Anda di halaman 1dari 15

1.

ILMU PENDIDIKAN SEBAGAI SEBUAH ILMU


Ilmu pendidikan termasuk ilmu pengetahuan empiris, rohani, normatif yang diangkat dari
pengalaman pendidikan, kemudian disusun secara teoritis untuk digunakan secara praktis. Ilmu
pendidikan adalah ilmu pengetahuan praktis karena yang diuraikan didalam ilmu itu
dilaksanakan dalam proses pendidikan.dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu
proses mentransfer ilmu. Sedangkan ilmu itu sendiri dapat diartikan rangkaian ektivitas
manusia yang merupakan proses menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis
mengenai gejala-gejala kealaman dan kemasyarakatan untuk mencapai kebenaran, memperoleh
pemahaman, memberi penjelasan ataupun melakukan penerapan yang tercangkup dalam materi
pendidikan.
Ilmu pendidikan merupakan ilmu yang berdiri dengan memenuhi sifat-sifat ilmiah, sedangkan
ilmu pendidikan dikatakan ilmu yang ilmiah apabila mencangkup kriteria/ syarat-syarat ilmu
pengatahuan yaitu:
a. Ilmu pengetahuan atau ilmu pendidikan yang bersitaf empiris
b. Ilmu itu bersifat sistematis
c. Ilmu itu mempunyai obyek atau lapangan tertentu yang jelas, dapat dipisahkan dari obyek
pengetahuan yang lain
d. Ilmu tersebut mempunyai metode dan tujuan tertentu
Pendidikan merupakan suatu proses mentransfer ilmu yang pada umumnya dilakukan melalui
tiga cara yaitu lisan, tulisan dan perbuatan. Pada dasarnya, pendidikan erat hubunganya dengan
ilmu karena obyek utama dari pendidikan adalah ilmu.
Pendidikan yang berlangsung beberapa puluh tahun menunjukkan perkembangannya sebagai
ilmu yang semakin mantap, baik dalam artian isi maupun metode. Maka, perkembangan isi
cabang ilmu pendidikan ini selain mengenai perbangdingan sistem pendidikan, tetapi juga
meliputi kaitan atau peranan pendidikan terhadap perkembangan aspek- aspek kehidupan lai
yang meliputi ekonomi, sosial dan politik.
Ilmu pendidikan di Indonesia saat ini, praktis hanya memperhatikan dan menganalisis
persoalan- persoalan pendidikan formal di sekolah. Perhatian ilmu pendidikan terhadap
masalah- masalah non-formal relatif kecil. Pertumbuhan pendidikan tidak hanya ditentukan
oleh pengalaman- pengalaman pendidikan formal, tetapi juga dipengaruhi oleh pendidikan non-
formal dan informal.
Ilmu pengetahuan menurut sistematikanya dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Ilmu-ilmu murni adalah ilmu yang mendahului pengalaman atau bebas dari pengalaman.
Contohnya matematika.
2) Ilmu terapan adalah ilmu yang dikaji berdasarkan pengalaman (empiris), penelitian,
pengkajian dan penyimpulan yang disusun secara teoritis dan dilaksanakan secara praktis.
ilmu pendidikan adalah ilmu yang berdasarkan pengalaman(empiris), pendidikan, rohani,
normatif, memiliki obyek yang jelas, dapat diuji kebenarannya dan disusun secara teoritis dan
dilaksanakan secara praktis.
Sehingga ilmu pendidikan memenuhi kriteria atau syarat-syarat ilmu pengatahuan yaitu:
a. Ilmu pengetahuan atau ilmu pendidikan yang bersitaf empiris.
b. Ilmu itu bersifat sistematis
c. Ilmu itu mempunyai obyek atau lapangan tertentu yang jelas, dapat dipisahkan dari obyek
pengetahuan yang lain
d. Ilmu tersebut mempunyai metode dan tujuan tertentu

2. .....
3. Peran pendidikan dalam pengembangan wujud sifat hakikat manusia
Lysen mengartikan individu sebagai orang seorang, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhanyang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai
pribadi.(Lysen, individu dan masyarakat). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah
dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri.
Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld (seorang
pakar pendidikan yang tersohor di Negeri Belanda) yang mengatakan bahwa setiap orang
memilikiindividualitas. Bahkan dua anak kembar yang berasal satu telur pun, yang lazim
dikatakanseperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya
serupa tetapitidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat fisiknya maupun
hidupkejiwaannya (kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat unik (tidak ada
taradan bandingannya). Karena adanya individualitas itu setiap orang memiliki
kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.

Dimensi Kesosialan
Setiap bayi lahir dikaruniai potensi sosialitas (MJ. Langeveld 54) pernyataan tersebutdiartikan
bahwa setiap untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada
hakikatnya daidalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima, dipandangsebagai
kunci sukses pergaulan. Adanya dorongan untuk meerima dan memberi itu sudahmenggejalah
mulai masa bayi.Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada
dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu
dengansesamanya.
Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak dahulu kala, sebelum
manusiamengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau
dengan perantaraan alat indranya. Diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang
menguasaihidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada
kekuatantersebut diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-
kekuatantersebut, dilakukan bermacam-macam upacara menyediakan sesajen-sesajen dan lain-
lain
Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan
dimensihakikat manusia menjadi tugas pendidikan.Manusia lahir telah dikaruniai dimensi
hakikat manusia tetapi masih dalam wujud potensi,
belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau aktualisasi. Dari kondisi ‘potensi’
menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan
untuk berperan dalam memberikan jasanya.Setiap manusia lahir dikaruniai naluri yaitu
dorongan-dorongan yang alami (doronganmakan, seks, mempertahankan diri, dan lain-lain).
Jika seandainya manusia dapat hiduphanya dengan naluri maka tidak bedanya dengan hewan.
Hanya melalui pendidikan statushewani itu dapat diubah kea rah status manusiawi

Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi bukan
hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia denganhewan
banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.Beberapa filosof seperti Socrates
menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller
menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewanyang sakit) yang selalu gelisah dan
bermasalah
Manusia sangat jelas berbeda dengan hewan. Hal ini dapat dilihat melalui wujud sifat hakikat
manusia, yaitu kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi, kepemilikan kata hati,
moral, tanggung jawab, rasa kebebasan, kewajiban dan hak, kemampuan menghayati
kebahagiaan, kemampuan berbahasa. Ditilik dari segi lain, manusia ternyata memiliki dimensi-
dimensi yang meliputi dimensi individual, sosial, susila, dan agama. Dalam suatu proses
pembelajaran, baik wujud sifat hakikat manusia maupun dimensi-dimensi manusia yang telah
dimiliki oleh setiap peserta didik perlu dikembangkan. Tujuannya tentu saja agar mereka lebih
tahu eksistensi mereka di atas permukaan bumi ini dan agar mereka lebih tahu bahwa mereka
adalah makhluk ciptaan Allah yang pada hakikatnya berbeda dengan makhluk yang lain
sehingga akan terlahir manusia Indonesia seutuhnya seperti yang diinginkan masyarakat,
bangsa, dan agama

4. Dasar hukum pendidikan di indonesia


Definisi Dasar Hukum Pendidikan
Hukum adalah aturan yang harus ditaati, bila dilanggar mendapat sangsi sesuai dengan aturan
yang berlaku. Landasan hukum dapat diartikan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau
titik tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan.
Tetapi tidak semua kegiatan pendidikan dilandasi oleh aturan-aturan baku ini, contohnya aturan
cara mengajar, cara membuat persiapan, supervisi, yang sebagian besar dikembangkan sendiri
oleh para pendidik.
Dasar Hukum Pendidikan di Indonesia
Landasan Hukum Pendidikan (Aspek Legal Formal), yaitu sebagai berikut :
1. Pendidikan Menurut Undang Undang Dasar 1945
Pasal pasal yang bertalian dengan pendidikan dalam Undang Undang Dasar 1945 hanya 2 pasal,
yaitu pasal 31 dan 32. Pasal 31 mengatur tentang pendidikan kewajiban pemerintah membiayai
wajib belajar 9 tahun di SD dan SMP, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan
APBD, dan sistem pendidikan nasional. Sedangkan pasal 32 mengatur tentang kebudayaan.
2. Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang undang ini selain memuat pembaharuan visi dan misi pendidikan nasional, juga terdiri
dari 77 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum (istilah-istilah terkait dalam dunia
pendidikan), dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, prinsip penyelenggaraan
pendidikan, hak dan kewajiban warga negara, orang tua dan masyarakat, peserta didik, jalur
jenjang dan jenis pendidikan, bahasa pengantar, standar nasional pendidikan, kurikulum,
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pendanaan pendidikan,
pengelolaan pendidikan, peran serta masyarakat dalam pendidikan, evaluasi akreditasi dan
sertifikasi, pendirian satuan pendidikan, penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain,
pengawasan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
Sebagai Induk peraturan perundang undangan pendidikan mengatur pedidikan pada umumnya,
artinya yang bertalian dengan pendidikan, mulai dari pra-sekolah sampai dengan perguruan
tinggi.
3. Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Undang undang ini memuat 84 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum(istilah-istilah
dalam undang-undang ini), kedudukan fungsi dan tujuan , prinsip profesionalitas, seluruh
peraturan tentang guru dan dosen dari kualifikasi akademik, hak dan kewajiban sampai
organisasi profesi dan kode etik, sanksi bagi guru dan dosen yang tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana mestinya, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
4. Undang-Undang yang berkaitan dengan kependidikan

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum


Pendidikan
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan.
3. PP No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidik
5. Yang berhubungan dengan Peraturan Kepegawaian

1. PP No.47 tahun 2005 tentang PNS yang menduduki Jabatan Rangkap.


2. PP No.48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS
3. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No.21 tahun 2005 tentang Pedoman
Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer.
6. Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan sebagai berikut

1. PP Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah.


2. PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar.
3. PP Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
4. PP Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi.

7. Perda Pendidikan di Kabupaten atau Provinsi di Indonesia


Implikasi Landasan Hukum Terhadap Konsep Pendidikan
Sebagai implikasi dari landasan hukum pendidikan, maka pengembangan konsep pendidikan
di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Ada perbedaan yang jelas antara pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
2. Pendidikan profesional tidak cukup hanya menyiapkan ahli dalam menerapkan statu teori,
tetapi juga mempelajari cara membina tenaga pembantu dan mengusahakan alat-alat bekerja.
3. Sebagai konsekuensi dari beragamnya kemampuan dan minat siswa serta dibutuhkannya
tenaga verja menengah yang banyak maka perlu diciptakan berbagai ragam sekolah kejuruan.
4. Untuk merealisasikan terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya maka perlu perhatian
yang sama terhadap pengembangan afeksi, kognisi dan psikomotor pada semua tingkat
pendidikan.
5. Pendidikan humaniora perlu lebih menekankan pada pelaksanaan dalam kehidupan
seharí-hari agar pembudayaan nilai-nilai Pancasila akan lebih mudah dicapai.
6. Melaksanakan kurikulum muatan lokal
Landasan hukum merupakan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam
melaksanakan kegiatan pendidikan.
Dasar hukum pendidikan di indonesia, yaitu : UUD 1945 Pasal 31 dan 32, Undang Undang
No. 20 Tahun 2003, Undang Undang No. 14 Tahun 2005, Dll
Guru harus memiliki pedoman dan acuan dalam melaksanakan tugasnya sehingga
penyimpangan-penyimpangan dalam bidang pendidikan dapat dihindari. Guru tidak hanya
terbatas memahami ketentuan berupa undang-undang pokok dibidang pendidikan melainkan
juga ketentuan lain seperti undang-undang dasar, ketetapan MPR, kepres, peraturan
pemerintah, bahkan kurikulum yang ditetapkan dengan keputusan menteri dan kode etik guru.
5. Kualitas pendidikan di indonesia
Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir
(kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin
hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang
sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan,
seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal
yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari
guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai
“pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti
menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang
industri dan teknologi.Masalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau
kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin)
adalah pendidikan gaya bank. Sistempendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para
peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai
pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran
yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang
sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Masalah dari
model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap
untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia
sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru
bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar
budayanya (seperti di dunia Timur/Asia).
Kualitas Pendidikan di Indonesia
Kualitas pendidikan di Indonesia sekarang ini sangat rendah dari apa yang di harapkan dan
tujuan dari pendidikan itu sendiri tidak sesuai. Ada dua faktor yang mempengaruhi
kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
1. Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen
Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di
garis depan.Dalam hal ini, interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan
agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
2. Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Dimana, masyarakat merupakan
ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek
dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk.
Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap.
Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal
39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat.
Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi
les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel, dan sebagainya.
Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian
prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut
Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada
di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44
negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia
dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data
Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen
Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi.
Angka Partisipasi MurniPendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa).
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam
usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang
tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996)
yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi
oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S1 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%,
sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-
masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang
Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum
yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya
yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya
biaya pendidikandari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak
boleh sekolah.
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-
faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik,
mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru,
rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan
kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar
dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang
menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah
manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis
terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat
untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.
6. Pendidikan karakter berbasis moral
Penguatan pendidikan karakter di era global yang penuh dengan paradoks dan pergeseran nilai,
sangat relevan dan urgen dalam mengatasi krisis moral yang tengah terjadi. Meski penyebab
merosotnya moral bersifat kompleks, namun ada dua faktor yang tidak dapat dipungkiri, yakni
faktor sosial internal dan faktor eksternal. Pada faktor sosial internal, muncul fenomena mulai
runtuhnya secara perlahan fungsi sosial terhadap pembentukan moral anak, seperti:
berkurangnya pengawasan orang-tua, ketidakpedulian masyarakat, hilangnya contoh
ketauladanan, dan disharmonisasi. Sementara pada faktor eksternal, deraan masuknya nilai-
nilai dari luar melalui berbagai kemajuan IT secara terus-menerus telah menyebabkan
terjadinya pertentangan nilai dalam diri anak, bahkan bertentangan dengan norma-norma yang
tengah ditumbuhkan pada keluarga, sekolah dan masyarakatnya. Kedua faktor inilah yang
menjadi penyebab kemerosotan moral pada anak, hingga memunculkan demoralisasi dalam
7. kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Faktualitas merosotnya moral di kalangan anak bangsa, menjadikan kehadiran pendidikan
karakter sebagai bagian dari upaya membangun moral bangsa. Untuk itu, rancangan
pendidikan karakter berbasis nilai moral sebagai usulan perlu mendapat perhatian dan masukan
secara berkelanjutan dalam menguatkan aktualisasi dan implementasi pendidikan karaker.
Menurut Ramli (2001), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang mirip dengan
pendidikan moral. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak agar menjadi manusia, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah
mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya moral
yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk
melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar serta memiliki
tujuan hidup. Begitupun dengan Raharjo (2010) yang menekankan pentingnya dimensi moral
dalam pendidikan karakter. Menurutnya, pendidikan karakter merupakan proses pendidikan
yang secara holistik menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan
peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup
mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penekanan pendidikan karakter pada dimensi moral juga diulas secara komprehensif oleh
Lickona (1991), yang menyatakan pendidikan karakter pada hakikatnya adalah pembentukan
moral. Dalam pendidikan karakter diperlukan adanya tiga komponen karakter yang baik
(components of good character), yakni: moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral
feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan
bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik yang terlibat dalam sistem pendidikan dapat
memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebajikan (moral).
Selanjutnya diuraikan, masing-masing komponen karakter yang baik ke dalam beberapa
dimensi. Dimensi pertama adalah moral knowing, dimensi ini yang akan mengisi ranah kognitif
dengan kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing
moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning),
keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge).
Sedangkan dimensi kedua moral feeling, merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk
menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus
dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self
esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good),
pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Berikutnya dimensi moral action,
sebagai perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen
karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik
(act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence),
keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
7. .......
8. Pendidikan sebagai garda terdepan penguatan karakter bangsa
Bangsa ini sesungguhnya memiliki modal yang sangat besar untuk menjadi negara modern
namun berkepribadian. Modern saja tentunya tidak cukup, sebab tanpa memiliki kepribadian
maka sebuah bangsa akan larut ke dalam tindakan yang salah arah. Banyaknya penyimpangan
perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berpadu dengan moral masyarakat yang memiliki
mental senang kekerasan, senang hura-hura, bahkan bangga bila melanggar hukum, serta
ketiadaan tanggung jawab. Maka jika demikian adanya, modern hanyalah akan meninggalkan
kesemberawutan dan akan menyebabkan bangsa ini menjadi kolaps.
Salah satu di antara penyebab terjadinya semua itu adalah lemahnya kualitas mental bangsa ini
dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat dan mengarah kepada modernisasi yang salah
arah. Hal itu kemudian berbuah menjadi: Pertama, Banyak orang yang ingin menjadi kaya akan
tetapi melalui jalan yang pintas. Kedua, Banyak orang ingin menjadi modern tetapi melalui
jalan yang salah; Ketiga, Banyak orang yang ingin menjadi sejahtera tetapi melalui jalan yang
tidak benar.

Langkah strategis membangun karakter kebangsaan adalah melalui sektor pendidikan. Hanya
negara-negara yang memiliki karakter kebangsaan yang kuatlah yang siap bersaing ditengah
globalisasi. Pendidikan nasional yang mengkolaborasikan sistem pendidikan formal modern
dengan sistem pendidikan Agama dapat menjadi salah satu khazanah kekayaan dan bisa
menjadikan dunia pendidikan Indonesia sebagai garda terdepan bagi penguatan karakter
kebangsaan.
Harus disadari bahwa salah satu keunikan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa-
bangsa lain di dunia adalah warisan multietnik dan multikultur. Keberagaman etnik yang
hingga kini mencapai lebih dari 500 etnik yang menggunakan 250 bahasa merupakan
kekayaan bangsa yang mesti dipelihara dan dikelola dengan mengedepankan nilai-nilai
kemajemukan sehingga masing-masing etnik bukan berdiri sebagai entitas yang tertutup dan
independen melainkan saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung, serta saling
mempengaruhi satu sama lain.
Prinsip “Bhineka Tunggal Ika” seharusnya dapat dijadikan kunci pembuka interaksi sosial
sehingga terbangun suatu pemahaman lintas budaya dan rasa percaya pada setiap pihak yang
terlibat dalam interaksi itu, yang merupakan modal sosial bagi terbentuknya suatu hubungan
antar-etnik dan antar- budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Dengan demikian, hidup dalam
keberagaman dapat dipandang sebagai suatu kekuatan dahsyat dalam membangun nasionalisme
struktural menuju bangsa yang mandiri dan bermartabat.

Pendidikan Karakter adalah upaya penyiapan kekayaan batin peserta didik yang berdimensi

agama , social, budaya, yang mampu diwujudkan dalam budi pekerti, baik dalam perbuatan

maupun perkataan.
Pendidikan Karakter adalah suatu system penanaman nilai – nilai karakter kepada warga

sekolah yang meliputi kompenen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk

melaksanakan nilai nilai tersebut. baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,diri sendiri, sesama,

lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kami


Yang diharapkan adalah bangsa Indonesia yang memiliki SDM-cinta tanah air,
kesadaran berbangsa dan bernegara, Pancasilais, rela berkoban, memiliki kemampuan
untuk dapat mampu menjaga :

1. Ketahanan bangsa yang diperlukan menghadapi ancaman Nasional di Era Globalisasi


2. Kualitas SDM (Agamis-Nasionalis) yang dibutuhkan NKRI yang sedang mengalami
“perkembangan” peradaban dan memiliki jatidiri dan moral religius tangguh
3. Kebersamaan, menjunjung tinggi azas keadilan & kesetaraan, memegang komitmen,
konsisten penuh tanggung jawab
Mengutamakan kepentingan nusa dan bangsa, berpandangan luas ke depan dan peka terhadap
kondisi dan situasi dengan menghargai waktu, bijaksana dan santun dalam bertindak serta
keterbukaan yang berkepribadian
9. Peranan sastra dalam pendidikan karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanam nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
(warga masyarakat) yang mencakupi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesame, lingkungan, maupun kebangsaaan; sehingga menjadi manusia insane kamil.
Dalam pendidikan karakter di sekolah semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum proses pembelajaran
dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengajarkan cara berpikir dan berperilaku
untuk membantu individu dalam hidup dan bekerja sama sebagai anggota keluarga,
masyarakat, dan negara. Ranah pendidikan karakter juga mengantarkan peserta didik untuk
membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter mengarahkan
atau mengajari peserta didik berpikir cerdas, bertanggungjawab, dan santun.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah,
yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol
yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah
merupakan cirri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah yang bersangkutan.
Sasaran pendidikan karakter dalam konteks sekolah ialah seluruh sekolah negeri maupun
swasta di Indonesia beserta warganya sekolah (guru, peserta didik, karyawan administrasi, dan
pimpinan sekolah); sedangkan dalam konteks berbangsa, seluruh warga negara Indonesia harus
terlibat langsung dalam proses pendidikan karakter, sehingga atmospir atau nadi kehidupan
berbangsa penuh dengan aura pendidikan karakter.
Adapun tujuan pendidikan karakter (dalam ranah sekolah) adalah untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang
sesuai standar kompetensi lulusan. Pada sisi lain, dengan pendidikan karakter diharapkan
peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya,
mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dalam perilaku
sehari-hari.

Pengaruh sastra dalam pembentukan karakter siswa tidak hanya didasarkan pada nilai yang
terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan
pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada
hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang
bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga siswa akan cenderung cinta kepada
kebaikan dan membela kebenaran.
Pada kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter tekun, cermat, taat, dan kejujuran.
Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif dikembangkan karakter ketelitian, dan berpikir ke
depan (visioner).
Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di sekolah. Peran
lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra
sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap apresiatif
siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat.
10. Penguatan karakter SDM melalui Pendidikan
Pendidikan memiliki peran penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang
kompetitif dan unggul. Menghadapi MEA 2015, peran pendidikan sangat membantu
kemajuan perkembangan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia, untuk mencapai
kesuksesan di era pasar bebas ASEAN. Oleh karena itu, untuk memajukan pendidikan di
Indonesia tidak hanya dengan merubah kurikulum dan melengkapi sarana dan prasarana saja,
melainkan juga memperhatikan pembangunan SDM yang akan mengemban pendidikan
tersebut.
Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal,
peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan
kamil, dimana tujuan pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan
hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu,
dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Dengan menerapkan sistem pendidikan Ki
Hajar Dewantoro yakni “sistem Among” (Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa,
dan Tutwuri handayani) Dan pengembangan soft skill pada jalur non-akademik
untuk menyiapkan mahasiswa agar menjadi lulusan-lulusan yang mampu bersaing dalam era
MEA. Upaya tersebut bersinergi dan berkesinambungan agar mahasiswa memiliki karakter
yang mampu menjadikannya mampu bersaing dalam era MEA. Adapun karakter yang
dimaksud antara lain: inisiatif, integritas, komitmen, kreatif, mandiri, managemen diri, dan
kerja sama.
Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal,
peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan
kamil, dimana tujuan pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan
hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu,
dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Adapun nilai-nilai yang perlu dihayati dan
diamalkan oleh guru saat mengajarkan mata pelajaran di sekolah adalah: religius, jujur,
toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Sistem Pendidikan Dalam pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan
“Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai
sentral proses pendidikan. Dalam Sistem Among, maka setiap pamong sebagai pemimpin
dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya
mangun karsa, dan Tutwuri handayani.
1. Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing ngarsa berarti di depan, atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih
berpengatahuan. Sedangkan tuladha berarti memberi contoh, memberi teladan. Jadi ing
ngarsa sung tuladha mengandung makna, sebagai among atau pendidik adalah orang yang
lebih 13 berpengetahuan dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik
atau dapat dijadikan sebagai “central figure” bagi siswa.
2. Ing Madya Mangun Karsa
ing madya mangun karsa mengandung makna bahwa pamong atau pendidik sebagai
pemimpin hendaknya mampu menumbuh kembangkan minat, hasrat dan kemauan anak didik
untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan
ideal.
3. Tutwuri Handayani
Tutwuri berarti mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab
berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative,
possessive, protective danpermissive yang sewenang-wenang. Sedangkan handayani berarti
memberi kebebasan, kesempatan dengan perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak
didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis
kodrat pribadinya

11. Peran pendidikan terhadap pergaulan remaja


Masa remaja bagi sebagian besar orang merupakan masa-masa transisi, dari anak-anak
menjadi dewasa. Pada masa ini, seringkali remaja mengalami masa “pencarian identitas”.
Berbagai usaha dilakukan oleh para remaja untuk menunjukkan eksistensi diri mereka. Mulai
dari gaya berbusana, maupun mengikuti kontes ajang bakat. Pergaulan menjadi kunci sejauh
mana mereka dapat menunjukkan eksistensi dirinya. Pergaulan yang bebas terkadang
membuat para remaja tidak dapat mengontrol dirinya, sehingga mereka terjerumus terlalu jauh.
Banyak contoh, misalnya : free sex, pemakaian narkoba, drag race, dan lain sebagainya.
Sebab pergaulan bebas
Ada banyak hal yang menyebabkan para remaja ini terjerumus dalam pergaulan bebas, antara
lain :
a. Kurangnya perhatian dari orang tua,
Perceraian atau ketidakharmonisan orang tua seringkali menjadi pemicu utama para remaja
kemudian mencari pelarian atas permasalahannya, biasanya mereka mengkonsumsi narkoba
maupun minuman keras, untuk melupakan sesaat permasalahan mereka. Selain itu, kesibukan
orang tua juga menyebabkan orang tua tidak lagi memiliki waktu untuk sekedar mengobrol
dengan anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka mencari cara untuk menarik perhatian
mereka.
b. Penerimaan dalam kelompok,
Para remaja biasanya memiliki geng-geng atau kelompok-kelompok sepermainan. Masing-
masing kelompok memiliki ciri khas sendiri, atau kegiatan khas tersendiri. Untuk dapat diterima
sebagai anggota kelompok, biasanya remaja yang termasuk dalam kelompok ini harus
mengikuti aturan dalam kelompok. Misalnya, cara berbusana, maupun minuman-minuman
keras.
c. Kurangnya aqidah,
Pemahaman remaja tentang aqidah (Islam), yaitu tentang perintah dan larangan Allah, saat ini
terasa sangat minim. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan agama di rumah,
bahkan di sekolah pun pelajaran agama hanya diberikan selama dua jam pelajaran dalam satu
minggu.
Keluarga sebagai sekolah pertama
Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para remaja ini diperlukan kerjasama
orang tua, sekolah, dan masyarakat. Keluarga, dalam hal ini orang tua, merupakan tempat
pendidikan yang pertama dan utama bagi remaja sebagai generasi penerus bangsa. Keluarga
memiliki tanggung jawab yang besar dalam mencetak pemimpin bangsa. Keluarga adalah institusi
pertama yang meletakkan informasi fondasi kepribdian yang kuat, dengan kata lain pendidikan di
keluarga seyogyanya dimulai sejak dini, atau pada saat anak masih di dalam rahim. Pendidikan
awal yang ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya ialah dasar aqidah yang kuat. Pada saat
anak masih dalam kandungan, ia terbiasa mendengarkan kata-kata manis dan lembut dari ibunya
dan lantunan ayat-ayat Al-qur’an.
Ada tiga tahap perkembangan pendidikan anak (dalam keluarga) menurut Islam. Tahap pertama,
yaitu pada saat anak berusia 0-7 tahun adalah pertumbuhan balita, dimana akan sangat
membutuhkan pemeliharaan dan kash sayang seorang ibu. Setelah anak mulai belajar berbicara,
peranan ibu sangat vital. Sebab bahasa yang pertama kali dikenal oleh anak adalah bahasa ibu.
Daam usia 6 tahun anak harus diajarkan adab sopan santun untuk membentuk akhlaqul karimah
sang anak.
Pada tahap kedua, usia 7 sampai 10 tahun adalah adalah tahap pemeliharaan anak,
menyampaikan nasehat-nasehat Islami, dikenalkan kewajiban-kewajibannya sebagai muslim.
Tahap ta’dib (pengawasan) adalah tahap pada saat anak menjelang akil baligh (7-15 tahun). Tahap
ini merupakan masa yang penting karena merupakan saat anak mengalami pubertas/perubahan.
Oleh karena itu anak harus dikenakan hukuman bila melanggar kewajiban yang dibebankan
kepadanya.
“Suruhlah anakmu mengerjakan shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun bila
mereka tidak shalat, pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Al Hakim dan Abu Daud)
Tahap ketiga, jika anak telah mencapai usia baligh (lebih kurang ), dapat dikatakan anak memasuki
tahap penyempurnaan kepribadian (dewasa) dan mulai dibebankan kepada tanggung jawab.
Dalam hal ini anak mulai dikenalkan cara mandiri untuk mencari nafkah dan lebih bertanggung
jawab dengan dirinya sendiri.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
Setelah anak memasuki usia 5 tahun, peran keluarga dan masyarakat (lingkungan) tidak lagi
mencukupi kebutuhan pendidikan anak. Pada usia ini anak perlu mendapatkan proses yang
terstruktur dalam suatu kurikulum. Satu-satunya lembaga yang mampu menyelenggarakan
fungsi in adalah sekolah. Pendidikan di sekolah dilakukan berjenjang : tingkat dasar,
menengah, dan perguruan tinggi. Proses pendidikan di suatu jenjang seharusnya
dikembangkan serta dikokohkan di jenjang berikutnya
Sekolah melaksanakan peran pendidikan ini melalui tiga perangkat, yaitu: kurikulum
berlandaskan aqidah Islam, guru/tenaga pendidikan yang profesional serta berkepribadian
Islam, serta sarana dan prasarana yang kondusif untuk melakukan proses pembentukan sifat
adil dan kapabilitas kepemimpinan pada anak. Pendidikan kepribadian Islam di sekolah harus
dilakukan pada semua jenjang pendidikan sesuai dengan proporsinya, dengan berbagai
pendekatan.
Kurikulum di sekolah harus disesuaikan dengan perkembangan anak, dan sesuai dengan
Islam, tentunya. Pada tingkat TK sampai SD, matri kepribadian Islam yang diajarkan adalah
materi-materi dasar. Hal ini mengingat anak didik berada pada usia menuju baligh, sehingga
lebih banyak materi yang bersifat pengenalan guna menumbuhkan keimanan. Setelah
mencapai usia baligh (SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi), materi yang diberikan bersifat
lanjutan : pembentukan, peningkatan, dan pematangan. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara
dan sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatan terhadap syariat Islam.
Selain kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam, guru dan pengelola pendidikan juga
berperan penting dalam pembentukan kepribadian siswa. Untuk bisa memberikan materi
secara forma struktural dan nonstruktural guru harus menguasai materi dan mampu
menyajikannya dengan baik. Guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi semata,
akan tetapi lebih jauh lagi berperan sebagai tauladan (uswah) yang baik. Tanpa teladan dari
guru sulit diharapkan tertanamnya kepribadian Islam pada anak didik.
Budaya sekolah merupakan proses yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses
pendidikan. Contohnya: mengingatkan teman (sesama siswa) yang berbuat tidak baik, dengan
cara yang ma’ruf. Atau pihak sekolah memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak
menutup aurat (menojolkan aurat / berpakaian tidak sopan), bergaul yang tidak Islami,
membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.
Masyarakat sebagai “polisi sosial”
Kontrol dari masyarakat juga diperlukan guna mengatasi bahaya yang lebih besar lagi, karena
lingkungan masyarakat merupakan tempat remaja tersebut hidup. Masyarakat merupakan
lingkup pendidikan nonformal, dimana remaja belajar bersosialisasi dan menerapkan apa yang
ia dapatkan dari keluarga dan sekolah. Selain itu, dengan besosialisasi dengan masyarakat
dan lingkungannya, remaja juga belajar tentang norma-norma yang berlaku di dalam
masyarakat, misalnya norma kesopanan, norma susila, norma hukum, dan lain sebagainya.
Kontrol dari masyarakat juga diperlukan untuk membentuk perilaku remaja itu. Masyarakatlah
yang mengingatkan para remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji,
misalnya : drag race liar, remaja berlainan jenis yang berdua-duaan, dan lain sebagainya.
Namun, kondisi yang sekarang ini dalam masyarakat sudah mulai terkesampingkan.
Masyarakat tidak lagi menjadi “polisi sosial”.
Kesimpulan
Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Diharapkan
kerjasama dari ketiganya akan mampu mengatasi bahaya pergaulan bebas di kalangan
remaja. Keluarga bukan hanya tempat para remaja ini untuk menumpang hidup, makan dan
tidur semata, melainkan di dalam keluarga para remaja akan memperoleh pendidikan informal
sebagai bekal mereka hidup di luar lingkungan keluarganya. Jangan sampai keluarga hanya
tahu mereka baik di dalam rumah, tetapi di luar rumah mereka lepas kendali. Jadi, harus ada
komunikasi di antara kedua belah pihak. Sekolah juga bukan hanya tempat ia mencari ilmu,
melainkan juga sebagai tempat ia untuk belajar mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat.
Masyarakat sebagai “polisi sosial” harus mampu mengontrol tingkah laku para remaja.
Masyarakat tidak boleh bertindak masa bodoh, acuh tak acuh melihat pergaulan para remaja
yang sudah melanggar norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.

12. Pendidikan anti korupsi berbasis keluarga


Pendidikan Antikorupsi
Praktik korupsi di negeri ini tidak mungkin bisa dicegah secara instan, namun
membutuhkan waktu yang sangat panjang demi perbaikan moralitas bangsa yang
semakin tidak karuan. Penanaman antikorupsi sudah saatnya dimulai sejak dini agar
anak-anak kita mengerti apa itu korupsi dan dampaknya dalam kehidupan di masa
depan.
Pendidikan antikorupsi berbasis keluarga merupakan gerakan nyata untuk menanamkan
nilai-nilai kebaikan dan kejujuran kepada anak sejak usia dini agar menyadari tanggung
jawabnya sebagai hamba Allah. Mengapa harus berbasis keluarga? Ini karena keluarga
adalah pendidikan pertama dan utama yang akan menentukan terhadap masa depan
anak, apakah akan menjadi pribadi yang berkarakter baik atau jahat.
Penanaman nilai-nilai antikorupsi berbasis keluarga tidak bisa sekadar dirumuskan
dalam kurikulum pendidikan di sekolah, tetapi harus melibatkan peran orangtua dalam
menumbuhkan kesadaran antikorupsi sejak dini kepada anak-anak mereka. Artinya,
gerakan antikorupsi harus dimulai sejak anak sudah bisa melakukan komunikasi secara
lancar dengan orangtuanya.

Bagaimana Peran Orangtua?

Permasalahan korupsi yang melibatkan satu komponen keluarga, haruslah menjadi


pelajaran bagi para orangtua untuk berkomitmen dalam membentuk keperibadian dan
karakter anak secara baik dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Para orangtua sebisa
mungkin bisa memetik hikmah dari permasalahan korupsi yang melibatkan generasi muda
dan hubungan kekeluargaan yang semakin masif.

Lalu apa fungsi keluarga bagi pembentukan karakter antikorupsi? Syamsul Yusuf
dalam “Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja”, mengatakan bahwa keluarga
berfungsi sebagai fungsi biologi, ekonomi, pendidikan (edukatif), sosialisasi,
perlindungan (proteksi), rekreatif, dan agama (religius). Sebagai pendidikan pertama,
keluarga sangat tepat dijadikan solusi atas setiap persoalan yang menimpa anak usia
dini. Melalui pendidikan keluarga, anak akan terdidik dan terbiasa dengan aktivitas yang
berguna dan bermanfaat bagi kehidupannya kelak.
Seorang ibu dalam kehidupan keluarga merupakan faktor yang sangat menentukan
terhadap proses pembentukan karakter anak agar terhindar dari perbuatan yang dilarang
oleh norma hukum dan agama. Dalam proses pembentukan karakter itu, peran ibu
memainkan peran yang sangat urgen dalam mengajarkan nilai-nilai kejujuran sebagai
modal awal dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Kejujuran adalah suatu tindakan yang lurus, tidak berbohong, dan tidak curang dalam
situasi apa pun. Kejujuran merupakan salah satu nilai yang paling utama dalam
pendidikan antikorupsi, karena tanpa sifat kejujuran seseorang tidak akan memperoleh
kepercayaan dari siapa pun. Ketika anak sudah mengerti dengan tugas-tugas
perkembangannya, orangtua harus segera mungkin menanamkan nilai-nilai kejujuran
kepada dirinya.

Sebagai nilai penting dari pendidikan antikorupsi, kejujuran harus menjadi prinsip hidup bagi
seorang anak dalam menempa hidupnya di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Prinsip untuk tidak berkata bohong kepada diri sendiri dan orang lain sebisa mungkin telah
melekat dalam sanubari seorang anak, agar kelak ketika sudah dewasa mampu menjaga
prinsip hidupnya tersebut.

Nilai antikorupsi yang tidak kalah pentingnya adalah peran orangtua dalam mengajarkan
hidup sederhana bagi anak-anak mereka. Dengan gaya hidup sederhana, seorang anak
dibiasakan untuk tidak boros dan menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya.
Gaya hidup sederhana dalam kehidupan keluarga merupakan nilai penting yang bisa
mencegah perbuatan anak untuk hidup dalam keserakahan atau ketamakan.

Dalam kehidupan keluarga, seorang anak tidak boleh dibiarkan hidup dengan kemewahan
harta dan selalu dimanja untuk memenuhi keinginannya. Jika kita membiarkan anak hanya
hidup berfoya-foya dan menghabiskan uang untuk kesenangan sesaat, maka bisa dipastikan
gaya hidup itu akan menular sampai usia dewasa. Tanpa kita sadari, keluarga menjadi salah
satu pemicu seorang anak untuk melakukan korupsi, karena pola hidup konsumtif dan
hedonis yang dibina dari keluarga.

Maka pendidikan antikorupsi dengan penanaman hidup sederhana dalam keluarga


merupakan salah satu instrumen nyata dalam menumbuhkan kesadaran sejak dini bagi anak
untuk menempa hidup dengan kesederhanaan. Ini karena, hidup sederhana menjadi bagian
penting dari nilai antikorupsi untuk tidak hidup serakah dan selalu mensyukuri nikmat Tuhan
dengan penuh kelapangan.

Akhirnya, pendidikan antikorupsi berbasis keluarga harus benar-benar dimulai dari peran
penting orangtua dalam mendidik anak-anak mereka dengan penuh perhatian, kasih sayang,
dan rasa cinta yang mendalam. Pendidikan tentang kejujuran, kedisiplinan, dan
kesederhanaan dalam lingkungan keluarga merupakan bentuk-bentuk pencegahan
antikorupsi sejak dini dan diharapkan tetap menjadi pegangan hidup ketika seorang anak
sudah memasuki usia dewasa serta berkecimpung dalam kehidupan masyarakat dan
pemerintahan.

13. ............................................

Anda mungkin juga menyukai