Anda di halaman 1dari 18

BAB III

RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN FILSAFAT ILMU

1. RuangLingkup

Ruang lingkup filsafat ilmu dalam bidang filsafat sebagai

keseluruhan pada dasarnya mencakup dua pokok bahasan, yaitu:

pertama, membahas “sifat pengetahuan ilmiah”, dan kedua, menelaah

“cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah”. Filsafat ilmu di

kelompokan menjadi dua, yaitu:

1. Filsafat ilmu umum, yang mencakup kajian tentang persoalan

kesatuan, keseragaman, serta hubungan diantara segenap ilmu.

Kajian ini terkait dengan masalah hubungan antara ilmu dengan

kenyataan, kesatuan, perjenjangan, susunan kenyataan, dan

sebagainya.

2. Filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat ilmu yang membicarakan

kategori-kategori serta metode-metode yang digunakan dalam ilmu-

ilmu tertentu atau dalam kelompok-kelompok ilmu tertentu, seperti

dalam kelompok ilmu alam, kelompok ilmu masyarakat, kelompok

ilmu tehnik dan sebagainya (Beerling dkk,1986:40).

Filsafat ilmu dapat pula dikelompokkan berdasarkan model

pendekatan, yaitu:

1. Filsafat ilmu terapan, yaitu filsafat ilmu yang mengkaji pokok

pikiran kefilsafatan.Filsafat ilmu pterapan sebagai pengetahuan

normatif mencakup:

a. Pengetahuan yang berupa pola pikir hakekatkeilmuan.

b.Pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang diturunkan


dari polapikir.

c. Pengetahuan mengenai berbagai saranailmiah

d.Serangkaian nilai yang bersifat etis yang terkait dengan pola

pikir dengan model praktek yang khusus. Misal: Etikaprofesi.

2. Filsafat ilmu murni, yaitu bentuk kajian filsafat yang dilakukan

dengan menelaah secara kritis dan ekspolratif terhadap materi

kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap kemungkinan

berkembangnya pengetahuan normatif yang baru.

dalam ilmu-ilmu khusus dan konsekuensi pada pemahaman

terhadap “realitas” secara keseluruhan.

2. Hubungan Filsafat Ilmu denganEpistemologi

Filsafat ilmu secara sistematis merupakan cabag dari rumpun

kajian epistemologi. Eoistemologi akan menunjukan asumsi dasar

ilmu, agar penelaahan filsafat ilmu tidak terpaku pada ragam objek

material ilmu. Pertnyaan dari ontologi “apakah karakter pengetahuan

kita tentang dunia?” adalah aspek dari ilmu pengetahuan

(epistemologi).

1. Asumsi Beberapa Jenis Objek Ilmu

Dewasa ini kita sudah memasuki masa spesialisasi ilmu,

kita hanya tahu metodologi masing-masing ilmu kejuruan.

Ilmu Alam danEmpiris

Ilmu empiris berpandangan sebagai berikut: ilmu

mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu

mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut


anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia.

Ilmu empiris mempunyai beberapa asumsi menegnai objek

(empiris) antara lain:

1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan

satu sama lain, yaitu dalam hal: bentuk, struktur, dan sifat

sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual,

melainkan suatu kelastertentu.

2. Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami

perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif

dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk

melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang

diselidiki.

3. Menggangap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian

yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola

tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian

yang sama (Paul Niddich dalam YuyunS.1981:7-9).

b. IlmuAbstrak

Ilmu formal seperti halnya matematika, logika, filsafat, dan

statistika adalah jenis ilmu yang berfungsi sebagai penopang

tegaknya ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang tergolong formal pada

umumnya berasumsi bahwa objek ilmu adalah bersifat

abstrak, tidak kasat mata, dan tidak terikat oleh ruang waktu.

Objek dapat berupa konsep dan bilangan, ia berada dalam

pemikiran manusia.

c. Ilmu-ilmu Sosial danKemanusiaan

Ilmu kemanusiaan mencakup juga ilmu-ilmu sosial, ia

merupakan ilmu empiris yang mempelajari manusia dalam


segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya baik

perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil mmaupun

besar.

Objek material ilmu sosial adalah lain sama sekali dengan

objek material dlaam ilmu alam yang bersifat deterministik.

Objek material dalam ilmu sosial adalah berupa suatu tingkah

laku dalam tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan

tidak bersifat deterministik, ia mengandung: pilihan, tanggung

jawab, makna, pengertian, pernyataan privat dan internal,

konvensi, aturan, motif, dan sebagainya, oleh karena itu tidak

cocok apabila diterai dengan perdikat “sebab-akibat”.

Konsekuensi epistemologis dari perdebatan tersebut diawali

dengan tidak memadainya metodologi ilmu alam untuk

memahami fenomena manusia kecuali sebagai objek alamiah.

Kerja dari penelitian empiris adalah untuk menemukan secara

persis pola yang menghubungkan antara aturan-atauran, motif,

situasi, hubungan sosial dan tingkah laku, dan

memformulasikan sebagai pembawa keteraturran. Tentu saja

data mentah sebagai realitas sosial objektif mempunyai status

subjektif, karena terkait dengan nilai-nilai, kepercayaan,

ideologi. Lantas apakah ilmu sosial dapat digolongkan sebagai

ilmu yang subjektif?, padahal semua ilmu mengklaim dirinya

menafsirkan data secara objektif.

Ilmu berbeda-beda terutama tidak karena objek material

berbeda, tetapi khususnya mereka berbeda karena objek formal.

Objek ilmu kemanusiaan yaitu manusia sebagai keseluruhan.

Ia melampaui status objek benda-benda disekitarnya, peneliti


dalam penelitian ilmu sosial juga berada pada taraf yang sama

sebagai objek. Perbedaan tersebut juga menimbulkan

perbedaan pendekatan, di mana dalam rangka cara berpikir

ilmu-ilmu alam adalah univok, sedang dalam rangka ilmu-ilmu

sosial maka cara berpikirnya analog: setiap lingkungan

masyarakat “sama” namun dalam “kesamaannya” itu juga

berbeda. Karena ciri khas di atas, maka ilmu-ilmu

kemanusiaan harus menggunakan titik pangkal dam kriterium

kebenaran yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya. Titik pangkal

berbeda karena peneliti tidak lagi berada di luarobjek

penelitian, dengan kata lain subjek terlibat dalam penelitian

tentang sesamanya (Veuger dan Haryono, 1989:70).

Dalam ilmu manusia kita menghadapi keadaan bahwa

praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga

objek penelitian ilmu manusia. Misal: merupakan objek

psikologi, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan psikis;

merupakan objek sosiologi, karena praktek ilmiah merupakan

kegiatan sosial; objek ilmu sejarah, karena praktek ilmiah

merupakan kegiatan historis.

Dalam ilmu kemanusiaan, manusia dari alam terlibat dalam

aktivitas-aktivitasnya sendiri. Hal itu merupakan sumber

informasi tentang motivasi intern manusia. Namun hal itu

sekaligus membuat menipu kita, kecuali kalau ia kritis.

d. IlmuSejarah

Ciri ilmu sejarah dibandingkan dengan ilmu empiris

lainnya yaitu sifat objek materialnya, yaitu data-data

peninggalan masa lampau baik berupa kesaksian, alat-alat,


makam, rumah, tulisan, karya seni. Semuanya itu mirip dengan

objek material ilmu kealaman, karena sama-sama sebagai

benda mati. Namun objek ilmu sejarah tidak dapat dikenal

eksperimen karena menyangkut masa lampau dan tidak dapat

dibalikan lagi. Sering peninggalan sejarah tertelan oleh masa,

terlindung dan merupakan saksi bisu, bahkan seringhilang.

sering banyak hal yang mempengaruhi kemurnian objek

manusiawi berkaitan dengan sikap menilai, dari subjek

penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu

kemanusiaan menjadi problem dalam menentukan patokan

objektivitas.

2. Taraf-taraf Kepastian Subjektivitas dan ObjektivitasIlmu

a. Evidensi

Evidensi objek pengetahuan berkenaan dengan taraf kepastian

pengetahuan yang dapat dicapai subjek. Taraf-taraf kepastian

subjek dalam ilmu-ilmu terjadi berdasarkan evidensi objek yang

dikenal. Evidensi dan kepastian itu perlu dilihat dari sudut

kesatuan asli subjek dan objek dalam gejala pengetahuan

manusia pada umumnya. Misal: dalam filsafat, evidensi objek

bersangkutan dialami subjek dengan cara mendalam. Dengan

demikian mutu kepastian adalah meyakinkan dan paling tinggi,

paling bebas, sekaligus paling pribadi.

a.1. Dalam ilmu-ilmuempiris

Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan

mengejar kepastian. Namun taraf kepastian konkret dalam

ilmu-ilmu empiris bersifat bebas. Artinya tidak pernah ada

paksaan pada akal agar sesuatu disetujui. Dengan kata lain


evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu bersifat nisbi,

dengan akibat bahwa jeastian tersebut juga bersifat nisbi,

sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa

paksaan.

a.2. Dalam ilmu-ilmupasti

Dalam context of discovery sebagaimana ilmu yang

lain memang ilmu pastipun masih dalam taraf coba-coba.

Sedangkan dalam taraf context of justifiction, maka tidak

ada hipotesa lagi, melainkan hanya ungkapan-ungkapan

yang bersifat aksiomatis dan dalil-dalil. Ia berlaku tanpa

terikat ruang dan waktu. Memang ilmu-ilmu pastitidak

bersifat empiris, sehingga sifat evidensinya bersifat mutlak.

Sekali seorang ilmuwan memilih sistem tertentu maka ia

sudahb tidak bebas lagi untuk meragukan atau menolak

hasil sistem ilmu yang bersangkutan (Verhak,

1989:113,116).

Ilmu alam agak jauh dari pengalaman konkret, sebab

sifatnya eksak. Tidak saja keeksakkannya dalam konsep-

konsepnya. Konsep dari ilmu alam jauh dari pengalaman

yang terbuka (bersifat eksklusif). Isi konsep dan isi

observasi berkaitan secara univok. Konsep-konsep yang

dipakai dalam ilmu alam agak jauh dari data-data

pengalaman yang terbuka bagi setiap orang, sehingga ilmu

alam sukar untuk dimengerti bagi orang yang bukan ahli.

Lagipula ilmu alam dalam menyelidik realitas jasmani terus


menerus memperluas sarana observasinya, sehingga peran

indera berkurang. Contoh: melihat data cukup dengan

membaca petunjuk grafik, jarum.

b. Objektivitas

Ilmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati fakta-

faktanya secara metodis, artinya menurut penelitian yang

dikembangkan oleh subjek yang mengenal. Misal: ilmu alam.

3. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Cabang FilsafatLain

Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat

sistematik lainnya, seperti antologi( ciri-ciri susunan kenyataan,

filsafat pengetahuan (hakekat serta otensitas pengetahuan), logika

(penyimpulan yang benar), metodologi (konsep metode), dan Filsafat

kesusilaan( nilai-nilai sertatanggungjawab)

Kedua, Epistemologiadalah teori tentang pengetahuan. Dalam

epistemology yang dibahasa adalah objek pengetahuan, sumber dan

alat untuk memperoleh pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.

Epistemology berkaiatan dengan pemilihan dan kesesuaian antara

realism atas pengetahuan: tentang proposisi, konsep-konsep,

kepercayaan dan sebagainya, dan realism tentang objek, secara terpilih

disusun dalam term “objek real”, fenomena, pengalaman, data indera,

dan lainnya. Epistemologi berusaha untuk memaparakan dan

menjawab problem-problem yang muncul dalam area tertentu, missal:

positisme logis. Semua epistemology meletakkkan oposisi sebagain

menyususn teori pengetahuan, tujuannya yaitu meletakkanyang


memungkinkan bagi suatu pnegtahuan. Misalnya: teori-fakta, manusia-

dunia, transendal subjektif-trasendantal objektif. Epistemoligi meliputi

konsepsi yang spesifik tentang “subjek”, “objek” dan hubungan

keduanya, dan itu dievaluasi dan menderivasikan keterangan untuk

mengevaluasi pengetahuna dari “pengetahuan” tentang hubungan.

Spesifikasi epistomologis tentang kriteria validitas semua pengetahuna

harus memperkirakan validitas pengethuan yang mendahuluinya, yang

darinya spesikasinya diderivasi.

Ketiga, Logika adalah cabang filsafat yang mempersoalannya

begitu luas dan rumit, namun ia berkisar pada persoalan penyimpulan,

khususnya berkanaan dengan pronsip-prinsip dan aturan-aturan yang

abasah. Penyimpulan yaitu proses penalaran guna mendapatkan

pengertian baru dari satu atau lebih proposisi yang diterima sebagai

benar, dan kebenaran dari kesimpulan itu diyakini terkandung dalam

kebenaran proposisi yang belakangan. Tatanan logis adalah merupakan

syarat mutlak bagi suatu ilmu. Pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-

kesimpulan mengenai esensi-esensi dan sebab-sebab dari objek dalam

bidang pengeatuhuan tertentu tidak bisa dihitung secara sewenang-

wenang, tetapi harus ditata dan diklasifikasikan sesuai dengan prinsip

tertentu dan mengikuti metode tertentu. Penyelidikan mengenai “cara-

cara memperoleh pengetahuan ilmiah” bersangkutan dengan susunan

logic dan meteode penyelidikan ilmiah. Dan bersangkutan pula dengan,

susunan logic serta meodologik, urutan serta hubungan antara


unsur –insur serta struktur-struktur yang berlaku dalam pemikiran

ilmiah.

Namun-namun persoalan logika yang penting dalam kaitannya

dengan ilmu yaitu: apakah ciri-ciri suatu system aksiomatik,

bagaiaman kita dapat memastikan bahwa suatau aksioma

sesungguhanya bukan suatu dalil yang dapat diturunkan dari aksioma

yang lain?, apakah sekumpulan aksioma tertentu akan menghasilkan

semua yang dapat dikatakan dalam bidangnya?. Bagaimanakah kita

dapat mengetahui bahwa ksimpulan aksioma tersebut tidak akan

pernah menghasilkan sesuatu yang salah? (The LiangGie:1977:186)

Keempat, Metodologi yaitu berkaitan denga suatu konsep

metode, ia mempersoalkan:apakah arti suatu metode, apakah sifat

dasar metode, apakah ada metode yang khas bagi ilmu? Apakah ada

kaitan antara tujuan suatu penyelidikan yang khas bagi llmu? Apkah

ada kaitan antara tujuan penyelidikan dengan metode yang harus di

pakai? Disinyaluir dalam ilmu-ilmu terdapat derajad kebebasan yang

tinggi antara tujuan danmetode.

Filsafat ilmu mempersoalkan masalah metodologik, yaitu

mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat

memperoleh predikat “pengetahuan ilmiah”. Filsafat akan mencari

prinsip metodis suatu ilmu. Fungsi suatu metodologis yaitu menguji

metotode yang dipergunkan untuk menghasilkan pengetahuan yang

valid. Metodologi meletakan prosedur yang dipergunkan untuk

menguji proposisi. Prosedur ini dijastifikasi maknanya dengan

argumen filosofis. Adalah jelas bahwa metodologi mengklaim untuk

menentukan prosedur yang benar bagi ilmu, harus memperkirakan


bentuk pengetahuan yang didalamnya beberapa pengertian superior

dihasilkan dalam ilmu. Ilmu diperkirakan valid bila hasilnya sesuai

dnega prosedur: yang diperkirakan tidak dapat di sah oleh ilmu.

Metodologi meletakkan aturan bagi prosedur praktek ilmu,

penderivisian makna pengetahuan dibuktikn oleh filsafat. Metodologi

adalah produk filsafat dan ilmu-ilmu adalah realisasi dari metodologi

(BarryHindes,1977:5).

Perkiraan Metodologis mungkin diderivasi dari epistemology,

yakni suatu konsepsi bentuk pengetahuan yang memungkin dicapainya

pengetahuan yang valid ( dari otology tentang apa yang eksis).

Karakter pengetahuan sangat berhubungan dengan apa yang menjadi

sifat esensial dari objekpenyelidikan.

Kelima, Etika, yaitu cabang ilmu yang mempersoalkan baik dan

buruk. Dalam kaitan dnega ilmu yaitu berkaitan denga tujuan ilmu,

tanggung jawab terhadapmasyarakat.

Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan llmu

agar tidak mencelakakan manusia, ,melainkan membimbing ilmu agar

dapat menjadi sarana mensejahterkan manusia. Ilmu bertendensi untuk

membuka tabir/kedok dari kemutlakan-kemutlakan alam yang oleh

sejarah diangkat menjadi kemutlakan budaya. Tujuan ilmu yaitu


memperoleh pengetian lebih mendalam tentang motif-motif tingkah

laku manusia yang diliputi kegelapan supaya manusia manjdi lebih

utuh, dewasa, dan bebas ( Van Melsen, 1985:123-4).

4. Hubungan Filsafat Ilmu denganIlmu-ilmu

Perkembangan ilmu yang makin cepat ini juga dialami olah

banyak ilmu serta pengaruhnya yan makin besar terhadap kehidupan

masyarakat. Untuk itu sudah saatnya kita memberi perhatian yang

besar terhadap filsafat ilmu, sehingga kita dapat mengatasi

keterkungkungan spesialisasiilmu.

1. Perbedaan Filsafat danIlmu

Filsafat ilmu mempunyai banyai persamaan. Kedua bidang

tesebut tumbuh dari sikap refleksi, sikap bertanya, dan dilandasi

oleh kecintaan yang tidak memihak terhdap kebenaran. Hanya saja

kalau filsafat dengan metodenya mampu menyakan keabsahan dan

kebenaran ilmu. Ilmu tertentu menyelidiki bidang-bidang yang

terbatas, sedang filsafat lebih bersifat inklusif dan bukan eksklusif,

ia berusaha untuk memasukkan dalam pengetahuannya apa yang

bersifat umum untuk segala bidang dan untuk pengalaman manusia

pada umumnya. Dengan begitu filsafat berusaha mendapatkan

pandanga yang lebih komprehensif tentang benda-benda(Titus dkk,

1984:283).

Ilmu dalam pendekatan lebih analitik dan diskriptif: ia

berusaha umtuk menganalisa secara keseluruhan pada unsur-unsur


yang menjadi bagian-bagianny, serta menganalisa organisme kepda

anggota-anggotany. Fiosafat lebih sentetik atau sinotik:

menghadapi sifat dan kualitas alam dan kehidupan sebagai

keseluruhan. Filsafat berusaha menggabungkan semua benda-

benda dalam sintesa yang interpretative dan menemukan arti

benda-benda. Jika ilmu condong untuk menghilangkan faktor-

faktor pribadi dan menganggap sepi nalai-nilai demi menghasilkan

objektivitas, maka filsafat mementingkan personalitas,nilai-nilai

dan bidang pengalaman (Titus dkk,1984:283)

2. SpesialisasiIlmu

Dewasa ini setiap pengetahuan terpisah satu dari yang

lainnya. Ilmu terpisah dari moral, moral terpisah dari seni, dan seni

terpisah dari ilmu. Kita tidak lagi memiliki pengatahuan yang utuh,

melainkan terpotong-potong. Spesialisasi pendidikan, pekerjaan,

dan kemajuan diberbagai bidang pengetahuan menyebabkan jurang

pemisah semakin besar. Ilmu selain diperluas juga diperdalam oleh

para ilmuwannya, dengan demikian timbuk suatu subdisiplin yang

akhirnya dapat menjadi disiplin yang berdiri sendiri. Sejajar

dengan itu dalam profesi ilmiah terjadi subspesialisasi yang makin

memperdalam ilmu ke arah mikro, sehingga orang yang

mengetahui lebih banyak tentang yang semkin sempit:

ilmuawannya menjadi pakar. Memang dua atau lebih

subspesialisasi dapat bertemu dan bekerja sama, yaitukarena


persamaan objek penelitian, cara penelitian dan system yang

sama(T. Jacob, 1992:14-19).

Dengan berekmbangnya kemampuan manusia dalam

memecahkan masalah baru maka kemungkinan ilmu untuk dapat

menjajagi daerah baru. Dengan ditemukannnya daerah baru, alat

baru dan fenomena baru. Akibanya ilmu mengalami perkembangan

pesat kesegala jurusan yang mungkin, maka terjadilah cabang baru

yang selanjutnya dapat menjadi disiplin baru. Evolusi berbeda,

dimana kecepatan dapat berubah dari masa ke masa, sedang

percepatan terjadi karena lebutuhan dan ransangan. Evolusi ilmu

dapat berakhir dengan kepunahan matinya cabang ilmu, sebabnya

bermacam-macam, misalnyakerna tidak mempunyai dasar ilmiah

yang kuat atau teorinya dikalahkan oleh teori lain. Ilmu dan

cabangnya yang sudah mati dapat hidup kembali apabila ada

penemuan baru yang memberi sorotan dan wawasan baru.

Sedangkan revolusi da;am ilmu adalah merupakan revolus dalam

pardigma, yaitu mempengaruhi pola pikir dalam berbagai

disiplindan sub-disiplin(T.Jacob,1992:15)

Semaki maju suatu disiplin ilmu semakin besar pula

kecenderungannya untuk membentuk subdisplin baru, sehingga

pemisahan dan spesialisasi tidak dapat di hindarkan lagi. Untuk

mendaptkan gambaran baru yang utuh tentang suatu permasalahan,


maka dibutuhkan suatu sarana yang dapat mengutuhkan kembali

berbagai cabang ilmu yang kini tercerai-berai.

Cara untuk menyatukan berbagai ilmu tidak mungkin denga

mengintegrasikan disiplin-dispilin keilmuan menjadi suatu

kelompok yang lebih besar. Namun gagasan ini sulit untuk

dilaksanakan, karena bertentangan dnegan hakekat da logika

perkembangan ilmu itu sendiri. Dala rangka integrasi ilmu guna

mengatasi efek negative spesialisai dan remifikasi ilmu maka perlu

adanya moral bagi ilmu dan pendukungnya. Namun untuk

menjebatani antara moral dengan ilmu tidak dengan cara mundur

kebelakang dan menantang spesialisasi ilmu, yaitu dengan

menjadikannya asas-asas moral sebagai landasan metafisik

keilmuan. Juga tidak mungkin mengitegrasikan landasan

epistemologis ilmu dan moral, dimana ilmu yang

mempermasalhkan bnear salah dipadukan dengan moral yang

mempermasalahkan baik-buruk, sehingga benar dikatakan baik dan

salah dikatakan buruk (Ignas Kleden,1987:185)

3. Kerja Sama Filsafat denganIlmu

Dalam beberapa abad terakhir filsafat telah

mengembangkan kerjasam yang erat dengan ilmu. Filsafat dan

llmu dang keduannya memaki metode pemikiran refleksi dalam

usaha menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya

menunjukkan sikap yang kritik, dengan pemikiran terbukadan

kemauan yang tidak memihak untuk mengetahui kebenaran, merka

berkepentingan untuk mendapatkan yang benar. (Titus

dkk,1984:283).
Hubungan antara filsafat dan ilmu lebih erat dalam bidang

manusia daripada bidang ilmu alam, dimana ilmu alam berwatak

agak netral (Bertens:1991:21). Cabang filsafat yang sedang

berkembang saat ini yaitu”faoudational research”: suatu penelitian

kritis tentang metode-metode, asumsi-asumsi, dan hasil ilmu positif,

baik pada IPA maupun IPS.

Filsafat dapat emnyumbang untuk memperlancar integrasi

antara ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan, searah dengan

spesialisasi ilmu maka banyak ilmuwan yang hanya menguasai

suatu wilayah sempit dan hampir tidak tahu menahu apa yang

dikerjakan oleh rekan-rekan sedisplin dan disiplin yang lain.

(Bertens, 1991:20). Filsafat spesialisasinya ialah yang

umum:filsafat bertugas untuk memperhatika keseluruhan dan tidak

berhenti padadetail-detailnya.

dari filsafat adalah untuk memberika pandangan

keseluruhan kehidupan dan pandangan tentang alam, dan untuk

mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan

(displin-disiplin) lain agar mendaptakn pemahaman yang

menyeluruh dan konsisten. Dengan kata lain filsafat berusaha

membawa hasil penyelidikan manusia-keagamaan, sejarah dan

keilmuan kepada suatu pandangan yang terpadu, sehingga dapat

memberikan pandangan dan pengetahuan bagi kehidupan manusia

(Titus dkk.). menurut pandangan ini filsafat mencari kebenaran

tentang segala sesuatu. Dan kebenaran itu harus dinyatakan dalam

bentuk yang paling umum. Filsafat adalah meta ilmu, refleksinya

mendorong kita untuk menengok kembali ide-ide dan interpretasi

kita baik dari ilmu maupun dari bidang-bidang lain.


Di bidang ilmu-ilmu manusia mauounilmu alam, filsafat

ilmu dapat memenuhi tuntutan teori dalam bentuk pendekatan

terpadu, sekurang-kurangnya multidisipliner, kegunaannya agar

tidak terjadi dominasi suatu disipli yang kuat terhadap disiplin

yang lemah/belum mapan. (Van Melsen,1995:129). Filsafat dengan

metode refleksinya mampu mengembangkan hubungan antara

manusia, teknologi, dan alam secra etis. Jadi ia membutukhkan

filsafat dan etik (Van Melsen,1995:131)

Studi multidisipliner mencirikan adanya berbagai masalah

yang dilihat dari berbagi sudut, sehingga mendapat gambaran

total,baik harisontal maupun vertical, dengan kata lain dalam

kaitannya dengan bidang lain dan berabagi tingkat pengamatan.

Bentuk kerja sama antara disiplin-disiplin ilmu yang masing-

masing berdiri sendiri dalam multidisipliner tidak menyatupadukan

metode- metodenya, melainkan yang terjadi adalah korespondensi

antar disiplin yang otonom. Namun studi/pendekatan

multidisiplinar tidak melahirkan suatu disiplin baru, ia diarahkan

oleh minat teoritis, bukan oleh maksud-maksud praktis, sebab

dalam dataran teoritis objektivitas ilmu setidak-tidaknya tetap

membimbing jalannya suatu penyelidikan. Sedang untuk maksud

praktis, studi multidisipliner tantu akan lebih diwarnai oleh

kepentingan- kepentingan tertentu (Van Malsen,1995:58-63).

Anda mungkin juga menyukai