Anda di halaman 1dari 19

KESELARASAN ANTARA NILAI ISLAM DAN BUDAYA JAWA

MENURUT MANGKUNEGARA IV1

Purwadi
Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
Telp: 0274-550843-12; Email: purwadi@uny.ac.id

Abstract

The Javanese people make use of the life guidelines taken from the valuable
piwulang-piwulang inherited from one generation to another. Review of ethics is
of great importance to be carried out to balance the progress of science and
technology. Mangkunegara IV gave points out that the spectrum of human
knowledge principally contains the symbolic value systems, thus the culture as a
single vehicle of human existence is a symbolic system. Belief as knowledge, arts,
philosophy, and science is a symbolic manifestation of human existence.

Keywords : Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, Value Systems.

1. PENGANTAR

Kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa. Nilai-nilai tersebut berasal dari norma-norma agama (Islam), norma

adat, dan norma-norma sosial yang sudah berlangsung sepanjang usia kebudayaan

itu sendiri. Kristalisasi nilai-nilai tersebut telah mengakar kuat dalam hati para

pendukung kebudayaan Jawa. Salah satu contohnya adalah seorang raja dari Pura

Mangkunegaran yang sangat terkenal, yaitu Mangkunegara IV.2

Dalam lingkungan kebudayaan Jawa, beliau dikenal sebagai seorang raja

dan pujangga. Berbagai karya sastra yang mengandung nilai spiritual, dia

1
Dimuat dalam Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam Vol. 8 no. 2, Juli-Desember 2010 yang
diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) STAIN Purwokerto.
2
Kamajaya, Karangan Pilihan KGPAA. Mangkunegara IV (Yogyakarta: Yayasan Centhini, 1992),
hal. 12.

1
wariskan sebagai pembinaan setiap insan yang mempunyai akhlaqul karimah.

Karyanya yang sering menjadi bahan kajian adalah Serat Wedhatama. Di

dalamnya, memang terkandung ajaran mengenai keselarasan antara nilai Islam

dan budaya.

Tulisan ini membahas persoalan tasawuf Jawa yang dikaitkan dengan

akulturasi kebudayaan. Berdasarkan Serat Wedhatama,3 dapat diketahui bahwa

masalah syariat yang sering menjadi perhatian umat Islam mesti mendapat

pengkajian yang seksama sehingga kesalahpahaman antarwarga dapat dihindari.

Dengan demikian, pengkajian makalah ini bertujuan untuk membudayakan

tatanan masyarakat untuk mengakui keberagaman.

2. METODE PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI

Kajian ini menggunakan metode interpretasi dan holistika. Dalam

melaksanakan penelitian, seseorang akan berhadapan dengan kenyataan.

Kenyataan itu dapat dibedakan beberapa aspek. Bisa berbentuk fakta, yaitu suatu

perbuatan atau kejadian, maupun data, yaitu pemberian dalam wujud hal atau

peristiwa yang disajikan. Dapat pula dalam wujud sesuatu yang terdapat tentang

hal, peristiwa atau kenyataan lain yang mengandung pengetahuan atau kenyataan

lain yang mengandung pengetahuan untuk dijadikan dasar keterangan selanjutnya.

Mungkin juga kenyataan berbentuk gejala, yaitu sesuatu yang tampak sebagai

3
Anjar Ani, Serat Wedhatama (Semarang : Dahara Prize, 1982), hal. 12.

2
tanda adanya peristiwa atau kejadian. Ketiga aspek itu akan mendapatkan titik

berat yang berbeda menurut masing-masing disiplin ilmu.4

Serat Wedhatama berisi kesusastraan Jawa, wayang kulit, dan bentuk-

bentuk kebudayaan lainnya, yaitu keris, bentuk-bentuk bangunan (keraton, candi),

adat-istiadat (bermacam-macam upacara), dan peribahasa. Kesemuanya itu

bersifat simbolis dan memerlukan penafsiran (interpretasi) menurut tata cara

tertentu pula agar dapat dipahami secara rasional sehingga harus dilakukan

analisis. Dalam hal ini, ketajaman dan kehalusan perasaan akan sangat

memainkan peranan karena dapat memberikan bantuan dalam usaha mencapai

pemahaman tersebut.

Holistika merupakan corak dalam konsepsi filosofis yang berupaya

mencapai kebenaran yang utuh. Dalam penelitian filsafat ini, tokoh yang menjadi

objek studi tidak hanya dilihat secara otomatis, yaitu secara terisolasi dari

lingkungannya, tetapi ditinjau dalam interaksi dengan seluruh kenyataannya.

Manusia hanya dapat dipahami dengan memahami seluruh kenyataan dalam

hubungan dengan dia, dan dia sendiri dalam hubungan dengan segalanya.

Pemahaman tokoh hanya mungkin dilakukan dengan melihat hubungan

tidak hanya di antara ide, melainkan juga dengan manusia lain serta dengan alam

sekitarnya. Hubungan dalam hidup manusia terutama bersifat vital dan

komunikatif, yang satu mempengaruhi yang lain. Memahami sesuatu itu terjadi

sebab peneliti mengerti relasi-relasi dan fungsi-fungsinya terhadap

lingkungannya. Namun demikian, walaupun tidak ada hubungan vital dengan

4
Anton Bakker dan A. Charris Z., Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta : Pustaka Filsafat,
1994), hal. 41.

3
banyak hal atau orang di sekitarnya, tetapi hanya dengan usaha membuat

komparasi saja sudah dapat membantu untuk lebih memahami objek penelitian.5

3. PERKEMBANGAN ISLAM DI JAWA

Agama Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW pada mulanya

hanya pada kalangan terbatas, yaitu keluarga dan sahabat terdekat. Dalam waktu

yang relatif singkat, Islam berkembang dengan pesat. Sepeninggalnya, agama

Islam disebarkan oleh “sahabat empat” yang terkenal dengan gelar Khulafaur

Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Setelah Islam menyebar di

daerah-daerah luar jazirah Arab, maka segera bertemu dengan berbagai peradaban

dan lingkungan kebudayaan yang sudah mengakar selama berabad-abad.

Pada zaman Demak, kota-kota seperti Pati, Yuwana, Jepara dan Kudus

semakin bertambah kokoh dan makmur. Demak berhasil menyusun kekuasaan

yang solid, dengan rajanya yang pertama, Raden Patah. Sebelum mendirikan

Kerajaan Demak, Raden Patah terlebih dahulu membina basis pesantren.

Peradaban Islam Jawa mulai berkembang sejak berdirinya Kerajaan Demak.

Peradaban Hindu-Jawa kuno dilanjutkan oleh peradaban Islam seperti yang

dikatakan oleh de Graaf, “Suatu kenyataan bahwa mistik, bahkan mistik yang

heterodoks dan panteistik telah mendapat tempat yang penting dalam kehidupan

keagamaan Islam di Jawa sejak abad ke-15 dan ke-16. Hal ini bisa dibuktikan

dalam karya sastra Jawa”.6

Guru agama yang berkunjung ke Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 adalah

kelompok mahasiswa dan sarjana yang menjelajahi dunia Islam sambil


5
Ibid.
6
H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Pers,
1989), hal. 31.

4
menghimpun ilmu, dan menyebarkan pelajaran. Di samping itu, mereka juga

mengurusi masalah kepentingan duniawi. Pengislaman kepulauan Indonesia

merupakan jerih payah usaha mereka. Di istana, Islam yang terdapat di sepanjang

pantai Jawa, mereka mendapat sambutan yang cukup meriah sebagai ahli spiritual

dan intelektual. Mobilitas sosial mereka yang begitu kosmopolit, pergaulan luas,

mempunyai jaringan antarbangsa, mempunyai daya pikir, dan penuh dengan

kecakapan, membuat daya tarik pihak istana Islam. Mereka direkrut sebagai

tenaga ahli, penasihat, bahkan diminta untuk membantu memimpin usaha.7

Ketika agama Islam masuk ke Pulau Jawa, maka cerita-cerita Islam ikut

masuk juga. Kebanyakan terlebih dulu menggunakan bahasa Melayu.8 Namun

demikian, perkembangan Islam di Pulau Jawa berkaitan erat dengan peranan

kepustakaan Arab. Kepustakaan Arab yang kuat mempengaruhi tradisi

kesusasteraan Jawa, yaitu bersumber dari karya Al-Ghazali, Al-Hallaj dan Ibnu

Arabi.9 Perkembangan kesusasteraan Jawa kemudian memuat istilah Arab yang

berkaitan dengan agama Islam dan ajaran tasawuf. ‘Tasawuf’ berasal dari kata

‘safa’ yang berarti suci atau mulai.

Adapun ‘suluk’ berasal dari kata ‘salaka’ yang berarti melalui, menempuh,

jalan atau cara.10 ‘Salaka’ adalah kata kerja bahasa Arab berbentuk mujarad dan

dalam bentuk masdar menjadi ‘sulukan’ yang bermakna perjalanan atau

menempuh jalan. Sebagai ilmu, tasawuf atau suluk berarti transformasi sikap

7
Ibid.
8
Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi (Jakarta : Djambatan, 1964), hal 23.
9
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Terj. Dick Hartoko (Jakarta : Gramedia, 1990), hal.
20.
10
H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden : E.J. Brill, 1953), hal.
51.

5
mental spiritual dari yang belum sempurna dengan cara menyucikan diri lahir

batin untuk mencapai kehidupan ruhani yang lebih sempurna,11 yaitu dalam

tempat yang sedekat-dekatnya dengan Tuhan, namun tidak sampai meninggalkan

kehidupan duniawi. Seseorang yang menganut tasawuf mendapat gelar sebagai

sufi.12

Sementara itu, mistik berasal dari bahasa Yunani, 'mistikos' yang berarti

misteri atau rahasia. Berkaitan dengan tasawuf, mistik mempunyai makna

kesatuan makhluk dengan Tuhan. Meskipun antara kata tasawuf, mistik, dan suluk

ada perbedaan, namun ketiga kata itu sering dipakai dalam arti yang sinonim.13

Pura Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757, dua tahun setelah

dilaksanakan Perundingan Gijanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa

menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta. Kerajaan Surakarta

terpisah setelah Pangeran Raden Mas Said memberontak dan alas dukungan sunan

mendirikan kerajaan sendiri. Raden Mas Said memakai gelar "Mangkunegara I" dan

membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe di pusat kota

yang sekarang bernama Solo. Pura Mangkunegaran yang sebetulnya awalnya lebih

tepat disebut tempat kediaman pangeran daripada istana, yang dibangun mengikuti

model kraton, tapi bentuknya lebih kecil.

Pangeran Hadiwijaya I yang menikah dengan puteri Mangkunegara II,

melahirkan jabang bayi yang diberi nama Sudiro, anak ke-7, pada hari Sabtu

bertepatan dengan Ahad Legi, 1 Sapar Jimakir 1736 tahun Jawa atau 3 Maret 1811, di

11
Zahri Mustafa, Kunci Memahami Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hal. 44.
12
Harun Nasution, Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), hal. 34.
13
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat
Wirid Hidayat Jati (Jakarta : UI Press, 1988), hal. 38.

6
Surakarta. Eyang Sudiro dari pihak ayah gugur dalam pertempuran melawan

Belanda di Kaliabu. Kejadian itu terkenal dengan sebutan Hadiwijaya Seda

Kaliabu. Eyangnya dari pihak ibu adalah Mangkunegara II, anak kandung

Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Raden Mas Said atau Pangeran

Samber Nyowo.14

Pendidikannya tidak formal karena sistem ini belum muncul ketika itu. Dia

dididik kakeknya. Setelah berusia 10 tahun, oleh kakeknya, dia diserahkan

kepada Pangeran Rio, saudara sepupunya yang kelak menjadi Mangkunegara III.

Pangeran Rio diserahi tugas untuk mendidik Sudiro membaca, menulis, berbagai

cabang kesenian dan kebudayaan serta kawruh lainnya. Sudiro, lima tahun penuh

belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pangeran Rio. Menurut pengakuannya

sendiri, pada masa muda, dia sangat tertarik kepada pelajaran agama. Dia berguru

kepada para ulama sampai mengenai aturan ibadah haji.

Belum cukup sempurna menuntut pelajaran agama, dia telah dipanggil untuk

menerima tugas mengabdi kepada pemerintah. Karena sibuknya menjalankan tugas,

maka tidak jarang tertinggal sembahyangnya. Sekalipun demikian, sembahyang

lima waktu tetap diyakininya sebagai kewajiban yang mesti dipatuhi seperti

diungkapkannya sendiri dalam Serat Wedhatama. Sembahyang lima waktu

tersebut bagi Mangkunegara IV agaknya tidak ditinggalkannya begitu saja,

betapapun sibuknya bertugas. Setidak-tidaknya, dia mencari cara lain dalam

menunaikannya, misalnya ia melakukan sembahyang itu dengan jama’

(mengumpulkan dua waktu sembahyang) apabila ia benar-benar sibuk dalam

14
Mohammad Ardhani, Pemikiran KGPA Mangkunegoro IV (Semarang : Dahara Prize, 1990),
hal. 65.

7
tugas kedinasan, yang memang diperkenankan menjamakkan dua waktu shalat tanpa

uzur, demikian menurut kebanyakan fukaha, tetapi menurut ahli Dhohir dan

sementara golongan Maliki cara yang demikian itu diperkenankan sekalipun tanpa uzur.

4. PEMIKIRAN TASAWUF MUSLIM JAWA

Mangkunegara IV merupakan pujangga yang memiliki arti yang amat besar bagi

orang Jawa. Mangkunegara IV menegaskan nasihat dan petunjuk kepada kerabat dan

rakyat Mangkunegaran, terutama yang berfungsi sebagai prajurit mengenai hal-hal

yang berkenaan dengan sikap disiplin, setia dan patuh dan kesediaan menjaga

kehormatan diri. Menurut Mangkunegara IV, karena soal mati bukan kewenangan

manusia, maka berserah dirilah kepada kehendak Ilahi, di samping harus berikhtiar

secara maksimal. Jika ajal telah tiba, maka pantang ditunda-tunda. Sebagai prajurit

gugur di medan perang lebih utama daripada meninggal di rumah. Sebaliknya, jika

takdir Tuhan belum tiba dan ajal pun belum smmpai, walaupun dihujani panah (peluru)

beribu-ribu, tak akan terkena. Dalam perang, seorang prajurit harus tunduk pada

perintah panglima sebagai wujud perbuatan lahiriah, namun dalam hati hendaklah

berserah diri kepada Ilahi. Ia tidak diperkenankan membunuh dan menganiaya

musuh yang menyerah. Tindakan membunuh dan menganiaya musuh yang

menyerah adalah tercela.15

Mangkunegara IV juga memberi petunjuk cara bersikap dan bertingkah laku dalam

mencapai kehidupan yang baik. Petunjuk tersebut dapat dibedakan pada petunjuk

yang berlaku umum bagi siapa saja yang ingin meraih keberhasilan dalam hidup

duniawi, terpenuhi kebutuhan primernya secara wajar. Petunjuk yang berlaku khusus

15
Ibid.

8
untuk yang sudah berkeluarga sebagai suami atau istri.

Petunjuk yang pertama disebut "Astagina" (delapan faedah), sebagai kunci

meraih sukses apa yang dihajatkan seseorang, yaitu: (1) mengupayakan secara

optimal apa yang ia inginkan menurut kondisi zamannya; (2) mampu mencari

pemecahan apabila ia menghadapi kesulitan; (3) hemat dan hati-hati menggunakan

dana; (4) cermat dan teliti dalam pengamatan untuk memperoleh kepastian; (5)

mampu memperhitungkan situasi; (6) menuntut ilmu dan gemar bertanya kepada

ahlinya; (7) mencegah keinginan yang tak bermanfaat dan menambah

pemborosan; dan (8) bertekad bulat tanpa ragu-ragu.16 Delapan sikap tersebut

mencerminkan sifat-sifat yang utama. Siapapun agaknya tidak mengingkari

kemantapan sikap yang demikian sebagai kunci keberhasilan. Apabila dilaksanakan

secara menyeluruh, maka Astagina akan membawa hasil yang diinginkan

seseorang, jika ia dilaksanakan secara utuh, tidak dipereteli atau dilepaskan

keterkaitan dengan yang lainnya.

Segala sesuatu yang diinginkannya terkabul, demikian Mangkunegara IV,

apabila Astagina diterapkan baik-baik. Petunjuk kedua disebutkan Serat Wulang Estri

ditujukan terutama kepada wanita yang hendak berkeluarga.17 Petunjuk ini

menyangkut hubungan suami-istri dan pengelolaan harta bawaan dan harta

bersama gono-gini. Seorang wanita, begitu nasihatnya, sebelum ia menikah,

bahkan sebelum adanya lamaran, hendaklah bersikap dewasa dengan mengadakan

pengamatan yang cermat kepada calon suami, mengenai kelakuannya, wataknya,

pantangannya, kehalusan budinya; dengan kata lain penelitian mengenai


16
Ibid.
17
Kamajaya, Karangan Pilihan KGPAA. Mangkunegara IV (Yogyakarta: Yayasan Centhini,
1992).

9
akhlaknya. Di samping itu, perlu juga saling mengenal dalam batas-batas kesopanan akan

keadaan pribadi masing-masing agar terdapat kesesuaian keduanya.

Sistem pemikiran tasawuf muslim Jawa lengkap pada dirinya, yang berisikan

kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik dan

sebagainya yang menimbulkan antropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan

mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat; yang pada gilirannya

menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa. Singkatnya, Jawanisme memberikan

suatu dunia pemikiran secara umum sebagai pengetahuan yang menyeluruh, yang

dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan rupanya.

Kejawen bukanlah suatu katagori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu

etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara berpikir Jawanisme. Dasar pandangan

manusia Jawa mengatakan bahwa tatanan dunia dan masyarakat sudah ditentukan

dalam segala seginya. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status

dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya, jadi mereka

harus menanggung kesulitan hidupnya dengan sabar.

Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan pada

bimbingan adikodrati dan bantuan dari ruh nenek moyang seperti Tuhan sehingga

menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman. Kejawaan atau kejawen dapat

mengungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia-rahasia

kebudayaan Jawa. Hal ini sering sekali diwakili yang paling baik oleh golongan elite

priyayi lama dan keturunan-keturunannya yang menegaskan bahwa kesadaran

budaya sendiri merupakan gejala yang tersebar luas di kalangan orang Jawa. Kesadaran

budaya ini sering kali menjadi kebanggaan dan identitas kultural. Orang-orang inilah

10
yang memelihara warisan budaya Jawa secara mendalam yang dapat dianggap

sebagai Kejawen.

Dalam khasanah sastra Jawa, terdapat jenis sastra suluk yang mengandung

keterangan tentang konsep-konsep ajaran mistik dalam Islam atau tasawuf. Sastra suluk

ialah jenis karya sastra Jawa Baru yang bernafaskan Islam dan yang berisi ajaran

tasawuf. Kata 'suluk' itu sendiri diperkirakan berasal dari Bahasa Arab sulukan

bentuk jamak 'silkun' yang berarti 'perjalanan pengembara’, atau 'kehidupan

pertapa'. Arti tersebut dapat dihubungkan dengan ajaran tasawuf yang mengharuskan

para sufi berlaku sebagai pertapa pengembara dalam mencapai tujuannya.

Selanjutnya, menurut ahli-ahli tasawuf, diberi arti "mengosongkan diri dari sifat-sifat

buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji”.18 Suluk sering disebut juga

mistik, yaitu jalan ke arah kesempurnaan batin, ajaran atau kepercayaan bahwa

pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin;

melalui tanggapan batinnya manusia dapat berkomunikasi langsung atau bersatu dengan

bersemedi; khalwat, pengasingan diri.

Uraian dalam sastra suluk sering diberikan dalam bentuk tanya jawab antara

murid dengan guru atau antara anak dengan orangtua, dan antara istri dengan suami.

Meskipun ciri khas jenis sastra suluk tersurat secara eksplisit demikian, bahkan

kadang-kadang dinyatakan dengan jelas terjalin dalam kandungan isi yang lebih

mewarnai jenis sastra suluk itu. Pendidikan budi pekerti dalam sastra suluk biasanya

dikaitkan dengan empat tahap perjalanan menuju kesempurnaan manusia, yaitu

tahap syariat, tarekat, hakikat dan makrifat.

18
Zahri Mustafa, Kunci Memahami Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hal. 25.

11
5. JALAN MENUJU K ESEMPURNAAN

Serat-seratPiwulang selain Wedhatama tampak lebih banyak mengajarkan

kehidupan praktis, kehidupan lahiriah yang disertai budi luhur seperti mematuhi aturan

berumah tangga, aturan pemerintah, aturan agama, mendidik bawahan, mendidik anak,

bercita-cita luhur, mencintai tanah air, mengendalikan hawa nafsu, berbudi luhur dan

menjauhi budaya jahat. Dengan kata lain, ajaran ini merupakan syariat lahiriah yang

disertai akhlak mulia. Di samping itu, dalam serat-serat tersebut meski tidak

menonjol, terdapat pula ajaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang dikenal

dengan sufisme untuk mendasari motivasi ajaran lahiriah itu. Selanjutnya,

Wedhatama berisi pendalaman dan peningkatan ajaran dalam Serat-serat Piwulang

itu. Ajaran syariat lahiriah yang disertai akhlak dan sufisme sederhana, ditingkatkan

mutunya dan diperdalam maknanya. Untuk itu, Serat Wedhatama mempertajam

perbedaan orang yang hanya menekankan syariat lahir dengan orang yang

mementingkan syariat lahir-batin, perbedaan antara perbuatan jahat dengan budi

luhur, lalu menekankan pentingnya catur sembah kepada Allah, yang berpengaruh

besar bagi pengendalian nafsu, sebagai perjalanan yang intensif dalam mendekatkan

diri kepada Tuhan.19

Teori sembah dikemukakan Mangkunegara IV dalam berbagai karyanya,

namun lebih banyak terdapat dalam Serat Wedhatama. Setelah dijelaskan secara

tajam kemuliaan budi luhur dan kehinaan budi jahat dengan kritiknya yang keras,

diajarkan sembah kepada Tuhan Yang Kuasa. Dia mengaitkan secara terpadu antara

sembah dan budi luhur sebagai dua hal yang menyatu, senafas dan saling kait berkait.

19
Mohammad Ardhani, Pemikiran KGPA Mangkunegoro IV (Semarang : Dahara Prize, 1995).

12
Hal itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya. Inti

pandangan dunia Jawa terdiri atas pandangan bahwa di belakang gejala-gejala

lahiriah terdapat kekuatan-kekuatan kosmis numinus sebagai realitas yang

sebenarnya. Realitas sebenarnya dari manusia adalah batinnya yang berakar dalam

dunia numinus itu.

Kehidupan manusia akan berhasil sejauh ia berhasil untuk menyesuaikan diri

dengan realitas itu, atau sejauh ia dapat menembus sampai padanya. Kriteria

keberhasilannya pada akhirnya adalah keadaan psikologis, yaitu keadaan slamet, atau

ketenteraman batin yang tenang. Hal itu tampak dalam keadaan hanya dapat tercapai

apabila memiliki sikap batin yang tepat. Dengan pertanyaan tentang sikap batin

yang tepat itu, dia menggambarkan ciri khas etika Jawa.

Mangkunegara IV menjalankan rumusan semboyan sepi ing pamrih, rame

ing gawe, memayu hayuning bawana. Dalam hal ini, menjadi bebas dari

kepentingan sendiri, melakukan kewajiban-kewajibannya, memperindah dunia.

Kemudian dia mengutarakan kategori "tempat yang tepat" sebagai titik acuan

fundamental bagi pandangan-pandangan moral yang diuraikan sebelumnya.

Selanjutnya, pembicaraan sifat kognitif yang khas etika itu.

Syariat merupakan tahap yang paling mula, yaitu manusia harus

menghormati dan hidup sesuai dengan rukun agama menjalankan kewajiban dengan

sungguh-sungguh; menghargai dan menghormati orangtua, guru, pemimpin dan raja;

mematuhi aturan sosial, dan menjaga keselarasannya; serta mengakui tatanan

kosmos. Manusia sadar bahwa dengan menghormati orangtua, guru, dan raja berarti

menghormati Tuhan serta mengakui ada-Nya.

13
Tarekat adalah tahap yang lebih maju setapak. Dalam tahap ini, segala tingkah laku

pada tahap yang pertama lebih ditingkatkan dan diperdalam, yaitu dengan bertobat dan

menyesali segala dosa; menjauhi larangan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya,

melakukan puasa yang diwajibkan, mengurangi makan, minum, dan tidur.20 Sikap

demikian itu disebutkan pula bahwa orang yang telah mencapai tahap tarekat di

antaranya ia akan sabar dan tenang dalam segala tindakan; meninggalkan segala

hal yang di dalamnya terdapat keraguan; dan tawakal atau berserah diri kepada

keputusan serta ketetapan Tuhan.21

Hakikat adalah tahap yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan

mengenal Tuhan melalui pengetahuan yang sempurna dengan cara berdoa terus-

menerus; menyebut nama Tuhan dan mencintai-Nya; mengenali Tuhan dan dirinya

sendiri; acuh terhadap kesenangan dan kesusahan, karena semuanya berasal dari

Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya

mengaku saja. Tahap ini disebut tahap keadaan mati dalam hidup, dan hidup dalam mati;

maknanya yang mati di sini adalah nafsunya.

Makrifat adalah tahap terakhir atau tertinggi, yaitu tahap manusia telah

menyatukan dirinya dengan Ilahi, tahap manusia telah mencapai manunggaling kawula

Gusti. Dalam tahap ini, jiwa manusia terpadu dengan jiwa semesta, tindakan

manusia semata-mata menjadi laku. Pada tahap ini, manusia tidak akan diombang-

ambingkan oleh suka-duka dunia, berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi,

20
Harun Hadiwijono, Konsepsi Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa (Jakarta : Sinar Harapan,
TT), hal. 70.
21
Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dakam Wayang (Jakarta : Haji Masagung, 1989) hal
132.

14
membuat dunia indah dan damai, menjadi khalifatullah di dunia dan menjalankan

kewajiban-kewajiban-Nya, dan memberi inspirasi kepada sesama.

Dalam tahap ini, terdapat bahaya yang mengancam cara hidup manusia yang

tepat; yaitu nafsu-nafsu atau hawa nepsu dan egoisme atau pamrih. Oleh karena itu,

manusia harus mampu nutupi babahan hawa sanga, mengontrol nafsu-nafsunya

dan melepaskan pamrihnya. Dalam agama Islam, ada beberapa aliran yang disebut

mazhab: mazhab Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibn

Hanbal. Mazhab yang berpengaruh di Indonesia adalah mazhab Syafi'i. Perbedaan antara

mazhab-mazhab ini terletak pada pandangan mereka masing-masing terhadap

interpretasi dari rukun Islam seluruhnya, yang terdiri dari lima bagian: syahadat, yaitu

pengakuan bahwa tidak ada Tuhan lain daripada Allah dan Muhammad adalah Rasul

Allah; salat, yaitu, kewajiban untuk bersembahyang lima kali sehari; puasa, yaitu,

kewajiban untuk tidak makan, minum, dan hal-hal lain yang terlarang dari matahari

terbit sampai matahari terbenam selama bulan puasa; zakat, yaitu, kerelaan

memberikan harta benda pada waktu-waktu tertentu kepada orang miskin, untuk

keperluan agama; naik haji, yaitu, ziarah ke tanah suci Mekah. Kelima rukun Islam

ini adalah wajib, dan bukan sunnah.22

Nafsu-nafsu adalah perasaan-perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri

manusia dan membelenggunya secara buta pada dunia lahir. Nafsu-nafsu

memperlemah manusia karena memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa guna.

Kecuali itu, nafsu-nafsu dalam mata Jawa berbahaya karena manusia yang dikuasai

olehnya tidak lagi menuruti akal budinya. Manusia semacam itu tidak lagi bisa

22
Zahri Mustafa, Kunci Memahami Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1984).

15
mengembangkan segi-segi halusnya, ia semakin mengancam lingkungannya sehingga

menimbulkan konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan dalam masyarakat dan

dengan demikian membahayakan ketenteraman. Salah satu contoh yang sangat

popular dari hawa nafsu adalah malima, yaitu kelima nafsu yang mulai dengan 'm'

atau 'ma': madat, madon, minum, mangan, dan main. Untuk mengontrol hawa nafsu

dapat dilakukan dengan laku tapa, sedikit mengurangi makanan dan tidur, menguasai

diri di bidang seksual, dan lain sebagainya.

Pamrih merupakan bahaya kedua yang harus diperhatikan orang. Bertindak

karena pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan sendiri individualnya saja

dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Secara sosial,

pamrih itu selalu mengacau karena merupakan tindakan tanpa perhatian terhadap

keselarasan sosial. Pamrih sekaligus memperlemah manusia dari dalam karena siapa

yang mengejar pamrih memutlakkan keakuannya sendiri. Dengan demikian, ia

mengisolasikan dirinya sendiri dan memotong diri dari sumber kekuatan batin

yang tidak terletak dalam individualitasnya yang terisolir, rnelainkan dalam dasar

numinus yang mempersatukan semua keakuan pada dasar jiwa mereka. Ia mencari

kepentingan-kepentingannya dalam dunia sehingga mengikat diri pada dunia luar.

Oleh karena itu, ia kehilangan kesanggupan untuk memusatkan kekuatan batin dalam

dirinya sendiri. Pamrih terutama kelihatan dalam tiga nafsu, yaitu selalu mau menjadi

orang pertama atau nepsu menange dhewe, menganggap diri selalu betul atau

nepsu benere dhewe dan hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri atau nepsu

butuhe dhewe. Sikap-sikap lain yang tercela adalah kebiasaan untuk menarik

16
keuntungan sendiri dari setiap situasi tanpa memperhatikan masyarakat atau aji

mumpung.

Salah satu ciri khas cerita pewayangan adalah adanya pesan moral di

dalamnya. Sembah, menurut Mangkunegara IV, yang menunjukkan sistematika yang

beruntun secara teratur ada empat macam, yaitu: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa

dan sembah rasa. Dengan catur sembah itu, apabila seseorang dapat mencapai tingkat

terdekat sedekat-dekatnya dengan Tuhan, maka ia memperoleh anugerah Tuhan.

Empat macam sembah tersebut apabila diperbandingkan dengan konsep

syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, maka format yang pertama lebih kecil

karena hanya menjangkau sebagian perintah Tuhan, sedangkan yang kedua

menjangkau seluruh perintah dan larangan Tuhan. Konsep yang pertama sama halnya

dengan konsep yang kedua merupakan satu paket perjalanan hidup yang utuh. Catur

sembah itu merupakan mata rantai yang sambung menyambung, yang satu berkait dan

bersambung dengan yang lain, namun keempatnya memformula suatu susunan yang

berurutan dan perlu dilakukan tahap demi tahap.

6. PENUTUP

Masa awal modernisasi dipenuhi mentalitas bangsa yang tidak berorientasi ke

masa depan, meremehkan mutu, tidak berdisiplin, bahkan tidak he mat dan feodal. Saat

ini, muncul harapan lahirnya manusia baru Indonesia yang bermental renaisans, yaitu

manusia yang rasional, bebas, mandiri dan kreatif. Saat ini, orang memang sedang

berharap terjadinya proses renesans Jawa kedua setelah sebelumnya dianggap telah

terjadi di masa para pujangga Mangkunegara. Beberapa sumber sejarah berupa prasasti

17
peninggalan kuno dan catatan para musafir memberikan penjelasan penyebaran Islam di

Indonesia.

Kejawaan adalah elemen dasar yang membentuk "kosmos" masyarakat

Jawa, yang unsur-unsurnya dibangun lewat percampuran antarelemen yang juga

datang dari luar Islam tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga

akomodatif. Sementara itu, kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur

”rendah” yang harus mengalah kepada Islam karena jenis setempat ini juga bisa

menolak terhadap unsur-unsur baru. "Sinkretisme Islam" tidak lagi dipandang

sebagai sesuatu yang peyoratif, tetapi justru memperlihatkan adanya "dialog".

Tingkah laku hidup duniawi tersebut, meski dalam ruang lingkup terbatas,

menurut Mangkunegara IV dipandang cukup memadai apabila diangkat sebagai

tuntunan hidup praktis terutama bagi masyarakat Jawa. Petunjuk-petunjuk

tersebut, seperti telah disebut di muka, terdapat dalam Serat Wedhatama.

Mangkunegara IV memiliki cara tersendiri dalam memberikan pelajaran. Ia

memberikan penjelasan dan contoh-contoh antara yang baik dan jahai; lalu ia

kontraskan secara tajam hingga mudah dicamkan dan dipahami.

Budaya Jawa memahami kepercayaan pada berbagai macam ruh-ruh yang

tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau

penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk

melindungi semua itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang

dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.

Bagi orang Muslim Jawa, ajaran Islam merupakan pedoman hidup sepanjang

hayat. Mangkunegara merupakan teladan yang telah mengamalkan ajaran

18
sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa yang selaras dengan

syariat, thariqat, hakikat, dan makrifat. Dia adalah raja binathara telah menempuh

jalan hakikat, melalui laku nutupi babahan hawa sanga, meper hawa nepsu, cegah

dhahar lawan gumuling, ambyur ing segara makrifat.

DAFTAR PUSTAKA

Anjar Ani. 1982. Serat Wedhatama. Semarang: Dahara Prize.


Anton Bakker dan A. Charris Z. 1994. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta:
Pustaka Filsafat.
H.A.R dan J.H. Kramers. 1953. Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill.
H.J de Graaf dan Pigeaud, Th. G.Th. 1989. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa
Terjemahan Javanologi. Jakarta: Grafiti Pers.
Harun Hadiwijono. Konsepsi Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta:
Sinar Harapan.
Harun Nasution. 1983. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Kamajaya. 1992. Karangan Pilihan KGPAA. Mangkunegara IV. Yogyakarta:
Yayasan Centhini.
Mohammad Ardhani. 1990. Pemikiran KGPA Mangkunegara IV. Semarang:
Dahara Prize.
Poerbatjaraka.1964. KapustakanJawi. Jakarta: Djambatan.
Simuh. 1988. Mistik lslam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita Suatu Studi
Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI Press.
Sri Mulyono. 1989. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Haji
Masagung.
Zahri Mustafa. 1984. Kunci Memahami Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu.
Zoetmulder. 1990. Manunggaling Kawula Gusti, Terj. Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia.

19

Anda mungkin juga menyukai