Anda di halaman 1dari 33

Agama hindu

A. UPAWEDA
Pengertian Upaveda
Upaveda adalah kitab-kita yang menunjang pemahaman Veda, disebut juga sebagai Veda
tambahan sebagai bagian yang menjelaskan weda dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti.

2. Bagian-bagian Upaveda:
• ITIHASA
• PURANA
• ARTHASASTRA
• AYURWEDA

• GANDHARWA WEDA
• KAMA SASTRA
• AGAMA

3. Penjelasan isi masing-masing bagian kitab Upaveda


1. ITIHASA (By Bhagawan Wyasa)
– Adalah sebuah epos yg menceritakan sejarah perkembangan raja-2 dan kerajaan Hindu di
masa lampau
– Terdiri dari Ramayana dan Mahabharata

2. PURANA
– Tentang berbagai macam cerita dan keterangan kebiasaan-2 yg berlaku pd jaman dahulu kala
(kuno)

3. ARTHA SASTRA
– Tentang pokok-2 pemikiran bidang ilmu politik
– Nitisastra / Rajadharma (dandaniti)
– Ditulis B. Brhaspati Ú MR. Kautilya

4. AYUR WEDA
– Tentang ilmu kedokteran atau kesehatan baik rohani maupun jasmani

5. GANDHARWA WEDA
– Tentang berbagai aspek ilmu seni

6. KAMASASTRA
– Tentang segala sesuatu yg berhubungan dengan asmara, seni atau rasa indah
7. AGAMA
– Ritual upacara agama dan tatacara keagamaan.
B. HARI KEAGAMAAN
Pengertian Hari Suci
Hari suci adalah hari yang istimewa , karena pada hari-hari suci tersebut para dewa beyoga
untuk menyucikan alam semesta berupa isinya . Beryadnya pada saat ini nilainya sangat baik
dibandingkan hari biasanya dan hari suci sering disebut dengan hari raya karena pada saat ini
diperingati dan dirayakan dengan khusus dan istmewa . Umat hindu sering menyebut dengan “
Rahinan “

Rangkaian pelak sanaan hari suci keagamaan hindu


Secara garis besar ,pedoman atau patokan yang dipakai untuk memeringati hari raya keagamaan
bagi umat hindu dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1. Berdasarkan atas Perhitungan Sasih ( Pranata Masa ) , seperti hari raya Nyepi dan hari raya
Siwa Latri .
2. Berdasarkan Pawukon (wuku) , yaitu hari raya Galungan , Kuningan , Saraswati dan
Pagerwesi .

Hari raya yang berdasarkan pawukon dibedakan menjadi empat yaitu :


1. Budha kliwon
2. Tumpek
3. Budha wage / Budha kliwon
4. Anggara kasih
Nama – nama dalam satu saka :
1. Srawana / Kasa = Juli
2. Badrawada / Karo = Agustus
3. Asuji / Katiga = September
4. Kartika / Kapat = Oktober
5. Margasira / Kalima = November
6. Posya / Kanem = Desember
7. Magha / Kapitu = Januari
8. Phalguna / Kawulu = Februari
9. Caitra / Kasanga = Maret
10. Waisaka / Kadasa = April
11. Jyesta / Jyesta = Mei
12. Ashada / Sada = Juni
Rangkaian pelaksanaan hari raya berdasarkan perhitungan sasih

1. Hari Purnama ( bulan penuh )


Adalah hari suci yang datangnya setiap satu bulan sekali , untuk memohon kejernihan pikiran
serta menghormati Sang Hyang Ratih .
2. Hari Tilem ( bulan mati )
Adalah hari suci yang datangnya setiap satu bulan sekali , untuk memohon keselamatan serta
menghormati Sang Hyang Surya yang sedang melakukan yoga .
3. Purnama Kapat ( Purnama kartika )
Diyakini sebagai sasih/bulan yang penuh berkah yang ditandai dengan turunnya hujan . pada
hari suci untuk upacara Yadnya atau melakukan Punia . Pada saat ini beryogalah Sang Hyang
Parameswara atau Sang Hyang Purusangkara.
4. Hari Raya Siwa Ratri
Siwa ratri ,berasal dari kata Siwa dan Ratri . Siwa adalah Sang Hyang Siwa , sedangkan Ratri
berarti malam . Jadi Siwa ratri adalah malam Siwa karena pada saat ini Dewa Siwa beryoga .
Siwa ratri dilaksanakan setiap Purwaning Tilem Sasih Kapitu
( sehari sebelum tilem sasih kapitu / Palguna ). Diceritakan ada seorang pemburu yang bernama
lubdaka yang tinggal disebuah desa terpencil . setiap hari pekerjaannya berburu binatang. Setiap
hari pula ia melakukan Himsa Karma
( Menyakiti dan membunuh binatang ). Pada suatu hari ia melakukuan perburuan ke tengah
hutan,namun ia tak mendapatkan seekor binatang. Lubdaka tidak putus asa dan terus
menyelundup ke tengah hutan hingga sore hari. Karena hari semakin gelap ia memutuskan
untuk menginap di hutan tersebut. Agar tidak dimakan atau diganggu binatang buas ia naik
keatas pohon BILA yang kebetulan tumbuh dipinggir kolam yang dahannya menjulur di atas
kolam tersebut. Untuk mengghilangkan rasa kantuk ia memetik satu persatu daun pohon itu dan
dijatuhkan ke dalam kolam
( 108 daun ). Tanpa disadari munjulah sebuah lingga di tengah kolam tersebut sebagai tempat
berstananya Dewa Siwa melaksanakan tapa,brata, yoga, semedhi.
Perbuatan Lubdaka telah diketahui oleh Dewa Siwa. Karena ia telah mengikuti tapa, yoga,
semadhinya Dewa Siwa., maka Dewa Siwa menghadihainya pengampunan dosa,kelak jika ia
meninggal rohnya akan diterima di alam Siwa
( Siwa Loka ).
Keesokan harinya ia pulang kerumah tanpa membawa hewan buronan satu pun dan apa
yan dialaminya di hutan ia ceritakan kepada istri dan sanak keluarganya. Hari berganti hari,
tahun berganti tahun terlewati akhirnya ia jatuh sakit dan meninggal dunia. Rohnya Lubdaka
kemudian disambut oleh Cikra Bala Dewa Yamadipati, untuk disiksa di neraka sesuai dengan
perbuuatanya setiap hari membunuh hewan dan penuh dosa. Tak lama kemudian datanglah
prajurit Dewa Siwa untuk menjemput rohnya Lubdaka untuk diantar menghadap dewa Siwa di
Siwa Loka. Maka terjadilah perdebatan antara Cikra Bala Dewa Yamadipati dengan prajurit Dewa
Siwa. Akhirnya setelah dijelaskan oleh Dewa Siwa karma baiknya Lubdaka pada waktu Siwa Ratri
melaksanakan tapa, brata, yoga, semadhi maka Cikra Bala Dewa Yamadipati mengalah,
kemudian rohnya diantar ke Siwa Loka ( sorga ) oleh prajurit dewa Siwa. Demikianlah riwayat
Lubdaka walaupun sering berbuat dosa, namun kalau tekun melakukan tapa, yoga, brata dan
semadhi terutama pada saat Siwa Ratri maka dosa-dosanya dapat dilebur oleh Dewa Siwa.
5. Hari Raya Nyepi
Adalah hari raya untuk menyambut tahun baru Saka.
Rangkaian upacara untuk Hari Raya Nyepi :
a. Panglong 13 Sasih Kasanga
Umat Hindu melaksanakan upaangcara Melasti / Mekiis ke sumber mata air (laut), yang
bertujuan untuk “ ngayudang malaning gumi, angamet tirtha amertha “ . artinya menghayutkan
segala kotoran buana agung dan buana alit kemudia memohon tirtha amertha ( tirtha
kehidupan )
b. Tilem Sasih Kasanga
Melaksanakan Budha yadnya mulai dari tingkat keluarga sampai tingkat propinsi. Setelah
melaksanakan upacara tersebut sore harinya ( sandhikala ) diadakan upacara ngerupuk dan
mengarak ogoh-ogoh sebagai simbois wujud Bhuta Yadnya. Mengarak ogoh-ogoh bertujuan
untuk nyomnya Bhuta Kala agar sifat-sifatny yang negatif berubah menjadi dewa agar
membantu menylamatkanumat manusia.
c. Tanggal Apisan ( tanggal satu ) sasih kadasa
Adalah tahun baru Saka ( hari suci nyepi ). Umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian
yaitu :
1. Amati Geni artinya tiidak menyalakan api
2. Amati Karya artinya tidak bekerja
3. Amati Lelungan artinya tidak berpergian
4. Amati Lelanguan artinya tidak mengumbar nafsu ( tidak mendengarkan radio, tape,TV,dan
kegiatan yang menyenangkan lainnya )
d. Ngembak Geni
Sehari setelah hari suci Nyepi,umat Hindu saling kunjung-mengunjungi sanak keluarga
e. Dharma Santi
Setelah hari ngembak geni. Mengenai pelaksanaan Dharma Santi ini disesuaikan dengan
kemempuan dan desa,kala,patra( tempat,waktu dan keadaan )

Rangkaian pelaksanaan hari raya berdasarkan perhitungan Wuku


1. Hari Raya Pagerwesi
Pagerwesi adalah hari raya untuk memuja Sang Hyang Widhi dengan Prabhawanya sebagai Sang
Hyang Pramesti Guru yang sedang beryoga disertai oleh para dewa dan pitara demi
kesejahteraan dunia dengan segala isinya dan demi kesentosaan kehidupan semua makhluk.

Rangkaian pelaksanaan Hari Raya Pagerwesi :


a. Soma Ribek
Hari pemujaan Sang Hyang Sri Amrtha pada tempt beras dan tempat menyimpan padi.
Dilaksanakan pada Soma Pon Wuku Sinta. Pada saat ini juga memuja Sang Hyang Tri Pramana
( tiga unsur yang memberi kekuatan ) yaitu : Dewi Sri,Dewa Sedana dan Dewi Saraswat. Bratha
hari ini tidak boleh menjual beras , tidak boleh menumbuk padi.

b. Sabuh Mas
Dilaksnakan pada setiap Anggara Wage Wuku Sinta. Pada saat ini hari pesucian Sang Hyang
Mahadewa dengan melimpahkan anugrahnya pada “Raja Brana”( harta benda ) seperti :
emas,perak dan sebagainya
c. Pagerwesi
Dilaksanakan setiap Buda Kliwon Sinta. Menghaturkan bakti kehadapan Sang Hyang Pramesti
Guru di sanggah kemimitan /kemulan yang disertai dengan korban untuk Sang Panca Maha
Bhuta agar Memberi keselamatan manusia
2. Hari Raya Tumpek Landep ( Untuk Senjata )
Dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon Wuku Landep,hari pemujaan Sang Hyang Pasupati ( Sang
Hyang Siwa ),yaitu Dewa penguasa senjata. Dilakukan upacara pemujaan di “prapen”( tempat
membuat senjata,sarana tranportasi). Tujuan
upacara ini adalah agar semua alat-alat tersebut bertuah dan berfungsi sebagaimana mestinya.
3. Hari Raya Galungan dan Kuningan
Hari raya Galungan adalah hari raya untuk memperingati kemenangan dharma melawan
adharma.
Rangkaian pelaksanaan Hari Raya Galungan :
a. Tumpek Wariga (tubuh-tumbuhan)
Dilaksnakan pada Saniscara Kliwon Wuku Wariga. Disebut pula hari Tumpek Uduh, Tumpek
Pengarah, Tumpek Pengatag, Tumpek Bubuh. Upacara selamatan kepada Sang Hyang Sangkara,
sebagai dewa penguasa tumbuh-tumbuhan agar menghasilkan hasil yang melimpah untuk bekal
persiapan hari raya Galungan. Mengaturkan sesajen banten yang berisi bubur sumsum sebagai
lambang kesuburan.
b. Sugihan Jawa
Dilaksanakan setiap Wraspati Wage Wuku Sungsang. Sugihan Jawa adalah hari pembersihan
bhuana agung( alam Semesta )upacar selamatan kepada Sang Hyang Dharma untuk memohon
kesucian alam semesta dan kesucian Bhuana Alit ( umat manusia ) Agar terhindar dari
kesengsaraan.
c. Sugihan Bali
Dilaksanankan setiap Sukra Kliwon Wuku Sungsang. Pada saat ini melakukan upacara mohon
tirtha pembersihan pada Sang Maha Muni ( orang suci ) untuk membersihkan segala papa
pataka yang ada pada diri kita sendiri.
d. Hari Penyekeban
Dilaksanakan pada Redite Paing Wuku Galungan. Pada hari ini nyekeb ( memeram, pisang atau
tape untuk persiapan hari raya Galungan ), sebagai simbol pengekangan diri agar tidak tergoda
Sang Bhuta Galungan. Untuk mengganggu ketentraman bhatin manusia Sang Bhuta Galungan
turun kedunia

e. Hari Penyajaan
Dilaksanakan setiap Soma Pon Wuku Dungulan. Pada hari ini umat hindu membuat jaja
uli,begina dan lainnya. Kata jaja berarti saja yang mengandung maksud sungguh-sungguh akan
melaksanakan hari raya Galungan. Hari ini turun lagi Sang Bhuta Dungulan oleh karena itu Sang
Bhuta Kala bertambah lagi seorang, maka dari itu kita harus lebih waspada lagi.
f. Hari Penampahan Galungan
Dilaksanakan setiap Anggara Wage Wuku Dungulan. Pada hari ini melakukan penyemblihan
ternak atau binatang lainya untuk keperluan Yadnya dan keperluan pesta menyambut hari raya
Galungan. Sang Bhuta Amangkurat turun dengan tujuan menggoda umat manusia agar batal
melaksanakan hari raya Galungan, sehinga godaan semakin meningkat karena Sang Bhuta Kala
yang turun sudah tiga orang. Oleh karena itu kita harus betul-betul menjungjung tinggi dharma
niscaya kita akan menang melawan adharma. Penampahan berasal dari kata “ tampa “ yng
berarti junjung, maksudnya adalah kalau dharma sudah dijunjung maka adharma akan kalah, hal
ini disimbulkan dengan pembantaian babi dan ternak lainnya. Sore harinya dipasang sebuah
penjor Galungan sebagai simbolis gunung Agung atau simbol dari naga. Setelah itu dilakukan
natab banten pabyakaonan untuk menyucikan diri dan diharapkan bhuta matemahan Dewa
( Bhuta menjadi Dewa ).
g. Hari Raya Galungan
Dilaksanakan setiap Budha Kliwon Wuku Dungulan. Karena bhutakala sudah ditunfukan pada
hari penampahan maka kita merayakan hari raya Galungan dengan riang gembira.
Persembahan-persembahan yang serba utama kepada semua manifestasi Sang Hyang Widhi
Wasa. Karena dilaksanakan dengan suasana paling ramai dan paling meriah sehingga hari raya
Galungan disebut dengan hari “Pawedalan Jagat” atau hari “Otonan Gumi”.
Hari Raya Galungan lebih semarak lagi kalau jatuh bertepatan dengan hari purnama yang
disebut dengan hari raya galungan Nadi dengan ciri-cirinya adalah bambu batang penjornya
bagian bawah dikerik bersih dan di ujung bambu penjorbagian atas diisi dengan gerincing
( gongseng ) agar dapat berbunyi ngrincing kalau ditempuh angin,sehingga menimbuulkan suara
yang ramai dan meriah.
Tetapi sebaliknya Hari Raya Galungan bertepatan dengan :
1. Sasih Kapitu dan hari Tilem disebut masa Kalarau, pada hari raya galungan ini tidak
dibenarkan menghaturkan banten yang berisi tumpeng.
2. Sasih Kasanga dan kebetulan pula penampahan Galungan bertepatan dengan hari tilem,
maka pada hari raya Galungan tidak boleh makan daging / ikan berdarahdan jika melanggaraka
mengakibatkan merajalelanya penyakit hingga bertahun-tahun, karena dipastu oleh Sang Maha
Kala Raja, sebab Galungan Nara Mangsa namanya. Demikianlah pewarah-warah Sang Hyang
Widhi Wasa yang bergelar Bhatari Putri di Pura Dalem.
h. Hari umanis Galungan
Dilaksanakan setiap Wraspati Umanis wuku Dungulan. Pada hari ini melaksanakan penyucian diri
lahir dan bathin, lalu mengaturkan sesajen kehadapan Sang Hyang Widhi dan segala
manifestasinya, mohon keselamatan bhuana agung dan buana alit. Setelah itu dilanjutkan
dengan mengunjungi sanak keluarga.
i. Hari Pemiridan Guru
Dilaksanakan setiap Saniscara Pon wuku Dungulan. Pada hari ini melakukan persembahyangan
kehadapan para Dewa, mengaturkan parama suksama karena berkat anugrah beliau kita dapat
merayakan hari raya Galungan dengan selamat dan meriah. Pada hari ini para Dewa kembali ke
kahyangan setelah meninggalkan anugrah berupa kedirgayusaan ( panjang umur ).
j. Hari Ulihan
Dilaksanakan setiap Redite Wage Wuku Kuningan. Pada hari ini melakukan persembahyangan
kehadapan Sang Hyang Widhi dan segala manisfestasinya dan mengucapkan syukur atas karunia
yang telah dilimpahkan. Pada hari ini pula para dewa ke singgasananya masing-masing.
k. Hari Pamecekan Agung
Dilaksanakan setiap Soma Kliwon Wuku Kuningan. Pada hari ini mengaturkan sesajen kehadapan
para Bhuta Kala yaitu Sang Kala Tiga Galungan beserta para pengikutnya agar kembali
ketempatnya masing-masing dan memberi keselamatan kepada umat manusia.
l. Hari Penampahan Kuningan
Dilaksanakan setiap Sukra Wage wuku Kuningan. Pada hari ini melakukan penyembelihan hewan
ternak untuk persiapan menyambut Hari Raya Kuningan. Dan membuat sesajen untuk persiapan
persembahyangan hari raya Kuningan keesokan harinya.
m. Hari Raya Kuningan
Dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon wuku Kuningan. Pada hari ini melakuka persembahyangan
kepada para dewa, para leluhur dengan mengaturkan sesajen yang berisi nasi yang berwarna
kuning sebagai simbolis kemakmuran. Karena telah dilimpahkan kemakmuran dan kalau sudah
makmur biasanya kita lupa dengan bahaya musuh yang tidak kelihatan akan mengancam dan
lupa mengaturkan sesajen kehadapan Sang Hyang Widhi. Untuk mencegah bahaya itu maka
memasang tamiang,kolem dan endongan sebagai simbolis menolak mala petaka waktu kita tidur
atau terlena dan sebagai pesembahan kepada para dewa yang akan pergi ke kahyangan. Waktu
menghaturkan sesajen nasi kuning sebelum tengah hari.
n. Hari Umanis Kuningan
Dilaksanakan setiap Redite Umanis wuku Langkir. Pada hari ini melakukan kunjungan keluarga
untuk saling maaf-memaafkan sambil berekreasi ke tempat-tempat hiburan bersama keluarga.
o. Hari Budha Kliwon Pegat warah / Pegat wakan
Dilaksanakan setiap Budha Kliwon wuku Pahang. Pegat warah berarti diam(mona)
Jadi pada hari ini adalah hariyang baik sekali untuk melaksanakan Mona Bratha
( Bratha Dhyana / Dhyana Pralina ) dan mempesembahkan sesajen kehadapan Sang Hyang
Widhi dan segala manisfestasinya. Sore harinya penjor Galungan dicabut sebagai peranda
bahwa rangkaian hari raya Galungan telah berakhir. Semua hiasan penjor dicabut dan dibakar.

4. Hari Raya Tumpek Kandang ( hewan )


Dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon wuku Uye. Pada hari ini menghaturkan sesajen kehadapan
Dewa penguasa ternak yaitu Sang Hyang Rare Angon, dengan tujuan agar ternak selamat dan
bertambah banyak hasilnya. Makna dari upacara ini adalah melestarikan binatang-binatang agar
tidak punah.
5. Hari raya Tumpek Wayang
Dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon wuku Wayang. Hari ini adalah puja walinya Sang Hyang
Iswara ( dewa penguasa kesenian ). Tempat mengaturkan sesajen adalah pada wayang, gong,
gambang dan alat-alat seninya. Makna dari hari raya ini adalah sebagai pelestarian dibidang
seni, agar kesenian tidak punah, dan supaya kesenian itu berkembang san metaksu
( berkharisma )
6. Hari Budha Cemeng Kelau
Dilaksanakan setiap Budha Wage wuku Kelau. Hari ini adalah hari puja wali Sang Hyang Sedana,
dewa penguasa uang. Pada hari ini mengaturkan sesajen dan persembahan kehadapan Sang
Hyang Sedana di peliggih Rambut Sedana atau ditempat menaruh uang, untu memohon
keselamatan dari pada uang dan agar uang tersebut berguna dalam kehidupan untuk
kesejahtraan.
7. Hari Sukra Umanis Kelau
Dilaksanakan setiap Sukra Umanis wuku Kelau. Hari ini adalah puja wali Sang Hyang Sri, sebagai
penguasa padi. Pada hari ini mengaturkan sesajen dan persembahan kehadapan Sang Hyang Sri
di lumbung ( tempat menyimpan padi ), di Pulu ( tempat khusus menaruh beras ), agar padi dan
beras kita selamat dan beliau melimpahkan kemakmuran.
8. Hari Raya Saraswati
Dilaksanakan setiap Saniscara Umanis wuku Watugunung. Hari raya untuk memuliakan atau
memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam manisfestasinya sebagai
“ Dewaning pangeweruh ” yaitu Dewa penguasa ilmu pengetahuan suci ( Weda ). Dari ilmu
pengetahuan yang diturunkan oleh Dewi Saraswati inilah timbul berbagai ciptaan-ciptaan baru.
Dewi Saraswati adalah sakti atau kekuatan dari dewa Brahma. Dewi saraswati dilukiskan sebagai
wanita cantik, bertangan empat, masing-masing tangannya memegang : genitri, keropak, wina
dan teratai. Di samping Dewi Saraswati tersebut terdapat burung merak dan angsa.

Semua gambar tersebut mengandung arti dan makna sebagai berikut :


a. Wanita cantik / dewi yang cantik adalah simbol sifat ilmu pengetahuan itu sangat mulia,
lemah lembut dan menarik hati.
b. Genitri adalah simbol bahwa ilmu pengetahuan itu tidak akan ada akhirnya dan selama
hidup ini tidak akan habis-habisnya untuk dipelajari.
c. Keropak adalah simbol dari gudang ilmu pengetahuan.
d. Wina adalah simbol dari ilmu pengetahuan yang sangat mempengaruhi estetika atau rasa
yang seni.
e. Teratai adalah simbol pengetahuan yang sangat suci.
f. Merak adalah simbol pengetahuen itu memberikan suatu kewibawaan kepada orang yang
telah menguasainya.
g. Angsa adalah simbol pengetahuan yang sangat bijaksana untuk membedakan yang baik
dan yang buruk.
Setelah hari raya Saraswati dilasanakan hari Banyu Pinaruh dilaksankan setiap Redite Paing
wuku Sinta sebagai simbol mendapatkan anugrah ilmu pengetahuan suci (weda)
Dengan melakukan penyucian diri dengan mandi di laut atau sumber mata air lainnya setelah itu
melakukan persembahyangan kemudian mohon tirtha Saraswati yang dilanjutkan dengan
ngelunsur atau mohon jajan Saraswati sebagai simbolis mendapatkan anugrah ilmu
pengetahuan dari Dewi Saraswati.

C. CATUR ASRAMA
CATUR ASRAMA
A. PENGERTIAN
Catur Asrama terdiri atas dua kata yakni “ Catur”, yang berarti empat dan “Asrama”, berarti
tahapan atau jenjang.
Jadi Catur Asrama artinya empat jenjang kehidupan yang harus dijalani untuk mencapai moksa.
Atau catur asrama dapat pula diartikan sebagai empat lapangan atau tingkatan hidup manusia
atas dasar keharmonisan hidup dimana pada tiap- tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh
adanya ciri- ciri tugas kewajiban yang berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa lainnya,
tetapi merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan
B. BAGIAN – BAGIAN CATUR ASRAMA
1. BRAHMACARI ASRAMA
2. GRHASTA ASRAMA
3. WANAPRASTA ASRAMA
4. SANIASA / BHIKSUKA
B.1 BRAHAMACARI ASRAMA
Brahma cari terdiri dari dua kata yaitu Brahma yang berarti ilmu pengetahuan dan cari yang
berarti tingkah laku dalam mecari dan menuntut ilmu pengetahuan.
Brahmacari berarti tingkatan hidup bagi orang-orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan.
Kehidupan para pelajar di mulai dengan upacara Upanayana, sebagai hari kelahirannya yang
kedua. Mereka harus dibuat tabah dan sederhana dalam kebiasaan – kebiasaan mereka harus
bangun pagi – pagi , mandi melakukakn sandhya & java gayatri serta mempelajari kitab – kitab
suci.
Menurut ajaran agama hindu, dalam brahmacari asrama, para siswa dilarang mengumbar hawa
nafsu sex. Adapun hubungan antara perilaku seksual dan brahmacari dapat di ketahui melalui
istilah berikut :
1. Sukla brahmacari
Orang yang tidak kawin semasa hidupnya, bukan karena tidak mampu, melainkan karena
mereka sudah berkeinginan untuk nyukla brahmacari sampai akhir hayatnya.
2. Sewala brahmacari
Orang yang menikah sekali dalam masa hidupnya
3. Kresna brahmacari
Pemberian ijin untuk menikah maksimal 4 kali karena suatu alasan yang tidak memungkinkan
diberikan oleh sang istri, seperti isang istri tidak dapat menghasilkan keturunan, sang istri sakit-
sakitan, dan bila istri sebelumnya memberikan ijin.
B.1 GRHASTA ASRAMA
Tahapan yang kedua tentang grhasta / berumah tangga .tahapan ini dimasuki pada saat
perkawinan. Tahapan ini merupakan hal yang sangat penting, karena menunjang yang lainnya.
Perkawinan meerupakan salah satu acara suci bagi seorang Hindu. Istri merupakan rekan dalam
kehidupan ( Ardhangini ), ia tidak dapat melakukan ritual agama tanpa istrinya.
Sebuah rumah tangga harus mendapatkan artha yang erlandaskan dhrma dan dipergunakan
dengan cara yag pantas. Ia harus memberikan 1/10 bagian dari penghasilannya untuk amal.
Beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan dalam berumah tangga :
1) Melanjutkan keturunan
2) Membina rumah tangga
3) Bermasyarakat
4) Melaksanakan panca yajnya :
 Dewa Yajna : persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya
 Rsi Yajna :persembahan pada para rsi, guru, maupun tokoh atau pemuka agama
 Manusa yajnya :persembahan pada sesama manusia
 Pitra Yajna : persembahan pada para leluhur
 Bhuta Yajna :persembahan kepada para bhuta.
B.3 WANAPRASTHA ASRAMA
Tahapan yang ketiga wanaprstha, tahapan ini merupakan suatu persiapan bagi tahap akhir yaitu
sannyasa . setelah melepaskan segala kewajiban seorang kepala rumah tangga, ia harus
meninggalkanya menuju hutan atau sebuah tempat terpencil di luar kota untuk memulai
meditasi dalam kesunyian pada masalah spiritual yang lebih tinggi.
Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan
mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/ moksa
dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
Adapun ciri-ciri orang yang telah dapat masuki tahap wanapratha ini adalah: usia yang sudah
lanjut, mempunyai banyak pengalaman hidup, mampu mengatasi gelombang pahit getirnya
kehidupan, serta mempunyai kebijaksanan yang dilandasi oleh ajaran agama dan ilmu
pengetahuan. Telah memiliki keturunan atau generasi lanjutan yang sudah mapan dan mampu
hidup mandiri.serta tidak bergantung lagi pada orang tua baik dibidang ekonomi maupun yang
lainnya.
B.4 SANNYASIN / BHIKSUKA
Tahap yang terkhir adalah sannyasin. Bila seseorang laki- laki menjadi seorang sannyasin, ia
meninggalkan semua miliknya, segala perbedaan golongan,segala upacara ritual dan segala
keterikatan pada suatu negara, bangsa atau agama tertentu. Ia hidup sendiri dan menghabiskan
waktunya dalam meditasi. Bila ia mencapai keadaan yang indah dari meditasinya yang
mendalam, ia mengembirakan dalam dirinya sendiri. Ia sepenuhnyaa tak tertarik pada
kenikmatan duniawi. Ia bebas dari rasa suka dan tidak suka, keinginan, keakuan,nafsu
,kemarahan, kesombongan dan ketamakan. Ia memiliki visi yang sama dan pikiran yang
seimbang dan ia mencintai semuanya. Ia mengembara dengan bahagia dan menyebarkan
brahma jnana atau pengetahuan sang diri. Ia sama ketika dihormati maupun dicaci, dipuja dan
dikecam, berhasil maupun gagal. Ia sekarang adalah atiwarnasrami yang mengatasi warna dan
asrama. Ia seorang laki – laki yang bebas sepenuhnya. Ia tak terikat oleh sutau kebiasaan adat
masyarakat.
Sannyasin adalah seoang laki- laki idaman. Ia telah mecapai kesempurnaan dan kebebasan. Ia
adalah Brahman sendiri. Ia seoarang jiwanmukta atau seorang bijak yang bebas. Mulialah tokoh
pujaan seperti itu yang merupakan Tuhan yang hidup di dunia.
C. APLIKASI PENERAPAN CATUR ASRAMA PADA JAMAN MODERN
Pada saat ini, asrama tak dapat dihidupkan secara tepat sesuai dengan aturan rincian kuno,
karena kondisinya telah banyak sekali berubah, tetapi dapat dihidupkan kembali dalam
semangatnya, terhadap kemajuan yang besar dari kehidupan yang modern.
Kedamaian dan aturan akan berlaku dalam masyarakat , hanya apabila semua melaksanakan
kewajiban masing – masing secara efektif. Penghapusan warna dan asrama akan memotong
akar dari kewajiban social masyarakat. Bagaimana bangsa dapat mengharapkan untuk hidup bila
warnasrama dharma tidak dilaksanakan secara tegar ?
 Murid – murid sekolah dan perguruan tinggi seharusnya menjalani suatu kehidupan yang
murni , sederhana serta focus pada mengejar ilmu pengetahuan stinggi-tingginya.
 Kepala rumah tangga seharusnya menjalani kehidupan sebuah grhasta yang ideal, ia
seharusnya melaksanakan pengendalian diri, welas asih, toleransi, tidak merugikan, berlaku
jujur,dan kewajaran dalam segala hal. Selain itu, dengan berbekal ilmu dan keterampilan yang
memadai yang didapat pada masa brahmacari, seseorang diharapkan mendapat profesi
menjanjikan sesuai dengan keahliannya atau bahkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri. Melalui media itu umat dapat mencari artha dan kama yang didasarkan atas dharma.
 Sementara pada saat menapaki kehidupan wanaprasta, umat sesungguhnya dituntun untuk
mengasingkan diri dari hal-hal yang berbau keduniawian. Dulu, menapaki hidup wanaprasta
umat pergi ke hutan untuk menyepikan diri. Tetapi dalam konteks sekarang, ”hutan belantara”
itu berada di tengah-tengah kita. Agar umat mampu menghindari diri dari kobaran api hawa
nafsu, yang memang memerlukan pengendalian diri.
 Pada tahapan bhiksuka atau sanyasin, umat sangat baik mendalami hal-hal yang bernuasa
spiritual untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, dan diharapkan umat sudah harus
mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan keinginan duniawi dan dapat menjauhkan diri
dari sifat dan musuh yang ada dalam diri seperti sad ripu, sapta timira, sad atatayi, tri mala serta
yang sejenisnya
D. CATUR PURUSA ARTHA
Catur Purusa Artha berasal dari akar kata Catur yang berarti Empat, purusa yang berarti Jiwa,
dan Artha yang berarti Tujuan Hidup. Jadi, Catur Purusa Artha adalah Empat Tujuan hidup
manusia. Catur Purusa Artha memiliki kaitan yang erat dengan Catur Varga yang berarti empat
tujuan hidup manusia yang terjalin erat satu dengan yang lainnya. Uraian mengenai keterkaitan
Catur Purusa Artha dan Catur Varga, dapat kita temui dalam Susastera India yang telah ditulis
berabad-abad lamanya. Misalnya dalam Kitab Mahabharata atau Asta Dasa Parva. Karena kitab
kesusasteraan India banyak diterjemahkan kedalam bahasa Jawa Kuno (Kawi), maka uraian
tentang Catur Purusa Artha juga banyak ditemui dalam sumber-sumber jawa kuno lainnya, seperti
Kekawin Ramayana, Sarasamusscaya, dan sebagainya.
                Kitab-kitab tersebut merupakan kitab yang banyak dibaca dan digemari sampai saat ini,
maka ajaran Catur Purusa Artha merupakan ajaran yang bersifat universal dan berlaku sepanjang
jaman. Di dalam Kitab Brahma Purana, dapat kita jumpai kutipan mengenai Catur Purusa Artha,
seperti disebutkan di bawah ini:
“dharmaarthakamamoksanam sariram sadhanam”
Artinya: Tubuh adalah alat untuk mendapat Dharma, Artha, Kama, dan Moksa.
Kutipan diatas menjelaskan bahwa manusia harus menyadari apa yang menjadi tujuan hidupnya,
apa yang harus dicarinya dengan badan yang dimilikinya. Semuanya tak lain adalah Catur Purusa
Artha itu sendiri. Berikut adalah bagian-bagian dari catur Purusa Artha beserta Penjelasannya:
1.       Dharma
Kata Dharma berasal dari kata dhr  yang berarti menjinjing, memelihara, memangku,
mengatur.  Jadi, dharma dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengatur atau memelihara dunia
beserta semua makhluk. Menurut Santi Parva (109.11) bahwa semua yang ada di dunia ini telah
memiliki dharma dan diatur oleh dharma. Sebagai contoh, manusia yang telah memelihara dan
mengatur hidupnya untuk mencapai moksa adalah orang-orang yang telah melaksanakan dharma.
Artinya, bahwa kewajiban-kewajiban daripada sorang manusia adalah melaksanakan Dharma demi
mencapai moksa. Seperti yang diuraikan dalam kitab Sarassamuscaya berikut ini:

                Kamarthau lipsamanas tu dharmam evaditas caret


                Na hi dharmadapetyarthah kamo vapi kadacana
                Yan paramarthanya, yan arthakama bsadhyan, dharma juga
                Irekasakna rumuhun, niyata,katemwan in artha kama mne
                Tan paramartha wi katemwan in arthakama denin anasar saken dharma

Artinya: jika Artha dan Kama yang dituntut, maka seharusnya, lakukanlah Dharma terlebih dahulu,
pasti akan diperoleh Artha atau Kama itu nanti, tidak akan ada artinya jika memperoleh Artha dan
Kama tetapi menyimpang dari Dharma.

Ada sebuah kutipan seperti ini:


                Dharma su Satyam Utamam yang artinya Lakukanlah segala sesuatu berdasarkan
Dharma. Artinya, jika kita hendak melakukan sesuatu, lakukanlah hal tersebut berdasarkan Dharma,
jangan pernah menyimpang dari Dharma. Sebab, dengan melakukan Dharma terlebih dahulu, baik
Kama atau Artha akan mengikuti. Sesungguhnya, Kebenaran Tertinggi adalah Brahman itu sendiri.
Dharma itu seperti layaknya sebuah perahu. Perahu mengantarkan nelayan menyeberangi lautan,
sedangkan Dharma adalah jalan untuk mencapai Tuhan (Brahman).
2.       Artha
Artha dapat diartikan sebagai tujuan hidup ataupun kepentingan orang lain. Namun dalam
hal ini, Artha lebih di fokuskan pada kekayaan atau harta. Agama Hindu sangatlah memperhatikan
kedudukan dan fungsi artha dalam kehidupan. Mencari Harta atau Kekayaan, bukanlah sesuatu
yang dilarang, malahan itu merupakan hal yang dianjurkan asalkan semuanya itu diperoleh
berdasarkan Dharma dan digunakan untuk kepentingan Dharma pula. Dalam Agama Hindu,
sebenarnya Artha bukanlah merupakan tujuan. Melainkan, Moksa lah yang menjdai tujuan tertinggi
umat Hindu yang hidup di dunia ini.  Artha hanyalah merupakan sarana untuk mencapai tujuan
tersebut yang sangat penting pula setelah Dharma.
Di dalam kitab Sarassamuscaya dijelaskan bahwa jika harta diperoleh dengan jalan Dharma,
maka bahagia lah orang yang memperolehnya itu, tetapi jika harta tersebut diperoleh dengan cara
Adharma, maka noda dan dosa lah yang ia dapatkan. Seperti itulah arti dari kutipan salah satu sloka
di kitab Sarassamuscaya. Harta yang diperoleh seseorang harus dapat di bagi tiga, yakni:
a.       Sadhana ri Kasiddhan in dharma
Dipakai untuk memenuhi Dharma. Contohnya untuk melakukan kewajiban-kewajiban dharma,
seperti  pelaksanaan Panca Yadnya.
b.      Sadhana ri kasiddhan in Kama
Dipakai untuk memenuhi Kama. Contohnya, untuk kesenian, olahraga, rekreasi, hobby, dan lain
sebagainya.
c.       Sadhana ri kasiddhan in Artha
Dipakai untuk mendapatkan harta kembali, contohnya, untuk memproduksi sesuatu, berjualan, dan
lain sebagainya.
                Dalam ajaran Agama Hindu berkali-kali ditekankan bahwa Harta tidak akan dibawa mati.
Yang akan meringankan dan menuntun pergi ke akhirat adalah perbuatan baik dan buruk. Oleh
karena itu, harta kekayaan hendaknya di sedekahkan, dipakai, dan diabdikan untuk perbuatan
dharma. Hanya dengan cara demikian lah harta tersebut memiliki nilai yang utama.
3.       Kama
Kama dalam ajaran Agama Hindu berarti nafsu atau keinginan yang dapat memberikan kepuasan
atau kesejahteraan hidup. Kenikmatan tersebut merupakan salah satu tujuan hidup utama manusia
karena manusia memiliki 10 indriya yaitu:
a.       Srotendriya               : keinginan untuk mendengar
b.      Tvagendriya               : keinginan untuk merasakan sentuhan
c.       Caksvindriya             : keinginan untuk melihat
d.      Jihvendriya                : keinginan untuk mengecap
e.      Ghranendriya             : Keinginan untuk mencium
f.        Wagindriya                : keinginan untuk berkata
g.       Panindriya                 : keinginan untuk memegang sesuatu
h.      Padendriya                 : keinginan untuk bergerak atau berjalan
i.         Payvindriya              : keinginan untuk membuang kotoran
j.        Upasthendriya          : keinginan untuk enikmatan dengan kelamin
Kesepuluh indriya tersebut menyebabkan manusia berbuat sesuatu, perasaan ingin tahu. Kita harus
dapat mengontrol indria tersebut agar tidak terjerumus kepada hal-hal negative karena sering sekali
indria menjerumuskan manusia ke arah yang negatif jika manusia itu tidak dapat mengendalikan
indria itu sendiri. Menurut ajaran agama Hindu, Kama atau nafsu tidak ada artinya jika diperoleh
dengan cara yang menyimpang dari Dharma. Karena Dharma menduduki tempat paling utama dari
Kama dan menjadi pedoman dalam mencapai Kama. Dalam kekawain Ramayana, dikatakan
bahwa, Kenikmatan (Kama) hendaknya terletak dalam kemungkinan yang diberikan kepada orang
lain untuk merasakan kenikmatan. Jadi,pekerjaan yang bersifat ingin menguntungkan diri sendiri
dalam memperoleh harta dan kenikmatan tidak dilaksanakan.
4.       Moksa
Moksa merupakan tujuan tertinggi umat Hindu. Moksa memiliki arti, yakni pelepasan atau
kebebasan. Maksud dari kebebasan disini adalah kebahagiaan dimana atma dapat terlepas dari
pengaruh maya dan ikatan Subha-Asubha Karma, serta bersatunya sang Atman dengan Brahman
(asalnya). Moksa juga dapat diartikan sebagai Mukti atau Nirvana. Pada hakekatnya, manusia
mengharapkan kebahagiaan yang tertinggi (Sat Cit Ananda).  Namun kebahagiaan seperti ini tidak
dapat kita rasakan di kehidupan duniawi ini. Menurut ajaran Agama Hindu, Kebahagiaan yang kekal
dan abadi hanya di dapat dengan persatuan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan
Moksa. Umat manusia harusnya sadar bahwa perjalanan hidup mereka di dunia adalah untuk
mencari Ida Sang Hyang Widhi dan bersatu dengan beliau. Tentu kita tidak mengharapkan kembali
bahwa kita akan lahir ke dunia berulang-ulang dan sengsara. Apabila kita masih lahir ke dunia, itu
berarti kita belum mencapai Kebahagiaan yang tertinggi.
                Seperti layaknya kita menyeberangi Samudera, tentu mencapai Beliau (Brahman)
bukanlah sesuatu yang mudah untuk di lakukan. Akan tetapi, semua itu dapat diperoleh jika jalan
yang kita tempuh untuk mencapai Beliau adalah dengan jalan Dharma. Lagi-lagi disini diuraikan
mengenai Dharma. Ya, itu semua memang harus berlandaskan Dharma, karena Tuhan/Brahman itu
adalah kebenaran itu sendiri. Sangat mustahil sekali, jika kita mencapai beliau dengan jalan
Adharma. Jangankan mencapai Brahman, untuk mencapai Artha dan Kama pun kita tidak akan
mampu jika melakukannya. Tujuan umat hindu sesungguhnya untuk mencapai dan melaksanakan
Dharma sebagai pengendali Artha dan Kama yang merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan
yang hakiki, yakni mencapai Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Moksa.
Adapun kaitan Catur Purusa Artha dengan Catur Asrama. Seperti yang telah kita ketahui
bersama, bahwa Catur Asrama adalah empat tingkatan hidup manusia, mulai dari Brahmacari
(masa menuntut ilmu), Grhasta (masa berumah tangga), Wanaprastha (mulai meninggalkan
kehidupan materi), dan Biksuka/sanyasin (melepaskan keterikatan duniawi).  Keempat tingkatan ini
hanya bersifat informal yang nantinya memiliki kaitan erat dengan Catur Purusa Artha, dengan kata
lain, Catur Purusa Artha merupakan filsafat hidup dari Catur Asama.
Dalam tingkatan hidup Brahmacari, kedudukan Dharma (dalam hal ini Kebenaran) sangatlah
penting. Dharma adalah tujuan pokok dalam tingkat hidup Brahmacari. Artha dan Kama belum
begitu mendapat tempat penting disini. Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa mencari
Artha, Kama dan Moksa maka Brahmacari merupakan dasar Asrama yang lain Grhasta,
Wanaprastha, dan Biksuka. Tingkat hidup pada masa Brahmacari ini sering sekali di sebut sebagai
aguron-guron atau asewaka guru yang artinya adalah suatu tingkat kehidupan yang memerlukan
ketekunan, kesungguhan. Karena pada tahap ini, seorang sisya/murid mendapatkan wejangan-
wejangan dari guru yang berarti juga mendapatkan ilmu pengetahuan dari sang guru. Tentunya
mendapatkan pengetahuan seperti ini memerlukan sikap kesungguhan. Pada tahap Brahmacari ini
juga, seseorang dapat membentuk wataknya berdasarkan pada Dharma.

E. CATURWARNA

Pada permulaan tarikh masehi, di Benua Asia terdapat dua negeri besar yang tingkat
peradabannya dianggap sudah tinggi, yaitu India dan Cina. Kedua negeri ini menjalin hubungan
ekonomi dan perdagangan yang baik. Arus lalu lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung
melalui jalan darat dan laut. Salah satu jalur lalu lintas laut yang dilewati India-Cina adalah Selat
Malaka. Indonesia yang terletak di jalur posisi silang
dua benua dan dua samudera, serta berada di dekat Selat Malaka memiliki keuntungan, yaitu:

1. Sering dikunjungi bangsa-bangsa asing, seperti India, Cina, Arab, dan Persia,
2. Kesempatan melakukan hubungan perdagangan internasional terbuka lebar,
3. Pergaulan dengan bangsa-bangsa lain semakin luas, dan
4. Pengaruh asing masuk ke Indonesia, seperti Hindu-Budha.

Keterlibatan bangsa Indonesia dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional


menyebabkan timbulnya percampuran budaya. India merupakan negara pertama yang
memberikan pengaruh kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya Hindu. Ada beberapa
hipotesis yang dikemukakan para ahli tentang proses masuknya budaya Hindu-Buddha ke
Indonesia.

1. Hipotesis Brahmana
Hipotesis ini mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya penyebaran
budaya Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapat undangan dari penguasa Indonesia untuk
menobatkan raja dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Pendukung hipotesis ini adalah
Van Leur.

2. Hipotesis Ksatria
Pada hipotesis ksatria, peranan penyebaran agama dan budaya Hindu dilakukan oleh kaum
ksatria. Menurut hipotesis ini, di masa lampau di India sering terjadi peperangan antargolongan
di dalam masyarakat. Para prajurit yang kalah atau jenuh menghadapi perang, lantas
meninggalkan India. Rupanya, diantara mereka ada pula yang sampai ke wilayah Indonesia.
Mereka inilah yang kemudian berusaha mendirikan koloni-koloni baru sebagai tempat
tinggalnya. Di tempat itu pula terjadi proses penyebaran agama dan budaya Hindu. F.D.K. Bosch
adalah salah seorang pendukung hipotesis ksatria.

3. Hipotesis Waisya
Menurut para pendukung hipotesis waisya, kaum waisya yang berasal dari kelompok pedagang
telah berperan dalam menyebarkan budaya Hindu ke Nusantara. Para pedagang banyak
berhubungan dengan para penguasa beserta rakyatnya. Jalinan hubungan itu telah membuka
peluang bagi terjadinya proses penyebaran budaya Hindu. N.J. Krom adalah salah satu
pendukung dari hipotesis waisya.

4. Hipotesis Sudra
Von van Faber mengungkapkan bahwa peperangan yang tejadi di India telah menyebabkan
golongan sudra menjadi orang buangan. Mereka kemudian meninggalkan India dengan
mengikuti kaum waisya. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang memberi
andil dalam penyebaran budaya Hindu ke Nusantara.

Selain pendapat di atas, para ahli menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia yang belajar
agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut
Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya.
Pendapat semacam ini disebut Teori Arus Balik.
Pada umumnya para ahli cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa masuknya budaya
Hindu ke Indonesia itu dibawa dan disebarluaskan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Bukti
tertua pengaruh budaya India di Indonesia adalah penemuan arca perunggu Buddha di daerah
Sempaga (Sulawesi Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam yang sama
dengan arca yang dibuat di Amarawati (India). Para ahli memperkirakan, arca Buddha tersebut
merupakan barang dagangan atau barang persembahan untuk bangunan suci agama Buddha.
Selain itu, banyak pula ditemukan prasasti tertua dalam bahasa Sanskerta dan Malayu kuno.
Berita yang disampaikan prasasti-prasasti itu memberi petunjuk bahwa budaya Hindu menyebar
di Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.
Masuknya pengaruh unsur kebudayaan Hindu-Buddha dari India telah mengubah dan menambah
khasanah budaya Indonesia dalam beberapa aspek kehidupan.

1. Agama
Ketika memasuki zaman sejarah, masyarakat di Indonesia telah menganut kepercayaan animisme
dan dinamisme. Masyarakat mulai menerima sistem kepercayaan baru, yaitu agama Hindu-
Buddha sejak berinteraksi dengan orang-orang India. Budaya baru tersebut membawa perubahan
pada kehidupan keagamaan, misalnya dalam hal tata krama, upacara-upacara pemujaan, dan
bentuk tempat peribadatan.

2. Pemerintahan
Sistem pemerintahan kerajaan dikenalkan oleh orang-orang India. Dalam sistem ini kelompok-
kelompok kecil masyarakat bersatu dengan kepemilikan wilayah yang luas. Kepala suku yang
terbaik dan terkuat berhak atas tampuk kekuasaan kerajaan. Oleh karena itu, lahir kerajaan-
kerajaan, seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya.

3. Arsitektur
Salah satu tradisi megalitikum adalah bangunan punden berundak-undak. Tradisi tersebut
berpadu dengan budaya India yang mengilhami pembuatan bangunan candi. Jika kita
memperhatikan Candi Borobudur, akan terlihat bahwa bangunannya berbentuk limas yang
berundak-undak. Hal ini menjadi bukti adanya paduan budaya India-Indonesia.

4. Bahasa
Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia meninggalkan beberapa prasasti yang sebagian
besar berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Dalam perkembangan selanjutnya bahkan
hingga saat ini, bahasa Indonesia memperkaya diri dengan bahasa Sanskerta itu. Kalimat atau
kata-kata bahasa Indonesia yang merupakan hasil serapan dari bahasa Sanskerta, yaitu Pancasila,
Dasa Dharma, Kartika Eka Paksi, Parasamya Purnakarya Nugraha, dan sebagainya.

5. Sastra
Berkembangnya pengaruh India di Indonesia membawa kemajuan besar dalam bidang sastra.
Karya sastra terkenal yang mereka bawa adalah kitab Ramayana dan Mahabharata. Adanya
kitab-kitab itu memacu para pujangga Indonesia untuk menghasilkan karya sendiri. Karya-karya
sastra yang muncul di Indonesia adalah:
1. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa,
2. Sutasoma, karya Mpu Tantular, dan
3. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca.

Agama Hindu
Agama Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500 SM. Sumber ajaran Hindu terdapat dalam
kitab sucinya yaitu Weda. Kitab Weda terdiri atas 4 Samhita atau “himpunan” yaitu:

1. Reg Weda, berisi syair puji-pujian kepada para dewa.


2. Sama Weda, berisi nyanyian-nyanyian suci.
3. Yajur Weda, berisi mantera-mantera untuk upacara keselamatan.
4. Atharwa Weda, berisi doa-doa untuk penyembuhan penyakit.

Di samping kitab Weda, umat Hindu juga memiliki kitab suci lainnya yaitu:

1. Kitab Brahmana, berisi ajaran tentang hal-hal sesaji.


2. Kitab Upanishad, berisi ajaran ketuhanan dan makna hidup.

Agama Hindu menganut polytheisme (menyembah banyak dewa), diantaranya Trimurti atau
“Kesatuan Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:

1. Dewa Brahmana, sebagai dewa pencipta.


2. Dewa Wisnu, sebagai dewa pemelihara dan pelindung.
3. Dewa Siwa, sebagai dewa perusak.

Selain Dewa Trimurti, ada pula dewa yang banyak dipuja yaitu Dewa Indra pembawa hujan yang
sangat penting untuk pertanian, serta Dewa Agni (api) yang berguna untuk memasak dan
upacara-upacara keagamaan. Menurut agama Hindu masyarakat dibedakan menjadi 4 tingkatan
atau kasta yang disebut Caturwarna yaitu:

1. Kasta Brahmana, terdiri dari para pendeta.


2. Kasta Ksatria, terdiri dari raja, keluarga raja, dan bangsawan.
3. Kasta Waisya, terdiri dari para pedagang, dan buruh menengah.
4. Kasta Sudra, terdiri dari para petani, buruh kecil, dan budak.

Selain 4 kasta tersebut terdapat pula golongan pharia atau candala, yaitu orang di luar
kasta yang telah melanggar aturan-aturan kasta.
Orang-orang Hindu memilih tempat yang dianggap suci misalnya, Benares sebagai
tempat bersemayamnya Dewa Siwa serta Sungai Gangga yang airnya dapat mensucikan
dosa umat Hindu, sehingga bisa mencapai puncak nirwana

F. YOGA
Pengertian dan Bagian - Bagian Astangga Yoga
Astangga Yoga yaitu Delapan sikap yang harus dilaksanakan dalam melakukan
yoga/meditasi yang diajarkan oleh Bagawan Patanjali.

1. Yama, yaitu pengendalian diri tahap pertama dalam penahanan terhadap keinginan
atas nafsu.

2. Nyama, yaitu pengendalian diri tahap lanjut dengan memupuk kebiasaan-kebiasaan


yang baik.

3. Asana, yaitu mengatur sikap badan apakah duduk, berdiri atau yang lainnya dengan
disiplin.

4. Pranayama, yaitu sikap mengatur nafas dengan melalui tiga tahapan, yakni menarik
nafas (puraka), menahan nafas (kumbaka), dan mengeluarkan nafas (recaka), yang
semuanya dilakukan secara teratur.

5. Pratyahara, yaitu sikap memusatkan indriya dengan mengontrol dan mengendalikan


sehingga dapat diarahkan ke hal-hal kesucian.

6. Dhrana, yaitu sikap pemusatan pikiran dengan berusaha menyatukan pikiran dengan
Sang Hyang Widhi (Tuhan).

7. Dhyana, yaitu pemusatan pikiran yang terpusat yang tingkatannya lebih tinggi dari
Dharma.

8. Semadi, yaitu Meditasi tingkat tinggi/penunggalan Atma dengan Brahman (Sang


Hyang Widhi)

G. YADNYA DALAM MAHABRATHADAN PANCA YADNYA


Nilai Yadnya
Yadnya berarti korban suci dan keikhlasan. Yadnya tidak selalu diartikan sebagai upacara
persembahan, namun dapat juga berarti yadnya bertapa/yoga, pemberian benda/hadiah,
mempelajari ilmu dan kitab suci, menepati sumpah, usaha membahagiakan orang tua dan
segala kegiatan lain asalkan dilakukan dengan keikhlasan dan berhubungan dengan
pengorbanan.
Pertama, yadnya dalam artian upacara. Dalam kisah Mahabrata kita dapat menyaksikan
begitu banyak upacara. Contohnya yaitu upacara pengangkatan putra mahkota, upacara
pengangkatan raja, swayemwara putri raja, upacara pernikahan, Surya Yadnya,
Aswameda Yadnya, upacara di kuil, upacara meminta anak, upacara memberi makan
orang suci, dan lain-lain. Kita dapat melihat bahwa upacara tersebut diselenggarakan
secara serius dan tulus ikhlas oleh para tokohnya.
Kedua, yadnya dalam artian pemberian benda. Hal ini dapat dilihat setiap ada anggota
keluarga yang baru datang ke kerajaan, para penghuni kerajaan pasti menyambut anggota
baru tersebut dengan baik dan memberinya bermacam-macam hadiah sebagai tanda
penghormatan secara tulus ikhlas. Misalnya Kunti yang memberi hadiah terhadap
kedatangan Madri, Drupadi yang memberikan Abimanyu hadiah gelang bertahtahkan 5
batu mulia, dan lain-lain.
Ketiga, yadnya dalam artian tapa/yoga. Dapat kita lihat saat Panca Pandawa
mengasingkan diri selama 12 tahun di hutan, Kresna menyarankan agar mereka menyebar
untuk melakukan pertapaan. Arjuna bertapa kepada Dewa Siwa, Bima bertapa pada
Hanuman, bahkan Yudistira, Drupadi, Nakula, dan Sahadewa pun juga melaksanakan
pertapaan mereka masing-masing.
Keempat, yadnya dalam artian mempelajari kitab dan pengetahuan suci. Hal ini dapat
dilihat saat Kurawa dan Pandawa kecil yang menuntut ilmu pada guru Drona. Serta kisah
kemandirian Ekalawya.
Kelima, yadnya dalam artian menepati sumpah. Dalam Mahabrata, terdapat banyak
sumpah dan janji yang terbukti menjadi kenyataan. Misalnya sumpah Bima untuk
membunuh 100 Kurawa dan merobek-robek dada Dursasana akhirnya terwujud dalam
perang Bharata Yudha.
Keenam, yadnya dalam artian membahagiakan orang tua. Hal ini dapat diteladani dari
sikap para Pandawa yang selalu menuruti nasihat ibu mereka. Bahkan walau mereka
diperintahkan untuk menikahi 1 istri yang sama.
-Nilai Kesetiaan
Dalam kisah Mahabrata terlihat sekali bahwa tokoh-tokohnya menjunjung tinggi
nilai kesetiaan. Pertama yaitu Satya Mitra (setia pada teman). Misalnya raja Karna yang
begitu setia pada kawannya Duryodana sampai-sampai rela berkorban nyawa. Kedua
yaitu Satya Laksana (setia pada perbuatan), tercermin dari sikap bertanggung jawab atas
segala perbuatan (tidak lari dari kenyataan). Ketiga Satya Wacana (Setia terhadap
perkataan), misalnya Raja Karna yang setia pada perkataannya bahwa akan mengabdikan
hidupnya pada Duryodana. Keempat Satya Hrdaya (setia terhadap kata hati) misalnya
para Pandawa yang tetap teguh pendiriannya untuk berperang dengan Kurawa. Kelima
yaitu Satya Semaya (teguh terhadap janji).
- Nilai Pendidikan
Dapat kita lihatnya dari tekunnya para Kurawa dan Pandawa dalam menuntut ilmu
kepada guru Drona. Mereka tekun mengembangkan keahlian mereka masing-masing.
Ada yang ahli bermain gada, bergulat, memanah dan lain sebagainya. Pendidikan tersebut
dimulai sedini mungkin. Selain itu, dalam belajar kita juga harus mandiri, jangan baru
digetok baru jalan. Misalnya Ekalawya yang belajar mandiri tanpa bimbingan guru.
Dalam belajar juga tidak mengenal tua, misalnya Duryodana yang terus belajar gada dari
Balaram walaupun telah beranjak dewasa.
- Nilai Dharma
Disini diperlihatkan perang Bharata Yudha, yang sejatinya merupakan perang Dharma
melawan Adharma. Pada akhirnya, Dharmalah yang akan menang. Segala pengorbanan,
etikad baik, dan yadnya yang dilakukan para Pandawa pun tidak sia-sia.
Demikianlah segelintir nilai-nilai luhur dari kisah Mahabrata yang dapat kami temui

Panca Yadnya terdiri Atas dua kata, yaitu: “Panca” artinya lima dan “Yadnya” artinya korban
suci atau persembahan suci. Jadi Panca Yadnya adalah lima persembahan suci yang tulus ikhlas.

2). Jenis-jenis Panca Yadnya, yaitu:


a. Dewa Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan para
Dewa. Dewa Yadnya biasanya dilakukan di Pura, mrajan, atau di tempat yang bersih, yang
memiliki nilai kesucian. Tujuan dari Dewa Yadnya adalah menyampaikan rasa bhakti dan syukur
kepada Sang Hyang Widhi atas segala anugerah-Nya.

Persembahyangan

b. Pitra Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada leluhur dan bhatara-bhatar
Tujuannya adalah menyucikan roh-roh leluhur agar mendapat tempat yang lebih baik.

upacara pitra yadnya

c. Rsi Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada para Rsi dan guru untuk menjaga
kesejahteraannya. Rsi adalah orang-orang yang bijaksana dan berjiwa suci. Pendeta atau
Sulinggih atau guru dapat juga disebut orang suci karena beliau merupakan orang bijaksana yang
memberikan bimbingan kepada murid-muridnya.
Penghormatan pada orang suci

d. Manusa Yadnya adalah upacara yang dipersembahkan untuk memelihara hidup,

kesempurnaan dan kesejahteraan manusia.

e. Bhuta Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada Bhuta Kala atau makhluk
bawahan. Bhuta Kala adalah kekuatan-kekuatan alam yang bersifat negative yang perlu kita
lebur (somya) agar kembali pada sifat-sifat positif agar tidak mengganggu ketenangan hidup
umat manusia.

Pacaruan

3. Contoh pelaksanaan Panca Yadnya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

a. Contoh pelaksanaan Dewa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:

  Melakukan Tri Sandhya tiga kali dalam sehari.


 Selalu berdoa terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan.
 Menjaga kebersihan tempat suci.
 Mempelajari dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
 Melaksanakan persembahyangan pada hari-hari suci seperti Purnama atau Tilem.

b. Contoh pelaksanaan Pitra Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:

 Berpamitan pada orang tua ketika akan bepergian.


 Menghormati orang tua.
 Menuruti nasehat orang tua.
 Membantu dengan rela pekerjaan yang sedang dilakukan orang tua.
 Merawat orang tua yang sedang sakit.

c. Contoh pelaksanaan Rsi Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:

 Belajar dengan tekun.


 Menghormati guru.
 Menuruti perintahnya.
 Mentaati dan mengamalkan ajarannya.
 Memelihara kesejahteraan dan kesehatan orang suci (Sulinggih dan pemangku).

d. Contoh pelaksanaan Manusia Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:

 Tolong-menolong antar sesama.


 Belas kasihan terhadap orang yang menderita.
 Saling menghormati dan menghargai antar sesama.
 Melaksanakan upacara untuk menyucikan lahir bathin manusia, seperti:

1. Upacara selamatan bayi dalam kandungan.

2. Upacara selamatan bayi baru lahir.

3. Upacara selamatan bayi berumur 42 hari.

4. Upacara selamatan bayi berumur 105 hari.

5. Upacara selamatan bayi berumur 210 hari.

6. Upacara meningkat dewasa dan potong gigi.

7. Upacara perkawinan atau pawiwahan.

e. Contoh pelaksanaan Bhuta Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:

 Merawat dan memelihara tumbuh-tumbuhan dengan baik.


 Merawat binatang peliharaan dengan baik.
 Menjaga kebersihan lingkungan.
 Menyayangi makhluk lain.

1. Nitya Yadnya

Yaitu yadnya yang dilakukan secara rutin setiap hari. Yadnya ini antara lain;
dalam bentuk persembahan yang berupa yadnya sesa, atau persembahyangan sehari-hari.
Sedangkan bagi sulinggih melakukan Surya Sewana.
Yadnya dalam bentuk yang lain dapat dilaksanakan melalui aktivitas sehari-hari. Bagi seorang
siswa kewajiban sehari-hari adalah belajar , bila dilakukan dengan penuh ikhlas merupakan
yadnya. Bagi seorang petani, tukang, pegawai dan sebagainya yang melaksanakan tugas sehari-
hari dengan konsentrasi persembahan kepada Tuhan disertai keikhlasan juga merupakan Nitya
Yadnya.

1. Naimitika Yadnya

Yaitu Yadnya yang dilaksanakan secara berkala/ waktu-waktu tertentu. Khusus untuk yadnya ini
terutama yadnya dalam bentuk persembahan /upakara yaitu Upacara Piodalan, Sembahyang
Purnama dan Tilem, Hari Raya baik menurut wewaran maupun sasih.
Bagi bentuk yadnya yang lain tergantung kebiasaan pribadi perorangan/kelompok orang. Ada
orang pada setiap hari raya tertentu melaksanakan tapa brata sebagai wujud yadnya pengendalian
diri. Ada pula yang pada waktu tertentu setiap tahun atau setiap bulan melakukan dana punia
baik dihaturkan kepada sulinggih, orang tidak mampu dan sebagainya.
Disamping itu ada juga bentuk yadnya yang dilaksanakan secara insidental sesuai kebutuhan
dengan waktu yang tidak tetap/ tidak rutin. Contohnya upacara ngaben, nangluk merana,
tirtayatra.

H. CATUR MARGA
Catur Marga ialah empat jalan atau cara mengamalkan agama Hindu (Veda) dalam kehidupan
dan dalam bermasyarakat. Oleh karena keadaan dan kemampuan lahir-batin umat Hindu tidak
semua sama maka Veda mengajarkan Catur Marga (empat jalan) agar semua umat dapat
beragama sesuai kemampuannya.
Bagian-bagian Catur Marga antara lain : 

 Bhakti Marga : Mengamalkan agama dengan melaksanakan bhakti/sembahyang, cinta


kasih terhadap sesama ciptaan Tuhan, baik sesama manusia maupun dengan makhluk lain
yang lebih rendah dari manusia yang disertai sarana bhakti. Jadi apabila orang telah
 Karma Marga : Mengamalkan agama dengan berbuat Dharma atau kebajikan seperti
mendirkan tempat suci (pura) dan merawatnya, menolong orang yang kesusahan,
melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga/ anggota masyarakat dan berbagai
kegiatan sosial (subhakarma) lainnya yang dilandasi dengan ikhlas dan rasa tanggung
jawab. Itulah pengalaman agama dengan kerja (karma).
 Jnana Marga : Mengamalkan agama dengan jalan mempelajari, memahami,
menghayati, menyebarkan agama dan ilmu pengetahuan-ketrampilan (IPTEK) dalam
kehidupan sehari-hari. Jadi berdiskusi, memberi ceramah atau menyebarkan ajaran
agama, mengajarkan ketrampilan positif berarti sudah mengamalkan agama melalui
Jnana Marga.
 Raja Marga : Mengamalkan agama dengan melakukan Yoga, bersemadi, tapa atau
melakukan Brata (pengendalian diri) dalam segala hal termasuk upawasa (puasa) dan
pengendalian seluruh indria.

     Keempat jalan (marga) itu dapat dilakukan diberbagai tempat dan waktu sesuai kemampuan
seseorang dan keempatnya tidak dapat dipisahkan karena dalam prakteknya saling berkaitan.
Misalnya sembahyang , keempat cara (marga) itu dapat diamalkan sekaligus yaitu :
- rasa hormat atau berserah merupakan wujud bhakti marga.
- Menyiapkan sarana kebhaktian merupakan wujud karma marga.
- Pemahaman tentang sembahyang merupakan wujud jnana marga. 
- Duduk tegak-tenang-konsentrasi merupakan wjud raja marga.
     Jika direnungkan dan diperhatikan maka sesungguhnya pengamalan agama Hindu sangat
mudah, praktis dan lues. Keluesan itu disebabkan karena agama Hindu dapat dilaksanakan :
- Dengan mempraktekan Catur Marga
- Oleh seluruh umat tanpa terkecuali
- Disegala tempat, waktu dan keadaan
- Tidak harus dengan materi
- Sesuai dengan kemampuan umat
- Sesuai dengan adat istiadat karena Hindu menjiwai adat istiadat.

I. NIWERTI DAN PRAWERTI MARGA


Niwrtti marga ialah suatu jalan atau cara yang utama untuk mewujudkan rasa bhakti ke
hadapan Sang Hyang Widhi dengan wujud tekun melakukan yoga dan Samadhi. Prawrtti
marga ialah suatu jalan atau cara yang utama untuk mewujudkan rasa bhakti ke hadapan
Sang Hyang Widhi dengan tekun melakukan tapa, yajna dan kirti. Diantara kedua jalan
atau cara tersebut masih ada kebebasan dan keluwesan bagi tiap umat Hindu untuk
memilih dan melaksanakan. Jalan atau cara yang mana akan dilaksanakannya, tergantung
dari situasi, kondisi dan kemampuan masing-masing pribadi umat yang bersangkutan.

Niwrtti marga dapat dilaksanakan dengan menekuni ajaran Yoga Marga. Pelaksanaan yoga
merupakan sadhana dalam mewujudkan Samadhi yyaitu penyatuan diri dengan Sang Hyang
Widhi. Yoga marga adalah suatu usaha untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi
beserta manifestasinya.
         Upaya dalam mewujudkan pelaksanaan Niwrtti marga, penerapannya dapat dilaksanakan
melalui Yoga Marga dan Samadhi. Yoga mengajarkan pengendalian diri untuk mengarahkan
pikiran dapat bersatu dengan Sang Hyang Widhi. Orang yang sudah dapat melaksanakan ajaran
yoga dengan sungguh-sungguh disebut yogin. Sudah menjadi suatu kebasaan bagi seorang yogin
untuk mengendalikan pikirannya agar selalu jernih.
         Astangga Yoga atau delapan tahapan ajaran yoga merupakan salah satu dasar untuk
melaksanakan ajaran Niwrtti marga. Pelaksanaannya hendaknya dengan sungguh-sungguh dan
penuh disiplin. Tahap demi tahap.
a)Yama.
Merupakan pengendalian diri pada bagian awal dalam penampilan lahir. Terdiri dari lima bagian
yang disebut Panca Yama.
1)      Ahimsa, tidak menyakiti sesame makhluk hidup atau saling menyayangi antar sesame.
2)      Brahmacari, masa belajar atau mencari ilmu pengetahuan
3)      Satya, setia dan berperilaku jujur dalam kehidupan
4)      Apari, tidak serakah dan tidak mementingkan diri sendiri
5)      Asteya, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak mengambil hak orang lain
            Selain itu terdapat 10 tahapan yang mesti dilaksanakan atau Dasa Yama  dalam    
sarasamusaya yaitu,
1)      Anrcangsya, tidak mementingkan diri sendiri
2)      Ksama, tahan akan panas dingin
3)      Satya, tidak berdusta
4)      Ahimsa, membahagiakan semua makhluk
5)      Dama, sabar dapat menasehati diri sendiri
6)      Arjawa, tulus hati dan berterus terang
7)      Priti, sangat welas asih
8)      Prasada, jernih hati
9)      Madhurya,, pandangan dan perkaaan yang manis
10)  Mardawa, lembut hati
            Ajaran Dasa Yama dalam sarasamuscaya dan Panca Yama yang diuraikan dalam   kitab
patanjali sutra baik digunakan untuk melaksanakan Niwrtti marga.
b)      Nyama
Yaitu pengendaliaan diri dari dalam diri/rohani. Semakin sempurna kita melakukan ajaran ini,
semakin cepat kita menemuan diri kita sendiri, karena pengaruh duniawi semakin menipis
melekat pada diri kita. Ada lima bagian Panca Nyama yaitu,
1)      Sauca, suci lahir batin
2)      Santosa, kepuasan
3)      Tapa, pengekangan diri
4)      Swadhyaya, belajar
5)      Iswarapranighana, bhakti kepada Sang Hyang Widhi
            Dalam sarasamuscaya, ada Dasa Nyama yaitu,
1)      Dana, pemberiaan
2)      Ijya, pujaan kepada Dewa, leluhur dan lain lain
3)      Tapa, pengekangan hawa nafsu jasmani
4)      Dhyana, merenung memuja dewa Siwa
5)      Swadhyaya, mempelajari Weda
6)      Upasthanigraha, pengekangan nafsu syahwat
7)      Brata, pengekangan nafsu terhadap makanan
8)      Upawasa, pengekangan diri
9)      Mona, tidak bersuara
10)  Snana, melakukan pemujaan Tri Sandhya

c)Asana
Bertujuan untuk meredam gerak gerik tubuh , sehingga pikiran tidak akan diganggu oleh
gerakan-gerakan  tubuh itu. Asana hendaknya dilakukan dengan menyenangkan, karena itu dapat
dilakukan berulang kali.
d)     Pranayama
Merupakan pengaturan nafas. Tiga bagian pranayama yaitu
1)      Puraka, memasukkan nafas
2)      Kumbaka, menahan nafas
3)      Recaka, mengeluarkan nafas
e)Pratyahara.
Adaalah pemusatan pikiran pada Sang Hyang Widhi.
f)  Dharana.
Adalah usaha mengikatkan pikiran pada satu objek Sang Hyang Widhi agar ia dapat menetap dan
tidak goyah.
g)      Dhyana
Adalah usaha melatih pikiran untuk tetap terpusat pada satu objek di dalamatau luar diri sendiri
dan sampai mengalirkan arus kkeuatan yang tidak pecah-pecah.
h)      Samadhi
Terpusatnya pikiran pada diri sendiri (atman/brahman).

2.3    Hidup Bermasyarakat Berdasarkan Prawrtti Marga


         Prawrtti marga adalah cara atau jalan yang utama untuk mewujudkan rasa bhakti ke
hadapan Sang Hyang Widhi, dengan melaksanakan tapa, yajna, dan krti.
a.  Tapa
Berarti pengendalian diri unutk memuja Sang Hyang Widhi. Pengendalian diri merupakan sarana
untuk membersihkan roh/jiwatman yang berada pada diri manusia dari belenggu ketertarikan
yang bersifat duniawi. Perilaku manusia selain dapat dibentuk oleh factor lingkungan, juga
dibentuk oleh factor dalam itu sendiri. Factor dalam manusia disebut dengan Tri Guna yan terdiri
dari sattwam (baik/bijak), rajas (ego/angkuh) dan tamas (malas/masa bodo). Manfaat tapa adalah
guna terciptanya sifat sifat yang mulia dan bijaksana/kedewasaan dan terkendali sifat-sifat egois
dan angkuh (keraksasaan).
b. Yajna
Merupakan suatu pemujaan dan persembahan yang dilaksanakan oleh umat Hindu ke hadapan
Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya yang dilandasi dengan rasa bhakti dan ketulusan hati.
Bagian- bagian  Panca Yadnya yaitu:
1)      Dewa Yadnya, persembahan ke hadapan Sang Hyang Widhi
2)      Rsi Yadnya,persembahan kepada para Rsi
3)      Manusa Yadnya, persembahan terhadap sesame manusia
4)      Pitra Yadnya, persembahan kepada leluhur
5)      Bhuta Yadnya, persembahan kepada para bhuta.
            Pelaksanaan yajna menurut waktunya  yaitu;
1)      Nitya kama, yaitu pelaksanaanyang dilaksanakan tiap hari. Yaitu, melaksanakan Tri Sandhya,
mempersembahkan banten saiban.
2)      Naimitika karma, yaitu pada hari-hari tertentu atau waktu-waktu tertentu. Seperti pada hari raya
suci seperti Nyepi, Pagerwesi, Saraswati, dan lain-lain.
            Tujuan pelaksanaan yadnya yaitu sebaagi rasa bersyukur dan termi kasih ke hadapan
Sang Hyang Widhi, pernyataan permohonan anugrah-Nya, ungkapan permhonan  ampun atas
segala kelalaian yang dilakukan, penghormatan kesucian diri guna dapat mencapai kerahayuan,
kesejahteraan dan kebahagiaan atas karunianya.

c.  Kirti
Merupakan suatu usaha/kerja/karma dan pengabdian yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk
menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya. Kirti adalah wujud
kerja umat Hindu dalam melaksanakan swadharmanya, baik dharma Negara maupun dharma
agama. Seorang pekerja yang baik adlah  mereka yang bekerja dengan tidak mengikatkan diri
pada hasil kerja. Kerja yang dilandasi harapan pada pekerjanya, bila tidak dapat mengisi
harapannya dia akan  menderita. Wujud kirti umat Hindu  dapat dilaksanakan dengan :
1)      Membangun dna memelihara tempat suci
2)      Memberikan dana punia kepada orang suci atau yang membutuhkan
3)      Membuat dan menyiapkan sarana upacara
4)      Melaksanakan aktivitas/ kerja bakti pada tempat suci
5)      Dan kegiata lain yang berhubungan dengan aktivitas agama.
6)      Berperan aktif mensukseskan program pembangunan yang direncanakan pemerintah
7)      Mewujudkan pembangunan fisik di berbagai sector dan bidang.

J. MOKSA
Tingkatan Moksa.
Disebutkan ada beberapa tingkatan ”moksa” yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu.
Ajaran ini didasarkan pada keadaan ”atma” dalam hubungannya dengan Brahman.
Adapun bagian-bagiannya dapat dijelaskan sebagai berikut ;
1.      Jiwamukti.
Jiwamukti adalah tingkatan moksa ataua kebahagiaan/kebebasan yang dapat dicapai oleh
seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya tidak lagi terpengaruh oleh gejolak indrya
dan maya. Istilah ini dapat pula disamakan maksudnya dengan samipya dan sarupya.
2.      Widehamukti.
Widehamukti adalah tingkat kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa
hidupnya, dimana atmanya telah meninggalkan badan wadagnya (jasadnya), tetapi roh
yang bersangkutan masih kena pengaruh maya yang tipis. Tingkat keberadaan atma pada
dalam posisi ini adalah setara dengan Brahman, namun belum dapat menyatu dengan-
Nya, sebagai akibat dari pengaruh maya yang masih ada. Widehamukti dapat disejajarkan
dengan salokya.
3.      Purnamukti.
Purnamukti adalah tingkat kebebasan yang paling sempurna. Pada tingkatan ini posisi
atma seseorang keberadaannya telah menyatu dengan Brahman. Setiap orang akan dapat
mencapai posisi ini, apabila yang bersangkutan sungguh-sungguh dengan kesadaran dan
hati yang suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Istilah
Purnamukti dapat disamakan dengan sayujya.
Secara lebih rinci sesuai uraian di atas tentang keberadaan tingkatan-tingkatan moksa
dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa macam tingkatan. Moksa dapat dibedakan
menjadi empat jenis yaitu: Samipya, Sarupya (Sadarmya), Salokya, dan Sayujya.
Adapunpenjelasan keempat bagian ini dapat dipaparkan  sebagai berikut ;
1. Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya
di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan oleh para Maharsi. Beliau dalam
melakukan Yoga Samadhi telah dapat melepaskan unsur-unsur maya, sehingga beliau
dapat mendengar wahyu Tuhan. Dalam keadaan yang demikian itu atman berada sangat
dekat dengan Tuhan. Setelah beliau selesai melakukan samadhi, maka keadaan beliau
kembali sebagai biasa, di mana emosi, pikiran, dan organ jasmaninya aktif kembali.
2. Sarupya (Sadharmya) adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia
ini, karena kelahirannya, di mana kedudukan Atman merupakan pancaran dari
kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama dan Buddha dan Sri Kresna. Walaupun
Atman telah mengambil suatu perwujudan tertentu, namun ia tidak terikat oleh segala
sesuatu yang ada di dunia ini.
3. Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh Atman, di mana Atman itu
sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Dalam
keadaan seperti itu dapat dikatakan baliau Atman telah mencapai tingkatan Dewa yang
merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
4.  Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi di mana Atman telah dapat
bersatu dengan Tuhan Yang Esa. Dalam keadaan seperti inilah sebutan Brahman Atman
Aikyam yang artinya: Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal.
K. SUMBER SUMBERHUKUM HINDU
Beberapa aliran Hukum Hindu diantaranya:
1. Aliran Yajnyawalkya oleh Yajnyawalkya.
2. Aliran Mithaksara oleh Wijnaneswara.
3. Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana
Menurut catatan sejarah perkembangan hukum Hindu, periode berlakunya hukum tersebut
pun dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain:
1) Pada jaman Krta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Manu.
2) Pada jaman Treta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh
Gautama.
3) Pada jaman Dwapara Yuga, berlaku (Hukum Hindu Manawa Dharmasastra) yang
ditulis oleh Samkhalikhita.
4) Pada jaman Kali Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh
Parasara.
Keempat bentuk kitab Dharmasastra di atas, sangat penting kita ketahui dalam
hubungannya dengan perjalanan sejarah hukum Hindu.

Menurut kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu, keberadaan titel hukum atau
wyawaharapada dibedakan jenisnya menjadi delapan belas (18), antara lain;
1. Rinadana yaitu ketentuan tentang tidak membayar hutang.
2. Niksepa adalah hukum mengenai deposito dan perjanjian.
3. Aswamiwikrya adalah tentang penjualan barang tidak bertuan.
4. Sambhuya-samutthana yaitu perikatan antara firman.
5. Dattasyanapakarma adalah ketentuan mengenai hibah dan pemberian.
6. Wetanadana yaitu hukum mengenai tidak membayar upah.

7. Samwidwyatikarma adalah hukum mengenai tidak melakukan tugas yang diperjanjikan. 


8. Krayawikrayanusaya artinya pelaksanaan jual beli. 
9. Swamipalawiwada artinya perselisihan antara buruh dengan majikan. 
10. Simawiwada artinya perselisihan mengenai perbatasan 
11. Waparusya adalah mengenai penghinaan. 
12. Dandaparusya artinya penyerangan dan kekerasan. 
13. Steya adalah hukum mengenai pencurian.
14. Sahasa artinya mengenai kekerasan.
15. Stripundharma adalah hukum mengenai kewajiban suami-istri.
16. Stridharma artinya hukum mengenai kewajiban seorang istri.
17. Wibhaga adalah hukum pembagian waris.
18. Dyutasamahwya adalah hukum perjudian dan pertaruhan

Sumber-sumber Hukum Hindu menurut urut-urutannya adalah:


1. Veda Sruti.
2. Veda Smrti.
3. Sila.
4. Acara (Sadacara).
5. Atmanastusti.
Selanjutnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, peninjauan sumber
hukum Hindu dapat dilakukan melalui berbagai macam kemungkinan antara lain:

A.    Sumber Hukum dalam Arti Sejarah


Sumber hukum dalam arti sejarah adalah peninjauan dasar-dasar hukum yang
dipergunakan oleh para ahli sejarah dalam menyusun dan meninjau pertumbuhan suatu bangsa
terutama di bidang politik, sosial, kebudayaan, hukum dan lain- lain, termasuk berbagai lembaga
Negara.
Menurut catatan sejarah perkembangan hukum Hindu, periode berlakunya hukum tersebut
pun dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain:
1) Pada jaman Krta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Manu.
2) Pada jaman Treta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh
Gautama.
3) Pada jaman Dwapara Yuga, berlaku (Hukum Hindu Manawa Dharmasastra) yang
ditulis oleh Samkhalikhita.
4) Pada jaman Kali Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh
Parasara.
Keempat bentuk kitab Dharmasastra di atas, sangat penting kita ketahui dalam
hubungannya dengan perjalanan sejarah hukum Hindu.

B.     Sumber Hukum Hindu dalam Arti Sosiologi


Penggunaan sumber hukum ini biasanya dipergunakan oleh para sosiolog dalam
menyusun thesa-thesanya, sumber hukum itu dilihat dari keadaan ekonomi masyarakat pada
jaman-jaman sebelumnya. Sumber hukum ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus di
tunjang oleh data-data sejarah dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak
bersifat murni berdasarkan ilmu sosial semata melainkan memerlukan ilmu bantu lainnya.
Pengetahuan yang membicarakan tentang kemasyarakatan disebut dengan sosiologi. Masyarakat
adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang mempunyai hubungan, baik hubungan
agama, budaya, bahasa, suku, darah dan yang lainnya.
 
A.    Sumber Hukum Hindu dalam Arti Formil
Sumber hukum dalam arti formil menurut Prof. Mr.J.L.Van Aveldoorm adalah sumber
hukum yang berdasarkan bentuknya yang dapat menimbulkan hukum positif itu, artinya dibuat
oleh badan atau lembaga yang berwenang. Yang termasuk merupakan sumber hukum dalam arti
formil dan bersifat pasti yaitu; Undang-undang, Kebiasaan dan adat, serta Traktat. Di samping
sumber-sumber hukum yang disebutkan di atas, ada juga penunjukan sumber hukum dengan
menambahkan kata yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum. Dengan demikian dapat kita
lihat susunan sumber hukum dalam arti formil sebagai berikut:
a. Undang-undang.
b. Kebiasaan dan adat.
c. T r a k t a t
d. Yurisprudensi
e. Pendapat ahli hukum yang terkenal.

B.     Sumber Hukum Hindu dalam arti Filsafat


Sumber hukum dalam arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan
merupakan satu bagian yang tak terpisahkan atau integral dari agama. Filsafat adalah ilmu pikir,
filsafat juga merupakan pencairan rasional ke dalam sifat kebenaran atau realistis, yang juga
memberikan pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan yang
lembut dari kehidupan ini, di mana ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan
abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian. Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu
ilmu filsafat Hindu menegaskan sistem dan metode pelaksanaannya sebagai berikut:
a. Harus berdasarkan pada dharma
b. Harus diusahakan melalui keilmuan (Jnana)
c. Hukum didasarkan pada kepercayaan (Sadhana)
d. Harus didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan pengendalian; pikiran, ucapan,
dan perilaku
e. Harus ditebus dengan usaha prayascita (penyucian).
Dalam filsafat Hindu mengajarkan sistem dan metode penyampaian buah pikiran.

C.    Sumber Hukum menurut Veda


Dalam sloka kitab Manawadharmasastra ditegaskan bahwa, yang menjadi sumber
hukum umat sedharma “Hindu” berturut-turut sesuai urutan adalah sebagai berikut:
1. Sruti
2. Smerti
3. Sila
4. Sadacara
5. Atmanastuti

L. DASA YAMA DAN DASA NIYAMA LALU ADA PANCA YAMA DAN
PANCANIYAMA
DASA YAMA BRATA
Pengertian, sepuluh pengendalian diri mengarah kepada obyek diluar diri sendiri.
Bagian-bagiannya,
* Anresangsie, tidak mementingkan diri sendiri
* Ksama, suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan
* Satya, benar, jujur dan tidakk berdusta
* Ahimsa, tidak menyakiti dan tika membunuh
* Dama, sabar dan dapat menasehati diri sendiri
* Arjawa, tulus hati dan berterus terang
* Priti,cinta kasih sayang
* Prasada, berfikir dan berhati suci
* Mardurya, manis tutur dan panangannya
* Mardawa, rendah hati dan tidak sombong
DASA NYAMA BRATA
Pengertian, pengendalian diri yang sebagian besar mengarah kedalam diri sendiri
Bagian-bagiannya,
* Dana, berderma, beramal tanpa pamrih
* Ijya, pemujaan kepada sang Hyang Widhi dan Leluhur.
* Tapa, pengekanan nafsu jasmani dan tahan uji
* Dyana, tekun memusatkan pikiran kepada Sang Hyang Widhi
* Swadyaya, tekun mempelajari ajaran suci weda.
* Uspathanigraha, pengekangan hawa nafsu sexsual
* Brata, tata akan sumpah dan janji
* Mona, membatasi atau pengekangan perkataan
* Sauna, tekun melakukan penyucian diri dengan jalan mandi atau sembahyang.

PANCA YAMA BRATA


Lima macam cara untuk mengendalikan keinginan
Bagian-baginnya:
Ø Ahimsa, tidak melakukan kekerasan
Ø Brahmacari, masa menuntut ilmu/masa aguron-guron
Ø Satya, kesetiaan dan kejujuran
Ø Awyawaharika, melakukan usaha menurut darma
Ø Astainya, tidak mencuri milik orang lain.
PANCA NYAMA BRATA

Lima macam pengendalian diri pada tingkat rohani kita.


Bagian-bagiannya:
Ø Akroda, tidak marah
Ø Guru susrusa, hormat taat dan tekun melaksanakan ajaran-ajaran dari guru
Ø Sauca, suci lahir batin
Ø Aharalagawa, memilih makan yang baik bagi tubuh kita dan makan,minum secara
teratur untuk mencapai kesucian lahir batin.
Ø Apramada, tidak sombong angkuh dan takabur.

Anda mungkin juga menyukai