitektur bangunan suci seperti Mandir, misalnya memakai style Gotic dan
iconografi style Hellen memancarkan wujud yang anggun dan megah.

7.1.4. Agama

Di India terdapat penganut agama Hindu (?) yang mayoritas, dan penganut agama Sikh serta
penganut agama Islam yang sedikit jumlahnya. Situasi kehidupan antar umat beragama di India,
menampakkan suasana yang tidak rukun dan sangat mudah munculnya bentrokan antara yang satu
dengan yang lain.

Setelah memperhatikan buku-buku yang dikeluarkan oleh Sekte Saiwa, sekte Waisnawa, sekte
Tantrayana dan Budhis serta buku-buku dari berbagai aliran dan paham di India, serta menyaksikan
sendiri di beberapa Ashram di India, saya berkesimpulan bahwa di India tidak ada yang disebut
agama Hindu sebagai suatu kesatuan di India. Di India tidak ada satu lembaga umat yang
mengkoordinasikan dan membina masyarakat Hindu seperti parisada di Indonesia. Di India ada
Parisad (baca : Parisada), namun lembaga itu bukanlah lembaga atau majelis umat, melainkan
merupakan suatu parlemen yang bersifat lembaga politik dalam negara sekuler.

Untuk memperoleh gambaran mengenai kehidupan agama di India, disini diangkat hal-hal yang
menonjol di India seperti berikut ini:

1. Keagamaan di India bersifat Sektarian. Sekte yang menonjol ada tiga, yaitu :
Saiwa, Waisnawa dan Tantrayana, disamping juga adanya banyak sekte yang
lain. Pemujaan terhadap Brahma juga ada, namun keadaannya tidak seperti
pemujaan terhadap Siwa, Wisnu dan Durga. Pemujaan Tri Murti disana dilakukan
horizontal dan masing-masing Dewa dipuja terpisah secara tersendiri oleh
pemujanya masing-masing. Disamping itu disana ada banyak Ashram yang
mengajarkan sistem pendidikan kerohanian sendiri-sendiri dengan pola
orientasi dan arahan sendiri pula.
2. Theisme atau Konsepsi Ke-Tuhanan di India agaknya kabur antara pemujaan
terhadap Dewa dan Dewi dengan pemujaan terhadap individu yang suci seperti
terhadap : Rama, Krishna, Hanoman dan lain-lain. Juga terjadi kekaburan antara
personel dengan impersonal dalam imaginasi perwujudan Dewa dan Dewi.
Demikian pula pentokohan terhadap seorang Guru Suci adalah sangat penting
di hati para pengikutnya. Guru Suci inilah yang berperan sangat besar dalam
kehidupan kerohanian di India seperti Swami Wiwekananda misalnya. Peran
pemerintah di bidang keagamaan tidak begitu besar, karena India merupakan
suatu Negara Sekuler

3. Aktivitas keagamaan menonjolkan doa-doa dan pujian-pujian dalam bentuk


Hymne daripada upacara ritual yang ceremonial.

4. Prasarana keagamaan terlihat dalam wujud Mandir dan Arca-Arca, sedangkan


sarana pemujaan yang digunakan hanyalah: bunga, air dan api. Penggunaan
bunga dan air dalam pemujaan adalah berasal dari kebudayaan bangsa Arya,
sedangkan penggunaan api adalah berasal dari kebudayaan bangsa Dravida.
Suatu hal yang menarik perhatian adalah pada setiap tempat suci terdapat Arca
(image) yang menjadi fokus konsentrasi pemujaan. Secara konseptual rupa-
rupanya personifikasi Tuhan yang abstrak atau impersonal itu sangat dominan
didalam imaginasinya.

5. Kehidupan yang tidak seimbang. Orang-orang di India lebih menitikberatkan


orientasi kehidupannya kepada sunyata dan mengesampingkan nilai-nilai
sekala atau duniawi. Mereka dalam kesehariannya sebagian besar waktunya
disita untuk merenung dan berdoa serta memuji-muji tokoh kerohanian yang
dipujanya. Oleh karena itu tampaknya mereka kurang bersemangat
meningkatkan kualitas kehidupan duniawinya. Disana sulit membedakan antara
orang Sanyasin dengan orang peminta-minta yang sangat banyak berada
disekitar tempat-tempat suci. Selain itu sifat mengkultuskan sapi sangat
berlebihan di India.

7.2. Sosial, Budaya dan Agama di Bali

Kita patut bersyukur, bahwa kita diwarisi suatu tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu
yang telah mantap dan konseptual. Aktivitas agama Hindu di Bali cukup semarak dan meriah serta
konseptual, karena ditopang oleh adat yang kukuh dan elastis, seni budaya yang kreatip serta
bernilai tinggi. Agama Hindu menyinari kehidupan sosial budaya yang memberikan orientasi dan
arahan di dalam kehidupan, sedangkan sosial budaya menopang dan mewujudkan ajaran agama
dalam kehidupan masyarakat, sehingga menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat socio-
religius yang mantap dan etis-moralis serta dharmais.

Konsep kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama (Jagadhita) melalui keseimbangan antara kesejahteraan pisik (sekala) dengan
kesejahteraan rohani (niskala), sesuai dengan hakikat daripada Rwabhnieda yang mencanakangkan
suatu konsep monodualis.

Kita mengakui, .bahwa memang benar agama Hindu di Bali berasal dari India dalam arti konsepsi,
pokok-pokok ajaran dan sumber kerohanian namun sosialisasi dan penerapannya di masyarakat
Bali adalah berbeda dengan di India. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai kehidupan sosial, budaya
dan agama Hindu di Bali, telah memiliki akar yang kuat dalam kepribadian bangsa Indonesia
khususnya Bali, sehingga menampilkan identitasnya tersendiri. Maka dari itu adalah tidak pas,
apabila konsep-konsep pemikiran India di terapkan secara utuh di Bali, tanpa terlebih dahulu
mengkajinya secara mendalam dan menerapkannya tanpa penyesuaian dengan alam pikiran dan
kultur masyarakat Bali yang telah mantap secara turun- temurun.

Apabila keadaan ekonomi memungkinkan, akan sangat baik apabila kita datang ke India untuk
menyaksikan kehdupan sosial, budaya dan agama di India serta rnerasakan getaran kesucian
kerohaniannya. Setelah berada di India, maka lihatlah Bali milik kita sendiri. Kita akan
memperoleh kesan, bahwa sesungguhnya kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu serta getaran
kesucian kerohaniannya di Bali adalah jauh lebih baik daripada di India. Hal ini telah diakui oleh
beberapa orang India sendiri yang telah berkunjung ke Bali.

VIII. PENUTUP

Demikianlah lintasan Proses Kehinduan di Bali yang diungkapkan secara garis besarnya saja,
mengingat keterbatasan penulis akan banyaknya kitab yang harus dibaca dan pengalaman spiritual
yang difahami serta alokasi waktu penulisan sangat terbatas. Dengan memahami ini, diharapkan
dapat memberikan suatu gambaran bagaimana eksistensi dan identifikasi Agama Hindu di Bali.

KONSEP AJARAN AGAMA HINDU DALAM


PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Masyarakat-masyarakat lokal di Indonesia juga telah memiliki pedoman untuk memanfaatkan
lingkungan dengan sebaik-baiknya. Contohnya, penyelidikan Schefold (1985) tentang
Mentawai. Orang-orang Mentawai membudidayakan pisang dan umbi-umbian dengan
menggunakan apa yang kelihatannya merupakan teknologi perladangan berpindah, kecuali
mengabaikan salah satu hal yang biasanya dilakukan para peladang berpindah, yaitu membuka
hutan untuk ladang berpindahnya tetapi tidak dengan membakar hutan. Pada masyarakat Mentawai
juga ada kepercayaan-kepercayaan tradisional untuk pantang berburu. Ketaatan masyarakat dalam
melaksanakan pantangan ini menolong melindungi sumber-sumber alam. Aturan dari upacara adat
juga ditujukkan oleh Daeng (1985) sebagai bagian yang penting di kalangan orang Ngada di dalam
pengelolaan lingkungan. Pada orang Ngada ada tradisi yang disebut dengan pesta gaya bersaing,
setiap penduduk akan mendapat pembagian tanah sesuai dengan jumlah hewan yang dapat mereka
tangkap. Semakin banyak dapat menangkap hewan maka semakin banyak mereka akan mendapat
pembagian tanah. Pesta gaya bersaing ini secara langsung dan selama jangka beberapa tahun dapat
mengurangi tekanan hewan pada tanah. Upacara Tumpek Bubuh pada masyarakat Bali, yang
dilaksanakan pada hari Saniscara Kliwon Wariga setiap 210 hari sekali dapat ditanggapi sebagai
usaha untuk melestarikan lingkungan. Upacara ini adalah dalam rangka pemujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Sangkara sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan. Upacara Tumpek
Kandang, yang diselenggarakan untuk menyatakan terima kasih kepada Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Pasupati pencipta binatang seperti ayam, itik, babi, dan sapi yang
telah membantu pekerjaan manusia maupun sebagai makanan. Upacara ini dilaksankan pada hari
Saniscara Kliwon Uye setiap 210 hari sekali. Dalam masyarakat Bali juga ada petunjuk yang
menyatakan bahwa tidak boleh menebang pohon bambu pada hari Minggu, tidak boleh menebang
kayu untuk bangunan apabila harinya berisi “was” (menurut kalender Bali hari “was” datang setiap
enam hari sekali), tidak boleh menyakiti binatang seperti memotong ekor si putung (capung)
memotong ekor cecak, mencari anak burung di sarangnya. Usaha untuk melestarikan lingkungan
alam dengan sebaik-baiknya juga ditemukan dalam agama Hindu, dan kajian ini mencoba untuk
memberi jawaban tentang karangka konseptual Hindu dalam melihat hubungan timbal balik antara
manusia dan lingkungan hidup.

Kerangka Konseptual Hindu Tentang Lingkungan Hidup

Rta, Yadnya : Perkembangan kebudayaan suatu suku bangsa tidak terlepas dari penafsiran dan
pengetahuan bangsa tersebut terhadap lingkungan. Kebudayaan di sini bisa diartikan, keseluruhan
dari pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial untuk memahami dan menginterprestasikan
lingkungan dan pengetahuannya. Karena ini menjadi kerangka landasan bagi mendorong
terwujudnya kelakuan mereka dalam masyarakat. Dengan demikian kebudayaan merupakan
serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana dan strategi yang terdiri
atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia yang
memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya.Agama Hindu dalam menginterpretasikan
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup pada dasarnya berpangkal pada kitab
suci Weda, dan kerangka dasar dari agama Hindu yaitu, Tattwa, Susila dan Upacara. Ajaran Tattwa
memberikan petunjuk filosofis yang mendalam mengenai pokok-pokok keyakinan maupun
mengenai konsepsi ketuhanan, sedangkan ajaran susila merupakan kerangka untuk bertingkah laku
yang baik sesuai dengan dharma, dan upacara merupakan kerangka untuk menghubungkan diri
dengan Tuhan dalam bentuk persembahan. Esensi dari upacara pada dasarnya adalah yadnya korban
suci dengan hati tulus ikhlas, serta dasar hukum dari yadnya adalah “Rna” (Dewa Rna, Rsi Rna dan
Pitra Rna). Secara lebih rinci konsep-konsep dasar agama Hindu tentang hubungan timbal balik
antara manusia dan lingkungan hidup dimulai dari konsep “Rta” dan “ Yadnya”.

Rta : Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam, manusia pada setiap tahap dalam
kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam, bahwa semua yang ada ini tunduk pada
alam semesta, tidak ada sesuatu apapun yang luput dari hukum yang berlaku dalam dirinya.
Matahari terbit di timur dan tengelam di barat, air mengalir ketempat yang lebih rendah, api
membakar, angin berhembus, manusia lapar, haus dan akhirnya mati, karena memang demikianlah
hukum yang berlaku pada dirinya. Kewajiban umat Hindu agar lingkungan tetap terjaga dalam
artian harmoni ditegaskan dalam Kitab Atharwaweda (XII:1), menegaskan : ‘satyam brhad rtam
nram diksha tapa brahma yajna prthirviam dharayanti’ : satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna
inilah yang menegakkan bumi, satya adalah kebenaran, yang diwujudkan dengan berbuat kebajikan,
rta adalah hukum yang sepatutnya secara sadar haruslah ditaati, diksa adalah kesucian yang
diwujudkan dengan trikaya parisudha (berpikir, berkata dan berbuat diatas kebenaran), yajna adalah
persembahan (korban suci), brahma adalah brahman yang tiada lain adalah Tuhan / Sanghyang
Widhi sendiri (widhi tattwa), tapa adalah pengendalian yang selalu mampu mewujudkan kebenaran
berdasarkan dharma sehingga dari satya mewujudkan siwam, dari siwam mewujudkan sundaram
(kebenaran, kesucian, keindahan).

Yadnya : Hakikat hubungan antara manusia dengan alam adalah apabila terjadi keadaan yang
harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsur-unsur yang dimiliki oleh
manusia. keseimbangan inilah yang selalu meski dijaga, dan salah satu cara yang ditempuh adalah
dengan melakukan yadnya. Dalam kontek hubungan manusia dengan lingkungan (alam, binatang
dan tumbuh-tumbuhan) pada masyarakat Bali misalnya, ada upacara Tumpek Bubuh dan Tumpek
Kandang. Dasar filosofis Tumpek Bubuh berpijak pada sikap untuk memberi sebelum menikmati,
dalam konteks dengan pelestarian sumber daya hayati, sebelum manusia menikmati dan
menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai bagian menu makanan haruslah diawali dengan proses
penanaman dan pemeliharaan, misalnya seorang petani sebelum menikmati nasi, ia terlebih dahulu
menanam padi. Seperti halnya Tumpek Bubuh, Tumpek Kandang juga menawarkan kepada kita
untuk selalu mencintai segala jenis satwa, dan dasar filosofis Tumpek Kandang berpegang pada
ajaran bahwa manusia dengan lingkungan ibarat singa dengan hutan, singa adalah penjaga hutan
dan hutanpun menjaga singa. Dalam Kitab Suci Bhagawadgita, III:10, menyebutkan :
‘sahayajnah prajah srstva, puro’vaca prajapatih, anena prosavisyadhvam, esa vo’stv istakamadhuk’ :
dahulukala Tuhan menciptakan manusia dengan yajna dan berkata : ‘dengan yajna pulalah
hendaknya engkau berkembang, dan biarlah ini (bumi) menjadi sapi perahanmu dengan maksud
bahwa bumi / alam / lingkungan ini menjadi sapi perahanmu untuk dapat memenuhi kinginan
manusia untuk dapat hidup yang layak dan harmoni dan selalu dipelihara dengan baik dan
diusahakan seoptimal mungkin bagi kemakmuran bersama. ‘annad bhavanti bhutani, parjanyad
annasambhawah, yajna bhavati parjanyo, yajnah karma samudbhawah’karena makanan mahluk
hidup, karena hujan makanan tumbuh, karena yajna persembahan hujan turun, dan dari
persembahan melahirkan karma perbuatan.
Manusia sebagai komponen sentral dalam sistem lingkungan ini sudah sepantasnya selalu menjaga
keseimbangan diantara komponen-komponen lingkungan yang lainnya. Dalam Kitab Bhagawadgita
ada disebutkan demikian : ‘Istan bhogan hi vo deva, desvante yadnya bhavitah, Tair dattan
aoradayai bhyo, yo blunte stena eva sah’ : Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi
kesenangan yang kami ingini, ia yang menikmati ini tanpa memberikan balasan kepadanya adalah
pencuri.
Apabila manusia hanya ingin mencari kesenangan tanpa terlebih dahulu memberi kesenangan
terhadap makhluk lain adalah pencuri. Manusia yang semena-mena menjadikan sumber hidupnya
sebagai obyek kesenangan tidak disertai tindakan memelihara sama dengan perilaku pencuri.
Mengambil tanpa sebelumnya memberi, menikmati dengan tidak memberi, menggunakan tanpa
sikap memelihara, sama dengan perilaku pencuri.
Bhuana Alit, Bhuana Agung : Ada keyakinan dalam masyarakat Hindu bahwa Tuhan menciptakan
alam dengan mempergunakan lima benih unsur tenaga yang disebut pancatanmatra terdiri dari, 1.
Gandhatanmatra adalah benih unsur pertiwi, 2. Rasatanmatra adalah benih unsur apah,
3. Rupatanmatra adalah benih unsur teja, 4. Sparsatanmatra adalah benih unsur bayu, 5.
Sabdatanmatra adalah benih unsur akasa. Kelima jenis-jenis unsur yang disebut pancatanmatra itu
kemudian masing-masing berubah menjadi atom-atom yang disebut Paramanu. Dari Paramanu itu
muncullah unsur-unsur benda yang disebut Pancamahabhuta (lima unsur yang maha ada) yaitu : 1.
Pertiwi adalah unsur zat padat, 2. Apah adalah unsur zat cair, 3. Teja adalah unsur sinar atau panas,
4. Bayu adalah unsur udara5. Akasa adalah unsur ether.

Interaksi antara alam dan manusia, antara bhuana agung dengan bhuana alit, antara makrokosmos
dan mikrokosmos diperlihatkan oleh model di bawah ini : Hubungan
timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk
menjaga hubungan timbal balik ini adalah dengan upacara (caru). Ada beberapa jenis dan tingkatan
caru tersebut yaitu, ekasatha, pancasatha, pancakelud, rsighana, baliksumpah, labuh gentuh,
pancawalikrama dan tawur ekadasarudra.
Rwa Bhineda, Tri Hita KaranaRwa Bhineda : Konsepsi ini merupakan keyakinan masyarakat
bawah walaupun merupakan dua unsur yang selalu berbeda namun jika dihayati maka perbedaan
tersebut sebanarnya proses penciptaan yang tujuannya untuk mencapai kebahagiaan, dimana
keselarasan dan keseimbangan akan dapat terwujud dalam kehidupan di dunia ini. Ajaran ini
berpesan bahwa laki-perempuan, baik-buruk, mati hidup, neraka-sorga, senang-susah, siang-malam,
matahari-bulan, keduanya bersamaan munculnya pergi dan datang. Jika tidak muncul keburukan
maka waktu itu pula kebaikan akan menyertai, jika muncul kebaikan, maka bersama itu pula
keburukan akan muncul sebab baik dan buruk itu tidak terpisah-kan. Dalam konteks hubungan
manusia dengan lingkungan hidup, konsep ini kemudian dirinci ke dalam konsep-konsep yang lebih
mendetail yaitu konsep Luan-Teben, Segara-Gunung, Kaja-kelod.
Tri Hita Karana, Refleksi dan Aktualisasi : Di dalam konsep ini terkandung unsur-unsur 1. Unsur
Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, 2. Unsur manusia, 3. Unsur alam.

Perwujudannya konsep itu dalam pola permukiman misalnya menjadi : 1. Parhyangan, berupa unit
pura tertentu sebagai unsur pencerminan Ketuhanan, 2. Pawongan, keorganisasian masyarakat adat,
sebagai perwujudan manusianya, 3. Palemahan, berupa perwujudan unsur alamnya.

Konsep di atas akan lebih jelas apabila kita bandingkan penerapannya dengan konsep Tri Angga
pada manusia, konsep Tri Mandala pada rumah tangga dan desa.
1. Tri Angga pada Manusia, 1.1. Utama angga (kepala), 1.2. Madya angga (badan), 1.3. Nista angga
(kaki), 2. Tri Mandala pada : Rumah. 2.1. Pemerajan (utama, parhyangan), 2.2. Tegak umah
(madya, pawongan), 2.3. Teba (Nista, palemahan). 3. Desa : 3.1. Pura/kahyangan tiga (parhyangan),
3.2. Lingkungan karang perumahan (pawongan), 3.3. Lingkungan karang perkawinan (pelemahan).
Ketiga unsur itu, harus terjadi hubungan timbal balik yang harmonis dan serasi sehingga
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup akan tercapai.

a. Latar BelakangIstilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966,
pada waktu diselenggarakan Konperensi Daerah I Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di
Perguruan Dwijendra Denpasar. Konperensi tersebut diadakan kesadaran umat Hindu di Bali akan
dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian istilah Tri Hita karana
ini berkembang, meluas, dan memasyarakat hingga sekarang.b. PengertianSecara leksikal Tri Hita
karana berarti tiga penyebab kesejahteraan, (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada
hakekatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber
pada keharmonisan hubungan antara : > Manusia dengan Tuhannya, > Manusia dengan alam
lingkungannnya, > Manusia dengan sesamanya.c. Unsur-unsur Tri Hita Karana1. Unsur-unsur Tri
Hita Karana meliputi : > Sanghyang Jagatkarana > Bhuwana > Manusia2. Unsur-unsur Tri Hita
Karana terdapat dalam kitab-kitab suci a.l. : Bhagavadgita (III.10), berbunyi sebagai berikut :
sahayajnah prajah srishtva, puro ‘vacha prajapatih, anena prasavishya dhvam, esha vo ‘stv ishta
kamadhuk Artinya :dahulukala Prajapati menciptakan manusia, bersama bhakti-persembahannya
dan berkata : ‘dengan ini engkau akan berkembang-biak dan biarlah ini menjadi sapi-perahanmu’
Taittiriya Upanishad mengatakan : Dia yang mengetahui Tuhan (Brahman) yang adalah Kebenaran,
Kesadaran, dan Kebahagiaan Tak Terbatas, tersembunyi di tempat terdalam dari jiwa kita dan di
surga yang tertinggi, menikmati segala sesuatu yang diinginkannya dalam persatuan dengan Tuhan
Yang Maha Mengetahui. Dari Tuhan (Brahman) pada awalnya muncul ruang. Dari ruang muncul
udara. Dari Udara muncul api. Dari api muncul air. Dari Air muncul tanah yang padat. Dari tanah
muncul tumbuh-tumbuhan. Dari tumbuh-tumbuhan muncul makanan dan biji (bibit). Dan dari biji
dan makanan muncullah satu makhluk hidup, manusia”. Umat Hindu pada hakekatnya dalam
pencerahan hidupnya, membangun dirinya ingin menjadi divine man yang selanjutnya membangun
divine society (dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungannya yang memancarkan sinar suci
Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang secara etis manusia Hindu ingin melenyapkan sifat-sifat kegelapan
dalam dirinya (asuri sampat) dan mencari serta memupuk sifat-sifat kedewaan (daiwi sampat)
sehingga mendapatkan divine god yang akan melahirkan manusia / putra yang abadi (amrestyah
putra). Inilah landasan yang sangat esensial bagi pembangunan manusia dan peradaban Hindu.
Tuhan Yang Maha Kuasa adalah realitas absolut (abadi) oleh karena itu beliau disebut sebagai
“Sangkan paraning dumadi” (dari mana dan hendak ke mana manusia pergi), atau menjadi pusat
orientasi kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Upacara / Upakara setiap
menyambut Hari Raya Hindu, yaitu merupakan pelaksanaan Panca Yajna dan khususnya pada
pelaksanaan Bhuta Yajna yang dapat kita ketahui bahwa Bhuta Yajna pada hakekatnya bermakna
Penyucian Bhuwana yang terbangun oleh Panca Maha Bhuta (Pratiwi, Apah, Teja, Bayu, Akasa)
dan Panca Tanmatra (Gandha, Rasa, Sparsa, Rupa, Sabda). Bhuwana yang harmoni dan suci
(Jagadhita, Bhutahita) diharapkan dapat memberi kerahayuan bagi hidup manusia, karena manusia
menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai objek indriyanya (Dasendriya).

Umat Hindu sangat mendambakan kerahayuan, keharmonisan dalam hidup, keseimbangan


ekosistem, keseimbangan unsur-unsur yang membangun Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung yang
nanti pada gilirannya akan memberikan kerahayuan dan kedamaian. Dengan demikian umat Hindu
memiliki wawasan kesemestaan, wawasan alam raya, wawasan globalisasi yang berarti wawasan
umat Hindu tidak sempit (asorohan-awatekan). Umat Hindu sebagaimana diajarkan oleh agamanya
yang tertuang dalam Kitab-kitab Sucinya sangat memperhatikan dari lingkungan yang terkecil
sampai jagad raya, memperhatikan gerakan alam raya (posisi matahari/surya), bulan (candra), serta
bumi (bhumi) dengan mempersembahkan keharmonisan itu berupa Bhuta Yajna (Bali Karmana –
Bali Krama). Dalam sloka Bhagavadgita tersebut diatas ada nampak tiga unsur yang saling beryajna
untuk mendapatkan yaitu terdiri dari : > Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa> Praja = ManusiaYasa
Kirti Dalam Rangka Karya Agung WANA KRETIH di Pura Luhur Watukaru Tabanan Tgl. 30 Maret
2002 (Saniscara Kliwon Wariga / Tumpek (Uduh, Bubuh, Pengatag). Adapun yasa kirti ini
dilaksanakan berkenaan dengan akhir-akhir ini telah terjadi berbagai bencana alam yang menimpa
alam semesta (Dunia / Jagat) termasuk daerah Bali seperti banjir, tanah longsor, angin ribut dan
lain-lain. Bencana alam tersebut disamping tampak menimpa daerah perkotaan, tetapi juga daerah
pedesaan, gunung, khususnya hutan. Menurut terdisi Agama Hindu di Bali hal itu termasuk
kadurmanggalan jagat yang memerlukan keharmonisan dengan melakukan kegiatan upacara
pamahayu yang disebut dengan Upacara Wana Kretih (salah satu dari Sad Kretih). Landasan
pelaksanaannya antara lain adalah sebagai berikut :
Namo Vrksebhyo Harikesebhyah, Vananam Pataye Namah, Osadhinam Pataye Namah, Vrksanam
Pataye Namah (YW. XVI,17) Sembah kehadapan Sanghyang Rudra yang adalah pengawal hutan
belantara, tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat, Sanghyang Siwa menyantap
racun dan memberi minuman para dewa (nectar) dengan cara yang sama, tanam-tanaman menyerap
karbon-dioxida dan memancarkan zat asam (oxigin), maka dari itu mereka dipuja sebagai Pra
Rudra yang dijelmakan.
Madhu vata rtayate, Untuk orang-orang yang sesuai dengan Rta/hukum,Madha ksaranti sindhavah,
angin membawa keharmonisan, Sungai mengalir-Madhvir nah santvoghadhih, kan air yang sejuk,
demikian juga pepohonan mem-Madhu nakatam ntosaso, beri kenikmatan kepada kita,Madhumat
parthidam rajah, Malam yang indah dan fajar yang cantik,Madhu dyanr asrn nah pita, Tanah bumi
yang baik, Langit yang indah bagi kamiMadhuman no vanaspatir, Semoga pohon-pohon di hutan
memberi nikmat,Maghuman astu suryah, Matahari memberi kebaikan,Madhvir gano bhavantu nah
Dan sapi memberi kenikmatan kepada kami. (Rg Veda I.90,6-7-8)

Indra ya dyana osadhir vta apah, Rayim raksanti jarayo vanani.Yang berikut ini adalah para
pelindung kekayaan alam, atmosfir, tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat, sungai-
sungai besar dan kecil, sumber-sumber air dan hutan-hutan belantara. (Rg Veda III.
51.5)
….. bhuta yajna ngaranya tawur mwang kapujaning tuwuh ada pamunggwan kundawulan makadi
walikrama, ekadasa dewata mandala, ya bhuta yajna ngaranya (Agastya Parwa XIV)
….. wariga, sa, ka, nga. pangudhuh, nga. pujakrtti Sanghyang Sangkara, apan sira umrdhyaken
sarvaning tumuvuh, kayu-kayu kunang, vidhi-vidhananya pras tulung sayut, tumpeng, bubur, mwah
tumpeng agung 1, iwak guling bawi, itik wenang, saha raka-raka, panyeneng tatebus, kalinganya
anguduh ikang tanem tuvuh asehen, asekar, avoh ngodong, ika dadi ya pamrthaning urip, ikang
sarva janma, sesayut cakragni 1, maka pamadhang ati, nga. anuvuhaken ajnana sandi …..
(Lontar Sundarigama)
Dalam tradisi agama Hindu dan masyarakat di Bali antara lain diketahui adanya berbagai upacara
Pamahayu Wana yang disebut sebagai “Ameras Alas atau Ameras Wana”. Di samping itu diketahui
juga adanya “Pemangku Alas atau Pemangku Wana”, yang menunjukkan bahwa alas / wana / hutan
benar-benar dijaga baik secara fisik maupun spiritual. Dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur
ada disuratkan upacara “Upacara Katur ring Ratu Alas unuhan kidang saha runtutannya”, yang
secara khusus juga dilaksanakan oleh masyarakat Batukaru secara tradidi apabila terjadi tanah
longsor di hutan maka dilaksanakan upacara yang disebut sebagai upacara Panyahitan, dan apabila
terjadi kadhurmanggalan akan dilaksanakan upacara caru balik sumpah.Uraian di atas telah
menunjukkan dan merujuk betapa arif dan bijaksananya kita yang sering disebut dengan ‘kearifan
tradisional’ dengan memperhatian dengan cermat kepada keberadaan hutan baik secara fisik
maupun spiritual. Itulah beberapa landasan pelaksanaan Upacara Wana Kretih.Upacara tersebut
dilaksanakan di hutan di Kaki Gunung Batukaru, Tabanan, dengan dasar filosofi / tatwa (lontar-
lontar) yang melandasi menyebutkan bahwa Gunung Batukaru adalah stana Bhatara Tumuwuh atau
Hyang-Hyangning Tumuwuh, di samping karena hutan di kaki Gunung Batukaru adalah hutan yang
masih lebat dan lestari di Bali.

MASALAH DAN ANCAMAN TERHADAP KERUKUNAN


DAN KEHARMONISAN ANTAR UMAT BERAGAMA
DI BALI
QUESTIONS FOR DISCUSSION :

 Religions are often accused of being co-opted by the powers-that-be to achieve


their selfish ends. Do you agree or disagree? Please state your reasons!
 How does religion, which speak of love, compassion and mercy, also become a
tool for violence? All religions have an exclusivistic dimensions.

 How does this exclusivistic dimension contribute to intolerance and violence?


PENDAHULUAN

Menyimak berbagai kerusuhan yang terjadi selama ini kita melihat betapa beragam bentuk
perwujudannya dan betapa pula kompleksitas faktor penyebabnya. Kerusuhan-kerusuhan yang
terjadi di berbagai tempat itu terwujud dalam berbagai bentuk kekerasan, penjarahan, dan
perusakan, tidak hanya terhadap milik pribadi akan tetapi juga milik pemerintah atau negara bahkan
simbol-simbol keagamaan. Kita ragu menyatakan bahwa kerusuhan itu merupakan konflik agama
(semata) namun sulit untuk menafikannya sama sekali sebab perusakan sejumlah rumah-rumah
ibadah yang dianggap sakral dan merupakan simbol kehadiran sebuah agama dan komunitas para
pemeluknya terjadi. Kemungkinan faktor-faktor lain berperan sebagai sumber penyebabnya juga
sukar dibantah. Misalnya masalah kaum pendatang dan penduduk asli tampak kentara dalam kasus
Sambas, Kupang, Ambon, Poso, Papua, Lampung dll. di Indonesia, beberapa negara di Asia dan di
belahan dunia ini. Kalau dalam semua kasus ini ada bias perbedaan agama kasus yang terjadi di
beberapa tempat justru terjadi antara dua suku yang seagama. Mungkin saja kasus-kasus ini sedikit
banyak mengandung nuansa kesenjangan ekonomi karena kaum pendatang biasanya bekerja lebih
ulet dan lebih berhasil sehingga menguasai sektor perekonomian lokal. Lalu ada juga yang
berkaitan dengan konflik antara rakyat dan penguasa yang mengisyaratkan gejala ketidakpercayaan
terhadap aparat keamanan dan pemerintahan. Perusakan markas-markas Polisi dan Kantor-kantor
Pemerintah dari Tingkat Desa hingga Kabupaten/Kota (eksekutif) dan juga Dewan Perwakilan
Rakyat (legislatif) memperlihatkan kecenderungan itu. Kasus-kasus kerusuhan di atas
memperlihatkan bahwa salah satu tantangan serius yang dihadapi dunia saat ini adalah fenomena
munculnya budaya kekerasan. Fenomena ini sungguh sangat mencemaskan. Ironisnya adalah
bahwa gejala sadisme ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang mudah main hakim sendiri
dengan melakukan bukan hanya sekedar tindakan-tindakan kekerasan akan tetapi juga tindakan
kekejaman dan kebengisan yang dilakukan oleh aparat negara seperti sering diungkapkan oleh
mereka yang mengalami siksaan ketika diinterogasi. Bahkan kasus yang dapat dikatakan sebagai
“kekerasan yang dilakukan oleh negara”. Budaya kekerasan ini ikut mewarnai berbagai kerusuhan
akhir-akhir ini sebagaimana terlihat dari korban-korban yang terbunuh bahkan secara sangat
mengenaskan.Berbagai kerusuhan sosial apalagi budaya kekerasan mengisyaratkan bahwa
kemampuan rakyat untuk menangani pluralitas masyarakat dunia sudah sangat menyusut. Gejala ini
sangat berbahaya karena pluralitas masyarakat dunia kita cukup kompleks dan sering tumpang
tindih sehingga satu insiden kecil bisa berkembang atau dikembangkan menjadi sebuah kerusuhan
sosial yang tidak relevan dan tidak masuk akal seperti telah kita alami akhir-akhir ini. Hal ini bisa
terjadi karena pluralitas masyarakat kita dihadapkan pada situasi krisis sosial, politik dan ekonomi
yang sangat serius dan kompleks yang membuat masyarakat kita bagaikan jerami kering di musim
kemarau.

PLURALISME : ANTARA REALITAS, KESADARAN DAN SIKAP

Pluralitas masyarakat di manapun adalah sebuah realitas eksistensial yang terbentuk dari perbedaan
yang ada secara kodrati dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Tak seorang manusia pun sama
dengan manusia lainnya walau mereka lahir sebagai saudara kembar. Tak ada cap jempol yang
sama adalah contoh paling nyata bahwa tak ada dua manusia yang absolut sama. Mungkin saja
sangat mirip tapi tidak mungkin persis sama. Sebuah masyarakat dunia terdiri dan terbentuk dari
banyak orang yang merupakan warganya. Kalaulah ada sebuah masyarakat tradisional yang
dianggap homogen namun homogenitasnya itu relatif sifatnya sebab di dalamnya pasti ada unsur-
unsur yang berbeda sehingga tak akan terelakkan adanya heterogenitas betapapun kecilnya. Sebuah
masyarakat bagaimanapun, bukanlah sebuah kumpulan makhluk organis yang statis, yang tidak
mengalami perubahan dan perubahan itu tentu sangat bervariasi coraknya sehingga memperkaya
dan menambah kompleksitas perbedaan. Karena itu tidak mungkin dihindari bahwa pluralitas yang
ada secara kodrati itu kemudian secara sosial dan kultural terus mengalami perkembangan dalam
gerak dinamika kehidupan manusia dan masyarakat yang multidimensional sifatnya, dan dengan
sendirinya akan melahirkan berbagai visi tentang kehidupan dan mas depan. Untuk batas tertentu
pluralitas bisa dilihat sebagai kekayaan namun dalam perkembangannya ia tidak hanya berhenti
pada perbedaan sekedar dan sebagai perbedaan semata tapi mungkin saja perbedaan itu bersifat
diametral dan antagonistik sehingga sebenarnya bukan lagi perbedaan melainkan sebuah
pertentangan. Tantangan yang dihadapi oleh manusia dan masyarakat adalah bukan menghilangkan
perbedaan dan pertentangan sebagai realitas sosial dan kultural melainkan bagaimana mengelolanya
secara kreatif sehingga terwujud dalam “cooperation” dan “competition”, kerja sama dan
persaingan. Dalam perspektif ini “management of conflict” menjadi sangat penting.

MULTIKULTURISME SEBUAH KENISCAYAAN

Pluralitas yang muncul dalam proses kehidupan dunia kita terwujud dalam dua bentuk : pluralitas
horizontal dan pluralitas vertikal. Yang pertama terlihat misalnya dalam perbedaan etnis atau ras
dan agama sedangkan yang kedua terlihat umpamanya dalam perbedaan peran politik antara
penguasa dan rakyat, dalam kemampuan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin, dan dalam
tingkat pendidikan antara kaum terpelajar dan masyarakat awam. Tentu saja pluralitas vertikal ini
tidak dikaitkan dengan pluralisme tradisional yang memberlakukan perbedaan strata sosial dalam
pelembagaan yang bersifat diskriminatif. Kedua-duanya, pluralitas horizontal dan pluralisme
modern yang menjunjung tinggi hak-hak manusia.Mobilitas sosial yang didukung oleh kemudahan
dalam dan untuk bepergian sebagai hasil kemajuan sarana-sarana transportasi membuat kontak-
kontak horizontal warga masyarakat dengan warga masyarakat lainnya makin sering terjadi dan
juga makin luas jangkauannya melampaui batas-batas geografis, lokal, regional bahkan nasional
dan internasional sehingga heteroginitas masyarakat makin kompleks. Perbedaan tingkat dan kadar
kemampuan warga masyarakat, baik dilihat dari segi kebendaan, kecerdasan maupun kesempatan
untuk memperoleh jalur lembaga pendidikan maupun media massa, mengakibatkan perbedaan
kemampuan untuk mengembangkan diri dan meraih keberhasilan. Akibat lebih jauh adalah
terjadinya pluralitas vertikal yang terwujud dalam tingkatan strata politik, ekonomi maupun
keterpelajaran. Perlu disadari dan dicatat bahwa pluralitas walaupun dalam batas tertentu
merupakan kekayaan yang membentuk mozaik kultural sekaligus potensi dinamika masyarakat dan
bangsa di dunia inia namun hal itu juga bisa menjadi sumber konflik sosial. Karena itu diperlukan
usaha untuk menumbuhkan kesadaran untuk menerima perbedaan sebagai realitas natural maupun
kultural sepanjang fungsional sifatnya dan tidak melecehkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Dari perspektif ini kita bersinggungan dengan konsep pluralisme. Pluralisme tentu saja lahir dari
kesadaran dan kesediaan menerima perbedaan untuk kemudian mengolahnya, sebagai unsur kreatif
masyarakat kita sebagai sebuah kesatuan yang mengandung dan merangkum kemajemukan. Dalam
perspektif masyarakat kita yang multietnik perlu disadari bahwa masing-masing etnik tentu memi-
liki identitas budayanya sendiri. Tambahan lagi, kehadiran berbagai agama yang menjadi anutan
masyarakat kita telah memperkaya kemajemukan bangsa kita. Kehadiran agama-agama itu tentu
saja memasuki aspek batiniah budaya bangsa di dunia ini. Karena itu pluralisme dengan sendirinya
identik dengan dan memang pada hakikatnya muradif atau sinonim multikulturisme. Semboyan
Bhineka Tunggal Ika sebagai terpatri dalam lambang negara Republik Indonesia : Garuda Pancasila
menegaskan bahwa bangsa Indonesia secara tegas menganut prinsip pluralisme. Dengan pluralisme
disini kita tidak dimaksudkan pluralisme ekstrem sebagai reaksi terhadap monisme yang
mengatakan bahwa dunia ini terdiri dari jumlah tak terbatas dari unsur-unsur yang terpisah.
Pluralisme yang perlu dan harus kita kembangkan adalah pluralisme yang terwujud dalam sikap
pluralistik, yakni sikap yang bersedia menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif
akan tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan
harapan akan kemajuan di masa depan. Sebuah pluralisme yang menyemangati sistem pergaulan
sosial yang memungkinkan setiap unsur kultural masyarakat dunia kita saling berinteraksi secara
alamiah dalam proses yang saling memperkaya dan diharapkan akan melahirkan sebuah masyarakat
majemuk yang terbuka, multikultural dan demokratis.

PLURALITAS KEAGAMAAN : ANTARA EKSKLUSIFISME DAN INKLUSIFISME

Pluralisme dalam konteks kehidupan keagamaan tidak hanya ditandai oleh kehadiran berbagai
agama yang secara eksistensial memiliki tradisi yang berbeda satu sama lain akan tetapi juga
ditandai oleh pluralisme penafsiran tidak hanya melahirkan berbagai aliran atau mazhab bahkan
juga sekte keagamaan akan tetapi juga melahirkan perbedaan kecenderungan pandangan dan sikap :
eksklusifisme dan insklusifisme. Pluralitas kelembagaan melalui itu agama mendunia, memasuki
ruang dan waktu, tampak dari dan terwujud dalam kehadiran, paling tidak, tokoh-tokoh agama,
organisasi-organisasi keagamaan dan komunitas-komunitas agama.Perlu digarisbawahi bahwa
pluralitas agama berkaitan dengan masalah yang sangat peka. Sebab agama berkaitan dengan
keyakinan tentang sesuatu yang absolut benar, sesuatu yang “ultimate”, yang menyangkut
keselamatan hidup manusia setelah “kematian”. Keyakinan tersebut diejawantahkan dalam
keberagamaan, tidak juga dalam wujud keyakinan theologis atau simbolisme ritual melainkan juga
dalam wujud kegiatan yang secara langsung atau tidak bernuansa bahkan berdampak sosial. Ada
berbagai opsi dalam masyarakat kita menjawab pluralitas keagamaan itu, Pertama adalah sikap
menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup berdampingan secara damai. Yang diperlu-
kan adalah sikap tidak saling mengganggu. Kedua adalah mengembangkan kerjasama sosial-
keagamaan melalui berbagai kegiatan yang secara simbolik memperlihatkan dan fungsional
mendorong proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Ketiga adalah mencari dan
mengembangkan dan merumuskan titik-titik temu agama-agama untuk menjawab problema,
tantangan dan keprihatinan umat manusia : Opsi pertama adalah sekedar tahap awal dan kondisi
minimal untuk membangun kebersamaan masyarakat kita. Opsi kedua merupakan landasan
“Theologis” bagi masing-masing umat untuk membangun sebuah masyarakat dimana semua orang
dapat hidup bersama dalam semangat persamaan dan kesatuan umat manusia. Opsi ketiga merupa-
kan perwujudan nyata dari kebersamaan itu.

Dalam perspektif yang lain kita juga bisa menempatkan pluralisme keagamaan itu dalam kerangka
pendekatan tataran ’Menyama Braya’ yang menempatkan persaudaraan seagama, persaudaraan se-
bangsa dan persaudaraan sesama umat manusia dalam satu nafas. Ketiga-tiganya tidak harus
bertentangan dan masing-masing mempunyai tempat dan relevansinya sendiri dalam kehidupan kita
sebagai manusia pribadi, warga negara dan warga dunia sehingga tidak perlu membuat kita dalam
situasi dilematik.

KELUAR DARI DUNIA KECURIGAAN DAN PERMUSUHAN


Kita tidak tahu kapan kita bisa keluar dari situasi yang masih mencekam. Krisis relasi sosial yang
secara langsung atau tidak menciderai kerukunan hidup antar umat berbagai agama sangat
menghantui kita sebab malapetaka yang diakibatkannya tidak bisa diperkirakan bahkan cenderung
tidak masuk akal sebagaimana kita alami berkali-kali akhir-akhir ini. Para cendikiawan agama
dihadapkan pada tantangan yang sebagian bukan tanggungjawab mereka. Masyarakat kita telah
terpuruk dalam kehidupan yang diliputi oleh suasana saling curiga. Terdapat berbagai persepsi
negatif satu sama lain di antara berbagai kelompok masyarakat kita sehingga kehidupan kita
sebangsa menyimpan potensi disintegrasi sosial. Masing-masing golongan merasa terancam
eksistensi mereka oleh golongan lain. Berbagai kasus tragis telah menimbulkan trauma yang
memerlukan waktu lama untuk dihilangkan dari memori. Selama itu yang sewaktu-waktu bisa
menjelma menjadi konflik sosial.

TEOLOGI HINDU YANG PLURALIS DAN DIALOGIS

Pandangan agama Hindu tentang pluralisme dan dialogisme merupakan landasan atau dasar-dasar
kerukunan hidup beragama yang sejati seperti diamanatkan dalam mantra-mantra kitab suci Veda
berikut ini, menghargai pluralisme (perbedaan agama / kepercayaan dan budaya serta mewujudkan
kemakmuran bersama : Jnanam bibharati bahudha vivacasam, Naandharmanam prthivi
yathaikasam, Sahasram dhara dravinasya me duham, Dhraveva dhenuranapasphuranti
Atharwaveda XII.1.45 (Berikanlah penghargaan kepada bangsamu yang menggunakan berbagai
bahasa daerah, yang menganut berbagai kepercayaan (agama) yang berbeda. Hargailah mereka
yang tinggal bersama di bumi pertiwi ini. Bumi yang memberi keseimbangan bagaikan sapi yang
memberi susunya kepada umat manusia. Demikian ibu pertiwi memberikan kebahagiaan yang
melimpah kepada umatNya).

Mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk mencapai tujuan bersama (kedamaian, kemakmuran dan
kebahagiaan) : Sam vo manamsi sam vrata sam akutir namamsi, Ami ye vivrata sthana tan vah sam
namayamasi “Atharwaveda III.8.5 (Aku satukan pikiran, dan langkahmu untuk mewujudkan
kerukunan di antara kamu. Aku bimbing mereka yang berbuat jahat menuju jalan yang benar)
Yena deva na viyanti no ca vidvisate mithah Tat krnmo brahman vo grhe samjnana purunebhyah
“Atharwaveda III.30.4″ (Wahai umat manusia! Bersatulah, dan rukunlah kamu seperti menyatunya
para dewata. Aku telah anugrahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan
di antara kamu).
Mewujudkan kehidupan yang harmonis serta dialogis : Sam gacchadhvam sam vadadhvam, Sam
vo manamsi janatam Deva bhagam yatha purve samjanana upasate “Rgveda X.191.2.” (Wahai
umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu, dan bekerja sama.
Berbicaralah dengan satu bahasa, dan ambilah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang -
suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaklah kamu tidak goyah dalam
melaksanakan kewajibanmu)
Mewujudkan kehidupan yang demokratis dengan bermusyawarah dan menumbuhkan saling
pengertian : samano mantrah samitih samani, samanam manah saha cittam esamsamanam mantram
abhi mantarey vah, samanena vo havisa juhomi “Rgveda X.191.3″ (Wahai umat manusia!
Pikirkanlah bersama. Bermusyawarahlah bersama. Satukanlah hati, dan pikiranmu dengan yang
lain.Aku anugrahkan pikiran yang sama, dan fasilitas yang sama pula untnk keruknnan hidupmu)
Samani va akutih samana hrdayani vah, Samanam astu vo mano yatha vah susahasati. “Rgveda
X.191.4.” (Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pcngertian di
antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan)
Mengembangkan hati yang tulus ikhlas dan persahabatan yang sejati : Sahrdayam sam manasyam
avidvesam krnomi vah, Anyo anyam abhi haryata vatsam jatam ivagh-nya “Atharvaveda III. 30.1″
(Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat ketulus ikhlasan, mentalitas yang sama, persahabatan
tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir, begitu seharusnya
kamu mencintai sesamamu).
Mengembangkan keharmonisan yang sejati, baik kepada orang yang dikenal dan bahkan dengan
orang asing sekalipun : Samjnanam nah svebhih samjnanam aranebhih, Samjnanam asvina yuvam
thasmasu niyacchatam “Atharvaveda VII.52.1″ (Hendaknya harmonis dengan penuh keintiman di
antara kamu, demikian pula dengan orang-orang yang dikenal maupun asing. Semogalah dewa
Asvina menganugrahkan rahmat-Nya untuk keharmonisan antar sesama).

Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama yang dilandasi
dengan teologi yang humanis, pluralis dan dialogis, dikutipkan pernyataan Svami Vivekananda
pada penutupan sidang Parlemen Agama-Agama sedunia, tepatnya tanggal 27 September 1993 di
Chicago, Amerika Serikat, karena pernyataan yang disampaikan oleh pemikir Hindu yang sangat
terkenal pada akhir abad yang lalu itu (sudah 108 tahun lewat) senantiasa relevan dengan situasi
saat ini. Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi seperti ditulis
oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An orator by divine right and undoubted greatest in the
Parliament of Religion” (Walker, 1983:580). Di samping mantra tersebut di atas, dalam rangka
mewujudkan kerukunan hidup beragama dalam rangka integrasi nasional, kiranya perlu dipahami
dasar-dasar teologis kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di amanatkan dalam kitab suci
Veda dan susastra Hindu lainnya.

SPIRITUALITAS HINDU DI BALI : MENYAMA BRAYA MERUPAKAN PENGHARGAAN


TERHADAP KEMAJEMUKAN

Pasca serangan teroris terhadap gedung kembar WTC di New York pada tanggal 11 September
2001, yang menewaskan hampir 3000 orang, disusul dengan serangan yang merupakan tragedi
berdarah Bom Bali I & II di Kuta dan Jimbaran Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, beberapa hari
menjelang perayaan Hari Suci Nyepi 1934 di Denpasar disinyalir 5 (lima) orang teroris yang
ditembak mati, dan seterusnya di belahan bumi ini, tragedi demi tragedi berdarah terus berlanjut
hingga kini, menjadikan paham kamejemukan (pluralisme) dan toleransi semakin mendapat
perhatian di seluruh dunia, termasuk dalam sidang yang terhormat kali ini. Fanatisme agama, yang
berdasarkan truth claim, yang menganggap seolah-olah kelompoknya sendiri saja yang memiliki
kebenaran mutlak, mengandung potensi kekerasan dan kebencian. Dan bila itu diterjemahkan dalam
praktek, sekalipun dilakukan oleh sekelompok kecil orang, bisa membawa malapetaka atau tragedi
kemanusiaan. Budaya rohani agama Hindu Bali dapat memberikan sumbangan penting terhadap
pengembangan toleransi dan kemajemukan serta memberikan perubahan dalam membangun
kesetiakawanan untuk mewujudkan perdamaian dunia. Agama-agama panteisme dimana Hindu
Bali ada diantaranya dapat hidup berdampingan dengan agama-agama lain. Penyebarannya tidak
membawa gangguan terhadap kesinambungan budaya sebagaimana ditimbulkan oleh penyebaran
agama lain. Dalam masyarakat panteistik, nilai-nilai gagasan-gagasan dan hal-hal asing dapat
diterima. Masyarakat bersikap toleran terhadap hal-hal baru itu (Arnold J. Toynbee dan Daisaku
Ikeda : Perjuangkan Hidup). Dalam agama Hindu Bali dikenal dengan : menerima setiap purubahan
baru apapun yang terjadi dan datang dari manapun juga asalnya, asalkan perubahan tersebut selalu
berdasarkan atas dharma (kebenaran yang abadi = sanatana dharma). Ahli-ahli tentang sejarah
agama menyatakan bahwa tidak terdapat bukti-bukti adanya intoleransi beragama dalam agama
Hindu. Pertentangan jarang dijumpai dan pertukaran agama terjadi dalam suasana damai dan
dengan tidak menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Agama Hindu bersifat filosofis dan oleh
karena itu dapat melihat dan menghargai kebenaran yang ada dalam agama lain. Dengan demikian
agama ini bersifat toleran. Bahkan ada yang berpendapat bahwa toleransinya terlalu besar sehingga
dapat menerima agama-agama yang bersifat magis. (Harun Nasution : Islam Rasional). Namun ada
juga orang berpendapat lain tentang toleransi yang diartikan negatif yaitu toleransi : sama dengan
memperpanjang waktu kekalahan dan kehancuran. Pendapat seperti inilah yang harus kita abaikan
dan tidak harus ada. Karena orang Hindu pada umumnya, dan mereka dengan pemahaman tentang
Tuhan yang lebih matang, lebih sadar tentang berbagai aspek berbeda dari Tuhan, dan melihat
Tuhan yang sama dalam semua agama, tidak ada friksi antara mereka dengan orang lain tanpa perlu
merasa bahwa setiap orang lain telah dikutuk masuk neraka, atau dikonversi supaya ’diselamatkan’.
Orang-orang Hindu mengakui Tuhan yang sama sekalipun disembah dengan berbagai cara. Jadi apa
susahnya? Tidak ada masalah. Ini benar bagi pemuja yang tulus dari agama apapun. Seorang
Kristen yang tulus dan matang dengan mudah dapat bergaul dengan seorang Hindu yang tulus,
yang dapat dengan mudah hidup bersama seorang Muslim yang tulus dan matang, yang dapat hidup
bersama dengan seorang Sikh, Buddhis yang tulus dan seterusnya. (Stephen Knapp: ’Mengapa
Menjadi Hindu : Keuntungan Jalan Veda’, dalam Hindu Agama Terbesar di Dunia). Di Bali, di
beberapa Kabupaten dan Kota, terdapat kampung-kampung Islam tradisional. Artinya komunitas
Islam ini sudah ada sejak jaman kerajaan Bali. Di Kabupaten Buleleng ada Desa Pegayaman, di
Kabupaten Jembrana ada Desa Loloan, Yeh Kuning, di Kota Denpasar ada Desa Kepaon, di
Kabupaten Karangasem ada Desa Nyuh Kuning dan Desa Sidemen, di Kabupaten Klungkung ada
Desa Gelgel. Komunitas Islam ini ada yang berasal dari Blambangan, Pulau Madura di Jawa Timur,
Bugis dari Pulau Silawesi dan Pulau Lombok. Mereka dibawa oleh para raja-raja Bali dari tempat
asal mereka sebagai prajurit. Orang-orang Bugis datang ke Desa Loloan Bali, karena menghindari
penjajahan Belanda. Komunitas Islam ini hidup menyatu dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan
komunitas Islam Pegayaman memakai nama-nama Bali di depan nama Muslim mereka. Tapi
mereka tetap melaksanakan agamanya secara taat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebagai abdi raja,
komunitas ini mendapat perlindungan dari raja. Mereka diberikan tempat tinggal khusus, diberikan
tanah untuk mendirikan masjid. Pada waktu pelaksanaan Naik Haji, raja memberikan mereka
bantuan. Komunitas Islam Kepaon di Kota Denpasar Bali sampai sekarang menjaga hubungannya
yang kuat dengan Puri Pemecutan. Setiap ada upacara di Puri Pemecutan, orang-orang Muslim
Kepaon selalu datang untuk membantu. Di samping itu, komunitas ini tetap dapat memelihara dan
menjalankan tradisi agamanya, karena umat Hindu di sekitarnya tidak menganggu mereka.
Misalnya dengan upaya mengkonversikan mereka ke dalam agama Hindu dan umat Hindu
menghormati keyakinan mereka. Dimana bumi dipijak disana langit dijunjung, demikianlah cara
mereka untuk dapat hidup berdampingan secara harmonis, damai serta mereka sangat akrab dengan
masyarakat setempat dan turut serta menjaga alam lingkungannya.

IDENTIFIKASI DAN IMPLEMENTASI NILAI-NILAI LUHUR JATIDIRI DAN


KARAKTERISTIK DASAR TATA RUANG BUDAYA BANGSA INDONESIA : KAJIAN
TEKSTUAL

Merupakan ekologi ribuan pulau kecil dan besar dengan melimpahnya sumberdaya alam, namun
besar dalam potensi kebudayaan. Secara tesktual Indonesia memiliki rujukan budaya dalam
penataan alam dan tata ruang yang terdiri atas filosofi, sistem nilai, etika, hukum dan pertahanan,
kelembagaan, sampai dengan tatanan konsep. Beberapa konsep kunci yang sangat relevan dengan
penataan ruang budaya bangsa adalah : Tri Hita Karana (tiga penyebab keharmonisan), Tri Mandala
(tiga pembagian wilayah uttama – madhya – kanishta), Catus Patha (perempatan jalan raya),
Jagadhita (alam semesta yang harmonis), dan lain-lain. Kondisi aktual dan kontekstual yang terkait
dengan dinamika dan perubahan demografi, ekonomi, politik, pertahanan, teknologi menghadirkan
beragam peluang dan ancaman terhadap tata ruang budaya bangsa tersebut. Jatidiri tata ruang
Bangsa Indonesia terbentuk melalui sinergis unsur alam, manusia, dan budaya bangsa yang dijiwai
moral agama-agama besar di Indonesia (Islam, Hindu, Katholik, Kristen Protestan, Budha dan
Kong Hu Cu). Jatidiri tata ruang budaya bangsa yang bersifat khas merupakan refleksi dari
karakteristik religius, estetis, harmoni, dan dinamik bertumpu pada adagium Bhineka Tunggal Ika,
desa-kala-patra (ruang & waktu), dan keserasian Bhuana Agung (alam semesta) dengan Bhuana Alit
(manusia). Secara esensial, jatidiri tata ruang budaya bangsa merupakan kristalisasi dan
karakteristik dasar yang bersifat ekspresif, religius, dan dinamis dengan muatan taksu (inner spirit).
Jatidiri tersebut ke “dalam” merupakan indentifikasi diri dan kolektiva kehidupan pada dimensi
mikro, meso, dan makro, serta ke “luar” merupakan bangunan citra dalam komunikasi lintas etnik
dan lintas budaya.Kajian mutakhir melalui Review Tata Ruang mengungkapkan, bahwa telah
terjadi simpangan besar dalam tata ruang budaya bangsa, baik karena pengaruh faktor internal
maupun faktor eksternal. Kausalitas pengaruh tersebut bersumber pada faktor-faktor demografis,
ekonomi, politik, mentalitas, prilaku manusia (Antropos, Etnos, Teknos). Terkait dengan besaran
dan intensitas pengaruh telah menimbulkan beragam isu tata ruang: Khaostik, pembusukan,
ketersesakan, degradasi mutu dan berbagai kerusakan lainnya. Fakta lapangan telah merusak citra
dan jatidiri tata ruang budaya bangsa. Karena adanya berbagai benturan dan disharmoni.

POTENSI BUDAYA DAN IDENTIFIKASI NILAI-NILAI LUHUR

Potensi Budaya Bangsa (Perspektif Normatif)

Kebudyaan Indonesia yang dijiwai moral agama sebagai satu etitas yang komprehensif mencakup
sistem agama, sistem budaya, sistem sosial, dan sistem pisik. Secara rinci, masing-masing sistem
terdiri atas berbagai unsur yang secara kategorial meliputi filosofi nilai, konsep-konsep dan aturan.
Ketiga kategori ini berada pada tataran yang berbeda, walaupun tetap terkait satu sama lain. Filosofi
dan nilai ada pada tataran dasar (nilai dasar), konsep-konsep ada pada tataran instrumental, dan
aturan-aturan riil terkait dengan kehidupan sehari-hari ada pada tataran praksis. Dikaitkan dengan
penataan tata ruang kebudayaan bangsa yang dijiwai moral agama dengan ke empat sub sistemnya
berfungsi sebagai sumber spiritual, sebagai pembentuk jatidiri, sebagai wadah kelembagaan dan
representasi peradaban (merevitalisasi peradaban termasuk membangun pertahanan Indonesia yang
beradab). Lebih rinci, melalui kebudayaan dan moral agama normatif ingin dikokohkan landasan
kesucian, landasan filosofis, landasan etika, landasan budaya santun, landasan estetika, landasan
orientasi sampai dengan landasan struktural.

Identifikasi Nilai-Nilai Luhur

Nilai-nilai luhur budaya Indonesia, yaitu ide mengenai hal-hal yang dianggap baik dan berharga
dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan mencakup satu rentangan unsur-unsur abstrak
(Intangible Culture, unsur budaya tak benda) yang terdiri atas :
Unsur Filosofi, (Philosophy) Merupakan unsur yang paling dasar dan paling abstrak, berisi hakekat
dan kebenaran dasar.
Unsur Nilai (Value) Merupakan unsur budaya tentang hal-hal berharga dalam kehidupan, umumnya
sebagai representation collective.
Unsur Konsep (Concept) Merupakan unsur yang lebih instrumental dan lebih dekat ke tataran
implementatif.
Unsur Norma dan aturan (Norms, Rules) Merupakan unsur yang terkait dengan kehidupan nyata
sehari-hari dan bernilai praksis.
Terkait dengan penataan ruang budaya bangsa, khususnya ruang tradisional, elaborasi nilai-nilai
luhur yang berkembang dengan penata ruang yang kondusif, nyaman, dan aman.

KONDISI LAPANGAN YANG BERKEMBANG : Analisis Kontekstual

Lima Kecenderungan Perubahan Indonesia yang Mempengaruhi Tata Ruang Budaya Bangsa,
Pertama, makin sesaknya ruang yang berdampak membesarnya tekanan terhadap masyarakat dan
kebudayaan Indonesia secara ekologis makin dijejali bangunan pisik, kendaraan, manusia,
khususnya di kawasan budidaya dan kawasan perkotaan (urban). Keadaan sesak ini mempengaruhi
dan medistorsi implementasi konsepsi Tri Hita Karana dan rujukan nilai budaya yang lain. Keadaan
ini berdampak semrautnya tata ruang dan merusak citra serta jatidiri. Wacana Indonesia pulau ruko,
Indonesia kumuh, Indonesia tidak bersih muncul dari kondisi ketersesakan tersebut. Kedua, Bangsa
Indonesia yang agraris berkembangnya format ekonomi industri dan jasa disertai dengan
menurunnya ekonomi agraris (agricultural urban ke broadbase industry). Budaya agraris atau
budaya air yang lebih menawarkan keramahan dan keserasian manusia dengan alam berubah ke
industri jasa atau budaya jalan raya yang mengedepankan materialisme, komersialisme,
pragmatisme. Manusia cenderung lebih eksploitasi terhadap alam dan lingkungan. Penggunaan
lahan mengalami alih fungsi dan jumlah lahan pertanian menurun (Hindu Bali : petani
adalah manusia utama). Ketiga, makin mengentalnya komitmen otonomi daerah dengan diiringi
bangkitnya semangat primordial. Implementasi Otda dengan orientasi kewenangan ke Pemerintah
Kabupaten/Kota lebih mendorong desentralisasi, pemberdayaan masyarakat lokal, hak-hak politik,
ekonomi, sosio-kultural. Keutuhan alam dan budaya bangsa terpragmentasi lebih mengarah ke
diversity dan melemahnya unity. Keempat, makin padat dan heterogennya Indonesia (mengglobal)
beragam ciri pluralitas dan potensi konflik. Jumlah penduduk setiap tahun tetap bertambah dengan
kepadatan tidak merata. Jakarta cenderung berkembang sebagai kota tunggal migrasi masuk ke
Indonesia meningkatkan pluralitas. Disamping memberi kebebasan lebih besar pada ruang, juga
memacu kesemrautan ruang, terkait dengan beragamnya cara hidup, orientasi kepentingan dan
orientasi budaya. Kelima, perubahan mentalitas masyarakat ke arah pragmatisme, materialisme,
yang cenderung makin mengeksploitasi alam dan lingkungan. Mentalitas masyarakat industri dan
plural cenderung eksploitatif dan tampak kurang ramah pada lingkungan. Budaya malu makin
distorsif, loyalitas kultural menipis, supremasi hukum melemah, sehingga kontrol terhadap segala
penyimpangan juga tidak berdaya.

NILAI-NILAI BARU DAN BERATNYA IMPLEMENTASI PARADIGMA HARMONI DALAM


PENATAAN RUANG BUDAYA BANGSA

Dalam pengertian yang lebih dinamis, kebudayaan yang hidup (Living Culture) juga dikontruksi
dari cara-cara hidup yang baru dari masyarakat, seperangkat kognitif dan sistem nilai yang
berkembang dari kesadaran baru manusia dalam menggapai perubahan lingkungan. Dalam realitas
hidup, disamping perspektif tradisional juga berkembang perspektif baru yang modern.
Demikianlah, disamping budaya agraris juga berkembang budaya industri, budaya jalan raya,
disamping budaya air, budaya turistik disamping budaya indusrti, budaya kota disamping budaya
kota budaya dan seterusnya. Indonesia telah tumbuh sebagai satu global dengan berbagai cara hidup
yang baru. Lingkungan dan cara hidup yang baru juga menawarkan nilai-nilai baru dalam
masyarakat. Nilai materialisme, nilai pragmatis, nilai komersial, nilai premanisme (identik dengan
budaya kekerasan, teroris) adalah seperangkat nilai yang makin mengedepan dalam kehidupan
aktual. Masyarakat yang berkembang dalam arena kompleksitas nilai dapat bergerak ke arah tiga
format alternative : (1) Integrasi nilai; (2) Konflik nilai; atau (3) Anomi.Dalam kehidupan yang
makin pluralistis, baik pluralistis secara pisik, mental, sosial, dan kultural dengan adanya berbagai
konflik kepentingan dan konflik nilai, Implementasi paradigma harmoni, nilai keserasian dan
konsep Tri Hita Karana tampaknya makin kuat dan akan memperolah beragam tantangan.

Masalah Tata Ruang dalam Perspektif kebudayaan dan Nilai.

Kausalitas terkait tata dengan ruang nasional berpangkal pada multi-kausal. Empat sumber masalah
yang paling pokok adalah : populasi yang besar dengan kualitas yang rendah, ekonomi kapitalis
yang eksploitatif, lemahnya kontrol hukum, dan misi pembangunan yang bersifat paradoks, di satu
sisi berupaya memperbaiki kondisi, tetapi disisi lain berdampak makin merusak kondidi lingkungan
seperti contoh pengalihan fungsi lahan, penumpukan tebal jalan yang terus-menerus yang
menengelamkan pemukimam. Di wilayah urban juga makin menonjol peningkatan kualitas ruko,
PKL secara tak terkendali yang merusak citra budaya.
Jenis-jenis masalah tentang tata ruang budaya bangsa yang terkait dengan budaya dan nilai :
Lemahnya rujukan pada nilai-nilai dasar (agama, filosofi). Terbatasnya implementasi nilai-nilai
instrumental (seperti THK) terkait dengan terbatasnya lahan dan perubahan gaya hidup.Kaburnya
nilai-nilai praksis terkait dengan perkembangan konflik nilai, paradoks kehidupan dan berbagai
orientasi baru yang bersifat pragmatis dalam habitat pluralisme sosial dan cultural. Model AETO
(Antropus, Etnos, Tehnos, Oikos) dalam sub-disiplin Ekologi Budaya adalah satu model untuk
memahami kompleksitas dan masalah lingkungan dan tata ruang perspektif multi dimensi :
manusia-komuniti-teknologi dan lingkungan.

STRATEGI IMPLEMENTASIVISI

Mewujudkan Indonesia sebagai satu kesatuan ruang dan lingkungan yang utuh, memiliki jatidiri
yang dijiwai moral agama dengan di landasi Tri Hita Karana dalam rangka Membangun Pertahanan
Indonesia yang Beradab.
MISI Menjaga dan memuliakan tempat suci dan kawasan suci dan manusia beradab. Mewujudkan
tata ruang budaya bangsa dalam format keutuhan dalam keanekaragaman sebagai wadah pelestarian
alam dan budaya bangsa. Memperdayakan SDM, lembaga tradisional (desa pekraman, subak, pola
kemitraan) dan peneliti.Membangun lingkage lintas sektor secara komplementer sinergis untuk
pembangunan berkelanjutan dalam dinamika lokal, nasional, global.

STRATEGI
Opsi 1 : Konservasi dan Community based, Ruang dan lingkungan yang termasuk opsi ini harus
dikonservasi secara utuh dan tertutup terhadap pengembangan melalui kesepakatan komuniti.
Tujuannya agar ruang dan lingkungan tetap suci, asli, lestari, manusia bermoral dan beradab arif
dan bijaksana dengan taat beragama.
Opsi 2 : Adaptif dan Community based, Ruang dan lingkungan yang termasuk opsi ini dapat
dikembangkan secara adaptif, namun harus melalui konsultasi komuniti. Tujuannya agar ruang dan
lingkungan terbuka untuk berkembang, namun tetap harus memberi manfaat bagi masyarakat
berbudaya santun dan bermoral
Opsi 3 : Progresif dan Community based, Ruang dan lingkungan yang termasuk opsi ini dapat
dikembangkan secara terbuka langsung untuk mengadopsi berbagai kegiatan ekonomi, bisnis,
namun harus sinergis lintas sektor menjaga jatidiri ruang dan melalui konsultasi komuniti.
Tujuannya pembangunan ekonomi, pisik dapat mengangkat derajat kehidupan bangsa, namun alam
dan budaya bangsa tetap lestari.

IMPLEMENTASI

Filosofi dan nilai luhur harus dapat di implementasikan secara konkret agar benar-benar secara
aktual menjadi landasan dan rujukan dalam tata ruang budaya bangsa. Tanpa implementasi konkret
akan terjadi missing link antara nilai dan realita, antara kajian dan kenyataan.

BUDAYA ROHANI LOKSAMGRAHA : KESEJAHTERAAN BERSAMA

Bangsa yang beragama dan beradab harus mendorong dan membangun terciptanya keadilan sosial
dalam masyarakatnya. Cita-cita keadilan sosial dalam agama apapun termasuk semua agama di
dunia dan salah satunya dalam agama Hindu terdapat dalam konsep loksamgraha, atau
kesejahteraan untuk seluruh masyarakat. Dalam konsep loksamgraha, terkandung kesetiakawanan,
kerelaan untuk berkorban demi kepentingan orang lain yang kurang beruntung. Dan sangat tepat
konsep ini dikemukakan dalam Acara Kegiatan Rapat Koordinasi Regional tentang Pengembangan
dan Pengamalan Nilai-Nilai Keagamaan dan Pembangunan Karakter Bangsa di Prov. Bali Tahuhn
2011 saat ini dimana kenyataan yang tidak bisa dihindari bahwa kita bangsa Indonesia, bangsa-
bangsa Asia malahan bangsa-bangsa di dunia ini yang terdiri dari keaneka ragaman kultur, bahasa,
ras, geografi, sejarah, agama dan keimanan terpuruk akibat sering agama digunakan untuk
menghancurkan peradaban manusia yang beradab diluar ajaran agama itu sendiri yang mengajarkan
kita penuh kasih dan kedamaian. Veda meneguhkan kehidupan dan ketika Veda menyanyikan
SARVE BHAVANTU SUKHINAH, mantra ini menekankan bahwa keselamatan pribadi bukanlah
satu-satunya tujuan, tetapi bahwa kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pemeluk Hindu,
adalah sama pentingnya bahkan jauh lebih penting. Loksamgraha sebagai suatu yang ideal dari
masyarakat Hindu, dapat diwujudkan melalui suatu proses. Dimulai dengan proses tumbuhnya
kesadaran sosial dikalangan para pemeluk agama, bahwa masing-masing dari kita adalah
bersaudara satu sama lain : WASUDEVA KUTHUMBHAKAM. Bahkan hakikat diri kita
sebetulnya sama. Penderitaan bagi yang satu adalah penderitaan bagi yang lain. Kebahagiaan bagi
yang satu adalah kebahagiaan bagi yang lain, aku adalah engkau : TAT TWAM ASI. Masyarakat
yang sejahtera, adalah merupakan jumlah total dari individu dan keluarga yang sejahtera dan
merupakan bagian dari masyarakat dunia yang sejahtera pula. Pada hakikatnya setiap individu para
pemeluk agama, harus mampu menciptakan kesejahteraannya sendiri, melalui karma atau
tindakannya sendiri. Dan untuk itu dia haruslah memiliki kemampuan, kecerdasan, keahlian dan
pengetahuan serta keterampilan untuk menunjang profesinya, dengan mana dia mencapai
kesejahteraan diri dan keluarganya termasuk masyarakat dunia. Kini adalah saatnya kita besekutu
untuk membangun dunia baru yang lebih aman, tenteram, adil, damai penuh kasih dan sejahtera
dengan memperluas makna yajna, tidak saja pengorbanan dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi
juga dengan sesama umat manusia, berdasarkan ’daya’ (compassion atau cinta kasih) dan ’dana’
(pemberian bantuan). Dana bukan untuk jangka pendek, atau caritas sentimental, berupa sedekah
untuk sekedar menghilangkan lapar dan sakit. Dana haruslah untuk suatu yang bersifat strategis,
jangka panjang, yaitu untuk peningkatan spiritualitas umat manusia yang lebih beradab. Marilah
kita bersekutu untuk membangun dan peka terhadap penyakit masyarakat dan ikut memecahkan
permasalahan yang dihadapi oleh mereka yang tidak beruntung. Agama yang tidak peka terhadap
penyakit masyarakat dan tidak ikut ambil bagian dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat, tidak akan mendapat tempat dalam masyarakat modern, tidak menarik bagi
manusia modern (Sarvepalli Radhakrisnan).
Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Teologi di dalam
kitab suci agama-agama di dunia ini termasuk kitab suci Veda dan susastra Hindu disebut
Brahmavidya atau pengetahuan ketuhanan, yang di dalamnya mengajarkan berbagai aspek
ketuhanan, utamanya yang berkaitan dengan makhluk ciptaan-Nya, yakni umat manusia untuk
mcngembangkan kehidupan yang humanis, pluralis dan dialogis. Kehidupan yang humanis
dilandasi oleh ajaran bahwa semua makhluk berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan akan kembali
kepada-Nya. Kesadaran bahwa atma (roh) yang menghidupkan setiap makhluk berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa muncul ajaran yang disebut Panca Mahavakya Upanishad yakni: Tat tvam asi
(Thou are That), Aham Brahmasmi (I am Brahman), Aham atma Brahma (This Self is Brahman),
Prajnam Brahma (Consciousness is Brahman), dan Sarvam khalu idam Brahma (All indeed is
Brahman). Kitab-Kitab suci mengamanatkan untuk menyadari adanya kebhinekaan (pluralisme)
dan untuk menumbuhkan kerukunan yang sejati mengembangkan sikap dialogis, dengan
bermusyawarah untuk mencapai mufakat guna mewujudkan tujuan bersama yaitu Harmonis,
Damai, Bersatu padu untuk membangun Budaya Rohani yang utuh demi kesejahteraan umat
manusia yang merupakan implementasi karakter bangsa. Di Bali dikenal dengan istilah Tri Hita
Karana (Tiga hal yang penyebab keharmonisan), pertama : harmonis antara manusia dengan
TuhanNya, kedua : harmonis antara manusia dengan manusia sesamanya, dan ketiga : harmonis
antara manusia dengan alam lingkungannya.

Ida Bagus Gede Wiyana

Realizing Interfaith Concordance


One of the figures that actively plays role in creating such concordance is Ida Bagus Gede Wiyana.
As Chairman of Interfaith Forum of Bali Province, he never gets bored to deliver ‘enlightenment’ to
members of religious community in Bali, particularly those of Hindu. This father of two sons— Ida
Bagus Erwin Ranawijaya, SH, MH and Ida Bagus Bayu Brahmantya, SH should make a visit to
every nook and cranny delivering ‘dharma wacana’ or Hindu sermon on the importance of life
concordance even though of different religions. Other than that, the husband of Dra. Ida Ayu Ratna
Wesnawati, MM., should be able to accomplish some issues pertaining to interfaith concordance.
For instance, resolving problems on house of worship, graveyard and making decision should there
be any holidays of two or more religions falls on the same day. Once, the Nyepi (Silence) Day fell
on the same day as Friday prayer. Nyepi requires silence and is not allowed devotees to go out,
while the Moslem should go out to pay homage to mosque. Just as Nyepi that coincided with
church service on Sunday. Though he is busy with managing the Dwijendra Education Foundation
that organizes schools from kindergarten up to university, this man of Sanur-born (1 August 1951)
never declines when being asked for his time to deliver enlightenment. Moreover, after the Bali
Bomb I and II he progressively often appeared on television. According to him, the Interfaith
Communication Forum was established on the accord of the caretakers of Religious Assembly
existing in Bali like Parisadha (Hindu), MUI (Islam), Walubi (Buddha), MPAG (Protestant),
MAKIN (Kong Hu Cu) and Keuskupan (Catholic). The idea was sparked by the general election
1999. “The five religious assemblies felt there has been ‘violence’ in the reason of struggling for
each religion. Mass savagery occurs everywhere,” he said. “However,” he added,” the beginnings
of the establishment of the forum has existed since 1970s.” At that time, forum that has not
formally founded many a time executed discussion relating to location of graveyard, house of
worship, interfaith marriage and so forth. “Regional Office of Religious Affairs became its
facilitator then,” he added. (BaliTravelNews/015)

NYEPI DALAM KONTEKS PENGENDALIAN DIRI


MASYARAKAT BALI DULU DAN KINI
Tahun Saka ditetapkan sebagai peringatan atas penobatan Raja Kanishka I dari dinasti Kushana
pada tahun 78 Masehi. Pusat kerajaannya bernama Purusapura, sekarang Peshawar di Pakistan.
Kerajaannya membentang dari Gandhara (sekarang Afganistan) ke Asia Tengah. Dan pengaruhnya
sampai ke Cina, Tibet dan Jepang. Raja Kanishka I beragama Hindu. Tetapi ia tidak memakai
agamanya sebagai agama negara. Ia membina semua agama yang ada, yaitu Hindu dan Buddha
beserta sekte-sekte masing-masing. Karena sikapnya yang arif dan bijaksana, tidak mengutamakan
agama satu dari yang lain dalam politik pemerintahan, maka terciptalah toleransi, hubungan yang
harmonis antara berbagai pemeluk agama yang menjadi warga negaranya. Baginda raja tida saja
menyelenggarakan sidang-sidang pemerintahan juga mendorong terselenggaranya Mahasabha
(Sidang Raya) atau Pesamuhan Agung Keagamaan, baik untuk agama Hindu maupun agama
Buddha demi memelihara kerukunan dan toleransi kehidupan beragama. Pada masa itu muncul
tokoh-tokoh besar seperti Nagarjuna (eksponen doktrin Budha Mahayana), ahli pikir Aswaghosa,
Parswa, Wasumitra, Sangharaksa, Chareaka (seorang dokter), Mathara (pemikir strategi politik),
Agesilaus (insinyur keturunan Yunani), raja Sakhara (penyair dan penyusun kitab Kawyamimansa),
dan lain-lain. Untuk menghormati kebesaran jiwa Raja Kanishka I inilah tarikh Saka ditetapkan.
Dengan demikian perayaan pegantian tahun Saka merupakan peringatan atas suatu peristiwa
sejarah. Sejak ditetapkannya tahun Saka ini oleh Raja Kanishka I ini telah membuka jalan bagi
perkembangan dan kemajuan kebudayaan dan agama sehingga India menjadi salah satu pusat
penyebaran agama dan peradaban manusia di seluruh dunia. Tahun ini pula dipergunakan sampai ke
India Utara yang sebelumnya mempergunakan tahun Candra, demikian pula di India Timur bahkan
terus berkembang sampai di Nusantara termasuk Bali. Sejak itu terjadilah pembauran perhitungan
tahun antara tahun Saka (yang memakai perhitungan Surya) dengan tahun yang memakai
perhitungan Candra, yang lazim disebut dengan “Luni-Solar System”. Tahun Saka sebagai satuan
waktu tidak berbeda dengan tahun-tahun yang dimiliki oleh agama lain, seperti tahun Hijriyah,
tahun Masehi. bahkan tidak berbeda dengan tahun-tahun yang dimiliki oleh bangsa lain. Bangsa
Cina dan Jepang misalnya memiliki tahunnya sendiri. Masing-masing agama atau bangsa
memperlakukan pergantian tahunnya secara berbeda. Di India, sekalipun tahun Saka telah
ditetapkan sebagai tahun nasional sejak tahun 1958, yang tahun barunya jatuh tiap tanggal 22
Maret, umat Hindu di India tidak merayakannya secara khusus. Di Indonesia, pergantian tahun
Saka diberikan muatan relegius. Tahun baru Saka menjadi hari suci Nyepi. Jadi Nyepi memiliki dua
dimensi. Dimensi waktu dan dimensi agama atau tepatnya dimensi ritual (pencerahan hati nurani).

Makna Ruang dan Waktu Ruang dan waktu adalah sarana bagi proses perkembangan manusia.
Demikianlah Tuhan menciptakan masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu memberikan kita
pengalaman. Masa kini memberi kita kesempatan untuk bertindak. Masa depan memberi kita
harapan. Makna dari ketiga waktu itu sangat penting bagi kita yang percaya pada hukum karma dan
reinkarnasi. Hidup kita sekarang merupakan akumulasi dari pengalaman hidup kita sebelumnya.
Masa depan kita tidak terbatas. Kita memiliki bukan satu kehidupan, tetapi satu rangkaian
kehidupan. Makna waktu berbeda bagi mereka yang percaya pada doktrin predestinasi, yang
percaya bahwa hidup dan keberadaan manusia sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan. Waktu baginya
adalah saat untuk melaksanakan skenario Tuhan. Waktu adalah saat Ki Dalang memainkan
wayangnya. Pengalaman kesempatan bertindak, dan pengharapan tidak memiliki makna bagi
wayang. Memakai pengertian Eric Fromm, mereka yang percaya pada doktrin predestinasi
memiliki hidup yang sepenuhnya dijadikan oleh Tuhan. Bagi kita yang percaya pada hukum karma
dan reinkarnasi, hidup adalah proses menjadi. Waktu adalah kesempatan bagi kita untuk menjalani
proses itu. Waktu mengajari manusia satu hal penting. Waktu terus mengalir. Demikian pula hidup
kita terus mengalir. Tetapi waktu hanya mengalir ke satu arah, ke depan! Demikian hidup kita?
Sungai karena kodratnya dengan tekun terus mengalir ke laut. Tetapi kemanakah hidup kita
menuju? Tujuan akhir manusia, menurut agama Hindu adalah Moksa, Manunggaling kawula lan
gusti. Bersatunya Atman dengan Brahman. Hidup kita menuju sangkan paraning dumadi, asal dari
kehidupan. Ada tiga jalan utama yang disediakan untuk mencapai tujuan itu; jalan pengetahuan
(Jnana Marga), jalan cinta kasih (Bhakti Marga) dan jalan kerja (Karma Marga). Menurut Arvind
Sharma, guru besar perbandingan agama dari Universitas McGill, Kanada, jalan yang cocok untuk
zaman ini adalah Karma Marga. Sebab dalam Karma Marga sudah terkandung unsur Jnana dan
Bhakti, sebagaimana dipraktekkan oleh Mahatma Gandhi. Namun sebelum mencapai tujuan akhir
ini, ada tiga tujuan lain yang juga sangat penting yang harus dicapai manusia, yaitu Dharma, Artha,
dan Kama. Apabila orang tidak menghendaki dirinya dilanda dan hanyut menuju kemerosotan dari
suksma menjadi sthula (materi), maka pikiran dan perbuatan haruslah dikendalikan dengan dharma.
Tiga yang pertama tujuan kehidupan (triwarga) yang terdapat di jalan prawrtti ialah dharma, artha
dan kama.1. Dharma Dharma artinya sesuatu yang mesti dipegang erat-erat, misalnya ialah hukum,
kebiasaan, adat-istiadat, agama, kasih sayang, kebenaran, keadilan, kewajiban, prestasi dan
moralitas. Jadi dharma itu tidak lain dari prinsip-prinsip yang utuh dan kekal (sanatana) yang
menyangga seluruh alam semesta ini menjadi satu kesatuan, baik pada bagian-bagiannya maupun
pada keseluruhannya, hidup atau mati. “Sesuatu yang menunjang dan mempersatukan seluruh
makhluk di alam semesta disebut dharma”. “Dharma dicanangkan untuk menciptakan dan
memberikan keutuhan hidup. Dharma itu menunjang dan memelihara. Karena dharma itu
menunjang dan mempersatukan, maka ia disebut dharma. Dengan dharma umat manusia
dipertahankan”. Jadi dharma itu bukan merupakan aturan bikinan (artificial), tetapi merupakan
kaidah (prinsip) untuk hidup benar. Ciri-ciri dharma, sama dengan ciri-ciri kebaikan, yaitu perilaku
yang baik (achara), melalui perbuatan baik itu dharma itu diwujudkan sehingga dicapailah
kemashuran secukupnya di dunia ini dan di alam-alam selanjutnya. Landasan dari sanatana dharma
ialah revelasi (shruti) seperti tercantum di dalam sastra-sastra, seperti Smrti, Purana dan Tantra.
Dharma artinya agama, dharma juga berarti kewajiban-kewajiban. Memahami kewajiban,
memahami agama merupakan landasan bagi hidup bermoral.2. Artha Artha berarti benda atau
sarana yang dapat memuaskan naluri dan juga berarti tujuan hidup harta benda dan kekayaan.
Pengertiannya secara luas ialah sarana yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan ini dalam
pengertian biasa berarti makanan, minuman, uang, rumah, tanah, dan berbagai bentuk kekayaan
yang lain; lebih lanjut itu juga berarti segala sesuatu yang dapat memuaskan keinginan luhur,
seperti kekaguman terhadap keindahan, pemujaan, di mana untuk itu pun artha diperlukan. Bantuan
yang diberikan kepada orang lain, dalam bentuk apa pun, itu pun artha. Jadi tegasnya, artha itu
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memuaskan keinginan, yang sifatnya rendah atau tinggi.
Untuk kebahagiaan dan ketentraman hidup di dunia ini, dorongan keinginan itu hendaknyalah
dorongan keinginan yang baik dorongan yang mengakui bahwa manusia harus tunduk kepada
dharma maka demikian itu pula halnya dengan benda-benda yang dicari untuk memuaskan
keinginan tersebut, benda-benda pemuas itu pula harus dikendalikan oleh dharma. Ketika sedang
menempuh prawritti marga, triwarga harus dipupuk juga dengan penuh keseimbangan, karena
orang yang keranjingan kepada salah satu saja dari unsur triwarga itu yang tidak dibenarkan
(dharmmartha kamah samanewa sewyah yo hyekasaktah sa jano jagha nyah).3. Kama Kama ialah
dorongan keinginan (nafsu) dan dapat diterjemahkan dengan kata naluri, nafsu dan keinginan,
seperti misalnya dorongan keinginan untuk menikmati kekayaan, kesuksesan, keluarga, kedudukan,
atau bentuk-bentuk lain kesenangan untuk sediri maupun untuk orang lain. Adapun naluri yang
sangat kuat mempengaruhi jiwa mahluk hidup terutama manusia, yaitu lapar, dahaga dan nafsu
birahi (sexual impulse). Selain dari pada itu yang tiga jenis naluri, nafsu atau keinginan ini terdapat
juga naluri yang lain pada jiwa manusia sebagai takut, marah, senang dan keinginan-keinginan
untuk mendapat serba benda, kepuasan duniawi dsb. Kama juga mendorong manusia untuk
menikmati dan memiliki hal-hal yang bersifat besar dan mulia, keinginan atau ambisi untuk
memiliki hal-hal sedemikian itu merupakan ciri betapa besarnya jiwa itu. Keinginan, apakah
tingkatnya tinggi atau rendah, haruslah diatur, dan manusia dikendalikan oleh dharma yang
mengatur kehidupannya. dalam kerangka Dharma, Artha dan Kama memperdalam bobot spiritual
manusia. Agama hindu sama sekali tidak mengabaikan kehidupan duniawi. Kehidupan duniawi ini
(dharma, Artha dan Kama) merupakan syarat untuk mencapai Moksa.
4. Moksha Dari empat tujuan itu, moksha atau mukti merupakan tujuan sejati dan terakhir. Tiga
tujuan yang lain itu masih dihantui oleh berbagai bentuk kekhawatiran, dan kematian sebagai
keakhirannya. Mukti berarti “membuka ikatan” atau membebaskan. Jiwa dibebaskan dari ikatan
samsara, ikatan dari eksistensi phenomenal ini, sehingga dengan demikian menyatu dengan
berbagai tingkat kesempurnaan paramatma. Kebebasan sedemikian itu bisa didapatkan dengan
sarana pengetahuan spiritual (atmajnana) dan tentu saja pengetahuan sedemikian itu harus terlebih
dahulu dilandasi dengan kehidupan moral melalui pelekatan diri kepada dharma. Untuk mencapai
sifat kesejatian jiwa itu, pengetahuan itulah yang diperlukan, belum cukup sekedar memiliki moral
dan etika itu diremehkan, moral dan etika harus dimiliki terlebih dahulu, tetapi sampai tingkat
kesadaran tertentu, moral itupun kehilangan keampuhan untuk melanjutkan perjalanan menuju
tujuan yang terakhir ini. Moksa itu merupakan ujung terakhir dari niwriti marga. Triwarga (dharma,
artha dan kama) ialah ujung terakhir prawritti marga. Kautilya, atau Canakya, cendikiawan besar
Hindu yang hidup kira-kira 2300 tahun yang lalu mengatakan “ Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Bila satu dari keempat hal ini tidak dicapai oleh manusi, maka lahir ke dunia ini hanyalah untuk
mati”.
Kontemplasi Dan Proyeksi Lalu apa makna nyepi disini? Mengapa pada hari Nyepi kita tidak boleh
bekerja, tidak boleh bepergian, tidak boleh menyalakan api? Simbolik apa yang dikandungnya?
Marilah kita bayangkan kita sedang menyusuri sungai dengan rakit. Setelah menempuh perjalanan
selama 356 hari, kita berhenti sejenak. Menepi ke pinggir sungai. Rakit ditambatkan. Kita mencari
tempat berteduh di bawah pohon yang rindang. Kita melihat ke belakang, menilai kembali ziarah
kita. Berapa jauhkah jarak yang sudah kita tempuh? Rintangan apa yang telah kita hadapi?
Bagaimana kita menghadapi rintangan itu ? Apakah cara kita mengayuh sudah benar? Setelah
mengetahui hasil evaluasi ini, sekarang kita melihat ke depan. Apakah tujuan itu tampak dengan
jelas? Apakah arahnya jelas? Jalan mana yang harus kita tempuh untuk mencapai tujuan itu? Berapa
jauh jarak yang ingin kita tempuh selama 356 yang akan datang? Bagaimana kita mengayuh agar
rakit kita bergerak lebih cepat? Demikian kita membagi perjalanan kita dalam satuan tahun. Di
belakang kita ada satu tahun. Di depan kita satu tahun lagi. diantara kedua ruas waktu itu kita ambil
satu hari untuk menilai dan membuat rencana. Dalam bahasa sekarang, pada hari itu kita melakukan
kontemplasi, refleksi dan proyeksi. Suasana yang hening dan sunyi dibutuhkan agar hal itu dapat
dilakukan dengan baik. Perjalanan ke depan adalah ziarah menuju harapan. Tetapi tidak ada
kebahagiaan tanpa pengorbanan. Maka kita harus menyiapkan diri, secara jasmani dan rohani,
mental dan spiritual. Berbeda dengan air sungai yang mengalir begitu saja, sesuai kehendak alam.
Kita harus mengarahkan, mengatur, dan mengendaliakan. Kita tidak ingin tenggelam dalam jeram
yang dalam bersama rakit yang kita biarkan hanyut terbawa arus tanpa kendali.
Sepi adalah Awal Penciptaan Sepi adalah awal. Sepi adalah prasyarat bagi penciptaan . Rig Weda
dalam sloka penciptaan (Hymn of Creation) mengatakan : Pada awalnya tidak ada yang ada dan
yang tidak ada, seluruh dunia adalah energi yang belum terwujud. Yang Satu (Tuhan) bernafas,
tanpa nafas, dengan kekuasaanNya sendiri, tiada sesuatu pun di sana. Ayat pertama Kitab Kejadian
dari PerjanjianLama mengatakan : Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi. Bumi belum
berbentuk dan kosong ; gelap gulita memenuhi samudera raya, dan roh Tuhan melayang-layang di
atas permukaan air.Dalam agama Buddha, bukan Tuhan, mahluk (being) atau substansi tetapi sepi
atau Sunyata yang merupakan hakikat kenyataan yang terakhir (Ultimate reality). Segala sesuatu
berasal dari Sunyata. Karena Sunyata segala sesuatu menjadi ada. Sepi dalam konsep Hindu, dan
Sunyata dalam konsep Buddha bukan sesuatu yang negatif. Seluruh penciptaan, dari penciptaan
alam semesta sampai penciptaan sebait puisi berawal dari sepi. Mencipta adalah proses membuat
ada dari yang tidak ada. Dengan melompati diskusi filsafat, kehadiran serta kegiatan kita di dunia
ini memerlukan satu derajat sepi atau kekosongan. Kita memerlukan tempat kosong bila hendak
mendirikan rumah. Air hanya dapat ditaruh dalam gelas yang kosong. Tanpa ruang kosong kita
tidak bisa berada di atas bumi ini.
Penciptaan Adalah Kebahagiaan Prasna Upanishad mengatakan : “Pada awalnya Sang Pencipta
merindukan kebahagiaan dari penciptaan. Ia diam dalam meditasi, lalu muncullah Rayi, materi (zat)
dan Prana, hidup. “Kedua hal ini”, pikir-Nya, “akan menciptakan mahluk-mahluk
untukKu”.Chandogya Upanishad mengatakan : Di mana ada penciptaan, di sana ada kemajuan. Di
mana tidak ada penciptaan, di sana tidak ada kemajuan ketahuilah hakikat dari penciptaan.Di
mana ada kebahagiaan, di sana ada penciptaan. Di mana tidak ada kebahagiaan, di sana tidak ada
penciptaan ; ketahuilah hakikat dari kebahagiaan.Di mana ada yang Tak Terbatas, di sana ada
kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan dalam yang terbatas; hanya dalam yang Tak Terbatas ada
kegahagiaan; ketahuilah hakikat dari yang Tak Terbatas.Di mana tidak ada sesuatu pun terlihat, atau
terdengar, atau diketahui, di sanalah ada yang Tak Terbatas. Di mana ada sesuatu yang terlihat,
terdengar atau diketahui di sana ada yang terbatas. Yang Tak Terbatas abadi ; tetapi yang terbatas
fana.Kita memulai perjalanan tahun kita dengan sepi, hening dan heneng.

Bersatu Dengan Kesadaran Murni Dalam kehidupan manusia, sepi merupakan bagian yang sangat
penting. Deepak Chopra, penulis India yang kini bermukim di Amerika Serikat, yang telah menulis
banyak buku-buku best seller, menulis: “Mempraktekkan diam berarti membuat satu komitmen
untuk mengambil satu waktu tertentu untuk semata Menjadi (Be). Menjalani sepi berarti secara
berkala menarik diri dari aktivitas berbicara. Ia juga berarti secara berkala menarik diri dari
kegiatan-kegiatan menonton televisi, mendengar radio, membaca buku. Bila anda tidak pernah
memberi kesempatan diri anda untuk mengalami sepi, ini akan menciptakan kekacauan dan
keributan dalam dialog internal anda.”“Mengapa kita memerlukan sepi?” kata Chopra lagi,
“Hakikat kita (manusia) adalah kesadaran murni. Kesadaran murni adalah potensialitas murni; ia
adalah wilayah segala kemungkinan dan kreativitas yang tak terbatas. Kesadaran murni adalah inti
spiritual kita. Bersifat tidak terbatas dan tidak terikat, ia juga adalah kebahagiaan murni. Atribut
atau nama lain dari kesadaran adalah ilmu pengetahuan murni, sepi tanpa batas, keseimbangan
sempurna, yang tak dapat ditaklukkan, kesederhanaan dan wara nugraha (rakhmat)”.Melalui
meditasi kita akan belajar mengalami sepi murni dan kesadaran nurani. Dalam lapangan sepi yang
murni terdapat korelasi yang tak terbatas, lapangan penyatuan kekuatan/kekuasaan yang tak terbats,
landasan terakhir dari penciptaan di mana segala sesuatu dihubungkan secara tak dapat dipisahkan
dari segala sesuatu yang lain. Dengan kata lain, dalam sepi jiwa kita (Atman) bersatu dengan jiwa
alam semesta (Brahman atau Tuhan).Taittiriya Upanishad mengatakan : “Dia yang mengetahui
Tuhan (Brahman) yang adalah Kebenaran, Kesadaran, dan Kebahagiaan Tak Terbatas, tersembunyi
di tempat terdalam dari jiwa kita dan di surga yang tertinggi, menikmati segala sesuatu yang
diinginkannya dalam persatuan dengan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Dari Tuhan (Brahman) pada
awalnya muncul ruang. Dari ruang muncul udara. Dari Udara muncul api. Dari api muncul air. Dari
Air muncul tanah yang padat. Dari tanah muncul tumbuh-tumbuhan. Dari tumbuh-tumbuhan
muncul makanan dan biji (bibit). Dan dari biji dan makanan muncullah satu makhluk hidup,
manusia”.
Mendengar Suara Hati Nurani Melalui aspek waktu kita menilai hasil. Melalui suara hati kita
menilai cara. Teknologi modern telah menyediakan kita sarana untuk melakukan komunikasi secara
ajaib. Melalui teknologi telekomunikasi kita dapat berbicara dengan orang lain yang berada di
ujung dunia yang lain. Melalui teknologi elektronika kita bisa bicara dengan jutaan orang sekaligus.
Namun teknologi modern tidak menyediakan kita sarana untuk bicara dengan diri kita sendiri.
Malah sebaliknya, teknologi modern telah mempersulit komunikasi itu. Gemuruh suara mesin di
jalan dan di tempat kerja, hingar bingar suara hiburan dan banjir informasi dari alat-alat elektronik
di rumah, telah membuat telinga batin kita hampir tuli. Tetapi hambatan yang paling besar berasal
dari sikap hidup atau nilai-nilai kemodernan. Dua dari padanya adalah nilai efisiensi dan kompetisi.
Efisiensi dimaksudkan bahwa semua aktivitas kita harus menghasilkan sesuatu dalam jumlah
sebanyak-banyaknya dan dengan mutu sebaik-baiknya. Kompetisi menetapkan yang baik adalah
yang menang. Dalam persaingan murni, yang menang adalah yang paling efisien. Mau tidak mau
kita harus menyesuaikan diri dengan kedua nilai-nilai ini. Sikap hidup dan teknologi modern telah
bersekongkol untuk merampas waktu kita untuk berdialog dengan diri kita sendiri. Tetapi kita umat
Hindu di Indonesia sangat beruntung. Karena hari Nyepi memberikan kita kesempatan penuh untuk
melakukan dialog dengan diri kita sendiri. Lalu apa yang kita bicarakan dengan hati kita? Hal-hal
sederhana tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap hidup kita. Kita bertanya : “Apakah perbuatan
kita selama ini membawa kebaikan kepada orang lain? Atau sebaliknya merugikan orang lain?
Apakah karena keberhasilan itu kita telah menjadi sombong?” Pertanyaan-pertanyaan sederhana
semacam ini yang harus kita ajukan secara berulang-ulang. Kemudian kita harus menunggu
jawabannya dengan sabar. Suara hati itu sangat halus getarannya. Makin tebal keserakahan dan
kesombongan menutupi hati kita makin sulit suara itu terdengar. Sebaliknya semakin bersih hati
kita akan semakin jernih suara itu kedengaran. Dalam masyarakat modern Nyepi semakin relevan
dan bagaimana aktualisasinya?
Nyepi : Surya Dan Sunya Hari raya Nyepi yang jatuh pada “pananggal ping pisan sasih Kadasa”
(pratipada sukla Waisaka) adalah hari tahun baru Saka. Hari raya Nyepi disambut dengan
pelaksanaan Brata – penyepian terangkai secara utuh dan tak terpisahkan dengan pelaksanaan
bhutayajna (pacaruan) yang dilaksanakan sehari sebelumnya yaitu pada Tilem Kasanga (tilem
Caitra). Dengan demikian Hari Raya Nyepi tidak sekedar pergantian tahun (saka), akan tetapi
dilandasi oleh nilai-nilai spritual : wawasan kesemestaan dengan melihat posisi surya dan cadra,
renungan tentang ruang dan waktu sebagimana tertuang dalam pelaksanaan bhutayajna
(persembahan kepada bhuta dan kala), pelaksanaan ajaran yoga dengan melaksanakan yama-
niyamabrata, membangun visi dan spirit untuk menhadapi masa yang akan datang, terlebih lagi kata
“sepi atau sunya” adalah sebuah kata kunci dalam ajaran agama Hindu yang mengandung makna
kesempurnaan (purna). Oleh karena itu Nyepi senantiasa menyajikan bahan renungan kepada kita,
lebih lanjut mendorong kita lebih mendalami ajaran agama Hindu.
Nyepi : Surya Dan Candra Pada tanggal 21 Maret dalam tahun biasa, tanggal 22 Maret pada tahun
Kabisat, dalam perhitungan astronomi matahari tepat berada di atas khatulistiwa. Atau pada saat itu
sumbu bumi membuat sudut 90 terhadap poros bumi-matahari, sehingga kutub utara dan kutub
selatan terletak sama jauh dengan matahari. Akibatnya ialah lamanya waktu siang sama dengan
lamanya waktu malam. Matahari pada saat itu disebut berada pada titik okinoksi, artinya waktu
siang sama dengan waktu malam, yaitu 12 jam. Oleh karena itu, pada tanggal 22 Maret 79, Raja
Kaniska I menetapkannya sebagai tahun Saka. Pada saat itu (sehari sebelumnya) juga bertepatan
dengan terjadinya gerhana matahari total. Sebagaimana diketahui pada saat gerhana (baik gerhana
matahari/suryagraha, maupun gerhana bulan/candragraha), matahari – bulan – bumi berada dalam
satu garis lurus. Oleh karena itu gerhana matahari jatuh pada tilem dan gerhana bulan jatuh pada
hari purnama. Dengan demikian penertapan Tahun Baru Saka tidak hanya melihat posisi matahari
(surya pramana), tetapi juga posisi bulan (candra pramana), oleh karena itu saat itu disebut dengan
sura – candra pramana. Atau lebih tegasnya penentuan perhitungan Tahun Baru Saka
mempergunakan perhitungan astronomi Hindu (jyotista) yaitu dengan memperhatikan posisi
matahari, bumi dan bulan. Berkenaan dengan uraian diatas umat Hindu dalam setiap penentuan
dalam pergantian tahun selalu memperhatikan situasi dan kondisi yang terjadi pada alam dalam hal
ini dengan memperhatikan gejala benda-benda yang ada di langit berupa sinar-sinar (divine), oleh
karean itu muncul istilah atau kata Dewa (dari div berarti bersinar). Umat Hindu pada hakekatnya
dalam pencerahan hidupnya, membnagun dirinya ingin menjadi divine man yang selanjutnya
membangun divine society (dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungannya yang memancarkan
sinar suci Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang secara etis manusia Hindu ingin melenyapkan sifat-sifat
kegelapan dalam dirinya (asuri sampat) dan mencari serta memupuk sifat-sifat kedewaan (daiwi
sampat) sehingga mendapatkan divine god yang akan melahirkan manusia / putra yang abadi
(amrestyah putra). Inilah landasan yang sangat esensial bagi pembangunan manusia dan peradaban
Hindu. Tuhan Yang Maha Kuasa adalah realitas absolut (abadi) oleh karena itu beliau disebut
sebagai “Sangkan paraning dumadi” (dari mana dan hendak ke mana manusia pergi), atau menjadi
pusat orientasi kehidupan manusia. Dengan demikian Surya adalah simbol sesuatu yang abadi,
maha cahaya, oleh karena itu simbollis umat Hindu menjadikannya sebagai sthana Tuhan Yang
Maha Kuasa. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Upacara/Upakara menyambut Hari Raya
Nyepi, yaitu merupakan pelaksanaan Bhuta Yajna yang dapat kita ketahui bahwa Bhuta Yajna pada
hakekatnya bermakna Penyucian Bhuwana yang terbangun oleh Panca Maha Bhuta (Pratiwi, Apah,
Teja, Bayu, Akasa) dan Panca Tanmatra (Gandha, Rasa, Sparsa, Rupa, Sabda). Bhuwana yang
harmoni dan suci (Jagadhita, Bhutahita) diharapkan dapat memberi kerahayuan bagi hidup manusia,
karena manusia menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai objek indriyanya (Dasendriya). Umat
Hindu sangat mendambakan kerahayuan, keharmonisan dalam hidup, keseimbangan ekosistem,
keseimbangan unsur-unsur yang membangun Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung yang nanti pada
gilirannya akan memberikan kerahayuan dan kedamaian. Dengan demikian umat Hindu memiliki
wawasan kesemestaan, wawasan alam raya, wawasan globalisasi yang berarti wawasan umat Hindu
tidak sempit (asorohan-awatekan). Umat Hindu sebagaimana diajarkan oleh agamanya yang
tertuang dalam Kitab-kitab Sucinya sangat memperhatikan dari lingkungan yang terkecil samapi
jagad raya, memperhatikan gerakan alam raya (posisi matahari/surya), bulan (candra), serta bumi
(bhumi) dengan mempersembahkan keharmonisan itu berupa Bhuta Yajna (Bali Karmana – Bali
Krama).
Nyepi : Sunya Dalam persembahan keharmonisan berupa Bhuta Yajna yang berarti memiliki makna
penyucian Bhuwana, yang dimulai dengan acara melasti/mekiis atau melis yang disebutkan dalam
Lontar Sundarigama :“Ikang pwa ya triya dacin ikang krsa paksa lalastyakna ikang pratime, yogan
ira Sanghyang Tiga Wisesa, Iwirnya : Desa, Puseh, Dalem, parengakna sarwa arca, pratime Dewa-
dewa Parhyangan medalakna kabeh, hingayon ring segara, iniring dening mwang sakrama desa
kabeh, saha widhiwidana, mangga rarapan ring Sanghyang Baruna, telas lebur ring samadya, telah
tingkah sakramanya, hantukna punang pratime, wus mangkana, hantukana maring yoga ira swang-
swang. Apa matangian samangkana ? Apan yeka wwang, agung dosa wwang mangkana, matangnya
inusak-asik wwang mangkana eweh sang pradipati rusak kaprabon Sri Aji, sasab mrana magalak,
bhutakala mewengis, inisep ranging janama kabeh, sinamet sira sya amrtanya, dewadwan ira
Sanghyang Adiakala, Siapa mandadi ika, kalinganya, Bhatara Wisnu mari marupa Dewa,
matemahan Kala Bhatara Brahma maweh sarwa Buchari, desti, teluh, tranjana, Bhatara Iswara
agung sasab mrana, ika amicara dahat, ngrugaken sapraja mandala, ndah samangkana aja papeka
ranak ingsun ring warah-warah mami. Kunang riteles kelaksanan, mulih hayuning praja mandala
sarat kabeh, teka ring sarwa janma. Wastunin paripurna, terang galang apadang bhawan ikang sarwa
mahurip. lunas iakng sarwa tumuruh, sasab mrana pada mantuka ring samudra”.Artinya : Demikian
pula halnya pada bulan panglong ke-13 sebelum Tilem Kasanga, hendaknya dilakukan pesucian
bagi pratima, yang menjadi lambang dari Sanghyang Tiga Wisesa, “ Pura Puseh, Desa dan Dalem.
Disamping itu segala arca-arca yang menjadi simbol lambang dari Linggan para Dewa-dewa yang
di Parhyangan. Ini semua dikeluarkan dan disucikan di laut, serta diiringi oleh krama desa semua
yang tergabung dalam Desa Adat setempat. Pada kesempatan ini dilakukan pula pewhidi-widanan,
suguhan, aturan yang dihaturkan kepada Sanghyang Baruna guna memohon anugerah agar
musnahnya segala bentuk kesengsaraan dunia, dan semua penderitaan lebur di dalam lautan.
Setelah selesai penyucian di pantai maka kembali ditempatkan di Bale Agung dan diupacarai seba-
gaimana mestinya. Setelah selesai diupacarai maka barulah dikembalikan ketempat masing-masing
atau disthanakan di parhyangan masing-masing. Apabila hal ini tidak dilakukan akan menyebabkan
kacaunya desa pakraman, dan akan mendapatkan gangguan dengan berbagai macam penderitaan
yang dala hal ini Sang Adikala berhak menghukum krama desa tersebut dan menyusahkan
Sanghyang Tiga Wisesa. Kalau kita bertanya mengapa hal ini terjadi ? Karena, Bhatara Wisnu
(yang bersifat memelihara), berubah wujud menjadi kala (dewa pemusnah), Bhatara Brahma (yang
bersifat pencipta) akan menciptakan Buchari Desa (mahluk yang berbisa), desti, teluh, tranjana
(penyebab kesedihan manusia), dan Bhatara Iswara (bersifat menyempurnakan), akan berwujud
penyakit yang merajalela dan mengerikan. Dan hal yang terakhir inilah yang paling
membahayakan, karena dapat menyebabkan dunia terbasmi apabila dikehendakinya. Demikian
halnya, wahai para pendeta anakku, janganlah lupa terhadap hal-hal yang demikian, seperti ajaran-
ajaran yang aku utarakan. Apabila semua itu dapat terlaksana dengan baik maka kembalilah
keselamatan dunia ini, termasuk pula keselamatan seluruh mahluk yang ada di dunia ini. Dengan
demikian, menjadi sempurna dan sucilah wibawa dunia ini, sejahtera, suburlah segala tumbuh-
tumbuhan, karena penyebab penyakit yang merajalela itu telah dilebur kembali dalam lautan.“Atta
ring cetra masa, Tilem kunang, sasucening watek Dewata kabeh, hana ring telenging samudra, met
sarining amrta kamandalu, yogya mwang kabeh ngaturaken puja krti, ring sarwa dewata, kayeki
kramania. Catur daci ikang krsna paksa, agawyaken Bhuta Yajna, rikang catus pataning desa,
nistania pancasata, madyama pancasanak, utamania Tawur Agung Yamaraja, pinuja dening Sang
Mahapandita, Siwa Budha sakawu-kawu kunang sega mancawarna, 9 tanding, iwak sakta brumbun
rinancana, saha tabuh tok, arak, genahing acaru ring dengen, sambut Sang Bhutaraja mwang Sang
Kalaraja. Mwang balapan sasah 108 tanding iwaknia jejeron mentah, segehan agung 1. Sorenya
gelarakena ikang Bhuta Kala kabeh angunduraken sasah merana. Srana obor-obor, gni saprakpak,
sembur masuwi, mantra dening sarwa tatulak wisya, mwang panyengker Agung, iderin saumah
dening gni ika, telas mangkana ikang mwang sajalwistrinia, abyakala ing natar, ayabin sesayut
pamyakala, lara malaradan prayascita. Enjangnia anyepi mati geni ika tan wenang anyambut karya
salwirnia, mwang agni-agni kunag, ri saparaning genahnia, Gelarakna yoga semadi”.Artinya :
Tersebutlah menjelang sasih Kasanga (Maret), yang disebut “cetramasa” terutama pada bulan mati
(tilem), adalah hari untuk menyucikan para Dewata semua, di laut guna mendapatkan hakekat air
yang suci yang memberikan kehidupan yang abadi. Karena itu seyoganyalah seluruh umat (Hindu)
menghaturkan puja bakti kehadapan para dewata, dengan tata cara sebagai berikut :Pada panglong
ping 14 sasih Kasanga, hendaknya melakukan upacara bhuta yajna (Pacaruan), di perempatan Desa
pakraman (desa adat). Adapun tingkatan-tingkatannya adalah : sekecil-kecilnya/nista dengan caru
Pancasata (5 ekor jenis ayam), tingkatan menengah/madya dengan pancasanak (dasar 5 ekor jenis
ayam ditambah itik bulu sikep sebagai ulu), sedangkan tingkatan besar/utama, ialah dengan tawur
agung (Panca Bali Krama), yang memakai Yamaraja. Bhuta Yajna tersebut dipuja oleh Sang
Mahapandita (Sulinggih Siwa, Budha). Dalam pekarangan rumah dilakukan upacara pasuguh-
suguh, yang berbentuk segehan mancawarna, banyaknya sembilan tanding, dengan ayam brumbun
yang diolah, petabuh tuak dan arak. Adapun caru tersebut diupacarakan di dengen (di muka
pekarangan rumah), yang disuguhkan kepada Sang Bhutakala dan Sang Kalabala yang diberi
suguhan dengan segehan nasi sasah 108 tanding, berisi jejeron mentah, serta segehan agung satu
tanding. Pada saat menjelang sore hari (sandyakala) tawur tersebut dilaksanakan semuanya. Apabila
tawur itu selesai, barulah dilakukan pengrupukan yang bertujuan mengembalikan (somya)
Bhutakala serta membatalkan usahanya membuat marabahaya. Adapun alat lain yang diperlukan
ialah obor dengan membawa api seprakpak, sembur dengan mesuwi yang iantar dengan puja
mantra penolak bala (mara bahaya), mantra Panyengker Agung, dengan mengelilingi pekarangan
rumah dengan arah prsewya. Setelah selesai maka umat (Hindu) seluruhnya melakukan upacara
abyakala di tengah-tengah pekarangan serta natab sesayut pamyakala, lara malaradan dan
prayascita.Kemudian pada keesokan harinya secara khusus dilakukan “penyepian” dengan
melakukan Brata Penyepian. Brata Penyepian yang merupakan upaya nyata untuk menguasai dan
mengendalikan diri, sebagai cermin kearifan serta mutu kemandirian umat (Hindu) yang terdiri dari
:amati geni (tidak menghidupkan api / lampu dan tidak boleh mengumbar / mengobarkan
nafsu),amati karya (tidak melakukan kegiatan / bekerja secara fisik melainkan tekun melakukan
penyucian rohani),amati lelungan (tidak bepergian kemana-mana, melainkan senantiasa mulat
sarisa/mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran, astiti bakti kehadapan Ida Hyang
Widi Wasa dalam berbagai prabawanya),amati lelanguan (tidak mengadakan hiburan / rekreasi atau
bersenang-senang lainnya).
Artinya umat Hindu diharapkan melakukan ajaran agamanya yang terpenting yaitu : Tapa, Brata,
Yoga dan Semadi ; dengan mengadakan pemusatan pikiran kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa.
Dalam keheningan hari raya Nyepi, umat Hindu berharap dapat membuka, mengembalikan
kesadarannya bukan saja dengan memperhitungkan segala perbuatan yang telah dilakukan dalam
setahun yang lalu, tetapi yang sangat penting adalah merenungkan Kemahakuasaan Hyang Widhi
yang merupakan kebesaran Jagad Raya ini. Pada hari raya Nyepi umat Hindu berharap dapat
memasuki alam Sunyata, alam yang sempurna nan hening dan heneng, yang juga sangat indah.
Dalam kekawin Dharma Sunya buah karya Danghyang Nirartha disuratkan: //ambek sang wiku
siddha tan pakahingan tamutuga ri kamurtining taya/tan linggar humeneng licin mamepekin
bhuwana sahananing jagat raya/norang lor kiduling kidul telas hane sira juga pamekas nirars-
raya/kewat kewala sunya nirbana lengong luput inangen-angen winarna ya //Artinya : bathin
seorang maha pandita adalah tidak terbatas lagi, beliau telah dapat menjangkau alam
tertinggi/bhatinnya tidak terpencar lagi, tenang, halur dan menyusupi seru sekalian alam/sebutan
utara – selatan, telah tidak ada padanya, hal itu disebutkan hakikat nirarsrata/langgeng, berbadan
sunya yang sempurna, indah, dan sangat sukar memikirkan dan menggambarkannya //Pada bagian
lain kekawin Dharma Sunya ini menyuratkan bahwa bathin seorang mahayogi, mahamuni, atau
mahakawi, artinya dia telah memasuki alam Sunyata, adalah laksana samudera cemerlang tanpa
noda, bebas dari ikatan dan telah menikmati sari-sari keindahan. Ia bagaikan seorang maha pandita
yang nyata-nyata sebagai lingganya dunia, bagaikan nyala api pemujaan hasil karyanya membawa
terang dimana-mana. Dan banyak lagi sejumlah karya sastra yang secara eksplisit menyebutkan
Sunya seperti Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa dll.Yang terpenting dalam kajian sastra tersebut
dapat disimpulkan bahwa Sunya tersebut adalah kesadaran ketika telah bersatu dengan Paramasiwa.
Sunya adalah kesadaran Paramasiwa, Kesadaran ketika telah menikmati bhoga paramasiwa
sehingga para pengawi terutama pada bagian pemujaan kekawin ini Danghyang Nirartha memuja
Paramasiwa sebagai Sang Hyang Sekalatma, berarti jiwa dari segala yang hidup. Paramasiwa
dilukiskan sebagai “Sang Saksat pinakesti ning manah aho”’ Ia yang tak ubahnya sebagai isi alam
pikiran suci, dan “Sang mawak ring tuturku”’ Ia yang mewujudkan alam kesadaranku. Kepada “Ia”
yang ada di dalam diri sang pengawi tersebut.Demikian alam sunya adalah merupakan tujuan ideal
umat Hindu. Tujuan ideal atau tujuan yang tertinggi tersebut diyakini dapat tercapai apabila melalui
latihan-latihan yang terus menerus. Itulah sebabnya agama Hindu memberi kedudukan terpenting
pada ajaran Tapa, Brata, Yoga dan Semadi, serta melakukannya secara bersamaan pada hari Nyepi.
PenutupPada hari Ngembak Geni, umat Hindu memasuki lembaran kehidupan yang baru. Semangat
baru untuk mengarungi kehidupan baru yang lahir dari hasil perenungan di Hari Raya Nyepi.
Secara simbolis pada hari ini umat Hindu telah menemui Api (Agni) setelah menggosok dua potong
kayu (makusu) di hari Nyepi.

Lontar Sundarigama :….. Ikang pwa ya triya dacin ikang krsna paksa lalastyakna ikang pratime,
yogan ira Sanghyang Tiga Wisesa, Iwirnya : Desa, Puseh, Dalem, parengakna sarwa arca, pratime
Dewa-dewa Parhyangan medalakna kabeh, hingayon ring segara, iniring dening mwang sakrama
desa kabeh, saha widhiwidana, mangga rarapan ring Sanghyang Baruna, telas lebur ring samudra,
telah tingkah sakramanya, hantukna punang pratime, wus mangkana, hantukana maring yoga ira
swang-swang. Apa matangian samangkana ? Apan yeka wwang, agung dosa wwang mangkana,
matangnya inusak-asik wwang mangkana eweh sang pradipati rusak kaprabon Sri Aji, sasab mrana
magalak, bhutakala mewengis, inisep ranging janama kabeh, sinamet sira sya amrtanya, dewadwan
ira Sanghyang Adiakala, Siapa mandadi ika, kalinganya, Bhatara Wisnu mari marupa Dewa,
matemahan Kala ; Bhatara Brahma maweh sarwa Buchari, desti, teluh, tranjana ; Bhatara Iswara
agung sasab mrana, ika amicara dahat, ngrugaken sapraja mandala, ndah samangkana aja papeka
ranak ingsun ring warah-warah mami. Kunang riteles kelaksanan, mulih hayuning praja mandala
sarat kabeh, teka ring sarwa janma. Wastunin paripurna, terang galang apadang bhawan ikang sarwa
mahurip, lunas ikang sarwa tumuwuh, sasab mrana pada mantuka ring samudra,
Lontar Sundari gama :….. Atta ring cetra masa, Tilem kunang, sasucening watek Dewata kabeh,
hana ring telenging samudra, met sarining amrta kamandalu, yogya mwang kabeh ngaturaken puja
krti, ring sarwa dewata, kayeki kramania. Catur daci ikang krsna paksa, agawyaken Bhuta Yajna,
rikang catus pataning desa, nistania pancasata, madyama pancasanak, utamania Tawur Agung
Yamaraja, pinuja dening Sang Mahapandita, Siwa Budha sakawu-kawu kunang sega mancawarna,
9 tanding, iwak sakta brumbun rinancana, saha tabuh tok, arak, genahing acaru ring dengen, sambut
Sang Bhutaraja mwang Sang Kalaraja. Mwang balapan sasah 108 tanding iwaknia jejeron mentah,
segehan agung 1. Sorenya gelarakena ikang Bhuta Kala kabeh angunduraken sasab merana. Srana
obor-obor, gni saprakpak, sembur masuwi, mantra dening sarwa tatulak wisya, mwang panyengker
Agung, iderin saumah dening gni ika, telas mangkana ikang mwang sajaluistrinia, abyakala ing
natar, ayabin sesayut pamyakala, lara malaradan prayascita. Enjangnia anyepi mati geni ika tan
wenang anyambut karya salwirnia, mwang agni-agni kunang, ri saparaning genahnia, Gelarakna
yoga semadi …..

Lontar Tutur Wiksu Pungu (27a, 28a,b) :Ikang mangkana kramania, ya geng sangsaya, sakeng
sangsaya, metu taha sakeng taha metu hana nora ya atemah mala di teka angliput, ya mulania metu
kawah ing bumi mwang sarira, palaning tan wruh ri rasaning yoga kadiananika sari-sari, lawan
rasaning puja mantra, japa lawan ajnyanasandi makdi tang samadi, sawaking yajna sang Resiwara
mwang sasajining sang mataki-taki, dharmani bratanira, ya tan kawruhana prayogi rehni mulaning
pasuk wetunia ikang byakta siji sowang amoga ya kapwa nispadon, apan tan wruh ri tungtung
bungkahing sembah ngarania, mangde kroda agalak tang buta papat sanak, ikang ngaran
Drembamoha, Kala Wisaya, Kala Katungkul, Kala Ngadang.
Si Drembamoha ngaranika, hingsakarma swabawania ring pajagalan, yatika anuntun ikang janma
manusa jenek anginum sada awre kasukan ing atinia sakala jagat, tan atutur ing temah dosa ageng
kapangguha.
Ikang Kala Katungkul ngarania, gawenika sada anuntun mareng peken ageng jenek atutuku haneng
saisining pasar, mameta sarwa boga-upaboga, sandang anggo, sing anute rikang ati, ya welian
anamtani sarwendriya.
Ikang Kala Wisaya ngarania, gawenia asiang sadakala ya anuntun mareng pajudian, jenek ing atoh-
tohan alah menang, angadu sawung kasukania, tan enget I palania wekasan anemu duhka, sada kala
agawe ewuh, kapenetan mosek ing kala ri sakala jagat, ya wastuning guna dosa ngarania.
Ikang Kala Ngadang ngarania, gawenia anuntun laku-laku mider ing marga agung, jenek anonton
angeungu lagu-lagu gending ronji, makadi sakwehing tabuh-tabuhan umung gumuruh, anamtani
indriyanikang suku karma panon swabawania, ya mangde dosa mageng, ngaraning mosah asekel
kahanan prihati manastapa anangising kang karenge mwang tinonia, ya ametwaken welas arep
lawan asih ikang wwang tresnang wisaya, tan wruhing deya pwa ya malahaken ya, pada ageng ta
ya, muda punggungnia hetuning muda-idepan. (28.A)
Mangkana swabawania wwang pramada rasaning aji ikang sayogya pituhun, tapwan tutakna. Ika ta
kabeh twi ya kapat macatura denia anuntun yan pareng dosagrahi, ri denian kapwa sowang-sowang
kasukanieng caturbhuwana, pada ahyun katutana denikang wwang, tan hana gamantanian hyun
matuta alius asanak, sada wyadi wigraha apasah karepanika ngken sarira dawak, apan ulahnia kapat
ya amrih katutana.
Ikang sinanggeh Drembamoha masu yan dudut mareng pascima desa, Si Kala Wisaya andudut
mareng purwa desa, Si Kala Katungkul andudut mareng daksina desa, Si Kala Ngadang mandudut
mareng uttara desa.
Mangkana denia ahyun sowang-sowang arania, yan tan wruh prayogani hyunikang papatsanak,
mwang kasukanika siji sowang manut ing kala desaning ulahnia, ngaraning wruh anut tan katutana
wolahnia sowang-sowang. Twin si widagda ya angadeg ing tengahnieng kapatnia riking bhuwana
mwang sarira, langgeng tan angidul tan angalor tan angetan tan anglwan, tan amingsor tan
amingluhur, sira angadeg tan kena binancana tan kena ginigah-gugah. (28.b)

PENGARUH SOSIAL BUDAYA BALI DALAM


PENENTUAN ANAK YANG MEMBUTUHKAN
PENGASUHAN, PERWALIAN, DAN PENGANGKATAN
ANAK : ‘SUPUTRA DAN SWADHARMA NGAYAH
WARGA RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF
AGAMA HINDU’

Sarve bhavantu sukhinah, sarve santu niramayah,

Sarve bhadrani pasyantu, ma kascit duhkha bhag bavet,

Om loka samasta bhavantu !

PENGANTAR

Kala kita mau membicarakan Sosial Budaya Bali apapun konskwensi nyata bagi masyarakat Bali
yang sebagian besar beragama Hindu ‘Bali’, apalagi pengaruh langsung dan tidak langsung dalam
penentuan anak yang menbutuhkan pengasuhan, perwalian, dan pengangkatan anak. Maka tidaklah
akan berkelebihan jika eksistensi Awig-Awig itulah yang menonjol dengan soal-soal terdalam di
segi lahir dan bathin masyarakat adat (Desa Pekraman) di Bali, ini bukanlah hal yang mengada-ada,
sebab awig-awig itu mengatur secara horizontal hubungan masyarakat, juga mengatur hubungan
vertical masyarakat baik secara individu maupun kelompok kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sang
Hyang Widhi Wasa) yang sering disebut dengan Tri Hita Karana : 1. Hubungan yang harmonis
manusia dengan Tuhan (Parhyangan), 2. Hubungan yang harmonis sesama manusia (Pawongan), 3.
Hubungan yang harmonis manusia dengan lingkungannya (Palemahan). Namun harus pula
dikemukakan bahwa awig-awig (hukum adat) bukanlah hukum yang ‘mati’, dan hukum adat
berkembang selaras dengan rasa kepatutan yang ada di masyakat Bali (I Ketut Artadi, SH., SU.,
2009,79). Masyarakat Bali selalu menerima kenyataan dan mengikuti perkembangan jaman asal
datangnya berdasarkan atas Dharma, karena agama Hindu, ‘dharma’ itu mengajarkan selalu bersifat
fleksibel, supel. luwes, dinamis seperti air yang mengalir, maka dari itu hukum adat selalu
bertumbuh.

Continue reading →

Leave a comment

Filed under Articles

April 5, 2012 · 3:43 am

KONSEP-KONSEP AJARAN AGAMA HINDU DALAM


PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
‘WANA KERTIH’
KONSEP-KONSEP AJARAN AGAMA HINDU DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP ‘WANA KERTIH’

Oleh
Drs. Ida Bagus Gede Wiyana

Utpadaka na sadakah, tat tasya anugrahaparah,

wirocanakaro nityah, sarwajna sarwakridwibhuh.

Sawyaparah Bhatara Sadasiwa, hana Padmasana pinaka palungguhanira,

aparan ikang Padmasana ngaranya, Saktinira Sakti ngaranya,

Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnana Sakti, Kriya Sakti, nahan Hyang Cadu Sakti.

Tuhan Sadasiwa (menyerap, membentang di seluruh penjuru alam semesta), terdapat Padmasana
sebagai Singgasana-Nya, apakah itu Padmasana (Singgasana Tahta Teratai) ?

Sakti-Nya (kemahakuasaannya yang maha besar), Wibhu Sakti (maha ada), Prabhu Sakti (maha
kuasa), Jnana Sakti (maha tahu), dan Kriya Sakti (maha pencipta), demikianlah Cadu atau Catur
Sakti (empat kemahakuasaan tuhan-siwa), Wrihaspati Tattwa 12.

Suatu krisis maha besar akibat perubahan demografi, teknologi, ekonomi, organisasi, ideologi dan
ekologi yang tiada taranya sedang terjadi. Agama Hindu sebagai salah satu dari agama besar dunia
dapat memberi sumbangan pada usaha pemecahan krisis ini yang taruhannya tiada lain daripada
kelestarian manusia dan orang-orang suci Hindu merumuskan tujuan hidupnya dengan :
‘Moksartham Jagaddhita ya ca iti Dharma’

Continue reading →

ESENSI & KONSEPSI PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI


DI BALI
ESENSI & KONSEPSI PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI DI BALI

oleh :

Ida Bagus Gede Wiyana

I. ZAMAN PRASEJARAH

Sejak masa prasejarah di kalangan masyarakat Bali ada anggapan bahwa tanah-tanah yang
meninggi seperti bukit ‘ngenjung’ dan gunung ’wukir, hulu, lingga’ merupakan tempat para arwah
leluhur yang telah suci. Oleh karena itu, bukit dan gunung dianggap sebagai tempat suci dan
keramat. Pada masa itu masyarakat Bali tradisi mempunyai suatu kepercayaan, bahwa roh orang
yang meninggal akan hidup abadi di alam lain dengan tempat manusia hidup di bumi ini. Oleh
karena itu, dikenal adanya bermacam-macam cara merawat mayat agar rohnya dapat hidup dengan
layak di alam baka.
Adanya suatu kepercayaan, bahwa roh orang yang meninggal bersemayam di tempat-tempat yang
tinggi, bukit dan atau di gunung, dapat diketahui melalui peninggalan masyarakat prasejarah yang
berhubungan dengan tradisi pemujaan nenek moyang ’roh para leluhur / kawitan’ yang umumnya
dijumpai di daerah dataran tinggi. Untuk keperluan tersebut, masyarakat prasejarah mendirikan
berbagai bangunan yang terbuat dan tersusun dari batu-batu besar (megalitik), antara lain berupa
dolmen, menhir, bilik batu, kubur batu, punden berundak.
Di kepulauan Indonesia susunan batu-batu dari tradisi megalitik yang didirikan di tempat-tempat
tinggi dijumpai di berbagai tempat. Di daerah dataran tinggi Pasemah (Sumatera Selatan)
didapatkan sejumlah dolmen, kubur batu, menhir, arca-arca sederhana yang menggambarkan
peninggalan nenek moyangnya. Di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat didapatkan pula situs punden
berundak dalam ukuran besar yang dibangun di atas bukit Gunung Padang, punden itu mempunyai
lima teras bertingkat. Teras-teras tersebut dibentuk dengan menyusun balok-balok batu yang
panjangnya 60-100 cm. Masyarakat setempat sampai saat ini masih menganggap, bahwa situs ini
adalah tempat bersemayamnya para “karuhun” atau nenek moyangnya.
Situs megalitik lainnya didapatkan pula di daerah pegunungan Sulawesi Tengah, yaitu situs Lembah
Palu, Bada, Besoa, Napu. Selain itu, peninggalan tradisi megalitik banyak dijumpai di daerah Nusa
Tenggara Timur, terutama di pu1au Flores, Sumbawa dan Timor. Peningga1an yang dijumpai pada
tempat-tempat tersebut di atas umumnya berbentuk lumpang batu, kalamba, arca bercorak
megalitik, batu dakon, bangunan teras berundak, peti kubur, dan lain-lain.
Di Bali, situs-situs masa prasejarah terutama dari masa megalitik dijumpai pada dataran tinggi dan
perbukitan, seperti di desa Tenganan Pegringsingan (Karangasem), daerah Kintamani (Bangli),
Penebel (Tabanan), Keramas (Gianyar), Sembiran (Singaraja), dan lain-lain.
Sesungguhnya tradisi megalitik tidak semata-mata hanya menghormati dan memuja roh nenek
moyang, walaupun kultus terhadap roh nenek moyang terbukti sangat kuat terasakan dalam tradisi
megalitik. Pemujaan terhadap roh nenek moyang mempunyai tujuan praktis yang dapat dirasakan
langsung oleh para pemujanya. Dengan memuja roh leluhur, para pendukung tradisi megalitik
agaknya mengharapkan juga perbaikan-perbaikan dalam kehidupan, seperti mengharapkan hasil
panen yang lebih baik, terhindar dari bencana alam atau wabah penyakit, memperoleh
keberuntungan dan pengungkapan rasa syukur. Segala keinginan pendukung tradisi megalitik -
tersebut kemudian diupayakan untuk dapat dipenuhi dengan cara memuja roh nenek moyang,
karena mereka beranggapan, roh nenek moyang yang telah hidup di dunia lain, diharapkan dapat
memberikan bantuan kepada manusia yang masih hidup. Oleh sebab itu, yang tampak ditekankan
dalam tradisi megalitik adalah konsep terhadap roh nenek moyang.

II. MASUKNYA BUDAYA HINDU


Setelah pengaruh budaya India masuk ke Bali pada sekitar abad VIII, Bali mulai menapaki masa
sejarah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya dokumen tertulis berupa prasasti-prasasti pada
tablet-tablet tanah liat di desa Pejeng, Tatiapi, dan Blahbatuh di Kabupaten Gianyar. Tampaknya,
pemujaan terhadap tempat-tempat tinggi atau gunung suci tetap berlangsung terus, dan bahkan
mendapat bentuk baru yang dikuatkan dengan kisah-kisah tentang para dewa yang bersemayam di
puncak-puncak gunung. Sumber prasasti sering menyebut, bahwa gunung dan bukit yang
menjadisthana para dewa di Bali, antara lain bukit Humintang (prasasti Dausa, Pura Bukit Indrakila
A II 983 Saka, Gunung Bangkyang Sidi (sekarong Bangkyang Sidem), bukit Karimana, bukit
Tunggal, bukit atau Wukir Kulit Byu dan lain-lain. Gunung dan bukit -bukit itu, beberapa di
antaranya masih dapat dikenali, antara lain ialah bukit Karimana terdapat di sebuah desa Sidem
Bunut, Bangli, tempat dibangunnya Pura Kehen, Bukit Tunggal yang kini disebut Gunung
Sinunggal terdapat di wilayah desa Tajun, Kabupaten Buleleng. Dan di atas gunung itu terdapat
sebuah pura yang disebut Pura Gunung Sinunggal. Dan bukit Kulit Byu sekarang disebut Gunung
Abang (Pura Tuluk Byu), di atas desa Abang, Kecamatan Kintamani, Bangli.
Adapun nama-nama para dewa yang bersernayam di puncak gunung atau puncak bukit itu tidak
disebutkan secara jelas di dalam prasasti-prasasti Bali Kuno. Tidak disebutkannya nama-nama dewa
itu kemungkinan besar karena kepercayaan masyarakat pada masa itu menganggap bahwa
menyebut nama-nama dewa sangat berdosa bahkan bisa kena kutukan. Dengan kata lain,
penyebutan nama dewa sangat ditabukan dan dianggap sebagai pantangan. Di dalam sumber-
sumber prasasti Bali Kuno biasanya yang disebut hanya nama-nama gelarnya, seperti hyang, da
hyang, ra hyang, sang hyang, dan bhatara. sebagai contoh, ialah Hyang Bukit Sidi artinya “dewa
atau bhatara yang bersemayam di puncak bukit Sidi”, demikian seterusnya. Kecuali Hyang Bukit
Tunggal dapat diketahui nama dewanya, berdasarkan prasasti Abang Pura Batur, bahwa yang
bersemayam di puncak boot Tunggal adalah Hyang Binakaya Hyang Binakaya sinonim dengan
Sang Hyang Sad Winakaya (yang sering disebut-sebut dalam bagian kutukan prasasti), yakni Sang
Hyang Gana atau Bhatara Ganesa Binakaya sampai sekarong masih tersimpan di dalam Pura Bukit
Tunggal yang selalu dipuja setiap ada hari upacara di dalam pura tersebut.
Demikian pula, Sang Hyang Wukir Byu. Menurut prasasti Pura Batur Desa Abang, dahulu di atas
bukit Tuluk Byu terdapat sebuah pura. Di dalam pura tersebut terdapat beberapa buah bangunan
pelinggih dan juga sebuah tarub, yaitu semacam balai wantilan atau balai terbuka untuk tempat
sabungan ayam yang dilakukan dalam rangkaian upacara di dalam pura tersebut. Dalam prasasti itu
disebutkan bahwa dewa yang bersemayam di dalam pura itu adalah Bhatara Bayu. Selanjutnya pada
tahun 1011 Masehi pada masa pemerintahan raja Udayana Warmadewa tempat suci tersebut
diperluas dan diperbaiki. Disebutkan pula bahwa masyarakat dari desa-desa di pinggir Danau Batur
(winkang ranu), yakni desa Kedisan, Bwahan, Abang, Trunyan dan Songan berduyun-duyun datang
ke puncak Bukit Byu guna menunaikan kewajiban, yakni bersembahyang. Di dalam prasasti
tersebut “madewasraya I sanghyang wukir kulit byu” artinya “bersembahyang kehadapan Ida
Bhatara yang bersemayam di Bukit Byu.”
Kemudian dari sumber-sumber lontar, dan babad diketahui pula sejumlah nama-nama gunung yang
dianggap suci tempat bersemayan para dewa. Gunung-gunung itu, antara lain Gunung Lempuyang
(Karangasem) tempat bersemayam dewa atau Bhatara Genijaya, Gunung Beratan (Tabanan) tempat
bersemayam Bhatara Watukaru, Gunung Mangu (Badung) tempat bersemayam Bhatara Danawa,
Gunung Andakasa tempat bersemayam Bhatara Hyang Tugu dan Gunung Agung (Karangasem)
tempat bersemayam Bhatara Purnajaya. Jawa pada sekitar abad VIII sudah dikenal adanya
penghormatan terhadap dewa Siwa (lingga) dan temyata dikenal pula di pulau Bali. Puluhan bahkan
ratusan lingga dijumpai pada tempat -tempat suci yaitu pura yang tersebar di seluruh pulau Bali.
Peninggalan purbakala berupa lingga yang ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan,
Goa Gajah, di Penulisan, Pura Kedarman di Kutri, Pura Penataran Sasih di Pejeng dan pura Tirtha
Empul di Tampaksiring, ada1ah sebagian kecil dari keseluruhan yang ada. Sementara itu,
keberadaan agama Hindu dan Budha pada masa Bali Kuno (abad VIII – XIV) tidak perlu
disangsikan. Pengaruh agama Budha di Bali telah terlihat pada awal masa Bali Kuno, yakni sekitar
abad VIII dan bukti pengaruh agama Hindu berasal dari kira-kira setengah abad kemudian. Dewa-
dewa utama agama Hindu, yakni Trimurti, telah dipuja pada masa itu. Pernyataan namasiwaya
namobuddhaya yang tersurat dalam prasasti Landih A menegaskan bahwa raja Jayasakti bukan saja
bakti kepada dewa Siwa tetapi juga kepada Budha. Ungkapan yang menyatakan bahwa raja Anak
Wungsu laksana Harimurti sebagaimana terbaca dalam prasasti Dawan perlu pula dikemukakan di
sini. Kata murti secara harfiah berarti “perwujudan” dan hari adalah nama lain untuk dewa Wisnu.
Ungkapan itu bukan berarti bahwa raja Anak Wungsu sebagai penganut sekte Waisnawa. Namun
tampaknya lebih tepat jika ungkapan itu dipandang sebagai petunjuk bahwa Anak Wungsu
menyadari dirinya sebagai raja yang berkewajiban melindungi dan memakmurkan negara serta
rakyatnya, seperti halnya dewa Wisnu yang berfungsi sebagai pelindung dunia beserta segenap
isinya.
Mengenai ungkapan yang mengacu pada dewa Brahma, sampai saat ini belum ditemukan da1am
sumber-sumber prasasti. Namun demikian, temuan arca dewa Brahma, arca Catur Muka yang
berasal dari masa Bali Kuno membuktikan bahwa dewa tersebut te1ah dikenal dan dipuj a pada
waktu itu. Demikian juga temuan arca-arca Siwa dan Wisnu di beberapa tempat di Bali memperkuat
pendapat bahwa dewa Trimurti telah mendapat posisi tinggi sebagai sarana pemujaan.
Da1am perkembangan selanjutnya, penduduk makin lama makin bertambah banyak. Karena
kepadatan penduduk, banyak penduduk yang semula tinggal dekat tempat-tempat suci pergi ke
tempat lain yang agak jauh. Perpindahan ini mungkin disebabkan oleh karena mencari penghidupan
yang baru atau karena desanya dirasa tidak aman, sering terjadi kerusuhan dan perampokan seperti
ha1nya desa Ju1ah pada sekitar abad XI, sebagaimana diberitakan dalam prasasti Sembiran A IV.
Pada tempat yang baru ini, mereka membuat suatu bangunan yang sifatnya sementara. Bangunan
ini dibuat dari ”turus pohon dapdap” sebagai tiangnya dan dibuatkan sebuah ruangan dengan balai--
balai yang dibuat dari bambu untuk tempat me1etakkan sajian. Bangunan suci jenis ini disebut
”turus lumbung”.
Turus lumbung mengandung arti kias “melindungi dan menghidupi pemujanya”. Turusdapdap
merupakan tameng atau perisai, yakni alat untuk melindungi diri ; dan lumbung, yakni tempat
untuk menyimpan padi untuk penghidupan. Bangunan ini sifatnya sementara yang nantinya akan
diganti dengan bangunan yang agak permanen menurut kemampuan penghuninya. Setelah
penghuninya agak mampu, barulah mereka membuat bangunan untuk mengganti turus lumbung itu.
Bangunan pelinggih ini dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal)
yang digunakan untuk tempat sajian. Bangunan rong tunggal inilah yang disebut
” kemulan atau sanggahkemulan”. Peninggalan-peninggalan bangunan ini dijumpai di desa-desa
kuno di Bali, seperti di Julah, Sembiran, Lateng, Dausa, dan tempat kuno lainnya.
Lama kelamaan oleh karena kebudayaan manusia makin maju, maka dalam perkembangan sejarah
bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (merong dua). Dalam perkembangan
selanjutnya bangunan rong dua berkembang menjadi Bali yang beragama Hindu. Bangunan seperti
ini merupakan tempat untuk menghormati atau memuja leluhur-leluhur mereka yang telah
disucikan. Selanjutnya, dalam perkembangan kemudian, bangunan yang memakai ruangan tiga
(rong telu) disesuaikan dengan konsep Trimurti yang terdiri dari tiga dewa, yakni Brahma, Wisnu,
dan Iswara. Ketiga dewa ini merupakan perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang
Mahaesa), yang masing-masing berfungsi sebagai dewa pencipta, pemelihara dan pemralina.
Kesatuan ketiga dewa inilah disebut dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Pengaruh
konsep Trimurti inilah menyebabkan bangunan rong telu berfungsi ganda. Pertama, untuk tempat
memuja arwah leluhur yang telah suci, dan yang kedua untuk memuja Sang Hyang Trimurti, yaitu
Brahma, Wisnu dan Iswara.
Sanggah Kemulan ini dipuja hanya oleh suatu keluarga sekelompok kecil. Kemudian apabila
keluarga kecil sudah membiak menjadi beberapa kepala keluarga, maka mereka mendirikan
beberapa buah bangunan/pelinggih untuk melengkapi bangunan yang telah ada di dalam sanggah
pemujaannya. Bangunan-bangunan yang baru ini digunakan untuk tempat pemujaan roh-roh suci
dari orang-orang yang dianggap telah berjasa, sesuai dengan pelinggih-pelinggih yang terdapat di
dalam bangunan suci asalnya. Pelinggih-pelinggih yang baru itu disejajarkan tempatnya dengan
bangunan suci asalnya. Pelinggih-pelinggih yang baru disejajarkan tempatnya dengan bangunan
kemulan, sehingga keseluruhannya disebut “sanggah pamerajan “. Bangunan-bangunan baru itu
sangat bervariasi, tetapi pada umumnya terdiri dari bangunan menjangan
seluang,bangunan gedong, sanggar agung, bangunan berkerucut, bangunan saka ulu gempel, dan
bangunan taksu.
Untuk tempat pertemuan Ida Bhatara- Bhatari yang berlangsung pada setiap ada upacara
di sanggah pamerajan, mereka membuat lagi bangunan balai-balai yang disebut balai piyasan,
yakni balai untuk Bhatara-Bhatari berhias. Walaupun sudah mendirikan sanggah kemulan, mereka
juga memuja dewa-dewa yang ada di dalam tempat suci asalnya. Pemujaan ini dilakukan pada
setiap adanya upacara dalam tempat suci tersebut. Untuk menghemat biaya dan untuk memudahkan
jalan persembahyangan, dewa-dewa yang bersemayam di tempat suci asalnya
dibuatkan pelinggih dalam sanggah pamrajan yang bam itu. Karena demikian, maka tidak
mengherankan apabila pelinggih-pelinggih di dalam sanggah pamerajan tidak tetap jumlahnya dan
bisa mencapai duapuluhan, malahan bisa lebih. Dengan demikian, muncul pelinggih-pelinggih yang
baru untuk memuja para dewa, seperti bangunan tumpang salu bangunan sakapat, tugu, meru,
bangunan bebaturan, gedong sari, dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa suatu desa terdiri dari beberapa klen atau warga
yang berbeda-beda leluhumya. Untuk mempersatukan klen-klen itu, mereka sepakat membangun
tempat suci bersama, yaitu tiga buah pura yang dikenal dengan “Kahyangan Tiga”. Di dalam pura-
pura itulah mereka berkumpul saling kenal mengenal dan bersama-sama memuja dewa-dewa yag
bersemayam didalam pura tersebut. Ketiga pura yang dimaksud adalah Pura Puseh, Pura Desa/Bale
Agung dan Pura Dalem.
Kedatangan Mpu Kuturan, Resi Markandya, dan Dang Hyang Nirartha ke Bali membawa
perubahan-perubahan besar dalam tata keagamaan di pulau ini. Mpu Kuturan menganjurkan
pembuatan Kahyangan Catur Lokapala, Sad Kahyangan Jagat. Selain itu, juga mengajarkan
membuat kahyangan secara fisik dan spiritual, seperti jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan
sebagaimana diuraikan dalam lontar Dewatatwa. Penyempumaan kehidupan agama Hindu di Bali
dilakukan pula oleh Dang Hyang Nirartha. Beliau datang ke Bali pada abad XV pada masa
pemerintahan raja Dalem Waturenggong di Gelgel, Klungkung. Pelinggih ini untuk memuja Hyang
Widhi dan sekaligus membedakan pelinggih pemujaan dewa roh leluhur. Beliau distahanakan,
dipuja di banyak pura di Bali sebagai penghormatan para bhakta selama beliau melakukan
dharmayatra, seperti Pura Purancak, Rambut Siwi, Gading Wani, Srijong, Pekendungan, Tanah Lot,
Taman Sari, Gunung Payung, Pucak Tedung, Sakenan, Erjeruk, Masceti, Goa Gong, Taman Pule,
Dalem Gandamayu, Peti Tenget, Ponjok Batu, Ulu Watu, dan lain-lain (k.l. 35 pura).

III. KONSEP PURA


Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat suci pemujaan masyarakat Hindu Bali digunakan
setelah dinasti Kresna Kepakisan yang berkeraton di Klungkung sekitar abad XVII. Pada umumnya
pura dibagi atas tiga halaman, yaitu jabaan (halaman luar/kanistha), jaba tengah (halaman
tengah/madhya) dan jeroan (halaman dalam/uttama). Akan tetapi perkecualian tetap ada, di dalam
pura-pura yang kecil sering ditemukan halaman luar dan tengah digabung menjadi satu, sehingga
pura itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu halaman luar dan halaman dalam. Masing-masing
halaman pura dibatasi oleh tembok keli1ing dengan pintu masuk berbentuk candi bentar yang
terletak antara halaman luar dengan halaman tengah, dan kori agung atau candi kurung sebagai
penghubung halaman tengah dengan halaman dalam.
Menurut konsep Hindu, pura adalah simbolis gunung. Tuhan, para dewa, dan roh suci leluhur
dianggap bersemayam di puncak gunung, sehingga gunung dipandang sebagai tempat suci.
Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas pandangan bahwa alam
ini tersusun menjadi tiga bagian yag disebut triloka, yaitu alam bawah (bhur loka), alam
tengah (bwah loka) dan alam atas (swah loka). Dalam diri manusia pandangan itu terwujud ke
dalam konsep tri angga, yaitu kaki, badan dan kepala.Demikian pula dalam suatu bangunan
suci candi misalnya, bagian-bagiannya terdiri atasdasar, badan dan atap candi. Azas itu tercermin
pula pada struktur tempat suci pura yang terdiri atas tiga halaman seperti telah disebutkan di atas.
Halaman luar (jabaan) adalah lambang alam bawah. Alam ini, menurut kepercayaan umat Hindu,
dianggap sebagai tempat para bhuta kala, sehingga halaman ini digunakan sebagai tempat memberi
sesajen kepada makhluk tersebut agar tidak mengganggu manusia. Halaman ini digunakan untuk
mengadakan upacara yang berhubungan dengan makhluk itu, seperti upacara macaru, dan tabuh
rah. Halaman tengah (jaba tengah) adalah simbolis dari alam tengah, yaitu sebagai tempat tinggal
manusia. Di halaman inilah dilaksanakan aktivitas menyiapkan segala sesajen untuk kepentingan
upacara di pura tersebut. Sementara itu halaman dalam (jeroan) adalah simbolis alam atas sebagai
tempat Tuhan, dewa-dewa dan roh suci para leluhur yang telah bersatu dengan Tuhan.
Semua bangunan yang ada di halaman dalam suatu pura, menurut fungsinya dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu palinggih dan pasimpangan. Palinggih adalah bangunan yang disediakan untuk
bertahta para dewa yang mempunyai kekuasaan langsung dalam pura tersebut,
sedangkan pasimpangan adalah bangunan yang hanya menyediakan tempat singgah bagi para
dewa, yang bertahta di tempat lain, tetapi menjadi pelindung tetap dari pura itu. Namun demikian,
jika dihayati lebih mendalam, sesungguhnya bukan saja pasimpangan, melainkan palinggih pun
dan bahkan puranya sendiri merupakan tempat singgah belaka dari para dewa. Dikatakan demikian,
karena tempat menetapnya ada1ah di “kahyangan atau di puncak gunung”. Kedatangannya di pura
hanyalah pada saat-saat tertentu, misalnya pada waktu diadakannya upacara piodalan di pura itu.
Pada saat inilah pura itu penuh dengan”tamu agung” yang terdiri atas semua para dewa yang ada
sangkut pautnya dengan pura tersebut.
Di antara para dewa itu, ada seorang yang boleh dikatakan menjadi penguasa pura yang pada
hari piodalan menjadi tuan rumah. Memang latar belakang pendirian sebuah pura adalah
diperuntukkan bagi seorang dewa tertentu. Oleh karena itu, dalam pura itu sang dewa dimuliakan
secara khusus. Pada hari piodalan di pura tersebut pratima yang menjadi wakil wadagnya dihias
dengan segala macam hiasan kebesaran, dan diarak dengan segala kemegahan untuk kemudian
ditahtakan di balai pengaruman (balai pesamuan). Di balai inilah para dewa dan tamunya
mengambil tempat untuk turut untuk merayakan hari besar pura itu, dan bersama tuan rumah
menerima penghormatan dan persembahan dari umat. Upacara piodalan dalam suatu pura bisa
berlangsung selama satu hari, tigahari, satu minggu, bahkan satu bulan. Upacara perayaan itu pada
pokoknya terdiri atas dua macam kegiatan yang harus dilakukan oleh umat,
yaitu mebanten(menyediakan saji-sajian) dan mabakti (menjalankan persembahyangan). Jika
upacara-upacara telah selesai, para dewa kembali lagi ke persemayaman masing-masing dan
pratimanya diarak kembali ke tempat penyimpanannya.
Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha dianggap berjasa dalam mengembangkan dan
menyempurnakan agama Hindu. Umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau. Untuk memuja
kebesarannya, beliau dianggap sebagai pendeta guru suci atau dang guru. Pura Silayukti, Rambut
Siwi, Pulaki, Ponjok Batu, Sakenan, dan lain-lain adalah pura-pura yang berkaitan dengan
perjalanan suci (dharmayatra) yang dilakukan oleh kedua rohaniawan tersebut. Sekarang pura-pura
tersebut menjadi Dang Kahyangan.
Berbagai profesi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya telah menyebabkan munculnya
berbagai tempat suci atau pura. Para nelayan yang umumnya bermukim di pesisir mencari
penghidupan di laut. Ada yang menjala, mengail, dan lain sebagainya. Oleh karena laut dianggap
bisa memberi kehidupan, kemudian masyarakat nelayan mendirikan sebuah pura yang disebut Pura
Segara atau Pura Pabean. Demikian pula kelompok masyarakat yang mempunyai profesi sebagai
petani pengolah tanah basah, mereka akan terikat kepada air, yang dianggap sebagai sumber
kehidupannya. Dengan demikian mereka bersatu pula untuk mendirikan pura-pura yang dekat
dengan sumber air. Pura-pura itu disebut Ulun Danu, Pura Siwi, Pura Bedugul, Pura Masceti, yang
berfungsi sebagai pura kemakmuran. Sementara itu, hal yang sama juga berlaku bagi mereka yang
mernpunyai profesi sebagai pedagang. Ikatan kekaryaan karena mernpunyai profesi yang sama,
yaitu sebagai pedagang, menyebabkan adanya pemujaan dalam wujud pura yang disebut Pura
Melanting. Umumnya pura ini didirikan di dalam suatu pasar yang dipuja oleh para pedagang
dalam lingkungan pasar tersebut.

IV. PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI


Seperti yang disampaikan diatas Bali adalah sebuah pulau kecil diantara gugusan pulau yang
membangun negeri kita Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bali adalah salah satu pulau dari
lebih tiga belas ribu pulau yang membangun bumi Nusantara. Sejak lama Bali yang kecil mungil ini
dikenal masyarakat dunia karena keunikannya dan hasi kebudayaan yang dimiliki dari jaman
dahulu kala sampai dewasa ini. Bali sering dijuluki sebagai pulau “Seribu Pulau”. Julukan di atas
jelas tak mengada-ada. Berdasarkan karakteristiknya Pura yang ribuan jumlahnya itu
diklasifikasikan menjadi empat kelompok :

A. PURA KAYANGAN JAGAT,yaitu Pura umum tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala
prabhawa-Nya serta roh suci leluhur, termasuk didalamnya Pura Sad Kahyangan dan Dang
Kahyangan. Yang disebut Pura Kahyangan Jagat ialah Pura-pura Kahyangan Agung terutama
yang terdapat di delapan penjuru mata angin dan pusat pulau Bali seperti :
1. Pura Lempuyang sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Iswara diujung
Timur pulau Bali.
2. Pura Andakasa sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Brahma terletak
di Selatan pulau Bali.
3. Pura Batu Karu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Maha Dewa
terletak di bagian Barat pulau Bali.
4. Pura Ulun Danu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Wisnu terletak di
Utara pulau Bali.
5. Pura Goa Lawah sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Maheswara
terletak di Tenggara pulau Bali.
6. Pura Ulu Watu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Rudra terletak di
Barat Daya pulau Bali.
7. Pura Puncak Mangu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Sangkara
terletak di Barat Laut pulau Bali,
8. Pura Besakih sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Sambhu terletak di
Timur Laut pulau Bali. Disamping merupakan Pura Kahyangan Jagat sthana Dewa
Sambhu, Besakih juga menjadi pusat Kahyangan dan bertempat di ”Kadyanikang Bhuana”
ditengah-tengah pulau Bali sebagai sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya Siwa.

B. PURA KAHYANGAN DESA, yaitu Pura yang disungsung oleh Desa adat berupa Kahyangan
Tiga yakni : Pura Desa atau Bale Agung tempat memuja Hyang widhi dalam prabhawanya
sebagai Dewa Brahma & Dewi Bhagawati (Utpeti/Pencipta), Pura Puseh sebagai tempat
pemujaan Wisnu sebagai Pemelihara (Sthiti) serta Pura Dalem tempat pemuja Siwa sebagai
Pralina .
C. PURA SWAGINA atau PURA FUNGSIONAL yakni Pura yang penyiwinya /pemujanya
terikat oleh ”Swagina” (kekaryaan) yang satu yakni memiliki profesi sama dalam sistem mata
pencaharian hidupnya seperti Pura Subak, Dugul, Ulun Suwi, Melanting, dan sebagainya
D. PURA KAWITAN yaitu Pura yang Penyiwinya ditentukan oleh ikatan ”Wit” atau asal muasal
atau ikatan leluhur berdassarkan garis keturunan geneologis seperti : Sanggah/pemerajan,
Prthiwi, Ibu/Paibon, Panti, Dadia, Dalem Dadia, Penataran Dadia, Pedarman dan sejenisnya.
Kepercayaan gunung sebagai tempat suci atau alam roh leluhur sejalan dengan unsur kebudayaan
Hindu yang menganggap bahwa gunung sebagai alam dewata. Akulturasi dua unsur kebudayaan
tersebut maka timbullah pandangan bahwa Gunung disamping sebagai tempat roh leluhur juga
sebagai alam ”Dewa-Dewa”.Berdasarkan jalan pikiran yang demikian itu, maka timbullah
pengertian bahwa Pura adalah simbul dari gunung, konsep kesemestaan dalam membangun sebuah
pura, seluruh kompenen pembangunan adalah sebuah wujud persembahan. Pura juga berarti tempat
sujud atau tempat persembahyangan, pura adalah tempat menghadap kehadapan ”Sanghyang
paramaning dumadi” dan juga tempat memohon wahyu, berkat dan rahmat wara nugraha dari
Hyang Widhi oleh karena Pura adalah tempat suci ia patut dijaga kesuciannya serta dihormati oleh
umat pemeluknya. Agama pada hakekatnya bertujuan untuk menyucikan umatnya, maka peranan
Pura semakin penting sebagai ”Pusat Rohani”, tempat memuja Hyang Widhi, dan juga sebagai
tempat untuk melaksanakan Dharma Wacana, Dharma Gita, Dharma Tula, Dharma Santhi, Darma
Sedana dan Dharma Yatra.
Seperti yang telah kami kemukakan diatas, adanya karakterisasi pengelompokan Pura khususnya di
Bali bermakna pula untuk menyatakan umat sesuai dengan pengelompokan sosialnya. Pura
Kawitan merukunkan dan menyatukan umat menurut keluarganya. Pura Kahyangan Desa , umat
menjadi rukun dan damai dalam satu wilayah Desa Pakraman. Pura Swagina bermakna pula
menyatukan umat yang memiliki kesamaan Profesi. Pura Kahyangan Jagat disamping fungsi
utamanya untuk memuja Hyang Widhi dengan berbagai Prabhawa-Nya, juga menyatukan umat
secara Universal dengan tidak memandang asal keluarga, asal Desanya maupun asal profesinya.
Jadi demikianlah, sesungguhnya apa yang disebut Pura memiliki arti dan makna yang sangat dalam.
Pura sebagai tempat Suci, demikian pula seperti Panti, Pemerajan, Pedharman, Kahyangan Tiga,
Sad Kahyangan dan yang lainnya adalah bagian penting dari suatu ”Tubuh” masyarakat. Tempat-
tempat seperti itu tidak saja memiliki kedudukan yang penting, tetapi juga memili fungsi yang
sentral bagi dinamika kehidupan masyarakt di maksud, bagi kebudayan dan juga bagi peradaban
masyarakat tersebut.

V. PENGELOMPOKAN PURA
Mengenai istilah Pura yang dipergunakan sebagai tempat pemujaan umat Hindu diperkirakan
padsa jaman Dalem berkuasa di Bali. Sebelum dikenal istilah Pura, untuk menunjukkan tempat
pemujaan Hindu di Bali dikenal istilah Kahyangan atau Hyang. bahkan pada jaman Bali kuno
dipakai istilah “Ulon” yang berarti tempat suci atau tempat yang dipakai untuk berhubungan dengan
ke-Tuhanan. Hal ini dimuat dalam prasasti sukawana A I (th. 882 M)
Demikian pula prasasti Pura Kehen menyebutkan istilah Hyang. menurut lontar Usana Dewa Mpu
Kuturan lah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Khayangan dewa seperti cara
membuat pemujaan Dewa di Jawa Timur. Mpu Kuturan adalah tokoh Hindu yang berasal dari Jawa
datang ke Bali pada waktu pemerintahan raja Marakata, dan anak wungsu putra raja Udayana.
kedatangan Mpu Kuturan ke Bali banyak membawa perubahan-perubahan dan tata keagamaan.
Mpu Kuturan yang mengajarkan membuat Sad Khayangan Jagat, beliaulah yang memperbesar Pura
besakih dan mendirikan Pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. beliau pula yang mendirikan
Khayangan Tiga di setiap Desa Adat di Bali, selain beliau mengajarkan secara fisik, juga belia
mengajarkan perbuatan secara spiritual, misalnya : jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan
pelinggih dan sebagainnya, seperti diuraikan dalam lontar dewa tatawa. sebelum Dinasti Dalem
memerintah di Bali istana raja disebut kedaton atau keraton. Setelah jaman Dalem istana Raja
disebut “Pura”. Hal ini disebabkan menurut Negarakertagama menyebutkan bahwa apa yang
berlaku di Majapahit, diperlukan pula di Bali oleh Dinasti Dalem. demikianlah keraton Dalem di
Samprangan disebut lingga rsa pura, keraton Dalem di Gelgel disebut Sueca Pura dan keraton
Dalem di Klungkung disebut Semarapura. Setelah Dalem berkeraton di Klungkung, istilah pura
mulai dipakai untuk menyebutkan tempat suci pemujaan. sedangkan istana raja tidak lagi disebut
pura tetapi “puri”. Demikianlah istilah pura menjadi istilah baku sampai sekarang untuk
menyebutkan tempat suci.
Di Bali khususnya di dalam orang-orang mendirikan suatu pura lebih-lebih pura khayangan jagat
berlandaskan konsepsional filosopis yang relevan dengan ajaran Tattwa agama Hindu di Bali. Dari
uraian tersebut di kemukakan tiga landasan konsepsi filosopis yaitu konsepsi rwa bhineda, konsepsi
Catur Loka Pala dan konsepsi Sad Winayaka, sebagai berikut :
A. Konsepsi Rwa Bhineda :
Konsepsi ini merupakan kesatuan purusa dan pradana. konsepsi ini melandasi pendirian
kahyangan
1. Kahyangan Gunung Agung (Besakih sebagai Purusa)
2. Kahyangan Batur sebagai Pradana

B. Konsepsi Catur Loka Pala :


Konsepsi ini merupakan konkritisasi dari pada Cadu Sakti, yaitu empat aspek kemahakuasaan
Hyang Widhi. konsepsi inilah yang melandasi pendirian Kahyangan Catur Loka Phala yaitu :
1. Pura Lempuyang di timur,
2. Pura Andakasa di selatan
3. Pura Batu Karu di barat
4. Pura Puncak Mangu di utara.

C. Konsepsi Sad Winayaka :


Konsepsi ini adalah landasan pendirian Sad Kahyangan di Bali yang secara konsepsional
terkait dengan Sad Kertih, yaitu :
1. Pura Besakih
2. Pura Lempuyang
3. Pura Goa Lawah
4. Pura Ulu Watu
5. Pura Batu Karu
6. Pura Pusering Jagat
Ketiga landasan filosofis inilah yang menjadikan dasar mendirikan kahyangan jagat yang
dinamakan Padma Buana sebagai stana dari Hyang Widhi dalam berbagai aspek yang diwujudkan
dalam sembilan (9) Kahyangan Jagat yaitu :
1. Pura Lempuyang di timur tempat memuja Iswara
2. Pura Andakasa di selatan tempat memuja Brahma
3. Pura Batu Karu di barat tempat memuja Mahadewa
4. Pura Batur di utara tempat memuja Wisnu
5. Pura Besakih di timur laut tempat memuja Sambhu
6. Pura Goa Lawah di tenggara tempat memuja Maheswara
7. Pura Ulu Watu di barat daya tempat memuja Rudra
8. Pura Puncak Mangu di barat laut tempat memuja Sangkara
9. Pura Pusering Jagat di tengah tempat memuja Siwa
Oleh karena gunung tertinggi atau samudra (segara-ukir) sebagai persyaratan pendirian kahyangan
jagat tidak terletak di tengah-tengah pulau Bali sebagai pusat pemujaan altar tersuci Tuhan Siwa,
maka dengan pertimbangan ini, maka Dang Hyang Markendya sebagai seorang yogi yang bijak
memindahkan pura pusat pemujaan Tuhan Siwa ke lereng gunung Agung (Besakih) Gunung yang
tertinggi di Bali, maka Besakih menempati posisi timur laut, juga menempati posisi tengah Padma
Mandala.
Apabila kesembilan (9) kahyangan jagat ini di letakkan di dalam lukisan padma, maka keadaanya
sesuai benar dengan arah sembilan penjuru dan karenanya sembilan kahyangan jagat ini disebut
juga “Nawa Dikpalaka” yaitu sembilan penjaga penjuru bhuana. berdasarkan konsepsi padma
mandala atau padma bhuana bunga padma dengan helai daun bunga yang berlapis-lapis, Pura
Besakih adalah sari padma mandala atau padma bhuana sedangkan pura gelap, kiduling kreteg,
Ulun Kulkul, Batu Madeg adalah catur Dala lapisan pertama serta Pura Lempuyang, Andakasa,
Batu Karu, Batur, Goa Lawah, Ulu Watu, Puncak Mangu adalah Asta Dala (Catur Dala lapisan
kedua dalam posisi dik widik). Pura-pura tersebut diatas adalah pura-pura yang sangat disucikan
dan merupakan satu-kesatuan yang utuh, merupakan pusat kesucian dan kerahayuan bagi umat
Hindu.

LAMPIRAN HIMPUNAN KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR TERHADAP


ASPEK-ASPEK AGAMA HINDU

Tentang Padmasana :
Padmasana adalah lambang makrokosmos / alam semesta yang merupakan Stana Ida Sang Hyang
Widhi Wasa (Siwa Aditya). Padmasana dapat dibedakan atas :
A. Berdasarkan lokasi (menurut pengider-ider), terbagi dalam 9 (sembilan) buah berdasarkan
Lontar Wariga Catur Winasa Sari :
1. Padma Kencana bertempat di Timur menghadap ke Barat.
2. Padmasana bertempat di Selatan menghadap ke Utara.
3. Padmasana Sari bertempat di Barat menghadap ke Timur.
4. Padmasana Lingga bertempat di Utara menghadap ke Selatan.
5. Padma Asta Sedana bertempat di Tenggara menghadap ke Barat Laut.
6. Padma Noja bertempat di Barat Daya menghadap ke Timur Laut.
7. Padma Karo bertempat di Barat Laut menghadap ke Tenggara
8. Padma Saji bertempat di Timur Laut menghadap ke Barat Daya.
9. Padma Kurung di Tengah-Tengah me Rong Tiga menghadap ke Lawangan.

B. Berdasarkan atas Rong (Ruang) dan Pepalihannya (tingkatan atau Undag) dapat dibedakan atas
1. Padmasana Anglayang, Padmasana ini ber – ruang (me-rong) Tiga, mempergunakan
Bedawang Nala dengan Palih Tujuh.
2. Padma Agung, Padmasana ini ber-ruang (me-rong) Dua mempergunakan Bedawang
Nala dengan Palih Lima.
3. Padmasana, Padamasana ini ber-ruang (me-rong) Satu mempergunakan Bedawang
Nala dengan Palih Lima.
4. Padmasari, Padma ini ber-ruang (me-rong) Satu dengan Palih Tiga yaitu Palih
Taman (bawah), Palih Sancak (tengah) dan Palih Sari (atas), tidak mempergunakan Bedawang
Nala.
5. Padmacapah, Padma ini ber-ruang (me-rong) Satu dengan Palih Dua yaitu Palih
Taman (bawah) dan Palih Capah (atas), tidak mempergunakan Bedawang Nala.
Catatan : Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai
penghayatan / penyawangan dan mengenai pedagingan kedua Padma ini hanya pada dasar
dan puncak saja. Sedangkan Padmasana yang mempergunakan Bedawang Nala berisi
pedagingan pada Dasar Madhya (tengah) dan Puncak.
 Tatacara pembuatan Padmasana berdasarkan Lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi.
 Upakara / Upacara termasuk pependeman dan pedagingan berdasarkan Lontar Dewa Tatúa,
Lontar Wariga Catur Winasa Sari, Lontar Usana Dewa dan Lontar Dewa Tatúa.
Tentang Rong Tiga :
 Rong Tiga adalah Pelinggih Tri Murti ¿ Hyang Kemimitan / Hyang Kemulan berdasarkan
Lontar Purwa Gama Sesana, Lontar Kusuma Dewa, Lontar Gong Wesi.
 Tatacara pembuatan Rong Tiga berdasarkan atas Lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta
Bhumi.
 Upakara / Upacara termasuk pependeman dan pedagingan berdasarkan Lontar Dewa Tattwa,
Lontar Wariga Catur Winasa Sari, Lontar Usana Dewa, Lontar Widhi Tattwa dan terutama
Lontar Resuma Dewa.

Tentang Meru :
 Meru adalah melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan Sthana / Pelinggih Dewa-
Dewi, Bhatara-Bhatari Leluhur berdasarkan Lontar Purana Dewa, Lontar Resuma Dewa,
Lontar Widhi Sastra, Lontar Wariga Catur Winasa Sari dan Lontar Jaya Purana. Landasan
filosofis dari meru adalah berlatar belakang pada kepercayaan terhadap gunung yang
disucikan sebagai sthana para dewa dan roh leluhur. Untuk kepentingan pemujaan
akhirnya gunung yang suci tersebut disymbolkan / nyasa berbentuk replika (tiruan)
bangunan yang disebut dengan candi, prasada, meru. Bentuk Meru dapat dibedakan
sebagai berikut :
1) Ciri Umum :
1. Dapat dibedakan dari Dasar, Badan, Atap
2. Bangunan Dasarnya Segi Empat
2) Ciri Khusus :
1. Ada jenis Meru yang badannya berbentuk ruangan yang dapat dipergunakan untuk
tempat sembahyang, dan ada pula Meru yang badannya berbentuk ‘banyah’ yang
ruangannya tidak dapat dimasuki sebagai tempat sembahyang.
2. Atap Meru bertumpang dan sebanyak-bayaknya tumpang sebelas.
3. Arti susunan atap Meru yang pada umumnya ganjil sebagai lambang / symbol /
nyasa ‘patalaning bhuwana dan pangalukuan dasaksara’, seperti :
a. Meru tumpang satu
b. Meru Tumpang dua
c. Meru Tumpang tiga
d. Meru Tumpang lima
e. Meru Tumpang tujuh
f. Meru Tumpang sembilan
g. Meru Tumpang sebelas
Meru tumpang satu sampai dengan meru tumpang tiga berpedagingan pada dasar dan
puncak, sedang meru tumpang lima sampai dengan meru tumpang sebelas berpedagingan
pada dasar, madhya dan puncak.

Fungsi Meru :
1. Tempat pemujaan Istadewata seperti Meru di Kiduling Kreteg Besakih tempat pemujaan
Dewa Brahma, dan di Pura Batu Madeg Besakih tempat pemujaan Dewa Wisnu dsb.
2. Tempat pemujaan Bhtara-Bhatari seperti pada Padharman-Padharman di Komplek Pura
Besakih dsb.
Tatacara pembuatan Meru berdasarkan Lontar Asta Kosala-Kosali dan Astha Bhumi, untuk
membedakan jenis Meru pemujaan Istadewata dan Bhatara-Bhatari antara lain :
1. Dari segi Pedagingan
2. Dari segi Puja / Stawa
Upakara / Upacara termasuk pependeman dan pedagingan berdasarkan Lontar Dewa Tattwa, Lontar
Wariga Catur Winasa Sari, Lontar Usana Dewa, Lontar Widhi Tattwa dan terutama Lontar Resuma
Dewa.

Tentang Pengertian Pelinggih :


Pelinggih adalah tempat sthana Ida Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-NYA yang dibuat
sesuai dengan Lontar Asta Dewa dan Lontar Asta Kosala-Kosali serta telah disangaskara.

Padmasana di Pura Penataran Agung Besakih :


 Sesuai dengan Lontar Padma Bhuwana, pengertian Padma tersebut adalah :
 Namanya : Padma Bhuwana
 Bentuk Bangunan : Padamasana Tri Tunggal (Tiga bangunan Padmasana dengan
Dasar Tunggal)
 Yang di Lingga Sthanakan : adalah Sang Hyang Tiga Wisesa (Siwa, Sada Siwa,
Parama Siwa)
 Di Tengah Lingga Sthana Ida Sang Hyang Parama Siwa
 Di Kanannya Lingga Sthana Sang Hyang Sada Siwa
 Di Kirinya Lingga Sthana Sang Hyang Siwa
 Fungsinya : Penyungsungan Jagad.

Pura Desa :
 Letaknya : Pada tempat yang dipandang suci oleh Krama Desa yang bersangkutan,
sebaiknya di tengah-tengah Desa.
 Jajaran Pelinggih :
 Gedong Lingga Sthana Dewa Brama
 Pelinggih Ratu Ketut Petung
 Lingga Sthana Sedahan Penglurah (Tepas Mecaling)
 Padmasana Lingga Sthana Ida Sang Hyang Widhi
 Bale Agung Lingga Sthana Begawan Penyarikan / Bagawati
 Gedong / Bebaturan (Panghulun Bale Agung) Sthana Bhatari Rambut Sedana
(Melanting)
Pura Puseh :
 Letaknya sama dengan Pura Desa
 Jajaran Pelinggih :
 Meru Tumpang 7 Lingga Sthana Dewa Wisnu
 Lingga Sthana Ratu Made Jelawung
 Lingga Sthana Sedahan Penglurah (Tepas Mecaling)
 Padmasana Lingga Sthana Ida Sang Hyang Widhi
 Batur Sari Lingga Sthana Dewi Danuh
 Gedong Lingga Sthana Ibu Pertiwi (Naga Ananta Bhoga)
Pura Dalem :
 Letaknya : Sebaiknya di Teben Desa berdekatan dengan Setra.
 Jajaran Pelinggih :
 Gedong Lingga Sthana Dewi Durgha (Sakti Siwa)
 Lingga Sthana Ratu Nyoman Sakti Pengadangan
 Lingga Sthana Sedahan Penglurah (Tepas Mecaling)
 Bedogol Lingga Sthana Sang Bhuta Diyu (Apit Lawang)
 Bedogol Lingga Sthana Sang Bhuta Garwa (Apit Lawang)
 Pada Panghulun Setra dibangun Pelinggih Prajapati, berbentuk Padma dan sebuah
bebaturan Linggih Sedahan Setra
Pemerajan / Sanggah :
 Letaknya di hulu pekarangan rumah
 Jajaran pelinggih :
 Kemulan Rong Tiga Linggih Hyang Guru Kemulan / Tri Murti / Leluhur
 Linggih Sedahan Penglurah
 Gedong Linggih Taksu
Catatan :
 Pura Desa dan Pura Puseh apabila digabung dalam satu pelebahan Pura dengan catatan :
 Jajaran Pelinggih Pura Desa dan Pelinggih Pura Puseh sama terletak di hulu
 Padmasana hanya dibangun satu buah
 Meru minimal dibangun yang bertumpang tiga
 Jajaran Pelinggih Pura Desa dan Pura Puseh digabung dalam satu Pelebahan Pura :
 Gedong Lingga Sthana Dewa Brama
 Lingga Sthana Ratu Ketut Petung
 Lingga Sthana Sedahan Penglurah
 Padmasana Lingga Sthana Ida Sang Hyang Widhi
 Lingga Sthana Dewi Danuh
 Lingga Sthana Tepas Mecaling
 Meru Lingga Sthana Dewa Wisnu (sekurang-kurangnya meru tumpang tiga)
 Lingga Sthana Ratu Made Jelawung
 Linggih Sthana Ibu Pertiwi (Naga Ananta Bhoga)
 Gedong Bebaturan (Panghulun Bale Agung) Lingga Sthana Dewi Sri Rambut
Sedana (Melanting)
 Bale Agung Lingga Sthana Bhagawan Penyarikan / Dewi Bhagawati.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Astra, Semadi, I Gde, 1977. Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII-XIII : Sebuah Kajian
Epigraphis. Disertasi, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Ardana, I Gusti Gde, dkk. 1983. Inventarisasi Aspek-Aspek Nilai Budaya Bali, Denpasar : Proyek
Bantuan Sosial.

Ginarsa, Ketut, 1985. Adanya Tempat-Tempat Suci di Bali. Bali Post, hal. IV, Tanggal 4 September.

Soma, Dewa Ketut, 1999. Pura Gelap, Catur Dala Pura Agung Besakih. Parisadha Hindu Dharma
Indonesia Kab. Klungkung.
Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, 2001. Kajian Alih Aksara Dan Alih Bahasa Lontar Panugrahan
Dalem.

Setiawan, I Ketut, Maret 2002. Menelusuri Asal-Usul Tempat Suci Di Bali Dalam Rangka
Pengelolaan Sumberdaya Budaya. Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
DENAH PAMERAJAN
Keterangan Denah :
1. Kemulan Rong Tiga Linggih Hyang Guru Kemulan / Tri Murti / Leluhur
2. Linggih Sedahan Penglurah
3. Gedong Linggih Taksu
Keterangan Denah :
1. Gedong Bata Lingga Stana Dewa Brahma
2. Pelinggih Ratu Ketut Petung
3. Lingga Stana Sedahan Penglurah (tepas mecaling)
4. Padmasana Lingga Stana Ida Sang Hyang Widhi
5. Bale Agung Lingga Stana Begawan Penyarikan
6. Gedong/Bebaturan (hulun Bale Agung) Lingga Stana Bhetari Sedana (Melanting)
Keterangan denah :
1. Meru (Tumpang 7) Lingga Stana Dewa Wisnu
2. Lingga Stana Ratu Made Jelawung
3. Lingga Stana Sedahan Penglurah (tepas mecaling)
4. Padmasana Lingga Stana Ida Sang Hyang Widhi
5. Batur Sari Lingga Stana Dewi Danuh
6. Gedong Lingga Stana Ibu Pertiwi (Ananta Boga)
Keterangan Denah :
1. Gedong Bata : Lingga Stana Dewi Durgha (Cakti Ciwa)
2. Lingga Stana Ratu Nyoman Sakti Pengadangan
3. Lingga Stana Sedhana Penglurah (Tepas Mecaling)
4. Bedogol (Apit Lawang) Lingga Stana Sang Bhuta Diyu
5. Bedogol (Apit Lawang) Lingga Stana Sang Bhuta Garwa
Keterangan Denah :
1. Padma
2. Bebaturan
Keterangan Denah :
1. Gedong Lingga Stana Dewa Brahma
2. Lingga Stana Ratu Ketut Petung
3. Lingga Stana Sedahan penglurah
4. Padmasana Lingga Stana Ida Sang Hyang widhi
5. Lingga Stana dewi Danuh
6. Lingga Stana Tepas Mecaling
7. Meru (sekurang-kurangnya tumpang 3) Lingga Stana Dewa Wisnu
8. Lingga Stana ratu Made Jelawung
9. Linggih Stana Ibu Pertiwi (Ananta Bhoga)
10. Gedong Bebaturan (hulun Bale Agung) Lingga Stana Dewi Cri Sedana
11. Bale Agung Lingga Stana Begawan Penyarikan

N Y E P I : MAKNA WAKTU DAN PEMBERDAYAAN


HATI NURANI
Tahun Saka ditetapkan sebagai peringatan atas penobatan Raja Kanishka I dari dinasti Kushana
pada tahun 78 Masehi. Pusat kerajaannya bernama Purusapura, sekarang Peshawar di Pakistan.
Kerajaannya membentang dari Gandhara (sekarang Afganistan) sampai ke Asia Tengah. Dan
pengaruhnya sampai ke Cina, Tibet dan Jepang. Raja Kanishka I beragama Hindu. Tetapi ia tidak
memakai agamanya sebagai agama negara. Ia membina semua agama yang ada, yaitu Hindu dan
Buddha beserta sekte-sekte masing-masing. Karena sikapnya yang arif dan bijaksana, tidak
mengutamakan agama satu dari yang lain dalam politik pemerintahan, maka terciptalah toleransi,
hubungan yang harmonis antara berbagai pemeluk agama yang menjadi warga negaranya. Baginda
raja tida saja menyelenggarakan sidang-sidang pemerintahan juga mendorong terselenggaranya
Mahasabha (Sidang Raya) atau Pesamuhan Agung Keagamaan, baik untuk agama Hindu maupun
agama Buddha demi memelihara kerukunan dan toleransi kehidupan beragama. Pada masa itu
muncul tokoh-tokoh besar seperti Nagarjuna (eksponen doktrin Budha Mahayana), ahli pikir
Aswaghosa, Parswa, Wasumitra, Sangharaksa, Chareaka (seorang dokter), Mathara (pemikir
strategi politik), Agesilaus (insinyur keturunan Yunani), raja Sakhara (penyair dan penyusun kitab
Kawyamimansa), dan lain-lain. Untuk menghormati kebesaran jiwa Raja Kanishka I inilah tarikh
Saka ditetapkan. Dengan demikian perayaan pegantian tahun Saka merupakan peringatan atas suatu
peristiwa sejarah. Sejak ditetapkannya tahun Saka ini oleh Raja Kanishka I ini telah membuka jalan
bagi perkembangan dan kemajuan kebudayaan dan agama sehingga India menjadi salah satu pusat
penyebaran agama dan peradaban manusia di seluruh dunia. Tahun ini pula dipergunakan sampai ke
India Utara yang sebelumnya mempergunakan tahun Candra, demikian pula di India Timur bahkan
terus berkembang sampai di Nusantara termasuk Bali. Sejak itu terjadilah pembauran perhitungan
tahun antara tahun Saka (yang memakai perhitungan Surya) dengan tahun yang memakai
perhitungan Candra, yang lazim disebut dengan “Luni-Solar System”.
Tahun Saka sebagai satuan waktu tidak berbeda dengan tahun-tahun yang dimiliki oleh agama lain,
seperti tahun Hijriyah, tahun Masehi. bahkan tidak berbeda dengan tahun-tahun yang dimiliki oleh
bangsa lain. Bangsa Cina dan Jepang misalnya memiliki tahunnya sendiri. Masing-masing agama atau
bangsa memperlakukan pergantian tahunnya secara berbeda. Di India, sekalipun tahun Saka telah
ditetapkan sebagai tahun nasional sejak tahun 1958, yang tahun barunya jatuh tiap tanggal 22 Maret,
umat Hindu di India tidak merayakannya secara khusus. Di Indonesia, pergantian tahun Saka
diberikan muatan relegius. Tahun baru Saka menjadi hari suci Nyepi. Jadi Nyepi memiliki dua dimensi.
Dimensi waktu dan dimensi agama atau tepatnya dimensi ritual (pencerahan hati nurani).

Makna Ruang dan Waktu


Ruang dan waktu adalah sarana bagi proses perkembangan manusia. Demikianlah Tuhan menciptakan
masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu memberikan kita pengalaman. Masa kini memberi kita
kesempatan untuk bertindak. Masa depan memberi kita harapan. Makna dari ketiga waktu itu sangat
penting bagi kita yang percaya pada hukum karma dan reinkarnasi. Hidup kita sekarang merupakan
akumulasi dari pengalaman hidup kita sebelumnya. Masa depan kita tidak terbatas. Kita memiliki
bukan satu kehidupan, tetapi satu rangkaian kehidupan.

Makna waktu berbeda bagi mereka yang percaya pada doktrin predestinasi, yang percaya bahwa hidup
dan keberadaan manusia sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan. Waktu baginya adalah saat untuk
melaksanakan skenario Tuhan. Waktu adalah saat Ki Dalang memainkan wayangnya. Pengalaman
kesempatan bertindak, dan pengharapan tidak memiliki makna bagi wayang. Memakai pengertian Eric
Fromm, mereka yang percaya pada doktrin predestinasi memiliki hidup yang sepenuhnya dijadikan
oleh Tuhan. Bagi kita yang percaya pada hukum karma dan reinkarnasi, hidup adalah proses menjadi.
Waktu adalah kesempatan bagi kita untuk menjalani proses itu. Waktu mengajari manusia satu hal
penting. Waktu terus mengalir. Demikian pula hidup kita terus mengalir. Tetapi waktu hanya mengalir
ke satu arah, ke depan! Demikian hidup kita? Sungai karena kodratnya dengan tekun terus mengalir ke
laut. Tetapi kemanakah hidup kita menuju? Tujuan akhir manusia, menurut agama Hindu adalah
Moksa, Manunggaling kawula lan gusti. Bersatunya Atman dengan Brahman. Hidup kita menuju
sangkan paraning dumadi, asal dari kehidupan. Ada tiga jalan utama yang disediakan untuk mencapai
tujuan itu; jalan pengetahuan (Jnana Marga), jalan cinta kasih (Bhakti Marga) dan jalan kerja (Karma
Marga). Menurut Arvind Sharma, guru besar perbandingan agama dari Universitas McGill, Kanada,
jalan yang cocok untuk zaman ini adalah Karma Marga. Sebab dalam Karma Marga sudah terkandung
unsur Jnana dan Bhakti, sebagaimana dipraktekkan oleh Mahatma Gandhi. Namun sebelum mencapai
tujuan akhir ini, ada tiga tujuan lain yang juga sangat penting yang harus dicapai manusia, yaitu
Dharma, Artha, dan Kama. Apabila orang tidak menghendaki dirinya dilanda dan hanyut menuju
kemerosotan dari suksma menjadi sthula (materi), maka pikiran dan perbuatan haruslah dikendalikan
dengan dharma. Tiga yang pertama tujuan kehidupan (triwarga) yang terdapat di jalan prawrtti ialah
dharma, artha dan kama.

1. Dharma
Dharma artinya sesuatu yang mesti dipegang erat-erat, misalnya ialah hukum, kebiasaan, adat-istiadat,
agama, kasih sayang, kebenaran, keadilan, kewajiban, prestasi dan moralitas. Jadi dharma itu tidak lain
dari prinsip-prinsip yang utuh dan kekal (sanatana) yang menyangga seluruh alam semesta ini menjadi
satu kesatuan, baik pada bagian-bagiannya maupun pada keseluruhannya, hidup atau mati. “Sesuatu
yang menunjang dan mempersatukan seluruh makhluk di alam semesta disebut dharma”. “Dharma
dicanangkan untuk menciptakan dan memberikan keutuhan hidup. Dharma itu menunjang dan
memelihara. Karena dharma itu menunjang dan mempersatukan, maka ia disebut dharma. Dengan
dharma umat manusia dipertahankan”. Jadi dharma itu bukan merupakan aturan bikinan (artificial),
tetapi merupakan kaidah (prinsip) untuk hidup benar. Ciri-ciri dharma, sama dengan ciri-ciri kebaikan,
yaitu perilaku yang baik (achara), melalui perbuatan baik itu dharma itu diwujudkan sehingga
dicapailah kemashuran secukupnya di dunia ini dan di alam-alam selanjutnya. Landasan dari sanatana
dharma ialah revelasi (shruti) seperti tercantum di dalam sastra-sastra, seperti Smrti, Purana dan
Tantra. Dharma artinya agama, dharma juga berarti kewajiban-kewajiban. Memahami kewajiban,
memahami agama merupakan landasan bagi hidup bermoral.

2. Artha
Artha berarti benda atau sarana yang dapat memuaskan naluri dan juga berarti tujuan hidup harta
benda dan kekayaan. Pengertiannya secara luas ialah sarana yang dibutuhkan untuk menunjang
kehidupan ini dalam pengertian biasa berarti makanan, minuman, uang, rumah, tanah, dan berbagai
bentuk kekayaan yang lain; lebih lanjut itu juga berarti segala sesuatu yang dapat memuaskan
keinginan luhur, seperti kekaguman terhadap keindahan, pemujaan, di mana untuk itu pun artha
diperlukan. Bantuan yang diberikan kepada orang lain, dalam bentuk apa pun, itu pun artha. Jadi
tegasnya, artha itu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memuaskan keinginan, yang sifatnya
rendah atau tinggi. Untuk kebahagiaan dan ketentraman hidup di dunia ini, dorongan keinginan itu
hendaknyalah dorongan keinginan yang baik dorongan yang mengakui bahwa manusia harus tunduk
kepada dharma maka demikian itu pula halnya dengan benda-benda yang dicari untuk memuaskan
keinginan tersebut, benda-benda pemuas itu pula harus dikendalikan oleh dharma. Ketika sedang
menempuh prawritti marga, triwarga harus dipupuk juga dengan penuh keseimbangan, karena orang
yang keranjingan kepada salah satu saja dari unsur triwarga itu yang tidak dibenarkan (dharmmartha
kamah samanewa sewyah yo hyekasaktah sa jano jagha nyah).
3. Kama
Kama ialah dorongan keinginan (nafsu) dan dapat diterjemahkan dengan kata naluri, nafsu dan
keinginan, seperti misalnya dorongan keinginan untuk menikmati kekayaan, kesuksesan, keluarga,
kedudukan, atau bentuk-bentuk lain kesenangan untuk sediri maupun untuk orang lain. Adapun naluri
yang sangat kuat mempengaruhi jiwa mahluk hidup terutama manusia, yaitu lapar, dahaga dan nafsu
birahi (sexual impulse). Selain dari pada itu yang tiga jenis naluri, nafsu atau keinginan ini terdapat
juga naluri yang lain pada jiwa manusia sebagai takut, marah, senang dan keinginan-keinginan untuk
mendapat serba benda, kepuasan duniawi dsb. Kama juga mendorong manusia untuk menikmati dan
memiliki hal-hal yang bersifat besar dan mulia, keinginan atau ambisi untuk memiliki hal-hal
sedemikian itu merupakan ciri betapa besarnya jiwa itu. Keinginan, apakah tingkatnya tinggi atau
rendah, haruslah diatur, dan manusia dikendalikan oleh dharma yang mengatur kehidupannya. dalam
kerangka Dharma, Artha dan Kama memperdalam bobot spiritual manusia. Agama hindu sama sekali
tidak mengabaikan kehidupan duniawi. Kehidupan duniawi ini (dharma, Artha dan Kama) merupakan
syarat untuk mencapai Moksa.

4. Moksha
Dari empat tujuan itu, moksha atau mukti merupakan tujuan sejati dan terakhir. Tiga tujuan yang lain
itu masih dihantui oleh berbagai bentuk kekhawatiran, dan kematian sebagai keakhirannya. Mukti
berarti “membuka ikatan” atau membebaskan. Jiwa dibebaskan dari ikatan samsara, ikatan dari
eksistensi phenomenal ini, sehingga dengan demikian menyatu dengan berbagai tingkat kesempurnaan
paramatma. Kebebasan sedemikian itu bisa didapatkan dengan sarana pengetahuan spiritual
(atmajnana) dan tentu saja pengetahuan sedemikian itu harus terlebih dahulu dilandasi dengan
kehidupan moral melalui pelekatan diri kepada dharma. Untuk mencapai sifat kesejatian jiwa itu,
pengetahuan itulah yang diperlukan, belum cukup sekedar memiliki moral dan etika itu diremehkan,
moral dan etika harus dimiliki terlebih dahulu, tetapi sampai tingkat kesadaran tertentu, moral itupun
kehilangan keampuhan untuk melanjutkan perjalanan menuju tujuan yang terakhir ini. Moksa itu
merupakan ujung terakhir dari niwriti marga. Triwarga (dharma, artha dan kama) ialah ujung terakhir
prawritti marga. Kautilya, atau Canakya, cendikiawan besar Hindu yang hidup kira-kira 2300 tahun
yang lalu mengatakan “ Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Bila satu dari keempat hal ini tidak dicapai
oleh manusi, maka lahir ke dunia ini hanyalah untuk mati”.

Kontemplasi dan Proyeksi


Lalu apa makna nyepi disini? Mengapa pada hari Nyepi kita tidak boleh bekerja, tidak boleh bepergian,
tidak boleh menyalakan api? Simbolik apa yang dikandungnya?
Marilah kita bayangkan kita sedang menyusuri sungai dengan rakit. Setelah menempuh perjalanan
selama 356 hari, kita berhenti sejenak. Menepi ke pinggir sungai. Rakit ditambatkan. Kita mencari
tempat berteduh di bawah pohon yang rindang. Kita melihat ke belakang, menilai kembali ziarah kita.
Berapa jauhkah jarak yang sudah kita tempuh? Rintangan apa yang telah kita hadapi? Bagaimana kita
menghadapi rintangan itu ? Apakah cara kita mengayuh sudah benar? Setelah mengetahui hasil
evaluasi ini, sekarang kita melihat ke depan. Apakah tujuan itu tampak dengan jelas? Apakah arahnya
jelas? Jalan mana yang harus kita tempuh untuk mencapai tujuan itu? Berapa jauh jarak yang ingin kita
tempuh selama 356 yang akan datang? Bagaimana kita mengayuh agar rakit kita bergerak lebih cepat?
Demikian kita membagi perjalanan kita dalam satuan tahun. Di belakang kita ada satu tahun. Di depan
kita satu tahun lagi. diantara kedua ruas waktu itu kita ambil satu hari untuk menilai dan membuat
rencana. Dalam bahasa sekarang, pada hari itu kita melakukan kontemplasi, refleksi dan proyeksi.
Suasana yang hening dan sunyi dibutuhkan agar hal itu dapat dilakukan dengan baik.
Perjalanan ke depan adalah ziarah menuju harapan. Tetapi tidak ada kebahagiaan tanpa pengorbanan.
Maka kita harus menyiapkan diri, secara jasmani dan rohani, mental dan spiritual. Berbeda dengan air
sungai yang mengalir begitu saja, sesuai kehendak alam. Kita harus mengarahkan, mengatur, dan
mengendaliakan. Kita tidak ingin tenggelam dalam jeram yang dalam bersama rakit yang kita biarkan
hanyut terbawa arus tanpa kendali.

Sepi adalah Awal Penciptaan


Sepi adalah awal. Sepi adalah prasyarat bagi penciptaan . Rig Weda dalam sloka penciptaan (Hymn of
Creation) mengatakan : Pada awalnya tidak ada yang ada dan yang tidak ada, seluruh dunia adalah
energi yang belum terwujud. Yang Satu (Tuhan) bernafas, tanpa nafas, dengan kekuasaanNya sendiri,
tiada sesuatu pun di sana.

Ayat pertama Kitab Kejadian dari PerjanjianLama mengatakan : Pada mulanya Tuhan menciptakan
langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong ; gelap gulita memenuhi samudera raya, dan roh
Tuhan melayang-layang di atas permukaan air.

Dalam agama Buddha, bukan Tuhan, mahluk (being) atau substansi tetapi sepi atau Sunyata yang
merupakan hakikat kenyataan yang terakhir (Ultimate reality). Segala sesuatu berasal dari Sunyata.
Karena Sunyata segala sesuatu menjadi ada. Sepi dalam konsep Hindu, dan Sunyata dalam konsep
Buddha bukan sesuatu yang negatif. Seluruh penciptaan, dari penciptaan alam semesta sampai
penciptaan sebait puisi berawal dari sepi. Mencipta adalah proses membuat ada dari yang tidak ada.
Dengan melompati diskusi filsafat, kehadiran serta kegiatan kita di dunia ini memerlukan satu derajat
sepi atau kekosongan. Kita memerlukan tempat kosong bila hendak mendirikan rumah. Air hanya
dapat ditaruh dalam gelas yang kosong. Tanpa ruang kosong kita tidak bisa berada di atas bumi ini.

Penciptaan adalah Kebahagiaan


Prasna Upanishad mengatakan : “Pada awalnya Sang Pencipta merindukan kebahagiaan dari
penciptaan. Ia diam dalam meditasi, lalu muncullah Rayi, materi (zat) dan Prana, hidup. “Kedua hal
ini”, pikir-Nya, “akan menciptakan mahluk-mahluk untukKu”.

Chandogya Upanishad mengatakan :


Di mana ada penciptaan, di sana ada kemajuan. Di mana tidak ada pen¬ciptaan, di sana tidak ada
kemajuan ketahuilah hakikat dari pencip¬taan.
Di mana ada kebahagiaan, di sana ada penciptaan. Di mana tidak ada kebahagiaan, di sana tidak ada
penciptaan ; ketahuilah hakikat dari kebahagiaan.
Di mana ada yang Tak Terbatas, di sana ada kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan dalam yang terbatas;
hanya dalam yang Tak Terbatas ada kegahagiaan; ketahuilah hakikat dari yang Tak Terbatas.
Di mana tidak ada sesuatu pun terlihat, atau terdengar, atau diketa¬hui, di sanalah ada yang Tak
Terbatas. Di mana ada sesuatu yang terlihat, terdengar atau diketahui di sana ada yang terbatas. Yang
Tak Terbatas abadi ; tetapi yang terbatas fana.
Kita memulai perjalanan tahun kita dengan sepi, hening dan heneng.

Bersatu dengan Kesadaran Murni


Dalam kehidupan manusia, sepi merupakan bagian yang sangat penting. Deepak Chopra, penulis India
yang kini bermukim di Amerika Serikat, yang telah menulis banyak buku-buku best seller, menulis:
“Memprak¬tekkan diam berarti membuat satu komitmen untuk mengambil satu waktu tertentu untuk
semata Menjadi (Be). Menjalani sepi berarti secara berkala menarik diri dari aktivitas berbicara. Ia juga
berarti secara berkala menarik diri dari kegiatan-kegiatan menonton televisi, menden¬gar radio,
membaca buku. Bila anda tidak pernah memberi kesempatan diri anda untuk mengalami sepi, ini akan
menciptakan kekacauan dan keributan dalam dialog internal anda.”

“Mengapa kita memerlukan sepi?” kata Chopra lagi, “Hakikat kita (manu¬sia) adalah kesadaran murni.
Kesadaran murni adalah potensialitas murni; ia adalah wilayah segala kemungkinan dan kreativitas
yang tak terbatas. Kesadaran murni adalah inti spiritual kita. Bersifat tidak terbatas dan tidak terikat, ia
juga adalah kebahagiaan murni. Atribut atau nama lain dari kesadaran adalah ilmu pengetahuan
murni, sepi tanpa batas, keseimbangan sempurna, yang tak dapat ditaklukkan, kese¬derhanaan dan
wara nugraha (rakhmat)”.

Melalui meditasi kita akan belajar mengalami sepi murni dan kesadaran nurani. Dalam lapangan sepi
yang murni terdapat korelasi yang tak terbatas, lapangan penyatuan kekuatan/kekuasaan yang tak
terbats, landasan terakhir dari penciptaan di mana segala sesuatu dihubungkan secara tak dapat
dipisahkan dari segala sesuatu yang lain. Dengan kata lain, dalam sepi jiwa kita (Atman) bersatu
dengan jiwa alam semes¬ta (Brahman atau Tuhan).

Taittiriya Upanishad mengatakan : “Dia yang mengetahui Tuhan (Brahman) yang adalah Kebenaran,
Kesadaran, dan Kebahagiaan Tak Terbatas, tersembunyi di tempat terdalam dari jiwa kita dan di surga
yang tert¬inggi, menikmati segala sesuatu yang diinginkannya dalam persatuan dengan Tuhan Yang
Maha Mengetahui. Dari Tuhan (Brahman) pada awalnya muncul ruang. Dari ruang muncul udara. Dari
Udara muncul api. Dari api muncul air. Dari Air muncul tanah yang padat. Dari tanah muncul
tum¬buh-tumbuhan. Dari tumbuh-tumbuhan muncul makanan dan biji (bibit). Dan dari biji dan
makanan muncullah satu makhluk hidup, manusia”.
Mendengar Suara Hati Nurani
Melalui aspek waktu kita menilai hasil. Melalui suara hati kita menilai cara. Teknologi modern telah
menyediakan kita sarana untuk melakukan komunikasi secara ajaib. Melalui teknologi telekomunikasi
kita dapat berbicara dengan orang lain yang berada di ujung dunia yang lain. Melalui teknologi
elektronika kita bisa bicara dengan jutaan orang sekaligus. Namun teknologi modern tidak
menyediakan kita sarana untuk bicara dengan diri kita sendiri. Malah sebaliknya, teknologi modern
telah mempersulit komunikasi itu. Gemuruh suara mesin di jalan dan di tempat kerja, hingar bingar
suara hiburan dan banjir informasi dari alat-alat elektronik di rumah, telah membuat telinga batin kita
hampir tuli. Tetapi hambatan yang paling besar berasal dari sikap hidup atau nilai-nilai kemodernan.
Dua dari padanya adalah nilai efisiensi dan kompetisi. Efisiensi dimaksudkan bahwa semua aktivitas
kita harus menghasilkan sesuatu dalam jumlah sebanyak-banyaknya dan dengan mutu sebaik-baiknya.
Kompetisi menetapkan yang baik adalah yang menang. Dalam persaingan murni, yang menang adalah
yang paling efisien. Mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri dengan kedua nilai-nilai ini. Sikap
hidup dan teknologi modern telah bersekongkol untuk merampas waktu kita untuk berdialog dengan
diri kita sendiri.

Tetapi kita umat Hindu di Indonesia sangat beruntung. Karena hari Nyepi memberikan kita
kesempatan penuh untuk melakukan dialog dengan diri kita sendiri. Lalu apa yang kita bicarakan
dengan hati kita? Hal-hal sederhana tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap hidup kita.
Kita bertanya : “Apakah perbuatan kita selama ini membawa kebaikan kepada orang lain? Atau
sebaliknya merugikan orang lain? Apakah karena keberhasilan itu kita telah menjadi sombong?”
Pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam ini yang harus kita ajukan secara berulang-ulang.
Kemudian kita harus menunggu jawabannya dengan sabar. Suara hati itu sangat halus getarannya.
Makin tebal keserakahan dan kesombongan menutupi hati kita makin sulit suara itu terdengar.
Seba¬liknya semakin bersih hati kita akan semakin jernih suara itu kedenga¬ran. Dalam masyarakat
modern Nyepi semakin relevan dan bagaimana aktualisasinya?

Nyepi : Surya dan Sunya


Hari raya Nyepi yang jatuh pada “pananggal ping pisan sasih Kadasa” (pratipada sukla Waisaka) adalah
hari tahun baru Saka. Hari raya Nyepi disambut dengan pelaksanaan Brata – penyepian terangkai
secara utuh dan tak terpisahkan dengan pelaksanaan bhutayajna (pacaruan) yang dilaksanakan sehari
sebelumnya yaitu pada Tilem Kasanga (tilem Caitra).

Dengan demikian Hari Raya Nyepi tidak sekedar pergantian tahun (saka), akan tetapi dilandasi oleh
nilai-nilai spritual : wawasan kesemestaan dengan melihat posisi surya dan cadra, renungan tentang
ruang dan waktu sebagimana tertuang dalam pelaksanaan bhutayajna (persembahan kepada bhuta dan
kala), pelaksanaan ajaran yoga dengan melaksanakan yama-niyamabrata, membangun visi dan spirit
untuk menhadapi masa yang akan datang, terlebih lagi kata “sepi atau sunya” adalah sebuah kata kunci
dalam ajaran agama Hindu yang mengandung makna kesempurnaan (purna). Oleh karena itu Nyepi
senantiasa menyajikan bahan renungan kepada kita, lebih lanjut mendorong kita lebih mendalami
ajaran agama Hindu.

Nyepi : Surya dan Candra


Pada tanggal 21 Maret dalam tahun biasa, tanggal 22 Maret pada tahun Kabisat, dalam perhitungan
astronomi matahari tepat berada di atas khatulistiwa. Atau pada saat itu sumbu bumi membuat sudut
90 terha¬dap poros bumi-matahari, sehingga kutub utara dan kutub selatan terletak sama jauh dengan
matahari. Akibatnya ialah lamanya waktu siang sama dengan lamanya waktu malam. Matahari pada
saat itu disebut berada pada titik okinoksi, artinya waktu siang sama dengan waktu malam, yaitu 12
jam. Oleh karena itu, pada tanggal 22 Maret 79, Raja Kaniska I menetapkannya sebagai tahun Saka.
Pada saat itu (sehari sebelumnya) juga bertepatan dengan terjadinya gerhana matahari total.
Sebagaimana diketahui pada saat gerhana (baik gerhana matahari/surya¬graha, maupun gerhana
bulan/candragraha), matahari – bulan – bumi berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu gerhana
matahari jatuh pada tilem dan gerhana bulan jatuh pada hari purnama.
Dengan demikian penertapan Tahun Baru Saka tidak hanya melihat posisi matahari (surya pramana),
tetapi juga posisi bulan (candra pramana), oleh karena itu saat itu disebut dengan sura – candra
pramana. Atau lebih tegasnya penentuan perhitungan Tahun Baru Saka mempergunakan perhitungan
astronomi Hindu (jyotista) yaitu dengan memperhatikan posisi matahari, bumi dan bulan.
Berkenaan dengan uraian diatas umat Hindu dalam setiap penentuan dalam pergantian tahun selalu
memperhatikan situasi dan kondisi yang terjadi pada alam dalam hal ini dengan memperhatikan gejala
benda-benda yang ada di langit berupa sinar-sinar (divine), oleh karean itu muncul istilah atau kata
Dewa (dari div berarti bersinar). Umat Hindu pada hakekatnya dalam pencerahan hidupnya,
membnagun dirinya ingin menjadi divine man yang selanjutnya membangun divine society (dalam diri
manusia, masyarakat dan lingkungannya yang memancarkan sinar suci Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang
secara etis manusia Hindu ingin melenyap¬kan sifat-sifat kegelapan dalam dirinya (asuri sampat) dan
mencari serta memupuk sifat-sifat kedewaan (daiwi sampat) sehingga mendapatkan divine god yang
akan melahirkan manusia / putra yang abadi (amrestyah putra). Inilah landasan yang sangat esensial
bagi pembangunan manusia dan peradaban Hindu. Tuhan Yang Maha Kuasa adalah realitas absolut
(abadi) oleh karena itu beliau disebut sebagai “Sangkan paraning duma¬di” (dari mana dan hendak ke
mana manusia pergi), atau menjadi pusat orientasi kehidupan manusia. Dengan demikian Surya adalah
simbol sesuatu yang abadi, maha cahaya, oleh karena itu simbollis umat Hindu menjadikannya sebagai
sthana Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Upacara/Upakara menyambut Hari Raya Nyepi, yaitu
merupakan pelaksanaan Bhuta Yajna yang dapat kita ketahui bahwa Bhuta Yajna pada hakekatnya
bermakna Penyucian Bhuwana yang terbangun oleh Panca Maha Bhuta (Pratiwi, Apah, Teja, Bayu,
Akasa) dan Panca Tanmatra (Gandha, Rasa, Sparsa, Rupa, Sabda). Bhuwana yang harmoni dan suci
(Jagadhita, Bhutahita) diharapkan dapat memberi kerahayuan bagi hidup manusia, karena manusia
menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai objek indriyanya (Dasendriya).

Umat Hindu sangat mendambakan kerahayuan, keharmonisan dalam hidup, keseimbangan ekosistem,
keseimbangan unsur-unsur yang membangun Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung yang nanti pada
gilirannya akan mem¬berikan kerahayuan dan kedamaian. Dengan demikian umat Hindu memiliki
wawasan kesemestaan, wawasan alam raya, wawasan globalisasi yang berarti wawasan umat Hindu
tidak sempit (asorohan-awatekan). Umat Hindu sebagaimana diajarkan oleh agamanya yang tertuang
dalam Kitab-kitab Sucinya sangat memperhatikan dari lingkungan yang terkecil samapi jagad raya,
memperhatikan gerakan alam raya (posisi matahari/surya), bulan (candra), serta bumi (bhumi) dengan
mempersem¬bahkan keharmonisan itu berupa Bhuta Yajna (Bali Karmana – Bali Krama).

Nyepi : Sunya
Dalam persembahan keharmonisan berupa Bhuta Yajna yang berarti memi¬liki makna penyucian
Bhuwana, yang dimulai dengan acara melasti/mekiis atau melis yang disebutkan dalam Lontar
Sundarigama :
“Ikang pwa ya triya dacin ikang krsa paksa lalastyakna ikang pratime, yogan ira Sanghyang Tiga
Wisesa, Iwirnya : Desa, Puseh, Dalem, paren¬gakna sarwa arca, pratime Dewa-dewa Parhyangan
medalakna kabeh, hingayon ring segara, iniring dening mwang sakrama desa kabeh, saha widhiwidana,
mangga rarapan ring Sanghyang Baruna, telas lebur ring samadya, telah tingkah sakramanya, hantukna
punang pratime, wus mangkana, hantukana maring yoga ira swang-swang. Apa matangian
sa¬mangkana ? Apan yeka wwang, agung dosa wwang mangkana, matangnya inusak-asik wwang
mangkana eweh sang pradipati rusak kaprabon Sri Aji, sasab mrana magalak, bhutakala mewengis,
inisep ranging janama kabeh, sinamet sira sya amrtanya, dewadwan ira Sanghyang Adiakala, Siapa
mandadi ika, kalinganya, Bhatara Wisnu mari marupa Dewa, matemahan Kala Bhatara Brahma maweh
sarwa Buchari, desti, teluh, tranjana, Bhatara Iswara agung sasab mrana, ika amicara dahat, ngrugaken
sapra¬ja mandala, ndah samangkana aja papeka ranak ingsun ring warah-warah mami. Kunang riteles
kelaksanan, mulih hayuning praja mandala sarat kabeh, teka ring sarwa janma. Wastunin paripurna,
terang galang apa¬dang bhawan ikang sarwa mahurip. lunas iakng sarwa tumuruh, sasab mrana pada
mantuka ring samudra”.
Artinya : Demikian pula halnya pada bulan panglong ke-13 sebelum Tilem Kasanga, hendaknya
dilakukan pesucian bagi pratima, yang menjadi lambang dari Sanghyang Tiga Wisesa, “ Pura Puseh,
Desa dan Dalem. Disamping itu segala arca-arca yang menjadi simbol lambang dari Ling¬gan para
Dewa-dewa yang di Parhyangan. Ini semua dikeluarkan dan disucikan di laut, serta diiringi oleh krama
desa semua yang tergabung dalam Desa Adat setempat. Pada kesempatan ini dilakukan pula pewhidi-
widanan, suguhan, aturan yang dihaturkan kepada Sanghyang Baruna guna memohon anugerah agar
musnahnya segala bentuk kesengsaraan dunia, dan semua penderitaan lebur di dalam lautan. Setelah
selesai penyucian di pantai maka kembali ditempatkan di Bale Agung dan diupacarai seba¬gaimana
mestinya. Setelah selesai diupacarai maka barulah dikembalikan ketempat masing-masing atau
disthanakan di parhyangan masing-masing. Apabila hal ini tidak dilakukan akan menyebabkan
kacaunya desa pakra¬man, dan akan mendapatkan gangguan dengan berbagai macam penderitaan
yang dala hal ini Sang Adikala berhak menghukum krama desa tersebut dan menyusahkan Sanghyang
Tiga Wisesa. Kalau kita bertanya mengapa hal ini terjadi ? Karena, Bhatara Wisnu (yang bersifat
memelihara), berubah wujud menjadi kala (dewa pemusnah), Bhatara Brahma (yang bersifat pencipta)
akan menciptakan Buchari Desa (mahluk yang berbisa), desti, teluh, tranjana (penyebab kesedihan
manusia), dan Bhatara Iswara (bersifat menyempurnakan), akan berwujud penyakit yang merajalela
dan mengerikan. Dan hal yang terakhir inilah yang paling membahayakan, karena dapat menyebabkan
dunia terbasmi apabila dikehendakinya. Demi¬kian halnya, wahai para pendeta anakku, janganlah
lupa terhadap hal-hal yang demikian, seperti ajaran-ajaran yang aku utarakan. Apabila semua itu dapat
terlaksana dengan baik maka kembalilah keselamatan dunia ini, termasuk pula keselamatan seluruh
mahluk yang ada di dunia ini. Dengan demikian, menjadi sempurna dan sucilah wibawa dunia ini,
sejahtera, suburlah segala tumbuh-tumbuhan, karena penyebab penyakit yang merajalela itu telah
dilebur kembali dalam lautan.

“Atta ring cetra masa, Tilem kunang, sasucening watek Dewata kabeh, hana ring telenging samudra,
met sarining amrta kamandalu, yogya mwang kabeh ngaturaken puja krti, ring sarwa dewata, kayeki
kramania. Catur daci ikang krsna paksa, agawyaken Bhuta Yajna, rikang catus pataning desa, nistania
pancasata, madyama pancasanak, utamania Tawur Agung Yamaraja, pinuja dening Sang Mahapandita,
Siwa Budha sakawu-kawu kunang sega mancawarna, 9 tanding, iwak sakta brumbun rinancana, saha
tabuh tok, arak, genahing acaru ring dengen, sambut Sang Bhutaraja mwang Sang Kalaraja. Mwang
balapan sasah 108 tanding iwaknia jejeron mentah, segehan agung 1. Sorenya gelarakena ikang Bhuta
Kala kabeh angunduraken sasah merana. Srana obor-obor, gni saprakpak, sembur masuwi, mantra
dening sarwa tatulak wisya, mwang panyengker Agung, iderin saumah dening gni ika, telas mangkana
ikang mwang sajalwistrinia, abyakala ing natar, ayabin sesayut pamyakala, lara malaradan prayasci¬ta.
Enjangnia anyepi mati geni ika tan wenang anyambut karya salwir¬nia, mwang agni-agni kunag, ri
saparaning genahnia, Gelarakna yoga semadi”.

Artinya : Tersebutlah menjelang sasih Kasanga (Maret), yang disebut “cetramasa” terutama pada bulan
mati (tilem), adalah hari untuk menyu¬cikan para Dewata semua, di laut guna mendapatkan hakekat
air yang suci yang memberikan kehidupan yang abadi. Karena itu seyoganyalah seluruh umat (Hindu)
menghaturkan puja bakti kehadapan para dewata, dengan tata cara sebagai berikut :
Pada panglong ping 14 sasih Kasanga, hendaknya melakukan upacara bhuta yajna (Pacaruan), di
perempatan Desa pakraman (desa adat). Adapun tingkatan-tingkatannya adalah : sekecil-
kecilnya/nista dengan caru Pancasata (5 ekor jenis ayam), tingkatan menengah/madya dengan
pancasanak (dasar 5 ekor jenis ayam ditambah itik bulu sikep sebagai ulu), sedangkan tingkatan
besar/utama, ialah dengan tawur agung (Panca Bali Krama), yang memakai Yamaraja. Bhuta Yajna
tersebut dipuja oleh Sang Mahapandita (Sulinggih Siwa, Budha). Dalam pekarangan rumah dilak¬ukan
upacara pasuguh-suguh, yang berbentuk segehan mancawarna, banyaknya sembilan tanding, dengan
ayam brumbun yang diolah, petabuh tuak dan arak. Adapun caru tersebut diupacarakan di dengen (di
muka pekarangan rumah), yang disuguhkan kepada Sang Bhutakala dan Sang Kalabala yang diberi
suguhan dengan segehan nasi sasah 108 tanding, berisi jejeron mentah, serta segehan agung satu
tanding. Pada saat menjelang sore hari (sandyakala) tawur tersebut dilaksanakan semuanya. Apabila
tawur itu selesai, barulah dilakukan pengrupukan yang bertu¬juan mengembalikan (somya) Bhutakala
serta membatalkan usahanya membuat marabahaya. Adapun alat lain yang diperlukan ialah obor
dengan membawa api seprakpak, sembur dengan mesuwi yang iantar dengan puja mantra penolak bala
(mara bahaya), mantra Panyengker Agung, dengan mengelilingi pekarangan rumah dengan arah
prsewya. Setelah selesai maka umat (Hindu) seluruhnya melakukan upacara abyaka¬la di tengah-
tengah pekarangan serta natab sesayut pamyakala, lara malaradan dan prayascita.
Kemudian pada keesokan harinya secara khusus dilakukan “penyepian” dengan melakukan Brata
Penyepian. Brata Penyepian yang merupakan upaya nyata untuk menguasai dan mengendalikan diri,
sebagai cermin kearifan serta mutu kemandirian umat (Hindu) yang terdiri dari :
amati geni (tidak menghidupkan api / lampu dan tidak boleh mengumbar/mengobarkan nafsu),
amati karya (tidak melakukan kegiatan / bekerja secara fisik melainkan tekun melakukan penyucian
rohani),
amati lelungan (tidak bepergian kemana-mana, melainkan senantiasa mulat sarisa/mawas diri di
rumah serta melakukan pemusatan pikiran, astiti bakti kehadapan Ida Hyang Widi Wasa dalam
berbagai prabawanya), amati lelanguan (tidak mengadakan hiburan / rekreasi atau bersenang-senang
lainnya).
Artinya umat Hindu diharapkan melakukan ajaran agamanya yang terpent¬ing yaitu : Tapa, Brata,
Yoga dan Semadi ; dengan mengadakan pemusa¬tan pikiran kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa. Dalam
keheningan hari raya Nyepi, umat Hindu berharap dapat membuka, mengembalikan kesadarannya
bukan saja dengan memperhitungkan segala perbuatan yang telah dilaku¬kan dalam setahun yang lalu,
tetapi yang sangat penting adalah mere¬nungkan Kemahakuasaan Hyang Widhi yang merupakan
kebesaran Jagad Raya ini. Pada hari raya Nyepi umat Hindu berharap dapat memasuki alam Sunyata,
alam yang sempurna nan hening dan heneng, yang juga sangat indah.
Dalam kekawin Dharma Sunya buah karya Danghyang Nirartha disuratkan : //ambek sang wiku siddha
tan pakahingan tamutuga ri kamurtining taya/tan linggar humeneng licin mamepekin bhuwana
sahananing jagat raya/norang lor kiduling kidul telas hane sira juga pamekas nirars-raya/kewat kewala
sunya nirbana lengong luput inangen-angen winarna ya //Artinya : bathin seorang maha pandita
adalah tidak terbatas lagi, beliau telah dapat menjangkau alam tertinggi/bhatinnya tidak terpencar lagi,
tenang, halur dan menyusupi seru sekalian alam/sebutan utara – selatan, telah tidak ada padanya, hal
itu disebutkan hakikat nirarsra¬ta/langgeng, berbadan sunya yang sempurna, indah, dan sangat sukar
memikirkan dan menggambarkannya //Pada bagian lain kekawin Dharma Sunya ini menyuratkan
bahwa bathin seorang mahayogi, mahamuni, atau mahakawi, artinya dia telah memasuki alam
Sunyata, adalah laksana samudera cemerlang tanpa noda, bebas dari ikatan dan telah menikmati sari-
sari keindahan. Ia bagaikan seo¬rang maha pandita yang nyata-nyata sebagai lingganya dunia,
bagaikan nyala api pemujaan hasil karyanya membawa terang dimana-mana. Dan banyak lagi sejumlah
karya sastra yang secara eksplisit menyebutkan Sunya seperti Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa dll.
Yang terpenting dalam kajian sastra tersebut dapat disimpulkan bahwa Sunya tersebut adalah
kesadaran ketika telah bersatu dengan Parama¬siwa. Sunya adalah kesadaran Paramasiwa, Kesadaran
ketika telah menikmati bhoga paramasiwa sehingga para pengawi terutama pada bagian pemujaan
kekawin ini Danghyang Nirartha memuja Paramasiwa sebagai Sang Hyang Sekalatma, berarti jiwa dari
segala yang hidup. Paramasiwa dilukiskan sebagai “Sang Saksat pinakesti ning manah aho”’ Ia yang tak
ubahnya sebagai isi alam pikiran suci, dan “Sang mawak ring tuturku”’ Ia yang mewujudkan alam
kesadaranku. Kepada “Ia” yang ada di dalam diri sang pengawi tersebut.
Demikian alam sunya adalah merupakan tujuan ideal umat Hindu. Tujuan ideal atau tujuan yang
tertinggi tersebut diyakini dapat tercapai apabila melalui latihan-latihan yang terus menerus. Itulah
sebabnya agama Hindu memberi kedudukan terpenting pada ajaran Tapa, Brata, Yoga dan Semadi,
serta melakukannya secara bersamaan pada hari Nyepi.
Penutup
Pada hari Ngembak Geni, umat Hindu memasuki lembaran kehidupan yang baru. Semangat baru
untuk mengarungi kehidupan baru yang lahir dari hasil perenungan di Hari Raya Nyepi. Secara
simbolis pada hari ini umat Hindu telah menemui Api (Agni) setelah menggosok dua potong kayu
(makusu) di hari Nyepi.
MENGHORMATI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI
LANDASAN STRATEGIS MEWUJUDKAN MAKNA
MENYAMA BRAYA SEBAGAI PENGUATAN JATI
DIRI BANGSA
Drs. Ida Bagus Gede Wiyana
Ketua FKAUB Bali

PENDAHULUAN
Dewasa ini, suatu krisis maha besar akibat perubahan demografi, teknologi, organisasi, ideologi,
ekologi den ekonomi yang tiada taranya sedang terjadi. Masalah ini diduga muncul sebagai akibat
dari perkembangan kebutuhan manusia dalam aspek jasmaniah yang jauh lebih cepat daripada
perkembangan kesadaran manusia tentang aspek spiritual.
Krisis yang muncul juga lebih disebabkan oleh arus globalisasi (dari masyarakat tradisi, modern,
post modern & global), dimana dunia semakin kecil dan saling mempengaruhi antar bangsa yang
tidak dapat dihindari dampak negatif yang juga muncul adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dan
orientrasi manusia, yakni selalu menganggap hidup ini buruk, selalu ingin menundukkan alam,
bekerja hanya untuk mendapatkan suatu kedudukan tertentu dan berkembangnya sifat-sifat
individualistik.
Perkermbangan masyarakat, baik karena sebab-sebab internal maupun ekstemal, terutama dalam
keterbukaan dengan peradaban global, akan makin terkomunikasi dengan berbagai sistem nilai.
Introduksi dan adopsi nilai-nilai baru merupakan fenomena kultural dalam upaya masyarakat
beradaptasi dengan perkembangan lingkungan. Memasuki masa reformasi, otonomi dan ekologi
budaya ini diasumsikan bahwa transformasi nilai akan mengalami percepatan yang makin tinggi,
sehingga peranan agama yang lebih nyata dalam proses pembangunan perlu ditingkatkan. Di pihak
lain, tantangan sosial yang begitu cepat dan banyak justru menciptakan medan yang luas untuk
menjalin suatu kerjasama antara berbagai agama, tidak saja karena tantangan itu tidak kuat lagi
dihadapi secara sendiri-sendiri, tetapi juga karena tantangan yang mengancam keselamatan manusia
merupakan tantangan yang senantiasa memanggil fungsi agama untuk berperan, secara langsung atau
tidak langsung, kita wujudkan konsep ideal menyama braya dalam pikiran, perkataan dan perilaku
(trikaya parisuda) sehari-hari. Sudah tidak masanya lagi kalau ada umat beragama tetap berpegang
pada pandangan sepihak, bahwa hanya agamanya yang benar, yang baik, dan agama diluar agamanya
itu salah. Pandangan seperti itu sudah harus ditinggalkan jauh¬jauh. Persoalan-persoalan
kemanusiaan akan tidak selesai dan tidak akan bisa dihadapi oleh satu kelompok agama atau satu
golongan agama. Sebab itu, sebagai umat manusia yang memiliki iman atas nilai-nilai keagamaan perlu
menghadapi segala persoalan yang sedang berlangsung, termasuk yang diakibatkan oleh kesalahan
menempatkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, di sinilah konsepsi menyama braya
menjadi sangat penting dan berarti bagi kehidupan umat manusia .

Umat manusia pada tahap evolusi hidupnya sekarang telah dihadapkan dengan suatu kompleks dilema.
IImu pengetahuan dan teknologi telah mendapatkan kemajuan-kemajuan yang luar biasa dan akan
terus berkembang. Iptek apabila dengan bijaksana memakainya telah membuktikan dapat mengatasi
penderitaan, kemiskinan, menghapuskan buta huruf, menghilangkan penyakit¬ penyakit, ketidak
merataan kesejahteraan, mengurangi pengangguran dan sebagainya, tetapi sebaliknya apabila kurang
bijaksana penggunaannya dapat menghancurkan umat manusia dan peradabannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai fenomena pluralistik,
kemajemukan hidup bermasyarakat dan berbangsa. Pluralitas warna kulit, pluralitas etnis / suku
bangsa, pluralitas bahasa, pluralitas kepercayaan agama, pluralitas latar belakang pendidikan dan
seterusnya.
Selama belum dicampuri berbagai macam pertimbangan dan kepentingan ideologis, ekonomi, sosial
politik dan lain-lain, umat manusia menjalani kehidupan yang bersifat pluralistik secara alamiah dan
wajar, tidak melihatnya sebagai ancaman yang serius.

Namun ketika manusia dengan berbagai kepentingannya mengangkat isu pluralitas pada puncak
kesadarannya, lalu menjadikannya sebagai ultimate concern maka realitas plural yang semula bersifat
wajar dan alamiah itu segera akan menjadi problematik.

Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang sangat plural dan kompleks. Bangsa kepulauan
yang hidup di gugusan ribuan pulau, terdiri atas lebih dari 200 etnis yang memiliki bahasa dan adat
istiadat yang berbeda. Belum lagi jika kita sebut percampuran berbagai etnis dari ras yang berbeda,
menurunkan pula etnis baru (campuran), sebagai akibat letak geografis Nusantara dan sejarah panjang
kedatangan para pedagang dan bangsa penjajah yang silih berganti.

Keragaman bangsa Indonesia dari segi agama cukup dominan, dimana enam agama besar : Islam,
Protestan, Katholik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dll, semua ada pengikutnya, disamping pengikut dari
berbagai kelompok yang tetap memeluk kepercayaan asli mereka seperti Kaharingan, Sakai, Dayak, dan
lain-lain. Keragaman yang demikian dapat menimbulkan potensi konflik jika kita tidak mampu
memenej dengan baik dan jika kita tidak memiliki kebijaksanaan yang luas dan mantap dalam
menumbuhkan dan membina kerukunan.

Untuk ini agama menghadapi tantangan-tantangan yang begitu besar dalam menghadapi perubahan-
perubahan yang terjadi di dunia ini. Bagi setiap agama persoalannya antara lain adalah bagaimana
menghubungkan dirinya sendiri dengan perubahan yang besar dan mendesak di zaman kita ini, yaitu
yang berupa usaha melenyapkan kemiskinan, kebodohan dan penghinaan. Perjuangan untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik di dunia ini, munculnya struktur masyarakat baru dan
datangnya perubahan yang berkesinambungan, dan bagaimana umat beragama dapat membangun
peradaban yang kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai menyama braya.
Sebagai kasus misalnya pulau Bali dengan pariwisatanya di satu sisi memang membawa dampak positif
terhadap beberapa aspek kehidupan, namun harus diakui pula bahwa industri ini ada membawa
dampak negatif. Setiap tahun diperkirakan sekitar seribu hektar lahan sawah di Bali mengalami
penyusutan. Di sisi lain alih fungsi tanah terutama sawah menjadi pemukiman atau fasilitas pariwisata,
temyata telah menimbulkan pergeseran budaya. Sebab tanah merupakan identitas dan jatidiri orang
Bali, sementara itu alih fungsi itu dengan sendirinya mengancam keharmonisan lingkungan subak
sebagai sistem irigasi andal yang kini mulai diakui secara luas. Tergerusnya subak bukan tidak
mungkin jika tidak ada satu strategi pengendalian di masa depan subak akan tinggal nama. Jika areal
habis beralih fungsi baik sebagai perumahan maupun aktivitas pariwisata. Lalu bagaimana dengan
pura yang ada di dalamnya? Kian sempitnya areal tanah menunjukkan kian terdesaknya subak, bahkan
subak mungkin bisa punah. Contoh ini misalnya menimpa subak Denpasar dan subak Sanglah yang
tidak lagi mempunyai areal atau pelemahan. Tanah adalah komponen paling inti dalam sistem subak,
jika komponen ini hilang akan menimbulkan perubahan. Sementara munculnya pemilik baru dengan
fungsi tanah baru akan menimbulkan masalah, munculnya distorsi pada pelemahan, muncul manusia
yang tidak partisipasitif, dan parhyangan pura (Pura Subak, Ulun Suwi, Bedugul dll) yang ada jadi
ngambang, bisa saja tidak ada pendukungnya lagi, sehingga muncul berbagai ketegangan yg berakibat
masyarakatnya disharmoni.

Dalam dimensi sosial ekonomi persaingan atau konflik agama biasanya berkisar pada sistem
organisasinya. Persaingan bukan pada tingkat missi agama itu sendiri, yakni iman dan kepercayaan
yang tadinya inklusif, melainkan organisasinya. Masalahnya menjadi bagaimana menambah dan
mempertahankan jumlah anggota serta bagaimana mendapatkan dana yang lebih banyak.
Persaingannya bukan lagi pada masalah peningkatan kualitas keimanan umatnya, tetapi menambah
kuantitas jumlah anggotanya yang eksklusif. Arah persaingan berubah dari mengejar kualitas ke
mengejar kuantitas. Organisasi itu bersifat badan atau fisik sedangkan missi agama bersifat rohaniah.
Banyak pertentangan antar agama sebenarnya didasarkan pada aspek organisasi itu yaitu usaha
pengikut yang pada akhirnya selalu berhubungan dengan usaha mencari dana. Maka terjadilah konflik
antar agama (Budiman, 1963: 184). Di samping itu konflik agama seringkali disebabkan karena faktor
ekonomi, kesenjangan kaya dan miskin yang terlalu lebar sehingga kelompok yang miskin kerapkali di
dalam usahanya menggalang kekuatan, kemudian memakai bendera agama. Oleh sebab itu maka
organisasi agama harus selalu ingat perspektif missionnya. Kalau tidak, dia akan menjadi destruktif.
Kenyataan bahwa agama merupakan suatu sumber motivasi sosial, yang dapat menempati posisi
penting dalam usaha pembangunan. Ini akan berarti bahwa agama tidak cukup untuk memahami
pengertian mengenai baik dan buruk, misalnya, namun harus mengerti pula latar belakang gejalanya
untuk kemudian dapat merumuskan tindakan pemecahan.

Kenyataan juga memperlihatkan bahwa agama merupakan suatu sistem yang total, dan menurut
Koentjaraningrat (1977), dengan mengutip pendapat dari Ourkheim (1915); E.B Tylor (1873); J.G.
Frazer (1960) ; RR. Marett (1909) menyatakan bahwa ada empat unsur pokok dalam agama, ialah
emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara, dan komuniti keagamaan, yang dapat kita
pakai sebagai konsep-konsep untuk menganalisis suatu agama dalam kenyataan kehidupan sosial mana
saja di dunia. Sebagai contoh misalnya hubungan antara komunitas keagamaan den sistem
kepercayaan dalam suatu .agama itu juga bersifat timbal balik. Terutama konsepsi Ourkheim mengenai
agama mementingkan hubungan ini karena pendiriannya bahwa adat istiadat dalam tiap kebudayaan
itu merupakan penjelmaan dari faham-faham kolektif atau representation collectives yang hidup dalam
masyarakat itu, sedangkan kesatuan masyarakat juga terpelihara oleh rasa kepribadian yang juga
dijelmakan oleh faham-faham kolektif.

Teori Durkheim juga mementingkan hubungan antara komuniti keagamaan dan emosi keagamaan, dan
malahan menganggap sumber dari emosi keagamaan itu sentlmen kemasyarakatan, sedangkan
sebaliknya suatu emosi keagamaan serupa itu tentu juga meninggalkan solidaritas kelompok.
Kerukunan adalah suatu sentimen kemasyarakatan (rasa bhakti, rasa hormat, rasa memiliki)
komunitas yang akan memunculkan emosi keagamaan, dan emosi keagamaan ini juga akan
meninggikan solidaritas antar umat beragama, sehingga pesatuan dan kesatuan akan tecapai.
Manusia dalam kehidupan selalu berusaha menanggapi lingkungan kehidupannya untuk kemudian
mengembangkan pola-pola hubungannya, baik dengan alam lingkungan itu sendiri maupun dengan
sesamanya yang terwujud dalam berbagai bentuk kebudayaan manusia yang ada di dunia. Dari pola-
pola hubungan tadi tercipta suatu bentuk kebudayaan yang khas yang kadang-kadang sangat
ditentukan oleh lingkungan alam kehidupan tadi dan bagaimana kemudian usaha manusia untuk
menanggapi lingkungan kehidupannya tersebut. Dalam suatu lingkungan kehidupan yang terbatas
maupun tidak terbatas manusia berusaha mengabstraksikan pengalamannya dan memasyarakatkan
cara yang paling baik dan tepat dalam mengatasi berbagai tantangan lingkungan yang ada, maka
terciptalah budaya-budaya daerah sesuai dengan tanggapan manusia terhadap lingkungan tadi, nilai
budaya menyama braya adalah sebuah model yang telah tumbuh dari lingkungan alam dan manusia di
Bali.

RUKUN = APLIKASI MENYAMA BRAYA DI BALI

Nyama braya adalah adalah sebuah konsep ideal yang bersumber dari sistem nilai budaya masyarakat
Bali. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat.
Hal ini disebabkan karena nilai-¬nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap
bemilai, berharga, penting dan benar yang mesti dilaksanakan dalam hidup di dunia ini, nilai-nilai
luhur itu diharapkan dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada
kehidupan para warga masyarakat Bali.

Dalam masyarakat Bali, baik yang berada di perkotaan yang kompleks maupun yang berada di desa dan
pegunungan dengan kehidupan yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain
terkait hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal
dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakat.
b. Arti Rukun Yang Sebenarnya
Kata rukun mengandung makna akrab, damai dan tidak berseteru, sehingga diibaratkan pada
kehidupan sepasang suami istri dalam rumah tangga yang rukun artinya harmonis dan damai.
Kata rukun itu sendiri berarti sendi dasar atau tiang pada sebuah bangunan yang merupakan
kualitas daripada kokohnya bangunan tersebut sebagai penyangga dalam menghadapi goncangan
(gempa bumi, badai dan seterusnya).
c. Kerukunan Yang Harmonis dan Serasi
Kata harmonis berarti selaras, serasi dan seirama, diibaratkan seperti tali dawai (senar) yang
selaras menimbulkan suara yang merdu, enak didengar dari hasil dawai yang berbeda ukurannya
serta ketegangan setelannya. Sangat sepadan dengan kata rukun dan kerukunan yang terbina
dalam pluralitas hidup karena kesadaran akan pentingnya menjaga keamanan dan kedamaian.
d. Hakikat Kerukunan Hidup
Makna yang paling esensial dari kerukunan hidup, adalah menjaga keharmonisan dalam
bermasyarakat yang multikultural dengan menumbuhkan sikap saling menghormati dan saling
melengkapi karena menyadari bahwa :
1. Manusia merupakan ciptaan Tuhan sebagai mahluk mulia (wasudewa kuthumbhakam = di
dunia kita semua bersaudara, amrestyah Putrah / Putra Sang Abadi)
2. Tidak ada manusia yang mutlak sempurna (tan hana wwong swasta nulus)
3. Manusia saling menghajatkan pertolongan (paras paros sarpanaya, salunglung sabhayantaka,
saling : asah, asih dan asuh)
4. Perbedaan / keragaman adalah keniscayaan (rwa bhineda)
5. Kesadaran beragama teruji ketika menyikapi pluralitas hidup (tat twam asi )
6. Menyikapi perbedaan sebagai hak azasi masing-masing (sarva santhu niramayah), selama
tidak melanggar hak orang lain (HAM).
Namun perlu diingat dan ditekankan di sini, bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai banyak
keinginan, pikiran yang kadang-kadang sangat susah dikendalikan, pikiran selalu berubah dari waktu
ke waktu, pikiran telah mengendalikan tubuh manusia, dia bekerja dengan tiada hentinya, merespon
segala situasi yang ada. Secara ideal kita menginginkan bahwa pikiran dan pengetahuan yang dimiliki
setiap manusia dilanjutkan dengan mengambil atau menentukan sikap dengan memilih dan
menentukan arah hidupnya sesuai dengan konteksnya. Di lain pihak manusia juga berdiri diantara
banyak variabel sesuai dengan peran-peran di dalam kehidupannya, pada saat tertentu dia berperan
sebagai umat beragama namun pada saat yang lain dia berperan sebagai warga adat, sebagai kepala
rumah tangga, sebagai guru, dosen dan sebagainya. Peran-peran yang bervariasi dan berubah-ubah ini
sepatutnya bisa dimainkan dengan sebaik-baiknnya untuk mencapai ketentraman dan kemajuan dalam
kehidupan. Secara ideal kita menginginkan bahwa nilai budaya yang telah dipilih dan dianut oleh
seseorang itu adalah sebuah kebenaran positif, mengarahkan sikap sese orang menjadi positif dan
berperliaku positif. Namun dalam kenyataan sehari-hari tidak jarang kita menemukan seseorang
berperan ganda dan berperan atau bertingkahlaku tidak sesuai dengan nilai, norma yang dianut, sering
juga kita temui delam kehidupan sosial bahwa seseorang itu mempunyai pengetahuan yang positif
namun dalam perilaku dan sikapnya menjadi negatif, dalam kehidupan riil kita sering menemukan ada
orang yang mempunyai pengetahuan agama demlkian tinggi dan banyak, namun tidak bisa bersikap
dengan positif dan senantiasa berpindah-pindahan kepercayaan dan keyakinan, demikian juga dalam
perilakunya jauh dari apa yang mereka sering katakan dan pikirkan, bahkah menyimpang sama sekali.
Tidaklah aneh apabila kita sering menemukan seseorang yang telah menjadi penceramah agama di
mana-mana dan menggurui tokoh-tokoh dan masyarakat desa adat sampai kepelosok desa namun
dalam perilakunya sehari-hari tidak sesual dengan apa yang mereka ceramahkan dan malah
menyimpang sama sekali. Hal-hal seperti adanya penyimpangan dan tidak kesesuaian ini sangat
dihindari oleh agama dan nilai budaya Hindu di Bali. Orang Bali menginginkan sesuatu yang holistik
antara pengetahuan, sikap, perkataan dan perilaku (Tri Kaya Parisudha). Orang yang pinter berpikir
dan berkata namun tidak cerdas dalam berbuat dan berperilaku akan ditinggalkan oleh masyarakat, hal
ini juga berlaku dalam konsep menyama braya, konsepsi ini harus dijalankan secara holistik,
reciprocity dan tidak sepotong-potong. Apabila konsep ini dijalankan secara sepihak dan sepotong¬-
sepotong disanalah kegagalan sebuah konsepsi.

BALI BERSAUDARA = MENYAMA (WASUDEWA KUTHUMBHAKAM)

Hendaknya kita menyadari bahwa manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dilingkungi oleh
komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Dalam sistem makrokosmos tersebut ia
merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam
semesta yang maha besar itu; dengan demikian, manusia pada hakikatnya tergantung dalam segala
aspek kehidupannya kepada sesamanya; karena itu ia selalu berusaha untuk sedapat mungkin
memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sarna rata sarna rasa; dan selalu
berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dan bersama dengan sesamanya
dalam komunity, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.
Beberapa konsep kunci yang dipegang teguh oleh umat Hindu di Bali sebagai pedoman di dalam
hubungan antara manusia dengan manusia antara lain konsep Tat Twam Asi, Yama Niyama Brata. Tat
Twam Asi yang berarti aku adalah engkau, engkau adalah aku. Apabila kita menyayangi diri sendiri,
mengasihi diri sendiri begitulah seharusnya kita berpikir, berkata dan berbuat kepada orang lain.
Apabila prinsip-prinsip ini bisa kita jalankan maka kedamaian hidup di dunia ini akan bisa
diwujudkan. Wujud nyata dari penerapan konsep itu dalam kehidupan sehari-hari muncullah beberapa
konsep operasional dalam kebudayaan Bali seperti ngoopin, mejenukkan, ngejot, mapitulung dan lain-
lain.
Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita berhadapan dengan berbagai watak dan variasi manusia.
Terhadap orang yang berbahagia kita diharapkan untuk selalu mengadakan hubungan baik dan turut
merasakan kebahagiaan itu, di lain pihak kita juga secara riil berhadapan dengan orang-orang yang
menderita, orang-orang yang kesedihan maka terhadap orang yang demikian kita diharapkan untuk
turut merasakan kesedihan dan merasakan penderitaan yang dirasakan oleh orang itu, terhadap orang-
orang yang bjaksana orang yang senantiasa menebarkan kebajikan maka kita diharapkan untuk
senantiasa menunjukkan rasa kepuasaan atas perilaku orang itu, dan terakhlr terhadap orang-orang
jahat , orang yang senantlasa mencela dan menyebarkan kejelekan orang lain di hadapan umum maka
sudah sepatutnya kita bersikap dan berperilaku acuh tak acuh terhadap orang jahat itu. Inilah beberapa
konsep kuncl dan telah menjadi orientasi nilai budaya masyarakat Bali di dalam hubungan antara
manusia dengan manusla. Orang Bali berpihak pada kemanunggalan dalam kebhinekaan dan selalu
ingin hldup berdampingan dalam kedamaian.

Dalam menghadapi globalisasi, dan bersamaaan dengan itu dlperlukan suatu etika global (global etic)
maka landasan etika seperti ahimsa (don’t kill) dan astenya (don’t steal) mendapat tempatnya yang
tepat. Dalam pertemuan parlemen agama-agama sedunia baru-baru ini di Amerika Serikat kedua
konsepsi itu yaitu Ahimsa (tidak menyakiti, tidak membunuh), Astenya (tidak mencuri, memanipulasi,
korupsi) dijadikan etika global. Ahimsa paramodharmah (tanpa kekerasan adalah bentuk tertinggi dari
agama) dan sarve santu niramayah (biarkan semuannya ada dalam keadaan selamat di dunia ini).
Nilai-nilai spiritual seperti nilai keindahan, kecintaan atau kasih sayang, kebenaran dan keadilan
menduduki tempat terpenting dalam seluruh struktur nilai yang ada. Mengentaskan kemiskinan
spiritual (awidya) adalah tujuan diturunkannya kitab suci.

KESIMPULAN

1. Nilai-nilai spiritual seperti kecintaan atau kasih sayang, kebenaran, keadilan, tidak menyakiti,
tidak membunuh, tidak memanipulasi menduduki tempat terpenting dalam seluruh struktur nilai
yang ada pada masyarakat Bali. Nilai¬-nilai material seperti metetulung, nguopin, majenukan,
ngajakin berfungsi mendukung dan menegakkan nilai-nilai spiritual yang berfungsi menata
mengarahkan perilaku Krama Bali di dalam segala aspek kehidupan, sehingga kerja sama dan
kerukunan dan menyama braya diantara para anggota yang berbeda agama dapat diwujudkan,
juga kerena adanya kesadaran masyarakat melihat tujuan yang sama dari masing-masing agama
mereka. Bali adalah sebuah keluarga besar, marilah kita wujudkan konsepsl menyama braya secara
holistik.
2. Agama haruslah dipahami sebagal hal yang totalitas dan teratur serta diwujudkan dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan. Apabila agama dilihat sebagai hal sepotong-sepotong disinilah kritik
terhadap agama timbul. Kalau kita dalam misi agama, pada intinya semua agama menyerukan
manusia untuk berbuat baik. Kalau semua agama menjalankan hal ini, tidak ada masalah dan tidak
akan terjadi konflik antar agama. Yang menjadi masalah adalah jika agama sudah menjadi amat
ambivalen. Nilai-nilai luhurnya sering terpuruk menjadi topeng bagi hipokrisi, menjadi alat
manipulasi psikologis yang menanamkan fanatisme sempit dan menyebar kebencian, serta tidak
jarang menjadi sumber legitimasi bagi pertumpahan darah.
3. Marilah kita wujudkan konsepsi menyama braya (wasudewa kuthumbhakam) dalam segala segi
kehidupan, orang Bali & masyarakat Indonesia pada hakikatnnya berpihak kepada kemanunggalan
dalam kebhinekaan, selalu mempertahankan evolusi damal dan hidup berdampingan. Dan
tidaklah aneh kalau Tuhanpun dianggap sebagai seorang warga Istimewa dari sebuah keluarga
ataupun comunity dalam masyarakat Bali yang beragama Hindu. Oleh sebab itu dalam setiap
pemeluk agama hendaklah senantiasa tertulis kata-kata: ”bantu bukan hantam”, ”berasimilasi
bukan menghancurkan”, ”Serasi dan damai dan bukan keonaran”.

DAFTAR BACAAN

Alamsjah,H. 1982. Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama Deparetmen Agama RIJakarta:
Wilayah kajian Agama di Indonesia Depatemen Agama R I.

Dharmika, Ida Bagus. 1996. Kerukunan Hidup Beragama: Studi Kasus di Subak Medewi, Jembrana
Bali. dalam Profil Kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama, Departeman Agama RI.

Dharmika, Ida Bagus. 2000. Kerukunan Antar Umat Beragama di desa Angantiga, Petang Badung.
Denpasar: Univ. Hindu Indonesia Denpasar.

Dharmika, Ida Bagus. 2005. Menyama Braya (Hakikat Hubungan Manusia Dengan Manusia Di Bali),
Denpasar : Musyawarah Majelis Agama dalam Forum Komunikasi Antar Umat Beragama Prop. Bali di
Hotel Oranje, 2005

Budiman, Arief. 1993. ”Dimensi Sosial Ekonomi dalam Konflik Antar Agama di Indonesia” dalam
Dialog Kritik & Identitas Agama. Yogyakarta: Intertidei.

Durkheim, Emile, 1985. The Elementary Form of the Religious Life A study In Religious Sociology.
Joseph Ward Swain (Trans.).

Gedong Bagoes Oka, 1994. ”Spiritualitas baru dalam Agama Hindu” dalam Spiritualitas Baru : Agama
dan Asplrasi Rakyat. Yogyakarta: Intertidei

Koentjaraningrat 1977. Beberapa pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Naim, Sahibi 1985. Kerukunan Antar Umat Beragama. Jakarta: Gunung Agung.
PEDOMAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM
PERSPEKTIF HINDU
Maklumat Raja Ashoka :

Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain sebaliknya,
agama orang lain hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu …

Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang, disamping
menguntungkan pula agama lain …

Dengan berbuat sebaliknya maka kita akan merugikan agama kita sendiri disamping merugikan
agama orang lain …

Oleh karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dengan mencela agama orang lain
semata-mata karena dorongan rasa bhakti kepada agamanya sendiri dengan berpikir :
“Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri” maka dengan berbuat demikian ia malah
amat merugikan agamanya sendiri …

Oleh karena itu, toleransi dan kerukunan beragamalah yang dianjurkan, dengan pengertian,
bahwa semua orang selain mendengarkan ajaran agamanya sendiri hendaknya bersedia juga
mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain …

Sebagai telah dimaklumi bersama bahwa bangsa Indonesia terdiri bermacam-macam suku bangsa,
beraneka ragam ras, bermacam-macam golongan, beragam budaya dan agama serta penganut
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berjenis-jenis pula banyaknya. Hal itu merupakan
faktor yang sangat rawan bagi tumbuhnya disintegrasi bangsa, apa-bila kita kurang waspada
menyikapinya akan timbul bentrokan antara sesama suku, agama, ras dan antar golongan sehingga
dapat menimbulkan perpecahan yang sangat merugikan persatuan dan kesatuan bangsa.

Berkenaan dengan itu marilah kita meningkatkan kewaspadaan kita bersama dengan cara lebih
menghayati dan makin mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah bangsa kita
yaitu Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia.
Di samping itu pula tidak kalah pentingnya agar semua pemeluk agama dan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meningkatkan Sradha dan Bhaktinya sehingga terwujud kualitas
iman sebagai landasan moral yang tangguh demi tetap tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa.
Agama merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar dan sangat sensitif sehingga
perlu mendapat kebebasan memilih dan memeluk agamanya masing-masing tanpa mendapat paksaan
dari siapapun. Interaksi antara masyarakat yang berbeda agama perlu dibina serta ditangani secara arif
dan bijaksana agar tidak menimbulkan rasa ketersinggungan pemeluk agama yang satu dengan yang
lainnya yang berbeda cara pelaksanaannya walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu mencapai
kebahagiaan di dunia dan kemoksaan di akhirat.

Salah satu cara untuk merukunkan sesama umat beragama adalah dengan jalan musyawarah secara
dialogis dan bertanggung jawab atas segala ucapan yang diikuti dengan tindakan yang konsekwen dan
konsisten guna menghindari timbulnya permasalahan yang menjadi penyebab retaknya persatuan dan
kesatuan bangsa. Demikian juga halnya senantiasa perlu dijaga dan dikembangkan kerjasama dan
saling hormat menghormati sesama umat beragama.

Lembaga yang bertugas untuk mengatur tata kehidupan beragama dalam sistem kehidupan berbangsa
dan bernegara tidak hanya diserahkan kepada instansi dan lembaga yang formal saja melainkan
seluruh masyarakat luas termasuk semua komponen bangsa harus bertanggung jawab untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap kerawanan-kerawanan yang timbul sebagai
akibat pergaulan sesama umat beragama.

Krisis kerukunan hidup beragama merupakan suatu keadaan yang rawan dan gawat serta mengancam
stabilitas nasional dan integritas bangsa sebagai akibat adanya konflik terbuka antara sesama umat
beragama yang belum menyadari betapa pentingnya kerukunan beragama secara inter dan antar umat
serta kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah sehingga mengakibatkan timbulnya
tindakan kekerasan dan kebrutalan yang sangat merugikan persatuan dan kesatuan bangsa yang pada
gilirannya nanti menimbulkan kerusuhan, kekacauan dan kehancuran.

Kerawanan akan timbul apabila tidak tercapainya keharmonisan dalam situasi dan kondisi lingkungan
umat beragama itu sendiri seperti misalnya pendirian tempat beribadah, penyiaran agama yang
berlebihan, perkawinan yang berbeda agama, perayaan hari besar keagamaan, pelecehan agama,
kegiatan aliran sempalan dan aspek non agama yang dapat turut mempengaruhi kegiatan ekonomi dan
sosial budaya.

Setiap aspek yang dapat menimbulkan kerawanan yang mengarah kepada perpecahan serta dapat
mengancam goyahnya persatuan dan kesatuan, perlu diantisipasi secara dini sehingga tetap tegaknya
persatuan dan kesatuan bangsa dengan jalan mewujudkan kerukunan sesama umat beragama sesuai
dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.

Kita semua telah menyadari betapa pentingnya penghayatan dan pengamalan Pancasila itu sendiri
sehingga kita memiliki mental dan moral yang kuat untuk bersama-sama menjaga keutuhan bangsa
Indonesia yang berbhineka tunggal ika mampu meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa,
melaksanakan demokrasi untuk mewujudkan masyarakat madani yang aman, damai, sejahtera dan
bahagia.
Dalam kaitannya dengan peningkatan ketaqwaan dan keimanan demi terwu¬judnya kerukunan hidup
beragama perlu lebih dihayati dan makin diamalkan lagi butir-butir kerukunan yang ada pada setiap
agama sesuai dengan caranya masing-masing demi menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

BUTIR-BUTIR KERUKUNAN

Dalam ajaran Hindu dikenal adanya butir-butir kerukunan sebagai berikut : Tri Hita Karana, Tri Kaya
Parisudha dan Tat Twam Asi.
Tri Hita Karana
Secara harfiah Tri Hita Karana dapat diartikan tiga penyebab kebahagiaan. (tri artinya tiga, hita artinya
kebahagiaan, dan karana artinya penyebab).

Unsur-unsur Tri Hita Karana adalah :


1. Parhyangan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang
Maha Esa.
2. Pawongan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara sesama manusia sehingga tercipta
keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
3. Palemahan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam
lingkungannya.
Secara keseluruhan Tri Hita Karana merupakan tiga unsur keseimbangan hubungan Manusia dengan
Tuhan, hubungan Manusia dengan Manusia dan hubungan Manusia dengan alam lingkungannya yang
dapat mendatangkan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.
Ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan penyebab yang satu dengan
yang lainnya berjalan secara bersamaan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Manusia senantiasa ingat akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa taqwa
kepada Tuhan, senantiasa mohon keselamatan dan senantiasa pula tidak lupa memohon ampun atas
segala kesalahan yang diperbuat baik kesalahan dalam berpikir, berkata maupun kesalahan dalam
perbuatan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain atau berhubungan sesama manusia dengan
mengembangkan sikap saling asah, saling asih dan saling asuh sehingga tercipta kerukunan hidup yang
selaras, serasi dan seimbang sesuai dengan sloka yang terdapat dalam Kekawin Ramayana : ….. Prihen
temen dharma dumeranang sarat, Saraga Sang Sadhu sireka tutana, Tan harta tan kama pidonya
tan yasa, Ya sakti Sang Sajjana dharma raksaka …. dst.

Manusia senantiasa berhubungan dengan alam lingkungannya dengan maksud untuk melestarikannya
demi tercapainya kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan
kebahagiaan yang kekal baik di dunia maupun di akhirat kemudian hari.
Merusak alam lingkungan sama artinya merusak kehidupan manusia itu sendiri karena segala
kebutuhan manusia terdapat dalam lingkungan alam itu sendiri, baik binatang maupun tumbuh-
tumbuhan dan segala sesuatu yang terpendam di dalam alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa.

Tri Kaya Parisudha

Secara arti kata Tri Kaya Parisudha dapat diterjemahkan prilaku yang suci. (tri artinya tiga, kaya
artinya prilaku, parisudha artinya semuanya suci).

Unsur-unsur Tri Kaya Parisudha adalah :


1. Manacika Parisudha, yaitu berpikir yang suci, baik dan benar.
2. Wacika Parisudha, yaitu berkata yang suci, baik dan benar.
3. Kayika Parisudha, yaitu berbuat yang suci, baik dan benar.
Dalam ajaran Agama Hindu, Tri Kaya Parisudha merupakan suatu etika sopan santun dan budi pekerti
yang luhur yang harus dilaksanakan dalam kehidupan nyata sehari-hari untuk menghindari adanya
rasa kurang menghormati harkat dan martabat manusia yang dapat menimbulkan kemarahan dan rasa
dendam yang berkepanjangan di antara sesama manu¬sia. Oleh karena itu perlu diperhatikan dan
dihayati hal-hal yang sebagai berikut.

Manusia hendaknya selalu berpikir yang suci, baik dan benar yang merupakan langkah awal untuk
melangkah lebih lanjut. Kesalahan dalam berpikir walaupun tidak dilanjutkan dengan perkataan dan
perbuatan sudah merupakan suatu pelanggaran dan menghasilkan hal yang tidak baik sebagai terdapat
dalam ungkapan “Riastu riangen-angen maphala juga ika”.
Manusia hendaknya selalu berkata yang suci, baik dan benar agar tidak menyinggung perasaan orang
lain yang dapat menimbulkan kemarahan dan rasa sakit hati yang mengakibatkan permusuhan di
antara sesama manusia. Oleh karena itu setiap manusia hendaknya selalu berupaya agar dapat berkata
yang baik sehingga enak didengar yang dapat menimbulkan rasa simpati setiap manusia dalam
berinteraksi. Rasa simpati manusia dapat mewujudkan kerukunan dalam kehidupan.
Manusia hendaknya senantiasa dapat berbuat dan bertingkah laku yang suci, baik dan benar sehingga
tidak merugikan orang lain bahkan perbuatan itu selalu dapat menyenangkan orang lain dan
bermanfaat bagi kehidupan manusia yang merupakan kebajikan dapat meringankan penderitaan
sesama manusia. Dalam ungkapan Sarasamuscaya manusia hendaknya dapat berbuat dan bertingkah
laku untuk menyenangkan orang lain (Angawe sukaning wong len) sehingga akan terwujud kerukunan
dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam hukum karmaphala bahwa segala perbuatan yang baik akan mendapatkan imbalan atau hasil
yang baik pula sesuai dengan ungkapan : “Ala ulah ala ketemu, ayu prakirti ayu kinasih”. Sebagai
manusia yang merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna yang memiliki tri pramana yaitu
bayu, sabda dan idep atau pikiran yang suci, baik dan benar. Di samping itu manusia dalam berpikir
yang positif selalu mendasarkan pikirannya kepada “Catur Paramita” yaitu Maitri,
mengembangkan rasa kasih sayang. Mudhita, membuat orang simpati. Karuna, suka menolong.
Dan Upeksa, mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.

Tat Twam Asi

Apabila diterjemahkan secara artikulasi Tat Twam Asi berarti Itu adalah Kamu atau Kamu adalah Itu.
Dalam pergaulan hidup sehari-hari hendaknya manusia senantiasa berpedoman kepada Tat Twam Asi,
sehingga tidak mudah melaksanakan perbuatan yang dapat menyinggung perasaan bahkan dapat
menyakiti hati orang lain dan pada akhirnya menimbulkan rasa iri hati dan benci.
Tat Twam Asi menjurus kepada Tepa Selira atau Tenggang Rasa yang dapat menuntun sikap dan
prilaku manusia senantiasa tidak melaksanakan perbuatan yang dapat menimbulkan sakit hati
sehingga terjadi perpecahan dan permusuhan.

Oleh karena itu janganlah suka menyakiti hati orang lain karena pada hakikatnya apa yang dirasakan
oleh orang lain seyogyanya kita rasakan juga. Jikalau kita memukul orang akan dirasakan sakit lalu
bagaimana kalau kita dipukul orang lain pasti akan sakit pula. Marilah kita membiasakan diri untuk
senantiasa menaruh rasa simpati kepada orang lain sehingga tidak pernah terlintas dalam hati untuk
berbuat yang dapat menyakiti orang lain, vasudeva kuthumbhakam : kita semua bersaudara.
“Salahkanlah diri sendiri terlebih dahulu sebelum menyalahkan orang”. “Senantiasalah mengoreksi diri
sebelum mengoreksi orang lain”.

Untuk mendapat gambaran lebih lanjut di bawah ini akan disampaikan beberapa sloka Kerukunan
yang terdapat dalam Kitab Suci Agama Hindu sebagai berikut :
 Sam Gacchadhvan Sam Vadadhvam, Sam Vo Manamsi Janatam, Deva Bhagam Yatha Purvo,
Sanjanano Upasate (Rg Veda X.191.2)
 Berkumpul-kumpullah, bermusyawarahlah, Satu sama lain satukanlah semua
pikiranmu, Dewa pada jaman dulu, Senantiasa dapat bersatu.
 Samani Va Akutih, Samana Hrdayani Vah, Samana Astu Vo Mano, Yatha Va Susahasati, (Rg
Veda X.191.4)
 Samalah hendaknya tujuanmu, Samalah hendaknya hatimu, Samalah hendaknya
pikiranmu, Semoga semua hidup bahagia bersama.
 Sarve Mandati Yasa Sagatena, Sabhasahena Sakhya Sakhyayah, Kilbisah Prt Pitusanir
Hyosamaram, Hito Bhavati Vajinaya, (Rg Veda X.17.10)
 Semua teman senang hati dalam persahabatan yang dating, Dengan kejayaan
setelah berhasil dalam permusyawaratan, Tuhan sesungguhnya pelindung kita dari kejahatan,
Yang memberi makan, bersiap baik untuk pemulihan.
 Yadi Na Syurmanusyesu, Ksaminah Prtivismah, Na Syat Sakhyam Manusyanam, Krodhamulahi
Vigrahah, (Sarasamuscaya, 94)
 Apabila tidak ada orang yang ksamawan, sabar, tahan uji, Bagaikan Ibu Pertiwi
niscaya tidak ada kepastian persahabatan, Melainkanjiwa murka menyelubungi sekalian
makhluk. Karenanya pasti bertengkar satu sama lainnya.
 Japye Nalva Samsidhyed, Brahmano Natra Samcayah, Kuryan Anyan Na Va Kuryan, Maitro
Brahmana Ncyate, (Manawa Dharmasastra II, 87)
 Tak dapat disangkal lagi seorang yang utama, Dapat mencapai tujuan yang tertinggi
dengan mengucapkan mantra, Apakah ia melakukan yadnya melalui orang lain atau melalai-
kannya, Ia yang bersahabat dengan semua makhluk dinyatakan manusia utama.
 Ye Yatha Mam Prapadyante, Tams Tathal Va Bhajamy Aham, Mama Vartma Nuvartante,
Manusyah Partha Arvasah, (Bhagawadgita, IV.II)
 Jalan manapun ditempuh manusia, ke arah-Ku semuanya Kuterima, Dari mana-
mana semua mereka
 Devan Bhavayana Nana, Te Deva Bhavayantu Vah, Parasparam Bhavayantah, Suyah Param
Avapsyatha, (Bhagawadgita, III,II)
 Dengan ini pujalah dewata, Semoga dewata memberkati engkau, Dengan saling
menghormati begini, Engkau mencapai kebajikan tertinggi
Dari beberapa kutipan yang terdapat dalam Kitab Suci tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
semua manusia mendambakan adanya penyesuaian pikiran dan tujuan untuk mencapai hidup bersama
yang bahagia. Hal tersebut sekaligus untuk mengantisipasi sikap-sikap yang negatif yang sering muncul
dalam masyarakat kita yang majemuk seperti misalnya sikap fanatisme buta yaitu sikap yang meyakini
kebenaran mutlak yang ada pada agama yang dipeluknya. Menurutnya hanya ada satu agama yang
benar yaitu agamanya sendiri dan tidak ada agama lain. Tuhan yang Satu (Esa) hanya menurunkan
satu agama saja dan tidak mungkin menurunkan agama yang berbeda. Hanya ada satu Kitab Suci yang
berdasarkan wahyu, sedangkan Kitab Suci yang lain adalah buatan manusia atau wahyu yang
diselewengkan.
Penganut sikap fanatisme buta ini menganggap rendah agama lain namun sensitif terhadap agamanya
sendiri. Sikap semacam ini banyak menimbulkan ketegangan, pertengkaran dan permusuhan antar
agama.
Munculnya sikap semacam itu semata-mata muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang sempit
terhadap agamanya sendiri dan tidak mengetahui keberadaan agama yang lain.
Di samping sikap fanatisme buta tersebut perlu dipahami sikap yang toleransi yang dapat mewujudkan
rasa kerukunan umat beragama. Sikap toleransi adalah sikap menghormati agama yang dipeluknya
tetapi tidak merendahkan agama lain. Sikap semacam ini muncul apabila kita memiliki pengetahuan
yang baik tentang agama kita dan juga agama orang lain.
Ada beberapa saran yang perlu diangkat dalam tulisan ini :
1. Penghayatan dan pengamalan agama perlu dilaksanakan secara optimal tidak hanya sebatas
ibadah ritual saja tetapi menyentuh aktualisasi kehidupan nyata sehari-hari.
2. Agar pemerintah memberikan perhatian yang lebih serius kepada Pemuka-pemuka Agama dan
lembaga-lembaga keagamaan.
3. Perlu difungsikan wadah musyawarah umat beragama dengan cara mengadakan dialog untuk lebih
mendekatkan perasaan masing-masing dalam rangka silaturahmi.
Demikian tulisan ini disajikan dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi kita sekalian.
Nama
: Drs. Ida Bagus Gede Wiyana

Tempat/Tgl. Lahir : Denpasar, 1 Agustus 1951


Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Hindu
Status : Menikah
Istri : Dra. Ida Ayu Ratna Wesnawati, M.M.
Anak : 1. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, S.H., M.H.
Anak : 2. Ida Bagus Bayu Brahmantya, S.H.
Alamat : Jl. Danau Beratan No. 9 Sanur
E-Mail : wiyanadwijendra@gmail.com
E-Mail : wiyana_dwijendra@yahoo.co.id

PE N D I D I KAN :

PENGALAMAN KERJA :
1. 1971 – 1975, Salesman Astra Motor Sales Denpasar (AUTO 2000)
2. 1980 – sekarang, Direktur CV. Graha Cipta (Konsultan Teknik Arsitektur)
3. 1988 – sekarang, Direktur PT. Upada Sastra (Penerbit Buku)
4. 2004 – sekarang, Ketua Yayasan Pendidikan Dwijendra Pusat Denpasar
(PAUD, TK, SD, SMP, SMA, SMK, UNIVERSITAS DWIJENDRA).

PENGALAMAN ORGANISASI :
1. 1985 – 1995, Pengurus PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Kota Denpasar.
2. 1988 – 1998, Ketua Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO BALI).
3. 1990 – 2005, Pengurus PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Provinsi Bali.
4. 1992 – sekarang, Ketua Dewan Kehormatan INKINDO ( Ikatan Nasional Konsultan Indonesia )
Provinsi Bali.
5. 1993 – 1998, Ketua Bidang Pembinaan Daerah INKINDO ( Ikatan Nasional Konsultan Indonesia
)
Pusat Jakarta.
6. 1998 – 2002, Ketua Perwakilan IKAPI ( Ikatan Penerbit Indonesia ) Provinsi Bali dan NTB.
7. 1999 – sekarang, Ketua FKUB ( Forum Kerukunan Umat Beragama ) Provinsi Bali.
8. 1999 – sekarang, Ketua FKUB ( Forum Kerukunan Umat Beragama ) Kota Denpasar.
9. 2002 – sekarang, Ketua Dewan Pertimbangan IKAPI ( Ikatan Penerbit Indonesia ) Provinsi Bali.
10. 2003 – sekarang, Pengurus Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali.
11. 2004 – sekarang, Keanggotaan Kepolisian Khusus (Kehormatan) dari Kepolisian RI Daerah
Bali.
12. 2012 – 2016, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Prov. Bali.

Denpasar, 22 Pebruari 2010


Yang Membuat,

Drs. Ida Bagus Gede Wiyana

Anda mungkin juga menyukai