Anda di halaman 1dari 3

Nilai Nilai Pancasila pada Zaman Nenek Moyang

Latar Belakang
Pancasila terdiri dari beberapa kata yang mengandung arti tertentu yaitu, “panca”
yang berarti lima dan “sila” yang berarti dasar. Pancasila merupakan lima dasar filsafat
negara Republik Indonesia. Sila sila yang terdapat pada pancasila juga sudah tercantum
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Sila sila dasar Negara
Republik Indonesia ini disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada
tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila juga merupakan pedoman hidup berbangsa dan bernegara
bagi seluruh rakyat Indonesia.Keberadaan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara dapat
ditelusuri secara historis sejak adanya sejarah awal masyarakat Indonesia. Keberadaan
masyarakat ini dapat ditemukan dengan adanya peninggalan peninggalan sejarah pada masa
kerajaaan. Terbukti dengan ditemukannya beberapa prasasti, candi, dan yupa. Selain itu nilai
nilai pancasila ditemukan juga dengan adanya persatuan dan kesatuan antar umat beragama.
Terbentuknya masyarakat Indonesia melalui proses sejarah pada masa kerajaan Kutai
Kertanegara, yaitu pada masa pemerintahan Raja Mulawarman yang memberikan 20.000
ekor lembu kepada para Brahmana. Atas kebaikannya itu, para Brahmana membuatkan 7
buah Yupa kepada Raja Mulawarman. Dari peristiwa tersebut telah melahirkan nilai
pancasila yaitu nilai kemanusiaan dan nilai sosial politik serta nilai ketuhanan karena
Kerajaan Kuta Kertanegara bercorak Hindu. Pada masa Kerajaan Sriwijaya banyak nilai-nilai
pancasila yang sudah berkembang pada masa itu seperti, adanya pemerintahan yang sudah
terstruktur seperti pemerintahan jaman sekarang.
Pada nilai ketuhanan kerajaan Sriwijaya menganut agama Budha. Pada masa ini telah
di mulai adanya pembagian kekuasaan berupa Parddatun yang di perintah oleh seorang datu
yang bukan seorang anggota keluarga raja. Hal ini telah mencerminkan adanya otonomi
daerah. Kerajaan Sriwijaya merupakan Negara Indonesia pertama yang berdasarkan kesatuan
yang di dalamnya ditemui nilai nilai material Pancasila meliputi nilai Ketuhanan, nilai
kemasyarakatan, persatuan, keadilan yang terjalin satu sama lain dengan nilai
internasionalisme yang terjalin dalam bentuk hubungan dagang dengan negeri negeri di
seberang lautan.
Ternyata nilai-nilai Pancasial sudah ada pada jaman Kerajaan terbukti dengan adanya
nilai persatuan dan kesatuan antar umat beragama, nilai sosial politik yang terjadi pada
kerajaan Kutai, nilai persatuan yang terjadi pada masa kerajaan Sriwijaya, nilai keadilan
sosial yang terjadi pada masa kerajaan Kutai. Pancasila merupakan dasar pembentukan
filsafat hidup masyarakat Republik Indonesia. Kita dituntut untuk bisa menerapkan nilai
pancasila dalam kehidupan sehari – hari dan mengetahui sejarah pancasila di masa kerajaan,
dan wujud nilai pancasila yang terdapat pada masa kerajaan. Kita menjadi tahu hak dan
kewajiban kita sebagai warga negara yang akhirnya membuat kita jadi mengerti peran dan
penempatan diri kita sebagai bagian dari suatu negara.
Zaman Nenek Moyang
Nilai – nilai pancasila telah ada pada bangsa indonesia sejak zaman dulu kala sebelum
bangsa indonesia mendirikan negara. Proses terbentuknya negara indonesia melalui proses
sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman batu hingga munculnya karajaan-kerajaan
pada abad ke-IV
Bangsa Indonesia terbentuk dalam arus migrasi besar sejak 20 abad secara
berkesinambungan hingga mendekati abad pertama Masehi, dalam sebuah proses besar
sejarah kemanusiaan diatas muka bumi ini. Sepanjang sejarah nenek moyang bangsa-bangsa
Asia, Asia timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah itu terkandung nilai kearifan
budaya religius (religios cultural widom) proto dan deutro Melayu terbawa pula nilai
keadaban & kearifan budaya Religius Dongson.
Secara geografis kondisi tanah air bangsa-bangsa dikawasan Benua Asia dan gugusan
kepulauan (archipelago), semenanjung (penisula) dan lautan yang melingkupinya telah
mengalami pula perubahan selama berabad-abad itu.
Penyebaran kelompok manusia pembawa Ethno-Cultural Mongol, Nusantara Malaya,
Filipino, Jepang, Korea, China, Arabia, Persia, India Utara, Indochina, Melanesia, Polinesia,
sampai di Alaska dan Indian Amerika, semuanya berada dalam sebuah evolution culturaldan
peradaban dunia timur (dan kemudian barat) yang kita kenal dewasa ini.
Abad-abad awal memasuki era migrasi, terbentuknya
kelompok ethnics dan nations itu kemudian diikuti oleh proses kesadaran kebangsaan,
melewati abad ‘kelam’ penjajahan Kolonial Eropa maupun fasisme Jepang antara abad 16-20
Masehi.
Terbingkai oleh kearifan budaya nasional Pancasila tersebut.Tiap ethnik dalam
masing-masing banga memiliki cultural wisdoms mereka berupa adat-istiadat, kepercayaan,
bahasa daerah, budaya etnisitasnya. Begitupun masing-masing bangsa memiliki pula
kearifan cultural nasionalnya, dari kandungan Ibu Pertiwi, yakni: Pancasila.
Sejak kebangkitan rasa kebangsaan 1908, diikuti pematangan kesadaran nasional
dalam sumpah pemuda 1928, lintas suku, golongan dan kearifan bidaya religius berbagai
agama dunia.
Sejak zaman dulu masyarakat Indonesia sudah mengenal adanya kepercayaan animisme
dinamisme. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia pada zaman itu sudah
memiliki keperyaan yang diyakini.

1. Animisme

Kepercayaan manusia purba terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal dunia.
Menurut mereka, arwah nenek moyang selalu memperhatikan mereka dan melindungi, tetapi
akan menghukum mereka juga kalau melakukan hal-hal yang melanggar adat. Dengan
demikian, orang tua yang mengetahui dan menguasai adat nenek moyang akan menjadi
pemimpin masyarakat. Penghormatan kepada nenek moyang dilakukan dengan pimpinan
orang tua tersebut, yang diterima oleh masyarakat sebagai ketua adat. Praktik-praktik
kepercayaan animisme terlihat dalam upacara penyelenggaraan upacara-upacara yang
berhubungan dengan kematian. Penyelenggaraan upacara kematian dilandasi dengan
kepercayaan bahwa suatu kematian itu pada dasarnya tidak membawa perubahan dalam
kedudukan, keadaan, dan sifat seseorang. Dengan landasan itu, penguburan mayat selalu
disertai dengan bekal-bekal kubur dan wadah mayat yang disesuaikan kedudukannya, agar
kedudukan si mati dalam alam arwah sama seperti ketika masih hidup.

Inti kepercayaan tersebut adalah pemujaan dan perhormatan kepada roh orang yang telah
meninggal, terutama penghormatan dan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Di dalam
gua-gua ditemukan kerangka manusia yang telah dikuburkan. Temuan semacam ini sangat
penting untuk meneliti adat mengubur mayat dengan kepercayaan yang mereka anut. Para
sejarawan berkesimpulan bahwa pada masa itu orang sudah mempunyai kepercayaan tertentu
mengenai kematian.

Tradisi mendirikan bagunan-bangunan megalithikum selalu berhubungan dengan


kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dengan yang telah mati (mega berarti
besar, lithos berarti batu). Terutama kepercayaan kepada adanya pengaruh yang kuat dari
orang yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.
Bangunan-bangunan batu besar yang didirikan menjadi medium penghormatan.

2. Dinamisme

Kepercayaan bahwa semua benda mempunyai kekuatan gaib, seperti gunung batu, dan api.
Bahkan benda-benda buatan manusia diyakini juga mempunyai kekuatan gaib seperti patung,
keris, tombak, dan jimat. Sesungguhnya proses pembuatan benda-benda megalitik, seperti
menhir, arca, dolmen, punden berundak, kubur peti batu, dolmen semu atau pandhusa, dan
sarkofagus dilandasi dengan kayakinan bahwa di luar diri manusia ada kekuatan lain.
Dilandasi anggapan bahwa menhir atau arca, sebagai lambang dan takhta persemayaman roh
leluhur, kedua jenis peninggalan itu digunakan sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek
moyang. Dolmen dan punden berundak digunakan untuk tempat upacara. Pendirian punden
berundak juga berdasarkan atas arah mata angin yang diyakini memiliki kekuatan gaib atau
tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang.

3. Totemisme

Kepercayaan atas dasar keyakinan bahwa binatang-binatang tertentu merupakan nenek


moyang suatu masyarakat atau orang-orang tertentu. Binatang-binatang yang dianggap
sebagai nenek moyang antara orang yang satu dengan orang atau masyarakat yang satu
dengan yang lainnya berbeda-beda. Biasanya binatang-binatang yang dianggap nenek
moyang itu, tidak boleh diburu dan dimakan, kecuali untuk keperluan upacara tertentu.

Anda mungkin juga menyukai