Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SEJARAH PENDIDIKAN

Dosen :

Mulyadi, M.Pd.

Disusun oleh :

1. Risky Firdaus 201701500055


2. Maulana Yusuf 201701500030
3. Muhamad Rajab K 201701500046
4. Gugun Gunawan 201701500037
5. Ahmad Budiman 201701500014
A. Pendidikan di era zaman neolitik

Sekitar tahun 1.500 ialah zaman Neolitikum serta merupakan perubahan


dalam kehidupan manusia yang pada saat itu sudah mengalami perkembangan
dari zaman sebelumnya. Mereka sudah memulai kehidupan dengan menetap di
suatu tempat serta bercocok tanam. Zaman Neolitikum ini artinya zaman batu
muda. Di Indonesia, zaman Neolitikum ini dimulai sekitar 1.500 SM. Cara
hidup untuk dapat memenuhi kebutuhannya telah/sudah mengalami perubahan
pesat, dari cara food gathering kemudian menjadi food producting, yakni
dengan cara bercocok tanam serta memelihara ternak.

Pada masa itu manusia itu sudah mulai menetap di rumah panggung untuk
bisa menghindari bahaya binatang buas. Manusia pada masa Neolitikum ini
juga sudah/telah mulai membuat lumbung-lumbung guna menyimpan
persediaan padi serta gabah.

Hasil dari kebudayaan zaman batu muda itu menunjukkan bahwa manusia
purba itu sudah mengalami banyak kemajuan di dalam menghasilkan alat-alat.
Terdapat sentuhan tangan manusia, bahan masih tetap dari batu. Namun sudah
lebih halus, diasah, ada juga sentuhan rasa seni.

Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar,


karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap
dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat
yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja
memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di
dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu
terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia,
sebagaimana kita dapatkan sekarang. Kira-kira 2000 tahun SM, telah datang
bangsa-bangsa baru yang memiliki kebudayaan lebih maju dan tinggi
derajatnya. Mereka dikenal sebagai bangsa Indonesia Purba.

B. Pendidikan di era animism dan dinamisme


Menurut Caroline Pooney dalam African Literature, Animism and Politic
(2001:10), kepercayaan animisme bermula dari bahasa latin, yakni “anima”
yang diartikan sebagai “roh”.Secara lengkap, Zakiah Daradjat dalam
Perbandingan Agama I (1996:28) menjelaskan, animisme merupakan
kepercayaan pada makhluk halus dan roh sebelum manusia mendapatkan
pengaruh dari ajaran yang sifatnya wahyu Tuhan.

Ciri animisme ditandai kepercayaan pada adanya roh dari orang yang telah
meninggal. Animisme mempercayai bahwa saudara dan orang yang telah mati
masih ada di sekitar kerabatnya.

Bukan hanya roh manusia, seperti yang dituliskan oleh A.G. Pringgididgo
dalam Ensiklopedi Umum (1973:74), animisme membawa seseorang untuk
bisa percaya bahwa alam yang meliputi gunung, hutan, gua, dan kuburan
memiliki jiwa sekaligus harus dihormati. Jika tidak, maka roh di benda-benda
tersebut akan mengganggu manusia.

Mereka yang dahulu menganut animisme juga turut memohon


perlindungan kepada roh-roh untuk menjaga manusia yang masih hidup. Selain
itu, penganut animisme juga meminta sesuatu kepada yang dipercayainya,
misalnya kesembuhan, kesuksesan panen, keselamatan perjalanan, dan
dihindari dari berbagai bencana alam.Permintaan dan permohonan kepada roh
dilakukan dengan memberi sesaji dan upacara-upacara tertentu yang biasanya
dipimpin oleh seorang pemuka adat.

Lebih jelasnya, definisi animisme adalah suatu kepercayaan pada kekuatan


pribadi yang hidup di balik semua benda, dan merupakan pemikiran yang
sangat tua dari seluruh agama. Animisme juga merupakan wawasan mengenai
alam semesta dan dunia yang diyakini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi
makhluk hidup saja, tetapi terdapat pula begitu banyak roh yang hidup
berdampingan dengan manusia.

Berlainan dengan animisme, dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yakni


“dunamos” yang berarti kekuatan. Maka itu, dinamisme didefinisikan sebagai
kepercayaan yang meyakini benda di sekitar memiliki kekuatan gaib.Benda
tersebut bukan hanya berkekuatan, melainkan juga mengandung zat yang bisa
membantu manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.Di zaman pra-
sejarah, banyak orang menggantungkan hidupnya pada benda-benda yang
mereka yakini memiliki kekuatan seperti api, batu, air, pohon, binatang, hingga
manusia.Ketergantungan tersebut sama halnya seperti agama yang memberikan
kenyamanan serta rasa aman bagi penganutnya.

Hal ini diungkapkan oleh Edward B. Tylor dalam Primitive Culture:


Research into the Development of Mythology, Philosophy, Religion,
Langguage, Art and Custom (1871:160), kekuatan dari benda yang disembah
ketika masa itu, mampu menyajikan rasa nyaman bagi manusia, tepatnya ketika
orang tersebut berdekatan atau bersentuhan dengan yang dipercayainya.

Seiring berjalannya waktu, kepercayaan semacam dinamisme bahkan


masih hidup hingga kini. Kita dapat melihat, saat ini masih banyak orang
percaya batu cincin ataupun benda jimat lainnya dapat memberi berbagai
khasiat, mulai dari kekebalan, kegagahan, hingga ketampanan.

C. Pendidikan di zaman hindu kuno

Pendidikan pada zaman Hindu dan Budha, dimana waktu zaman Hindu
dan Budha tersebut perkembangan pendidikannya melalui penyebaran agama.
Sebelum penjajahan Belanda, bumi Nusantara telah dikenal di dunia sebagai
pusat pendidikan, pengajaran, dan pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya pada masa kerajaan Hindu dan Budha yang dalam perkembangan
selanjutnya pendidikan dipengaruhi oleh ajaran agama Islam.

Pendidikan sebagai sarana sosialisasi merupakan kegiatan manusia yang


melekat dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian usia pendidikan
hampir dipastikan sama tuanya dengan manusia itu sendiri. Perjalanan
perkembangan pendidikan sangat panjang dari mulai sebelum kemerdekaan
dapat ditelusuri sejak zaman Hindu dan Budha pada abad ke-5. Pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha,
pendidikan dipengaruhi oleh ajaran kedua agama tersebut sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat pada saat itu. Pendidikan dari zaman ke
zaman senantiasa sudah memperlihatkan terjadinya pergeseran pandangan
masyarakat terhadap pendidikan pada zamannya masing-masing.

Menurut ajaran agama Budha manusia hidup dalam penderitaan karena


nafsu duniawi. Manusia dalam hidup ini berusaha untuk mengusir penderitaan,
mencari kebahagiaan yang abadi yaitu untuk mencapai nirwana. Adapaun
langkah-langkah untuk mencapai nirwana, manusia harus berperilaku benar
diantaranya sebagai berikut :

 Berpandanagan yang benar.


 Mengambil keputusan yang benar.
 Berkata yang benar.
 Berkehidupan yang benar.
 Berdayaupaya yang benar.
 Melakukan meditasi yang benar.
 Konsentrasi kepada hak-hak yang benar.

Meskipun Hinduisme dan Budhisme merupakan agama yang berbeda,


namun di Indonesia tampak terdapat kecenderungan sinkretisme yaitu
keyakinan untuk mempersatukan figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber
dari Ynag Maha Tinggi. Seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti
berbeda-beda tapi satu jua adalah perwujudan dari keyakinan tersebut. dalam
hal ini, Budha dan Syiwa adalah dewa yang dapat diperbedakan (bhinna) tetapi
dewa itu (ika) hanya satu (tungal). Kalimat yang tadi adalah salah satu bait dari
syair Sutasoma karya Empu Tantular pada zaman Majapahit. Sehingga
kebudayaan Hindu telah membaur dengan unsur-unsur Indonesia asli dan
memberikan ciri serta coraknya yang khas, sampai jatuhnya kerajaan Hindu
terakhir di Indonesia yaitu Majapahit akan masih berkembang dalam hal
pendidikan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang sastra, bahasa, ilmu
pemerintahan, tata Negara dan hukum. Kerajaan-kerajaan seperti Kalingga,
Mataram, Kediri, Singasari, dan Majapahit akan melahirkan para Empu,
Pujangga yang menghasilkan karya-karya seni yang bermutu tinggi. Selain
karya seni pahat dan seni bangunan dalam arsitekstur yang bernilai tinggi juga
ditemukan beberapa karya ilmiah dalam bidang filsafat, sastra dan bahasa.

Pendidikan pada zaman Hindu masih terbatas kepada golongan minoritas


(kasta Brahmana, Ksatria), belum menjangkau golongan mayoritas kasta
Waisya dan Sudra apalagi kasta Paria. Namun perlu diketahui bahwa
penggolongan kata di Indonesia tidak begitu ketat seperti halnya dengan di
India yang menjadi asalnya agama Hindu. Pendidikan zaman ini lebih tepat
dikatakan sebagai “perguruan”dimana para murid berguru kepada para cerdik
cendekia. Kemudian lembaga pendidikan dikenal dengan nama pesantren, jadi
berbeda sekali dengan sekolah yang kita kenal sekarang ini.

Sistem perguruan yang dikenal dengan pesantren itu berkembang terus


sampai pada pengaruh Budha, zaman Islam sampai sekarang (pesantren
tradisional). Pada zaman Budha pendidikan berkembang pada kerajaan
Sriwijaya yang berpusat di Palembang sudah terdapat perguruan tinggi Budha.
Dimana para murid-muridnya banyak berasal dari Indocina, Jepang dan
Tiongkok. Guru yang terkenal pada saat itu ialah Dharmapala. Perguruan-
perguruan Budha tersebut mungkin menyebar keseluruh kekuasaan Sriwijaya.
Mungkin saja candi-candi Borobudur, Menndut, dana Kalasan merupakan
pusat pendidikan agama Budha.

Kalau kita memperjhatikan peninggalan-peninggalan sejarah seperti candi-


candi, patung-patung maka sudah pasti para santri atau murid belajar tentang
ilmu membangun dan seni pahat. Karena pembuatan candi memerlukan
kemampuan teknik dan seni yang tinggi. Dmeikian juga dengan memahat
relief-relief candi dibimbing oleh suatu alur cerita yang menceritakan
kehidupan sang Budha atau para dewa, bisa juga cerita tentang Ramayana.
Karya hasil sastra yang ditulis para pujangga banyak yang bermutu tinggi
antara lain : Pararaton, Negara Kertagama, arjuna Wiwaha, dan Brata Yudha.
Para pujangga yang terkenal diantaranya sebagai berikut : Mpu Kawa, Mpu
Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Prapanca.

Dalam perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu sperti Singasari, Majapahit


dan kerajaan Budha Sriwijaya, tidak terdapat uraian yang jelas mengenai
pendidikan. Namun sudah apsti bahwa pada zaman tersebut sudah berkembang
pendidikan dengan lembaga-lembaga yang dengan sengaja dibuat secara
formal. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut berbentuk perguruan yang lebih
dikenal dnegan sebutan pesantren. Pada saat itu mutu pendidikan cukup
memuaskan berbagai pihak yang bersangkutan.

Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup yaitu manusia hidup untuk
mencapai moksa bagi agama Hindu, dan manusia mencapai nirwana bagi
agama Budha. Karena itu secara umum tujuan akhir adalah mencapai moksa
atau nirwana. Secara khusus mungkin dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Bagi kaum Brahmana (kasta tertinggi), pendidikan bertujuan untuk


menguasai kitab suci ( Weda untuk Hindu dan Tripitaka untuk Budha) sebagai
sumber kebenaran dan pengetahuan yang universal.

2. Bagi golongan Ksatria sebagai raja yang berkuasa, pendidikan bertujuan


untuk memiliki pengetahuan teoritis yang berkaitan tentang pengaturan
pemerintahan (kerajaan).

3. Bagi rakyat biasa, pendidikan bertujuan agar warga masyarakat memiliki


keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup, sesuai dengan pekerjaan yang
secara turun temurun. Misalnya keterampilan bercocok tanam, pelayaran,
perdagangan, seni pahat dan sebagainya.

Sifat Pendidikan

Beberapa sifat dan ciri pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah :

1. Informal, karena pendidikan masih bersatu dengan proses kehidupan.


2. Berpusat pada religi, karena kehidupan atas dasar kepercayaan dan
keagamaan menguasai segala-galanya.

3. Penghormatan yang tinggi terhadap guru, karena gurunya adalah kaum


Brahmana ( kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu) dan tidak memperoleh
imbalan gaji. Mereka menjadi guru semata-mata karena kewajiban sebagai
Pandita atau Brahmana yang didasarkan pada perasaan tulus, mengabdi tanpa
pamrih ( tanpa memikirkan imbalan dunia ).

4. Aristokratis artinya pendidikan hanya diikuti oleh segolongan masyarakat


saja yaitu golongan Brahmana, pendeta dan golongan Ksatria dan golongan
keturunan raja-raja. Dalam agama kita kenal penggolongan berdasarkan kasta,
namun di Indonesia perbedaan tidak begitu tajam dan menonjol. Yang
menonjol adalah antara golongan raja-raja dan rakyat jelata.

Jenis-jenis Pendidikan

Beberapa jenis pendidikan pada zaman Hindu Budha dapat dibedakan menjadi
beberapa golongan diantaranya sebagai berikut :

1. Pendidikan Intelektual

Kegiatan pendidikan ini dikhususkan untuk menguasai kitab-kitab suci. Veda


dipelajari oleh kaum Brahmana, dan kitab Tripitaka dipelajari oleh penganut
Budha. Pada waktu itu hanya golongan Brahmanalah yang berhak mempelajari
kitab suci Veda. Pendidikan intelektual juga berkaitan dengan penguasaan doa
dan mantera, yang berkaitan dengan penguasaan alam semesta, pengabdian
kepada Syiwa dan Budha Gautama.

2. Pendidikan Kesatriaan

Kegiatan pendidikan ini dilakukan untuk mendidik kaum bangsawan keluarga


istana kerajaan, untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan
dengan mengatur pemerintahan (kerajaan), mengatur Negara, dan belajar untuk
berperang.
3. Pendidikan Keterampilan

Pendidikan keterampilan dan pendidikan kesatriaan merupakan pendidikan


kegiatan yang deprogram secara tertib(dalam arti pendidikan bagi kaum
Brahmana dan bangsawan (keluarga raja)) sudah berjalan dengan teratur.
Sedangkan pendidikan keterampilan yang diajukan bagi masyarakat jelata
berlangsung secara informal yang berlangsung dalam keluarga sesuai dengan
keterampilan yang dimiliki orang tuanya. Seorang pemahat akan diwariskan
keterampilannya kepada anak-anaknya begitu pula dengan para petani, nelayan
dan sebagainya.

Lembaga Pendidikan

Pendidikan pada waktu itu masih bersifat informal, belum ada pendidikan
formal dalam bentuk sekolah seperti yang kita kenal sekarang ini. Namun
dengan demikian ada beberapa tempat yang biasa dijadikan sebagai lembaga
pendidikan.

1. Padepokan atau Pecatrikan

Merupakan tempat berkumpulnya para catrik, yaitu murid-murid yang belajar


kepada guru disuatu tempat, sehingga disebut pecatrikan dan dengan nama lain
biasa juga disebut padepokan. Dari kata-kata catrik dan pecatrikan itulah
muncul kata santri dan pesantren. Jadi lembaga pesantren sudah dikenal
keberadaannya sejak zaman Hindu Budha. Dipesantren dan atau padepokan
itulah berkumpul para murid, khususnya keturunan Brahmana utnuk
mempelajari segala macam pengetahuan yang bersumber dari kitab suci ( Veda
dan Upanishad bagi Hindu serta Tripitaka bagi Budha). Dicandi Borobudur
terlihat suatu lukisan yang menggambarkan suatu proses pendidikan seperti
yang berlaku sekarang ini. Ditengah-tengah pendopo besar seorang Brahmana
atau pendeta duduk dilingkari oleh murid-muridnya, semuanya membawa
buku, dan mereka belajar membaca dan menulis. Guru tidak menerima gaji
namun dijamin oleh murid-muridnya untuk hidup. Yang menjadi dasar
pendidikan adalah agama Budha dan Hindu, seperti dapat kita lihat relief-relief
yang tertulis dicandi Borobudur ( Budha) dan candi Prambanan (Hindu).

2. Pura

Merupakan tempat yang berada di istana. Tempat ini diperuntukkan bagi putra-
putri raja belajar. Mereka diberi pelajaran yang berkaitan dengan hidup sopan
santun sebagai keturunan raja yang berbeda dengan masyarakat biasa. Mereka
belajar tentang mengatur Negara, ilmu bela diri baik secara fisik maupun
secara batiniah.

3. Pertapaan

Karena orang yang bertapa dianggap telah memiliki pengetahuan kebatinan


yang sangat tinggi. Oleh karenaitu para pertapa menjadi tempat bertanya
tentang segala hal terutama berkaitan dengan hal-hal yang gaib.

4. Keluarga

Pada waktu itu pendidikan keluarga juga ada sampai sekarang juga tapi hanya
pendidikan sebagai informal. Dalam keluargalah akan terjadi partisipasi dalam
menyelesaikan pekerjaan orang tua yang dilakukan anak-anak dan anggota
keluarga lainnya.

Bahwa pendidikan pada zaman Hindu dan Budha ini melalui penyebaran
agama yang pada waktu dulu belum ada sekolah-sekolah yang kita lihat
sekarang ini. Pendidikan dulu dengan sekarang sangatlah berbeda sekali. Dulu
para biarawan maupun ulama menjadi guru itu tanpa di kasih imbalan dunawi.
Mereka juga mendapatkan pendidikan dari keluarganya juga, kalau
keluarganya ahli petani maka anaknya akan belajar dari seorang ayahnya dan
ilmu yang di perolehnya juga hanya untuk anaknya saja. Mereka belajar
keterampilan, kesatriaan dan sebagainya. Anaknya seorang raja mempunyai
tempat tersendiri untuk belajar yang disebut dengan Pura, sejauh ini putra-
putrinya belajar tentang ilmu tata kenegaraan, sopan santun dan ilmu bela diri.
Materi yang diajarkan bukan hanya bersifat umum tapi mempelajari ilmu-ilmu
yang bersifat spiritual religious juga.

Murid juga dapat berpindah dari guru yang satu ke guru yang lainnya
untuk belajar. Kini pendidikan semakin tua seperti usia manusia. Khusus untuk
materi keterampilan ini biasannya diselenggarakan secara turun temurun
melalui jalur kastanya masing-masing seperti keterampilan bermain pedang,
berperang, berpanah, menunggang kuda dan seni pahat. Menjelang jatuhnya
kerajaan Hindu, pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dipegang oleh
kaum ulama.

D. Pendidikan permulaan masuknya islam

Pendidikan yang tepat telah mendorong Islam mencapai kejayaannya pada


masa klasik, begitu pula pendidikan yang kurang tepat membawa kemunduran
Islam pada masa belakangan. Karena itu, jika umat Islam ingin maju,
pendidikannya mestilah dibenahi. Dan pembenahan ini hanya dapat dilakukan
manakala umat Islam memahami sejarah pendidikannya sendiri.

Oleh karena itu, berbicara tentang Pendidikan Islam di Nusantara tidak


dapat dipisahkan dari sejarah penyebaran dan perkembangan umat Islam di
bumi nusantara. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M. dan berkembang
pesat sejak abad VIII M dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, maka
pendidikan Islam juga mengalami perkembangan seiring dengan dinamika
perkembangan Islam. Di mana saja di Nusantara ini terdapat komunitas umat
Islam, maka di sana juga terdapat aktivitas pendidikan Islam. Sistem
pendidikan Islam ketika itu dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi
lokal di mana kegiatan pendidikan itu dilaksanakan.

Berkenaan dengan masalah pendidikan Sebelum kedatangan Islam


memberi gambaran kepada kita bahwa kontak pertama antara pengembangan
agama Islam dan berbagai jenis kebudayaan dan masyarakat di Indonesia,
menunjukkan adanya semacam akomodasi cultural. Di samping melalui
pembenturan dalam dunia dagang, sejarah juga menunjukkan bahwa
penyebaran Islam kadang-kadang terjadi pula dalam suatu relasi intelektual,
ketika ilmu-ilmu dipertentangkan atau dipertemukan, ataupun ketika
kepercayaan pada dunia lama mulai menurun.

Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai


menyelenggarakan pendidikan model barat yang diperuntukkan bagi orang-
orang Belanda dan sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok
berada). Sejak itu tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat
Islam. Selanjutnya pemerintah memberlakukan politik Etis (Ethische Politik),
yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan.

Pendidikan kolonial Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan


Islam tradisional pada pengetahuan duniawi. Metode yang diterapkan jauh
lebih maju dari sistem pendidikan tradisional. Adapun tujuan didirikannya
sekolah bagi pribumi adalah untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang
bekerja untuk Belanda. Jika begitu, pemerintah Belanda tidak mengakui para
lulusan pendidikan tradisional. Mereka tidak bisa bekerja baik di pabrik
maupun sebagai tenaga birokrat.

Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik


dalam Negara mayoritas maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam
pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya, umat
Islam selalu mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan
pendidikan untuk kepentingan masa depan umat Islam.

kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran


Islam kendati dalam system yang sederhana, peengajaran diberikan dengan
sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid,
musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan
mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer
lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous religious and
social institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa,
umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren;
di Minangkabau mengambil Surau sebagai peninggalan adat masyarakat
setempat menjadi lembaga pendidikan Islam; demikian halnya di Aceh dengan
mentransfer lembaga meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.

Pada abad ke XV, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama
Islam, diantaranya Wali Songo. Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam
mendirikan masjid dan asrama untuk santri-santri. Di Ampel Denta, Sunan
Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu
atau ngaos pemuda Islam. Sunan Giri telah ngelmu kepada Sunan Ampel
mendirikan lembaga pendidikan Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya
lembaga pendidikan Islam pesantren didirikan, agama Islam semakin tersebar
sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan ujung
tombak penyebaran Islam di Jawa.

Peran Wali Songo tidak terlepas dari sejarah pendidikan Islam di


Nusantara. Wali Songo melalui dakwahnya berhasil mengkombinasi metoda
aspek spiritual dan mengakomodasi tradisi masyarakat setempat dengan cara
mendirikan pesantren, tempat dakwah dan proses belajar mengajar.

Wali songo melakukan proses Islamisasi dengan menghormati dan


mengakomodasi tradisi masyarakat serta institusi pendidikan dan keagamaan
sebelumnya, padepokan. Padepokan diubah secara perlahan, dilakukan
perubahan sosial secara bertahap, mengambil alih pola pendidikan dan
mengubah bahan dan materi yang diajarkan dan melakukan perubahan secara
perlahan mengenai tata nilai dan kepercayaan masyarakat, perubahan sosial,
tata nilai, dan kepercayaan. Hal ini menciptakan alkulturisasi budaya termasuk
pedoman hidup masyarakat, pemenuhan kebutuhan hidup, dan operasionalisasi
kebudayaan melalui pranata-pranata sosial yang ada di masyarakat, yaitu
pedoman moral atau hidup, etika, estetika, dan nilai budaya (adanya simbol-
simbol dan tanda-tanda).

Tumbuhnya kerajaan Islam sebagai pusat-pusat kekuasaan Islam di


Indonesia ini jelas sangat berpengaruh sekali dalam proses Islamisasi/
pendidikan Islam di Indonesia, yaitu sebagai suatu wadah/ lembaga yang dapat
mempermudah penyebaran Islam di Indonesia. Ketika kekuasaan politik Islam
semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, pendidikan
semakin memperoleh perhatian, karena kekuatan politik digabungkan dengan
semangat para mubaligh (pengajar agama pada saat itu) untuk mengajarkan
Islam merupakan dua sayap kembar yang mempercepat tersebarnya Islam ke
berbagai wilayah di Indonesia.

Kedatangan Islam di Nusantara dibawa oleh para pedagang dan ulama-


ulama, mereka datang dari Arab, Persia maupun India, penyebarannya adalah
berada pada jalur-jalur dagang internasional pada saat itu. Pendidikan Islam
Islam dilakukan dalam bentuk khalaqah di rumah-rumah pedangang ataupun
ulama maupun dengan tauladan.

Walisongo dalam penyebaran Islam di Jawa sangat berhasil karena mampu


mengislamisasikan wilayah Jawa. Lembaga pendidikan yang digunakan adalah
pesantren. Keberhasilannya didukung oleh pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kultur masyarakat Jawa.

Pendidikan Islam pada masa kerajaan Islam di Indonesia sudah


berlangsung cukup baik. Terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia sebagai pusat-pusat kekuasaan Islam di Indonesia ini sangat
berpengaruh bagi proses islamisasi di Indonesia sebagai peranannya didalam
penyiaran agama Islam, melalui para Ulama sebagai mubaligh/ pendidik dalam
penyiaran agama Islam dan kerajaan Islam sebagai wadah kekuasaan politik
Islam, keduanya sangat berperan dalam mempercepat tersebarnya Islam ke
berbagai wilayah di Indonesia.

E. Pendidikan di era Kolonial


 Belanda
Ada beberapa bangsa eropa yang datang ke Indonesia seperti portugis,
sepanyol dan inggris dengan tujuan awal untuk mencari rempah-rempah yang
di eropa memiliki harga yang tinggi. Maka dari itu para penjelajah-penjelajah
eropa saling berlomba mencari sumber rempah-rempah tersebut sehingga
lambat-laun ada hasrat dari bangsa eropa itu untuk menjajah Nusantara.
Namun bangsa eropa yang memiliki dampak signifikan dalam bidang
pendidikan di Indonesia adalah belanda yang menjajah Indonesia dengan kurun
waktu yang relatif lebih lama di banding bangsa lain di eropa yaitu 350 tahun.
Pendidikan zaman Penjajahan Belanda bisa dikatakan adalah
salah satu pondasi berbagai sistem yang berlaku di Indonesia.  Dari
sekian banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah
satu adalah pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pendidikan
bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan negara
dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sistem
pendidikan yang baik sedikit banyak akan dapat meningkatkan,
apalagi jika dijalankan dengan semestinya.                                    
     Perkembangan pendidikan di Indonesia menjadi lebih progresif
ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di
kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur
Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek)
pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang
kehormatan) Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada
masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat
digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis
sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS),
sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan
sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi
pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
(3) Pendidikan tinggi. 
Mereka yang hanya sekolah sampai di Volkschool atau Sekolah
Rakyat juga cukup beruntung. Ketika Indonesia Merdeka di tahun
1945, seperti tercatat dalam buku Haji Agus Salim (1884-1954):
Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme (2004), angka buta huruf
masih 90 persen. Sekolah hanya bisa dinikmati 10 persen penduduk
saja. Sedangkan lulusan HIS biasanya melanjutkan sekolah ke Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara SMP, lalu dari
MULO yang masa belajar tiga tahun akan berlanjut ke Algemeene
Middelbare School (AMS) atau setara SMA selama tiga tahun.
Lulusan sekolah ELS boleh lanjut ke HBS, di mana masarakat
menjalani sekolah menengah selama lima tahun, hanya butuh waktu
12 tahun sekolah dan Jika melalui HIS, MULO lalu AMS, butuh
waktu 13 tahun. Setelah lulus SMA baik AMS maupun HBS,
mereka boleh masuk universitas di Belanda atau melanjutkan ke
sekolah tinggi kedokteran bernama School tot Opleiding van
Indische Artsen (STOVIA) yang dikenal juga sebagai Sekolah
Dokter Jawa di Kwitang yang kemudian berubah jadi Geeneskundig
Hoge School di Salemba. Selain sekolah kedokteran, di Betawi ada
sekolah hukum bernama Recht Hoge School. Kampus hukum dan
kedokteran kolonial itu belakangan menjadi fakultas-fakultas dari
Universitas Indonesia. Ada juga sekolah pertanian atau Landbouw
School di Bogor yang belakangan jadi Institut Pertanian Bogor
(IPB). Di bidang teknik ada Technik Hoge School di Bandung yang
sekarang adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).   Sedangkan
dalam hal karier orang pribumi dihambat ketika masuk dunia kerja,
baik di swasta maupun pemerintahan. Karena banyak pribumi yang
masuk HIS atau ELS di usia lebih dari 7 tahun alias telat sekolah,
maka kesempatan kerja lulusan SMA pribumi berkurang.
 Jepang
Pendidikan di masa pendudukan Jepang (1942-1945), jauh leih buruk dari
sebelumnya, ketika Indonesia masih di bawah penjajahan pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Ketika Jepang datang, Jepang menjadikan Indonesia sebagai
pangkalan perangnya. Masyarakat harus hidup di bawah kondisi perang yang
diterapkan jepang. Akibatnya, para pengajar harus bekerja untuk Jepang. Anak-
anak bahkan turut dikerahkan membantu memenuhi kebutuhan perang. Dikutip
dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), jumlah sekolah dasar turun.
Pada tahun ajaran 1940/1941 atau ketika Indonesia masih dijajah Belanda,
jumlah sekolah dasar 17.848. Namun di akhir pendudukan Jepang (1944/1945),
jumlah sekolah dasar menjadi 15.069.
Jumlah guru yang tadinya 45.415 juga berkurang menjadi 36.287. Banyak yang
putus sekolah dan buta huruf karenanya.
Selain itu, sejak pendudukan Jepang, beberapa kebijakan yang sebelumnya
berlaku, diubah. Pertama, bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi pengantar
pendidikan menggantikan bahasa Belanda. Kedua, sistem pendidikan
diintegrasikan. Pendidikan berdasarkan kelas sosial yang sebelumnya berlaku
di era Hindia Belanda, dihapuskan. Di masa pendudukan Jepang, pendidikan
tingkat dasar hanya ada satu macam yakni sekolah dasar selama enam tahun.
Jepang menyeragamkan sekolah-sekolah dasar di Indonesia agar mudah
diawasi. Kebijakan ini berdampak positif. Anak-anak pribumi dari keluarga
miskin yang sebelumnya tidak berhak untuk sekolah, jadi mengenyam
pendidikan yang sama dengan anak bangsawan dan keturunan Belanda.
Sekolah-sekolah berbahasa Belanda ditutup. Begitu juga materi pengetahuan
soal Belanda dan Eropa. Salah satu sekolah yang harus ditutup, Hollandsche
Chineesche School atau HCS. Tutupnya HCS menyebabkan anak-anak
keturunan Tionghoa kembali ke sekolah berbahasa Mandarin di bawah
koordinasi perkumpulan Chung Hua Chiao Thung. Jepang juga melarang
berdirinya sekolah swasta baru. Sekolah swasta yang sudah terlanjur berdiri
harus mengajukan izin ulang agar bisa tetap beroperasi.
Sekolah swasta yang dulu diasuh oleh badan-badan missie atau zending
dibolehkan beroperasi kembali atas diselenggarakan oleh pemerintah Jepang
seperti sekolah negeri. Sekolah swasta baru yang boleh berdiri hanya sekolah
di bawah kendali Jawa Hokokai. Jawa Hokokai adalah organisasi yang
dibentuk Jepang untuk membantu perang. Sekolah swasta lainnya hanya
dibolehkan membuka sekolah kejuruan dan bahasa. Taman Siswa yang
didirikan Ki Hajar Dewantara diubah namanya. Taman Dewasa menjadi
Taman Tani. Sementara Taman Guru dan Taman Madya tutup. Sementara
terhadap pendidikan Islam, Jepang berusaha mengambil simpati dengan sering
mengunjungi pesantren sambil membawa bantuan. Baca juga: Empat
Serangkai: Tokoh, Sejarah Terbentuk, dan Kiprahnya Barisan Hizbullah yang
mengajarkan latihan dasar militer diizinkan dan didukung Jepang. KH Wahid
Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Moh Hatta diperkenankan mendirikan Sekolah
Tinggi Islam di Jakarta. Jepang juga mengizinkan berdirinya Pembela Tanah
Air (PETA) yang merupakan cikal bakal TNI.
Doktrin yang diberikan Jepang kepada para pengajar adalah Hakko Ichiu
yang artinya Delapan Benang di Bawah Satu Atap. Hakko Ichiu adalah ambisi
Jepang untuk menyatukan Asia Timur Raya (termasuk Asia Tenggara) dalam
satu kepemimpinan, yakni di bawah Kaisar Jepang.

Para pengajar di daerah-daerah diikutkan pelatihan di Jakarta. Setelah


pulang kembali, mereka harus meneruskan ke rekan-rekan di daerah asalnya.
Jepang juga membentuk sekolah guru yang terdiri atas sekolah guru dua tahun
(shoto shihan gakko), sekolah guru empat tahun (cuutoo shihan gakko), dan
sekolah guru enam tahun (koto shihangakko). Selain Hakko Ichiu, Jepang juga
memberikan doktrin lain yakni Nippon Seisyin atau latihan kemiliteran dan
semangat Jepang. Kemudian bahasa, sejarah, dan adat istiadat Jepang. Juga
ilmu bumi dengan perspektif geopolitik.
Jepang juga menerapkan tingkatan pendidikan baru. Setelah sekolah dasar
enam tahun (kokumin gakko), ada sekolah menengah pertama tiga tahun dan
sekolah menengah tinggi tiga tahun.
Untuk memperoleh dukungan rakyat Indonesia, Jepang mengajak tokoh
pendidikan kala itu, Ki Hajar Dewantara sebagai penasihat bidang pendidikan.
Sebab sebelumnya, ketika menduduki Manchuria dan China, Jepang
menerapkan kurikulum Jepang. Kegagalan di China tak diulangi lagi.
Di Indonesia, Jepang bersedia mengakomodasi kurikulum lokal. Kendati
demikian, ketika Jepang makin terimpit dalam perang, Jepang mengerahkan
sendenbu (petugas propaganda). Tujuannya, menanamkan ideologi yang
diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia merdeka. Jepang
mewajibkan setiap siswa latihan disiplin militer keras seperti tentara Jepang.
Siswa diwajibkan melakukan kinrohosyi atau kerja bakti. Mereka diminta
mengumpulkan bahan-bahan untuk perang, menanam bahan makanan,
membersihkan asrama, dan memperbaiki jalan. Pelatihan ini ditujukan agar
siswa memiliki semangat Jepang (Nippon Seishin). Mereka juga harus
menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo, melakukan penghormatan
untuk kaisar ke arah Tokyo, menghormati bendera Jepang Hinomaru, dan
gerak badan taiso.

F. Pedidikan di Indonesia Pasca Kemerdekaan

Tingkatan Pendidikan paling rendah di Indonesia pada saat itu adalah


Sekolah Rakyat, dengan lama pendidikan selama enam tahun. Anak yang dapat
diterima di SR adalah anak yang sudah berumur 7 tahun. Setelah Tamat
Sekolah Rakyat dapat Melanjutkan ke SLTP, Lalu Pendidikan Menengah
terbagi atas dua tingkat yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) lama pendidikan masing-masing tiga
tahun. Tingkat akhir sekolah ini dibagi atas 3 jenis yaitu Sekolah Menengah
Umum, Kejuruan dan Keguruan, setelah lulus SLTA dilanjutkan ke perguruan
tinggi.

Sejak 4 Januari 1946 Soekarno dan Hatta memindahkan ibukota Republik


Indonesia ke Yogyakarta. Dengan maraknya pertempuran antara pejuang
kemerdekaan dan Sekutu serta NICA di Jakarta dan Bandung, maka Sekolah
Tinggi Teknik (STT) Bandung ikut pindah ke Yogyakarta.

Pada tanggal 17 Februari 1946, Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung


dihidupkan kembali di Yogyakarta dengan para pengajarnya antara lain Prof.
Ir. Rooseno dan Prof. Ir. Wreksodhiningrat. Lembaga pendidikan lain yang
berdiri pada waktu yang hampir bersamaan adalah Perguruan Tinggi
Kedokteran (berdiri 5 Maret 1946), Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan (berdiri
20 September 1946), Sekolah Tinggi Farmasi (berdiri 27 September 1946), dan
Perguruan Tinggi Pertanian (berdiri 27 September 1946) yang kesemuanya
berada di Klaten, sekitar 20 kilometer dari Yogyakarta.
Institut Pasteur di Bandung sejak 1 September 1945, turut pula
dipindahkan ke Klaten dengan laboratorium di Rumah Sakit Tegalyoso. Salah
seorang yang berperan dalam pemindahan ini adalah Prof. Dr. M. Sardjito yang
kelak menjadi Rektor Universitas Gadjah Mada yang pertama. Kehidupan
kampus di Klaten semakin ramai dengan berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi
pada awal 1948.

Pada awal Mei 1948, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan


Kebudayaan mendirikan Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta atas usul
Kementerian Dalam Negeri untuk mendidik calon-calon pegawai Departemen
Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri dan Departemen Penerangan.
Akademi ini awalnya dipimpin oleh Prof. Djokosoetono, S.H. Sayangnya
akademi ini tidak berumur panjang, setelah pemberontakan PKI Madiun
meletus, September 1948, akademi ini ditinggalkan para mahasiswanya yang
ikut menumpas pemberontakan sehingga akademi ini ditutup.

Selanjutnya pada 1 November 1948 didirikan Balai Pendidikan Ahli


Hukum di Surakarta, sebagai hasil kerja sama Kementerian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan dengan Kementerian Kehakiman. Bersamaan
dengan itu Panitia Pendirian Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta, yaitu Drs.
Notonagoro, S.H., Koesoemadi, S.H. dan Hardjono, S.H. di Surakarta
merencanakan mendirikan Sekolah Tinggi Hukum Negeri. Demi efisiensi,
Panitia mengusulkan penggabungan Balai Pendidikan Ahli Hukum ke dalam
Sekolah Tinggi Hukum Negeri yang akhirnya disetujui dan disahkan oleh
Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1948.

Anda mungkin juga menyukai