Anda di halaman 1dari 10

ESSAY PALEOANTROPOLOGI

SINKRETISME WAYANG DAN AGAMA SEBAGAI MEDIA DALAM


MENYEBARKAN AGAMA DI NUSANTARA

Dosen Pengampu : Dr.Drs. Eko Punto Hendro G., M.A

Disusun oleh :
Anandita Pramesti 13040219120018

Program Studi Antropologi Sosial


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro
2020
A. PENDAHULUAN

Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretizein atau

kerannynain, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.

Sinkretisme menurut KBBI adalah paham (aliran) yang merupakan perpaduan dari beberapa

paham (aliran) yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan dan sebagainya.

Sinkretisme kalau dilihat dalam sudut pandang keagamaan, merupakan suatu bentuk

paham yang gerakannya berupa mempersatukan agama-agama yang ada di seluruh dunia.

Dalam gerakan sinkretisme memberikan pandangan bahwa pada dasarnya semua agama

sama, mengajarkan untuk mengajarkan dan melarang kejahatan. Misalnya adalah

perkembangan agama Islam di Jawa yang syarat akan ritual, karena masyarakat sudah

terbiasa dengan keyakinan sebelumnya yang berbentuk animisme dan dinamisme.

Istilah Islam Jawa dipahami sebagai sistem keyakinan dan ibadah setempat yang

berbeda dengan tradisi Islam pada umumnya. Dengan demikian, kajian ini juga merujuk pada

beragam praktik iman, ritual, keyakinan dan religiusitas masyarakat muslim yang

berkembang pada waktu dan wilayah tertentu terutama di Jawa. Dalam konteks ini, bisa

dilihat bahwa Islam Jawa memberi warna, menyerap bahkan mengislamkan budaya pribumi

dan memasyarakatkan kitab suci. Sebagai wujud artikulasinya, bisa dicermati pada beberapa

kasus di mana unsur-unsur ibadah pra-Islam diberi makna Islam, dan dalam kasus lain juga

dilakukan interpretasi terhadap unsur-unsur tradisi tekstual untuk merumuskan ibadah naratif,

ritual dan sosial (Esposito, 2001: 50-51).

Salah satu tradisi di Jawa yang mengalami Sinkretisme adalah pagelaran wayang.

Sebelumnya wayang adalah bentuk penghormatan kepada roh nenek moyang dan sudah

dilakukan sejak sebelum agama Hindu datang ke Indonesia. Setelah kedatangan agama Hindu

– Budha tak serta merta kebudayaan itu dihilangkan, namun malah dipersatukan. Jadi wayang

dijadikan media untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat dengan kisah – kisah para
ksatria dan raja yaitu cerita Mahabarata dan Ramayana.

B. PEMBAHASAN

1. Sejarah Munculnya Wayang

Wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna dari kata wod dan yang, artinya gerakan

yang berulang ulang dan tidak tetap, dengan arti kata itu maka dapat dikatakan bahwa

wayang berarti wujud bayangan yang samar-samar selalu bergerak-gerak dengan tempat

yang tidak tetap. (Marina Puspitasari,2008:32)

Bastomi Suwaji (1993;43) berpendapat bahwa wayang adalah potret kehidupan

berisi sanepa, piwulang dan pituduh. Wayang berisi kebiasaan hidup, tingkah laku

manusia yang dialami sejak lahir, hidup, meninggal yang semuannya itu merupakan

proses alamiah. Dalam proses ini manusia senantiasa mengupayakan keseimbangan

dengan alam, sesama manusia, dan tuhan sebagai sang pencipta.

Kata wayang dapat diartikan sebagai gambar atau tiruan manusia yang terbuat dari

kulit, kayu, dan sebagainya untuk mempertunjukan sesuatu lakon atau cerita. Lakon

tersebut diceritakan oleh seorang yang disebut dalang. Arti lain dari kata wayang adalah

ayang-ayang(bayangan), karena yang dilihat adalah bayangan dalam kelir. Disamping itu

ada yang mengartikan bayangan ialah angan-angan. Bentuk apa saja pada wayang

disesuaikan dengan perilaku tokoh yang dibayangkan dalam angan-angan misalnya orang

baik, digambarkan badanya kurus, mata tajam, dan seterusnya. Sementara orang yang

jahat bentuk mulutnya lebar, mukanya lebar, dan seterusnya, sedangkan kulit menunjuk

pada bahan yang digunakan (Marina Pustpitasri, 2008:33)

Menurut Sunarto (1979:29), pada awal timbulnya wayang erat hubungannya dengan

pemujaan roh leluhur yang disebut hyang. Untuk memnghormati dan memujanya agar

selalu dilindungi dilakukan berbagai cara, salah satu dengan pertunjukan bayang-bayang.

Pertunjukan bayang - bayang roh leluhur ini terus dilakukan sehingga menjadi suatu

tradisi dalam masyarakat agraris.


Kepercayaan masyarakat Jawa mengenai sang penguasa alam sudah ada sejak zaman

praaksara. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di sekitarnya memiliki

kekuatan, bahkan orang orang yang telah meninggal kekuatannya lebih tinggi dibanding

mereka yang masih hidup. Oleh karena itu mereka melakukan persmebahan dan ritual

guna meminta perlindungan dan kekuatan kepada nenek moyang. Mereka percaya bahwa

roh orang yang sudah meninggal masih berada di lengkungan sekitar, misalnya dipohon-

pohon besar, gunung-gunung, bukit dan benda benda lain. Maka mereka selain memuja

roh (Animisme) mereka juga memuja benda (Dinamisme).

Berdasarkan pemikiran itu dengan sendirinya orang sampai pada usaha untuk

mendatangkan roh nenek moyang ke dalam rumah, halaman atau tempat yang dianggap

keramat. Dengan perantara orang sakti, roh nenek moyang didatangkan dengan diiringi

nyanyian, pujian, dan sesaji, seperti: makanan, minuman dan buah-buahan serta wangi-

wangian yang digemarinya ketika masih hidup di dunia. Sekalipun hanya untuk waktu

yang sementara, namun kesempatan untuk dapat berhubungan langsung dengan roh

tersebut sangat penting. Dalam kesempatan ini, mereka yang masih hidup dapat

menghortmati roh leluhur, dengan cara ini keluarga dan keturunananya merasa terjamin

kelangsungan hidupnya, nasib baik, kebahaigaiaan, dan kemakmuran.

Harapan – harapan tersebut mendorong orang – orang untuk menciptakan bentuk

atau gambar serupa dengan roh nenek moyang yang dibayangkan, yang berwujud gambar

remang – remang atau semu, pada sebuah kain yang diberi tabir. Gambar bayangan

tersebut diilhami oleh bayangan yang dilihat setiap hari diwaktu pagi. Sebetulnya

pemberian tabir adalah hal yang tidak disengaja, namun sekarang hal itumenadi

perlengkapan wajib saat pertunjukan.

Upacara memanggil roh nenek moyang dilakukan pada malam hari, saat roh tersebut

melayang-layang sedang mengembara. Tempat yang dipilih untuk mengadakan


pertunjukan bayang-bayang adalah ditempat khusus. Di tempat itu disediakan tempat

pemujaan seperti dolmen, menhir, dan tahta batu sebagai tempat berkumpul dan tempat

duduk roh atau hyang yang datang. Pertunjukan bayang-bayang tersebut diawali dengan

cerita mitos kuno tradisional yang berisikan cerita atau kejadian tentang bumi, langit,

nenek moyang manusia, dewa dan upacara-upacara yang berhubungan dengan

kepercayaan. Diceritakan pila tentang kebesaran dan kepahlawanan nenek moyang serta

mengharapkan berkah untuk keselamatan seamanya. Pada zaman ini kepustakaan wayang

belum ditulis. Cerita tersebut dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya,

yang setiap kurun waktu cerita tersebut diubah dan ditambah menurut selera dan situasi

zamannya.

2. Akulturasi Wayang dengan Agama

Saat agama mulai memasuki Nusantara yaitu agama Hindu – Budha tidak serta merta

kebudayaan asli Nusantara khususnya di pulau Jawa dihilangkan, salah satunya adalah

wayang. Kebudayaan itu malah dileburkan dan disatukan dengan agama khususnya Hindu.

Seni wayang mulanya dikembangkan oleh kaum Brahmana sebagai media penyiaran

agama Hindu, sekitar abad IV M dengan mengacu pada dua kitab besar Ramayana dan

Mahabharata.

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana

dari negeri India, terutama mengisahkan tentang kehidupan asmara para raja dan ksatria,

serta peperangan yang terjadi diantara dua kerajaan atau lebih, seperti perang Baratayudha,

yakni perang saudara antara keluarga Pendawa (ksatria) dan keluarga Kurawa

(pemberontak) ketika memperebutkan Kerajaan Astina dalam beberapa periode

pementasan.

Namun seiring berjalannya waktu agama lain juga memasuki Nusantara karena

akifitas perdagangan yang tidak pernah berhenti. Agama yang paling banyak dianut oleh

masyarakat Nusantara yaitu Agama Islam.


Kehidupan masyarakat Jawa yang penuh dengan tradisi mulai mengalami perubahan

ketika Islam memasuki pulau Jawa. Para pembawa dan penyebar Islam mencari celah-celah

di antara kekuatan animisme dan dinamisme, berbagai saluran dan upaya dilakukan untuk

memesukan ajaran Islam masuk ke Jawa, penduduk Jawa sarat dengan kehidupan mistik

yang diwujudkan dalam upacara-upacara tradisi pemujaan roh nenek moyang (Marina

Puspitasari, 2008:1)

Di pulau Jawa agama Islam disebarkan oleh para wali yang sering disebut dengan

Wali Sanga, dan salah satu wali yang dikenal akan kebudayaan Jawanya adalah Sunan

Kalijaga. Beliau lah yang memperkenalkan ajaran agama Islam kepada masyarakat Jawa

melalui media Wayang. Dalam seni budaya Sunan Kalijaga ahli dalam menciptakan seni

pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan termasuk juga seni wayang. Bahkan terhadap

kesenian wayang ini Sunan Kalijaga dipandang sebagai tokoh yang menghasilkan kreasi

baru. Wayang kulit ini merupakan pengembangan baru dari wayang beber yang memang

sudah ada sejak lama sejak zaman airlangga. Selain itu, Sunan Kalijaga juga mengarang

cerita-cerita baru untuk memainkan pertunjukan wayang.

Sunan Kalijaga menciptakan menciptakan lakon-lakon baru berkenaan dengan

menyelenggarakan pergelaran-pergelaran wayang dengan upah baginy( sebagai dalang)

berupa kalimat syahadat. Untuk memudahkan masyarakat awam dalam menerima dan

memahami agama Islam, Sunan Kalijaga juga memasukan rukun Islam kedalam tokoh

pandawa lima.

Rukun Islam kesatu adalah kalimat syahadat atau syahadatain yang dijelmakan

dalam tokoh Puntadewa sebagai anak sulung dari Pandawa. Dalam cerita wayang sifat-sifat

Puntadewa sebagai raja yang memiliki sikap berbudi arif bijaksana, adil dalam perbuatan

dan jujur dalam setiap perkataan. Puntadewa ini merupakan pengejawentahan dari kalimat

syhadat yang selama mengilhami kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin empat
orang saudaranya dalam suka dan duka dan penuh rasa kasih sayang. Demikian pula

dengan rukun Islam yang kedua,ketiga,keempat dan kelima. Namun jika tidak menjalankan

rukun Islam yang pertama maka yang lain akan sia-sia

Rukun Islam kedua adalah Sholat yang dipersonifikasikan dalam tokoh Bima atau

Werkudara. Dia dikenal sebagai penegak pandawa kerana dia jarang sekali duduk bahkan

tidur saja sambil berdiri hal ini seperti halnya sholat yang setiap saat harus dikerjakan tanpa

menghalangi apun karena sholat merupakan tiang agama bagi umat Islam.

Rukun Islam ketiga adalah puasa dipersonifikasikan dengan Janak dalam

pewayangan Arjuna disebut lelananging jagat atau pria pilihan. Nama arjuna diambil dari

kata jun yang berarti jembangan. Benda ini merupakan simbol yang jernih. Kejernihan

Arjuna memancar dari wajah dan tubuhnya. Arjuna juga merupakan pecinta seni

keindahan, perasaannya yang sangat halus dan hangat. Banyak wanita yang suka dan

tergila-gila kepadanya.karena kehalusan budi pekertinya, arjuna sulit mengatakan tidak

sehingga ada kesan seolah-olah lemah padahal dia tidak ingin menyakiti hati orang lain.

Jadi bagi orang yang suka berpuasa jiwanya menjadi kuat menghadapi segala cobaan.

Rukun Islam keempat dan kelima adalah zakat dan haji yang dipersonifikasikan

Nakula-Sadewa. Pandawa bukanlah pandawa jika tidak ada yang kembar meskipun mereka

dilahirkan dari ibu yang berbeda. Mereka juga mempunyai kepribadian yang bagus rajin

bekerja dan berpakaian bagus. Ibarat orang yang senang mengeluarkan Zakat dan

menunaikan ibadah Haji adalah yang giat bekerja, sehingga menjadi kaya dan dermawan,

mampu berpakaian cukup sandang dan pangan, maka harta itu berfungsi sosial harus

dizakati supaya suci lahir dan batin.

Selain itu ada juga penambahan tokoh asli dari Indonesia yaitu Punakawan, yang

beranggotakan Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Seperti tokoh Pandawa, tokoh

Punakawan juga memiliki filosofis Islam tersendiri.

Yang pertama adalah Semar, berasal dari kata Ismar yang berarti paku. Pesan ini
merujuk pada maqolah al-Islaamu samaru ad-dunya yang berati Islam adalah pengokoh

keselamatan dunia. Kedua Gareng, Nala gareng dari kata Naala Qariin yang berarti

mendapatkan banyak teman. Hal itu karena para walisanga mempunyai tugas berdakwah

sehingga menginginkan banyak teman untuk belajar Islam dengan cara yang arif dan bijak.

Ketiga Petruk, merupakan simbolisasi dari ajaran Islam yang mengajarkan nilai tashawuf

yang berbunyi fatruk siwa Allahi artinya tinggalkanlah yang selain Allah. Dan yang

keempat adalah Bagong, yang berasal dari kata baghaa berarti menolak. Maksudnya,

menolak dari semua hal yang batil. Ada juga yang mengartikan baqa’ yaitu hidup manusia

akan kekal di akhirat nanti.

Pertunjukan wayang adalah penerapan dari misi dakwah Sunan Kalijaga yaitu jargon

religius-politik, al nasu ‘ala al-dini mullukihim bahwa agama rakyat berimankan pada

ajaran agama rajanya. Berarti beralihnya agama raja ke Islam mempengaruhi rakyatnya

untuk masuk Islam sebagai agamanya, walaupun sebagian besar hanya mengucapkan

kalimat syahadat dan belum sadar untuk melaksanakan kewajiban sholat dan ajaran Islam

lainnya.

Sunan kalijaga menggunakan kesenian Wayang kulit ini sebagai media dakwahnya

dengan beberapa pertimbangan antara lain: 1) pertunjukan wayang kulit telah dikenal dan

menjadi bagian dari masyarakat Jawa. Sebelum Islam datang dan berkembang di Jawa,

masyarakat Jawa telah lama menggemari kesenian, baik seni pertunjukan wayang dengan

gamelan maupun seni tarik suara. Sunan Kalijaga mengetahui rakyat dari kerajaan

Majapahit masih lekat sekali pada kesenian dan kebudayaan, diantaranya masih gemar

kepada gamelan dan keramaiankeramaian yang bersifat Syiwa-Budha: 2) didalam kitab

Tantu Paggelaran yang merupakan karya akhir zaman akhir Majapahit menguraikan

bagaimana terhormat dan dan dijunjung tinggi seorang dalang. Hal ini karena pada zaman

itu posisi dalang sebagai seorang pendeta sehingga dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat.
Wayang yang terbuat dari kulit yang diukir merupakan permainan sakral yang dibawakan

oleh para dewa untuk menyampaikan ajaran kedunia.

C. PENUTUP

Kesimpulan

Wayang adalah budaya yang sudah ada pulau Jawa sejak zaman prasejarah. Mereka

membuat bayang bayang untu memanggil nenek moyang mereka demi meminta

keselamatan dan perlindungan, karena menurut mereka roh orang yang sudah meninggal

memiliki kekuatan yang lebih besar dalam mengendalikan alam. Bayang bayang yang

mereka buat itulah yang kini disebut dengan wayang.

Dengan perantara orang sakti, roh nenek moyang didatangkan dengan diiringi

nyanyian, pujian, dan sesaji, seperti: makanan, minuman dan buah-buahan serta wangi-

wangian yang digemarinya ketika masih hidup di dunia. Tempat yang dipilih untuk

mengadakan pertunjukan bayang-bayang adalah ditempat khusus. Di tempat itu

disediakan tempat pemujaan seperti dolmen, menhir, dan tahta batu sebagai tempat

berkumpul dan tempat duduk roh atau hyang yang datang.

Namun setelah agama datang ke Indonesia, budaya wayang tersebut tidak

dihilangkan melainkan dijadikan media dakwah oleh para pemuka agama. Maka

terjadilah sinkretisme disini, agama datang dalam bentuk perdamaian tanpa merusak

tatanan hanya menyempurnakan yang kurang benar sesuai ajaran yang diyakini.

DAFTAR PUSTAKA

Ummu Sambulah. 2012. Islam Jawa dan Akulturasi Budaya: Karakteristik, Variasi Dan
Ketaatan Ekspresif.. Jurnal el Harakah Vol.14 No.1 Tahun 2012, 52.

Esposito, John L (ed.). 2001. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid I. Mizan:
Bandung
Bayu Anggaro. 2018. Wayang dan Seni Pertunjukan: Kajian Sejarah Perkembangan Seni
Wayang di Tanah Jawa sebagai Seni Pertunjukan dan Dakwah. Jurnal Sejarah Peradaban
Islam Vol. 2 No. 2 Tahun 2018 ISSN 2580-8311, 125-129.

Puspitasari,Marina.2008. Wayang Kulit sebagai media penyebaran agama Islam.


Surakarta:UNS.

Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Effhar dan Dahara Prize.

Masroer Ch. Jb. 2015. Spiritualitas Islam dalam Budaya Wayang Kulit Masyarakat Jawa dan
Sunda. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015, 42-46, 52-53.

Anda mungkin juga menyukai