Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

INTELEKTUALISME DAN SPIRITUALISME

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Dasar

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Yantoro, M.Pd

Kelompok 10 :

Fajar Prasetiawan (P2A623024)


Tio Tanra Azaria (P2A623027)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN DASAR


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAMBI
2023
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat, hidayah dan inayahnya kepada kita. Tidak lupa sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang membahas tentang “Intelektualisme, Spriritualisme,
dan Filsafat” yang diberikan oleh Bapak Dr. Yantoro, M.Pd, selaku dosen pembimbing mata
kuliah Filsafat Pendidikan, semoga makalah ini bermanfaat dan juga dapat memenuhi tugas
kelompok dengan baik. Amin

Dengan ini, kami juga meminta maaf jika ada kekurangan dalam makalah ini, dan tidak
lupa kami mohon kritik serta saran yang bersifat membangun dalam pembuatan makalah
selanjutnya. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan makalah ini. Selain itu, kami juga berterima kasih kepada para
penulis yang hasil karyanya telah kami kutip sebagai bahan rujukan.

Jambi, 1 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................................... ii


Daftar Isi.................................................................................................................................... iii
PENDAHULUAN...................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1
1.3. Tujuan ............................................................................................................................ 1
1.4. Manfaat .......................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
2.1. Hakikat Manusia ............................................................................................................ 3
2.2. Hubungan Intelektualisme, Spiritual dan Filsafat .......................................................... 4
2.3. Filsafat membentuk Intelektualisme .............................................................................. 4
2.4. Kecerdasan Intelektual ................................................................................................... 6
2.5. Filsafat membentuk Spiritualisme ................................................................................... 10
2.6. Kecerdasan Spiritual ....................................................................................................... 11
2.7. Kurikulum 2013 .............................................................................................................. 14
2.8. Kurikulum 2013 Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan ................................................. 16
PENUTUP..................................................................................................................................... 22
3.1. Kesimpulan ..................................................................................................................... 22
3.2. Saran ................................................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembahasan hubungan intelektualisme, spiritualisme, dan filsafat ini memerlukan suatu


kesadaran pemikiran kita sebagai hakikat manusia dengan kita akan mampu memberikan
sebuah gagasan kuat terkait intelektual manusia, spiritualisme manusia dalam berfilsafat. Jika
kita membuka kembali pengertian akan kebijaksanaan/pengetahuan. Melalui mencari dan
memikirkan suatu kebenaran sedalam-dalamnya artinya orang yang berfilsafat itu tidak
mudah mempercayai setiap informasi akan tetapi melakukan sebuah perenungan mendalam
untuk mencari kebenaran.

Pembahasan hubungan intelektual, spiritualisme, dan filsafat ini menjadi penting untuk
dibahas karena terdapat fenomena dimana seolah-olah ada pemisah antara intelektualisme,
spiritualisme, dan filsafat itu sendiri. Salah satu potongan fenomena yang ada disekitar kita
ini menunjukkan bahwa, oknum- oknum yang melakukan perubahan dari jendelanya
menunjukkan belum mampu mengintegrasikan antara, intelektualisme, spiritualisme, dan
filsafat itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa hubungan antara Intelektualisme, Spiritualisme, dan Filsafat?
2. Bagaimana filsafat membentuk intelektualisme?
3. Bagaimana filsafat membentuk spiritualisme?
4. Bagaimana filsafat dalam kurikulum 2013?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui hubungan antara Intelektualisme, Spiritualisme, dan Filsafat.
2. Untuk mengetahui filsafat membentuk intelektualisme.
3. Untuk mengetahui filsafat membentuk spiritualisme.
4. Untuk mengetahui filsafat dalam kurikulum 2013.

1.4 Manfaat
1. Pemahaman yang Lebih Mendalam: Makalah ini dapat membantu pembaca untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang intelektualisme dan

1
spiritualisme sebagai dua pendekatan berbeda dalam memahami eksistensi manusia
dan realitas.
2. Refleksi Diri dan Nilai: Makalah ini dapat mendorong pembaca untuk merenungkan
pandangan mereka sendiri tentang intelektualisme dan spiritualisme, dan bagaimana
pandangan ini dapat memengaruhi nilai-nilai dan keputusan mereka dalam kehidupan
sehari-hari.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Manusia


Manusia adalah makhluk yang sempurna, dengan ditandai dengan dimemilikinya
Fuad (akal pikiran dengan hati). Pikiran yang dimiliki oleh manusia senantiasa membuat
manusia memiliki rasa penasaran, ingin bertanya yang ada di sekitarnya dan bahkan
menanyakan terkait dirinya sendiri. Hakikat manusia dipelajari melalui berbagai pendekatan
(common sense, ilmiah, filosofis, religius dan politik) dan melalui berbagai sudut pandang
(biologi, sosiologi, antropologi psikologi dan politik).
Mencari pengertian manusia merupakan tugas metafisika, lebih spesifik lagi adalah
tugas antropologi (filsafat antropologi). Filsafat antropologi berupaya mengungkapkan
konsep atau gagasan-gagasan yang sifatnya mendasar tentang manusia, berupaya menemukan
karakteristik yang sifatnya mendasar antara manusia, berupaya menemukan karakteristik
secara prinsip manusia dari makhluk lainnya. Antara lain berkenaan dengan:
1. Asal usul keberadaan manusia, yang mempertanyakan apakah ber-ada-nya
manusia di dunia ini hanya kebetulan saja sebagai hasil evolusi atau hasil ciptaan
Ttuhan.
2. Struktur metafisika manusia, apakah yang esensial dari manusia itu badannya atau
jiwanya atau badan dan jiwa.
3. Berbagai karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia, antara lain
berkenaan dengan individualitas sosialitas (M.I. Soelaiman, 1988).
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pengertian hakikat manusia
adalah konsep atau gagasan yang berkaitan dengan eksistensi kehidupan seorang manusia.
Pengertian hakikat manusia dengan prinsip adanya manusia. Dengan kata lain, pengertian
hakikat manusia adalah seperangkat gagasan tentang sesuatu yang olehnya manusia memiliki
karakteristik khas yang memiliki suatu martabat khusus (Louis Leahy dalam AHF, 1985).
Aspek-aspek hakikat manusia, antara lain berkenaan dengan asal-usulnya (contoh: manusia
sebagai makhluk Tuhan), struktur metafisikanya (contoh: manusia sebagai kesatuan badan-
ruh), serta karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia (contoh: manusia sebagai
makhluk individual, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk
susila dan sebagai makhluk beragama).

3
2.2. Hubungan Intelektualisme, Spiritual dan Filsafat
Penjelasan tentang bagaimana hakekat manusia diatas membuat sangat jelas sekali
bahwa manusia menunjukkan makhluk yang sangat sempurna. Kesempurnaan manusia
disebabkan akan karunia Tuhan yang berupa akal atau pikiran beserta budi. Kekuatan akal
pikiran adalah ciri utama seseorang dalam berfilsafat sebagaimana Nasution (2012) yang
menyampaikan bahwa orang untuk berfilsafat perlu perenungan yang menggunakan akal
budinya dalam melihat sebuah realitas. Hal ini selaras dengan pendapatnya Azwar (2019)
mengemukakan bahwa berpikir menggunakan akal pikirannya secara refleksi rasional, kritis
dan radikal mengenai hal-hal dasar tentang kehidupan adalah poin inti dari berfilsafat.
Kedua pandangan tersebut dapat kita artikan bahwa orang yang sedang berfilsafat
sedang mengoptimalkan titipan anugerah terbesar dari Tuhan itu sendiri. Adapun dampak
dari seseorang yang sedang mengoptimalkan pikirannya melalui filsafat akan mempengaruhi
intelektualitas dan spiritualitas.

2.3. Filsafat membentuk Intelektualisme


Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), menjelaskan kata “intelektual”
berkaitan dengan kata “intelek”. Intelek berarti “istilah psikologi tentang daya atau proses
pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan, daya akal budi dan kecerdasan
berpikir. Kata intelek juga berkonotasi untuk menyebut kaum terpelajar atau kaum
cendekiawan sedangkan kata intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikiran
jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Kata intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang
memiliki kecerdasan tinggi atau juga disebut cendekiawan.
Intelek berasal dari kosakata latin “intellectus” yang berarti pemahaman, pengertian,
kecerdasan. Dalam pengertian sehari-hari kemudian berarti kecerdasan, kepandaian, atau
akal. Pengertian intelek ini berbeda dengan pengertian taraf kecerdasan atau intelegensi
intelek lebih menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya,
hal yang tergantung pada pelatihan dan pengalaman.
Dari pengertian istilah, intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat yang
menitikberatkan pada kognisi atau pengetahuan dalam kurung (intelektualitas) seseorang
(Sugiantoro: 2011). Begitu halnya Nasr (2004) filsafat didefinisikan sebagai suatu bidang
yang berkecimpung terkait intelektualitas. Sehingga kita dapat kita tarik sebuah kesimpulan
bahwa intelektualisme suatu paham yang mengedepankan pada budaya intelektual atau
mengorbankan pengetahuan dalam menyelesaikan permasalahan.

4
Dalam sejarah dunia filsafat telah membentuk kaum intelektual, intelektualisme
menjadi bagian hidup mereka. Pertama Plato, dalam membangun sebuah konsepsi keadilan,
kebenaran dan ajaran kebaikan maka manusia memerlukan intuisi untuk membangun ide.
Karena hal-hal yang nampak itu belum bisa dikatakan sebagai realitas sejati akan tetapi jika
direnungkan dalam industri sampai dalam sebuah alam ide maka itulah kebenaran realitas
yang sejati. Pemikiran Plato dalam kehidupan sehari-hari, misal contoh konsep pemikiran
adil seorang ibu memiliki dua anak yang satu sudah menempuh belajar sampai perguruan
tinggi sedangkan lainnya baru sekolah dia memberi uang saku yang sama itu bukanlah
tindakan yang adil. Maka menurut Plato diperlukan renungan yang mendalam sampai ke
Indonesia untuk memperoleh tindakan yang bijaksana dan adil.
Sedangkan Aristoteles kebenaran itu bisa diperoleh melalui cara rational, deduktif dan
empiris deduktif. Dengan pandangan pemikiran Aristoteles dengan menggunakan logika
sebagai organ hal ini mendorong ilmu pengetahuan seperti zoology, kedokteran dan fisika.
Gambaran umum ini bisa memprediksi apakah pernyataan itu benar secara intelektual atau
tidak dengan cara mengecek premisnya terlebih dahulu. Contoh ada pernyataan “jangan
menghidupkan korek api dekat dengan sepiteng nanti bisa meledak” apakah pernyataan ini
benar dalam pemikiran kita maka perlu kita cek kebenaran logikanya.
a. Semua tinja yang mengandung gas metana.
b. Tinja biasanya terkumpul dalam sapiteng.
c. Gas metana memicu terjadinya peledakan jika terkena api.
Dengan adanya tiga informasi ini berarti kita bisa meyakini bahwa ada larangan
menyalakan korek api ketika dekat dengan sapiteng. Sehingga seorang yang memiliki sudut
pandang intelektualisme akan selalu memikirkan setiap tindakannya dan akan mengkritisi
apapun untuk mendapatkan sebuah kebenaran.
Begitu halnya dalam sejarah perkembangan peradaban Islam peran dari filsafat sangat
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri (Rizem: 2015).
Berawal pada masa Khalifah Abbasiyah ke-7 Al-Makmun (813-833 M), masyarakat ideal
masa depan hanya bisa diwujudkan melalui ilmu pengetahuan dan rasionalisme. Untuk
mencapai berbagai bidang ilmu pengetahuan yang ada di seluruh kerajaan harus dikumpulkan
di satu lokasi terpusat. Ia yakin jika para cendekiawan terbaik di dunia islam dapat
dikumpulkan untuk saling belajar satu sama lain, akan terbukalah kemungkinan yang tak
terbatas. Pada masa ini sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan disebut juga
sebagai puncak keemasan.

5
Dengan pemikiran tersebut ia mendirikan institut pendidikan di Baghdad yang dikenal
dengan rumah Hikmah (Bayt Al-Hikmah). Dalam institusi ini, universitas, perpustakaan,
badan penerjemah dan lab penelitian dalam satu kampus. Kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan, jika seorang cendekiawan menerimakan buku apapun dari bahasa asli ke bahasa
Arab, ia akan mendapat emas seberat buku itu.
Pada masa kekuasaannya karya yang banyak diterjemahkan dan dalam ilmu-ilmu
praktis, seperti kedokteran, astronomi dan matematika pun juga diterjemahkan. Sedangkan
karya-karya yang berupa puisi, cerpen dan sejarah jarang bermanfaat. Sementara itu dalam
bahasa Arab, perkembangan ilmu di bidang itu sangatlah maju.
Setidaknya ada 3 alasan kemajuan peradaban istilah dipertimbangkan (Halim: 2016).
Pertama, menghidupkan filsafat filsafat Islam klasik melalui upaya penyuntingan (tahqiq)
buku-buku filsafat yang ditulis oleh para filsuf muslim klasik. Upaya ini disusul dengan
memberikan kajian singkat dan mendalam tentang karya-karya tersebut. Jika diperlukan,
menerjemahkannya ke dalam bahasa-bahasa yang terutama bahasa Inggris. Kedua
memperkenalkan filsafat barat modern dan penerjemahan karya-karya filsuf Barat ke dalam
bahasa Arab, serta mengusahakan pengkajian dan studi-studi mendatar atas karya-karya
tersebut. Dan ketiga, menulis dan menciptakan sendiri tema-tema filsafat yang berhubungan
dengan realitas kontemporer ataupun sebagai reaksi dari isi-isu filsafat yang sudah ada.

2.4.Kecerdasan Intelektual
1. Pengertian kecerdasan intelektual
Dalam kamus besar bahasa Indonesia intelektual berarti cerdas, dan berpikiran jernih
berdasarkan Ilmu pengetahuan.20Istilah intelek menurut Chaplin dalam Soepawarto berasal
dari kata intellec (bahasa inggris), yang berarti; proses kognitif berfikir, daya yang
menghubungkan serta kemampuan menilai dan mempertimbangkan, kemampuan mental atau
intelegensi". Cerdas sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir), sedangkan
intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan
pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain.
Kecerdasan intelektual (bahasa Inggris: intelligence quotient, disingkat IQ) adalah
istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah
kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir
abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya
dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan
menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang

6
menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental yang dimiliki manusia berdasarkan
perbandingan usia kronologis.
Kecerdasan intelektual dalam arti umum adalah suatu kemampuan umum yang
membedakan kualitas orang yang satu dengan yang lain. Kecerdasan intelektual ini
dipopulerkan pertama kali oleh Francis Galton, seorang ilmuwan dan ahli matematika yang
termuka dari inggris. Kecerdasan dapat definisikan sebagai bakat umum untuk belajar atau
kemampuan untuk mempelajari dan menggunakan pengetahuan atau ketrampilan.23
Kecerdasan intelektual juga lazim disebut sebagai intelegensi yang merupakan kemampuan
kognitif yang dimiliki seseorang untuk menyesuaikan diri secara efektif pada lingkungan
yang kompleks dan selalu berubah serta dipengaruhi oleh faktor genetik.
Sedangkan menurut Howard Gardner, seorang psikolog terkemuka dari Universitas
Harvard, menyatakan ada delapan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, diantaranya
adalah:
1) Kecerdasan linguistik
Orang yang memiliki kecerdasan ini merupakan seseorang yang pandai mengolah
kata-kata saat berbicara maupun menulis. Orang tipe ini biasanya gemar mengisi TTS,
bermain scrable, membaca, dan bisa mengartikan bahasa tulisan dengan jelas. Jika orang
memiliki kecerdasan ini, maka pekerjaan yang cocok adalah jurnalis, penyair, atau
pengacara.
2) Kecerdasan logis-matematis
Kecerdasan logis-matematis ini adalah orang yang memiliki kecerdasan dalam hal
angka dan logika. Mereka mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi, berpikir dalam
pola sebab akibat, menciptakan hipotesis, dan pandangan hidupnya bersifat rasional.
Pekerjaan yang cocok jika memiliki kecerdasan ini adalah ilmuwan, akuntan, atau
progammer.
3) Kecerdasan spasial
Kecerdasan spasial mencakup berpikir dalam gambar serta kemampuan untuk
menyerap mengubah dan menciptakan kembali berbagai macam aspek dunia visual-
spasial.30 Mereka yang termasuk ke dalam tipe ini memiliki kepekaan tajam untuk visual,
keseimbangan, warna, garis, bentuk, dan ruang. Selain itu, mereka juga pandai membuat
sketsa ide dengan jelas. Pekerjaan yang cocok untuk tipe kecerdasan ini adalah arsitek,
fotografer, desainer, pilot, atau insinyur.
4) Kecerdasan kinetik dan jasmani

7
Orang tipe ini mampu mengekspresikan gagasan dan perasaan. Mereka menyukai
olahraga dan berbagai kegiatan yang mengandalkan fisik. Pekerjaan yang cocok untuk
mereka adalah atlet, pengrajin, montir, dan penjahit.
5) Kecerdasan musikal
Mereka yang termasuk ke dalam tipe ini mampu mengembangkan,
mengekspresikan, dan menikmati bentuk musik dan suara. Ciri-ciri orang yang memiliki
kecerdasan musikal yaitu suka bersiul, mudah menghafal nada lagu yang baru didengar,
menguasai salah satu alat musik tertentu, peka terhadap suara sumbang, dan gemar
bekerja sambil bernyanyi. Pekerjaan yang cocok untuk mereka adalah penyanyi atau
pencipta lagu.
6) Kecerdasan interpersonal
Orang tipe ini biasanya mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi,
watak, dan temperamen orang lain. Selain itu, mereka juga mampu menjalin kontak mata
dengan baik, menghadapi orang lain dengan penuh perhatian, dan mendorong orang lain
menyampaikan kisahnya. Pekerjaan yang cocok untuk orang tipe ini antara lain
networker, negosiator, atau guru.
7) Kecerdasan intrapersonal
Orang tipe ini memiliki kecerdasan pengetahuan akan diri sendiri dan mampu
bertindak secara adaptif berdasarkan pengenalan diri. Ciri-cirinya yaitu suka bekerja
sendiri, cenderung cuek, sering mengintropeksi diri, dan mengerti kekuatan dan
kelemahan yang dimilikinya. Pekerjaan yang cocok untuk mereka yaitu konselor atau
teolog.
8) Kecerdasan naturalis
Kecerdasan naturalis adalah kemampuan dan kepekaan terhadap alam sekitar.
Orang yang memiliki kecerdasan ini mampu memahami dan menikmati alam dan
menggunakannya secara produktif serta mengembangkan pengetahuannya mengenai
alam. Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan ini yaitu mencintai lingkungan, mampu
mengenali sifat dan tingkah laku hewan, dan senang melakukan kegiatan di luar atau
alam. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh petani, nelayan, pendaki, dan pemburu.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan intelektual
Menurut Ngalim Purwanto kecerdasan intelektual manusia dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:

8
1) Pembawaan
Pembawaan ditentukan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir, yakni dapat
tidaknya memecahkan suatu soal, pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita.
2) Kematangan
Setiap organ di dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Setiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika telah mencapai
kesanggupan menjalankan fungsinya masingmasing. Anak-anak tidak dapat memecahkan
soal-soal tertentu, karena soalsoal itu terlampau sukar. Organ-organ tubuhnya masih
belum matang untuk melakukan mengenai soal itu. Kematanganberhubungan erat dengan
umur.
3) Pembentukan
Pembentukkan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi
perkembangan intelegensi. Dapat kita bedakan dengan sengaja (seperti yang dilakukan di
sekolah-sekolah) dan pembentukkan tidak sengaja.
4) Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi
kegiatan itu. Dalam diri manusia berinteraksi dengan dunia luar (manipulate and
exploring motive). Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar,
akan timbul minat terhadap sesuatu. Yang menarik minat seseorang mendorongnya untuk
berbuat lebih giat dan lebih baik.
5) Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam
memecahkan masalah-masalah. Faktor-faktor yang lain dari kecerdasan intelektual
adalah:
a) Mudah mempergunakan bilangan.
b) Ingatan.
c) Kemampuan menangkap hubungan percakapan/bahasa.
d) Tajam penglihatan.
e) Kemampuan numeri kesimpulan dari data-data yang ada.
f) Cepat mengamati.
g) Pemecahan masalah.
3. Indikator kecerdasan intelektual
Menurut Louis Leon Thurstone , Intelegensi mempunyai beberapa indikator antara lain:
1) Verbal comprehension yaitu kemampuan memahami makna kata.

9
2) Word fluency yaitu kemampuan memikirkan kata secara tepat, seperti penukaran
huruf dalam kata sehingga kata itu mempunyai pengertian lain, atau memikirkan kata-
kata yang bersajak.
3) Number yaitu kemampuan bekerja dengan angka dan melakukan perhitungan.
4) Space yaitu kemampuan memvisualisasi hubungan bentuk ruang,seperti mengenali
gambar yang sama yang disajikan dengan sudut pandang yang berbeda.
5) Memory yaitu kemampuan mengingat stimulus verbal.
6) Perceptual speed kemampuan menangkap rincian visual secara cepat serta melihat
persamaan dan perbedaan diantara objek yang tergambar.
7) Reasoning yaitu kemampun menemukan aturan umum berdasarkan contoh yang
disajikan, seperti menentukan bentuk keseluruhan rangkian setelah disajikan sebagian
sebagian dari rangkian tersebut.

2.5. Filsafat membentuk Spiritualisme


Mengawali pembahasan terkait filsafat membentuk spiritualisme maka akan lebih
relevan jika mengulas kembali perspektif tentang filsafat. Bagi orang barat titik berat filsafat
adalah mencari hikmah. Hikmah dicari untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, apa itu,
darimana, hendak ke mana dan bagaimana. Dengan kata lain filsafat adalah untuk mengetahui
sesuatu. Baik para filsuf Barat maupun Timur mereka akan memiliki pandangan yang sama
bila sudah sampai pada pertanyaan “apa yang pertama kali ada, dan apa yang paling terakhir
bertahan dalam alam semesta ini?”. Untuk mencari hikmah yang sebenarnya untuk mencapai
puncak pengetahuan tinggi yaitu Tuhan yang Maha mengetahui dan Maha kuasa, filsafat ini
menuju ke spiritualitas (agama) (Jalaluddin dan Abdullah: 2013).
Sudut pandang yang memikirkan adanya “keberadaan” merupakan cabang filsafat
ontologism. Ontologis pertama kali diperkenalkan Rudolf Goc tahun 1936 M, dengan
merujuk pada hakikat atau sifat dasar dari “segala yang ada” bersifat metafisis (Latif, 2014).
Metafisis dalam hal ini dibagi menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus.
Umum yang dimaksud merupakan istilah lain dari ontologi yakni bagian dari falsafah yang
mengkaji seputar esensi dan segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus
memusatkan perhatian pada ihwal kosmologi dan teologi seperti mengkaji mengenai Tuhan.
Istilah kedua metafisika yaitu, metafisika khusus. tidak dapat digapai oleh akal karena
berkaitan dengan aspek transenderisi yang berada di luar batas tangkapan indra manusia.
Aristoteles (dalam jalaluddin, 2013) merupakan lebih kurang tidak jauh berbeda
mengenai metal fisika yakni sebagai yang ada dan sebagai yang Ilahi. “Sebagai yang ada”,

10
menandai bentuk pengetahuan yang mengkaji suatu hal dalam bentuk semurni-murninya,
bahwa suatu “benda” atau “zat” benar sungguh ada dalam anti tidak terkena oleh perubahan.
Kajian “sebagai yang ada” pada hal ini masih berada dalam ranah yang masih bisa dijangkau
oleh indra ataupun akal. Sementara sebagai yang Ilahi, menelaah mengenai keberadaan dia
yang mutlak yang tidak tergantung pada yang lain. Segi pembahasan ontologi dalam makna
yang Ilahi tidak dapat dicapai dan ditangkap oleh indriawi (Azwar: 2019).
Dengan demikian apabila manusia berfilsafat terus bertanya terkait hakikat
keberadaan itu sendiri maka pada akhirnya manusia akan menemukan Tuhannya.
Sebagaimana pandangan filsuf Islam dan imam Ghozali juga menjelaskan bahwa mengenal
diri adalah kunci mengenal Allah, hal ini sesuai dengan ungkapan “ Man’arafa Nafsahu
‘arafa rabbahu” yang artinya “barangsiapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Rabb-
nya”. Orang yang mengenal dirinya akan menyadari keterbatasan yang dimiliki dan akhirnya
dia akan meyakini dengan sepenuh hati bahwa ada kekuatan lain yaitu Tuhan yang Maha
Kuasa di balik segalanya.

2.6. Kecerdasan Spiritual


1. Pengertian kecerdasan spiritual
Kata kecerdasan spiritual terdiri dari dua kata “kecerdasan” dan “spiritual”. Menurut
kamus besar bahasa indonesia kecerdasan yaitu kesempuraan akal budi seperti; kepandian,
ketajaman pikiran. Sedangkan kata kecerdasan menurut psikologi yaitu kemampuan
menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara tepat dan efektif.
Menurut Zohar dan Marshall kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna atau nilai, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan yang lain.
Ciri-ciri seseorang yang mempunyai kecerdasan spiritual menurut Danah Zohar Ian
Marshall, yaitu :
1) Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
5) Kualitas hidup yang dilandasi visi dan nilai-nilai
6) Keengganan menyebabkan kerugian yang tidak perlu

11
7) Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (holistik)
8) Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika” untuk
mencari jawaban-jawaban yang mendasar
9) Bidang mandiri atau Kemampuan untuk bekerja di luar konvensi
Dalam perspektif Islam, dimensi spiritualitas senantiasa berkaitan secara langsung
dengan realitas Ilahi, Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Spiritualitas bukan sesuatu yang asing
lagi bagi manusia, karena merupakan inti (core) kemanusiaan itu sendiri. Spiritualitas agama
(religious spirituality) berkenaan dengan kualitas mental (kesadaran), perasaan, moralitas,
dan nilai-nilai luhur lainnya yang bersumber dari ajaran agama. Spiritualitas agama bersifat
Ilahiah, bukan bersifat humanistik lantaran berasal dari Tuhan.
Kecerdasan spiritual dalam islam secara normatif hukum Islam memang tidak ada,
tetapi apabila ditarik benang merah sesuai dengan maknanya kecerdasan spiritual lebih
cenderung pada makna kecerdasan ruhiah (hati/qalb). Spiritual menurut imam Al-Ghozali
dikenal dengan kata “al-ruh” dimana ia merupakan sifat halus manusia yang dapat
menangkap segala pengertian dan ruh bersifat ketuhanan. Ruh juga berhubungan erat dengan
hati (qalb). kecerdasan ruhiyah atau spiritual sangat di tentukan oleh upaya untuk
membersihkan dan memberikan pencerahan qolbu (tazkiyah, tarbiyatul qulub). Sehingga
mampu memberikan nasihat dan arahan tindakan serta caranya mengambil keputusan.
2. Faktor-faktor kecerdasan spiritual
Zohar dan Marshall mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kecerdasan spiritual yaitu:
1) Sel saraf otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah. Ia mampu
menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes, adaptif dan mampu
mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an
dengan menggunakan WEG (Magneto – Encephalo – Graphy) membuktikan
bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan
spiritual.
2) Titik Tuhan (God spot)
Ada bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman
religious atau spiritual berlangsung yang disebut sebagai titik Tuhan atau God
Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologisyang menentukan dalam pengalaman
spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam

12
kecerdasan spiritual. Perlu adanya integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh
aspek dari dan seluruh segi kehidupan.
3. Indikator-indikator kecerdasan spiritual
Pada hakikatnya orang-orang yang cerdas spiritualnya menurut Toto Tasmara akan
memiliki indikator-indikator sebagai berikut :
1) Merasakan kehadiran Allah
Mereka yang bertanggung jawab dan cerdas secara ruhaniah, merasakan kehadiran
Allah dimana saja mereka berada. Mereka meyakini bahwa salah satu produk dari
keyakinannya beragama antara lain melahirkan kecerdasan spiritual yang
menumbuhkan perasaan yang sangat mendalam (zauq) bahwa dirinya senantiasa
berada dalam pengawasan Allah.
2) Berdzikir dan berdoa
Berdzikir dan berdoa merupakan sarana sekaligus motivasi diri untuk menampakkan
wajah seseorang yang bertanggung jawab.Mereka yang cerdas secara rohani
menyadari bahwa doa mempunyai makna yang sangat mendalam bagi dirinya.
Dengan berdoa, berarti ada rasa optimsme yang mendalam di hati dan masih
semangat untuk melihat kedepan.
3) Sabar
Kata sabar bermakna mencegah, mengekang atau menahan jiwa dari perasaan cemas,
menahan lisan dari berkeluh kesah dan menahan anggota badan. Dalam kandungan
kualitas sabar, terdapat sikap istiqomah (4 C: commitment, consistence, consequences,
continous), sabar berarti tidak bergeser dari jalan yang mereka tempuh.
4) Empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami orang lain, merasakan dan
mendengarkan debar jantung mereka sehingga mampu beradaptasi dengan merasakan
kondisi batin dari orang lain. Dalam kitab Al-Qur‟an dan tafsirnya, dijelaskan bahwa
“Nabi Muhammad selalu belas kasihan dan amat penyayang kepada kaum muslimin,
keinginan ini tampak pada tujuan risalah yang disampaikan beliau, yaitu agar manusia
hidup bahagia di dunia dan akhirat
5) Berjiwa besar
Jiwa besar adalah keberanian untuk memaafkan dan sekaligus melupakan kesalahan
yang pernah dilakukan orang lain. Orang yang cerdas spirituannya adalah orang yang
yang mampu memaafkan orang lain , karena menyadari bahwa sikap pemberian maaf
bukan saja bukti kesalahan melainkan salah satu bentuk tanggung jawab hidupnya.

13
6) Jujur
Salah satu dimensi kecerdasan spiritual terletak pada nilai kejujuran yang merupakan
mahkota kepribadian orang-orang yang mulia. kejujuran adalah komponen ruhani
yang memantulkan berbagai sikap terpuji (honorable, creditable, respectable,
maqamam mahmudah) orang yang jujur yakni orang yang berani menyatakan sikap
secara trasparan, dari segala kepalsuan dan penipuan.

2.7. Kurikulum 2013


Nasution (1988) menjelaskan dua macam kurikulum, yaitu kurikulum formal dan
kurikulum informal (hidden curriculum). Kurikulum 2013 adalah termasuk kurikulum formal
atau resmi karena direncanakan, terjadwal secara resmi, dan merupakan keputusan politik
pemerintah Repubik Indonesia. Kurikulum 2013 merupakan kebijakan pendidikan yang
dikeluarkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Kebijakan ini
didasarkan pada landasan yuridis yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan
Pemerintah nomor 19 tahun 2005, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23
tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (Kemendikbud, 2012:1).
Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan standar dan
teori pendidikan berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan
yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal hasil belajar yang berlaku untuk
setiap kurikulum. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar Kompetensi Lulusan.
Standar Kompetensi Lulusan tersebut adalah kualitas minimal lulusan suatu jenjang atau
satuan pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan (PP nomor 19 tahun 2005). Standar Kompetensi Lulusan dikembangkan
menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yaitu SKL SD, SMP, SMA, SMK.
Standar Kompetensi Lulusan satuan pendidikan berisikan 3 (tiga) komponen yaitu
kemampuan proses, konten, dan ruang lingkup penerapan komponen proses dan konten.
Komponen proses adalah kemampuan minimal untuk mengkaji dan memproses
konten menjadi kompetensi. Komponen konten adalah dimensi kemampuan yang menjadi
sosok manusia yang dihasilkan dari pendidikan. Komponen ruang lingkup adalah keluasan
lingkungan minimal di mana kompetensi tersebut digunakan, dan menunjukkan gradasi
antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan di atasnya serta jalur satuan
pendidikan khusus (SMK, SDLB, SMPLB, SMALB) (Kemendikbud, 2012). Kompetensi

14
adalah kemampuan seseorang untuk bersikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan
untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan tempat yang
bersangkutan berinteraksi.
Kurikulum dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi
peserta didik untuk mengembangkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperlukan
untuk membangun kemampuan tersebut. Hasil dari pengalaman belajar tersebut adalah hasil
belajar peserta didik yang menggambarkan manusia dengan kualitas yang dinyatakan dalam
SKL (Kemendikbud, 2012).
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU nomor 20 tahun 2003; PP
nomor 19 tahun 2005). Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang dirancang,
baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan,
konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan pembelajaran yang didasarkan pada
Standar Kompetensi Lulusan (Kemendikbud, 2012). Konten pendidikan dalam SKL
dikembangkan dalam bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang pendidikan sebagai
suatu rencana tertulis (dokumen) dan kurikulum sebagai proses (imple- mentasi). Pada
dimensi sebagai rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan SKL menjadi konten
kurikulum yang berasal dari prestasi bangsa di masa lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan
kehidupan bangsa di masa mendatang. Pada dimensi rencana tertulis, konten kurikulum
tersebut dikemas dalam berbagai mata pelajaran sebagai unit organisasi konten terkecil. Pada
setiap mata pelajaran terdapat konten spesifik yaitu pengetahuan dan konten berbagi dengan
mata pelajaran lain yaitu sikap dan keterampilan. Secara langsung, mata pelajaran menjadi
sumber bahan ajar yang spesifik dan berbagi untuk dikembangkan dalam dimensi proses
suatu kurikulum (Kemendikbud, 2012).
Kurikulum dalam dimensi proses adalah realisasi ide dan rancangan kurikulum
menjadi suatu proses pembelajaran. Guru adalah tenaga kependidikan utama yang
mengembangkan ide dan rancangan tersebut menjadi proses pembelajaran. Pemahaman guru
tentang kurikulum akan menentukan rancangan guru (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran/RPP) dan diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Peserta didik
berhubungan langsung dengan apa yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran dan
menjadi pengalaman langsung peserta didik. Apa yang dialami peserta didik akan menjadi
hasil belajar pada dirinya dan menjadi hasil kurikulum. Oleh karena itu, proses pembelajaran
harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan

15
potensi dirinya menjadi hasil belajar yang sama atau lebih tinggi dari yang dinyatakan dalam
Standar Kompetensi Lulusan (Kemendikbud, 2012).
Kurikulum berbasis kompetensi adalah “outcomes-based curriculum” dan oleh
karenanya pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang
dirumuskan dari SKL. Demikian pula penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur dari
pencapaian kompetensi. Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian kompetensi
yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh seluruh peserta didik (Kemendikbud, 2012).
Ada delapan karakteristik kurikulum berbasis kompetensi:
Pertama, isi atau konten kurikulum adalah kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk
Kompetensi Inti (KI) mata pelajaran dan dirinci lebih lanjut ke dalam Kompetensi Dasar
(KD). Kedua, Kompetensi Inti (KI) merupakan gambaran secara kategorial mengenai
kompetensi yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, bidang
mata pelajaran. Ketiga, kompetensi Dasar (KD) merupakan kompetensi yang dipelajari
peserta didik untuk suatu mata pelajaran di kelas tertentu. Keempat, penekanan kompetensi
ranah sikap, keterampilan kognitif, keterampilan psikomotorik, dan pengetahuan untuk suatu
satuan pendidikan dan mata pelajaran ditandai oleh banyaknya KD suatu mata pelajaran.
Untuk SD, pengembangan sikap menjadi kepedulian utama kurikulum. Kelima, Kompetensi
Inti menjadi unsur organisatoris kompetensi bukan konsep, generalisasi, topik atau sesuatu
yang berasal dari pendekatan disciplinary–based curriculum atau content-based curriculum.
Keenam, Kompetensi Dasar yang dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif,
saling memperkuat dan memperkaya antar mata pelajaran. Ketujuh, proses pembelajaran
didasarkan pada upaya menguasai kompetensi pada tingkat yang memuaskan dengan
memperhatikan karakteristik konten kompetensi di mana pengetahuan adalah konten yang
bersifat tuntas (mastery). Keterampilan kognitif dan psikomotorik adalah kemampuan
penguasaan konten yang dapat dilatihkan. Adapun sikap adalah kemampuan penguasaan
konten yang lebih sulit dikembangkan dan memerlukan proses pendidikan yang tidak
langsung. Kedelapan, penilaian hasil belajar mencakup seluruh aspek kompetensi, bersifat
formatif dan hasilnya segera diikuti dengan pembelajaran remedial untuk memastikan
penguasaan kompetensi pada tingkat memuaskan (Kriteria Ketuntasan Minimal/KKM dapat
dijadikan tingkat memuaskan) (Kemendikbud, 2012).

2.8. Kurikulum 2013 Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan


Kurikulum adalah bagian dari ilmu pendidikan, sedangkan filsafat adalah induk dari
ilmu pengetahuan (mother of science). Agar kurikulum 2013 yang merupakan bagian dari

16
disiplin ilmu pendidikan bisa dipahami secara lebih mendalam dan dapat menghasilkan
kebijakan (wisdom) maka perlu dikaji dalam kajian filsafat.
Secara eksplisit dikatakan bahwa Kurikulum 2013 tidak mengikuti satu aliran filsafat
pendidikan, baik aliran filsafat perenialisme, esensialisme, progresivisme, maupun
rekonstruksionisme, namun mengikuti aliran-aliran filsafat tersebut secara eklektik
(Kemendikbud, 2013). Dengan kata lain, landasan filosofis yang digunakan oleh Kurikulum
2013 diambil dari berbagai aliran filsafat pendidikan. Hemat penulis kurikulum 2013
bercorak filsafat aliran perenialisme, idealisme, progresivisme dan rekonstruksionisme.
1. Kurikulum 2013 dan filsafat idealisme
a) Pandangan ontologis bahwa realitas spiritual, moral, dan mental itu bersifat
stabil dan tidak berubah, tinggal mengukuti ajaran yang otoritatif (Ornstein
dan Hunkins, 2004). Realitas spiritual, moral dan mental bersifat ideal
didasarkan pada berbagai sumber sebagai berikut. Pertama, karya-karya besar
berupa kitab suci agama seperti al-Qur’an, Hadits dalam tradisi agama Islam;
Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda dalam tradisi agama
Hindu; Tripitaka dalam tradisi agama Buddha; Taurat dalam tradisi agama
Yahudi; Injil (Bible) Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam tradisi agama
Kristen Katolik dan Protestan. Kedua, ajaran para nabi, rasul, dan pembawa
ajaran agama ketika agama pada tahap formasi dan konsolidasi pada awal
berdirinya suatu agama seperti: Nabi Muhammad SAW dalam agama Islam,
Jesus dalam agama Katolik dan Protestan, Buddha Gaotama dalam agama
Buddha, dan Musa dalam agama Yahudi. Ketiga, karya-karya dan kontribusi
para pemuka agama yang otoritatif yang pernah hidup atau dekat dengan para
nabi.
b) Secara epistemologis aliran ini memikirkan ulang ide yang terpendam.
c) Peran guru adalah membawa pengetahuan dan ide yang terpendam; pemikiran
abstrak adalah bentuk yang paling sempurna.
d) Penekanan kurikulum didasarkan pada pengetahuan, mata pelajaran,
pengetahuan klasik dan pengetahuan umum, hirarki mata pelajaran; filsafat,
teologi dan sun dari data, fakta, konsep, preposisi, aksioma, hipotesis, dan
teori.
Secara epistemologis, ilmu humaniora seperti: filsafat, matematika, teologi, dan seni
tidak disusun dengan menggunakan cara penelitian ilmiah seperti yang dilakukan dalam
tradisi ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Filsafat, matematika, dan teologi

17
disusun dengan pendekatan rasional, melalui pemikiran mendalam sehingga menghasilkan
kebenaran yang dapat diterima secara logis.
Berdasarakan alasan inilah, dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 kedaulatan guru,
dalam satuan pendidikan seperti sekolah dikurangi kewenangan dan partisipasinya dalam
mengkreasi dan mengembangkan kurikulum. Kurikulum 2013 ditentukan oleh pemerintah
pusat, sekolah tinggal melaksanakannya. Materi mata pelajaran sudah menjadi produk jadi
yang dirumuskan oleh para ahli. Tugas guru tinggal menyampaikan mata pelajaran yang
sudah jadi tersebut tanpa mengubahnya sedikitpun. Menurut Kurikulum 2013, pemikiran
abstrak adalah bentuk yang paling sempurna. Penekanan kurikulum didasarkan pada
pengetahuan, mata pelajaran, pengetahuan klasik dan pengetahuan umum, hirarki mata
pelajaran; filsafat, teologi, dan matematika adalah yang paling penting dibandingkan dengan
mata pelajaran atau bidang studi lain.
2. Kurikulum 2013 dan filsafat perenialisme
a) Filsafat perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir
pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang
situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan
ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio
kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-
prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan
teruji.
b) Tujuan pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran adalah untuk memproses
peserta didik menjadi orang yang rasional dan memiliki kapasitas intelektual
yang memadai.
c) Pengetahuan yang menjadi muatan proses pendidikan dan pembelajaran
adalah pengetahuan warisan dari generasi terdahulu, studi yang permanen dan
pengetahuan yang selalu relevan pada segala zaman.
d) Secara metodologis, ragam metode yang dapat digunakan dalam penyampaian
materi pelajaran antara lain: menggunakan metode Sokrates, guru sebagai
fasilitator dalam pembelajaran; melalui ceramah lisan, guru sebagai tutor atau
narasumber dalam pembelajaran; pengajaran nilai tradisional secara eksplisit,
guru menjadi model atau suri teladan dalam pembelajaran.

18
e) Kurikulum 2013 bertujuan mendidik para siswa untuk dapat berpikir secara
rasional, dan memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Ukuran
intelektualitas diukur dari kemampuan para siswa untuk menghafal berbagai
materi keilmuan dari berbagai cabang, baik bidang ilmu pengetahuan alam
(natural science), ilmu pengetahuan sosial (social science), dan ilmu
humaniora.
f) Dalam Kurikulum 2013, guru bertugas membantu para siswa agar mereka
dapat berpikir secara rasional dengan menggunakan metode Sokrates. Guru
bertindak sebagai fasilitator yang mengasah kecerdasan murid. Ketika
menggunakan metode Sokrates, guru dituntut untuk memiliki keterampilan
sebagai fasilitator yang baik; dia harus memiliki kemampuan mendengar,
menggarisbawahi, menyajikan alternatif, dan membiarkan para siswa
membuat pilihan sikap ilmiah atas kebenaran yang diyakininya. Guru memberi
kesempatan para siswa aktif mengkonstruk pengalaman belajarnya sendiri,
baik pada aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Guru sebagai
orang yang dianggap memiliki kualifikasi akademik, ilmiah menyampaikan
materi tentang pengetahuan yang permanen dan abadi meliputi: ilmu-ilmu
sosial (social sciences) seperti sosiologi, antropologi, ilmu ekonomi, ilmu
sejarah; ilmu-ilmu alam (natural science) seperti ilmu fisika, ilmu biologi,
ilmu kimia; ilmu-ilmu humaniora seperti teologi dan matematika.
g) Menurut filsafat pendidikan perenialisme, dalam Kurikulum 2013 juga
digunakan metode pembelajaran secara expositori. Materi pelajaran
disampaikan dengan menggunakan metode ceramah. Guru berceramah
menyampaikan materi pelajaran, sedangkan siswa dengan seksama
mendengarkan ceramah dari guru.
Fokus Kurikulum 2013 menurut filsafat pendidikan perenialisme adalah mata
pelajaran klasik, analisis literal, dan kurikulum konstan. Mata pelajaran klasik seperti
sejarah, tradisi agama, tradisi budaya, sastra, filsafat, seni, karya ilmu-ilmu sosial,
ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu humaniora yang telah tercantum dalam great book, seperti
ensiklopedia.
3. Kurikulum 2013 dan filsafat esensialisme
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya
dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah.
Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar

19
intelektual dan moral di antara kaum muda. Menurut filsafat pendidikan esensialisme,
dalam Kurikulum 2013, guru dianggap sebagai orang yang memiliki otoritas keimuan
pada bidang studi yang diajarkan.
Guru dianggap sebagai orang yang telah menjalani proses pendidikan yang
panjang sebelum dia menduduki jabatan guru. Guru memiliki berbagai kemampuan
atau kompetensi dalam pembawaan diri, komunikasi sosial, keterampilan mengajar,
dan penguasaan materi bidang studi. Guru adalah ilmuan sekaligus guru pengajar.
Guru menjadi aparatus kebenaran ilmiah pada suatu bidang studi yang
mengajarkannya sebagian besar secara ekspositori atau penyampaian secara langsung.
Sebagai aparatus kebenaran ilmiah, guru diperkenankan menegakkan disiplin
keilmuan dengan cara memberikan hadiah (reward) bagi siswa yang mendukung atau
sejalan dengan kebenaran Ilmiah, dan disiplin dalam belajar. Guru juga diberi hak
untuk menghukum (punishment) terhadap siswa yang menyalahi kebenaran ilmiah
dan tidak disiplin dalam belajar. Berdasarkan filsafat pendidikan esensialisme, dalam
Kurikulum 2013, guru juga mengajarkan cara hidup, dan tradisional yang hidup di
dalam masyarakat yang mencakup aspek nilai, perilaku, dan sikap. Hal ini mencakup
ajaran agama dan ajaran budaya yang hidup di masyarakat.
4. Kurikulum 2013 dan filsafat Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri
sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada
tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini
mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak
bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Progresivisme sebagai aliran
yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat.
Dalam konteks filsafat pendidikan progresivisme adalah suatu aliran yang
menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan
pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang
mengarah pada pelatihan kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga
mereka dapat berfikir secara sistematis melalui care-care ihniah seperti memberikan
analisis, pertimbangan, dan perbuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang
paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Progresivisme juga
merupakan pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat:
a. Fleksibel (Tidak kaku, tidak menolak perubahan,dan tidak terikat oleh dokrin
tertentu)

20
b. Curious (Ingin mengetahui, ingin menyelidiki)
c. Toleran dan open-minded (Mempunyai hati terbuka)
5. Kurikulum 2013 dan filsafat rekonstruksionisme \
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia
merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Oleh karenanya, pembinaan
kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia
melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar demi generasi
sekarang dan generasi yang akan dating, sehingga terbentuk dunia baru dalam
pengawasan umat manusia.
Aliran ini memersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia
yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai
oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi mesti menjadi kenyataan sehingga dapat
diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan
kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa
membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan
masyarakat bersangkutan.
Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa aliran rekonstruksionisme bercita-cita
untuk mewujudkan suatu dunia dimana kedaulatan nasional berada dalam
pengayoman atau subordinat dari kedaulatan dan otoritas internasional.

21
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hakikat manusia adalah konsep atau gagasan yang berkaitan dengan eksistensi
kehidupan seorang manusia. Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan prinsip
adanya manusia. orang yang sedang berfilsafat sedang mengoptimalkan titipan anugrah
terbesar dari Tuhan itu sendiri. Adapun dampak dari seseorang yang sedang
mengoptimalkan pikiranya melalui filsafat akan mempengaruhi intelektualitas dan
spiritulitas. Hubungannya seperti filsafat itu menjadi induk atau penyebab adanya
intelektualisme dan juga spritualisme manusia.

3.2.Saran
Pemahaman tentang intelektualisme, spiritualisme dan filsafat memerlukan waktu
cukup lama, tidak bisa dipelajari secara menyeluruh dan tuntas selama satu atau dua jam
saja. Perlu adanya referensi yang lebih luas, pengalaman yang mumpuni, serta
pemahaman tentang diri sendiri berkaitan dengan materi perlu ditekankan. Oleh karena
itu dibutuhkan waktu untuk membaca materi secara berulang-ulang sampai paham,
karena materi ini merupakan dasar yang akan menjadi pondasi untuk lanjut kemateri
selanjutnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud.Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedeoman (Jakarta: Departemen


Pendidikan Nasional RI, 2000), h.22.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia
Pustaka, 2013), h.262.
Eelina Siregar Dan Hartini Nara, Teori Belajar Dan Pembelajaran (Bogor : Ghalia Indonesia,
2014) h.100
Gandhi, W., Teguh. 2011. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media
Halim, Wahyudi. (2016). Peran Studi Filsafat bagi Transformasi Intelektual Islam. Suesena.
Vol 10 No 2.
Jalaluddin. (2013). Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan Edisi Revisi.
Depok: Rosada Persada.
Jalaluddin & Idi Abdullah. 2013. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ngalim Purwanto.Psikologi Pendidikan, (Bandung:PT RemajaRosdakarya, 2013), h.55- 56.
Samsunuwiyati Mar’at, Psikologi Perkembangan, Bandung: Remaja Rosdakarya,2015.
Sulaiman, Yuandana Tarich. (2020). Filsafat Pendidikan. Literasi Nusantara. Malang
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, (Trasendental Intelegence), Membentuk Kepribadian
yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlak Jakarta: Gema Insani, 2001
Zohar, Danah dan Marshal, lan, (2007): Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan.

23

Anda mungkin juga menyukai