Anda di halaman 1dari 19

FEBRUARY 10, 2014 BY I WAYAN ADI SUDIATMIKA

Pengertian Pura
Istilah Pura yang dipakai sekarang sebagai nama tempat suci bagi umat Hindu.
Berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari urat kata “pur” yang
berarti kota, benteng atau kota yang berbenteng. Pura sebagai istilah nama
tempat suci, agaknya timbul belakangan. Sebelum dipergunakan kata Pura
untuk menyebut tempat suci, dipergunakan istilah Hyang, Kahyangan atau
Parhyangan.

Disebutkan tatkala masa pemerintahan Raja Erlangga di Jawa Timur (1019-1042 M),
datanglahMpu Kuturan ke Bali dari Jawa Timur. Di Bali beliau mengajarkan perihal membuat
Parhyangan atau Kahyangan Dewa, baik yang disebut dengan Sad Kahyangan maupun Dang
Kahyangan. Konsepsi yang diajarkan beliau lebih dikenal dengan konsepsi Gedong dan Meru. Bali
pada saat itu diperintah oleh Raja Marakata yaitu adik Raja Erlangga.
Dalam jaman Bali Kuna dalam arti sebelum kedatangan Dinasti Dalem di Bali atau sebelum Bali
ditaklukan oleh Majapahit (1343 M), istana raja bukan lagi disebut Karaton/Kadaton, melainkan
disebut dengan istilah Pura, seperti :
 Keraton Dalem di Samprangan, disebut Linggarsapura.
 Keraton di Gelgel, disebut Swecapura.
 Keraton di Klungkung, disebut Smarapura.
Sehingga penggunaan kata Pura, sebagai nama tempat suci, setelah Dinasti Dalem, berstana di
Klungkung. Dalam hubungan ini kata Pura yang berarti istana raja atau keraton atau rumah
pembesar, ketika itu dipakai istilah “Puri” dan kata “Pura” dipakai istilah tempat suci.
Selain Mpu Kuturan, ada pula tokoh lain yang banyak jasanya dalam hal Kahyangan atau
Parhyangan, yaitu Danghyang Dwijendra, yang datang di Bali sekitar abad ke-15 – 16 pada
masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550 M). Ajaran Danghyang Dwijendra dalam
hubungannya dengan Kahyangan yaitu mengajarkan tentang pembuatan pelinggihPadmasana,
yang mungkin sebelum jaman itu belumlah ada.
Istilah Pura sebagai istilah tempat suci, berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat
pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari
masa yang amat tua. Pangkalnya adalah kebudayaan Indonesia asli, berupa pemujaan terhadap
roh suci leluhur dan Kekuatan Yang Maha Besar yang telah dikenal pada jaman Neolithikum,
sebelum kebudayaan India datang ke Indonesia. Salah satu tempat pemujaan roh leluhur pada
waktu itu adalah berbentuk punden berundak-undak, yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan)
dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari leluhur atau alam
arwah. Sistem pemujaan leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan
berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangannya itu mengalami
proses akulturasi dan enkulturasi, sesuai dengan lingkungan budaya nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah adalah relevan dengan unsur kebudayaan
Hindu, yang menganggap gunung (Mahameru), sebagai alam Dewata, yang merupakan konsepsi
bahwa gunung selain alam arwah juga alam para Dewa. Maka untuk mencetuskan ide
kepercayaan itu lalu dibuatlah pemujaan yang mencerminkan gunung.
Demikian pula dalam pembuatan bangunan suci, seperti : Sanggah Pamrajan maupun Pura,
diletakkan di tempat yang lebih tinggi atau di tempat yang dianggap hulu, berkiblat ke gunung
yang tertinggi dan paling dihormati. Yang dianggap hulu adalah arah timur (purwa) dan uttara
(kaja). Kata ‘purwa‘ berarti di muka dan sering dihubungkan dengan terbitnya matahari.
Sedangkan “uttara” di Bali disebut dengan kaja, yang berasal dari ka-aja,; ka = menuju; aja =
gunung. Jadi Kaja (kaaja) berarti menuju gunung.
Dalam perkembangan selanjutnya konsepsi pemujaan roh leluhur yang merupakan unsur
kebudayaan asli dan pemujaan terhadap Tuhan dengan manifestasi-Nya, yang merupakan
unsur Kebudayaan Hindu, mengalami perpaduan yang harmonis. Perwujudan dari perpaduan ini
tercermin pada konsepsi Pura, sebagai tempat pemujaan Dewa manifestasi dari Tuhan dan
pemujaan roh suci leluhur yang sering disebut dengan Bhatara. Atas dasar inilah memberikan
suatu konsep pengertian bahwa Pura adalah simbul gunung, tempat pemujaan Dewa dan
Bhatara.

I. Pengertian Pura
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di
Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Padamulanya istilah Pura yang berasal
dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat
pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci /
tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan
merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun
882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.
Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan……………………Sanghyang di Turuñan ”
yang artinya tempat suci di Turunyan”Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa
tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang
artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk
Dewa Tanda.
Prasasti -prasasti yang disebutkan di atas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali
Kuna tipe ” Yumu pakatahu ” yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna
di Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh
perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Udayana. Sejak itu
prasasti – prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan – kesusastraan mulai
memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019 –
1042M) datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di
Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat ”
Parhyangan atau Kahyangan Dewa ” di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa
seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu
Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan Catur Loka
Pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan
pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing Desa – pakraman dibangun
Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau
mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis – jenis Upacāra, jenis – jenis
pedagingan pelinggih dan sebagainya sebagaimana diuraikan di dalam lontar Dewa Tattwa.

Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana – istana raja
disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan “…Sri Danawaraja
akadatwan ing Balingkang……..”Memang ada kata Pura itu dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna
tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata
wijayapura artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa
tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang
beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu
contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan
disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya
Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel
disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa – rupanya
penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di
Klungkung disamping juga istilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura
yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri. Pada
periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 – I 550 M ) datanglah Dang Hyang
Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan
kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai
akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Empu
Kuturan ke paham – paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara
pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura
untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.
Demikian pula bentuk – bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan
gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada
meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik
sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah
yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja
Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau
Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala
manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadipun demikian namun
kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura
atau kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).

Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun
tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal
dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan
terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar
yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum,
sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.

Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak- undak
yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai
salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistem pemujaan terhadap leluhur tersebut
kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia.
Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan
budaya Nusantara.

Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan
Hindu yang menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi
bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam
proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan Upacāra keagamaan tertentu (Upacāra penyucian)
Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama – sama dalam satu tempat
pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata.

Lebih – lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah
bahkan seolah – olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa
kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur
pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil
dan berkembang bersama – sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu
terlihat pada sistem kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama
sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kebudayaan Indonesia asli dengan sistem pemujaan
dewa manifestasinya Hyang Widhi sebagai unsur kebudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain
terlihat pada konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di
samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini memberikan salah satu
pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung (Mahameru) tempat pemujaan dewa dan bhatara.

II. Pengelompokan Pura


Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang
Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :

1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.

Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin
terdapat istilah pura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa juga
untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah
melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah
memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.

Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain
dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti :
Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain
berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru
suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha
menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas
dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan
dan lain – lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan
lebih lanjut.

Berdasarkan atas ciri – ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan
perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai
berikut:

1). Pura Umum.


Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala
manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga
sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri – ciri tersebut adalah
pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura
Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi
sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau
Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua
umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu
yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang
Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura
Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan
oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.
Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang
Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan
yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan
purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan
Mengwi.

Ada tanda – tanda bahwa masing – masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang
kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan,
Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai
laut.

Pura – pura kerajaan tersebut rupa – rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura
Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut
sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah
tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

2). Pura Teritorial


Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota
masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar
atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat
ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah
pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan
tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan
unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang
bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura
Puseh ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.

Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan
Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat
Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas
Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat-
tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat
sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura
Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih
banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura
Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai
hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.

3). Pura Fungsional


Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan
karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani,
berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai
ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura
Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti,
Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.

Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani
tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas
Rasmini dan lain sebagainya.

Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan
pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan
di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4). Pura Kawitan:


Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan
garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk
perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura
Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau
kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga
inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini
mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia.
Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari
satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari
seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .

Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan
Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung.
Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari
beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan
tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat
pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran
Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih
patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10
keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih
Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang
pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek – aspek agama
Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali
sebagai berikut :
a. Berdasarkan atas Fungsinya :
1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa
dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk
melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat
asal, wangsa yang bersangkutan.
2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata ‘(Roh Suci
Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman
b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:
1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala
Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.
2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh
Desa Adat.
3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan
Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura
Subak, Melanting dan sebagainya .
4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan “wit”atau leluhur
berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura
Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya.
Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok
pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan
konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan
pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan
masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.

III. Tata Upacāra Membangun Pura


a. Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah. Upacāra ini dilaksankan
sebagai Upacāra awal dalam persiapan membangun sebuah Pura, yakni merubah status tanah;
yang sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis Upacāra ini dilaksanakan
secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra ini dilaksanakan berkaitan dengan
adanya pembanguan baru ataupun pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya
seperti membangun sepelebahan pura baru.
b. Upacāra Nyukat Karang. Upacāra ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti
tata letak bangunan pelinggih yang akan didirikan, dan luas masing-masing mandala
(palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai dengan aturan yang
termuat baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta Bumi.
c. Upacāra Nasarin. Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu pertama, yang didahului
dengan Upacāra permakluman kepada Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakāra sesayut
Pertiwi, pejati, dan Upakāra lainnya. Pada Upacāra ini ditanam sebuah bata merah yang telah
dirajah dengan Padma angalayang dangan aksaranya Dasaksara dan Bedawannala yang
bertuliskan Angkara, dibukus dengan kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang
dirajah dengan aksara Ang-Ung- Mang. Lalu dibungkus kain hitam dan diisi sebuah kuangen.
Dan sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan aksara Omkara Gni, dibungkus dengan kain
putih dan diisi kuangen.
d. Upacāra Memakuh, Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih
dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/ Bhatari berkenan
melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan Upacāra pujawali, sedangkan
untuk membersihkan/ mensucikan areal pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan
berupa Panyudha Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya, dengan
memperhatikan kedudukan dan fungsi Pura masing-masing, maka akan ditentukan atas/
berdasarkan petunjuk para Sulinggih yang dikaitkan dengan adat setempat yang telah
berlangsung sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih sempurna.
e. Upacāra Mendem Pedagingan. Setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan
dilaksanakan Upacāra Mendem Pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang
disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih dengan Pelinggih yang lainnya
tidak sama – hal ini tergantung dari jenis bangunan Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis
bebantennyapun juga ada yang berbeda.
Tata cara membuat dan memendem pedagingan ini disamping mengikuti sastra agama, juga
mengikuti isi Bhisama dari Mpu Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun Meru
di Besakih.

Adapun cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut : “Yan meru tumpang 11, tumpang 9,
tumpang 7, tumpang 5, sami wenang mepadagingan tur mangda memargi manista, madya,
utama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar salwiring prabot manusa genep
mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa, maweweh antuk ayam mas, ayam selaka,
bebek mas, slaka, kacang mas, slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah,
prihpih mas, slaka, tembaga miwah jarum mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados dasar.
Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi ajeng, saha mawadah
rerapetan sane mawarna putih, mwah wangi-wangian setegepe, mawastra putih, rantasan
sapradeg. Ring madyaning tumpang merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padhi
musah 2, wangi-wangian setegepe. Ring puncaknya, taler prihpih mas, slaka miwah jarum kadi
ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika kandaning meru
tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah punika manista madya utama, utama jinah
papendemane 11 tali, madya 8 tali, nista 4 tali.

Malih pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun, Bhadawangnala mas, slaka mwah
prabot manusa genep, wangi-wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga,
miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian mas, slaka, nyalian mas, udang
mas, getem (ketam) temaga, tanlempas mewangi-wangian segenepa, mewadah rapetan putih,
metali benang catur warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara,
pripih slaka merajah kulum, pripih tembaga merajah getem, miwah jarum manut pripih, phodi
mirah 2, tan sah wangi-wangian setegepa mewadah rerapetan putih. Malih korsi mas mewadah
lingir sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama, sluwir-luwir padagingan ika,
kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan mamurug, dawning linggih Bhatara, yang
ande kapurug, kahyangan ika wenang dadi pesayuban Bhuta pisaca, makadi sang mewangun
kahyangan ika, tan memanggih rahayu terus tumus kateka tekeng putra potrakanya, asapunka
kojarnya sami mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca
mirah korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana”

Untuk cuplikan ini kiranya tidak perlu dialih bahasakan lagi, karena telah mempergunakan
bahasa Bali lumrah, sehingga telah dapat dimengerti oleh sebagian masyarakat umat Hindu yang
ada di Bali.

f. Ngenteg Linggih. Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari
pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura, secara estimologinya ngenteg berarti
menetapkan – linggih berarti menobatkan/ menstanakan.
Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala
manifestasi-Nya pada Pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat
terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura yang bersangkutan.
Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu secara garis besarnya adalah
sebagai berikut :

Upacāra ditandai dengan membangun Sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bebanten
suci 4 (empat) soroh dan banten catur, tegen-tegenan, serta Perlengkapan lainnya berupa
sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh) butir yang dikemas dalam empat
bakul, uang kepeng 52 (lima puluh dua). Jika di Sanggar tawang menyempatkan tirta, mesti
dilengkapi lagi dengan banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan
lainnya (menurut petunjuk Sulinggih). Pada undakan Sanggar tawang bebantennya adalah suci
samida beserta beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat peras pagenayan
bertumpeng merah, ayam biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah.
Pada Sanggar tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada rong yang ditengah memakai lamak
surya dan lamak candra, lamak segara pada rong selatan, lamak gunung pada rong paling utara.
Pada masing-masing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang kayu, plawa dilengkapi
pajeng, tetunggul empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan panggungan
perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang kepeng 225,
benang setukel dan memakai busana lengkap. Perlengkapan lainnya berupa sesantun beras
senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000,- (lima ribu), jerimpen 5 (lima) tanding,
dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang.
Banten di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah
dengan plegembal. Di depan lubang yang nantinya digunakan mepulang/ menanam pedagingan,
didepannya digelar baying-bayang (kulit) kerbau hitam, sesajen selengkapnya dengan bebangkit
warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu guling, cawu renteg, isu-isu, kwangi.

Pada Sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus, dengan perlengkapannya suci
putih, bebangkit dan pula kerti, sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan
manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama Pelinggih), berupa suci 1,
bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar pura, berupa caru panca sanak, baying-
bayang (kulit) angsa, bebek belang kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi
dengan suci, bebangkit hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. Setelah semua Perlengkapan
Upacāra ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih, kemudian diakhiri dengan
persembahyangan bersama.

Catatan: Tingkatan Upakāra dan Upacāra dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih
pelaksanaannya agar disesuaikan dengan petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang
menjadi Manggala Upacāra saat Ngenteg Linggih

IV. Upacāra Pujawali (Odalan)


Upacāra Pujawali (piodalan) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Dewa Yadnya, yaitu
suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu ditujukan kehadapan Ida Hyang Widhi dan
Para Dewa sekalian.

Bagi umat Hindu (etnis Bali) khususnya, korban itu berbentuk banten, banten yang menjadi
salah satu bentuk persembahan ini sesungguhnya merupakan suatu wujud nyata ungkapan rasa
terima kasih yang tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi, terutapa meyakinkan getaran-getaran
nurani bahwa hidup dan kehidupan kita sebagai manusia amat tergantung daripada-Nya.

Ungkapan rasa terima kasih kita kepada Hyang Widhi yang kemudian melandasi umat Hindu
dalam melaksanakan Yadnya (korban suci) itu dan sesungguhnya telah mengikuti petunjuk-
petunjuk Bhagawadgita (salah satu buku suci), utamanya bab II sloka 12 – 13 berbunyi sebagai
berikut :
“istam bhogam hi vo dava dasyate Yajnabhawitah tuir dattan aprodayani’bhyo Yo bhumkte
stana eva sah”
– Dipelihara oleh Yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau inginkan, Ia
yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah
pencuri.
“Yajnasistasinah santo mueyanto sarvakilbisaih bhunyate teti agham papa ya pacanty
atmakaranat”
– Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari
segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makan bagi kepentingan sendiri
adalah makan dosanya sendiri.
Dengan demikian sudah amat wajarlah setiap orang yang mengakui Kemahakuasaan Tuhan,
akan berusaha berbuat segala sesuatunya sesuai dengan kemampuan serta keadaan untuk
melaksanakan Yadnya kepada-Nya.

Namun apa yang paling penting dalam melaksanakan Yadnya itu adalah adanya rasa yang tulus
ikhlas yang terlahir dari lubuk hati yang paling dalam (suci – bersih), bukan didasarkan atas
besar kecilnya yadnya yang dilaksanakan. Kutipan berikutnya menyatakan betapa sederhananya
yadnya itu boleh dilaksanakan :

“Patram puspam phlam toyam yo me bhaktya prayocehati tad sham bhaktyapahrtam asnami
prayatatmanah”
– Siapapun dengan kesujudan mempersembahkan kepada Ku daun, bunga, buah-buahan dan
air, persembahan yang didasari dengan cinta yang keluar dari hati yang suci, Aku terima.
(Bhagawadgita, III. 28)
Memperhatikan beberapa petunjuk di atas, maka para penyungsung Pura dan umat bertekad
melaksanakan dan mensukseskan Upacāra Pujawali (piodalan) sesuai subadewasa, dengan
segala ketulusan hati yang paling suci bersih. Secara umum rangkaian sebuah Pujawali /
Pidodalan dengan rangkaian Upacāra sebagai berikut :

a. Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali)

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja


diiringi Kidung suci
2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha
Pengulapan.
3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan:
a. Peasepan
b. Toya Anyar
c. Byakala:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah
d) Prayascitta:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Bungkak Gading – Lis Senjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas
e) Pengulapan:
a). Pengeresikan
b).Tirtha – Padma
c). Bungkak Bulan – Lis
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.
Catatan:
 Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -
Bale Pawedaan – Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat
Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni-
Dapur Suci – Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale
Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama
Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.

1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning
sembah
2. Nunas Tirtha Wangsuhpada
3. Puja parama santih

b. Upacāra Ngingsah (Taman Sari/ Beji)


Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) Pinandita
memohon Tirtha 5 (Lima) Jenis dari Taman Sari atau Beji
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahan-bahan Upacāra diiring
ke Beji oleh Serati banten
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian
Nyeruh beras, nampinin beras, kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala,
tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d. Beras Hitam (Injin) e. Kacang-
kacangan (Bija ratus)
3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat
4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan-bahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke
Madya Mandala (Sanggar Tapeni)

c. Upacāra Ngereka Beras Catur (Sanggar Tapeni)


Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) 1. Daksina Taksu
(Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning dilinggihkan di Sanggar Tapeni 2. Suci alit, Pejati,
Sesayut Bagia Setata, Bahan – bahan upakāra 1 tempeh, dibawahnya 3. Dua tempeh sukla 2, kain
putih -/+ @ 0.5 mtr, Kuangen PengErekan 11x 2, uang kepeng 108 x 2, beras yang sudah
diingsah, cili lanang-istri @ 1 buah, soda 2, canang lenga wangi 2 burat wangi 2, canang
pengeraos 2, canang sari 2 4. Beras direka menyerupai manusia laki dan perempuan (yang laki-
laki oleh ditanding oleh Pria, dan yang perempuan ditanding oleh Wanita) 5. Muspa ke hadapan
Bhagawan Wiswakarma dan Bhatari Tapeni, memohon agar pelaksanaan Rangkaian Upacāra
pujawali berjalan dengan lancar, aman, tidak ada yang bertengkar/berselisih faham dan
semuanya bergembira, serta agar tidak boros 6. Dilanjutkan dengan memercikkan tirtha
Pengarksa Karya dan Tirtha Panginih-inih 7. Dilanjutkan dengan membuat adonan tepung untuk
samuhan catur, suci, pebangkit, pulagembal, dan jerimpen sumbu.

d. Upakāra Nunas Tirtha Ke Pura Lain

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja


diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita,
dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a.
Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala
diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c)
Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e.
Pengulapan: a). Pengeresikan b).Tirtha – Padma c). Bungkak Bulan – Lis d). Banten Pengulapan
diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan:  Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-
TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik – Bale Pawedaan – Asagan Banten –
Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA),
Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni-
Dapur Suci – Bale Kulkul –Candi Bentar-, Bale untuk Nedunang – Pemedal Agung- Pelinggih
Maya – Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu
petugas kembali ke Utama Mandala  Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.  Jika
tidak ada kegiatan nunas tirtha ke Pura lain, maka upacara ini tidak dilaksanakan 1. Umat
diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah 2.
Nunas Tirtha Wangsuhpada 3. Puja parama santih 4. Petugas nunas Tirtha dibagikan Bumbung
dan Banten.
e. Upacāra Pecaruan
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi
Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Pandita/ Pinandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan,
Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan
urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten
Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma
c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e.
Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan
diayabkan ke pelinggih bagian atas f. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Ida pedanda Catatan:
 Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah,
Bale Papelik – Bale Pawedaan – Asagan Banten – Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut
(SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu
diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci – Bale Kulkul –Candi Bentar-
Caru, Bale untuk Nedunang – Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong-
Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala
 Dibutuhkan 15 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Pandita/Pinandita mapuja ke Surya
(Upasaksi) 5. Pandita / Pinandita Ngundang Bhūta, diikuti kidung Bhūta Yajña 6. Pemercikan
Tirtha Pecaruan (Byakala, Prayascita,dan Tirtha Caru) dimulai dari arah Timur-Tenggara-
Selatan – Barat Daya- Barat- Utara- Tengah. 7. Pandita / Pinandita Ngayabang Caru dibantu oleh
umat (7 Orang) 8. Pandita / Pinandita Ngelukat Bhūta dibantu oleh Pinandita 9. Pralina Bhūta
10. Nyarub Caru, dengan urut-urutan: Tirtha Caru, Nasi Caru, Sampat, Tulud, Kulkul,
dilaksanakan memutar berlawanan dengan arah jarum jam (prasawya) sebanyak 3 x diikuti Gong
Bleganjur 11. Kemudian Pandita / Pinandita Mepuja dalam rangka Nedunang.

f. Upacāra Nedunang di Pañca Desa


 Telajakan Wastra Putih dari Padmasana sampai Candi Bentar di atasnya berisi Canang Cari. 
Di Panggungan: Suci Laksana, Daksina Gede, Pejati. Di bawah panggungan: Segehan Agung,
Arak-Berem-Tuak.  Perlengkapan lainnya: Peasepan, Kober, Lontek, Tumbak, Mamas,
Penuntun, Sesayut Penuntun Dewa, Sesayut Pemapag, Sesayut Pengiring, Segehan Agung, Cane,
Tempat Tirtha, Rantasan, Daksina Pralingga, Tedung, Gong Bleganjur.  Banten Arepan ; Peras,
Daksina, Segehan,  Tirtha Panedunan dari Ida Pedanda 1. Setelah Semua Uperengga di atas
berada di Pangungan, pinandita mulai ngastawa, diiringi dengan kidung dan Gong Bleganjur a.
Ngemargian Tirtha Penedunan b. Nagturang banten ring Pangungan Catatan: Semua prosesi di
atas dimulai dari Pralingga Padmasana, Taman Sari, Pangemit Tirtha, Anglurah. c. Masegeh
Agung oleh pinandita d. Tedun dari panggungan dengan melewati Panggungan dengan urut-
urutan dari depan:  Peasepan  Penuntunan  Mamas  Umbul-umbul  Banten pemagpag

 Banten Penuntun dewa  Banten Pangiring  Cane  Rantasan  Tempat Tirtha  Daksina
Pralingga  Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman
Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi,
Bleganjur, umat • Point d butuh tenaga: 26 orang

g. Upacāra Medatengan di Depan Candi Bentar Pejati


1, Pangulapan, Datengan, Canang Pangrawos, Masing-masing Daksina Pralingga; Soda
Pemendak, Pependetan dan atau bebarisan 1. Pinandita mepuja ngaturang banten datengan 2.
Tarian papendetan 3. Memargi ke Utama Mandala menuju Bale papelik 4. Bleganjur sampai di
depan Kori Agung

h. Banten Mesandekan Ring Bale Papelik Pejati


1, Masing-Masing Daksina Pralingga: banten Rayunan (Hidangan nasi, lauk, sayur, minuman
menjadi 1 tempat), di bawah: Segehan Cacahan. Setelah selesai mesandekan menuju Taman Sari
Untuk Mesucian

i. Upacāra Masucian Ring Beji (Pancoran)


Suci Alit, Pejati, Ayaban Tumpeng Lima, Eteh-eteh Pasucian (sisir, cermin, minyak wangi,
bedak), Masing-Masing Daksina Pralingga; Canang Lenga Wangi, Canang Burat Wangi, Wastra
(kain, handuk, sabuk Stagen), Segehan Cacahan. 1. Pinandita mulai ngaturang banten bersamaan
ketika Ida Bhatara Medatengan 2. Daksina Pralingga mulai dari Padmasana samapi Anglurah
dihaturi: a. Toya Anyar b. Sabun c. Air kumkuman d. Katuran Wastra e. Sisir f. Bedak g. Minyak
Wangi h. Cermin i. Masegeh Cacahan 3. Persiapan Purwa Daksina

j. Upacāra Mapurwa Daksina


1. Pinandita ngaturang Segehan Agung di depan Padmasana, Petabuh Arak-Berem-Tuak. 2. Urut-
urutan Purwa Daksina:  Peasepan  Penuntunan  Mamas  Umbul-umbul  Banten
pemagpag  Banten Penuntun dewa  Banten Pangiring  Cane  Rantasan  Tempat Tirtha 
Daksina Pralingga  Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana,
Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha
Santi, umat • Selesai Purwa Daksina, Ngelinggihan Ke masing-masing pelinggih oleh Pinandita
dibantu Para Sutra

k. Upacāra Pujawali
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi
Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Panditamemohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala,
Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan:
a. Peasepan b. Toya Anyar c. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading
– Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas d. Pengulapan: a)
Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke
pelinggih bagian atas e. Tirtha padudusan dari Pandita f. Tirtha Catur Kumbha dari Pandita g.
Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Pandita Catatan:  Semua kegiatan a – g dimulai dari
Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik – Bale Pawedaan –
Asagan Banten – Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat
Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni-
Dapur Suci – Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale
Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama
Mandala  Dibutuhkan 16 orang pengayah untuk prosesi ini. 1. Pandita mapuja ngaturang
Pujawali 2. Sembahyang bersama 3. Mejaya-jaya 4. Nunas tirtha 5. Dharma Wacana 6. Puja
Parama Santih

l. Upakāra Ngayarin:
A. Pagi Hari: (pk. 09.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha,
Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Pejati, Kopi
/Teh, kue, di bawah Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih yang lainnya: masing-masing:
Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan Cacahan B. Siang Hari: (pk. 12.00) 1. Sanggar
Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan,
Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Rayunan , di 2. Pelinggih yang lainnya masing-
masing: Rayunan Alit 3. Arepan Memuja: Soda Catatan: Upacara Nganyarin dilaksanakan jika
pujawali / piodalannya nyejer, selama nyejer dilaksanakan persembahan banten Nganyarin dan
umat sembahyang. Jika pujawali /piodalan tidak nyejer maka upacara ini ditiadakan

m. Upacāra Penyineban
1. Pinandita ngaturang Banten Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4.
Nedunang Daksina Pralingga dari masing-masing Pelinggih 5. Urut-urutan Nyineb a. Purwa
Daksina:  Peasepan  Penuntunan  Mamas  Umbul-umbul  Banten pemagpag  Banten
Penuntun dewa  Banten Pangiring  Cane  Rantasan  Tempat Tirtha  Daksina Pralingga 
Tedung  Salaran  Tegen-tegenan Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari
Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah:
Sekeha Santi, umat 6. Selesai Purwa Daksina, Mesandekan di Asagan 7. Pinandita ngaturang
Banten Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang Segehan Agung 9. Tirtha Pralina untuk Daksina
Pralingga 10. Banten Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina Pralingga 12. Puja Parama Santih 13.
Meprani

n. Upacāra Ngelemekin
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja
diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita,
dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a.
Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala
diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c)
Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e.
Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan
diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan:  Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-
TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan – Pengraksa Karya mulai dari
sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu
diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci – Bale Kulkul –Candi Bentar-
Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat –
Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala  Dibutuhkan 13 orang
pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina Pralingga Dewi Tapeni 5. Mralina Lingga
Bhagawan Wiswakarma 6. Ngaturang Suyuk 7. Umat diperciki tirtha Prayascita, 8. Sembahyang
bersama dan Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha Wangsuhpada 10. Ngaturang Guru Dakasina
kepada: Pinandita, Serati Banten, Panitia, Banjar 11. Puja parama santih 12. Asah-Asih-Asuh

V. Penutup
Demikianlah pengertian, pengelompokan dan tata cara mendirikan sebuah pura yang dapat
diketengahkan pada kesempatan ini. Dari uraian ini akan timbul pertanyaan; Mampukah umat
Hindu memenuhi petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta mampukah melaksanakannya ?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai
Yajamana tetapi tugas Umat Hindu sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang.
Tetapi penulis yakin, apabila memang dilandasi dengan pikiran tulus dan suci tidak ada yang
tidak dapat kita lakukan, lebih-lebih demi kepentingan yang lebih besar dan untuk kerahayuan
jagat. Demikian Kesimpulan akhir tulisan ini yang sudah tentu masih banyak kekurangannya,
namun ada baiknya untuk bahan renungan dalam usaha ngastiti kerahayuan kita bersama.

Moksartham Jagadhita Om Santih Santih Santih Om


Oleh : I Wayan Sudarma (Shri Danu D. P)

Pura Dalem

Pura Dalem adalah berfungsi untuk pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai bagian dari Kahyangan
Tiga yang terdapat di setiap desa adat di Bali.

Dalam sejarahnya, dahulu disebutkan Pura Dalem merupakan pemujaan kepada Dewi
Durga sebagai Dewa utama dari Sekte Bhairawa, sehingga Pura Dalem ini sangat erat kaitannya
dengan setra dan Pura Mrajapati sebagai tempat pemujaan alam kosmis untuk menetralisir
kekuatan positif dan negatif.
Umat Hindu Bali percaya bahwa orang yang mati sebelum masuk sorga, mereka dibawa ke Pura
Dalem Puri yang diyakini secara niskala dalam puratersebut terdapat sebuah kawah yang disebut
Candra Goh, jembatan yang disebut Titi ugal-agil dan Tegal Penangsaran serta hutan pohon kayu
curigayang ada dalam pura dalem ini.

Jajaran Pelinggih di pura dalem ini sebgaimana disebutkan dalam artikelesensi & konsepsi
pura sebagai tempat suci di bali, pelinggih - pelinggih yang ada di pura dalem disebutkan :

 Gedong Linggih Sthana Dewi Durgha (Sakti Siwa)


 Linggih Sthana Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, (gelar dari "banaspatiraja"; Lontar Kanda Pat
Sari)
 Lingga Sthana Sedahan Penglurah (Tepas Ratu Gede`Mecaling)
 Bedogol Linggih Sthana Sang Bhuta Diyu (Apit Lawang)
 Bedogol Linggih Sthana Sang Bhuta Garwa (Apit Lawang)
 Pada Panghulun Setra dibangun Pelinggih Prajapati, berbentuk Padma dan sebuah bebaturan
Linggih SedahanSetra.

Anda mungkin juga menyukai