Anda di halaman 1dari 34

LANDASAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

DAN LANDASAN BUDAYA PENDIDIKAN

Penulis
Nama : Miftah Shofiyah Novianti
NPM : 1813031005
P.S : Pendidikan Ekonomi

Mata Kuliah : Landasan Kependidikan


Dosen : Wardani, S.Pd., M.Pd.

Jurusan Pendidikan IPS


Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Bandar Lampung
16 September 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa saya hanturkan kepada ALLAH SWT, Karena telah
memberikan kita kesehatan. Shalawat serta salam tetap kita curahkan kepada junjungan kita
nabi besar Muhammad  SAW. Karena dengan perjuangan dan jihad dari dakwah beliau
sekarang kita bisa merasakan nikmatnya iman dan islam dari agama yang beliau sebarkan.
Dan semoga kelak kita menjadi umat yang beliau syafaati di padang tandus yang tidak kita
temui syafaat selain dari beliau.
Saya berharap makalah dengan judul “Landasan Antropologi Pendidikan dan
Landasan Budaya Pendidikan” diharapkan berguna dan dapat menambah wawasan seputar
materi yang dijelaskan dalam mata kuliah Landasan Kependidikan.
Makalah ini masih sangat sederhana dan masih banyak sekali ditemukan kekurangan
baik isi, atau kata yang kurang tepat dalam penyajiannya. Walaupun demikian makalah ini
juga sangat bermanfaat bagi kita karena dengan membaca makalah ini kita mengetahui
pengertian antropologi, budaya, latar belakang histories perkembangan antropologi
pendidikan, ruang lingkup dan fungsi kajian antropologi dan budaya pendidikan, dan kajian
tentang sangkut pautnnya budaya dan antropologi.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya saya pribadi mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan ataau kurang tepat dalam bahas penyampaian materi ini. Kritik dan saran dari
pembaca sangat saya butuhkan dalam rangka untuk terus memperbaiki makalah saya menjadi
yang lebih tepat dan lebih baik lagi.

Bandar Lampung, 16 September 2018

penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
2.1 Rumusan Masalah..............................................................................................................1
3.1 Tujuan Penulisan................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
1.2 Landasan Antropologi.......................................................................................................3
A. Antropologi Pendidikan..........................................................................................3
B. Pengertian Landasan Antropologi Pendidikan....................................................3
C. Sejarah Perkembangan Landasan Antropologi...................................................5
D. Antropologi Dan Pendidikan................................................................................17
E. Manfaat Landasan Antropologi Dalam Pendidikan..........................................10
F. Pengaruh Antropologi Terhadap Lingkungan Dan Masyarakat......................11
G. Implikasi Landasan Antropologi Dalam Pendidikan........................................12
H. Aplikasi Landasan Antropologi Dalam Pendidikan..........................................12
2.2 Landasan Kebudayaan....................................................................................................13
A. Kebudayaan...........................................................................................................13
B. Landasan Buday Dalam Pendidikan...................................................................23
C. Fungsi Landasan Budaya.....................................................................................26
D. Nilai-Nilai Budaya.................................................................................................27
Bab III PENUTUP.................................................................................................................29
A. Kesimpulan.......................................................................................................................29
B. Saran..................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Manusia adalah makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh Tuhan,
setidaknya manusia diberikan panca indera dalam hidupnya. Namun tentu saja potensi yang
dimilikinya harus digunakan semaksimal mungkin sebagai bekal dalam menjalani hidupnya.
Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh kita sebagai manusia, tentunya
harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya, supaya berjalan dan terarah
sesuai dengan apa yang diharapkan. Mengingat begitu besar dan berharganya potensi yang
dimiliki manusia, maka manusia harus dibekali dengan pendidikan yang cukup sejak dini.
Dilain pihak manusia juga memiliki kemampuan dan diberikan akal pikiran yang berbeda
dengan makhluk yang lain. Sedangkan pendidikan itu adalah usaha yang disengaja dan
terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan manusia.
Secara sosiologi pendidikan adalah sebuah warisan budaya dari generasi kegenerasi,
agar kehidupan masyarakat berkelanjutan, dan identitas masyarakat itu tetap terpelihara.
Budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari,
dan hampir setiap kegiatan manusia tidak terlepas dari unsur budaya.
Memasuki abad ke-21 dan menyongsong milenium ketiga tentu akan terjadi banyak
perubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari era globalisasi. Dan pada
kenyataannya masyarakat mengalami perubahan budaya yang begitu cepat, maju dan
memperlihatkan gejala desintegratif yang meliputi berbagai sendi kehidupan dan menjadi
masalah, salah satunya dirasakan oleh dunia pendidikan. Budaya berpengaruh besar dalam
dunia pendidikan akibat dari pergeseran paradigma pendidikan yaitu mengubah cara hidup,
berkomunikasi, berpikir, dan cara bagaimana mencapai kesejahteraan. Dengan mengetahui
begitu pesatnya arus perkembangan dunia diharapkan dunia pendidikan dapat merespon hal-
hal tersebut secara baik dan bijak.
2.1 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
bagaimanakah Peranan landasan antropologi dan landasan budaya terhadap pendidikan di
Indonesia ?
3.1 Tujuan Penulisan
1. untuk menggali informasi mengenai landasan antropologi pendidikan
2. untuk menggali informasi mengenai landasan budaya pendidikan
1
3. mengetahui peranan dari landasan antropologi dan landasan budaya bagi pendidikan
4. memenuhi tugas mata kuliah landasan pendidikan

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.2 ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

A. Pengertian  Pendidikan
Pengertian pendidikan banyak sekali ragam dan berbeda satu dengan lainnya. Hal ini
tergantung dari sudut pandang masing-masing. Menurut Driyakarya, pendidikan adalah
upaya memanusiakan manusia muda. Crow and Corw berpendapat bahwa pendidikan adalah
proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan
sosialnya, membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke
generasi. Sedangkan Ki Hajar Dewantara juga berpendapat bahwa pendidikan berarti daya
upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin), pikiran
(intelek)danjasmanianak.
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 bab 1 ayat 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan adalah asas, dasar atau
fondasi yang memperkuat dan memperkokoh dunia pendidikan dalam rangka untuk
menciptakan pendidikan yang berkualitasdanbermutu.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan di atas, pada dasarnya
pendidikan merupakan suatu proses mendidik, yakni proses dalam rangka mempengaruhi
peserta didik agar mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dalam lingkungannya sehingga
akan menimbulkan perubahan dalam dirinya, yang dilakuakan dalam bentuk pembimbingan,
pengajaran, dan atau pelatihan.

B.Pengertian Landasan Antropologi

Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ”antrophos” berarti manusia,
dan “logos” berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis
sekaligus makhluk sosial. Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia
pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional
memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada

3
perbanding atau perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak
diperdebatkan dan manjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang sering kali
dilakukan pada pemusatan penelitian pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal,
tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama.

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari
ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda
dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase.

Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup manusia. Antropologi
mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan
adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda dan antropologi budaya yang mengkaji
baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah punah.
Antropologi budaya mencakup antropologi bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa,
arkeologi yang mengkaji kebudayaan-kebudayan yang sudah punah, ekologi yang mengkaji
kebudayaan yang masih ada atau kebudayaan yang hidup yang masih dapat diamati secara
langsung. Jadi antropolgi adalah kajian yang mendalam tentang kebudayaan-kebudayaan
tertentu.

Awalnya antropologi dikenal sebagai konsep kebudayaan yang merupakan satu


totalitas (Ruth). Sementara itu, Boas mempertimbangkan aspek-aspek tertentu dari
kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan berfungsi sebagai satu keseluruhan dalam pola-
pola tertentu. Ada banyak pertentangan lain tentang antropologi, namun semenjak itu inovasi
utama yang terjadi adalah kajian tentang kebudayaan dan kepribadian yaitu tentang proses
bagaimana sebuah kebudayaan diinternalisasikan dan dirubah oleh individu. Jadi antropologi
mengkaji aspek-aspek tertentu dari kebudayaan. Jika sarana sosial lain membicarakan
rentangan tertentu, maka sarjana antropologi mengkaji keseluruhan sejarah umat manusia
sebagai bidang kajiannya. Dengan mempelajari antropologi, kita bisa menyadari keragaman
budaya umat manusia dan pengaruh dalam pendidikan.

Antrpologi pendidikan mulai menampilkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada


pertengahan abad-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh
pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana
diketahui pada waktu itu negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni

4
menciptakan pembangunan di negara-negara yang baru merdeka. Antropologi pendidikan
berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat yang dapat menciptakan perubahan
sosial. Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan
pendidikan yang berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas hubungan antara antropologi dan pendidikan.

Antropologi secara garis besar dipecah menjadi 2 bagian


yaitu antropologi fisik/biologi dan antropologi budaya.Tetapi dalam
pecahan antropologi budaya, terpecah – pecah lagi menjadi banyak sehinggamenjadi
spesialisasi – spesialisasi, termasuk antropologi pendidikan. Seperti halnya
kajian antropologi pada umumnya antropologi pendidikan berusaha menyusun generalisasi
yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian
yang lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam dunia pendidikan.

C. Sejarah Perkembangan Landasan Antropologi Dalam Pendidikan

Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-
tahapan dalam perkembangannya. Perkembangan ilmu antropologi menjadi empat fase
sebagai berikut :

1. Fase Pertama ( sebelum 1800 )

Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk


menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam
penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai
suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka
kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala
sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik,
kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi
tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau
deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada


permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar

5
Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk
mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

2. Fase Kedua ( tahun 1800 )

Pertengahan abad 19, integrasi muncul. Bahan-bahan Etnografi disusun menjadi


sebuah karangan-karangan. Penyusunan bahan Etnografi tersebut bardasarkan cara berfikir
evolusi masyarakat, yaitu perkembangan masyarakat dan kenudayaan sangatlah lambat. Di
mulai dari tingkat terrendah melalui beberapa proses, yang akhirnya sampai di tingkat
tertinggi. Masyarakat yang masih ada di tingkat rendah dari kebudayaan manusia zaman
dahulu, mereka adalah salah satu contoh masyarakat primitive. Dan contoh untuk masyarakat
yang ada di tingkat tinggi adalah bangsa Eropa sendiri.

Sekitar tahun 1860 muncul karangan yang mengklasifikasikan aneka kebudayaan di


dunia ke dalam tingkat evolusi tertentu. Maka muncullah ilmu antropologi.

Dengan meneliti bangsa-bangsa di luar Eropa, dapat menambah pengetahuan tentang


sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Antropologi merupakan ilmu yang tidak
mempunyai tujuan secara langsung bersifat praktis dan hanya dilakukan di kalangan sarjana
universitas.

Tujuan antropologi pada fase kedua ini adalah akademis, yaitu mempelajari


masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang
tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

3. Fase Ketiga ( awal abad ke 20 )

Dalam fase ketiga ini, olmu antropologi menjadi ilmu yang praktis, yang bertujuan
mampalajari masyarakat fan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan
pemerintah kolonial dan guna mendapat pengertian tentang masyarakat masa kini yang
kompleks. Berikut panjalasannya :

Awal abad 20, negara-negara penjajah di Eropa berhasil memantapkan kekuasaannya


di daerah-daerah jajahannya di luar Eropa. Dalam hak ini, ilmu antropologi sangat penting
karena menyangkut juga tentang pentingnya dalam mempelajari kebudayaan bangsa-bangsa
di luar Eropa, yang masih mempunyai masyarakat yang belum kompleks. Ilmu antropologi

6
nerkembang di negara-negara pemjajah, terutama Inggris. Bahkan berkembang juga di negara
Amerika Serikat, yang bukan merupakan negara kolonial.

4. Fase Keempat

Ilma Antropologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, diantaranya


pengetahuan yang jauh lebih teliti fan metode-metode ilmiahnya yang semakin tajam.
Perkembangan ini menyebabkan :

1. Timtbulnya anitipati kolonialisme setelah perang dunia 2


2. Sekitar tahun 1930 bangsa primitive mulai hilang dan benar-benar hilang
setelah Perang Dunia 2.

Lapangan penelitian ilmu Antropologi berhasil berkembang dengan tujuan dan pokok
yang baru, dengan berlandaskan bahan etnologi dan metode ilmiah yang lalu. Pokok tujuan
yang baru itu ditinjau dan diteliti di dalam suatu simposium oleh 60 tokoh ahli antropologi
dari negara-negara di Amerika dan Eropa pada tahun 1951 . penekitian tifak hanya tertuju
pada penduduk pedesaan di luar Eripa, tetapi juga suku bangsa pedesaan di Eropa, seperti
bangsa Irlandis, Flam, dan Soami. Ilmu Antropologi ada 2 tujuan, yaitu :

1. Tujuan akademis yaitu pengertian manusia beserta bentuk fisik, masyarakat


dan kebudayaannya.
2. Tujuan praktis yaitu mempelajari manusia dalam berbagai masyarakat suku
bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa tersebut.

D. Antropologi dan Pendidikan

Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian


pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan
menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan
dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui
lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan
keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat,
pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu
keseluruhan.

7
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan
waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan
tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru
diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus
saling bekerja sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling
berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan hasil-hasil
prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri
pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan serta
merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.

G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi
terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah
diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam
lingkungan sosial budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan
menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan
mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan
dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap
pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.

Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat


bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakkan secara hati-hati. Hal ini disebabkan
karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk
dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap
penyeldikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga
dan mempengaruhi pendidikan.

Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah
dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya,
sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang
menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah
metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan
data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya
mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan
pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.

8
Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada
pertengahan abab ke-20. Sejak saat itu, antropologi pendidikan berupaya menemukan pola
budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat merubah perubahan social.
Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para ahli mengambil kebijakan pendidikan
yang berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian. Konferensi pendidikan
antropologi yang berorientasi pada perubahan sosial di Negara-negara baru khususnya
melalui pendidikan persekolahan mulai digelar. Hasil-hasil  kajian pendidikan di
persekolahan melalui antropologi diterbitkan pada tahun 1954 dibawah redaksi G.D. Spindler
(1963).

Konferensi memberi rekomendasi untuk melakukan serangkaian penelitian


antropologi pendidikan di persekolahan, mengingat jalur perubahan social budaya salah
satunya dapat dilakukan dengan melalui pendidikan formal. Banyak penelitian menunjukan
bahwa system pendidikan di negara-negara baru diorientasikan untuk mengokohkan
kelompok sosial yang tengah berkuasa.

Antropologi Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan oleh para ahli
yang menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat. Antropologi di negara-
negara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di negara berkembang adalah
karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar kini menjadi perhatian yang semakin
menarik, khususnya bagi para pemikir pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan
dengan melihat kenyataan lemahnya mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap
rentannya ketahanan social budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan.

Orientasi pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara menyeluruh yang


menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan lembaga
pendidikan formal. Van Kemenade (1969) dalam Imran Manan telah mengingatkan:
“persoalan pendidikan jangan hanya dianggap melulu persoalan pedagogis didaktis metodis
dan tidak menjadi masalah kebikakan social, sehingga pendidikan tidak ada lagi menjadi
kebutuhan bersama. Untuk itu perlu analisa empiris tentang tugas pendidikan  dalam konteks
kehidupan masyarakat”.

Pendekatan dan teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua kategori. Pertama,
pendekatan teori antopologi pendidikan yang bersumber dari antropologi budaya yang

9
ditujukan bagi perubahan social budaya. Kedua, pendekatan teori pendidikan yang bersumber
dari filsafat.

Teori antropologi pendidikan yang diorientasikan pada perubahan social budaya


dikategorikan menjadi empat orientasi:

1. Orientasi teoritik yang focus perhatiannya kepada keseimbangan secara statis. Teori
ini merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
2. Orientasi teori yang memandang adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori
ini yang menjadi penyempurna teori sebelumnya, yakni orientasi adaptasi dan tekno-
ekonomi yang menjadi andalanya
3. Orientasi teori yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber
teori dating dari rumpun teori structural.
4. Orientasi teori yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala
interdependensi antar Negara, dimana teori multicultural termasuk didalamnya.

E. Manfaat Landasan Antropologi Dalam Pendidikan

Setiap manusia memiliki perbedaan, oleh karena itu seorang pendidik harus sedikit
banyak memahami latar siswa yakni keluarga, budaya, lingkungan siswa. Oleh karena itu,
antropologi dibutuhkan sebagai landasan dalam pendidikan. Antropologi dalam pendidikan
memiliki beberapa manfaat diantaranya:

1. Dapat mengetahui polaperilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat secara


Universal maupun pola perilaku manusia pada tiap-tiap masyarakat (suku bangsa).
2. Dapat mengetahui kedudukan serta peran yang harus kita lakukan sesuai dengan
harapan warga masyarakat dari kedudukan yang kita sandang.
3. Dengan mempelajari antropologi akan memperluas wawasan kita terhadap tata
pergaulan umat manusia diseluruh duniakhususnya Indonesia yang mempunyai
kekhususan-kekhususan yang sesuai dengan karakteristik daerahnya sehingga
menimbulkan toleransi yang tinggi.
4. Dapat mengetahui berbagai macam problema dalam masyarakat serta memiliki
kepekaan terhadap kondisi-kondisi dalam masyarakat baik yang menyenangkan serta
mampu mengambil inisiatif terhadap pemecahan permasalahan yang muncul dalam
lingkungan masyarakatnya.

10
Dari manfaat diatas dapat disimpulkan bahwa, antropologi dapat menjadikan bangsa
Indonesia yang memiliki jiwa nasionalis.

F. Pengaruh Antropologi Terhadap Lingkungan dan Masyarakat

Perbedaan geografis mencakup perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh faktor


geografis seperti letak daerah, misalnya: pantai, daerah pegunungan, daerah tropis, daerah
sub tropis, daerah subur, daerah tandus, dan sebagainya.

Sebagai contoh, pengaruh daerah sub tropis terhadap pola kerja manusia akan berbeda
dengan daerah tropis. Pada daerah sub tropis ada musim dimana manusia kurang/tidak dapat
bekerja secara penuh, terutama pada musim dingin, sehingga keadaan ini memaksa manusia
daerah sub tropis untuk mempersiapkan cadangan makanan untuk musim dingin. Demikian
pula masyarakat di daerah gersang akan terpaksa bekerja lebih keras untuk mempertahankan
hidupnya dibandingkan dengan daerah subur.

Perbedaan-perbedaan tersebut melahirkan pula perbedaan kebudayaan, baik dalam


wujud ide-ide, pola, tingkah laku maupun kebudayaan. Di daerah subur seperti di Indonesia,
dimana manusia tidak perlu berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya, dimana
sumber-sumber alam relatif mudah diambil, membuat manusia juga bermurah hati terhadap
sesamanya, sehingga bila ada seorang warga masyarakat yang mengalami kekurangan, orang
launn dengan mudahnya membantu orang yang menderita tersebut. Karena itu terutama di
pedesaan, dimana kebutuhan hidup dari alam sekitar relatif lebih mudah didapatkan, perasaan
gotong-royong antar warga masyarakat sangat tinggi. Sebaliknya di daerah perkotaan dimana
manusia harus berusaha lebih keras untuk mempertahankan hidupnya, maka perasaan gotong-
royong itu makin menipis, dan perasaan individualitasnya lebih tinggi.

Hal-hal tersebut diatas juga mempengaruhi sistem nilai budaya yang dianut oleh
warga masyarakat, yang dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap proses pendidikan
yang berlangsung di masyarakat yang bersangkutan, karena proses pendidikan tersebut tidak
dapat dilepaskan dari lingkungan geografis dan sosiokultural masyarakat.

Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-
negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan-pembuatan kebijakan
dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.

11
landasan antropologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-
kaidah antropologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh : perbedaan
kebudayaan masyarakat di berbagai daerah (misalnya: system mata pencaharian, bahasa,
kesenian, dsb). Mengimplikasikannya perlu diberlakukan kurikulum muatan lokal.

Dari paparan diatas pendidikan perlu dilandasi antropologi karena melalui antropologi


bisa membuka diri tentang keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia dan
menghargai kebudayaan orang lain.

G. Implikasi Landasan Antropologi Dalam Pendidikan

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam implikasi landasan antropologi, adalah sebagai
berikut.

1. Identifikasi kebutuhan belajar masyarakat

Identifikasi kebutuhan masayarakat ini bersumber dari informasi masyarakat sekitar.


Masyarakat tersebut terdiri dari tokoh masyarakat, baik secara formal maupun informal,
tokoh agama, dan perwakilan masyarakat kelas bawah. Hal ini bertujuan untuk memperoleh
informasi dan data yang dijadikan bahan pengembangan kurikulum.

2. Keterlibatan partisipasi masyarakat

Setelah mengidentifikasi kebutuhan belajar, maka masyarakat ikut serta dalam


merancang kurikulum, menyediakan sarana dan prasarana, menentukan nara sumber sebagai
fasilitator, dan ikut menilai hasil belajar.

3. Pemberian pendidikan kecakapan hidup

Pendidikan kecakapan hidup merupakan pendidikan dalam bentuk pemberian


keterampilan dan kemampuan dasar pendukung fungsional, membaca, menulis, berhitung,
memcahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan
teknologi (Dikdasmen 2002, dalam Efendi 2009:153).

H. Aplikasi Landasan Antropologi Dalam Pendidikan Saat Ini

Penerapan landasan antropologi dalam pendidikan saat ini adalah sebagai berikut:

12
1. Model pembelajaran berbasis budaya lokal.
o Model pembelajaran ini diterapkan melalui muatan lokal. Materi disesuaikan
dengan potensi lokal masing-masing daerah di lingkungan sekolah. Sehingga
siswa dapat mengenali potensi budayanya sendiri, mengembangkan budaya,
menumbuhkan cinta tanah air, dan mempromosikan budaya lokal kepada
daerah lain.
2. Metode pembelajaran karya wisata
o Guru mengajak siswa ke suatu tempat ( objek ) tertentu untuk mempelajari
sesuatu dalam rangka suatu pelajaran di sekolah. Metode karyawisata berguna
bagi siswa untuk membantu mereka memahami kehidupan ril dalam
lingkungan beserta segala masalahnya . Misalnya, siswa diajak ke museum,
kantor, percetakan, bank, pengadilan, atau ke suatu tempat yang mengandung
nilai sejarah/kebudayaan tertentu.
3. Pembelajaran dengan modeling
4. Modelling adalah metode pembelajaran dengan menggunakan model (guru) sebagai
obyek belajar perubahan tingkah laku yang kemudian ditiru oleh
siswa. Modelling bertujuan untuk mengembangkan keterampilan fisik dan mental
siswa.

2.2 LANDASAN KEBUDAYAAN

A.Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Dalam istilah inggris, budaya adalah culture, yang berasal dari bahasa latin corele
yang berarti ‘mengolah’, ‘mengerjakan’. Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas
manusia (Sutarno, 2008:1-4). Menurut Margared Mead (dalam Sutarno, 2008:1-4), “budaya
merupakan perilaku yang dipelajari dari sebuah masyarakat atau kelompok”.
Koentjaraningrat (dalam Sutarno, 2008:1-4) memberi arti kebudayaan dalam arti sempit dan
luas. Dalam arti sempit, budaya merupakan kesenian, sedangkan dalam arti luas kebudayaan
adalah keseluruhan gagasan dan karya yang dihasilkan manusia melalui proses pembiasaan
dengan belajar serta seluruh hasil budi dan karyanya.
Menurut Bullivant (dalam Sutarno, 2008:1-5), budaya merupakan suatu program
untuk bertahan hidup dan beradaptasi terhadap lingkungan yang dilakukan oleh suatu
kelompok. Program tersebut terdiri atas pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai yang dimiliki

13
oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi. Raymond Williams mendefinisikan
budaya merupakan pengungkapan dan pengaturan hubungan-hubungan sosial dan bentuk
komunikasi dalam anggota masyarakat meliputi organisasi produk, struktur keluarga, struktur
lembaga (Sutarno, 2008:1-5).

2. Unsur-Unsur Kebudayaan
Koentjaraningrat (dalam Sutarno, 2008:1-6) merumuskan unsur-unsur kebudayaan
adalah sebagai berikut.

1.  Sistem religi dan upacara keagamaan


2.  Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3.  Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7.  Sistem teknologi dan peralatan

Unsur-unsur yang terdapat pada urutan atas merupakan unsur yang sulit untuk
berubah. Semua unsur-unsur tersebut merupakan unsur budaya yang universal, yaitu berlaku
di mana saja, kapan saja, dan bagi siapa saja. Kebudayaan di seluruh dunia juga memiliki
ketujuh unsur tersebut.
3. Wujud Kebudayaan
Koentjaraningrat (dalam Sutarno, 2008:1-8) menyatakan bahwa wujud kebudayaan
adalah sebagai berikut.

1. Wujud idiil (adat tata kelakuan) yang bersifat abstrak, tak dapat diraba.
Terletak di alam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang
bersangkutan itu hidup, yang nampak pada karangan, lagu-lagu. Fungsinya
adalah pengatur, penata, pengendali, dan pemberi arah kelakuan manusia
dalam masyarakat. Adat terdiri atas beberapa lapisan, yaitu sistem nilai budaya
(yang paling abstrak dan luas), sistem norma-norma (lebih kongkrit), dan
peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari (aturan sopan
santun) yang paling kongkrit dan terbatas ruang lingkupnya.

14
2. Wujud kedua adalah sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia itu
sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi yang
selalu mengikuti pola tertentu. Sifatnya kongkrit, bisa diobservasi.
3. Wujud ketiga adalah kebudayaan fisik yang bersifat paling kongkrit dan
berupa benda yang dapat diraba dan dilihat.

4. Pranata Kebudayaan
Pranata (institution) yang ada dalam kebudayaan dikelompokkan berdasarkan
kebutuhan hidup manusia yang hidup dalam ruang dan waktu :

1. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan (kinship


atau domestic institutions). Misal: perkawinan, pengasuhan anak.
2. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencaharian
hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta benda (economic
institutions). Contoh : pertanian, industri, koperasi, pasar.
3. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan
manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna (educational
institutions). Contoh : pengasuhan anak, pendidikan dasar, menengah dan
pendidikan tinggi, pendidikan keagamaan, pers.
4. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami
alam semesta (scientific institutions). Contoh : penjelajahan luar angkasa,
satelit.
5. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan
keindahannya dan rekreasi (aesthetic and recreational institutions). Contoh:
batik, seni suara, seni gerak, seni drama, olah raga.
6. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan
dengan Tuhan atau dengan alam gaib (religious institutions). Contoh : masjid,
do’a, kenduri, upacara, pantangan, ilmu gaib.
7.  Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia (somatic
institutions). Contoh : perawatan kecantikan, pemeliharaan kesehatan,
kedokteran (Sutarno, 2008:1-12).

15
5. Hakikat Kebudayaan
a.) Rumusan Edward B. Tylor
Pelopor Antropologi, Edward B. Tylor dalam bukunya ‘Primitive Culture’
mendefinisikan “budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuandan kebiasaan
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat” (Tilaar, 2002:39).
Analisis hakikat kebudayaan merupakan titik tolak untuk mengerti hakikat
pendidikan, beberapa hal yang perlu disimak mengenai hakikat kebudayaan yaitu sebagai
berikut.

1. Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks. Hal ini berarti


bahwa kebudayaan merupakan suatu kesatuan dan bukan jumlah dari bagian-
bagian. Keseluruhannya mempunyai pola-pola atau desain tertentu yang unik.
Setiap kebudayaan mempunyai mozaik yang spesifik.
2. Kebudayaan merupakan suatu prestasi kreasi manusia yang non material
artinya berupa bentuk-bentuk prestasi psikologis seperti ilmu pengetahuan,
kepercayaan, seni dan sebagainya.
3. Kebudayaan dapat pula berbentuk fisik seperti hasil seni, terbentuknya
kelompok-kelompok keluarga.
4. Kebudayaan dapat pula berbentuk kelakuan-kelakuan yang terarah seperti
hukum, adat-istiadat yang berkesinambungan.
5. Kebudayaan merupakan suatu realitas yang objektif, yang dapat dilihat.
6.  Kebudayaan diperoleh dari lingkungan.
7. Kebudayaan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang soliter atau
terasing tetapi yang hidup di dalam suatu masyarakat tertentu (Tilaar,
2002:39-40)

Selain penjelasan di atas, Tylor (dalam Tilaar, 2002:40), juga memberikan penekanan
kepada faktor manusia yang mendapatkan nilai-nilai dari masyarakatnya. Tylor juga
menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara kebudayaan dan peradaban. Tylor kemudian
menjelaskan pentingnya peran nilai-nilai dalam kebudayaan. Dari penjelasan-penjelasan di
atas dapat disimpulkan tiga hal yang harus dicatat mengenai hakikat kebudayaaan yaitu.

1. Adanya keteraturan dalam hidup bermasyarakat.


2. Adanya proses pemanusiaan.
16
3.  Di dalam proses pemanusiaan itu terdapat suatu visi tentang kehidupan.

Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan artinya di dalam kehidupan


berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, motivasi. Di dalam proses pemanusiaan tersebut
yang penting bukan hanya prosedur dan teknologi tetapi juga jangan dilupakan isi atau materi
perubahan dan perkembangan (Tilaar, 2002:41).

b) Pandangan Ki Hajar Dewantara


Konsep Ki Hajar Dewantara mengenai hakikat kebudayaan nasional dikenal dengan
teori trikon. Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Tilaar, 2002:43), kebudayaan merupakan
hasil budi manusia dan merupakan hasil perjuangan manusia dalam menghadapi dua
pengaruh kuat yaitu alam dan zaman. Dalam perjuangannya manusia dapat mengatasi segala
rintangan hingga tercapainya hidup yang tertib dan damai.
Teori trikon mengandung beberapa hal yang penting, antara lain sebagai berikut.

1. Kebudayaan memiliki sifat kebangsaan dan merupakan perwujudan sifat,


watak, kepribadian bangsa.
2. Kebudayaan selalu memperlihatkan keindahan dan adat kemanusiaan suatu
bangsa yang tinggi. Keluhuran dan kehalusan hidup merupakan ukuran yang
selalu dipakai.
3. Kebudayaan menunjukkan kemenangan manusia dalam perjuangan melawan
kekuatan alam dan zaman, selalu memberikan kemudahan dengan adanya alat-
alat baru untuk mengembangkan, menunjukkan, dan mempertinggi taraf
kehidupan manusia (Tilaar, 2002:43).

6. Kepribadian dalam Proses Kebudayaan


Kepribadian menurut teori superorganik kebudayaan dari Kroeber (dalamTilaar,
2002:50) merupakan bukti nyata adanya peranan pendidikan di dalam kebudayaan. Tanpa
memiliki kepribadian, maka manusia tidak akan bisa menghasilkan kebudayaan. Ruth
Benedict (dalam Tilaar, 2002:51) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan istilah
sosiologis dari tingkah laku yang dapat dipelajari.
Peranan pendidikan dianggap penting dalam pembentukan kepribadian manusia. Para
pakar behavioris dan psikoanalis memperhatikan pendidikan dalam kebudayaan. Para pakar
behavioris melihat perilaku manusia sebagai reaksi terhadap rangsangan di sekitarnya. Di
sinilah peran pendidikan dalam proses pembentukan perilaku manusia. Para pakar psikoanalis
17
menjelaskan bahwa perilaku manusia didasarkan adanya dorongan-dorongan yang sadar
maupun tidak sadar. Dorongan-dorongan tersebut ditentukan antaralain oleh kebudayaan
tempat tinggal manusia (Tilaar, 2002:51).
John Gillin menyatukan pandangan behavioris dan psikoanalis mengenai
perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut.

1.  Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk
belajar.
2. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi
kelakuan tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan kondisi, yang terakhir ini
kebudayaan merupakan perangsang-perangsang untuk terbentuknya kelakuan-
kelakuan tertentu.
3. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment”, terhadap kelakuan-
kelakuan tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong suatu bentuk kelakuan
yang sesuai dengan sistem nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya
memberikan hukuman terhadap kelakuan-kelakuan yang bertentangan atau
mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.
4. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui
proses belajar (Tilaar, 2002:51).

7. Transmisi Kebudayaan
Kebudayaan ditransmisikan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Beberapa ahli
pendidikan menjelaskan bahwa sebenarnya proses pendidikan itu merupakan proses transmisi
kebudayaan. Seperti dijelaskan bahwa kepribadian bukanlah semata-mata hasil tempaan dari
kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri juga terus menerus berubah. Di dalam mentransmisikan
kebudayaan (dalam Tilaar, 2002:54-55) terdapat beberapa hal utama yang harus diperhatikan
antara lain, yaitu.
1)       Unsur-unsur yang ditransmisikan
Unsur-unsur tersebut ialah nilai-nilai kebudayaan, adat-istiadat masyarakat, pandangan
mengenai hidup serta berbagai konsep hidup lainnya yang ada di dalam masyarakat.
2)       Proses transmisi

18
Proses transmisi meliputi proses-proses imitasi, identifikasi, dan sosialisasi. Imitasi adalah
meniru tingkah laku dari sekitar. Transmisi unsur-unsur tidak dapat berjalan dengan
sendirinya, oleh sebab itu unsur-unsur tersebut harus diidentifikasi.
Proses identifikasi berjalan sepanjang hayat sesuai tingkat kemampuan manusia itu sendiri.
Selanjutnya unsur-unsur budaya tersebut harus disosialisasikan artinya harus diwujudkan
dalam kehidupan nyata di dalam kehidupan yang semakin lama semakin luas.
3)       Cara mentransmisikan
Dalam hal ini terdapat dua bentuk cara mentransmisikan budaya yaitu melalui peran serta dan
bimbingan. Peran serta dapat diwujudkan dengan ikut serta di dalam kegiatan sehari-hari di
dalam lingkungan masyarakat. Bimbingan dapat dilakukan melalui pranata-pranata
tradisional seperti inisiasi, sekolah agama, sekolah formal yang sekuler.

Proses transmisi kebudayaan dalam masyarakat modern akan jauh lebih berat dengan
banyaknya tantangan-tantangan. Oleh karena itu diperlukan peranan pendidikan untuk
mengembangkan kepribadian yang kreatif dan mampu memilih nilai-nilai yang baik dari
berbagai lingkungan yang ditemui.
8. Pendidikan dalam Proses Pembudayaan
Pentingnya peranan pendidikan di dalam kebudayaan menurut pemikiran Ki Hajar
Dewantara dapat kita lihat dalam ‘sistem among’ yang berisi mengajar dan mendidik. Tugas
lembaga pendidikan bukan hanya mengajar untuk menjadikan orang pintar dan pandai
berpengetahuan dan cerdas, tetapi mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam
kehidupan agar supaya kelak manusia berpribadi yang beradab dan bersusila. Selanjutnya Ki
Hajar Dewantara mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan berbudaya.
Sebagai manusia budaya ia sanggup dan mampu mencipta segala sesuatu yang bercorak luhur
dan indah, yakni yang disebut kebudayaan (Tilaar, 2002:56).

Dengan adanya nilai-nilai kebudayaan yang kompleks dan terintegrasi, maka


pendidikan harus dilihat dari berbagai sudut pandang multidisipliner seperti filsafat,
antropologi, sosiologi, biologi, psikologi, dan sebagainya. Seperti telah diketahui bahwa
kebudayaan adalah normatif karena terarahkan ke dalam suatu kompleks nilai-nilai yang
diakui dalam masyarakat. Proses pendidikan itu sendiri juga normatif, tidak buta nilai. Proses
pendidikan sebagai proses pembudayaan harus melihat peserta didik secara menyeluruh atau
sebagai manusia yang seutuhnya.

19
Di dalam proses pembudayaan terdapat beberapa istilah yang membantu dalam
perubahan kebudayaan manusia. Istilah tersebut antara lain sebagai berikut: penemuan dan
invensi, difusi, inovasi, alkulturasi, asimilasi, dan prediksi masa depan. Dalam prosesnya
masing-masing, istilah-istilah tersebut memberikan dampak terhadap kemajuan dan
perkembangan kebudayaan manusia, hal tersebut tidak terlepas dari peran manusia sebagai
agen yang aktif dalam proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan kepada manusia
sebagai agen yang aktif sangat penting sebagai bagian dari proses pembudayaan manusia itu
sendiri.
9. Kebudayaan dalam Pendidikan
Kebudayaan dalam pendidikan saat ini menjadi hal yang penting, sebagaimana
pendidikan adalah proses pembudayaan. Ulasan tetang kebudayaan dalam pendidikan
menjadi hal yang penting karena dua hal utama (Tilaar, 2002:67). Petama, kebudayaan hanya
diartikan secara sempit. Sempitnya lingkup kebudayaan kini hanya terbatas pada kesenian,
baik seni rupa, seni tari, seni bahasa dsb. Kedua, pembatasan kebudayaan pada nilai
intelektual belaka. Dalam hal itu, pendidikan nyatanya bukanlah tempat kebudayaan dapat
berkembang, seolah kebudayaan sudah tercerabut dalam lingkup pendidikan itu sendiri.
Keberadaan kebudayaan dalam proses pendidikan dapat dijabarkan antara lain dalam dua hal
berikut: konsep taman siswa dan pendidikan budi pekerti.
1. Konsep Taman Siswa
Konsep Taman Siswa merupakan sebuah konsep peletakan dasar-dasar pendidikan
nasional yang berorientasi budaya. Ki Hajar Dewantara yang dinobatkan pula menjadi Bapak
Pendidikan Nasional melahirkan konsep Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 (Anshoriy,
2008:69). Rumusan Pendidikan menurut menurut Ki Hajar Dewantara dalam Tilaar
(2002:68) yaitu “pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel-
nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat
mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain
bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.”
Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa sebenarnya Ki Hajar Dewantara membuka
sebuah pemikiran bahwa pendidikan haruslah berasaskan kebudayaan sendiri. Oleh sebab itu,
untuk mewujudkan cita-citanya, maka diterapkan asas-asas pendidikan dan dasar-dasar.
Butir-butir penerapan asas pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara (dalam
Haryanto, tanpa tahun:http://staff.uny.ac.id) dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan..

20
2. Kebudayaan yang menjadi dasar atau alas pendidikan tersebut haruslah
bersifat kebangsaan.
3. Pendidikan mempunyai arah dan tujuan untuk mewujudkan keperluan
perikehidupan.
4. Arah dan tujuan pendidikan untuk mengangkat derajad Negara dan rakyat.
5. Pendidikan yang visioner.

Selain penjabaran dari asas yang berupa butir-butir di atas, Taman Siswa juga
memiliki dasar-dasar pendidikan sebagai lanjutan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yaitu
terkenal dengan sebutan Panca Darma, yaitu: kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan,
kebangsaan, dan kemanusiaan
Kebudayaan merupakan dasar praksis pendidikan (Tilaar, 2002:70). Hal tersebut
memberikan implikasi bahwa tidak hanya seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan
nasional, melainkan unsur kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan.
2. Pendidikan Budi Pekerti
Dewasa ini muncul berbagai permasalah budi perkerti terlebih di era modernisasi
seperti sekarang. Terdapat tiga akar permasalah budi pekerti yang muncul saat ini yaitu: 1)
melemahnya ikatan keluarga, 2) kecenderungan negatif dalam kehidupan pemuda, 3)
perlunya nilai-nilai etik (Tilaar, 2002:74).
Keluarga yang merupakan lingkungan awal anak berkembang mulai kehilangan
fungsinya. Dengan demikian terjadi sejenis kekosongan dalam pengembangan diri anak.
Banyaknya kasus perceraian menyebabkan hilangnya sebagaian peran keluarga dalam
pengembangan diri anak sehingga banyak terjadi disintegrasi moral. Sekolah kini memiliki
peran ganda dikarenakan hal tersebut. Oleh sebab itu sekolah perlu memperhatikan atau
mewujudkan masyarakat moral dakam kehdiaupan sekoalah yang membantu anak-anak yang
tidak memperolehnya dalam lingkungan keluarga.
Permasalahan yang kedua yaitu adanya kecenderungan negatif dalam kehidupan
pemuda. Dewasa ini banyak sekali kasus yang melibatkan pelajar khususnya di kota-kota
besar. Hal tersebut juga merupakan akibat dari disintegrasi keluarga seperti poor-parenting.
Para generasi muda telah kehilangan pegangan dan keteladanan dalam meniru kelakuan yang
etis.
Focus permasalahan yang ketiga yaitu perlunya nilai-nilai etik. Seiring dengan
maraknya permasalahan berakar pada nilai-nilai yang tidak dijunjung, kebangkitan nilai
berkenaan dengan nilai-nilai obyektif yang dijadikan pengkitan bersama mulai

21
dikembangkan. Nilai-nilai yang bersifat mengikta tersebut merupakan nilai hakikat manusia
(human dignity) yang diperlukan untuk kemakmuran bersama.
Berdasarkan ketiga bahasan di atas, guru memiliki peran penting dalam pendidikan
budi pekerti. Thomas Lickona (dalam Tilaar, 2002:76) mengungkapkan 9 tugas guru dalam
pengembangan budi pekerti yaitu:
1) sebagai model,
2) masyarakat bermoral,
3) mempraktikkan disiplin moral,
4) situasi demokratis di kelas,
5) pewujudan nilai dalam kurikulum,
6) budaya kerjasama,
7) kesadaran karya,
8) refleksi moral, dan
9) resolusi konflik.
Pendidik merupakan model sekaligus mentor dari peserta didik dalam mewujudkan
nilai dalam kehidupan di sekolah. Tanpa guru, akan sulit mewujudkan pranata sosial dalam
lingkungan sekolah. Perwujudan hal tersebut dimulai hendaknya sejak taman kanak-kanak
hingga perguruan tinggi.
Tugas kedua yaitu masyarakat sekolah haruslah merupakan masyarakat bermoral. Bila
berbicara tentang budaya sekolah maka tujuan utama bukan hanya mengembangkan
kemampuan intelektual tapi juga mengembangkan nilai-nilai positif seperti kejujuran,
kebenaran, dan pengabdian masayarakat.
Tugas selanjutnya yaitu mempraktikkan disiplin moral. Moral merupakan sesuatu
yang restrictive, artinya mengarahkan kelakuan dan pikiran seseorang untuk berbuat baik.
Sudah sepatutnya baha sebagai model dan mentor, para pranata sosial sekolah adalah orang-
orang praktisi di dalam pendidikan.
Sebagai praktisi yang menciptakan situasi demokratis di ruang kelas adalah guru.
Pengenalan situasi demokratis tidak melalui indoktrinasi tetapi melalui proses inkuiri dan
pengahayan intensif mengenai nilai-nilai moral tersebut. Di ruang kelas terjadi proses
pembelajaran yang konkrit yaitu dengan pelaksanaan penghayatan moral yang paling dasar.
Nilai-nilai tersebut bukan langsung disampaikan melalui pembelajaran di dalam kelas,
melainkan melalui integrasi dalam kurikulum sekolah. Hal tersebut memberi penegasan
bahwa setiap mata pelajaran haruslah mengintegrasikan pendidikan budi pekerti.

22
Pendidikan yang baik juga mampu memberikan bekal kepada peserta didik untuk
berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu dibutuhkan penanaman konsep kerja sama,
kehidupan bersama, dan belajar bersama. Hal tersebut sesuai dengan peran guru yang tidak
hanya mengembangkan kecakapan secara pribadi namun juga mendorong para siswa secara
bersama melalui penciptaan kesiapan belajar bersama.
Tugas guru selanjutnya yaitu menumbuhkan kesadaran karya. Dalam pranata sosial
sekolah, guru hendaknya menumbuhkan nilai-nilai kekaryaan pada peserta didik yaitu kerja
keras, cinta kepada kualitas, disiplin kerja, kreativitas, dan juga termasuk kepemimpinan.
Selain hal yang bersifal kekaryaan tersebut, guru juga hendaknya dapat mengembangkan
refleksi moral. Refleksi moral dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti.
Tugas pendidik yang terakhir yaitu mengajarkan resolusi konflik. Hal tersebut sesuai
dengan perkembangan nilai yang ada di masyarakat. Nilai-nilai moral tersebut akan
mengalami konflik yang mengindikasikan adanya perkembangan kebudayaan. Dengan
demikian, refleksi moral merupakan salah satu bagian penting dalam kehiduapan demokratis
bermasyarakat dan perkembangan kebudayaan.  

B. Landasan Budaya dalam Pendidikan


Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan
keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma,
dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan
alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan
manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, system kepercayaan, sistem
pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi
penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam
interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus
berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi,
sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana
dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir,
nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan
tersebut kearah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Pengembangan budaya bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan
yang  tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya
bangsa.
23
Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi kebudayaan dalam
pendidikan bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik
dalam budaya bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik
melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.

Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan
potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam
mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa
yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan atau
karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah
proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses
pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat dan bangsa di masa mendatang.

Landasan  budaya dalam proses pendidikan pada peserta didik secara aktif bertujuan
untuk mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan
nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan
kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang
bermartabat.

Atas dasar pemikiran itu, pengembangan landasan budaya dalam pendidikan sangat
strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan
itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode
belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya
dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara
bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.

Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik
secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada,
terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam
lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya.

24
Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik
tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal
budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya.
Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang
tidak menyukai budayanya.

Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari
budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang
lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh tidak
mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya
bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan
cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing).
Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing).

Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula


kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik
kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi
norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi warga negara
Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan
masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya.

Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU
Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan
dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan
landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai
anggota masyarakat dan bangsa.
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan
prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan
bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan,
pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai  budaya dan prestasi masa
lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa
yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter dan budaya
25
baru bangsa. Oleh karena itu, landasan budaya dalam pendidikan bangsa merupakan inti dari
suatu proses pendidikan.

Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari budaya itu menghendaki
suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam
kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa
Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta
ketrampilan). Dalam mengembangkan pendidikan bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan
bangsanya adalah bagian yang teramat penting.

Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang
memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu yang
menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun
pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri
dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial
yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), system ketatanegaraan, pemerintahan, dan
politik  (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara
berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya
terobosan kurikulum berupa pengembangan nilai nilai budaya yang menjadi dasar bagi
pendidikan bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai budaya yang
dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam
kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.

C. Fungsi Landasan Budaya dalam Pendidikan


Fungsi landasan budaya dalam pendidikan adalah:
1. Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku
baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan
budaya dan karakter bangsa;
2. Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam
pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
3. Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

C. Tujuan Landasan Budaya dalam Pendidikan


26
Tujuan landasan budaya dalam pendidikan adalah:
1. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan
warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2. mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa;
4. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
berwawasan kebangsaan; dan
5. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman,
jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan
penuh kekuatan (dignity).

D. Nilai-nilai Budaya dalam Pendidikan


Nilai-nilai Budaya yang dikembangkan dalam pendidikan diidentifikasi dari sumber-sumber
berikut ini.

1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan
individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama  dan kepercayaannya.
Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama.
Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus
didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan


kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan
UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945.
Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur
kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya
dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih
baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat
yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu
27
dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi
antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan
masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa.

4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga
negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan diberbagai jenjang dan
jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki
warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang
paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

28
BAB III
PENUTUP

1. Simpulan
Dari uaraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara
optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada,
terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam
lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya.

2) Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan
(belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan
keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya.

3) Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Apabila kebudayaan berubah maka pendidikan
juga berubah, dan apabila pendidikan berubah akan dapat mengubah kebudayaan.

4) Fungsi landasan budaya dalam pendidikan adalah:


a. Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku
baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan
budaya dan karakter bangsa;
b. Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam
pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
c. Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

5) Tujuan landasan budaya dalam pendidikan adalah:


a. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan
warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
b.mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
c. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa;

29
d. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
berwawasan kebangsaan; dan
e. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman,
jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan
penuh kekuatan (dignity).

6) Nilai-nilai budaya bersumber pada agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan
nasional.
2. Saran
1) Makalah ini merupakan resume dari berbagai sumber, untuk lebih mendalami isi makalah
dapat dibaca dalam buku-buku rujukan yang tercantum dalam daftar pustaka.

2) Kritik dan aran yang membangun untuk perbaikan makalah ini sangat diharapkan untuk
penulisan makalah di masa-masa mendatang.

30
DAFTAR PUSTAKA

Sukardjo, M. & Komarudin, Ukim. 2009. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Wahyudin, Dinn., dkk. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Saefuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis


Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenanda Media.

Sudomo. 1989. Landasan Pendidikan. Malang: Universitas  Negeri Malang.

Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak


Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Widyastuti, Aryani. http://aryaniwidhiastuti.blogspot.com/2012/12/sejarah-perkembangan-


antropologi-semest.html. di akses 8 September 2013

Efendi, M. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran: Pengantar ke Arah Pemahaman KBK,


KTSP, dan SBI. Malang: Universitas Negeri Malang.

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia
Jakarta : Rineka Cipta.
Ruswandi, Uus Hermawan Heris, A. Nurhamzah, 2008, Landasan Pendidikan, Bandung :
CV. Insan Mandiri.
Sutikno Sobry, 2008, Landasan pendidikan, Bandung : Prospect.
Fauzan, 2009, Landasan Sosial Budaya Sosial Budaya Pendidikan,
http://defauzan.wordpress.com, di akses 18-03-2011.
Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum,
2010, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai
Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa.
Anshoriy, Nasruddin. 2008. Pendidikan Berwawasan Kebangsaan: Kesadaran Ilmiah
Berbasis Multikulturalisme. Yogyakarta: LKiS.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta
Balai Pustaka.

31

Anda mungkin juga menyukai