PENGEMBANGANNYA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Pendidikan
Dosen Pengampu:
Oleh:
1. Anissa Putri Kartikasari ( NIM)
2. Chory Nusaweny
3. Ari Lestari
4. Insani Nurlita Helwi
5. Bagus Syaifuddin Fajri
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya.Dalam makalah ini kami membahas mengenai Hakikat Manusia dan Pengembangannya.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak
untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.Oleh
karena itu, kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk
itu kami menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah
selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita sekalian.Kami ucapkan
terima kasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………….i
Daftar Isi………………………………………………………………………………ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………….. 2
C. Tujuan dan Manfaat……………………………………………... 3
BAB II Pembahasan
A. Hakikat Manusia dan Pengembangannya……………………….. 4
Daftar pustaka
BAB I
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalamai kemajuan, sesuai
dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia
sebagai salah satu Negara berkembang tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki
kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsa dapat meningkat jika
ditunjang dengan system pendidikan yang mapan. Dengan sistem pendidikan yang mapan,
memungkinkan kita berpikir kritis,kreatif, dan produktif.
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa Negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang
cerdas.Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar.Masyarakat
belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan dan ketrampilan mendengar dan minat
baca yang besar.Apabila memmbaca sudah merupakan kebiasaan dan membudaya dalam
masyarakat, maka jelas buku tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari yang harus
dipenuhi.
Dalam dunia pendidikan, buku terbukti berdaya guna dan bertepat guna sebagai salah
satu sarana pendidikan dan sarana komunikasi.
Sasaran pendidikan adalah manusia, oleh karena itu seorang pendidik harus memiliki
gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya.Manusia adalah makhluk tuhan
yang paling sempurana yang memiliki ciri khas yang secara prinsipiil berbeda dari
hewan.Ciri khas manusia membedakan dengan hewan ialah hakikat manusia.Disebut
hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki manusia dan tidak
dimiliki hewan.
Dengan pemahaman yang jelas tentang hakikat manusia maka seorang pendidik
diharapkan dapat membuat peta karakteristik manusia, sebagai acuan baginya dalam
bersikap, menyusun strategi, metode dan teknik.
B. RUMUSAN MASALAH
A. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah pengantar pendidikan
2. Untuk mengenal lebih dalam tentang sifat hakikat manusia
3. Untuk memahami dimensi-dimensi hakikat manusia
4. Untuk memahami bagaimana pengembangan dimensi hakikat manusia
5. Untuk memahami sosok manusia Indonesia seutuhnya
B. MANFAAT PENULISAN
Hakikat manusia berarti mengenal sifat atau karakteristik manusia yang sangat beragam.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki karakteristik berbeda satu sama lain. Mengenal
hakikat manusia adalah sangat penting bagi setiap orang yang pekerjaannya berkenaan dengan
manusia seperti pendidik. Pemahaman terhadap hakikat manusia dalam dunia pemdidikan atau
pembelajaran memberi kontribusi kepada para pendidik untuk mengenali siswa sebagai peserta
didik dalam proses pembelajaran.
Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu
(integrated) dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena
secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan.
Pemahaman pendidik terhadap sifat hakiki manusia akan memberntuk peta tentang karakteristik
manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberi acuan baginya dalam bersikap,
menyusun strategi, metode dan teknik serta memilih pendekatan dan orientsi dalam merancang
dan melaksanakan komunikasi tradisional didalam interaksi edukatif.
Karakteristik manusia yang membedakan manusia dari hewan, dimensi-dimensi hakikat
manusia dan pengembangan dimensi-dimensi tersebut.Selanjutnya memahami sosok manusia
Indonesia seutuhnya dan manusia sebagai makhluk serba terhubung. Dengan mengkaji materi
tersebut secara seksama, maka lebih khusus dan rinci anda akan dapat :
Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi.Hal ini
menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekadar soal praktek malainkan praktek
yang berlandasan dan bertujuan.Landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis
normatif.Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan
adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang cirri hakiki
manusia.Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk
menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur
dan menjadi keharusan.
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi
bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan.Meskipun antara manusia dengan
hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak
dengan menggunakan kedua kaki, melahirkan dan menyusui, pemakan segala dan adanya
persamaan metabolism dengan manusia.Bahkan beberapa filosof seperti Socrates
menamakan manusia itu Zoo Politicon (hewan yang bermasyarakat).
Charles Darwin (dengan teori evolusinya) terlah berjuang untuk menemukan bahwa
manusia berasal dari primat atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang dianggap
menjembatani proses perubahan dari primat ke manusia yang tidak sanggup diungkapkan
yang disebut The Missing Link yaitu suatu mata rantai yang putus.
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki oleh
hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme dengan maksud menjadi masukan
dalam membenahi konsep pendidikan yaitu :
b. Kemampuan Bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan dirinya
sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat
menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu
dirinya.Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang,
melainkan juga dengan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat
atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tetapi dapat menembus ke “sana” dan
ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan menempatkan diri dan
menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Dengan kata lain, adanya
manusia bukan “ber-ada” seperti hewan dalam kandang melainkan “meng-ada” dimuka
bumi (Drijarkara, 1962: 61-63). Adanya kemampuan bereksitensi inilah pula yang
membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra human,
di mana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer
terhadap lingkungannya.
c. Kata Hati (Conscience Of Man)
Kata hati juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita
hati, dsb.Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang mengikuti
perbuatan”.Dengan sebutan “pelita hati” atau “hati nurani” menunjukkan bahwa kata
hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik
buruknya perbuatannya sebagai manusia.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan
tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia.Dalam
kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan “petunjuk bagi
moral/perbuatan”.Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang
tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming).
d. Moral
Yang dimaksud dengan moral (etika) adalah perbuatan itu sendiri.Banyak orang
yang memilki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian
berbuat).Itulah sebabnya maka pendidikan moral juga sering disebut pendidikan
kemauan, yang oleh M.J Langeveld dinamakan De opvoedeling omzichzelfsil, tentu saja
yang dimaksud adalah kemauan yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang
tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang
baik atau moral yang tinggi (luhur). Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia
menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi tersebut.
Etika berbeda dengan etiket, jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang
baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat, maka etiket
hanya berhubungan dengan soal sopan santun, maka moral sesungguhnya adalah nilai-
nilai kemanusiaan.
e. Tanggung Jawab
f. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling
bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang
berarti ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan,
artinya bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia.
Dengan kata lain kebebasan demikian itu segera akan diburu oleh ikatan-ikatan yang
berupa sanksi-sanksi yang justru, mengundang kegelisahan. Implikasi pedagogisnya
adalah sama dengan pendidikan moralyaitu mengusahakan agar peserta didik diiasakan
menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan kedalam dirinya, sehingga dirasakan
sebagai miliknya.
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak
ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka
tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu
belum dipenuhi). Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus
dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong.Artinya
meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseotang mengetahuinya (misalnya
hak memperoleh perlindungan hukum).
Dalam realitas hidup sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan suatu yang
menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu beban.
Benarkah kewajiban menjadi beban manusia ?
Ternyata bukan beban melainkan suatu keniscayaan (Drijarkara, 1978: 24-
27).Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai
manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika mengelakkannya
maka ia berarti mengikari kemanusiaannya (yaitu sebagai kenyataan makhluk sosial).
Karena itu seseorang yang semakin menyatu dengan kewajiban, nilai, maka martabat
kemanusiaannya semakin tinggi di mata masyarakat. Dengan kata lain melaksanakan
“kewajiban” adalah suatu keluhuran.
Sudah barang tentu realisai hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relatif,
disesuaikan dengan situasi dan kondisi.Jadi meskipun setiap warga punya hak untuk
menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang tersedia belum memadai
maka orang harus menerima keadaan realisasinya sesuai dengan sikon.Hak yang secara
asasi dimiliki oleh setiap insan serta sesuai dengan tuntutan kodrat manusia disebut hak
asasi manusia.Maka hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi-aspirasi
atau harapan-harapan yang berfungsi untuk member arah pada segenap usaha
menciptakan keadilan.
Menurut Selo Soemardjan (wawancara TVRI, Desember 1990) meliputi empat
aspek, yaitu :
a. Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa salah
b. Disiplin sosial, jika dilanggar menimbulkan rasa malu
c. Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah
d. Disiplin agama, jika dilanggar menimbulkan rasa berdosa.
+ +
p roses
Hasil
Gambar : 1.1a
Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan daripada aspek
nalar.Oleh karena itu dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya irasional. Padahal
kebahagiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan itu ternyata tidak demikian,
karena aspek-aspek kepribadian yang lain seperti akal pikiran juga ikut berperanan.
Rangkaian kejadian yang di dalamnya tercermin kebahagiaan, misalnya seseorang
yang telah lulus dan mendapat gelar sarjana dengan predikat kelulusan yang baik, karena
mencapai IPK : 3,8 (kebahagiaan). Setelah itu dengan masa menunggu sekitar setahun
(penderitaan) dapat diterima pada sebuah perusahaan kimia dengan gaji yang sangat
menggembirakan (kebahagiaan), setelah dua tahun dinas ia mendapat kecelakaan
(penderitaan), karena mukanya terkena uap kimia yang menjadikan mukanya rusak dan
kedua matanya buta (azab).
Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang telah dipaparkan tentang
kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri
secara factual (lulus sebagai sarjana, mendapat pekerjaan dan seterusnya) ataupun pada
rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada
kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukan hal-
hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu : usaha, norma-norma, dan
takdir.
Yang dimaksud dengan usaha adalah perjuangan yang terus-menerus untuk
mengatasi masalah hidup.Hidup dengan menghadapi masalah itulah realitas
hidup.Masalah hidup adalah sesuatu yang realistis, objektif, bukan sesuatu yang dibuat-
buat.Kebahagiaan adalah hidup yang tentram.Hidup tentram terlaksana dalam hidup
tanpa ada tekanan, itulah hidup merdeka.Jadi kebahagiaan dicapai dengan penyatuan diri
dengan norma-norma (kaidah-kaidah hidup).
Takdir merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses terjadinya
kebahagiaan. Komponen takdir ini erat bertalian dengan komponen usaha, pepatah yang
menyatakan “manusia berusaha Tuhan menyudahi”, harus diartikan bahwa istilah takdir
baru boleh disebut sesudah orang melaksanakan usaha sampai batas kemampuan,
kemusian hasilnya sepadan atau tidak dengan yang diinginkan diterima dengan pasrah
serta penuh kesyukuran.
Akhirnya dapar disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan
peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu : kemampuan berusaha
dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan
demikian pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai
kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan.
Hasil/ Hasil/
takdir takdir
Usaha Usaha
Kesedian menerima
Gambar 1.1b
Kebahagiaan sebagai perpaduan diri usaha, hasil/takdir dan kesediaan menerimanya
Manusia adalah makhluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungannya,
dirinya sendiri, dan Tuhan. Beerling mengemukakan Sinyalemen Heinemann bahwa pada
abad ke- 20 manusia mengalami krisis total. Disebut demikian karena yang dilanda krisis
bukan hanya segi-segi tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis energi, dan
sebagainya, melainkan yang krisis adalah manusianya sendiri (Beerling, 1951: 43)
Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas
hubungannya sebagai makhluk yang memiliki kondisi serba terhubung dan dengan
memahami kelebihan dan kekurangan-kekurangan diri sendiri.Kelebihannya ditingkatkan
dan kekurangannya diperbaiki.Sedangkan dengan lingkungan alam manusia dapat
memanfaatkannya (mengeksploitasi) sembari peduli terhadap pelestarian dan
pengembangannya.Terhadap Tuhan manusia harus memahami ajaran-Nya serta
mengamalkannya (lihat Gambar 1.2).
Agama Tuhan
HV
HK
HH2 HH1
Alam
Gambar 1.2
Manusia sebagai makhluk serba terhubung.
Pada butir A telah diuraikan sifat hakikat manusia. Pada bagian ini sifat hakikat tersebut
akan dibahas lagi dimensi-dimensinya atau ditilik dari sisi lain. Ada 4 macam dimensi yang
akan dibahas, yaitu :
1. Dimensi Keindividualan
2. Dimensi Kesosialan
3. Dimensi Kesusilaan
4. Dimensi Keberagamaan
1. Dimensi Keindividualan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas.Demikian kata M.J. Langeveld (M.J.
Langeveld, 1955: 54).Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih
kemungkinan untuk bergaul.Artinya setiap orang dapat saling berkominikasi yang pada
hakikatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima.Bahkan menurut
Langeveld, adanya kesediaan untuk saling member dan menerima itu dipandang sebagi
kunci sukses pergaulan.Adanya dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah
menggejala mulai pada masa bayi.
Immanuel Kant seorang filosof bangsa Jerman mengatakan: Manusia hanya menjadi
manusia jika berada di antara manusia. Kiranya tidak usah dipersoalkan bahwa tidak ada
seorang manusia pun yang dapat hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakikat
kemanusiaannya di tempat terasing yang terisolir. Mengapa demikian ?
Sebabnya, orang hanya dapat mengembangkan individualitasnya di dalam pergaulan sosial.
3. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi.Pengertian
susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih.Dalam
bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu
etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan).Kedua hal
tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban seperti telah disinggung.
Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau
tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar
ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan
ketidaksenangan orang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat, yaitu :
a. Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket dan
etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan maka keduanya bertalian erat.
b. Golongan yang memandang bahwa etiket perlu dibedakan dari etika, karena masing-
masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan. Kesopanan menjadi
minyak pelincir dalam pergaulan hidup, sedang etika merupakan isinya. Kesopanan dan
kebaikan masing-masing diperlukan demi keberhasilan hidup dalam bermasyarakat.
Selanjutnya, dalam kenyataan hidup ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu
kesadaran dan pemahaman nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Keduanya harus
sinkron, artinya untuk dapat melakukan apa yang semestinya harus dilakukan terlebih
dahulu orang harus mengetahui, menyadari, dan memahami nilai-nilai. Memahami adalah
kemampuan penalaran (kognitif), sedangkan bersedia melaksanakan adalah sikap
(kemampuan afektif).
Berdasarkan uraian diatas maka pendidikan kesusilaan meliputi rentangan yang luas
penggarapannya, mulai dari ranah kognitif yaitu dari mengetahui sampai kepada
menginternalisasi nilai sampai kepada ranah afektif dari meyakini, meniati sampai siap sedia
untuk melakukan.
Implikasi pedagogisnya ialah bahwa pendidikan kesusilaan berarti menanamkan
kesadaran dan kesediaan melakukan kewajiban di samping menerima hak pada peserta
didik.
4. Dimensi Keberagamaan
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan,
kesosialan, kesusilaan dan keberagamaan, antara aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor.Kualitas berkembangnya aspek rohaniahnya seperti pandai, berwawasan
luas, berpendirian teguh, bertenggang rasa, dinamis, kreatif, terlalu memandang
bagaimana kondisi fisiknya, namun demi keutuhan pengembangan, aspek fisik tidak
boleh diabaikan.Karena gangguan fisik dapat berdampak pada kesempurnaan
perkembangan rohaniah.
Pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan
dikatakan utuh jika semua dimensi tersebut mendapat layanan dengan baik, tidak terjadi
pengabaian terhadap salah satunya.
Pengembangan domain kognitif, afektif dan psikomotor dikatakan utuh jika ketiga-
tiganya mendapat pelayanan yang berimbang. Pengutamaan domain kognitif dengan
mengabaikan pengembangan dimain afektif, misalnya seperti yang terjadi pada
kebanyakan system persekolahan dewasa ini hanya akan menciptakan orang-orang
pintar yang tidak berwatak.
Pengembangan tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam
proses pengembangan jika ada unsure dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk
ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi
keindividualan ataupun domain afektif didominasi oleh pengembangan domain kognitif.
Demikian pula secara vertikal ada domain tingkah laku yang terabaikan penanganannya.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang
dan tidak mantap.Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang
patologis.
Rangkuman
A. Setiap manusia dilahirkan dengan karaktristik yang berbeda satu sama lain. Tidak
ada manusia yang sama meski dilahirkan oleh orangtua yang sama. Bahkan, dua
orang kembar yang siam sekalipun yang memiliki karakteristik sama persis, pasti
mereka memiliki perbedaan-perbedaan tertentu. Oleh sebab itu, manusia disebut
sebagi makhluk yang unik (khas). Manusia memiliki sifat-sifat sebagai makhluk
individual, makhluk sosial, makhluk susila, makhluk berpikir, makhluk tumbuh dan
berkembang dsb. Manusia juga sebagai manusia yang memiliki potensi jasmani,
pikir, rasa, karsa, daya cipta, karya, dan hati nurani.
B. Dari uraian Bab 1 dapat disimpulkan bahwa sifat hakikat manusia dan segenap
dimensinya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri
yang khas tersebut membedakan secara prinsipiil dunia hewan dari dunia manusia.
Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia
sedemikian rupa sehingga derajatya lebih tinggi daripada hewan dan sekaligus
menguasai hewan.
Salah satu sifat hakikat yang istimewa ialah adanya kemampuan menghayati
kebahagiaan pada manusia.
Semua sifat hakikat manusia dapat dan harus ditumbuhkankembangkan melalui
pendidikan.
Berkat pendidikan maka sifat hakikat manusia dapat ditumbuhkembangkan secara
selaras dan berimbang sehingga menjadi manusia yang utuh.
BAB III
A. KESIMPULAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya
pengetahuan dan kekurangan rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul
makalah yang kami susun tersebut.
Kami selaku penulis banyak berharap untuk para pembaca sudi memberikan kritik dan
saran yang tentunya membangun kepada kami, demi mencapainya kesempurnaan dalam
makalah ini.Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami dan khususnya seluruh pembaca
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA