Anda di halaman 1dari 12

PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi

p-ISSN: 2252-3758, e-ISSN: 2528-3618 Akreditasi LIPI No. 695/Akred/ P2MI-LIPI/07/2015


Vol. 6(2), November 2017, pp 105 – 116 DOI: doi.org/10.24164/pw.v6i2.205

PENGGAMBARAN IDEAL PEREMPUAN JAWA


PADA MASA HINDU-BUDDHA:
REFLEKSI PADA ARCA-ARCA PEREMPUAN
Ideal Perception of Javanese Women during Hindu-Buddhist Period:
Reflection on the Statues of Women

Agustijanto Indradjaja
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Jln. Condet Raya Pejaten No. 4 Pasar Minggu Jakarta Selatan
E-mail: Agustijanto2004@yahoo.com
Naskah diterima 9 Agustus 2017 — Revisi terakhir 20 Oktober 2017
Disetujui terbit 23 November 2017 — Tersedia secara online 30 November 2017

Abstract
An Archaeological research has various purposes, one is to direct a historical recon-
struction emergence and the collapsing of a dynasty and the other, can also be used to
reveal the socio-cultural aspects of a community group in the past. Some problems of
social-cultural in the past may be connected with some social cultural problems that oc-
ccured today. The issue to be revealed in this paper is the perception of ancient Javanese
people on the meaning of “beauty” for Javanese women. In this case, the researcher
used the historical-archaeology as a method; this approach seeks an equal combina-
tion of “historical” and “archaeological” data to the study of the past. The results of
research on Durga statue from Prambanan Temple and Prajnaparamita statue from Sin-
gasari temple, East Java seem to represent the perception of “beauty” for Javanese
women during that time.
Keywords: beauty, Javanese, iconography, Hindu-Buddhist

Abstrak
Penelitian arkeologi, selain ditujukan pada usaha rekonstruksi sejarah atau muncul dan
runtuhnya sebuah dinasti, dapat pula digunakan untuk mengungkapkan aspek sosial-
budaya suatu kelompok masyarakat pada masa lalu. Banyak permasalahan sosial budaya
masa lalu yang memiliki keterkaitan dengan problematika sosial budaya yang terjadi
saat ini. Permasalahan yang ingin diungkap dalam tulisan ini adalah bagaimana persepsi
masyarakat Jawa kuna terhadap kecantikan perempuan Jawa. Metode yang dipakai
adalah metode arkeologi sejarah, yakni pendekatan yang menggunakan data artefaktual
dan data tekstual yang berupa naskah untuk studi masa lalu. Hasil penelitian terhadap
arca Durga dari Candi Prambanan dan arca Prajnaparamita dari Candi Singasari, Jawa
Timur tampaknya dapat mewakili persepsi masyarakat Jawa kuna tentang kecantikan
perempuan Jawa pada masa lalu.
Kata kunci: kecantikan, Jawa, ikonografi, Hindu-Buddha

105
PURBAWIDYA Vol. 6, No. 2, November 2017: 105 – 116

PENDAHULUAN cantik menurut Kamus Lengkap Bahasa


Kedudukan perempuan di dalam Indonesia (Tim Redaksi, 2005) memiliki
masyarakat Jawa sering kali digambarkan arti ‘elok, molek, dan indah’. Kemudian,
sebagai kaum yang dikekang, dibatasi, dalam penerapannya, pemaknaan
feminin, dan tidak berdaya. Padahal, seseorang terhadap kecantikan itu
perempuan Jawa pada masa Hindu- berbeda, bahkan selalu berubah dari waktu
Buddha diketahui memiliki posisi yang ke waktu. Makna kecantikan di daerah
sama dengan kaum pria. Berita Cina dari tertentu bisa jadi berbeda dari makna
zaman dinasti Tang menyebutkan bahwa kecantikan di daerah lain. Di Eropa pada
pada 674 M rakyat Ho-ling mengangkat abad pertengahan, kecantikan perempuan
Ratu Hsimo sebagai raja Jawa yang terkait erat dengan fertilitasnya. Pada
dikenal sangat adil (Poesponegoro dan abad ke-15-17 M perempuan cantik dan
Notosusanto 1984). Bahkan, penguasa seksi adalah mereka yang punya perut
wilayah Lasem pada masa Majapahit, dan panggul yang besar serta dada yang
kelima rajanya yang pernah memerintah di montok, yakni bagian tubuh yang berkait
Lasem seluruhnya perempuan (Rahardjo, dengan fungsi reproduksi. Pada awal
2001) Pada masa yang lebih kemudian, dari abad ke-19 M kecantikan didefinisikan
sumber tertulis dan babad tutur, diketahui dengan wajah dan bahu yang bundar serta
bahwa perempuan Jawa diketahui telah tubuh montok. Sementara itu, memasuki
berprofesi sebagai anggota prajurit abad ke-20 M kecantikan identik dengan
perempuan pada masa Mangkunegara I perempuan dengan bokong dan paha besar.
(Kumar, 2008). Di Afrika dan India umumnya perempuan
dianggap cantik jika ia bertubuh montok,
Banyak aspek perempuan Jawa yang
terutama ketika ia telah menikah sebab
telah disinggung dalam naskah-naskah
kemontokannya menjadi lambang
Jawa kuna, seperti kisah Sri Tanjung
kemakmuran hidupnya (Syata, 2012).
yang menceritakan kesetiaan seorang
istri terhadap suaminya, Sidapaksa, yang Ketika belajar dari Eropa, tampaknya
harus rela terbunuh untuk membuktikan sepanjang peradaban manusia, apa yang
kesetiaannya (Susetyo, 2002). Citra disebut cantik selalu berubah menurut apa
perempuan dalam kesusastraan Jawa yang dikonstruksikan oleh masyarakat
memang beragam. Salah satunya adalah itu. Pandangan tentang cantik berubah
perempuan Jawa dicitrakan sebagai bersama perkembangan teknologi. Di
makhluk yang penuh kelembutan, Barat, semenjak Revolusi Industri,
kesetiaan, susila, rendah hati, pemaaf, dan terjadi perubahan konsep kecantikan. Era
penuh pengabdian (Endraswara, 2013). industrialisasi membuat banyak perempuan
Tema kesetiaan, misalnya, dapat ditemukan bekerja di luar rumah dan independen
pada bagian akhir cerita Ramayana ketika secara material. Keadaan ini, seperti yang
Sinta harus menjalani peruwatan setelah diungkapkan Naomi Wolf, aktivis gerakan
bebas dari cengkeraman Rahwana untuk perempuan dalam bukunya The Beauty
membuktikan kesetiaannya pada Rama. Myth yang terbit tahun 1990, mendorong
Tema yang juga menarik perhatian perempuan membelanjakan uangnya,
sejak dahulu terhadap perempuan menjadi konsumen demi kecantikan yang
adalah masalah kecantikan. Definisi sejalan dengan penciptaan mitos cantik

106
Penggambaran Ideal Perempuan Jawa.... (Agustijanto Indradjaja)

secara massal oleh kaum industri kapitalis; ekofak yang dihasilkan masyarakat masa
seperti tubuh yang ramping cenderung lampau pada masa sejarah ketika sudah
kurus, muka cantik, bersih, dan kulit mengenal tulisan (Tjandrasasmita, 2009;
kencang (Syata, 2012). Handoko, 2012).
Karena mitos dan kriteria cantik itulah Untuk mengkaji penggambaran ideal
banyak wanita tergoda terhadap tawaran perempuan Jawa pada masa Hindu-Buddha
paket mempercantik diri yang kini banyak dilakukan tahapan sebagai berikut: (1)
bertebaran; mulai dari melangsingkan tahap pengumpulan data melalui survei;
tubuh, memutihkan kulit, mentato alis (2) tahap deskripsi dan analisis; (3) tahap
mata, membentuk bokong atau payudara, eksplanasi dan interpretasi. Tahapan
dan membuat lesung pipit. Tampak jelas penelitian yang dilakukan, sebagaimana
citra kecantikan tengah dikonstruksikan yang diperkenalkan oleh K.R. Dark,
oleh kaum industri kapitalis kecantikan, adalah bahwa di dalam penelitian
seperti yang ditawarkan iklan dalam media arkeologi setiap artefak harus dilihat
massa. Celakanya banyak perempuan yang sebagai data yang memuat informasi
terpengaruh, baik secara sadar maupun arkeologis. Akan tetapi, datanya hanyalah
tidak, mengikuti keinginan kaum industri informasi tentang eksistensinya sendiri
kapitalis kecantikan tersebut. dan tidak dengan sendirinya menjadi bukti
arkeologis. Data arkeologi baru menjadi
Jika kecantikan adalah sesuatu yang
bukti arkeologis setelah dimasukkan ke
menarik perhatian, baik bagi kaum
dalam kerangka interpretasi (Dark, 1995).
perempuan sendiri maupun kaum pria,
Dengan demikian, tahapan di dalam
bagaimanakah persepsi kecantikan
melakukan penelitian arkeologi adalah
wanita Jawa pada masyarakat Jawa kuna?
sebagai berikut.
Dapatkah konsep kecantikan perempuan
Jawa pada masa lalu direpresentasikan 1. Sumber Data.
pada arca-arca perempuan abad ke-8-13 M Sumber data di dalam penelitian
di Jawa? Sasaran penelitian ini difokuskan adalah sumber subjek dari tempat
pada tinggalan arca-arca perempuan masa data dapat diperoleh. Pada penelitian
Hindu-Buddha. ini sumber data diperoleh dari hasil
survei.
METODE Selain data artefaktual, pengumpulan
data juga dilakukan dengan
Arkeologi sebagai bagian ilmu budaya melakukan penelusuran literatur
dalam mencapai tujuan penelitian sering yang berhubungan dengan kajian
kali membutuhkan disiplin ilmu lain, data artefaktual dalam bentuk buku,
baik sebagai alat pengolah data maupun prosiding serta artikel/makalah
membantu dalam melakukan interpretasi. lainnya.
Usaha tersebut kemudian menghasilkan
ilmu perbatasan, seperti arkeologi sejarah 2. Data.
(Harkatiningsih et al., 1999). Menurut Temuan arkeologi yang diperoleh
Tjarasasmita, arkeologi sejarah adalah melalui survei diolah menjadi
arkeologi yang mempelajari masyarakat data dengan melakukan deskripsi
masa lampau melalui artefak, fitur, dan terhadap temuan, yang dilanjutkan

107
PURBAWIDYA Vol. 6, No. 2, November 2017: 105 – 116

dengan analisis. Ada dua jenis 3. Evidence turunkan pada tahap cara,
analisis, yakni analisis khusus yang dilakukan adalah meletakkan
dan analisis kontekstual. Analisis temuan di dalam konteks arkeologi.
khusus merupakan analisis yang Konteks di dalam arkeologi dapat
menitikberatkan pada ciri-ciri fisik bermakna konteks ruang atau waktu
artefak/ikonografi. pada saat arca dibuat dan digunakan.
Menyangkut aspek ikonografi pada Analisis konteks dapat digunakan
arca, menurut Edi Sedyawati, ada dua untuk menjawab pertanyaan penelitian
nilai yang akan diperhatikan, yakni dengan cara menempatkan kajian arca
(1) nilai ikonografi, menyangkut ini ke dalam ruang dan waktu pada
sistem tanda yang mempunyai fungsi saat dibuat dan digunakan.
sebagai penentu identitas tokoh yang 4. Interpretasi turunkan pada tahap ini
digambarkan di dalam relief; (2) nilai dilakukan juga komparasi dan analogi
seni, menyangkut unsur gaya yang dengan data, seperti sumber tertulis
penggarapannya menentukan indah lainnya yang terkait yang diharapkan
dan buruknya relief sebagai ekspresi dapat membantu menjelaskan
dorongan keindahan pada manusia keberadaan arca yang dimaksud.
(Sedyawati, 1980).
Analisis ikonografi yang dilakukan HASIL DAN PEMBAHASAN
pada arca bertujuan untuk mengenali
tokoh yang digambarkan, tetapi Di Jawa kisah yang terjadi pada
tulisan ini lebih banyak mengungkap tokoh-tokoh besar juga dilatarbelakangi
nilai seni suatu arca. Untuk oleh kecantikan. Seperti kisah perkawinan
mengungkap permasalahan nilai seni, Ken Dedes dan Ken Angrok, yang dapat
digunakan pendekatan kajian seni menggambarkan bagaimana kecantikan
yang menurut Edi Sedyawati di dalam Ken Dedes telah mendorong Ken Angrok
estetika Hindu dikenal rumusan bersedia melakukan apa pun untuk
bahwa suatu hasil seni dikatakan mendapatkan Ken Dedes, sampai harus
indah dan berhasil ketika memenuhi merebutnya secara paksa dari suaminya
enam syarat (sad-angga) atau dengan cara membunuh Tunggul Ametung.
sekumpulan syarat yang terdiri atas Kisah ini termaktub di dalam naskah
enam bagian atau perincian (angga). Pararaton, sebuah naskah sastra berbahasa
Oleh karena itu, rumusan ini disebut Jawa Pertengahan (Padmapuspita, 1966).
sad-angga. Keenam sad-angga ini Hal ini menunjukkan bahwa kecantikan
adalah (1) rupabheda/pembedaan adalah idaman dan harapan bagi setiap
bentuk, (2) sadrsya/kesamaan dalam pria.
penglihatan, (3) pramana kesesuaian Naskah-naskah kuna juga
dengan ukuran yang tepat, (4) mendeskripsikan kecantikan seorang
warnikabhangga pewarnaan; (5) perempuan Jawa dengan menyebutkan
bhawa suasana atau pancaran rasa, secara detail bagian fisik seorang
dan (6) lawanya keindahan, kualitas perempuan Jawa yang dianggap cantik.
yang ditentukan oleh bakat seniman Dalam kisah Sri Tanjung disinggung
(Sedyawati, 1981). bagaimana kecantikan Sri Tanjung,

108
Penggambaran Ideal Perempuan Jawa.... (Agustijanto Indradjaja)

yang disebutkan sebagai lambe lwir Selain itu, Kamasutra juga


manggis karengat (bibir bagai buah menampilkan wacana tentang tubuh secara
manggis terbuka), liringe sor madu juruh agak dominan. Disebutkan beberapa
(pandangannya yang manis mengalahkan tipe perempuan, seperti tipe perempuan
juruh madu), sor tang nyuh danta santene kuda, gajah, dan rusa. Di antara ciri tipe
(mengalahkan kelapa gading buah perempuan kuda adalah badannya sedikit
dadanya), panepi lwir patrem konus (bagian tegap, kulit agak gelap, sorot mata tajam,
tengahnya seperti patrem terhunus), dan dan suara agak berat. Perempuan demikian
pupu lwir pol ginombetan (paha bagaikan memiliki daya seksual yang kuat. Adapun
daum palem yang dipasah halus). Dalam tipe perempuan gajah memiliki ciri badan
naskah Sri Tanjung juga disebutkan bahwa subur, bibir tebal, dan payudara montok.
perempuan yang memiliki ciri-ciri seperti Perempuan demikian digambarkan
di atas adalah perempuan padmanagara, bahwa permainan seksnya mantap. Tipe
yakni perempuan tipe ideal setiap laki-laki perempuan rusa digambarkan memiliki
(Atmodjo, 1978). tubuh kecil atau sedang. la terkesan genit
Kitab Kama-Kalpa (The Hindu Ritual dan lincah, ramah dan menggoda berahi,
of Love) yang berasal dari India juga serta memiliki daya tarik seksual yang
menerangkan bentuk dan sifat wanita ideal sangat romantis. Sayangnya perempuan
dan yang tidak ideal. Tipe wanita yang jenis ini sulit hamil. Andaikan hamil,
ideal adalah tipe padmini (lotus woman) anaknya akan beruntun (Purwadi, 2011).
dan chitrini (art woman), sedangkan Seorang lelaki perlu menghindari
yang tidak ideal adalah samkhini (conch perempuan yang diindikasikan memiliki
woman) dan hastini (elephant woman) ciri yang buruk, yakni perempuan-
(Atmodjo, 1978) . perempuan yang memiliki ciri sebagai
Jika kitab Kama-Kalpa menyebut tipe berikut: perempuan dengan buah dada
wanita yang ideal sebagai tipe padmini, kecil, sudah kelihatan terurai dan kelihatan
serat Sri Tanjung menyebutkannya membesar, tetapi tidak padat berisi atau
sebagai wanita padmanagara. Kitab sudah kendur sehingga tidak indah lagi di
Kama-Kalpa mendeskripsikan tipe pandang mata. Di samping itu, pinggulnya
wanita padmini yang mempunyai mata juga sudah tampak mekar. Perempuan yang
yang indah, seperti mata anak kijang demikian menandakan telah melakukan
dengan sudut kemerah-merahan; roman hubungan seksual. Ia bukan perawan
muka cantik, seperti bulan purnama. Ia sunthi, rasanya sudah tawar (Purwadi,
mempunyai bentuk hidung yang indah 2011).
dan menarik. Tiga buah lingkaran yang Dalam memilih jodoh sebagaimana
sempurna mengelilingi pusatnya, suaranya yang diuraikan dalam Serat Centhini,
merdu dan bernada musik, kulitnya lunak Sri Suhandjati Sukri (2001) yang dikutip
dan halus, seperti kelopak kembang sirisha oleh (Purwadi, 2011) menyatakan bahwa
yang mekar, sedangkan wajahnya bersinar, kebiasaan yang terus-menerus diturunkan
seperti kembang cempaka, langkahnya dalam tradisi Jawa oleh kalangan para
(lenggangnya), seperti angsa, cairannya pangeran, yang dalam sosialitasnya
berbau kembang teratai, warna yang berkembang menjadi orientasi idealitas
digemarinya adalah putih (Atmodjo, 1978). keperempuanan, terdapat satu anggapan

109
PURBAWIDYA Vol. 6, No. 2, November 2017: 105 – 116

bahwa perempuan yang sebaiknya dipilih keinginan lelaki yang menjadi


menjadi istri adalah perempuan yang suaminya;
benar-benar berwatak sama, beda, dana, (10)sajiwa (satu jiwa), yaitu memiliki
dhendba, guna, busana, dan asana. Selain kesetiaan kepada lelakinya, seperti
itu, seorang laki-laki sebaiknya memilih kesetiaannya kepada dirinya sendiri
perempuan yang memiliki watak sawanda, (Purwadi, 2011).
saekanpraya, dan sajiwa. Adapun maksud
Jika karya sastra Jawa banyak yang
dari ungkapan-ungkapan tersebut adalah
menyinggung kecantikan menurut
sebagai berikut:
pandangan orang Jawa, pertanyaan
(1) sama, yaitu memiliki watak welas asih selanjutnya adalah apakah gambaran ideal
kepada sesama makhluk hidup; perempuan Jawa juga tecermin di dalam
(2) beda, yaitu mampu memilah-milah karya seni arca pada masa Jawa kuna?
(membedakan, mempertimbangkan, Untuk mengungkap permasalahan di atas
atau memilih yang lebih penting) digunakan pendekatan kajian seni yang
dengan apa yang hendak dilakukan; menurut Edi Sedyawati di dalam estetika
(3) dana, yaitu suka memberikan Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil
kesenangan kepada sesama; seni dikatakan indah dan berhasil ketika
(4) dhendha, yaitu dapat menggunakan memenuhi enam syarat (sad-angga)
hukum atau aturan sar nalar sehat, (Sedyawati, 1981). Tentunya sad-angga
untuk melihat mana yang baik dan ini diikuti oleh para seniman Jawa kuna
yang buruk atas dasar empan-empan dalam membuat arca-arca periode Jawa
(tempat, keadaan, situasi, dan kondisi); Kuna.
(5) guna, yaitu pandai mengetahui dan Sad-angga ini dicoba diterapkan pada
mengerti wewenang dan kewajiban ikonografi arca Durga Mahisasuramardhini
terhadap seluruh kegiatan yang dari Candi Prambanan dan arca
berhubungan dengan perempuan; Prajnaparamita dari Cungkup Putri
(6) busana (pakaian), yaitu dapat dekat Candi Singosari. Arca Durga
mengetahui dan menerapkan semua umumnya digambarkan sebagai dewi
apa yang dimiliki sesuai dengan yang cantik, anggun, berdiri di atas
maksud tujuan serta situasi dan kerbau, dan tersenyum manis (Santiko
kondisinya; 1987). Sebagai seorang dewi yang cantik,
Durga mengenakan perhiasan yang sangat
(7) asana (tempat), yaitu dapat mengerti, mewah, berupa mahkota, kalung, upawita,
membangun, menata dan memelihara kelat bahu, gelang tangan, ikat pinggang,
agar rumah tampak baik dan dan gelang kaki. Durga digambarkan
menyenangkan hati; dalam posisi berdiri (tribhangga) di atas
(8) sawanda (serupa atau sewarna), seekor kerbau (mahisa) dan memakai
yaitu mampu menyelaraskan antara sandaran arca. Durga bertangan delapan
keinginan lahir dan keinginan batin; yang masing-masing memegang laksana,
dalam meladeni dan melayani suami tangan kanan memegang cakra, pedang
laksana memperlakukan diri sendiri; (khadga), anak panah (bana), dan ekor
(9) saekapraya, yaitu mampu kerbau, sedangkan tangan kiri memegang
menyelaraskan keinginan diri dengan sangkha, perisai (khetaka), busur (dhanu),

110
Penggambaran Ideal Perempuan Jawa.... (Agustijanto Indradjaja)

dan rambut raksasa (asura). Arca Durga diterapkan pada arca Durga. Syarat pertama
diletakkan di salah satu ruang di sisi adalah rupabheda, yakni perbedaan bentuk
utara Candi Siwa, Prambanan karena yang digambarkan harus segera dikenali
kedudukannya sebagai çakti Siwa. orang yang melihatnya, pada arca Durga
Arca Prajnaparamita digambarkan dan arca Prajnaparamita syarat ini terpenuhi
sebagai sosok seorang wanita yang sangat mengingat seniman menggambarkan
cantik dengan ornamen yang sangat mewah arca Durga dengan sejumlah atribut yang
yang menghiasi tubuhnya. Roman mukanya merupakan ciri-ciri arca Durga dan arca
tenang dan pandangan mata terpusat pada Prajnaparamita dengan atributnya seperti
satu arah. Arca digambarkan dalam posisi yang ditemukan dalam sumber tertulis.
duduk bersila di atas padmasana dan Penggambaran Durga berdasarkan kitab
memiliki sandaran arca dan halo, aura cahaya Devi Mahatmya tampaknya sudah sesuai
yang melingkar di belakang kepala yang dengan nama yang disandangnya, yakni
menandakan seorang dewi. Kedua tangan di Durga Mahisasuramardhini yang berarti
depan dada dalam sikap dharmacakramudra Dewi Durga pembunuh raksasa (asura)
dan lengan kiri mengapit satu batang bunga yang menjelma menjadi seekor kerbau
teratai biru (utpala) yang di atasnya terdapat (mahisa) maka Durga digambarkan
keropak naskah Prajnaparamita sutra dari berdiri di atas seekor kerbau. Sebagai
daun lontar. dewi yang digambarkan tengah berperang
dengan asura, Durga dilengkapi dengan
Pemilihan arca Durga dari Candi sejumlah laksana, seperti trisula, sangkha,
Prambanan dan arca Prajnaparamita pedang, panah, dan busur. Kisah Durga
dari Singasari dilatari oleh pandangan yang bertarung melawan Mahisasura ini
masyarakat Jawa yang memandang kedua ditemukan di dalam berbagai purana
arca ini sebagai representasi perempuan seperti Varadha dan Vamana. Ada
Jawa yang cantik. Arca Durga dari Candi perbedaan secara detail, tetapi pada
Prambanan dipercaya oleh masyarakat intinya arca tersebut berkisah mengenai
Jawa sebagai perwujudan Dewi Lara pertempuran Dewi Durga dengan asura
Jonggrang, putri dari Raja Ratu Baka yang (Sahai, 1975).
pernah berkuasa di Jawa. Cerita rakyat yang
sangat populer ini menyebutkan bahwa Ciri utama dari penggambaran
Dewi Lara Jonggrang adalah anak Prabu bodhisattvadewi Prajnaparamita adalah
Baka yang amat cantik jelita. Dewi Lara sikap kedua tangan dharmacakramudra
Jongrang kemudian dikutuk menjadi arca dan lengan kiri yang mengapit satu
oleh Bandawasa karena menolak dijadikan batang bunga teratai biru (utpala) yang
istri Bandawasa. Demikian pula arca di atasnya terdapat Prajnaparamita sutra
Prajnaparamita, sering kali digambarkan yang terbuat dari daun lontar. Naskah
sebagai perwujudan Ratu Ken Dedes yang Prajnaparamita adalah salah satu sutra
sangat cantik dalam sejarah Kerajaan di dalam aliran Buddha Mahayana yang
Singasari (Kempers, 1959). membicarakan hikmat yang sempurna
Apabila arca Durga dan arca (Hadiwijoyo, 2008). Dengan demikian,
Prajnaparamita ditinjau dari enam syarat sebenarnya tokoh Boddhisattvadewi
(sad-angga) keindahan menurut estetika Prajnaparamita adalah perwujudan dari
Hindu, tampaknya semua syarat dapat naskah Prajnaparamita itu sendiri.

111
PURBAWIDYA Vol. 6, No. 2, November 2017: 105 – 116

Syarat kedua adalah Sadrsya atau dan pengetahuan seniman (Wirjosuparto,


kesamaan dalam penglihatan. Artinya 1956). Maka, pada dua syarat terakhir ini
adalah seniman harus menggambarkan kita melihat bagaimana sebenarnya tipe
tokoh yang akan diarcakan sesuai dengan ideal kecantikan seorang wanita Jawa
yang digambarkan di dalam naskah. Untuk yang dicoba diwujudkan dalam sebuah
hal ini, seniman mampu menggambarkan arca karena ini sangat bergantung pada
Dewi Durga sebagai sosok yang cantik kepandaian seorang seniman.
jelita, seperti yang digambarkan di Di sisi lain, kisah Ken Dedes
dalam naskah Devi Mahatmya (Sahai, dan Larajonggrang ini memberikan
1975). Demikian pula dengan tokoh kesan bahwa kecantikan wanita Jawa
Prajnaparamita yang dikenal sebagai dewi direpresentasikan oleh penggambaran
kebijaksaan, digambarkan sebagai sosok arca Durga dan arca Prajnaparamita. Oleh
wanita cantik dan tenang (santa). karena itu, tentu saja penggambaran arca
Syarat ketiga adalah pramana atau Durga dan arca Prajnaparamita sebagai
sesuai dengan ukuran, seperti diketahui bentuk ideal wanita Jawa haruslah sesuai
bahwa ukuran dewa-dewa di dalam dengan tipe wanita padmanagara yang
agama Hindu sudah ditentukan besar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
dan tingginya, masing-masing menurut 1. bibir bagaikan buah manggis terbuka,
hierarki kedewaan dan fungsinya. Ukuran 2. kerling mata yang menawan
dewa utama di dalam agama Hindu (mengalahkan manisnya juruh madu),
berkisar 10 tala dan 4 anggula, sedangkan
istri-istri mereka berukuran 10 tala. 3. payudara seperti kelapa gading,
(Sedyawati, 1981). Ukuran tala untuk arca 4. pantat seperti limas yang baik,
Durga sebagai çakti Dewa Siwa di Candi 5. betis seperti bunga pudak yang
Prambanan sudah sesuai jika dibandingkan mempesona,
dengan arca Siwa, Wisnu, dan Brahma 6. telapak kaki seperti gamparan gading,
pada candi yang sama. 7. tubuh seperti padmanagara,
Syarat keempat adalah 8. lenggangnya seperti seekor angsa,
warnikabhangga, tidak dapat 9. pinggang seperti patrem terhunus
diaplikasikan ke dalam arca Durga dan arca (keris), dan
Prajnaparamita karena menyangkut warna
10. paha seperti daun palem (?) yang
yang biasa digunakan untuk melukiskan
diserut (Atmodjo, 1978).
arca-arca Hindu dan Buddha dalam panel
lukisan. Apabila seorang seniman sudah Jika membandingkan kecantikan
memperhatikan keempat syarat tersebut, perempuan Jawa dengan perempuan India,
hasil karyanya sudah dapat dikatakan di dalam kitab Kama-Kalpa disebutkan
memenuhi syarat sebagai sebuah karya bahwa tipe ideal perempuan India terbaik
seni yang indah. Akan tetapi, belum adalah tipe padmini yang memiliki ciri
dapat dikatakan sebagai karya seni yang ciri antara lain (Atmodjo, 1978) sebagai
mengagumkan jika belum menyertakan berikut:
syarat ke lima, bhawa, yakni pancaran 1. mata yang indah seperti mata anak
rasa, dan lawanya, yakni kualitas karya kijang dengan sudut kemerah-
seni yang amat ditentukan oleh bakat merahan,

112
Penggambaran Ideal Perempuan Jawa.... (Agustijanto Indradjaja)

2. roman muka cantik seperti bulan perempuan India cenderung digambarkan


purnama, dengan pinggang yang besar, sedangkan
3. bentuk hidung yang indah dan pengarcaan perempuan Jawa memiliki
menarik, pinggang yang tidak terlalu besar
4. tiga buah lingkaran yang sempurna (Gambar 1 dan 2). Bahkan, masyarakat
mengelilingi pusatnya, Jawa cenderung menghindari perempuan
berpinggang lebar mengingat perempuan
5. suaranya merdu dan bernada musik, berpinggang lebar cenderung dianggap
6. kulitnya lunak dan halus seperti sudah melakukan hubungan seksual
kelopak kembang sirisha yang mekar, sehingga dianggap bukan perawan suthi
7. wajahnya bersinar seperti kembang yang baik untuk dinikahi. Menurut Claire
cempaka, dan Holt (Holt, 2000), wanita Jawa memiliki
8. lenggangnya seperti angsa. pinggul yang lebih sempit daripada
yang dimiliki oleh wanita India. Para
seniman Jawa tidak memahat pinggul
yang melengkung lebar berlanjut ke
paha yang panjang dan besar di bawah
pinggang yang sangat ramping. Meskipun
demikian, hal itu tidak mengurangi daya
tarik seksualnya.

Gambar 1. Gambar 1. Arca


Arca Durga dariDurga dari
Anuradhapura, India Gambar 2. Arca Durga dari candi
Anuradhapura,
Abad Indialankapura.com)
ke-10 (Sumber: Abad Ke-10 Prambanan, Jawa Tengah Abad Ke–9/10
(Sumber: lankapura.com) (Sumber: https://id.wikipedia.org.)

KeduaPerbedaan
arca Durga (arcadalam
lainnya Durgamenggambarkan
India bagian mata arca. Bagian mata di
dan Jawa) digambarkan sebagai sosok
arca India dan Jawa juga menarik untuk diamati. Menurut kitab Visnudharmottaram,
dewi
Indiayang cantik
ada lima macam olehukuran
sang keindahan
seniman mata, yakni (1) mata seperti busur, (2) mata
pembuatnya,
seperti daun tetapi
padma,
Gambar tetap
1. Arca(3)
Durga hasil
mata karya mata
darimenyerupai kelinci,
Gambar Gambar
(4) Arca
mataDurga
2. Arca 2.Durga
menyerupai
dari candi
dari Candi
ikan
Prambanan,
keduanya terasadanberbeda.
berperutAnuradhapura,
besar, (5)
Indiamata Pengarcaan
Abadseperti
Ke-10 daun teratai Prambanan,
biru. Selain Jawa
itu, Tengah
di India Abad Ke–9/10
sendiri
Jawa Tengah Abad Ke–9/10 (Sumber: https:// setiap
(Sumber: lankapura.com) (Sumber: https://id.wikipedia.org.)
Durga yang
zaman memiliki ukuran merepresentasikan
keindahan sendiri, pada zaman Maurya id.wikipedia.org.)
dan Sunga, mata arca
digambarkan terbuka,
Perbedaan sedangkan
lainnya dalampada masa kesenianbagian
menggambarkan Gupta,mata
mataarca.
diberi bentukmata
Bagian matadi
semedi (Wirjosuparto,
arca India dan Jawa juga 1956).menarik
Perlu diperhatikan bahwa
untuk diamati. kitab Visnudharmottaram,
penggambaran
Menurut mata ini berlaku 113
secara umum pada seluruh arca India, yang bergantung pada karakter
India ada lima macam ukuran keindahan mata, yakni (1) mata seperti busur, (2) mata arca yang ingin
digambarkan.
seperti daun Untuk
padma,penggambaran mata seorang
(3) mata menyerupai mataperempuan
kelinci, (4) ideal,
matakitab Kama-Kalpa
menyerupai ikan
India menyebutkan
berperut besar, dan bahwa
(5) mata mata ideal
seperti seorang
daun terataiperempuan
biru. SelainIndia
itu, didiibaratkan
India sendirisebagai
setiap
mata
zamananak kijang sehingga
memiliki mata perempuan
ukuran keindahan sendiri,India
padacenderung
zaman Maurya digambarkan
dan Sunga,secara penuh
mata arca
seperti mata kijang (Gambar 3).
digambarkan terbuka, sedangkan pada masa kesenian Gupta, mata diberi bentuk mata
semediPenerapan bentuk
(Wirjosuparto, mata Perlu
1956). pada diperhatikan
seni arca Jawa jugapenggambaran
bahwa disesuaikan dengan mata inikarakter
berlaku
PURBAWIDYA Vol.titik
memandang pada satu 6, No. 2, November
tertentu. Hal 2017: 105 – 116
itu dapat ditemukan dalam penggambaran mata
pada arca Prajnaparamita (Gambar 4).
ideal seorang perempuan India diibaratkan
sebagai mata anak kijang sehingga mata
perempuan India cenderung digambarkan
secara
memandang pada satu titik tertentu. Hal itu dapat penuh seperti
ditemukan dalam mata kijang (Gambar
penggambaran mata
pada arca Prajnaparamita (Gambar 4). 3).

Gambar 3. Arca Nayika Candi Lingaraja, Gambar 4. Arca Prajnaparamita dari Candi
Gambar 3. Arca Nayika Candi Lingaraja,
Bhubanesvara, India (Sumber: Mookerjee, 1966)
Bhubanesvara, India (Sumber: Mookerjee, 1966) Singasari (Sumber: Kempers, 1959)

Perbedaan
SIMPULAN lainnya dalam
menggambarkan
Sudah diketahui secara umum arca.
bagian mata bahwa para seniman, dalam menghasilkan karya
Bagian
seninya,mata
Gambar di arca India
sangat3.bergantung dan
Arca Nayika pada Jawa
Candirealitasjuga
kehidupan
Lingaraja, sehari-hari yangPrajnaparamita
ditemuinya.dari Di sisiCandi
Gambar
Gambar 4. 4.Arca
Arca Prajnaparamita dari
Candi
menarik untuk
Bhubanesvara, diamati.
India Menurut
(Sumber: kitab
Mookerjee, 1966)
lain relief-relief yang dipahatkan pada dinding candiSingasari juga merepresentasikan
Kempers,kondisi
Singasari (Sumber:
(Sumber: Kempers, 1959)
1959)
Visnudharmottaram, India ada lima
kehidupan sehari-hari tempat seniman relief pada masa itu berada. Perbedaan bentuk
macam ukuran keindahan mata, yakni
ideal seorang perempuan ini secara sadar dimiliki oleh Penerapan
seniman bentuk mata padadi seni
arca Hindu-Buddha
(1)SIMPULAN
mata seperti busur, (2) mata seperti
Jawa sehingga hasil karya seniman arca dengan
Jawa juga disesuaikan dengan
daun padma, (3) mata
Sudah diketahui umumJawa
menyerupai
secara bahwaberbeda
para seniman,seniman India meskipun
dalam menghasilkan karya
karakter tokoh
menggambarkan tokoh yang sama dalam agama Hindu, yakni Durga ataupun arca yang digambarkan.
mata kelinci, (4) mata menyerupai ikan
seninya, sangat bergantung pada realitas kehidupan sehari-hari yang ditemuinya. Di sisi
Prajnaparamita di dalam agama Buddha. Dengan Mata yang hasil
melihat berbentuk
karya senibusurarcadigunakan
pada
berperut besar, dan
lain relief-relief yang (5) mata seperti
dipahatkan pada dinding candi juga merepresentasikan kondisi
masa Hindu-Buddha dapat diketahui bagaimana untuk orangcantik
persepsi yang seorang
beryoga,perempuan
mata kelinci
daun terataisehari-hari
kehidupan biru. Selain itu,seniman
tempat di India relief digunakan
pada masa itu berada. Perbedaan bentuk
Jawa pada masazaman
itu. Melalui bantuanukuran untuk menggambarkan
seniman masa lalu itu pula dimungkinkan bagi kita orang
sendiri setiap
ideal seorang perempuan memiliki
ini secara sadar dimiliki oleh seniman arca Hindu-Buddha di
untuk merekonstruksi
keindahan sendiri, pada sebagianMaurya
zaman aspek yang marah,masa
kehidupan mata seperti daun padma
lalu, kemudian
Jawa sehingga hasil karya seniman Jawa berbeda digunakan dengan
untukseniman
orang India
yang meskipun
ketakutan
membandingkannya
dan Sunga, matatokoh dengan
arcayang kehidupan masa
digambarkan kini. Dengan pembahasan yang
menggambarkan sama dalam agama Hindu,
(Sedyawati, yakni
1981). Durga
Bentuk ataupun
mata arca
tersebut
menyangkut
terbuka, postur ideal
sedangkan pada seorang
masa perempuan
kesenian di dalam kebudayaan Jawa terlihat bahwa
Prajnaparamita di dalam agama Buddha. Dengan melihat hasil karya sumber
dikomparasi seni arca naskah
pada
masyarakat
Gupta, mata Jawa
diberimemiliki
bentuk cita
matarasasemedi
yang berbeda dengan citadengan
rasa mengenai bentuk
masa Hindu-Buddha dapat diketahui bagaimana
ideal perempuan1956).
India. untukpersepsi
menggambarkan
cantik seorangmataperempuan
perempuan
(Wirjosuparto,
Jawa pada masa itu. Melalui bantuan seniman Jawa masa ideal yang
lalu itu puladigambarkan
dimungkinkanjika melirik
bagi kita
Perlu diperhatikan bahwa sangat
untuk merekonstruksi sebagian aspek kehidupan masa lalu, kemudian menawan sehingga sering kali
penggambaran
membandingkannya mata ini berlaku
dengan secara masa
kehidupan digambarkan dengan pembahasan
kini. Dengan kelopak matayang yang
DAFTAR PUSTAKA
umum pada postur
seluruh arca India,perempuan
yang dibuka separuh (seperti orang
menyangkut
Atmodjo, M. M. S. K.ideal seorang
(1978). Wanita Padmanagara.di dalam kebudayaan
Majalah Arkeologi,Jawa 3–15.semadi),
terlihat
II(2), bahwa
bergantung pada karakter arca yang ingin memandang pada
masyarakat Jawa memiliki cita rasa yang berbeda dengan cita rasa mengenai bentuksatu titik tertentu. Hal
Dark, K. R.
digambarkan. (1995).
Untuk Theoretical Archaeology.
penggambaran mata New York: Cornell University Press.
itu dapat ditemukan dalam penggambaran
ideal perempuan India.
seorang perempuan
Endraswara, S. (2013).ideal, kitab
Seksologi Kama-
Jawa. Jakarta: mata pada Widya
Wedatama arca Prajnaparamita
Sastra. (Gambar
Kalpa India menyebutkan bahwa mata 4).
DAFTAR PUSTAKA
114
Atmodjo, M. M. S. K. (1978). Wanita Padmanagara. Majalah Arkeologi, II(2), 3–15.
Dark, K. R. (1995). Theoretical Archaeology. New York: Cornell University Press.
Endraswara, S. (2013). Seksologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Penggambaran Ideal Perempuan Jawa.... (Agustijanto Indradjaja)

SIMPULAN Dengan melihat hasil karya seni


arca pada masa Hindu-Buddha dapat
Sudah diketahui secara umum bahwa
diketahui bagaimana persepsi cantik
para seniman, dalam menghasilkan karya
seorang perempuan Jawa pada masa
seninya, sangat bergantung pada realitas
kehidupan sehari-hari yang ditemuinya. Di itu. Melalui bantuan seniman masa
sisi lain relief-relief yang dipahatkan pada lalu itu pula dimungkinkan bagi
dinding candi juga merepresentasikan kondisi kita untuk merekonstruksi sebagian
kehidupan sehari-hari tempat seniman relief aspek kehidupan masa lalu, kemudian
pada masa itu berada. Perbedaan bentuk membandingkannya dengan kehidupan
ideal seorang perempuan ini secara sadar masa kini. Dengan pembahasan yang
dimiliki oleh seniman arca Hindu-Buddha menyangkut postur ideal seorang
di Jawa sehingga hasil karya seniman Jawa perempuan di dalam kebudayaan
berbeda dengan seniman India meskipun Jawa terlihat bahwa masyarakat
menggambarkan tokoh yang sama dalam Jawa memiliki cita rasa yang berbeda
agama Hindu, yakni Durga ataupun arca dengan cita rasa mengenai bentuk ideal
Prajnaparamita di dalam agama Buddha. perempuan India.

DAFTAR PUSTAKA
Atmodjo, M. M. S. K. (1978). Wanita Padmanagara. Majalah Arkeologi, II(2), 3–15.
Dark, K. R. (1995). Theoretical Archaeology. New York: Cornell University Press.
Endraswara, S. (2013). Seksologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Hadiwijoyo, H. (2008). Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia.
Handoko, W. (2012). Skesta Arkeologi Islam di Maluku. Kapata Arkeologi, 8(2), 73–84. Retrieved
from http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/kapata/article/view/189/176
Harkatiningsih, N., Prasetyo, B., Eriawati, Y., Novita, A., Laili, N., & SImanjuntak, T. (1999).
Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Holt, C. (2000). Melacak Jejak Perkembangan seni di Indonesia. Jakarta: arti.line.
Kempers, A. J. B. (1959). Ancient Indonesia Art. Cambridge: Harvard University Press.
Kumar, A. (2008). Prajurit Perempuan Jawa Kesaksian Ilwal Istana dan Politik Akhir Abad ke-
18. Jakarta: Komunitas Bambu.
Mookerjee, A. (1966). Arts of India From Prehistoric to Modern Times. Japan: Charles E.Tuttle
Company.Inc.
Padmapuspita.J. (1966). Pararaton. Jogyakarta: Taman Siswa.
Poesponegoro, M. D. dan N. N. (1984). Sejarah Nasional Indonesia II. (B. Sumadio, Ed.). Jakarta:
Balai Pustaka.
Purwadi. (2011). Tata Hubungan Pria Wanita dalam Pandangan Budaya Jawa dalam Kumpulan
Makalah Seminar Hari Kartini. Yogyakarta.
Rahardjo, S. (2001). Perempuan dan Kekuasaan dalam Dinamika Perempuan Nusantara. Jakarta:
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Redaksi, T. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sahai, B. (1975). Iconography of Minor Hindu and Buddhist Deities. New Delhi: Abhinav
Publications.

115
PURBAWIDYA Vol. 6, No. 2, November 2017: 105 – 116

Santiko, H. (1987). Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada abad X-XV Masehi. Universitas
Indonesia.
Sedyawati, E. (1980). Pemerian Unsur dalam Analisis Seni Arca. In Pertemuan Ilmiah Arkeologi
I (pp. 208–232). Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sedyawati, E. (1981). Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Jakarta: PT. Jaya Pirusa.
Susetyo, S. (2002). Pandangan Masyarakat Jawa Tentang Perkawinan dari Masa Jawa Kuna
hingga Kini (Berdasarkan Karya Sastra dan Relief). Amerta, 22, 84–98.
Syata, N. (2012). Makna Cantik di Kalangan Mahasiswa dalam Perspektif Fenomenologi.
Universitas Hasanudin.
Tjandrasasmita. Uka. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Gramedia.
Wirjosuparto, S. (1956). Sedjarah Seni Artja India. Jogjakarta: Kalimosodo.

116

Anda mungkin juga menyukai