Anda di halaman 1dari 3

FUNGSI BANTEN

Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban.

Sedangkan banten yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan
yang letaknya dijaba.

Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut.

Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula
Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam
Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman
sebagai sumber kehidupan.

Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha
Butha ini adalah banten yang suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan
sebagainya.

Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk
pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng,
Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya.

Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina,
Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman.

Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman
Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat
Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami.

Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat
Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah
Banten.

Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten
yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina Tapakan (Linggih), Banten
Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya.
Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam
semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai alam beserta isinya.

Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana
pada bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu
dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang
alam semesta ini adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.**

Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut sebagai
danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam
semesta ) Panca Maha Bhuta.

Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:

Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus
(kematian dalam keluarga, melanggar adat dll)

Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur
kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga
memerlukan caru jenis madya

Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia
Biasanya ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai pelengkap panca sata, urutan penempatan
caru (madya) panca sata adalah sebagai berikut:
ayam putih timur
ayam merah/biing selatan
ayam putih siungan barat
ayam hitam/selem utara
ayam brumbun tengah

Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa
Sanskrit artinya ‘keseimbangan/keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru adalah
korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.

‘Keseimbangan/keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Trihita Karana’ yakni


keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), sesama
manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).

Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu, misalnya :
pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang,
dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang
merusak palemahan, patut diadakan pecaruan.Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ?

Binatang terutama adalah binatang peliharaan/kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru
manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang
peliharaan. 

Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan

Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta
Kala) supaya tidak mengganggu.
Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di
gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Bahan utamanya adalah nasi berwarna beberapa kepal.
Yang umum segehan: putih dan kuning.

Dalam Lontar Carcaning Caru, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima
jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan
campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-
masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya,
sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk
kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau
tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.

Caru
Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud dalam lontar Carcaning Caru tersebut mulai
digolongkan sebagai caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam
semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan
pada tingkatan menengah (madya).
Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan
proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.

Tawur
Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—
sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar (utama)
yang diselenggarakan pada pura-pura besar.
Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta).
Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000
tahun untuk marebu bumi.
Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-
upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali.
Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi,
maupun negara.
Kembali terusik ingin tahu apakah yang dimaksud caru, segehan dan tawur dalam suatu
upacara…….sekali lagi saya mengetes kesaktian “bli google” dan melalui sebuah blog, rasa ingin
tahu saya terjawab.

Pengertian Banten Caru, Banten Caru, BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti sebagai
simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka
Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga
hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu: “Pinaka Raganta Tuwi” artinya banten
itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. “Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara” artinya
banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan “Pinaka Andha
Bhuvana” artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana Agung.
Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh
manusia seperti Ulu atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku
(Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki fungsi sebagai
ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun Sanggar Tawang.

Anda mungkin juga menyukai