Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH BAHASA INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA

Capaian Pembelajaran:
Memahami sejarah bahasa Indonesia dan perkembangannya; fungsi, kedudukan, dan
ragam bahasa Indonesia sebagai upaya meningkatkan kesadaran perilaku berbahasa
Indonesia.

Indikator:
1. mahasiswa mampu menjelaskan sejarah bahasa Indonesia dan perkembangannya
2. mahasiswa memiliki kesadaran perilaku berbahasa Indonesia
3. mahasiswa mampu menjelaskan konsep fungsi, kedudukan, dan ragam bahasa
Indonesia
4. mahasiswa mampu mengklasifikasi ragam bahasa Indonesia dalam kegiatan berbahasa

Skenario:
Strategi pembelajaran yang digunakan adalah presentasi, ceramah, dan diskusi dengan
waktu pembelajaran 100 menit. Adapun skenario perkuliahan adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa yang mendapat giliran berpresentasi mengenai sejarah bahasa
Indonesia berpresentasi kurang lebih 10 menit;
2. Dilakukan sesi tanya jawab antara mahasiswa yang berpresentasi dengan
mahasiswa yang tidak berpresentasi selama kurang lebih 20 menit;
3. Dosen menjelaskan materi yang belum dipahami oleh mahasiswa. Materi yang
harus dipahami meliputi:
a. Bahasa Indonesia sebagai transformasi bahasa Melayu;
b. Perkembangan awal bahasa Melayu;
c. Transformasi bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia;
d. Sejarah ejaan bahasa Indonesia;
e. Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
4. Dosen memberikan waktu untuk bertanya-jawab dengan mahasiswa. Apabila
tidak ada pertanyaan, dosen harus tetap memastikan bahwa mahasiswa
memahami materi yang telah disampaikan dengan memberikan pertanyaan
kepada mahasiswa, misalnya:
a. Mengapa bangsa Indonesia memilih bahasa Melayu?
b. Mengapa digunakan kata Indonesia untuk menyebut bahasa Melayu yang digunakan
di Indonesia?
c. Apa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional?
d. Apa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara?
5. Mahasiswa diminta untuk membentuk kelompok diskusi yang terdiri atas 4—5
mahasiswa;
6. Mahasiswa diberi contoh kasus mengenai fenomena penggunaan bahasa oleh
Vicky Prasetyo.
7. Mahasiswa diminta untuk mendiskusikan kasus Vicky Prasetyo tersebut dalam
kaitannya dengan sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia. Lingkup diskusi
bisa, misalnya, meliputi:
a. Analisis penyebab kemunculan fenomena kebahasaan tersebut;
b. Pengaruh fenomena tersebut terhadap perkembangan bahasa Indonesia;
c. Dalam kaitannya dengan sejarah bahasa Indonesia, fenomena semacam tersebut
harus ditempatkan di mana dan bagaimana menyikapinya?
8. Setelah berdiskusi, tiap perwakilan kelompok mengutarakan pendapatnya.
9. Dosen memberikan tanggapan dan menyimpulkan pendapat-pendapat yang
disampaikan oleh masing-masing kelompok.
10. Di akhir perkuliahan, dosen menyampaikan garis besar materi yang akan
disampaikan minggu berikutnya.

Bahan Bacaan:
a. Alek dan H. Achmad H. P.. 2011. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi;
Cetakan 2. Jakarta: Kencana.
b. Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
Indonesia; Cetakan 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
c. Tim Penyusun. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
d. Wibowo, Ridha Mashudi. 2011. Cermat Menulis dalam Bahasa Indonesia;
Cetakan Keempat. Yogyakarta: A.Com Press.

Media Pembelajaran
Media pembelajaran yang digunakan berupa:
1. Tayangan slide power point (media ini bisa diminta langsung pada dosen yang
bersangkutan);
2. Video (media ini bisa diunduh di https://www.youtube.com/watch?v=xysadgHENTw,
https://www.youtube.com/watch?v=GlEmR7JE-5M);

Materi:
1. Bahasa Indonesia sebagai Transformasi Bahasa Melayu
Pada dasarnya, bahasa Indonesia merupakan transformasi dari bahasa Melayu
(Faruk, 2007: 35). Disebut sebagai transformasi karena bahasa Indonesia—dalam
Sumpah Pemuda disebut sebagai bahasa pemersatu—berasal dari bahasa Melayu. Kita
Masyarakat Indonesia tidak bisa melupakan akar ini. Justru mengingat hal ini akan
membuat masyarakat Indonesia juga mengingat bahwa ternyata orang-orang Indonesia
memiliki sejarah panjang yang pernah dibagi bersama dengan orang-orang rumpun
Melayu lainnya, misalnya, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapuran, dan negara
rumpun Melayu lainnya. Meskipun demikian, bahasa Indonesia tidak serta merta diambil
dari bahasa Melayu. Dalam perjalanan sejarahnya di Indonesia, bahasa Melayu
mengalami banyak perkembangan sehingga menjadi bahasa yang berbeda dengan
bahasa Melayu di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Terdapat banya faktor yang mempengaruhi perbedaan bahasa Melayu yang ada di
Indonesia dengan bahasa Melayu yang ada di wilayah lain sehingga kemudian
terbentuk menjadi bahasa yang berbeda. Di antara faktor-faktor tersebut adalah faktor
sejarah dan faktor kebudayaan yang menjadi tempat bertumbuhnya bahasa Melayu
tersebut.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sejak lama dijajah oleh bangsa Belanda.
Sementara itu, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam adalah negara-negara
yang dijajah oleh Inggris. Sementara itu, gaya penjajahan Belanda dan Inggris sangat
berbeda. Dalam melakukan kolonialisasi, bangsa Inggris berkecenderungan
memasukkan budayanya kepada masyarakat terjajah. Lama-kelamaan, kebudayaan
Inggris diserap oleh kebudayaan masyarakat terjajah. Dampaknya, kebudayaan Inggris
bercampur dengan kebudayaan terjajah. Berbeda dengan gaya penjajahan Belanda
yang berkecenderungan menjaga kebudayaannya rapat-rapat (Faruk, 2007: 26).
Belanda berusaha keras agar kebudayaannya tidak bercampur dengan kebudayaan
pribumi. Hal ini memunculkan hirarki kebudayaan yang sangat tinggi antara kebudayaan
pribumi dengan kebudayaan Belanda. Gaya ini mempengaruhi perkembangan bahasa
Melayu yang ada di Indonesia dengan negara-negara lain. Bahasa Melayu yang ada di
Indonesia tidak terkesan ke-Belanda-Belanda-an. Berbeda dengan bahasa Melayu yang
ada di Malaysia, misalnya, yang cenderung kental dengan pengaruh Inggris sehingga
terkesan menjadi ke-Inggris-Inggrisan.
Sementara itu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk. Di
Indonesia, ada banyak kebudayaan yang tumbuh. Hal ini menyebabkan bahasa Melayu
juga tumbuh dalam suatu lingkungan yang sangat majemuk. Dampaknya, bahasa
Melayu mendapatkan banyak pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan tersebut. Bahkan,
menurut Kridalaksana, berbagai dialek bahasa Melayu yang muncul di Indonesia
disebabkan oleh bersentuhannya bahasa Melayu di Indonesia dengan bahasa-bahasa
daerah (Faruk, 2007: 37). Hal ini pada gilirannya semakin membedakan, terutama
dalam hal diksi dan istilah, bahasa Melayu yang ada di Indonesia dengan bahasa
Melayu yang ada di wilayah-wilayah lain. Itulah alasan yang menyebabkan bahasa
Indonesia disebut sebagai transformasi atas bahasa Melayu.

2. Perkembangan Awal Bahasa Melayu


Bahasa Melayu telah digunakan sejak pertengahan abad ke-7 M. Hal ini didasarkan
pada penemuan beberapa prasasti yang menggunakan bahasa Melayu. Prasasti-
prasasti tersebut adalah Prasasti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684 M), Kota
Kapur (686 M), Karang Brahi (688 M), Gandasuli (832 M), dan Bogor (942 M) (Wibowo,
2011: 1). Selain prasasti, perkembangan awal bahasa Melayu juga dapat dilihat dari
catatan perjalanan orang asing yang mengunjungi Nusantara, misalnya, seorang
musafir bernama I Tsing. Dari catatan I Tsing diketahui bahwa bahasa Melayu digunakan
di kerajaan Sriwijaya sebagai bahasa kebudayaan, pengantar dalam pengajaran agama
Buddha, dan bahasa perdagangan (Alek dan Ahmad H.P., 2010: 11).
Sejak zaman Sriwijaya, bahasa Melayu telah menjadi bahaa yang cukup populer di
tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan bahasa Melayu disungsikan sebagai
bahasa yang cukup strategis. Pertama, bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa
kebudayaan. Kedua, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perhubungan atau
lingua franca antarsuku. Ketiga, bahasa perdagangan. Keempat, bahasa Melayu
dijadikan sebagai bahasa resmi negara (Sriwijaya) (Wibowo, 2011: 2). Dengan
menduduki keempat posisi tersebut, kedudukan bahasa Melayu sudah tidak perlu
dipertanyakan lagi. Bahasa Melayu benar-benar menjadi bahasa yang harus dikuasai
oleh seseorang bila ingin berbicara dengan orang lain.
Meskipun pada akhirnya kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran, bahasa Melayu
tetap digunakan. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kerajaan-
kerajaan Islam di Sumatera. Hal ini bisa dilihat dari bukti-bukti berupa karya sastra yang
ditulis pada masa kerajaan Islam, misalnya, Hikayat Raja-raja Pasai, Syair Hamzah
Fansuri, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin (Alek dan Ahmad H.P., 2010:
11).

3. Transformasi Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia


Tanggal 28 Oktober merupakan titik balik disahkannya bahasa Melayu menjadi
bahasa Indonesia. Kemudian, pada tanggal 28 Oktober 1928, lahirlah bahasa Indonesia.
Pada tanggal ini, melalui peristiwa Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia digunakan untuk
menyebut bahasa Melayu. Akan tetapi, seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahasa
Indonesia tidak serta merta mengambil atau menyalin bahasa Melayu. Lebih tepat bila
disebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan transformasi bahasa Melayu. Seperti
yang telah diungkan sebelumnya pula, yang disebut dengan transformasi di sini berarti
bahwa bahasa Indonesia yang digunakan oleh masyarakat Indonesia merupakan
bahasa Melayu yang telah mengalami perubahan sedemikian rupa sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Indonesia.
Mengapa bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa Indonesia? Dalam uraian
sebelumnya disebutkan bahwa bahasa Melayu memang sudah populer sejak zaman
Sriwijaya. Oleh karena itu, sangat wajar apabila pada perkembangan selanjutnya,
bahasa Melayu menjadi bahasa yang populer di Nusantara. Selain itu, dibandingkan
dengan bahasa lain, bahasa Melayu lebih mudah dipelajari dan digunakan. Bahasa ini
tidak mengenal adanya stratifikasi sosial dalam berbahasa1. Seseorang yang berbahasa
Melayu tidak terlalu dipusingkan dengan tata bahasa maupun pilihan kata ketika
berkomunikasi dengan siapapun. Hal ini menyebabkan siapapun bisa dengan cepat
mempelajari bahasa Melayu.
Karena cepat dipelajari dan mudah digunakan, bahasa Melayu mampu menjadi
lingua franca atau bahasa perhubungan. Semua orang bisa mempelajari dan
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila pada akhirnya mereka menggunakan bahasa Melayu untuk
berhubungan baik dalam aspek ekonomi maupun kebudayaan (misalnya perdagangan)

1
Bandingkan dengan bahasa lain, misalnya, bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa dikenal adanya ngoko, kromo madya,
dan kromo inggil/alus.
maupun dalam aspek kebudayaan (misalnya, bahasa Melayu digunakan untuk menulis
karya sastra, digunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar).
Sementara itu, banyaknya pengguna bahasa Melayu dari berbagai daerah
menyebabkan bahasa ini memiliki persebaran yang luas dibandingkan dengan bahasa
daerah lainnya. Pengguna bahasa ini tersebar dari Sabang hingga Merauke. Hal ini
menyebabkan bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk mempersatukan masyarakat dari
berbagai daerah di Indonesia (Wibowo, 2011: 5; Alek dan Achmad H. P., 2010: 9—10).
Akan tetapi, pada dasarnya, sejak awal ditetapkannya bahasa Melayu sebagai
bahasa Indonesia, bahasa Indonesia berada pada posisi yang dualistik. Di satu sisi,
bahaa tersebut menjadi bahasa perlawanan terhadap kolonialisme. Di sisi lain, bahasa
tersebut menjadi bahasa yang mangandung sifat-sifat imperalis (Faruk, 2007: 28; 42).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gaya penjajahan Belanda cenderung
menjaga kebudayaannya secara rapat. Belanda memperlakukan kebudayaannya
sebagai sesuatu yang suci, sementara masyarakat pribumi sebagai “kelas tiga”, sesuatu
yang kotor. Belanda tidak ingin kebudayaannya tersentuh oleh pribumi. Akibatnya,
terjadi perbedaan yang tegas antara kebudayaan Belanda dan kebudayaan pribumi.
Masyarakat pribumi tidak mengalami masalah kebudayaan. Mereka tidak kesulitan
membedakan dirinya dengan Belanda. Pada tahap ini, masyarakat Indonesia secara
sadar memilih bahasa Melayu sebagai alat komunikasi, bukan bahasa Belanda (Faruk,
2007; 26—27). Pada tahap ini, bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai bahasa
perlawanan terhadap kolonialisasi. Pemilihan bahasa Indonesia membuktikan bahwa
masyarakat Indonesia merdeka secara kebudayaan.
Akan tetapi, di sisi lain, bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda adalah
bahasa yang telah mengalami kodifikasi sedemikian rupa oleh Belanda. Dalam
melakukan kodifikasi tersebut. Belanda juga menciptakan gagasan bahwa bahasa
Melayu yang sejak awal digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai lingua franca
merupakan bahasa Melayu yang rendah. Mereka menciptakan istilah lain untuk
menyebutnya, misalnya, bahasa Melayu gado-gado, bahasa Melayu kacau, dan istilah
lain yang cenderung merendahkan bahasa Melayu ilingua franca. Sebagai gantinya,
mereka menciptakan citra bahwa bahasa Melayu yang telah dikodifikasi—bersumber
pada naskah kesastraan di krajaan Riau dan Johor—sebagai bahasa Melayu yang
tinggi, baik, sopan, dan tertata. Melalui Balai Pustaka, Belanda berusaha menyebarkan
gagasan tersebut hingga akhirnya tumbuh kepercayaan di didalam kesadaran
masyarakat Indonesia bahwa bahasa Melayu lingua franca adalah bahasa yang rendah
sementara bahasa Melayu yang diciptakan Belanda adalah bahasa Melayu yang tinggi
dan baik (Faruk, 2007: 37—38; 32).
Hal ini mungkin bisa menjelaskan kenyataan sikap kita masyarakat Indonesia yang
acapkali dualistik terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dapat diibaratkan
sebagai sesuatu yang dibuang sayang. Sebagai contoh adalah sikap mahasiswa
terhadap bahasa Indonesia. Ketika mereka diberi pertanyaan Manakah yang dimaksud
dengan bahasa Indonesia?, umumnya mahasiswa akan menjawab bahwa bahasa
Indonesia adalah ragam baku. Bahkan, ada satu jawaban yang cukup ekstrim dari
seorang mahasiswa. Ia menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam percakapan
sehari-hari bukanlah bahasa Indonesia karena tidak sesuai dengan ragam bahasa baku.
Tentu saja ini menjadi kenyatakaan yang ironis. Di satu sisi, masyarakat Indonesia hidup
menggunakan bahasa Indonesia ragam percakapan sehari-hari. Akan tetapi, di sisi lain,
mereka umumnya tidak menganggap bahwa ragam tersebut merupakan salah satu
ragam bahasa Indonesia yang artinya masih termasuk dalam bahasa Indonesia.
Terlepas dari semua sikap dualistik kita terhadap bahasa Indonesia, kenyataan
bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang bisa menghubungkan kemajemukan
budaya di Indonesia tidak boleh dilupakan. Bagaimanapun, masyarakat Indonesia
membutuhkan alat komunikasi yang dapat menghubungkan merea sebagai suatu
bangsa. Dalam konteks ini, bahasa Indonesia, baik lingua franca maupun hasil kodifikasi
Belanda, memberikan sumbangsih yang penting. Untuk itu, sebagai masyarakat
pengguna dan masyarakat yang membutuhkannya, masyarakat Indonesia harus terus
menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia.

4. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


Di dalam masyarakat Indonesia, bahasa Indonesia memiliki kedudukan dan fungsi
yang berbeda dengan bahasa-bahasa lain. Kedudukan bahasa Indonesia adalah
sebagai bahasa nasional. Kedudukan ini ditetapkan pada 28 Oktober 1928 bersamaan
dengan peristiwa Sumpah Pemuda. Sementara itu, fungsi bahasa Indonesia adalah
bahasa negara. Fungsi ini ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan dimuat dalam
pasal 36 (Wibowo, 2011: 7).
Kedudukan bahasa Indonesia sangat berkaitan dengan Indonesia sebagai sebuah
bangsa. Oleh karena itu, secara umum, peran bahasa Indonesia dalam kedudukannya
sebagai bahasa nasional adalah untuk menghubungkan masyarakat Indonesia sebagai
sebuah bangsa. Dalam hal ini, bahasa Indonesia sangat diperlukan untuk menjembatani
segala kemungkinan perpecahan bahasa Indonesia. Adapun sebagai bahasa negara,
bahasa Indonesia digunakan untuk keperluan-keperluan yang bersifat kenegaraan.

5. Perkembangan Ejaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ejaan diartikan sebagai kaidah-kaidah cara
menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dsb) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf)
serta penggunaan tanda baca (Tim Penyusun, 2005: 285; Kridalaksana, 1968: 40).
Ejaan dapat disamakan dengan gesture dan intonasi dalam ragam lisan (Wibowo, 2011:
37). Dalam bahasa Indonesia, pembahasan ejaan umumnya berkisar pada pemakaian
huruf, pemakaian huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, penulisan unsur
serapan, dan pemakaian tanda baca.
Dalam penyusunan ejaan, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi. Pertama,
prinsip kecermatan. Prinsip ini mengandung arti bahwa suatu ejaan harus cemat dan
tidak kontradiktif. Suatu lambang yang telah ditentukan harus digunakan seterusnya.
Kedua, prinsip kehematan. Prinsip ini lebih berkaitan dengan pengguna ejaan. Ejaan
tidak boleh membuat penggunanya menghabiskan terlalu banyak energi dan pikiran
ketika menggunakan ejaan tersebut. Ketiga, prinsip keluwesan. Prinsip ini berarti bahwa
suatu ejaan harus akomodatif terhadap sifat bahasa yang selalu berkembang. Sebagai
contoh, ejaan dalam bahasa Indonesia harus mengakomodasi bunyi f, v, z. Hal ini
debabkan dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata yang menggunakan bunyi-bunyi
tersebut. Keempat, prinsip kepraktisan. Prinsip ini menyarankan bahwa suatu ejaan
akan lebih baik bila tidak menggunakan lambang-lambang bunyi yang tidak lazim. Tentu
saja, ukuran kelaziman ini berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain. sebagai
contoh, dalam bahasa Indonesia, penggunaan huruf ganda, misalnya, ng, ny, kh, dan sy
jauh lebih lazim dibandingkan penggunaan tanda-tanda diakritis, misalnya, é, ú, è
(Kridalaksana, 1968: 41—42).
Sejak awal ditetapkan menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia telah
menggunakan beberapa ejaan. Hingga saat ini, bahasa Indonesia setidaknya telah
menggunakan tujuh ejaan.
a. Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini digunakan sejak tahun 1901. Pertama kali, ejaan van Ophuijsen ditetapkan
oleh Prof. Ch. A. Van Ophuijsen. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
Karena ditetapkan oleh orang Belanda, ejaan ini pun cenderung mengikuti ejaan
bahasa Belanda. Pada dasarnya, ejaan ini menunjukkan kuatnya pengaruh bangsa
Belanda dalam kehidupan kebudayaan di Nusantara, termasuk dalam hal bahasa
Melayu. Ejaan ini juga membuktikan bahwa Belanda telah melakukan kodifikasi
bahasa terhadap bahasa Melayu. Pada saat yang sama, kodifikasi-kodifikasi ini juga
terjadi pada bahasa daerah lain di Nusantara (Faruk, 2007: 46).
Berikut ini adalah contoh cara melambangkan bunyi pada ejaan van Ophuijsen:

y à j

u à oe

c à tj

Dengan ejaan tersebut, kata ayah, ayunan, yoyo akan dituliskan ajah, ajunan, jojo.
Kata kuku, bulu, ukuran akan dituliskan koekoe, boeloe, oekoeran. Sementara itu,
kata cakap, cerewet, cuma akan dituliskan tjakap, tjerewet, tjuma.
b. Ejaan Soewandi (Republik)
Ejaan ini menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini digunakan sejak 19 Maret
1947. Ada beberapa hal baru dalam ejaan ini yang bertujuan untuk memperbaiki
ejaan sebelumnya, antara lain:
- Lambang oe diubah menjadi u
Dengan ejaan ini, kata oekoeran, boeloe, koekoe, ditulis dengan kata ukuran, bulu,
dan kuku. Demikian halnya dengan kata-kata lain yang mengandung bunyi u.
- Diijinkannya penulisan kata ulang dengan angka dua
Dalam ejaan ini, kata buku-buku, daun-daun, kura-kura boleh ditulis dengan
buku2, daun2, kura2.
- Penghilangan tanda trema (¨)
c. Ejaan Pembaharuan
Beberapa hal yang baru dalam ejaan ini adalah:

dj à j

j à y

ng à ŋ

tj à ß

nj à ñ

-ai à -ay

-au à -aw
-oi à -oy

d. Ejaan Melindo
Kata Melindo merupakan akronim dari Melayu-Indonesia. Hal ini disebabkan ejaan
ini merupakan hasil kerja sama antara Melayu dan Indonesia. Hal yang baru pada
ejaan ini adalah penggantin tj menjadi c, nj menjadi ᶮ, e pada kata ekor diubah
menjadi é (Wibowo, 2011: 40).
e. Ejaan LBK (Ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan)
Ejaan ini berusaha melambangkan satu fonem dengan satu huruf. Perubahan ini
dilakukan untuk menyesuaikan keterbatan mesin tulis. Perubahan yang terjadi pada
ejaan ini meliputi:

ch à kh

e, é, è à é

f. Ejaan Yang Disempurnakan


Ejaan ini disahakan pada 16 Agustus 1972. Ejaan ini merupakan perbaikan terhadap
ejaan Suwandi dan penyamaan terhadap ejaan Malaysia. Sementara itu, salah satu
hal yang mendorong munculnya ejaan ini adalah bahwa masalah pembaharuan
ejaan menjadi salah satu hasil Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada 1954
(Kridalaksana, 1968: 39—41).
g. Ejaan Bahasa Indonesia
Ejaan ini disahkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 mengenai Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia. Secara umum, ejaan ini sama dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
Hanya saja, menurut ejaan ini, tanda diakritik bisa digunakan untuk mengindari ejaan
yang membingungkan.
Beberapa perubahan ejaan dalam EBI antara lain:
- Penambahan diftong (gabungan fonem) ei seperti pada kata survei;
- Beberapa fungsi penggunaan huruf tebal yang diatur di EYD dihapuskan dalam
EBI.

Evaluasi:
1. Mahasiswa diminta untuk mengamati perilaku kebahasaan orang-orang di
sekitarnya.
2. Dari pengamatan tersebut, mereka diminta untuk mengambil sampel sebanyak 5
orang.
3. Mahasiswa mencatat perilaku berbahasa kelima orang tersebut.
4. Kemudian, mahasiswa diminta untuk mencari tahu alasan perlikau kebahasaan
kelima orang tersebut.
5. Mahasiswa diminta melaporkan hasil pengamatannya dalam bentuk tulisan dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang baik.
6. Apabila mahasiswa mampu mengamati dan mencatat perilaku kebahasaan yang
terjadi di sekitarnya serta melaporkan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang
baik, mahasiswa tersebut dianggap mehami materi sejarah bahasa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai