Anda di halaman 1dari 11

Pura Puru Sada Sebagai Cagar Budaya Dilihat dari

Persepetif Sejarah, Struktur dan Fungsinya Sebagai Media Pendidikan

Pewarisan Nilai Budaya.

Oleh
I Putu Agus Eka Sanjaya, (0914021004),
(e-mail: Sanjayaeka77@yahoo.co.id)
I Wayan Sugiarta*)
Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) sejarah berdirinya Pura


Purushada di Desa Kapal, Badung, Bali; (2) struktur Pura Purushada tersebut; dan (3)
fungsi dari Pura Purushada sebagai media pendidikan pewarisan nilai budaya.
Penelitian ini menggunakan metode kerja sejarah yaitu: (1)Heuristik (pengumpulan
bukti/jejak melalui teknik observasi, studi dokumen dan wawancara); (2) Kritik
Sumber; (3) Interprestasi; dan (4) Historiagrafi. Hasil penelitian menunjukan bahwa
Pura Purusadha berdasarkan sumber-sumber yang ditemukan dalam penelitian ini
menunjukan bahwa pura ini dibangun pada abad ke-12 M dimasa pemerintahan Sri
Maharaja Jaya Sakti dan nantinya dilanjutkan oleh Raja Mengwi pertama yang
bernama I Gusti Agung Ngurah Made Agung Bima Sakti atau Cokorde Sakti
Blambangan, yang berhasil menguasai Buleleng, Blambangan, Jembrana dan
Mengwi. Hal ini didukung pula oleh adanya pelinggih yang bernama pelinggih Ratu
Made. Sedangkan pemangkunya adalah keturunan dari Ki Gusti Celuk yang bernama
Ki Demang Copong. Mengenai struktur pura ini menggunakan Tri Mandala dan pada
mandala utama terdapat Prasada yang menjadi cirri khas dari pura ini dan terdapat
patung Sri Jaya Nengrat dan Ratu Manik Galih sebagai benda cagar budaya. Fungsi
Pura Purusadha sebagai pewarisan nilai budaya dapat disoroti dari fungsi nilai
religius magis,nilai dibidang politik dan nilai yang bersifat laten yang cenderung
bersifat sosial ekonomis.

ABSTRACT

This research was aimed at knowing (1) the establishment history of Purushada
temple in Kapal village, Badung, Bali; (2) structure of Purushada temple; and (3) the
function of Purushada temple as education media of culture value inheritance. This
research used history activity method such as: (1) heuristic (gathering the historic
evidence by using observation, study of document and interview technique); (2)
source criticism, (3) interpretation, and (4) Historiagraf. The result of this study
showed that the Purushada temple was build at 12th century in the reign of Sri
Maharaja Jaya sakti and was continued by the first Mengwi King named I Gusti
Angung Ngurah Made Agung Bima Sakti or Cokorde Sakti Blambangan who succeed
govern Buleleng, Blambangan, Jembrana and Mengwi. This fact was supported by
the existence of pelinggih namely pelinggih Ratu Made. Then the Pemangku is the
descent from Ki Gusti Celuk named Ki Demang Copong. The structure of this tample
use Tri Mandala and there is Prasada in mandala utama which be the special
characteristic of this temple and there is Sri Jaya Nengrat and Ratu Manik Galih
statues as cultural heritage. The fuction of Purushada temple as cultural heritage can
be seen from the religious, magical value, political value and latent value which tend
as social economic.

Kata kunci : Pura Puru Sada, Cagar Budaya, Sejarah, Fungsi dan Makna, Pewarisan,
Nilai Budaya
*)
Dosen Pembimbing Artikel

1
Masyarakat Bali dalam berbagai yang terletak di Desa Kapal, Mengwi ,
aspek kehidupannya selalu Badung. Pura ini sangat menarik
berlandaskan dan berpedoman pada untuk dikaji karena memiliki ciri khas
konsep Tri Hita Karana yang terdiri tersendiri yaitu di Utamaning Mandala
dari Prahyangan, Pawongan, itu ada sebuah prasada yang diakui
Palemahan (Suparman, 2003 : 133; sebagai situs cagar budaya yang mesti
Pitana, 1944: 148). Secara konseptual dilindungi(Supartha,2010:91). Oleh
Tri Hita Karana adalah tiga unsur karena itu ditetapkan sebagai situs
penyebab kebahagian yang cagar budaya, sudah barang tentu di
mengajarkan tentang keserasian, dalamnya terkandung hasil karya
keselarasan dan keseimbangan manusia masa lalu yang memiliki
(Manuaba, 1999: 61; Sudibia, 1994: nilai-nilai budaya yang adiluhung yang
84). Jadi Tri Hita Karana dapat sudah semestinya perlu dilestarikan
diartikan sebagai tiga hubungan dan diwariskan kepada generasi
harmonis yang mengandung filsafat berikutnya atas dasar itu penulis
keselarasan, keserasian dan tertarik mengangkatnya sebagai
keseimbangan yaitu hubungan antara penelitian untuk sekripsi.
manusia dengan Tuhan, manusia Penelitian ini bertujuan untuk
dengan sesama manusia dan manusia mengetahui sejarah berdirinya Pura
dengan alam lingkungannya. Pada Puru Sada di Desa Kapal, Badung,
dasarnya di Bali unsur Prahyangan Bali. Mengetahui struktur Pura Puru
diwujudkan dengan satu unit pura Sada dan fungsi dari pura ini sebagai
tertentu yang mencerminkan unsur media pendidikan pewarisan nilai
Ketuhanan. Menurut kepercayaan budaya. Kajian teori yang digunakan
Masyarakat Hindu di Bali yang dalam penelitian ini adalah latar
mempunyai kekuasaan tertinggi di belakang pendirian pura, struktur
alam semesta ini hanya satu yaitu Sang pura, cagar budaya, fungsi pura, media
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). pendidikan dan pewarisan nilai.
Salah satu pura kahyangan jagat METODE PENELITIAN
yang terkenal yaitu Pura Puru Sada

2
Penelitian ini memfokuskan kajian berdirinya Pura Puru Sada maka
tentang sejarah berdirinya Pura Puru berikut ini dicandrakan sejarah
Sada. Oleh karena itu metode yang pendirian pura ini. Jika berdasarkan
digunakan dalam penelitian ini adalah Prasasti Pakraman Kapal yang berupa
metode kerja sejarah sebagaimana lempengan tembaga (tamra lingga,
yang dikemukakan oleh Kontowijoyo yang dibuat atas pemerintah Raja Bali
(1995) yang meliputi: (1) Heuristik, yang bernama Sri Maharaja Jaya Sakti
(2) Kritik Sumber, (3) Interprestasi, (1133-1150). Yang di dalamnya
dan (4) Historiografi. tentang “Nama Pura Purusadha
HASIL singkatan dari Pura Prasadha yang
Hasil dari penelitian ini
dipugar selama zaman keemasan
menunjukan bahwa (1) Pura ini berdiri
Majapahit. Pura Purusadha ini
pada abad ke-12 pada masa
dipersembahkan kepada Siwa Guru
pemerintahan Sri Maharaja Jaya Sakti
dengan Bhtara Sakti Jayanggrat dan
dan dilanjutkan oleh Raja Mengwi
Bhatara Sri (Manik Galih)”.
pertama. (2) Struktur pura ini
Sedangkan sumber tertulis kedua yang
menggunakan konsep tri mandala dan
tertuang dalam Kuntara Kanda Purana
bangunan utama berupa Prassadha dan
Bangsul dijelaskan bahwa:
benda cagar budaya berada di
“titanen duk masaning kadeawatan,
utamaning mandala. Dan (3) Fungsi hana Penagareng Purusadha ng.
Ing Kana Kraton nire Sri Maha
pura ini sebagai pewarisan nilai
Raja Sek Sukaranti, kang Maharaja
budaya yaitu fungsi religius magis, Ika wit sakeng warih ira Bhatara
Surya (Sanghyang Surya Radtya)
nilai politik, dan nilai laten (sosial
sira aprameswari lawan Sanghyang
ekonomis). Ulan, sira juga kang ingaranang
Sanghyang Ratih, ng. Duking
PEMBAHASAN
mangkane Sira Sanghyang Surya
Sejarah Pura Puru Sada
lawan Sanghyang Ratih ngewetu
Berdasarkan informasi baik yang
aken sadiri kang, ng. Shri Aji
dituangkan secara tertulis maupun Maharaja Purusadha .
(artinya: dikisahkan pada zaman
lisan dari sumber-sumber yang tersedia
kedewatan (zaman prasejarah, ada
maupun informasi yang dapat suatu negara yang bernama Purusadha,
kratonnya Sri Maharaja Sek Sukaranti,
dipercaya memberikan fakta tentang
asal usul raja tersebut adalah dari

3
turunan bhatara Surya (Sang Yang Dalam lontar ini juga dijelaskan
Surya Raditya) beliau menikah dengan
bahwa pada bangunan utama terdapat
Sanghyang Ulan, beliau juga
dinamakan Sanghyang Ratih, yang sebuah Candi Agung(Prasadha) dan
pernikanahan Sangyang Surya dengan
tidak seperti pura lainnya di Bali
Sanghyang ratih (sanghyang ulan)
menurunkan seorang putra bernama terdapat Meru, yang merupakan lingga
Srihaji Maharaja Purusdha).
stana Bhatara Guru/ Siwa Nata/ Giri
Berdasarkan urian di atas yang
Nata/ Giri Putri. Di samping itu dalam
termuat dalam sumber tadi ada sebuah
lontar sari manic tuluk biu halaman 7
kesejajaran jika dilihat dari cara
dinyatakan bahwa:
penulisan nama dalam lontar Sari
Matang ning ring genahing Kapal
Manik Tuluk Biu sehingga lontar di
ika katureksa denire hyang
atas ditulis pada zaman Shri Aji Jaya Maharaja Sek Sukaranti saha sire
anggawa togok kang kakinarya ing
Pangus I caka 1103 atau 1181 M
dangu agia kapendem ring genah
(Dalem Balingkan). ika. Wetning hana subdan nire
Bharata Genah Ika maka lingga
Sumber lain yang terdapat dalam
ning Sang hyang Dewi Manik Galih
lontar Sari Manik Tuluk Biu Batur kang ingaranan Dewi Sri Murti,
ring kana Sri Maharaja kainarye
Kintamani pada halaman satu yang
aken Candi Kang Maha Agung.
berbunyi: Saha ring tengah niye kahasti olih
togok ika kinargama atma juwitan
“make cinarita aken Shri
nire Dewi Manik Galih kang
Maharaja Sek Sukaranti kairing
apapasih Dewi Sri Murti. Sire
oleh bale mantra nire 8000 diri
merage dewaning kauripaning
aneng jagat Purusadha, riagia siti
manusa kanghana ring Bangsul.
narime aken paungun nire I Patih
Ring hana sire kadinarmeng
Demang Copong ring sapa rindik
ingaranan Candi Purusadha,
ire mangiring Shri Maharaja
wetning sire kang kinarye aken
Jayanengrat presama lawan strin
candi ika Sri Maharaja Sek
nira Shri Dewi Manik Galih…..
Sukaranti kang angamel jagat Puru
(Artinya: sekarang diceritakan Shri
Sadha ing Banua Goan ng.
Maharaja Sek Sukaranti yang diiringi
panegareng Cina.
oleh bala mantrinya sebanyak 8000
(artinya: diceritakan dilokasi kapal itu
orang yang berasal dari jagat Pura
diinspeksi oleh hyang Maharaja Sek
Sadha, selanjutnya Shri Maharaja
Sukaranti serta beliau membawa
Purusdha memerintahkan pada
patung yang dibuat dimasa lalu akan
patihnya Demang Copong untuk
diletakan ditempat itu. Sebab ada
mengikuti Shri Maharaja
perintah Bhatara. Tempat itu sebagai
Jayangnengrat bersama istrinya Shri
lingga stana sang hayang dewi manic
Manik Galih).

4
galih yang bergelar dewi sri murti, leluhurnya menjadi pemangku Pura
disana oleh sri maharaja dibuatkan Purushada di Desa Kapal.
candi yang sangat agung. Yang Begitu pula dalam sumber Utara
didalamnya khasti oleh arca yang
Kanda Dewa Purana Bangsul halaman
diibaratkan atma juitan (roh suci)
beliau Dewi Manik Galih yang 11 dinyatakan bahwa :
bergelar Dewi Sri Murti. Beliau adalah
“tan mesuwe sakeng pawangun
dewanya kehidupan manusia yang
kahyangan Tiga Ika agya dating Sri
berada di Bali. Disana beliau
Aji Nuk Wasir, sira maraga maring
kadinarmeng dilingga stanakan yang
Panogareng Konca ng. putran nira
dinamakan candi Purusadha karena
Sanghyang Surya kang wangsu, sira
beliau yang dibuatkan candi itu adalah
maraga Yayah ira Sri Maharaja
Sri Maharaja Sek Sukaranti yang
PURUSDHA, sira juga kang maka
memegang kerajaan Pura Sada di
ngaran dalem Purasadha sira
Tanah Goan yang bernama negeri
merage kakiang ira Sri Dalem Anom
Cina. Bangunan pelinggih tersebut
Sukaranti…. …. …. Ika tumurun ka
dinamakan pelinggih ratu manik Galih
Banoa Bangsul sira kainiring aken
yang masih ada di pura ini sampai
dening Balan nira kang sakwehing
sekarang).
wangsa Cina, riwus sira tumiba
Sedangkan bagian akhir pada Lontar
maring Bangsul, agya ta malih sira
Babad Celuk lembaran 42 yang juga kinarya aken makudang-kudang
candi, tocapa sira ngawinangun
memuat informasi tentang keberadaan
CANDI PURUSADA ing ngenah
Pura Purusadha yang dikatakan bahwa: Kapal kang kineleb ika nguni,
ingkana sira ngewangun Candi
Sedawege I Gusti Gede Sampalan
biprayan nira ngalungguh aken
Gunung sah Sira saking gumi Sasak
cucun nira kang ingaranan Dhalem
anuncak gumi Bali munggah kabaita,
Anom Sukaranti, ika rimangke
ring parsuan Angpenan, raris
ingranan Desa Kapal, malih ring
keatepan katane ring kuna, sedawege
kiduling candi ika kang tan madoh
sire apariname kadi naman Sang
sakeng ika hana linggih kang
yayah, apenelah Sirarya Demang
ingaranan Karang Suwung. Malih
Copong, dadi meibukin menek
ring loring Kahyangan ika hana
angenti tate sire angguahan agung
linggih ng linggih Ira I PATIH
asti dadi pemangku ring pura
DEMANG COPONG, Malih tan
purushada wenten predesa kapal.
madoh saking candi Ika hana
(artinya: ketika I Gusti Sampalan
Khayangan ng Khayangan nira kang
Gunung meninggalkan pulau Lombok
muatan Kapal ika. Ika ingaranan
(bumi sasak, menuju Pulau Bali naik
Khayangan nira Kerana Kapal.
perahu dipelabuhan Ampenan
Malih kang tan madoh sakeng Candi
kemudian dihubungkan dengan cerita
ika hana malih Khayngan
yang telah lalu pada saat leluhurnya
ingaranayan Kentel Gumi.
bernama Sir Arya Demang Copong
(Artinya: tidak lama setelah
kemudian I Gusti Gede Sampalan
dibangunnya ketiga pura itu, segera
Gunung berganti nama sesuai nama

5
datanglah Shri Haji Nuk Wasir yang diijinkan membukanya oleh ida
menjadi raja di tanah Konca putranya
pedande pada waktu itu sehingga
sanghyang surya yang bungsu, beliau
merupakan ayah dari maharaja isinya tidak diketahui dan batu yang
Purusadha yang juag disebut Dalem
dimaksud diletakan sebagai dasar
Purusadha, kakek dari shri dalem
anom Sukaranti,….. itu datang ke candi Agung Pura Purusadha.
Benoa Bangsul (Bali) dengan diiringi
Dalam lontar sari manic tuluk
oleh orang-orang Cina, setelah tiba di
Benoa Bangsul, dengan segera biu halaman 10 poin 1 dinyatakan
membangun beberapa buah Candi,
bahwa:
diceritakan beliau membangun Candi
Pura Sadha pada lokasi perahu yang ring candi purusadha sira
tenggelam dimasa lalu, disana beliau ngewangun khayangan nire Bhatara
membangun candi yang dimana Guru ika keanggen tueling ire
rencananya sebagai tempat wetning ika jhagat bangsul kang
mensucikan roh cucunya yang benama kapare tama. Muah ingkane juge
Dalem sukaranti yang sekarang kawangun khayangan nire dewi
bernama desa kapal, selanjutnya Manik Galih papering lawan sire
disebelah selantan yang tak jauh dari bhtara Jayengrat, maka suamin nire
situ ada tempat yang dinamakan ing dangu, ika pit weling kauripan
karang suwung. Selanjutnya diutara ikanang manusa ing Banua Bangsul.
pura itu ada tempatnya I Patih (artinya: di candi purusdha beliau
Demang Copong. Selanjutnya tak jauh membangun candi sebagai tempat
dari candi itu ada pura karama Kapal, berstana Bhatara Guru, itu sebagai
senjutnya tak jauh dari pura itu ada pertanda keberadaan pulau Bali
lagi Pura Kental Bumi.) pada awalnya. Juga disana dibangun
Dilain pihak Sukarto Karto palinggih tempat berstananya Dewi
Manik Galih bersama suaminya yang
Atmojo (1977; 9) menyatakan bahwa
bernama Bhtara Jayengrat, sebagai
didalam Pura Sadha Kapal ditemukan suaminya dimasa lalu yang
merupakan awal mula kehidupan
tinggalan dari masa prasejarah berupa
manusia-manusia di pulau Bali.
dari tahta batu. Dan setelah Berdasarkan sumber-sumber di
dikonpirmasikan kepada penglingsir atas dapat disimpulkan bahwa Pura
pemangku Pura Sada yaitu Jero Purushada dibangun pada abad 12 M
Pemangku I Made Brata dibenarkan oleh Raja Jayasakti dengan pemangku
bahwa pemugaran candi yang keturunan dari Ki Gusti Celuk yang
dilakukan pada tahun sekitar 1949 bernama Ki Demang Copong dan pura
didasar candi ditemukan peti batu alias ini dijadikan pura kerajaan pada zaman
batu persegi. Akan tetapi tidak Raja Mengwi, yang menurut penulis

6
kemungkinan besar pada masa Raja utamaning mandala (jeroan) terdapat
Mengwi pertama yang bernama I Gusti sebuah bangun suci (prasada) yang
Agung Ngurah Made Agung Bima menjadi ciri khas dari pura ini dan ada
Sakti atau Cokorde Sakti Blambangan pula beberapa pelinggih atau bangunan
sebab raja ini berasil menguasai suci yaitu Apit Lawang Candi Tengen,
Buleleng, Blambangan, Jembrana dan Apit Lawang Candi Kiwa, Pelinggih
Mengwi. Hal ini didukung oleh Semer, Lumbung (Bhatara Sri),
adanya pelinggih yang bernama Pelinggih Sakenan, Pelinggih Ratu
Pelinggih Ratu Made. Manik Galih, Penataran Agung Tengen
Struktur Pura Puru Sadha , Penataran Agung Madya, Penataran
Struktur pura ini menggunakan
Agung Kiwa, Pelinggih Gunung Batur,
konsep Tri Mandala yaitu Nista
Pelinggih Gunung Agung, Padma,
Mandala (Jaba Sisi), Madya Mandala
Pelinggih Gusti Celuk, Pelinggih Ratu
(Jaba Tengah) dan Utama Mandala
Made, Pelinggih Ratu Pasek Tengen,
(Jeroan). Dimasing – masing mandala
Pelinggih Ratu Pasek Madya,
ini terdapat beberapa bangunan suci
Pelinggih Ratu Pasek Kiwa, Pelinggih
(pelinggih) tempat berstananya sinar
Gunung Batu Karu, Sambiangan
suci (dewa) dari Ida Sang Hyang
Dangin, Pelinggih Ratu Panji,
Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa)
Pelinggih Ratu Ketut, Pelinggih Ratu
dalam berbagai manifestasinya. Pada
Ngurah, Sambiangan Ratu Ngurah,
jaba sisi (nista mandala) terdapat
Bale Pesantian, Pelinggih Pangulun
beberapa bangunan suci di antaranya
Satya, Bale Suci, Pelinggih Teratai
Soka Asti, Meja Beton Ring Ajeng
Bang, Taman Suci, Sambiangan Panca
Candi Bentar, Pelinggih Ratu Sedahan
Sari, Sambiangan Ageng Baler
Bingin dan Pelinggih Jaran. Pada Jaba
Pewarisan Nilai Budaya
Tengah (madya mandala) terdapat Pura selain sebagai tempat suci,
bangunan suci diantaranya Bale Gong, pura juga memiliki fungsi lain yakni
Gedong Parerepan, Bale Sumanggen, menjadi pusat “budaya” karena rasa
Pawaregan Jaba Tengah (Brahma), eksistensi, rasa menghargai, keindahan
Bale Kulkul (Gendongan). Dan di akan terus dipupuk oleh aktivitas

7
budaya yang dilakukan dalam kegiatan karakteristik kearifan lokal dibidang
upacara di pura. Pura dalam konteks reigius magis yang dapat diungkapkan
para seniman Hindu bahwa seni adalah dari cagar budaya klasik ini. Pertama
persembahan, maka apabila mereka terjadi kesinambungan kepercayaan
mendapat dapat mewujudkan rasa yang mulanya berkembang pada masa
seninnya di pura mereka, merekapun sebelumnya kemudian disesuaikan
mewujudkan secara maksimal karena dengan alam piker dan pada masa
mereka ingin mempersembahkan klasik seperti pemujaan terhadap roh
sesuatu yang baik seni memang telah leluhur pada zaman prasejarah terus
menunggal dengan aktivitas berkembang dengan beberapa
keagamaan di Bali terlebih lagi dalam penyesuain seperti pemujaan pada
aktivitas keagamaan di pura. Akan konsep dewa raja dan unsur kesuburan.
tetapi pada kajian ini lebih disoroti Begitu pula keyakinan kepada
fungsi pura sebagai pewarisan nilai kekuatan-kekuatan alam disesuaikan
budaya yang patut dengan kepercayaan Agama Hindu
ditumbuhkembangkan sebagai media menjadi Dewa Tri Murti. Pola pola
pendidikan untuk membangun generasi keyakinan yang terus berlanjut inilah
yang akan datang dalam upaya terus berlanjut yang memungkinakan
pelestarian nilai-nilai budaya mengapa unsur-unsur peninggalan
leluhurnya,yang adiluhung yang budaya pra Hindu teteap dianggap
meliputi: sebagai benda skral dan dimanfaatkan
1. Nilai religius magis sebagai sarana pemujaan. Kedua,
Hampir semua cagar budaya
terjadi perpaduan fungsional terhadap
masa klasik mencerminkan kearifan di
unsur-unsur budaya yang
bidang religius. Hal ini tidak terlepas
mencerminkan unsur religius magis
dari keberadaan cagar budaya tersebut
tersebut. Sebagian besar pelinggih
sebagai living monument yang tetap
utama pada situs pura dibangun untuk
dianggap sacral dan dipakai media
sarana bagi pemujaan roh suci leluhur
pemujaan bagi masyarakat Bali pada
dan sekaligus sebagai tempat untuk
umumnya. Terdapat beberapa
pemujaan dewa. Begitu pula terjadi

8
perpaduan unsur Budhisme dengan wisatawan domistik dan mancanegara
Siwaisme sehingga membentuk yang berwisata ke objek candi ini
kepercayaan yang lebur menjadi satu untuk tujuan studi (hasil wawancara
kesatuan yakni Siwa Budha. denganNyoman Padmi Tgl 12 Mei
Sinkritisme Siwa Budha ini sangat 2013)
jelas terdapat pada prasadha Pura Sada SIMPULAN
Berdasarkan hasil dari pemaparan di
Kapal. Dan seni arca yang menunjukan
atas penulis dapat menarik beberapa
sinkritisme ini.
kesimpulan sebagai berikut.
2. Nilai di bidang politik
(kekuasaan) 1. Pura Purusadha berdasarkan
Kearifan politik yang tercermin
sumber-sumber yang ditemukan dalam
dari cagar budaya Pura Purusadha
penelitian ini menunjukan bahwa pura
yang dibangun atau didirikan oleh
ini dibangun pada abad ke-12 M
pihak kerajaan yang dalam hal ini pura
dimasa pemerintahan Sri Maharaja
sada kapal didirikan atas perintah raja.
Jaya Sakti dan nantinya dilanjutkan
Dengan demikian struktur pelinggih
oleh Raja Mengwi pertama yang
yang mengakomodasi unsur-unsur atau
bernama I Gusti Agung Ngurah Made
tokoh-tokoh yang dianggap berjasa
Agung Bima Sakti atau Cokorde Sakti
dipresentasikan sesuai struktur
Blambangan, yang berhasil menguasai
pemerintahan dimana raja sebagai
Buleleng, Blambangan, Jembrana dan
penguasa yang didukung oleh lapisan
Mengwi. Hal ini didukung pula oleh
masyarakat.
adanya pelinggih yang bernama
3. Nilai yang bersifat laten
pelinggih Ratu Made.
Artinya nilai yang tersembunyi
2. Struktur pura ini menggunakan
yang dapat dikembangkan sebagai
konsep Tri Mandala yaitu Nista
objek wisata yang secara ekonomis
Mandala (Jaba Sisi), Madya Manadala
mendatangkan incam dan
(Jaba Tengah) dan Utama Mandala
mempercepat kemajuan masyarakat
(Jeroan). Bangunan utama yang
penyungsung pura tersebut. Hal ini
menjadi cirri khas pura ini berupa
seperti yang penulis dapatkan di
lapangan bahwa sering ada kunjungan

9
Prasada dan patung Cagar Budaya  I Wayan Sugiartha, selaku
berada di Utamaning Mandala. pembimbing I yang telah
3. Fungsi Pura Purusadha sebagai meluangkan waktunya kepada
pewarisan nilai budaya dapat disoroti penulis dalam memberikan
dari fungsi nilai religius magis, nilai pengetahuannya, memotivasi dan
politik dan nilai laten (sosial membimbing dari awal
ekonomis). penyusunan artikel menjadi lancer
Saran yang disampaikan antara lain: dan dapat terselesaikan dengan
Bagi Guru Sejarah diharapkan dapat baik.
mengambil contoh pura ini sebagai  Ketut Sedana Arta, selaku
salah satu warisan budaya adi luhung Pembimbing II yang juga
dimasa lalu agar siswa dapat memberikan saran serta motivasi
meneladani hasil kerja keras nenek dan membimbing penulis dalam
moyang menghasilkan bangunan yang penyusunan artikel sehingga dapat
monumental. Bagi Generasi Muda terselesaikan dengan baik.
diharapkan dapat meningkatkan Daftar Rujukan
kepeduliannya terhadap warisan masa Aryana, I Gusti. 2000. Kepariwisataan
di Bali 1849-1942. Tesis Pasca
lalu untuk tetap memelihara dan
Sarjana Fakultas Sastra,
melestarikannya. Bagi Masyarakat Universitas Gajah Mada (Tidak
diterbitkan).
diharapkan dapat berperan aktif
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu
menjaga kelestarian untuk tetap Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Manuaba,Adnyana, dkk. 1999. Bali
diwariskan pada generasi berikutnya.
dan masa depannya. Wayan
Bagi Pemerintah diharapkan dapat ikut Supartha (editor). Denpasara: Pt
BP denpasar.
berperan serta aktif memberikan
Suparma.2003. Tri Hita Karana
perlindungan secara formal agar nilai- sebagai Landasan Hidup
masyarakat Bali, dalam
nilai yang terkandung di dalam pura
perempatan Agung: Menguak
ini tetap bertahan eksistensinya dan Konsepsi palemahan, ruang dan
waktu masyarakat Bali (editor:
dapat mensejahterakan masyarakat
Jiwa Atmaja). Denpasar: CV. Bali
secara lahir maupun batin. Media Adikarsa.
Supartha. INK. 2005. Tirtayatra.
Ucapan terimakasi ditujukan kepada:
Denpasar: CV Kayu Mas Agung.

10

Anda mungkin juga menyukai