Anda di halaman 1dari 16

PERKEMBANGAN BUDAYA AKHIR PLEISTOSEN-AWAL

HOLOSEN DI NUSANTARA
Bagyo Prasetyo
Pusat Arkeologi Nasional, Jl. Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510
Prasetyo_bagyo@yahoo.com

Abstrak. Sejak dasawarsa terakhir ini eksplorasi untuk mengetahui jejak-jejak manusia dan
budaya akhir Pleistosen-awal Holosen makin meluas. Wilayah pengamatan telah menjangkau
Aceh, Pulau Nias, pedalaman Sumatera Selatan, pesisir Pantai Barat Kalimantan Barat dan Barito
Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Tengah, Halmahera, Ponorogo dan Pacitan (Jawa Timur),
Wonosari (Yogyakarta), Klungkung (Bali), Rotendao, Flores, dan Kupang. Makalah ini
merupakan kompilasi data dari sejumlah hasil penelitian yang menyangkut budaya akhir
Pleistosen-awal Holosen, dalam upaya mencari informasi baru jejak-jejak perkembangan
munculnya manusia sapiens yang menyangkut distribusi situs dan kronologinya. Melalui tulisan
AR

ini diperoleh sumbangan data berupa tambahan jumlah hasil pertanggalan dan persebaran situs-
situs serta teknologi budaya manusia sapiens pada akhir Pleistosen-awal Holosen di Indonesia.
Kata kunci: Manusia sapiens, Akhir Pleistosen-awal Holosen, Pertanggalan, Persebaran situs,
Teknologi.

Abstract. The Cultural Development during Late Pleistocene-Early Holocene in the Indonesian
KE

Archipelago. Since the last decade, explorations to unveil traces of culture of Late Pleistocene-
Early Holocene have become more extensive. The observation areas have covered Aceh, Nias
Island, the interior of South Sumatra, the west coast of West Kalimantan and North Barito, South
Sulawesi, Central Moluccas, Halmahera, Ponorogo and Pacitan in East Java, Wonosari
(Yogyakarta), Klungkung (Bali), Rotendao, Flores, and Kupang. This article is a compilation of
data from a number of research results pertaining to Late-Pleistocene-Early Holocene culture, in
N

search of new data about traces of emergence of development of Homo sapiens in terms of site
distribution and chronology. The results of this paper will provide new data in forms of more
dating results as well as wider site distribution and cultural technology of Homo sapiens from
Late Pleistocene-Eary Holocend in Indonesia.
AS

Keywords: Homo sapiens, Late Pleistocene-Early Holocene, Dating, Site distribution, Technology.

1. Pendahuluan paleogeografi, dan sumberdaya alam yang


Berbicara tentang budaya akhir signifikan. Akibatnya membuka peluang bagi
Pleistosen-awal Holosen di Indonesia tidak migrasi manusia dan hewan dari Asia Daratan
akan terlepas dari masa menjelang berakhirnya ke Kepulauan atau dari Kepulauan Nusantara
kala Pleistosen. Secara umum, periode ini (Indonesia) ke Pasifik dan ke Benua Australia.
mencakup paruh kedua Pleistosen Atas yang Pada periode ini hadir manusia modern
dipertanggalkan antara 60.000- awal atau Homo sapiens dengan ciri budaya
12.000 BP. Pada masa ini ditandai oleh khas berupa hunian gua-gua alam, walaupun
fluktuasi iklim berupa cuaca terdingin sekitar pada perkembangannya juga memanfaatkan
18.000 tahun lalu dengan penurunan muka laut alam terbuka sebagai tempat hunian. Sebagai
hingga 150-120 cm. Kondisi tersebut sebuah fenomena global, manusia ini
menimbulkan dampak perubahan lingkungan, mempunyai persebaran yang sangat luas

Naskah diterima tanggal 11 Maret 2014, disetujui tanggal 2 April 2014

1
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

sampai ke Benua Australia dan Melanesia menghuni wilayah Asia Tenggara sekitar paruh
Barat (Simanjuntak dan Widianto 2012:165). kedua Pleistosen Atas, walaupun masih
Perdebatan pun muncul berkenaan dengan menimbulkan kelemahan terutama
kehadiran manusia modern awal, sehingga pertanggalan absolutnya. Beberapa situs
melahirkan dua model yaitu “evolusi diindikasikan pada masa akhir Pleistosen,
multiregional” dan “evolusi out of Africa”. seperti yang ditemukan di Vietnam (Tanh
Para penganut model evolusi multiregional 1997:35-37), Thailand, Filipina, dan Malaysia
menyatakan bahwa Homo sapiens merupakan (Brothwell 1960:323-349; Harrison 1959:136-
rangkaian perkembangan evolusi lokal dari 138; Pookajorn 1994:1-47; Dizon et al.
spesies Homo erectus. Model ini dipelopori 2002:666). Beberapa pertanggalan tercatat di
oleh Gustav Schwalbe yang menyatakan antaranya Gua Niah, Serawak (Harrison
adanya rangkaian evolusi dari Pithecanthropus 1957:161-166) sejak sekitar 40.000 tahun lalu,
Jawa menuju manusia Neanderthal yang hidup Ceruk Lang Rongrien, Thailand dari 36.000
di Eropa hingga munculnya manusia modern tahun lalu (Anderson 1990), Ceruk Tham
AR

saat ini (Schwalbe 1899:16-240). Sementara Koung dan Nguom, Vietnam yang masing-
penganut “out of Africa” mengatakan bahwa masing dipertanggalkan dari 33.150±2.300 BP
manusia ini merupakan spesies baru yang dan 23.000±2.000 BP (Pookajorn 1994:1- 47;
muncul di Afrika 150.000-130.000 tahun lalu Simanjuntak 1997/8:153), Gua Tabon, Filipina
yang menyebar ke berbagai bagian dunia, dari 30.500±1.100 BP (Fox 1970), Situs
termasuk Kepulauan Nusantara. Model ini Tingkayu sekitar 28.000 tahun lalu (Bellwood
KE

muncul lebih kemudian, yang idenya diawali 2000) dan Kota Tampan sekitar
oleh Louis Leakey. Prinsip dari model ini 30.000 tahun lalu (Majid dan Tjia 1988:123-
menyatakan bahwa Homo erectus tertentu di 134).
Afrika lebih merupakan nenek moyang Model “Evolusi Out of Africa,”
manusia modern dibandingkan dengan Homo menyatakan bahwa manusia modern awal
N

erectus Asia (Stringer 1992:9-24). Manusia diketahui bermigrasi ke Nusantara khususnya


modern ini berevolusi di daerah tertentu Afrika bagian timur hingga Australia, berlangsung
dan kemudian menyebar ke berbagai tempat pada kala Pleistosen Atas (Thiel 1987:236-
AS

menggantikan populasi Homo erectus dan 241) yang diperkirakan antara 126.000 dan
sapiens arkaik yang telah ada sebelumnya 81.000 tahun lalu (Storm 2001:363-383).
(Stringer dan Andrew 1988:1263-1268). Paling tidak Homo sapiens ini telah menghuni
Kemunculan, kekhasan budaya, dan Nusantara sebelum menyebar ke Australia
kemampuannya bermigrasi ke tempat- tempat maupun kawasan Pasifik. Hasil penelitian
lain telah menjadikan aspek manusia dan sebelumnya telah menunjukkan bukti- bukti
budaya akhir Pleistosen-awal Holosen sebagai kehadiran manusia modern pada akhir
sebuah tema yang selalu aktual Pleistosen terlihat di situs-situs Leang Sarru
diperbincangkan. Isu aktual yang masih (Kepulauan Talaud) (Tanudirdjo 2001:9) dan
menjadi permasalahan sampai saat ini Leang Lemdubu (Kepulauan Aru) (Spriggs
menyangkut asal usul manusia modern awal 1988:931-940). Pertanggalan dari masa ini
sehingga sampai di Kepulauan Nusantara. Isu juga ditemukan di Leang Burung 2 (Sulawesi
lain juga berkaitan dengan fenomena pemilihan Selatan) berupa alat-alat serpih dengan okupasi
lokasi hunian manusia modern awal sekitar 30.000 tahun lalu hingga Holosen
dibandingkan dengan manusia sebelumnya. (Glover 1981:1-38). Beberapa situs dengan
Berdasarkan bukti penemuan pertanggalan lebih muda terdapat di Lembah
menunjukkan bahwa manusia modern telah Baliem sekitar 26.000 tahun lalu

2
Bagyo Prasetyo, Jejak-jejak Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Indonesia: Sekitar Dasawarsa Terakhir

berupa aktivitas pembukaan hutan dengan cara manusia akhir Pleistosen sampai awal Holosen
pembakaran (Haberle et al. 1991:25), dan Gua di Indonesia menjadi sangat penting. Hal ini
Golo (Maluku) dengan periode antara 28.000 untuk mengetahui kapan kemunculan dan
dan 12.000 tahun lalu berupa sisa-sisa bagaimana perkembangannya sebagai hasil
perburuan binatang berkantung dan ikan dalam dari proses adaptasi dan eksploitasi
lapisan okupasi gua (Bellwood 1998:233-275, lingkungan. Pertanggalan dari beberapa situs
958). masih belum dapat menjelaskan kehidupan
Lalu bagaimana dengan manusia manusia modern dari periode tertua. Bahkan
modern awal di kawasan Australia dan data dari Sumatera, pulau besar dengan
sekitarnya? Pertanggalan tertua diketahui keletakan strategis yang merupakan jalur
sekitar 60.000-50.000 tahun lalu di terdekat dari Kawasan Asia Daratan masih
Malakunjara II (Australia Utara) (Smith dan memiliki kekosongan dari periode ini.
Sharp 1993:38). Namun secara umum dapat
dikatakan bahwa manusia modern awal telah 2. Sasaran Penelitian Dasawarsa Terakhir
AR

menghuni Australia sekitar 40.000-35.000 Selama kurun waktu dasawarsa


tahun lalu. Seperti yang terbukti pada situs- terakhir ini sasaran kegiatan penelitian jejak
situs Carpenters Gap (Australia Baratlaut) budaya akhir Pleistosen-awal Holosen di
(39.000 tahun lalu), Upper Swan (Australia Kepulauan Nusantara telah menjangkau
Baratdaya) (38.000 tahun lalu), Murray di berbagai wilayah yang meliputi Aceh,
Darling Basin (37.000 tahun yang lalu), Gua Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa
KE

Nurrabulgin (Cape York Peninsula) (37.000 Timur, DIY, Maluku, Maluku Utara, Bali,
tahun lalu), dan Gua Warreen (Tasmania) Kalimantan Tengah, NTT, dan Papua. Di
(35.000 tahun lalu) (Bowdler 1996:38). wilayah Sumatera, lokasi penelitian dilakukan
Ada sejumlah permasalahan yang perlu pada bukit kerang yang terbentang sejauh 270
dijawab dari penelitian-penelitian yang telah km di sepanjang Pantai Timur Sumatera dari
N

dihasilkan selama dasawarsa terakhir ini. Langkat (Sumatera Utara) sampai Aceh Timur
Pertanyaan pun timbul sehubungan dengan dan Lokhseumawe (Nangroe Aceh
kehadiran manusia modern awal di Indonesia Darussalam), namun sasaran penelitian lebih
AS

yaitu bagaimana perkembangan terbaru dari diutamakan di wilayah Aceh Tamiang


persebarannya dan kapan okupasinya. (Wiradnyana 2007; 2008; 2009). Selain itu
Semestinya, apabila berpegang pada model penelitian juga diarahkan pada gua- gua di
“evolusi out of Africa,” kehadiran manusia Nias (Wiradnyana 2011). Di Sumatera
modern awal di Nusantara mempunyai Selatan, sasaran lain mengungkap budaya
pertanggalan yang lebih tua dibandingkan akhir Pleistosen-awal Holosen dilakukan di
dengan Australia. Karena kepulauan ini gua-gua wilayah Padang Bindu (Ogan
dianggap sebagai jembatan darat migrasi Komering Ulu) (Simanjuntak, et al. 2008;
manusia modern menuju ke timur antara lain ke 2009; 2013, Forestier et al. 2006). Di wilayah
Australia. Namun dalam kenyataannya hasil Jawa, sasaran penelitian diarahkan pada gua-
penelitian terdahulu memberikan jawaban gua seperti Gua Lawa di wilayah Ponorogo
bahwa umur dari budaya akhir Pleistosen- awal (Jawa Timur) (Saptomo et al. 2008) dan
Holosen Indonesia justru lebih muda dari wilayah Gunung Sewu dengan fokus di Song
Australia. Keplek (Pacitan, Jawa Timur) dan Gua
Oleh karena itu melalui kegiatan survei Braholo (Wonosari, DIY) (Simanjuntak et al.
dan ekskavasi serta penentuan pertanggalan, 2004). Di luar Jawa, sejumlah penelitian
penelitian tentang kehidupan baik survei maupun ekskavasi

3
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

dilakukan di Gua Purukcahu di Barito Utara cangkang moluska (Wiradnyana 2007; 2008;
(Kalimantan Tengah), Gua Tanah Merah 2009; 2011:27-39). Selain itu penelitian juga
(Maluku), Gua Bita (Pangkep) (Puslitbang menghasilkan temuan berupa rangka manusia
Arkenas 2007), Nusa Penida (Klungkung) di Gampong Pangkalan dengan orientasi utara-
(Puslitbang Arkenas 2006), wilayah tepi sungai selatan. Di Nias, penelitian yang dilakukan
Halmahera Utara (Prasetyo et al. 2009), Gua pada gua Togi Ndrawa dan Togi Bogi
Camplong (Kupang, NTT) (Tim Penelitian menghasilkan sejumlah artefak batu yang
Camplong 2007), Gua Liang Bua (Manggarai, memiliki pangkasan di seluruh pinggiran yang
NTT) (Tim Penelitian Liang Bua 2003-4), dikatagorikan sebagai kapak sumatralith.
Ceruk Liang Panas (Manggarai, NTT) (Tim Temuan lain berupa sisa-sisa cangkang kerang
Penelitian Liang Panas 2006), dan Gua Toé yang merupakan sampah dapur. Sejumlah alat
(Papua) (Pasveer 2003). Namun demikian dari serut kerang ditemukan pada Gua Togi
sejumlah tempat itu, hanya ada beberapa yang Ndrawa, sedangkan artefak batu berbentuk
betul-betul menunjukkan okupasi budaya akhir mata panah ditemukan di Gua Togi Bogi yang
AR

Pleistosen–awal Holosen seperti yang mengingatkan pada temuan mata panah batu
tertampakkan pada Situs Bukit Kerang dari Maros (Wiradnyana 2011:19-20).
Pangkalan Aceh Tamiang, Gua Lawa Penelitian yang dilakukan di Padang
(Ponorogo), Song Keplek, Song Terus, Gua Bindu yang termasuk dalam wilayah Ogan
Tabuhan, dan Gua Braholo (Gunung Sewu Komering Ulu (Sumatera Selatan)
Pacitan dan Wonosari), Gua Liang Bua dan menunjukkan adanya kompleks hunian gua,
KE

Ceruk Liang Panas (Manggarai), dan Gua Toé antara lain di Gua Pandan, Silabe 1, Karang
(Papua). Pelaluan, Karang Beringin. Temuan dari situs-
situs ini secara umum menunjukkan kesamaan
3. Pembahasan tekno-tipologi artefak litik, sisa fauna, dan sisa
3.1 Jejak-jejak Manusia dan Budaya akhir hunian lainnya (Simanjuntak et al. 2008).
N

Pleistosen-Awal Holosen Penelitian terakhir pada Gua Harimau yang


Upaya mencari jejak-jejak budaya akhir merupakan kelompok Padang Bindu
Pleistosen-awal Holosen di ujung utara menghasilkan temuan yang sangat melimpah
AS

wilayah Indonesia semenjak dasawarsa antara lain berupa alat batu, fragmen tembikar
terakhir ini dilakukan di wilayah Pangkalan, dan gambar cadas, serta rangka manusia. Ciri-
Dusun Blang Mandau, Kabupaten Aceh ciri aktivitas penggunaan alat batu ditunjukkan
Tamiang. Dahulu lokasi yang menjadi obyek oleh adanya temuan nodul bahan baku (krakal),
penelitian merupakan tempat terbuka berupa batu inti, serpih kortikal, debris, serta produk
gundukan-gundukan besar yang padat dengan akhir berupa serpih baik diretus maupun tidak
kandungan cangkang kerang, namun saat ini yang menunjukkan proses pembuatan yang
sudah rata dengan tanah sekitarnya. Hasil dilakukan di dalam gua. Demikian pula dengan
penelitian Balai Arkeologi Medan telah temuan tembikar yang dibuat dengan teknik
menunjukkan bahwa situs ini mempunyai tatap dan pelandas tanpa roda pemutar. Hiasan-
kandungan arkeologi yang cukup potensial hiasan tembikar umumnya berupa pola-pola
selain berupa sisa-sisa makanan (cangkang hias geometris dalam bentuk garis- garis
kerang) dan sisa-sisa pembakaran (arang), juga sejajar, silang, tumpal, dan titik-titik. Hiasan-
berbagai artefak seperti pemukul, pipisan, batu hiasan tersebut umumnya terdapat pada bagian
inti, serpih, dan kapak sumatralith maupun badan, kadang-kadang juga dijumpai pada
calonnya, bor/penusuk dari batu, spatula dari bagian tepian dan leher. Berdasarkan ciri- ciri
tulang/gigi, serut maupun perhiasan dari hiasannya diduga ada empat teknik hias

4
Bagyo Prasetyo, Jejak-jejak Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Indonesia: Sekitar Dasawarsa Terakhir

yang digunakan, yaitu gores, cukil dan tempel ditemukan dalam kegiatan tersebut, namun
yang dikombinasikan dengan teknik tekan hanya dua yang masih utuh yang dicirikan
serta menggunakan teknik tatap yang dihias dengan bentuk penguburan dalam posisi kaki
(Simanjuntak et al. 2009:74-76). Adapun terlipat dan tangan ditekuk di depan tubuh, dan
gambar cadas menggunakan teknik semprot bagian atasnya ditindih dengan lempengan batu
berupa bidang-bidang segi empat yang dihiasi (Saptomo et al. 2008:64-69). Bukti-bukti
dengan pola-pola geometris berupa perpaduan okupasi manusia sapiens juga terlihat pada
antara garis-garis lurus dan garis silang yang gua-gua di wilayah Gunung Sewu (Pacitan
membentuk hiasan tumpal. Gambar lain dan Wonosari), khususnya dari beberapa gua
berbentuk tangan (bukan hand stencil), lukisan seperti Song Keplek, Song Terus, dan Gua
binatang berkaki empat (semacam babi atau Tabuhan (Pacitan), serta Gua Braholo
rusa) yang digambarkan bagian badan hingga (Wonosari). Gua-gua tersebut selain
kaki, gambar binatang air dan kerangka ikan diindikasikan sebagai tempattinggal sementara,
atau binatang melata (ular), serta gambar yang juga memperlihatkan pemanfaatan gua untuk
AR

tidak jelas bentuknya karena aus (Simanjuntak fungsi-fungsi lain. Sebagai contoh penemuan
et al. 2009:85-87). Temuan rangka manusia rangka hewan rusa yang berasosiasi dengan
dalam konteks kubur di Situs Gua Harimau alat litik di Gua Braholo dan Song Keplek
telah mengungkap setidaknya 66 individu memberi kenyataan adanya pemanfaatan gua
manusia baik dewasa, remaja, maupun bayi, sebagai tempat penyembelihan hewan buruan
yang terdiri dari 13 perempuan, 17 laki-laki, (Simanjuntak dan Widianto 2012:167).
KE

dan 33 sisanya tidak teridentifikasi. Jenis Sementara itu hadirnya alat-alat serpih dari
penguburannya berupa tunggal primer dengan batu rijang dan batu gamping bersama batu inti
posisi membujur terlentang atau terlipat, kubur di Gua Tabuhan menjadi bukti pemanfaatan
berpasangan dengan posisi membujur pada gua sebagai bengkel pembuatan peralatan
kubur primer dan sekunder serta kubur kolektif (Sémah et al. 2003: 181). Merujuk hasil
N

yaitu kubur yang terdiri dari atas lebih dari dua penelitian menunjukkan bahwa teknologi alat-
individu dengan sifat kubur primer maupun alat litik khususnya di Gua Braholo dan Song
sekunder. Sebagian besar menunjukkan Keplek memperlihatkan adanya tiga jenis yang
AS

orientasi timur-barat dengan posisi kepala meliputi alat serpih, alat serpih buangan, dan
berada di timur (Simanjuntak et al. 2013). alat serpih kasar (tidak terpolakan). Alat- alat
Penelitian Gua Lawa Sampung ini dipandang sebagai produk transisi antara
merupakan tindak lanjut penelitian sebelumnya, budaya Paleolitik dengan Preneolitik
yang awalnya dipelopori oleh Van Es dan Van (Simanjuntak 2004: 84). Selain alat litik,
Heekeren (Heekeren 1972:92-99). Hasil sejumlah alat tulang juga menjadi ciri hunian
penelitian menunjukkan bahwa Gua lawa gua di Gunung Sewu yang keberadaannya
memiliki temuan yang bervariasi dan dapat dilihat di Gua Braholo dan Song Keplek.
menunjukkan aktivitas multi fungsi. Aktivitas Spatula merupakan bentuk umum yang
multifungsi Gua Lawa diperlihatkan oleh jejak ditemukan di gua-gua Gunung Sewu. Selain itu
tinggalan bahan makan (dapur) yang sangat ada industri alat tulang yang cukup menonjol
melimpah, yaitu berupa temuan ekofak (sisa ditemukan di Gua Braholo yang berbentuk
makanan berupa fragmen tulang hewan dan lancipan kecil dengan tajaman ganda (Prasetyo
cangkang moluska), aktivitas pembuatan alat- 2002:181-196). Temuan rangka telah
alat batu (serpih) dan alat-alat tulang (spatula), mengindikasikan bahwa gua-gua di Gunung
serta kubur (temuan rangka manusia). Sewu telah menjadi tempat penguburan, seperti
Sebanyak 7 buah rangka manusia yang terlihat di Song Keplek dan

5
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

Gua Braholo. Hadirnya rangka manusia ras mikrolit, batu inti, dan batu pukul. Adapun pada
mongoloid dengan bentuk penguburan primer lapisan budaya yang kemudian dicirikan oleh
(posisi terlentang lurus dengan kedua tangan bentuk temuan berupa alat litik yang berasosiasi
menyilang di atas dada serta dalam sikap dengan alat dan perhiasan dari kerang,
tertunduk) di Song Keplek telah melengkapi 4 tembikar, beliung persegi, rangka manusia serta
rangka yang telah ditemukan pada tahun- tahun sisa pembakaran (Saptomo 2008:131). Berbeda
sebelumnya (Simanjuntak dan Widianto dengan informasi yang diterima dari Gua Toé,
2012:196-197). Demikian pula dengan pada situs ini terlihat bahwa fungsi gua bukan
manusia Braholo, delapan individu telah sebagai hunian tetap, namun lebih cenderung
ditemukan di dalam gua yang menunjukkan difungsikan sebagai tempat pemberhentian
penguburan primer (baik membujur terlentang sementara dari kaum pemburu. Ciri-ciri yang
maupun posisi badan melingkar dengan bagian ada ditunjukkan oleh sisa-sisa hewan buruan
kepala mendekati kaki) maupun sekunder baik yang berukuran kecil maupun menengah
(Simanjuntak dan Widianto 2012:199-201). meliputi jenis walabi hutan, kuskus, tikus
AR

Di wilayah timur, informasi kehadiran raksasa, piton, biawak, kanguru pohon, dan
budaya akhir Pleistosen-awal Holosen juga ekidna (Pasveer 2003:219-220).
terindikasi di Situs Gua Liang Bua dan Ceruk
Liang Panas. Penelitian terhadap Situs Liang 3.2 Pertanggalan Situs-situs
Bua yang merupakan kelanjutan pada tahun- Pada bagian pendahuluan telah
tahun sebelumnya. Hasilnya menunjukkan disinggung bahwa pertanggalan situs-situs
KE

bahwa antara lapisan Pleistosen dan Holosen akhir Pleistosen-awal Holosen berdasarkan
dibatasi oleh lapisan flowstone dan blok batu hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
gamping serta lapisan abu volkanik bekas okupasinya telah berlangsung setidaknya dari
letusan gunung api yang cukup tebal. sekitar 30.000 tahun lalu. Melalui hasil
Temuan pada lapisan Pleistosen ditandai penelitian sekitar dasawarsa terakhir ini
N

adanya bentuk serpih yang meliputi serut dan sejumlah pertanggalan situs-situs telah
lancipan, serta alat masif seperti kapak menambah data kehadiran manusia modern
perimbas, kapak penetak, batu inti, dan batu awal di Indonesia.
AS

pukul, selain juga adanya fragmen-fragmen Berbicara tentang situs bukit kerang di
tulang hewan. Selain itu ditemukan pula Sumatera bagian utara, hasil pertanggalan yang
fragmen tengkorak dan tulang manusia yang telah dilakukan sebelumnya memberikan
diidentifikasikan sebagai Homo floresiensis informasi bahwa okupasinya berlangsung pada
pada lapisan akhir Pleistosen (Tim Penelitian awal Holosen. Seperti yang telah diketahui
Liang Bua 2003-4; Brown et al. 2004:1055– bahwa batas akhir Pleistosen dan awal
1061). Disisi lain penelitian lanjutan terhadap Holosen yang telah disepakati sekitar 11.800
Ceruk Liang Panas juga memberikan tambahan tahun lalu (Kershaw 1995:666). Pertanggalan
data adanya perkembangan hunian dari akhir situs-situs bukit kerang dilakukan di Sukajadi
Pleistosen sampai akhir Holosen. Ada dua (Sumatera Utara) yang menghasilkan beberapa
lapisan budaya yang meliputi lapisan tertua umur yaitu sekitar 7.500 tahun lalu (Bellwood
dengan temuan alat litik yang berasosiasi 2000:253), 5.000-7.000 SM (3000-5000 tahun
dengan fragmen tulang hewan dan sisa-sisa lalu) (Wiradnyana 2011), 7.340±340 BP (cal.
moluska. Temuan alat litik antara lain alat 8.000-9.000 tahun lalu) dan 5.055±65 BP (cal.
masif berupa kapak perimbas dan penetak 6.000 tahun lalu) (McKinnon 1990:12). Hasil
serta alat non masih yang terdiri atas serpih, penelitian sekitar dasawarsa terakhir di Situs
bilah, berbagai tipe alat serut, lancipan, gurdi, Bukit Kerang Pangkalan (Aceh Tamiang) telah

6
Bagyo Prasetyo, Jejak-jejak Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Indonesia: Sekitar Dasawarsa Terakhir

memberikan kontribusi yang cukup penting tahun lalu), tetapi yang paling intensif pada
bagi perkembangan budaya akhir Pleistosen- Holosen antara 12.000 dan 2.000 tahun lalu
awal Holosen di Indonesia khususnya di (Simanjuntak 2002:110), sedangkan Braholo
Sumatera. Pertanggalan tertua berlangsung dari akhir Pleistosen sekitar 33.100±1.260 BP
dari 12.550±290 BP dan yang termuda dari dan 15.520±250 BP (cal. 19.000-20.000 tahun
3.870±140 BP (Wiradnyana 2011:41-42). lalu) serta Holosen dari 12.200±160 BP (cal.
Disini terlihat bahwa okupasi bukit kerang 14.000-15.000 tahun lalu) sampai 3.050±100
telah berlangsung sejak akhir Pleistosen dan BP (cal. 3.000-4.000 tahun lalu) (Simanjuntak
terus berlanjut pada kala Holosen. 2002:123).
Pada belahan lain di wilayah Sumatera Di Situs Liang Bua (Manggarai) hasil
kronologi umur diperoleh dari sejumlah situs pertanggalan terhadap lapisan bawah
gua kelompok Padang Bindu (Sumatera memberikan gambaran telah adanya okupasi
Selatan). Gua Pandan dipertanggalkan antara pada Kala Pleistosen, yaitu dengan rentang
6950±260 BP dan 9270±380 BP serta Gua waktu antara 95.000 – 17.000 tahun lalu.
AR

Selabe antara 1180±140 BP (termuda) dan Adapun pertanggalan terhadap lapisan atas
4620±290 BP (tertua), menandakan bahwa memberikan gambaran okupasi yang lebih
gua tersebut telah dihuni secara intensif pada kemudian (Holosen), yaitu 9.830±490,
Holosen awal (Forestier et al. 2006:177-192, 3.820±120 tahun lalu (sekitar 10.000 – 4.000
Simanjuntak et al. 2006:25-26). Demikian pula tahun lalu) yang ditandai hadirnya tembikar,
dengan Gua Karang Pelaluan, walaupun belum beliung persegi. Bahkan lapisan yang paling
KE

ada pertanggalan pastinya namun diduga atas memberikan indikasi umur yang lebih
mempunyai kisaran pertanggalan yang sama muda yaitu sekitar 450 tahun lalu (Sutikna dan
dengan gua-gua lainnya. Hal ini didasarkan Saptomo 2011; Simanjuntak 2002:107). Data
pada data stratigrafi yang menunjukkan bukti lain memberikan jejak-jejak aktivitas manusia
hunian setelah letusan gunung api yang abunya modern awal juga terlihat di Gua Toé (Papua).
N

memasuki gua dan membentuk lapisan setebal Berdasarkan hasil pertanggalan terhadap kulit
10 cm seperti yang tampak pada gua- gua telur burung kasuari diperkirakan pada
lainnya. Budaya Gua Karang Pelaluan 25.940±180 BP gua ini telah dikunjung oleh
AS

diperkirakan dimulai sejak paruh pertama pemburu (Pasveer 2003: 219-220).


Holosen yang kemudian dilanjutkan oleh Tabel dibawah ini memberikan
pendukung budaya neolitik di sekitar 2.000 – gambaran sejumlah pertanggalan situs-
2.500 BP (Simanjuntak et al. 2008:51). situs akhir Pleistosen-awal Holosen yang
Tambahan data kehadiran manusia telah dipertanggalkan sampai dasawarsa
modern awal di wilayah Jawa terlihat pada terakhir ini.
situs-situs di wilayah Gunung Sewu. Hasil pertanggalan karbon terhadap
Penemuan dari Song Terus memperlihatkan sejum lah situs akhir Pleistosen-awal
pertanggalan sekitar 45.000 tahun lalu (Sémah Holosen sampai sekitar dasawarsa terakhir
et al. 2003:161-190). Pertanggalan yang menunjukkan adanya beberapa situs-situs yang
menunjukkan umur lebih kemudian terdapat di cukup tua yang dikatagorikan pada akhir
Song Keplek (Jawa Timur) yang mewakili Pleistosen, yaitu Song Terus (ca. 45.000 tahun
hunian prasejarah di bagian timur Gunung lalu), Liang Burung 2 (ca. 30.000 – 20.000
Sewu dan Gua Braholo yang merupakan wakil tahun lalu), Gua Golo (ca. 28.000 dan 12.000
hunian di bagian barat. Song Keplek tahun lalu), Liang Bua (ca. 95.000 – 17.000
dipertanggalkan dari akhir Pleistosen tahun lalu), Gua Toé (ca. 25.000 tahun lalu),
setidaknya sejak 24.420±1000 BP (ca. 25.000 dan Lembah Baliem (ca. 26.000 tahun lalu).

7
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

Tabel 1. Pertanggalan Situs-situs akhir Pleistosen-awal Holosen

et al.
AR
KE
N
AS

8
Bagyo Prasetyo, Jejak-jejak Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Indonesia: Sekitar Dasawarsa Terakhir

Situs-situs lain cenderung lebih menunjukkan Hunian gua di kawasan Sulawesi


awal Holosen dan terus berlanjut pada masa- meliputi wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi
masa kemudian (Akhir Holosen). Tenggara, dan Sulawesi Utara. Di Sulawesi
Selatan hunian gua dapat ditemukan pada
3.3 Pemilihan Hunian kelompok Maros, kelompok Pangkep, dan
Pada akhir Pleistosen-awal Holosen kelompok Bone (Callenfels 1938:138-144).
muncul sejumlah perubahan, baik menyangkut Kelompok lain terdapat di Kepulauan Muna
pemilihan hunian maupun teknologi (wilayah Sulawesi Tenggara), dan Sangir
peralatannya. Dalam melakukan pemilihan Talaud (wilayah Sulawesi Utara) (Bronson &
hunian terjadi kecenderungan mengeksploitasi Glover 1984:37-44).
gua-gua dan ceruk alam, walaupun tidak Di kawasan Nusa Tenggara Timur
menutup kemungkinan di tempat tertentu masih kelompok-kelompok hunian gua dapat
terdapat pemanfaatan lahan terbuka. Hasil ditemukan di Flores (Liang Toge, Liang Bajo,
penelitian dari tahun-tahun sebelumnya sampai Liang Boto, Liang Rundung, Liang Momer,
AR

dasawarsa terakhir ini menunjukkan bahwa Liang Soki, Liang Bua, Liang Alu, dan Liang X)
hampir seluruh situs-situs akhir Pleistosen- awal (Verhoeven 1953:597-612), Timor Barat (Gua
Holosen di Indonesia menempati gua- gua Oelnaek) (Saptomo et al. 2008). Persebaran
maupun ceruk alam. Hunian gua/ceruk tersebut hunian gua di Maluku terdapat di Pulau Gebe
mencakup kawasan Sumatera, Jawa, (Gua Golo) (Bellwood et al. 1998:233-275)
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Kepulauan Aru (Leang Lemdubu) (Spriggs
KE

dan Papua. Di wilayah Sumatera, okupasi 1998:931-940). Di Papua hunian gua dapat
terkonsentrasi di Nias (Gua Togindrawa dan ditemukan di wilayah kepala burung (Gua Toe
Togi Bogi) (Wiradnyana 2011), Ulu Tiangko dan dan Gua Kria) (Pasveer 2003:341-342) dan di
Tiangko Panjang (Jambi) (Bronson dan wilayah Jayapura (Simanjuntak 1998:944).
Asmar 1976), dan Baturaja (kelompok Padang Walaupun secara umum pola hunian
N

Bindu) (Sumatera Selatan) (Jatmiko dan pada masa ini cenderung pada pemanfaatan gua
Forestier 2002; Forestier 2006). Untuk wilayah dan ceruk, namun masih ada kelompok budaya
Jawa lebih terkonsentrasikan di Jawa bagian yang masih mempertahankan pola hunian
AS

timur meliputi Wonosari (Gua Braholo dan Song terbuka. Hal itu dapat disaksikan pada situs-
Tritis), Pacitan (Song Keplek, Song Terus, dan situs bukit kerang di Pantai Timur Sumatera
Tabuhan) (Simanjuntak 2002:119- 127), dari Aceh Tamiang sampai Langkat (Sumatera
Ponorogo (Gua Lawa, Gua Tutup, Ceruk Layah, Utara) (Wiradnyana 2011) serta beberapa situs-
Ceruk Ngalen, dan Ceruk Sulur), Tuban (Gua situs terbuka lain dari hasil penelitian terdahulu
Bale, Bagong, Gede, Pawon, Peturon, Panggang, seperti tepi Danau Gadang (Kerinci), bekas tepi
Tutup, Butol, Kecil, Kandang, dan Song Danau Bandung, tepi Danau Tondano (Paso),
Perahu), Bojonegoro (Gua Lawang dan Gua tepi Danau Leles (Garut), dan sekitar
Keramat), Tulungagung (Song Gentong 1 dan Leuwiliang (Bogor).
2), Jember (Gua Sodong, Marjan, Macan, dan
Gelatik), Situbondo (Gua Petpuruh), 3.4 Dinamika Budaya
(Simanjuntak 1997/8:278. Hunian gua/ceruk di Sungguh menarik mengemukakan
wilayah Kalimantan sebarannya meliputi dinamika budaya manusia akhir Pleistosen-
wilayah Sangkulirang (Prasetyo 1997:44-51) awal Holosen. Manusia akhir Pleistosen
dan Tanjung Mangkalihat (Chazine 1995:27- terlihat lebih mengembangkan teknologi alat
32) (Kalimantan Timur), serta Tabalong batu yang berbeda daripada periode terdahulu
(Kalimantan Selatan) (Widianto et al. 1997). yang hanya menciptakan alat batu inti dan

9
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

serpih sederhana. Bukti-bukti dari lapisan kersikan, ditemukan pula alat yang dibuat dari
okupasi gua menunjukkan bahwa mereka bahan batu kecubung (obsidian). Secara morfo-
cenderung memproduksi alat serpih dengan teknologis alat ini dikatagorikan sebagai bagian
teknik-teknik peretusan yang menghasilkan dari alat serpih. Namun sebagian peneliti
tipe-tipe alat, dibandingkan membuat alat batu cenderung menempatkan ke dalam mikrolit.
inti tidak mempunyai pola bentuk tertentu Alat-alat obsidian secara umum ditemukan
(atypical tools). Secara umum industri alat batu baik pada hunian gua/ceruk seperti di Ulu
masa ini dapat dikelompokkan menjadi tiga Tiangko dan Tiangko Panjang (Jambi) serta
bagian yang meliputi alat-alat tidak terpolakan Liang Rundung (Manggarai). Adapun pada
(atypical tools); alat-alat serpih (flake tools) situs-situs terbuka alat obsidian banyak
(berupa bor, lancipan, serut, serut cekung, serut ditemukan pada situs bekas Danau Bandung,
gerigi, pisau, serpih dipakai); dan serpih tepi Danau Gadang (Kerinci), tepi Danau
buangan (waste flakes) (Simanjuntak dan Tondano (Paso), tepi Danau Leles (Garut), dan
Widianto 2012:173). sekitar Leuwiliang (Bogor).
AR

Berbeda halnya dengan budaya awal Selain memproduksi alat-alat batu,


Holosen, perkembangan teknologi alat manusia awal Holosen juga telah
pada akhir Pleistosen ditandai oleh adanya mengembangkan teknologi alat tulang dan
kelompok alat serpih, alat Hoabinhian, serta tanduk, alat dan perhiasan cangkang kerang,
alat mikrolit dan obsidian. Kelompok alat dan gambar cadas. Produksi alat tulang dan
serpih mempunyai persebaran sangat luas, dan tanduk awal Holosen diketahui berawal dari
KE

merupakan pengembangan lebih lanjut dari temuan di Gua Lawa (Ponorogo) yang akhirnya
teknologi alat serpih sebelumnya. Kelompok melahirkan terminologi industri tulang
Hoabinhian menonjolkan karakter budaya Sampung (Sampung Bone Industry) (Heekeren
Hoabinh yang merupakan bagian dari budaya 1972:92). Hingga dasawarsa terakhir ini telah
yang berkembang di Asia Tenggara (Gorman diketahui luas persebaran situs-situs yang
N

1971:300-320). Ciri utama budaya ini adalah mengandung industri tulang, yaitu selain Gua
sumatralith (kapak Sumatera) (Brandt 1976:49) Lawa Sampung juga terdapat pada kelompok
yaitu batu kerakal yang hanya dikerjakan pada hunian gua di Gunung Sewu, Tuban, dan Puger.
AS

satu bidang (monofasial). Kesederhanaan Walaupun tidak semenonjol pada hunian gua di
teknik pengerjaannya hanya menghasilkan bagian timur Jawa, alat tulang juga terdapat di
bentuk-bentuk bulat, lonjong, atau agak Gua Selonding (Bali), Gua Babi (Tabalong,
meruncing sesuai dengan bentuk asli kerakal. Kalimantan Selatan), beberapa gua di Sulawesi
Persebaran kelompok ini hanya terbatas di bukit Selatan, Nusa Tenggara Timur (Prasetyo 1999),
kerang pantai timur Sumatera Utara (Aceh- dan Gua Kria (Papua) (Pasveer 2003). Alat
Langkat) dan gua-gua di Nias. Kelompok lain tulang umumnya dicirikan oleh bentuk spatula
yang juga merupakan ciri budaya awal Holosen dan lancipan. Alat spatula dihasilkan dari tulang
adalah mikrolit yaitu alat yang dihasilkan dari yang dibelah memanjang dan salah satu
serpih kecil atau pemangkasan serpih besar bagiannya digosok untuk menghasilkan
dalam bentuk geometris. Alat yang tergolong tajaman yang lebar. Alat ini ditemukan pada
kecil ini hanya ditemukan di beberapa situs gua-gua kelompok Sampung, Gunung Sewu,
yang pertanggalannya kontemporer dengan Tuban, Puger, serta beberapa di wilayah Maros
kelompok industri serpih. Beberapa situs yang Pangkep. Berbeda halnya dengan alat lancipan
mencirikan kelompok ini dapat ditemukan di yang bentuknya lebih kecil dengan bagian
Ulu Leang I (Maros) dan Liang Soki (Flores). ujung diruncingkan melalui penggosokan.
Selain alat mikrolit yang dibuat dari bahan Ada beberapa bentuk

10
Bagyo Prasetyo, Jejak-jejak Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Indonesia: Sekitar Dasawarsa Terakhir

lancipan seperti lancipan tulang bergerigi yang ditemukan pada situs-situs hunian di kelompok
ditemukan dari Bola Batu (Sulawesi Selatan), Gunung Sewu, kelompok Puger, selain juga di
lancipan tunggal dan ganda di kelompok Gua Uattamdi (Halmahera) dan kelompok Flores
Gunung Sewu, Gua Babi (Tabalong, (Liang Rundung dan Liang Toge).
Kalimantan Selatan), dan Gua Kria (Papua). Sejauh ini diketahui bahwa gambar cadas
Persebaran alat cangkang kerang yang diperkirakan telah muncul pada awal Holosen.
dicirikan bentuk serut dan penusuk dapat Penelitian terdahulu telah memberikan
diketahui pada situs-situs hunian gua/ceruk gambaran yang cukup komprehensif
kala Holosen di Jawa seperti di kelompok persebaran gambar cadas di wilayah Indonesia
Sampung (Gua Lawa), Puger (Gua Sodong), dan bagian timur seperti di kelompok Maros-
Tuban (Song Perahu). Di luar Jawa, artefak ini Pangkep (Sulawesi Selatan), Muna (Sulawesi
juga ditemukan di kelompok Maros-Pangkep Tenggara), Kei dan Seram (Maluku), dan
(Leang Pattae, Panganreang Tudea), Bone (Bola Papua. Kehadiran sejumlah gambar cadas di
Batu), Bali (Selonding), Flores (Liang Toge, Kalimantan Timur (Prasetyo 1997:44-51) dan
AR

Liang Rundung), Timor (Camplong) (Prasetyo Gua Harimau (Sumatera Selatan) (Simanjuntak
1989), dan Maluku (Uattamdi) (Simanjuntak et al. 2009) memberikan kontribusi yang
dan Widianto 2012:226-228). Disamping itu sangat penting dalam persebaran gambar cadas
cangkang-cangkang kerang selain dipakai sebagai di Indonesia.
KE
N
AS

Foto 1. Kiri atas : Lancipan alat tulang Gua Braholo (Gunung Sewu)
Kanan atas : Gambar cadas Gua Harimau (Padang Bindu)
Kiri bawah : Alat serpih Song Keplek (Gunung Sewu)
Kanan bawah: Alat serpih temuan hunian gua di Kalimantan Timur
(Sumber: Pusat Arkeologi Nasional)

alat serut dan penusuk juga dimanfaatkan sebagai 4. Penutup


perhiasan. Walaupun sangat jarang dibandingkan Kepulauan Nusantara diasumsikan
untuk alat serut dan penusuk, cangkang-cangkang sebagai lokasi yang menjadi jalur migrasi
kerang juga kadangkala dilubangi untuk dibuat manusia pendukung budaya akhir Pleistosen-
perhiasan manik-manik. Jenis ini dapat awal Holosen dari Daratan Asia menuju

11
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

ke wilayah Pasifik (Australia). Hasil penelitian Daftar Pustaka


selama dasawarsa terakhir ini telah Anderson, Douglas. 1990. Lang Rongrien
memberikan kontribusi cukup banyak dalam Rockshelter: a Pleistocen-Early Holocen
perkembangan budaya akhir Pleistosen-awal Archaeological Site From Krabi,
Holosen. Beberapa situs telah memberikan Soouthwestern Thailand. Philadelphia:
The University Museum.
data pertanggalan akhir Pleistosen seperti pada
Bellwood, Peter. 1978. Man’s Conquest of the
kelompok Gunung Sewu (Song Terus dan Song Pacific. New York: Oxford University
Keplek) dan Gua Toé (Papua), sedangkan Press.
sebagian besar lebih menunjukkan situs- situs Bellwood, Peter. 1998. “From Bird’s Head to
pada awal Holosen. Data lain juga telah Bird’s Eye View: Long Term Sructures
memberikan tambahan informasi kehadiran and Trends in Indo-Pacific Prehistory”.
Dalam Lelle Miedema, Cecilia Odé, Rien
sejumlah situs-situs preneolitik di Sumatera A.C. Dam (ed.) Perspectives on the
serta sebaran gambar cadas di wilayah Sumatera Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia.
dan Kalimantan. Namun demikian, kehadiran Amsterdam: Rodopi.
AR

situs Song Keplek dengan pertanggalan cukup Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan
tua (akhir Pleistosen) belum memecahkan Indo-Malaysia. Jakarta: PT Gramedia
Utama.
misteri asal keberadaan budaya akhir Pleistosen
Bowdler, Sandra. 1996. “The Human
di Indonesia mengingat data akhir Pleistosen di
Colonization of Sunda and Sahul:
Australia menunjukkan lebih tua (50.000- Cultural and Behaviour Considerations”,
60.000 tahun lalu). Demikian pula dengan Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory
KE

posisi Pulau Sumatera yang dianggap sebagai Association 14.


jalur migrasi terdekat dari Asia Daratan, hasil Brandt, R.W. 1976. “The Hoabinhian of
Sumatera: Some remarks”. Dalam Gert-
penelitian walaupun telah mendapatkan data
Jan Barstra dan Willem Arnold
budaya akhir Pleistosen-awal Holosen namun Casparie(ed.) Modern Quaternary
belum memberikan data pertanggalan yang tua. Research in South East Asia”, vol. 2.
Rotterdam: A.A. Belkema.
N

Oleh karena itu untuk mengungkap jalur


migrasi dari Asia Daratan yang melewati Pulau Bronson, Bennet dan Teguh Asmar. 1976.
“Prehistoric Investigation at Tianko
Sumatera diperlukan penelitian yang lebih Panjang Cave, Sumatera”, Asian
AS

intensif di wilayah ini. Perspective 18 (2).


Bronson, Bennet dan I.C. Glover. 1984.
“Archaeological Radiocarbon Dates
From Indonesia: A First List”, Indonesia
Circle 34.
Brothwell, D.R. 1960. “Upper Pleistocene
***** human skull from Niah Cave, Sarawak”,
Journal of the Sarawak Museum 9: 323-
349.
Brown, P, T. Sutikna, M.J. Morwood, R.P.
Soejono, E.W. Saptomo, and R.A. Due.
2004. “A New Small-bodied Hominin
from the Late Pleistocene of Flores,
Indonesia”, Nature, vol. 431, no.
7012:1055-1061.
Chazine, Jean-Michel. 1995. “Pour Qulques
Grottes de Plus”, Diagonal 5:27-32.
Callenfels, PV. van Stein. 1938. “Archaeologisch
Onderzoek in Celebes”, Tijdschrift

12
Bagyo Prasetyo, Jejak-jejak Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Indonesia: Sekitar Dasawarsa Terakhir

van het Koninklijk Nederlandsch Majid, Zuraina dan H.D. Tjia. 1988. “Kota
Aardrijkskundig Genootscap, 55: 18-144. Tampan, Perak: the Geological dan
Dizon, Euzobion, et al. 2002. “Notes on the Archaeological Evidence for a Late
Morphology and Age of the Tabon Pleistocene Site”, Journal of the
Cave Fossil Homo sapiens”, Current Malayan Branch of the Royal Society, 61
Anthropology 43( 4). (2).
Forestier, Hubert, Dubel Driwantoro, Marliac, Alain dan Truman Simanjuntak. 1996.
Dominique Guillaud, Budiman, dan “Preliminary Report on the Site of Song
Darwin Siregar. 2006. “New Data for Gentong, Kabupaten Tuluangung, East
the Prehistoric Chronology of South Java, Indonesia”, Southeast Asian
Sumatera”, Archaeology: Indonesian Archaeology, hal. 47-60. Center for
Perspective. R.P. Soejono’s festschrift, Southeast Asia Studies, University of
hal. 177-192. Jakarta: ICPAS. Hull.
Fox, Robert. 1970. Tabon Caves, National McKinnon, Edward. 1990. Report on a Field
Museum Monograph, I, Manila. Visit to Kabupaten Langkat.
Glover, I.C. 1981. ”Leang Burung 2: an upper Pasveer, J.M. 2003. “The Djief Hunters.
Palaeolithic rock shelter in South 26.000 Years of Lowland Rainforest
AR

Sulawesi, Indonesia”, Modern Exploitation on Bird’s Head of Papa,


Quaternary Research in Southeast Asia Indonesia”. Disertasi Rijksuniversiteit
6:1- 38. Groningen.
Gorman, Chester F. 1971. “The Hoabinhian Pookajorn, S. 1994. Final Report of Excavation
and After: Subsistence Patterns at Moh-Kiew Cave, Krabi Province,
in Southeast Asia during the Late Sakai Cave, Trang Province and
Pleistocene and Early Recent Periods”,
KE

Ethnoarchaeological Research of
World Archaeology, 2:300-320. Hunter-Gatherer Group so-called Mani
Haberle, S.G, G.S. Hope, dan Y. de Fretes. or Sakai or Orang Asli at Trang
1991. “Environmental Change in the Province. The Hoabinhian Research
Baliem Valley, Montane Irian Jaya, Project in Thailand.
Republic of Indonesia,” Journal of Prasetyo, Bagyo. 1989. “Distribusi Alat
Biogeography, 18. Kerang Masa Prasejarah di Indonesia
N

Harrison, Tom. 1957. “The Great Cave of (dalam Perbandingan)”, Pertemuan


Niah: a Preliminary Report of Borneo Ilmiah Arkeologi V. Jakarta: Ikatan Ahli
Prehistory”, Man 57:161-166. Arkeologi Indonesia.
AS

Harrisson, Tom. 1959.“Radio Carbon C-14 ---------. 1997. “Gambar Cadas di Kalimantan
Datings from Niah: a Note,” Serawak Barat dan Kalimantan Timur: Indikasi
Museum Journal, N.S. 9. Sebaran di Kawasan Indonesia Barat”,
Heekeren, H.R. van. 1972. “The Stone Age Naditira Widya, Bulletin Arkeologi
of Indonesia,” Verhandelingen van het 2:44-51. Banjarmasin: Balai Arkeologi
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Banjarmasin.
Volkenkunde 61. The Hague: Martinus ---------. 1999. “Persebaran Artefak Tulang di
Nijhoff. Wilayah Asia Tenggara Daratan dan
Jatmiko, Hubert Forestier. 2002. Eksploitasi Kepulauan”, Pertemuan Ilmiah
Tentang Kehidupan Prasejarah Pada Arkeologi VII. Jakarta: Ikatan Ahli
Gua-gua Karst di Sekitar Wilayah Arkeologi Indonesia.
Padang Bindu, Kecamatan Semidang ---------. 2002. “The Bone Industry”. Dalam
Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Simanjuntak (ed.), Gunung Sewu in
Sumatera Selatan. Program kerjasama Prehistoric Times. Yogyakarta: Gadjah
penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Mada University Press.
dengan Institut for Research and
Development (IRD) Prancis. Prasetyo, Bagyo, Truman Simanjuntak,
Wahyu Saptomo, Dwi Yani Yuniawati.
Kershaw, P. 1995. “Environmental Change in 2009. “Penelitian Budaya Akhir
Greater Australia,” Antiquity 69, Special Pleistosen-Awal Holosen di Halmahera,
Number 265:665-666. Maluku Utara”, Laporan Penelitian

13
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan 119-132. Yogyakarta: Gadjah Mada


Pengembangan Arkeologi Nasional. University Press.
Puslitbang Arkenas. 2006. Laporan Kegiatan Simanjuntak, Truman, Retno Handini, Bagyo
Tahun 2006. Pusat Penelitian dan Prasetyo (ed.). 2004. Prasejarah
Pengembangan Arkeologi Nasional. Gunung Sewu. Jakarta: Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia.
---------. 2007. Laporan Kegiatan Tahun 2007.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Simanjuntak, Truman, Hubert Forestier, Dubel
Arkeologi Nasional. Driwantoro, Jatmiko, Darwin Siregar.
2006. “Daerah Kaki Gunung berbagai
Saptomo, Wahyu, Haris Sukendar, Jatmiko,
Tahap Zaman Batu”. Dalam Dominique
Vita. 2008. “Situs Gua Lawa Kecamatan
Guillaud (ed.) Menyusuri Sungai,
Sampung Kabupaten Ponorogo Jawa
Merunut Waktu. Penelitian Arkeologi
Timur”, Laporan Penelitian
di Sumatera Selatan, hal. 23-35. Hasil
Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Kerjasama 2001-2004 Puslitbang
Pengembangan Arkeologi Nasional.
Arkeologi Nasional-IRD-EFEO.
Saptomo, Wahyu. 2008. “Adaptasi Manusia di Jakarta: PT Enrique Indonesia.
Situs Liang Panas, Kabupaten Manggarai
Simanjuntak, Truman, Jatmiko, Vita. 2008.
AR

Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur”.


“Padang Bindu”, Laporan Penelitian
Tesis. Universitas Indonesia.
Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Schwalbe, G. 1899. “Studien Uber Pengembangan Arkeologi Nasional.
Pithecanthropus Erectus Dubois,”
Simanjuntak, Truman, Wahyu Saptomo,
Zeitschrift fur Morphologie und
Fadhlan S. Intan, Vita. 2009. “Penelitian
Anthropologie 1:16-240.
Hunian Prasejarah di Padang Bindu-
KE
Sémah, F, Anne-Marie Sémah, Truman Baturaja, Sumatera Selatan”, Laporan
Simanjuntak. 2003. “More than a Million Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat
Years of Human Occupation in Insular: Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Southeast Asia: the Early Archaeology Nasional.
of Eastern and Cenral Java”. Dalam
Simanjuntak, Truman, Harry Widianto (ed.).
Mercader (ed.) Man under the Cannopy,
2012. Indonesia dalam Arus Sejarah,
hal. 161-190. New Brunswick: Rutgers
Jilid I. PT Ichtiar Baru van Hoeve.
N

University Press.
Simanjuntak, Truman, Adhi Agus O, Dyah
Simanjuntak, Truman. 1997/8. “Akhir
Prastiningtyas (ed.). 2013. “Peradaban
Pleistosen dan Awal Holosen di
Lingkungan Karst Kabupaten OKU,
AS
Nusantara (Bahasan Tentang Karakter
OKU Timur, dan OKU Selatan”,
dan Kronologi Budaya)”, Pertemuan
Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta:
Ilmiah Arkeologi VII, Jilid 2, hal. 151-
Pusat Arkeologi Nasional.
170. Jakarta: Proyek Penelitian
Arkeologi Jakarta. Smith, M.A., dan N.D. Sharp.1993. “Pleistocene
Sites in Australia, New Guinea and Island
---------. 1998. “Review of the Prehistory of
Melanesia: Geographic and Temporal
Irian Jaya”, Perspective on the Bird’s
Structure of the Archaeological Record”.
Head of Irian Jaya, Indonesia. Dalam L.
Dalam M.A. Smith, N.D. Sharp, and
Miedema, Cecilia Odé, and Rien A.C.
B. Fankhauser (ed.) Sahul in Review.
Dam (ed.). Amsterdam: Rodopi.
Canberra: The Australian Nasional
---------. 2002. “Keplek Cave: Settlement in the University.
Late Pleistocene-Holocene”. Dalam Spriggs, M. 1998. ”The Archaeology of the
T. Simanjuntak (ed.) Gunung Sewu Bird’s Head in its Pacific and Southeast
in Prehistoric Times, hal. 109-118. Asian Context”. Dalam J. Meidema, C.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Ode and R.A.C. Dam (ed.) Perspectives
Press. on the Bird’s Head of Irian Jaya.
---------. 2002. “Braholo Cave, an Ideal Amsterdam: Rodopi.
Settlement Site in Western Gunung Storm, Paul. 2001. “The Evolution of Human
Sewu”. Dalam T. Simanjuntak (ed.) in Australia from an Environmental
Gunung Sewu in Prehistoric Times, hal. Perspective,” Paleogeography,

14
Bagyo Prasetyo, Jejak-jejak Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Indonesia: Sekitar Dasawarsa Terakhir

Palaeoclimatology, Palaecology 171: Tim Penelitian Liang Panas. 2006. “Laporan


363-383. Hasil Penelitian Situs Liang Panas”,
Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta:
Stringer, C.B. dan P. Andrew. 1988. “Genetic
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
and Fossil Evidence for the Origin of
Modern Humans”, Science vol. 239. Tim Penelitian Camplong. 2007. “Laporan
Hasil Penelitian Situs Camplong”,
Stringer, C.B. 1992. “Replacement,
Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta:
Continuity, and the Origin of Homo
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sapiens”, Continuity or Replacement?
Controversies in Homo sapiens Verhoeven, Th. 1953. “Eine Mikrolithenkultur
Evolution, hal. 9-24. Rotterdam: A.A. in Mittel-und West-Flores,” Anthropos
Balkema. 48.
Sutikna, Thomas dan Wahyu Saptomo. 2011. Widianto, Harry et al. 1997. “Ekskavasi Situs
“Penelitian Arkeologi di Situs Liang Gua Babi, Kabupaten Tabalong, Provinsi
Bua, Flores. Indonesia”, presentasi di Kalimantan Selatan,” Berita Penelitian
Badan Pengembangan Sumberdaya Arkeologi Banjarmasin. Banjarmasin:
Budpar. Balai Arkeologi Banjarmasin.
AR

Tanh, Ha van. 1997. “The Hoabinhian and Wiradnyana, Ketut. 2007. “Ekskavasi Situs
Before”, Bulletin of the Indo-Pacific Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang,
Prehistory Association 16:35-37. NAD”, Laporan Hasil Penelitian
Arkeologi. Medan: Balai Arkeologi
Tanudirdjo, Daud Aris. 2001. “Islands in
Medan.
Between. Prehistory of the Northeastern
Indonesian Archipelago”. Disertasi. The ---------. 2008. “Ekskavasi Situs Bukit Kerang
Australian National University. Pangkalan, Aceh Tamiang, NAD”,
KE

Laporan Hasil Penelitian Arkeologi.


Thiel, B. 1987. “Early Settlement of the
Medan: Balai Arkeologi Medan.
Philipines, Eastern Indonesia, and
Australia-New Guinea: a New ---------. 2009. “Ekskavasi Situs Bukit Kerang
Hypothetis”, Current Anthropology 28: Pangkalan, Aceh Tamiang, NAD”,
236-241. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi.
Medan: Balai Arkeologi Medan.
Tim Penelitian Liang Bua. 2004. “Penelitian
N

Arkeologi di Situs Liang Bua, Kabupaten ---------. 2011. Prasejarah Sumatera Bagian
Manggarai, Flores tahun 2003-2004”. Utara Kontribusinya Pada Kebudayaan
Jakarta: Puslit Arkenas dan Universitas Kini. Jakarta: Yayasan Obor.
New Australia.
AS

15
AS
N
KE
AR

Anda mungkin juga menyukai