Hari raya Idul Fitri ini, merupakan hari kesyukuran dan kegembiraan bagi kaum muslimin,
karena di bulan suci ramadhan yang penuh rahmat, magfirah dan barakah, telah dapat
melaksanakan tugasnya dengan mudah dan lapang dada, tugas kehambaan hablum minallah,
berbakti kepada Allah swt dengan melakukan ibadah puasa di siang harinya dan menegakkan
berbagai amalan ibadah di malam harinya atas dasar iman dan ikhlas untuk mengharap ridha-
Nya semata.
Dari berbagai ibadah dalam Islam, puasa di bulan ramadhan seperti yang baru saja kita lakukan
selama sebulan penuh, merupakan ibadah wajib yang paling mendalam bekasnya pada jiwa
seorang muslim. Pengalaman selama sebulan dengan berbagai kegiatan yang menyertainya
seperti berbuka, tarawih, tadarus dan makan sahur senantiasa membentuk unsur kenangan yang
mendalam akan masa kanak-kanak di hati seorang muslim sampai ia dewasa.
Oleh karena itu, ibadah puasa merupakan bagian dari usaha pembentukan jiwa keagamaan
seorang muslim dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil sampai seumur hidupnya.
Bulan ramadhan merupakan bulan keagamaan dengan intensitas yang tinggi, yang bakal
meninggalkan kesan mendalam pada mereka yang terlibat melaksanakan ibadah di bulan suci itu.
Kekhasan suasana ramadhan pada bangsa kita, juga tercermin dalam suasana hari raya lebaran
Idul Fitri yang kita laksanakan pada hari ini. Dari anak-anak hingga orang tua, berbondong-
bondong menuju ke tanah lapang dan masjid, dengan bau wewangian yang semerbak, pakaian
baru yang indah-indah, semakin menambah kesemarakan hari raya idul fitri hari ini.
Karena itu, sudah sewajarnya kita merenungi makna hari raya ini yang merupakan hari raya
keagamaan, sehingga kita dapat mengetahui hikmah dan makna di balik itu. Idul Fitri dari segi
bahasa berarti kembali suci. Fitrah atau kesucian asal manusia adalah sebutan untuk rancangan
Allah swt mengenai kita, artinya kita ini diciptakan dengan rancangan sebagai makhluk suci
yang sakral.
Manusia pada dasarnya adalah suci. Oleh karenanya sikap-sikap manusia pun seharusnya
menunjukkan sikap-sikap yang suci, terutama terhadap sesama manusia. Ada ungkapan yang
mengatakan bahwa manusia itu suci dan berbuat suci kepada sesamanya dalam bentuk amal
saleh. Fitrah terkait dengan hanif artinya suatu sifat dalam diri kita yang cenderung memihak
kepada kebaikan dan kebenaran. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda:
Artinya:Kebajikan ialah sesuatu yang membuat hati dan jiwa tenang. Dan dosa ialah sesuatu
yang terasa tak karuan dalam hati dan terasa bimbang di dada (HR Ahmad).
Maksud dosa dalam hadis ini adalah, sesuatu yang dirasakan bertentangan dengan hati nurani.
Oleh karena itu ketika ada polemik mengenai nabi Ibrahim as, di mana orang Yahudi mengatakan
bahwa Ibrahim ialah orang Yahudi, dan orang Nasrani mengatakan Ibrahim adalah seorang
Nasrani, maka Allah berfirman:
Terjemahnya:Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasarani, akan tetapi dia
adalah seorang yang lurus lagi berserah diri kepada Allah dan sekali-kali dia bukanlah termasuk
golongan orang-orang musyrik (QS. Al Imran: 67).
Makasud ayat di atas bahwa Ibrahim itu adalah seorang yang hidupnya digunakan untuk mencari
kebenaran dengan tulus dan ikhlas, tanpa semangat golongan atau kelompok, diiringi dengan
musliman yaitu pasrah kepada Allah swt. Dalam Firman Allah yang lain disebutkan bahwa
agama yang benar tidak lain adalah asal kesucian manusia yaitu fitrah:
Terjemahnya:Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui(QS. Ar-Rum: 30).
Jadi menurut firman Allah di atas, bahwa agama yang benar ialah kemanusian primordial artinya
sesuatu yang asli, yang berasal dari pokok atau pangkal diciptakan. Idul Fitri adalah hari raya
untuk merayakan kembalinya fitrah, setelah hilang dan diketemukan kembali atau berhasil
diketemukan. Hal itu karena adanya ibadah puasa yang berintikan latihan menahan diri dari
godaan-godaan, seperti dilambangkan dengan makan dan minum serta hubungan biologis.
Pahala puasa tentunya tidak tergantung seberapa jauh kita lapar dan haus. Melainkan tergantung
pada, apakah kita menjalankannya dengan iman dan ihtisab kepada Allah, serta penuh
instrospeksi diri atau tidak. Bukti lebih jauh bahwa pahala puasa tidak tergantung pada seberapa
jauh kita lapar dan haus adalah disunatkannya berbuka puasa sesegera mungkin yang dalam
istilah agama disebut tajil. Jadi semakin cepat kita berbuka puasa, makin besar pahalanya.
Sedangkan sahur disunatkan seakhir mungkin, karena semakin akhir sahur kita semakin besar
pula pahalanya. Dan nabi Muhammad saw. tetap menganjurkan kita sahur, meskipun tidak ada
nafsu makan karena merasa kenyang, karena menurut beliau dalam sahur ada berkah.
Hal ini semua menunjukkan bahwa, Allah tidak menghendaki kita tersiksa, tetapi Allah
menghendaki kita melatih menahan diri dari godaan-godaan yang terkadang menjerumuskan
kepada kesesatan. Maka pahala ibadah puasa tergantung kepada seberapa jauh kita bersungguh-
sungguh melatih menahan diri, melatih untuk tidak tergoda, sebab salah satu kelemahan manusia
memang terkadang tidak bisa menahan diri. Dalam al-Quran banyak disebutkan bahwa diantara
kelemahan manusia ialah pandangannya yang pendek, Allah berfirman:
Kita lahir dalam fitrah berarti kita hidup dalam kesucian. Akan tetapi karena kelemahan kita itu
mudah tergoda, sehingga sedikit demi sedikit diri kita menumpuk debu-debu dosa dan menutup
hati kita sehingga menjadi gelap. Padahal semula hati kita itu terang sehingga mampu
memantulkan sinar kebaikan. Itulah sebabnya hati kita itu disebut nurani yang berarti cahaya.
Tapi lama kelamaan menjadi gelap karena selalu dikotori dengan debu-debu dosa, sehingga
menjadi zhulmani yang berasal dari zhulm berarti gelap. Dalam bahasa al-Quran dosa disebut
zhulm, sehingga orang yang berbuat dosa disebut zhalim, artinya seseorang yang melakukan
sesuatu yang membuat dirinya dan kesuciannya (fitrahnya) serta hati nuraninya menjadi gelap.
Hati juga diibaratkan sebagai pesawat pemancar (dzawq) yang dapat menangkap sinyal-sinyal
yang melintas. Kapasitas pesawat hati tiap orang berbeda-beda tergantung pada desain dan
baterainya. Hati yang telah lama dilatih melalui proses latihan (riyadhah) memiliki desain
dengan kapasitas besar yang mampu menangkap sinyal yang jauh termasuk sinyal isyarat masa
yang akan datang.
Ketajaman hati juga diibaratkan sebagai cermin (cermin hati). Orang bersih dari dosa, hatinya
bagaikan cermin yang bening, yang begitu mudah untuk berkaca diri. Orang yang suka
mengerjakan dosa-dosa kecil, hatinya buram bagaikan cermin yang terkena debu, jika digunakan
kurang jelas hasilnya. Orang yang suka melakukan dosa besar, hatinya gelap bagaikan cermin
yang tersiram cat hitam, dimana hanya sebagian kecil saja bagiannya yang dapat digunakan.
Sedangkan orang yang suka mencampuradukkan perbuatan baik dengan perbuatan dosa, hatinya
kacau bagaikan cermin yang retak-retak, yang jika digunakan akan menghasilkan gambar yang
tidak benar.
Apabila kita mencapai suatu titik dimana kita tidak lagi menyadari bahwa perbuatan kita itu
jahat, maka inilah yang disebut dengan kebangkrutan rohani. Problema terbesar dalam
masyarakat adalah menghadapi orang yang menjalankan hal-hal yang sebetulnya tidak baik, akan
tetapi justru merasa berbuat baik, Allah mengingatkan:
Itulah sebabnya, Allah menyediakan bulan puasa, supaya kita dapat mensucikan diri, sehingga
membuat diri kita kembali menjadi suci. Oleh karena itu puasa bukan saja bulan suci tetapi bulan
pensucian. Dan kalau kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan iman yaitu percaya kepada
Allah swt dan ihtisab yang berarti mawas diri, menghitung diri sendiri atau instrospeksi, yaitu
kesempatan bertanya dengan jujur siapa kita ini sebenarnya, apakah betul kita ini sudah banyak
berbuat baik, maka Allah akan mengampuni dosa dan kesalahan kita, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:Barang siapa berpuasa ramadhan karena iman dan ihtisab, niscaya Allah akan
mengampuni dosanya yang telah lalu
Nabi Muhammad saw menjanjikan, kalau kita berhasil berpuasa dengan dasar iman dan ihtisab,
maka seluruh dosa kita yang lalu akan diampuni oleh Allah swt. Dan konsekwensinya pada
waktu kita selesai berpuasa yaitu pada tanggal 1 Syawal hari ini, kita ibarat dilahirkan kembali.
Itulah yang kita rayakan dengan idul fitri (kembali suci). Kembalinya fitrah kepada kita, dan kita
pun harus tampil sebagai manusia suci dan baik, sebaik-baiknya kepada sesama manusia, juga
sebaik-baiknya kepada sesama makhluk.
Itulah sebetulnya semangat idul fitri yang kemudian kita ucapkan minal aidin wal faizin, semoga
kita semuanya termasuk orang yang kembali ke fitrahnya dan sukses serta memperoleh
kebahagiaan. Amin ya Rabbal alamin.