Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah Islam dan budaya. Islam adalah
agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di
manapun dan kapanpun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Sedangkan
budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.Kedua istilah itu berbeda, tetapi dua kata tersebut
saling berkaitan.
Pengaruh kebudayaan Islam di Jawa telah berakulturasi dan berasimilasi menjadi suatu
kebudayaan baru dalam kehidupan masyarakat Jawa. Banyak orang yang bingunguntuk
membedakan antara budaya dan agama, karenanya perpaduan budaya Islam dengan budaya Jawa
sangat akrab dikalangan orang Jawa. Dikalangan orang Jawa sering memadukan budaya lokal
mereka ke dalam ajaran keIslaman. Dalam hal ini, Ruslan Abdulgani (1983:20) berkomentar
bahwa Islam datang ke Indonesia tidak dalam keadaan vakum kultural/peradaban, karena di situ
sudah ada kerajaan besar baik kerajaan Hindu maupun kerajaan Budha. Oleh karena itu, wajarlah
jika terjadi akulturasi dalam bidang budaya dan sinkretisasi dalam bidang akidah, dan hal-hal
tertentu dalam kehidupan masyarakat Jawa. Mengenai budaya apa saja yang sudah
diakulturasikan ke dalam ajaran Islam, untuk itu makalah ini akan membahas masalah tersebut
secara lebih rinci dan mendalam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akulturasi Islam dan budaya?
2. Bagaimana akulturasi dalam bidang teologi?
3. Bagaimana akulturasi dalam bidang tasawuf?
4. Bagaimana akulturasi dalam bidang kosmologi?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian akulturasi Islam dan budaya.
2. Memahami akulturasi dalam bidang teologi.
3. Memahami akulturasi dalam bidang tasawuf.
4. Memahami akulturasi dalam bidang kosmologi.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Akulturasi Islam dan Budaya Jawa


Akulturasi menurut kamus Antropologi adalah pengembalian atau penerimaan satu
atau beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu. Konsep ini
terjadi dengan munculnya kebudayaan asing yang dihadapkan pada satu kelompok manusia
dengan kebudayaan tertentu sehingga lambat laun kebudayaan asing tersebut diterima oleh suatu
kebudayaan satu kelompok tersebut.
Dalam konsep tersebut Islam diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat
lokal sebagai penerima kabudayaan asing tersebut. Misalnya masyarakat Jawa yang memiliki
tradisi “slametan” yang cukup kuat, ketika Islam datang maka tradisi tersebut tetap berjalan
dengan mengambil unsur-unsur Islam terutama dalam doa-doa yang dibaca. Wadah slametannya
tetap ada, tetapi isinya mengambil ajaran Islam.
Menurut Koentjaraningrat (1981), terdapat lima hal dalam proses akulturasi:
1. Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan;
2. Individu-individu yang membawa unsur kebudayaan asing itu;
3. Saluran-saluran yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk ke kebudayaan asing
tadi;
4. Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan asing1

Sebelum agama Islam masuk ke Pulau Jawa, raja-raja Jawa sudah biasa
melakukan upacara. Salah satu upacara yang dilaksanakan oleh raja-raja Jawa adalah upacara
sedekah raja kepada rakyatnya. Upacara raja ini disebut raja wedha atau raja medha.
Raja wedha berarti kitab suci raja. Karena raja-raja Jawa beragama Hindu, maka kitab sucinya
adalah Wedha. Raja medha berarti hewan kurban raja yang diberikan kepada rakyatnya.
Biasanya dilakukan untuk menyambut tahun baru. Pelaksanaannya dipilih hari Selasa
Kliwon atau anggara kasih.2

1 Mundzirin Yusuf, dkk, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka, 2005), hlm. 16

2 Mundzirin Yusuf, dkk, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka, 2005), hlm. 129
Dalam upacara tersebut yang terpenting adalah upacara makan bersama, yang biasa
dikenal dengan slametan (ngoko) atau wilujengan (krami). Berbagai upacara keagamaan yang
dilakukan dengan slametan, oleh orang Jawa dilakukan pada upacara yang terkait dengan hari-
hari besar Islam. Hal yang sangat penting adalah berbagai perilaku keramat, seperti
puasa (siyam), tirakat, atau mengendalikan diri dan dengan sengaja melakukan atau mencari
kesukaran, bertapa (tapabrata), dan bersemedi.
Selain itu, terdapat salah satu temuan studi Muhadjirin Thohir terhadap masyarakat
desa Sukodono dan Senenan, Jepara, menunjukkan adanya satu tindakan ritual (Islam dan Tradisi
Jawa) yang dikaitkan dengan aktifitas ekonomi seperti yang juga nampak dalam upacara
Slametan, yang disebut Rasulan3
Untuk memulai usaha baru, masyarakat di sana lebih dulu mencari petung hari,
tanggal, dan pasaran secara tepat, menziarahi makam orang tua, wali, dan leluhur desa.
Kemudian melakukan selamatan membuka usaha atau selamatan Rasulan.

2. Akulturasi Dalam Bidang Teologi


Istilah teologi, dalam bahasa Yunani adalah “theologia”. Istilah yang berasal dari
gabungan dua kata “theos, Allah” dan “logos, logika”. Arti dasarnya adalah suatu catatan atau
wacana tentang, para dewa atau Allah. Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya
Homer dan Hesiod disebut “theologoi”. Syair mereka yang menceritakan tentang para dewa yang
dikategorikan oleh para penulis aliran Stoa (Stoic) ke dalam “teologi mistis”. Aliran pemikiran
Stois yang didirikan oleh Zeno (kira-kira 335-263 SM.) memiliki pandangan “teologi natural
atau rasional”, yang disebut oleh Aristoteles, dengan istilah “filsafat teologi”, sebutan yang
merujuk kepada filsafat teologi secara umum atau metafisika.
Teologi adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh
kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia
dihadapan Allah, Yang Mutlak dan Yang Kudus, yang diakui sebagai sumber segala kehidupan
di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya
oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan
hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai realitas

3 Mundzirin Yusuf, dkk, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka, 2005), hlm. 18
yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah
berfilsafat juga.
Teologi sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada
landasan kuat, yang tidak dapat diombang-ambing oleh peredaran zaman. TeologiIslam yang
diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid.
Masalah teologi dalam tradisi Islam memang mempunyai sejarah yang cukup panjang.
Setelah rasulullah saw wafat terjadi berbagai perselisihan umat mengenai siapa yang berhak
menjadi pengganti/khalifah. Isu paling hebat terjadi pada masa Ustman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib di mana pada saat itu muncul berbagai paham teologi yang timbul akibat pergolakan
politik. Pada saat itu muncul paham Qadariah dan Jabariah, juga aliran Khawarij. Setelah masa
Ali masalah teologi semakin ramai dipersoalkan, maka kembali muncullah berbagai paham
teologi, seperti aliran Murji’ah, Syiah, danMu’tazilah. Selain faktor politis yang menyebabkan
munculnya perbedaan pada paham teologi, ada lagi faktor pertemuan antara ajaran Islam dengan
kebudayaan lain. Faktor lainnya, yaitu berkaitan dengan pemahaman ayat Al-Qur’an.
Walaupun muncul berbagai aliran dalam bidang teologi, namun aliran-aliran di atas
tetap meyakini konsep monoteisme, yaitu ajaran agama yang mempercayai adanya satu Tuhan;
kepercayaan kepada satu Tuhan. Aliran-aliran yang ada walaupun saling bertentangan dalam
berbagai hal namun mereka tetap mempercayai bahwa hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa,
satu Tuhan Yang Disembah.
Teologi masyarakat Jawa pada zaman Hindu Budha adalah politeis, atau percaya pada
banyak dewa, kemudian Islam datang dengan paham monoteis, yaitu hanya menyembah kepada
satu Tuhan. Akulturasi dari keduanya adalah konsep mistik Dewaruci, yang mempunyai dua
aliran. Pertama, pandangan mengenai Tuhan yang bersifat pantheistis, yang menganggap Tuhan
sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta ini, tetapi yang
sebaliknya Tuhan dapat berbentuk kecil sekali sehingga dapat dimiliki setiap
manusia. Kedua, pandangan monistis, yang menganggap Tuhan sebagai Maha Besar, tetapi
berada di dalam segala bentuk kehidupan di alam semesta ini, termasuk manusia, yang
merupakan makhluk yang sangat kecil saja di antara segala hal yang ada.
Teologi Islam Jawa pun mengalami harmonisasi dengan sufisme. Hal ini dapat kita
lihat dari idiom-idiom Islam Jawa yang antara lain, “Pangeran iku ana neng endi papan, ana ing
siro ugo ono Pangeran, nanging aja siro ngaku Pangeran”. Artinya, “Tuhan ada dimana-mana,
juga ada dalam dirimu, tetapi janganlah engkau mengaku menjadi Tuhan”. Statemen ini
menunjukkan unsur-unsur teologi Sunni yang bercampur dengan sufisme praksis (tasawuf
‘amali) Sunni. Jika ditelusuri lebih jauh, idiom-idiom ini banyak dipengaruhi oleh sufisme al-
Ghazali yang berkolaborasi dengan tasawuf Sunni.
Yang lebih menarik dicermati, nalar teologis Islam Jawa ternyata sangat pluralistik
dan inklusif. Idiom-idiom teologi Jawa mengatakan, “Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan,
langgeng, sing ngandadeake jagad iki sak isine, dadi sesembahane wong sealam kabeh nganggo
carane dewe-dewe”. Artinya, “Tuhan itu Satu, ada di mana-mana, abadi, pencipta alam semesta,
dan yang disembah oleh seluruh penghuni alam semesta dengan cara yang berbeda-beda”. Umat
Islam, Kristiani, dan Yahudi sejatinya menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, meskipun
caranya beragam. Dalam konteks masa kini, spirit pluralistik dan inklusif ini seyogyanya
dilestarikan untuk membina kedamaian dan toleransi di Indonesia yang belakangan diwarnai
oleh tindakan-tindakan intoleran dari kalangan Islam radikal. Nalar teologi Islam Jawa juga
mengajarkan egalitarianisme melalui idiom “Pangeran iku ora mbedak-mbedakke kawulo-Ne”
(Tuhan itu tidak membeda-bedakan hamba-Nya). Spirit egalitarianisme ini harus ditegakkan
kembali di tengah-tengah maraknya diskriminasi terhadap perempuan dan ketidakadilan hukum
yang selalu merugikan orang-orang lemah.
Nalar teologis Islam Jawa sering dituding menganut paradigma predestinasi
(Jabariyyah) yang mengajarkan kepasrahan total dan mutlak kepada Tuhan, sehingga bangsa ini
mudah dijajah oleh para imperialis Barat. Etos kerja bangsa kita juga rendah karena dicekoki
oleh idiom nerimo ing pandum (menerima apa adanya) tanpa mau berusaha memaksimalkan
potensi anak bangsa. Akibatnya, bangsa kita mudah terjajah oleh kapitalisme Barat dan menjadi
negera dengan budaya konsumerisme yang akut. Teologi predestinasi Islam Jawa ini harus
diluruskan dengan teologi yang mendorong etos kerja yang terdapat dalam idiom Jawa “Pasrah
marang pangeran iku ora ateges ora gelem nyambut gawe, nanging percoyo yen Pangeran iku
Maha Kuoso”. Artinya, “Pasrah kepada Tuhan bukan berarti tidak mau bekerja, tetapi percaya
bahwa Tuhan Maha Kuasa menolong hamba-Nya”. Namun bermodalkan etos kerja saja tidak
mencukupi, sebab pemerintah kita tidak menyediakan lahan pekerjaan yang luas dan kelayakan
gaji, sehingga tidak aneh jika banyak anak negeri yang memilih menjadi TKI meskipun berisiko
tinggi, seperti penganiayaan yang dialami oleh Sumiati.
Nalar teologis Islam Jawa yang diusung oleh para leluhur memperingatkan kita akan
pentingnya mencari rezeki yang halal. Idiom teologi ekonomi Jawa menyatakan, “Bandha kang
resik iku kang nyambut gawe, saka pametu kang ora ngrusakake liyan” (harta yang bersih itu
diperoleh dari kerja keras dan dari sumber yang tidak merusak orang lain). Dengan demikian,
korupsi merupakan kejahatan yang keji yang harus diperangi secara nyata oleh penegak hukum
dan tidak cukup hanya melalui retorika belaka dalam politik pecintraan ala SBY. Kasus Century
dan mafia pajak yang melibatkan Gayus sebagai aktornya memperlihatkan betapa mahalnya
kejujuran dalam mengemban amanat di negeri ini. Kita seharusnya malu dengan leluhur bangsa
yang senantiasa menganjurkan mencari “bondho resik”.
Islam bukanlah produk budaya, tetapi ajaran Islam mampu mewarnai berbagai aspek
kebudayaan. Dalam implementasi ajarannya, Islam memerlukan media untuk
mentransformasikan nilai-nilai universalnya ke dalam tataran praksis kehidupan. Dari sinilah
muncul keragaman budaya Islam, yang disebabkan adanya perbedaan penafsiran dan pembumian
ajaran Islam. Maka ajaran Islam sesungguhnya merupakan hasil perpaduan antara ajaran Islam
yang dipahami masyarakat dengan kebudayaannya, atau penerjemahan universalitas ajaran Islam
ke dalam lokalitas kebudayaan.
3. Akulturasi Dalam Bidang Tasawuf
Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi.
Tasawuf merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam. .
Pola berpikir sufistik membawa kepada paham ruh aktif, yang menyimpang dari
ajaran Islam yang menganut paham ruh pasif. Bahwa ruh orang yang telah meninggal tidak dapat
beramal lagi. Menurut Al-Ghazali, dengan jalan tasawuf para sufi bisa langsung membaca
suratan nasib di lauh mahfuzh. Dengan demikian, tanpa belajar mereka bisa menguasai segala
ilmu yang tertulis di lauh mahfuzh. Bahkan para sufi bisa mengetahui apa yang akan terjadi
dikemudian hari, yakni lantaran ngerti sedurungwinarah.
Dari fakta sejarah kemunduran alam pikiran Islam ternyata mulai terjadi sejak abad
ke-13 M hingga abad ke-20 M. Kerena itu, munculnya teori semacam yang diketangahan oleh
Abdul Hakim Hasan merupakan hal yang cukup menarik.
Segolongan pengkaji tasawuf berpendapat bahwa berkembangnya ajaran tasawuf itu
berkaitan erat dengan sejarah kemunduran suatu masyarakat. Tasawuf memang fenomena umum
dalam kehidupan setiap masyarakat, yang timbul dari fitrah kehidupan masyarakat sebagai
masyarakat bukan sebagai individu. Maka umat ini menurut tabiatnya berpaling untuk
merenungkan penyempurnaan ruhani dan makrifat, yakni ada kemerosotan dan kemunduran
dalam kehidupan keduniaan mereka.
Demikian pula, ketika kekuasaan raja-raja Jawa di runtuhkan oleh pemerintah
kolonial Belanda, kompensasi bagi kebudayaan Jawa adalah coraknya yang makin bersifat
mistik. Dengan demikian, mistisme menjadi nilai paling berharga bagi masyarakat Jawa zaman
penjajahan.
Hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan
keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu
di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam. Konsep hidupnrima ing pandum
(ora ngoyo), selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu berambisi.Usaha
dalam upaya perubahan adalah sebuah improvisasi atas kehidupan yang lebih baik dari
sebelumnya. Orang Jawa pra Islam mewujudkan hal tersebut dalam bentuk tapa, puasa, maupun
sekedar menjaga diri dari perbuatan yang tidak baik. Hal ini bisa menggambarkan bahwa orang
Jawa memahami dan menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri
untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat materialistik atau menahan hawa nafsu. Hal tersebut
dipercaya bahwa melakukannya dapat menyucikan dan menenangkan jiwa, serta bisa
mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

4. Akulturasi Dalam Bidang Kosmologi


Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semestaberskala
besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek.
Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan kosmogoni . Dalam akulturasi mengenai
kosmologi atau hal penciptaan alam dan peenciptaan manusia, atau kosmogoni dan
kosmologi Jawa, keduanya percaya bahwa alam semesta dan manusia diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa. Dalam islam Tuhan menciptakan alam semesta dalam waktu tujuh hari,
Tuhan menciptakan Adam sebagai makhluk pertama, dan sebelum menciptakan alam.
Sedangkan dalam kepercayaan Jawa pra Islam yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu Budha
percaya bahwa Brahma yang menciptakan bumi dan Wisnu yang menciptakan manusia. Ritual
dalam hal kosmik orang Jawa, misalnya adalah slametan,sekaten, bersih desa, dan sebagainya
dengan berbagai atribut, bentuk, dimensi dan maknanya, selalu diupayakan bagi kesinambungan
dan harmonisasi kosmik ini.
Hubungan akulturasi kosmologi antara Islam dan Jawa salah satunya dalam
kosmologi Islam ,hubungan jiwa, badan dan Allah sering dijelaskan dengan merujuk pada
simbolisme Ka’bah dan ritus-ritus ibadah haji. Ka’bah juga menjadi titik yang sangat menonjol
dalam kosmologi Islam yang mempresentasikan bumi dari singgasana Allah. Di Jawa
penyamaan Ka’bah dengan hati secara harfiah sudah ada. Serat Wirid, teks Surakarta abad ke-19
menyatakan bahwa Ka’bah masing-masing terletak di kepala, dada, dan kemaluan. Budi, suksmo,
nepsu, rasa dan esensi Illahi terletak di kepala dan dada, sementara rasa, esensi Illahi , dan
kekuatan kreatif terletak di kemaluan (Hadiwijono dalam Woodward,1999:279). Salah satu
contoh mudah kita temukan dalam hal astronomi adalah orang Jawa memiliki kecakapan hidup
seperti memanfaatkan rasi bintang sebagai patokan permulaan masa tanam atau bertani. Dalam
ilmu astronomi Islam posisi bintang atau Rasi digunakan untuk penanggalan dan
sebagainya. Tampak dari situ terdapat hubungan meskipun hanya sedikit. Setelah kedatangan
Islam akulturasi antar budaya atau pun ilmu pada bidang kosmologi terjadi bersamaan dengan
peralihan kepercayaan dari Jawa pra Islam ke Jawa Islam.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
1. Akulturasi menurut kamus Antropologi adalah pengembalian atau penerimaan satu atau
beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu. Dalam konsep
tersebut Islam diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat lokal sebagai penerima
kabudayaan asing tersebut.
2. Teologi adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan
berdasarkan iman. Akulturasi teologis Islam Jawa yang diusung oleh para leluhur
memperingatkan kita akan pentingnya mencari rezeki yang halal.
3. Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan
akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Konsep
tasawuf dalam Islam dan Jawa adalah tekun beribadah, memutuskan hubungan dari selain Tuhan,
menjauhi kemewahan dan kegemerlapan duniawi, meninggalkan kelezatan harta dan tahta yang
sering dikejar kebanyakan manusia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah.
4. Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar.
Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek. Setelah
kedatangan Islam akulturasi antar budaya atau pun ilmu pada bidang kosmologi terjadi
bersamaan dengan peralihan kepercayaan dari Jawa pra Islam ke Jawa Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Sudarto, Ed. Darori Amin. 2002. “Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan” dalam Islam dan
Kebudayaan Jawa.Yogyakarta: Gama Media.
Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa. Yogyakarta : LKiS.
Yusuf, Mundzirin dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka

http://inilahrisalahislam.blogspot.com/p/about-this-blog.html (23 Oktober 2018, pukul 10.00)


http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya (23 Oktober 2018, pukul 10.00)
http://id.wikipedia.org/wiki/Kosmologi (23 Oktober 2018, pukul 09.30)
MAKALAH
Alkulturasi budaya lokal dan islam
Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas ISLAM BUDAYA LOKAL
Dosen ;

Penulis :

Fatkhan muhimmi 33030160005

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

IAIN SALATIGA

2018

Anda mungkin juga menyukai