PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
yang relatif lebih baik, lebih berbudaya dan lebih manusiawi, Guna mencapai hal
tersebut. Tujuan pembelajaran yang hendak dicapai yakni peserta didik mampu
mengetahui atau mempelajari lebih banyak apa yang telah dipelajari (learning to
orang lain (learning to live together) dan memiliki kepribadian emosional dan
tidak lagi menjadi wahana mengajar (teaching) tetapi lebih diarahkan sebagai
mengasikkan dan mencerdaskan peserta didik. Oleh karena itulah, guru dituntut
mampu mengembangkan pola pikir dan mengubah sikap serta perilaku peserta
didik. Caranya dengan menciptakan situasi dan kondisi belajar yang efektif
sekolah. Atau dengan kata lain, guru harus memfokuskan pada aspek kognitif,
sebuah ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Dimana ilmu inisangat penting
untuk kita pelajari sebagai mahasiswa dan mahasiswi yang akan diaplikasikan
dilakukan oleh orang yang cerdas. Terjadi terhadap suatu proses dengan
berdasarkan pengetahuan.
dan memahami peran dan fungsi psikologi dalam proses pembelajaran dan
pendidikan. Agar setiap problematika yang terjadi dalam proses pendidikan bisa
Psikologi perlu juga kita kaji agar kita ebih mudah untuk mengetahui
perekembangan jiwa yang didmiliki oleh seorang anak didik kita kelak. Agar kita
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
diatas seajalan dengan pendapat Purwanto (1987 :11) yang menyatakan bahwa
Pendidikan adalah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa
kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna
Pengalaman itu terjadi karena ada interaksi antara seseorang atau kelompok
lingkungannya”
pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk
mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk
B. Pengertian Psikologi
merupakan gabungan dan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos
berarti ilmu. Secara harafiah psikologi diartikan sebagal ilmu jiwa. Istilah psyche
atau jiwa masih sulit didefinisikan karena jiwa itu merupakan objek yang bersifat
Dalam beberapa dasawarsa ini istilah jiwa sudah jarang dipakai dan diganti
campuran (kombinasi).
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang baik
yang dapat dilihat secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara
tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun
tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara, duduk ,
berjalan dan lain sebgainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir,
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai
tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku
Pada hakekatnya tingkah laku manusia itu sangat luas, semua yang
dialami dan dilakukan manusia merupakan tingkah laku. Semenjak bangun tidur
sampai tidur kembali manusia dipenuhi oleh berbagai tingkah laku. Dengan
demikian objek ilmu psikologi sangat luas. Karena luasnya objek yang dipelajari
psikologi, maka dalam perkembangannya ilmu psikologi dikelompokkan dalam
kehidupannya.
4. Psikologi Industri, ilmu yang mempelajari tingkah laku yang muncul dalam
5. Psikologi Klinis, ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang sehat dan
tidak sehat, normal dan tidak normal, dilihat dari aspek psikisnya.
pendidikan manusia.
manusia yang terlibat dalam proses pendidikan. Manusia yang terlibat dalam
proses pendidikan ini ialah guru dan siswa, maka objek yang dibahas dalam
psikologi pendidikan adalah tingkah laku siswa yang berkaitan dengan proses.
belajar dan tingkah laku guru yang berkaitan dengan proses pembelajaran.
Sehingga objek utama yang dibahas dalam psikologi pendidikan adalah masalah
pada siswa, oleh karena itu dalam psikologi pendidikan juga dibahas aspek-
aspek psikis atau gejala kejiwaan yang terdapat pada siswa terutama ketika
Sama lain. Apabila seorang guru sudah memahami bahwa pada setiap
kelas dan mengembangkan teon yang lebih luas lagi di ruang kelas.
atau mengerti betul. tentang karakteristik anak didiknya. Anak didik bukan
tentang kondisi siswa di dalam kelas mutlak harus dipahami oleh seorang
guru.
individual. Di dunia ini tidak ada dua atau lebih individu yang sama.
Demikian pula guru dalam tugasnya akan menghadapi para siswa di dalam
karakteristiknya.
metode mana yang paling efektif dalam pelaksanaan tugas sebagai pendidik
dan pengaiar.
5. Psikologi pendidikan memberikan sumbangan kepada guru sehingga
ekonomi dan budaya. Pada akhirnya dengan memahami problem anak didik
kegiatannya secara total karena hal tersebut memiliki pengaruh yang besar
banyak cara dalam memecahkan masalah disiplin siswa, tidak harus dengan
2. Menggunakan audio visual sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dulu guru
setiap mata pelajaran. Agar seluruh materi pelajaran dapat diterima dengan
dapat diterima dengan baik oleh siswa, sedangkan mata pelajaran seni
ditempatkan pada jam terakhir untuk meningkatkan gairah belajar siswa yang
PEMBAHASAN
Konsep Belajar Bermakna
Belajar bermakna adalah belajar di mana siswa harus mengkaitkan konsep baru
dengan yang diperolehnya dalam bentuk proposisi (hubungan antar konsep) yang benar.
menurut David P. Ausubel adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa lebih mudah
memahami dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya
sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada
dalam pikirannya. Sehingga belajar dengan “membeo” atau belajar hafalan (rote learning)
adalah tidak bermakna (meaningless) bagi siswa. Belajar hafalan terjadi karena siswa tidak
mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang lama. Sebagai ahli psikologi
pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan
memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar
melalui bahasa (meaningful verbal learning).
Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan
prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak
dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa
menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya.
Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan
mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya
siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran
baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang
penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi
kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan
mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah
menguasai yang disampaikan gurunya.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya
menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta
baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya
asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa.
Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui
proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa
aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan
bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa
pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu.
Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta
konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah
proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi
pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada
dalam struktur siswa
Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur
kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.
Nasution 1982:158 menyimpulkan kondisi- kondisi belajar bermakna sebagai
berikut :
1. Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahan- bahan lama
2. Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih
terperinci.
3. Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama.
4. Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru
disajikan
Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan
pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan
dengan pengetahuan yang sudah ada.
2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari
ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
kemudian dia hafalkan.
3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun
secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang
baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah
tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian
pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia
miliki.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar
yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat
bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan
belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan
informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan
dihasilkan belajar yang baik.
Kebaikan-kebaikan dari belajar bermakna. Ausubel dalam Dahar (1989)
menggemukakan tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu:
1. informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
2. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya
untuk materi pelajaran yang mirip.
Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah
terjadi lupa.
1.PENGERTIAN MOTIVASI
Motivasi merupakan konsep hipotesis yang tidak secara langsung dapat diamati (Fox, 1993),
yang dapat diamati adalah perilaku sesudahnya. Istilah motivasi sendiri berasal dari
bahasa latin yaitu movere yang artinya gerak. Sedangkan secara umum motivasi
dapat diartikan sebagai : “Kondisi psikologis (internal states) yang menimbulkan,
mengarahkan dan mempertahankan tingkah laku tertentu” (Pintrich dan Schunk,
1996) Motivasi pada individu sangat penting karena motivasi yang dimiliki akan
mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam kegiatan belajarnya. Tinggi
rendah motivasi yang dimiliki seseorang mempengaruhi timbulnya keinginan untuk
belajar dan banyaknya materi yang akan dipelajari karena motivasi inilah yang
memberi kekuatan dan arah pada tingkah laku yang ditampilkan individu (Atkinson,
1964).
Kaitan Motivasi dengan Regulasi Diri Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004:478)
mendefinisikan regulasi diri sebagai proses dimana kita terbiasa utnuk mengaktifkan
dan menggunakan pemikiran, perilaku, dan emosi kita untuk mencapai tujuan kita.
Motivasi merupakan salah proses mencapai regulasi diri. Siswa yang dapat
meregulasi diri sendiri akan termotivasi untuk belajar. Mereka tahu mengapa mereka
belajar sehingga tindakan dan pilihan mereka memang mereka tentukan sendiri dan
bukannya dikontrol orang lain. Untuk berhasil di sekolah, remaja mengembangkan
ketrampilan regulasi diri yang beragam, seperti motivasi, penetapan tujuan, melihat
diri sendiri, manajemen waktu, dan evaluasi diri (Zimmerman & Cleary, 2006).
Siswa yang menampilkan perilaku regulasi diri dalam belajarnya, secara pribadi
mampu mengarahkan dirinya untuk memperoleh pengetahuan dan kemampuan baru
serta tidak menunggu guru, orang tua, atau orang lain untuk memberikan instruksi
(Zimmerman, 1989 dalam Anggara, 2002).
Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual dan berperan dalam
hal menumbuhkan semangat belajar untuk individu.
Demikian dalam belajar, prestasi siswa akan lebih baik bila siswa memiliki dorongan
motivasi orang tua untuk berhasil lebih besar dalam diri siswa itu. Sebab ada
kecenderungan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi mungkin akan
gagal berprestasi karena kurang adanya motivasi dari orang tua.
1. motivasi intrinsik
Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik menurut Huffman, Vernoy &Vernoy (1997) adalah
“the desire to perform an act for its own sake”. Orang dengan motivasi belajar intrinsik tidak
membutuhkan hadiah atau hukuman untuk membuat mereka belajar karena aktivitas belajar
itu sendiri sudah menguntungkan . Mereka menikmati tugasnya atau perasaan pencapaian
prestasi yang diperolehnya (Wolfok, 1993).
Menurut Priyitno (1989: 11) motivasi intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan
oleh faktor pendorong dari dalam diri (internal) individu. Tingkah laku individu itu terjadi
tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor dari lingkungan. Tetapi individu bertingkah laku karena
mendapatkan energi dan pengaruh tingkah laku dari dalam dirinya sendiri yang tidak bisa
dilihat dari luar.
Thornburgh dalam Priyitno (1989: 10) berpendapat bahwa motivasi intrinsik adalah
keinginan bertindak yang disebabkan faktor pendorong dari dalam diri sendiri. Dari definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik adalah dorongan dari dalam individu,
dimana dorongan tersebut menggerakkan individu atau subyek untuk memenuhi
kebutuhan,tanpa perlu dorongan dari luar.
2.Motivasi Ekstrinsik
motivasi ekstrinsik menurut Huffman, Vernoy &Vernoy (1997) adalah: “The desire to
perform an act because of external reward or avoidance of punishment”. Ciri dari motivasi
ekstrinsik dalam belajar di sekolah adalah aktivitas belajar dimulai atau diteruskan
berdasarkan kebutuhan dan dorongan yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas
belajar sendiri. (Winkel, 1996). Orang dengan motivasi belajar ekstrinsik , tidak terlalu
tertarik pada aktivitas itu sendiri semata melainkan hanya peduli pada apa yang dapat
diperoleh (keuntungan) dari aktivitas itu (Wolfok, 1993).
Sardiman (1990: 90) memberikan definisi motivasi ekstrisik sebagai motif-motif yang
menjadi aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Motivasi ekstrinsik
dapat dikatakan lebih banyak dikarenakan pengaruh dari luar yang relatif berubah-
ubah.
Motivasi ekstrinsik dapat juga di katakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas
belajar di mulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara
mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar (Sardiman, 1990: 90).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang bermotivasi
ekstrinsik melakukan sesuatu kegiatan bukan karena ingin mengetahui sesuatu,
tetapi ingin mendapatkan pujian, hadiah dan sebagainya.
Motivasi dalam belajar sangat penting artinya untuk mencapai tujuan proses belajar mengajar
yang diharapkan, sehingga motivasi siswa dalam belajar perlu dibangun.
1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak motor yang melepas
energi.
Pada mulanya anak didik tidak ada hasrat untuk belajar, tetapi karena ada sesuaru yang dicari
muncullah minatnya untuk belajar. Sesuatu yang belum diketahui itu akhirnya
mendorong anak didik untuk belajar dalam rangka mencari tahu. Jadi, motivasi yang
berfungsi sebagai pendorong ini mempengaruhi sikap apa yang seharusnya anak didik
ambil dalam rangka belajar
3. Menyeleksi perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan,
dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Anak didik yang mempunyai motivasi dapat menyeliksi mana perbuatan yang harus dilakukan
dan mana perbuatan yang diabaikan. Seorang anak didik yang ingin mendapatkan
sesuatu dari suatu mata pelajaran tertentu, ttidak mungkin dipaksakan untuk
mempelajari mata pelajaran yang lain. Pasti anak didik akan mempelajari mata
pelajaran dimana tersimpan sesuatu yang akan dicari itu. Sesuatu yang akan dicari
anak didik merupakan tujuan belajar yang akan dicapainya. Tujuan belajar itulah
sebagai pengarah yang memberikan motivasi kepada anak didik dalam belajar.
Motivasi berprestasi itu sendiri adalah : “Daya penggerak dalam diri seseorang untuk
memperoleh keberhasilan dan melibatkan diri dalam kegiatan, dimana keberhasilannya
tergantung pada usaha pribadi dan kemampuan yang dimiliki” (Winkel, 1996) Dalam belajar
di sekolah, motivasi berprestasi terwujud sebagai daya gerak siswa untuk mengusahakan
kemajuan dalam belajar dan mengejar taraf prestasi maksimal demi pengayaan diri sendiri
dan penghargaan diri sendiri (Winkel, 1996).
Menurut John W. Atkinson, motivasi berprestasi dapat tinggi atau rendah didasarkan pada
dua aspek yang terkandung didalamnya, yaitu:
Harapan untuk sukses atau berhasil (motive of success/Ms)
Ketakutan akan kegagalan (Motive avoid failure/Maf)
Seseorang dengan harapan untuk berhasil lebih besar daripada ketakutan atau kegagalan
(Ms>Maf) dikelompokkan ke dalam mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi,
sedangkan seseorang yang memiliki ketakutan akan kegegalan yang lebih besar daripada
harapan untuk berhasil (Maf>Ms) dikelompokan ke dalam mereka yang memiliki motivasi
berprestasi rendah.
f. Menggunakan materi yang dikenal oleh siswa sebagai contoh dalam belajar
g. Gunakan kaitan yang unik, dan tak terduga untuk menerapkan suatu konsep dan prinsip yang
telah dipahami
k. Mengurangi akibat yang tidak menyenangkan dan keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar
a. Memberi Angka
Banyak siswa belajar yang utama justru untuk mencapai angka yang baik, sehingga biasanya yang
dikejar itu adalah angka atau nilai. Oleh karena itu langkah yang dapat ditempuh guru
adalah bagaimana cara memberi angka-angka dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap pengetahuan.
b. Meberi Hadiah
Hadiah dapat membangkitkan motivasi belajar seseorang jika ia memiliki harapan untuk
memperolehnya, misalnya: seorang siswa tersebut mendapat beasiswa, maka
kemungkinan siswa tersebut akan giat melakukan kegiatan belajar, dengan kata lain ia
memiliki motivasi belajar agar dapat mempertahankan prestasi.
c. Hasrat Untuk Belajar
Hasil belajar akan lebih baik apabila pada siswa tersebut ada hasrat atau tekad untuk mempelajari
sesuatu.
d. Mengetahui Hasil
Dengan mengetahui hasil belajar yang selama ini dikerjakan, maka akan bisa menunjukan
motivasi siswa untuk belajar lebih giat, kerana hasil belajar merupakan feedback (umpan
balik) bagi siswa untuk mengetahui kemampuan dalam belajar.
e. Memberikan Pujian
Pujian sebagai akibat dari pekerjaan yang diselesaikan denga baik, merupakan motivasi yang baik
pula.
Siswa akan merasa senang dan aman dalam belajar apabila disertai dengan minat belajar apabila
disertai dengan minat belajar. Dan hai ini tak lepas dari minat siswa itu dalam bidang
studi yang ditempuhnya.
g. Suasana yang Menyenangkan
Siswa akan merasa aman dan senag dalam belajar apabila disertai denga suasana yang
menyenangkan baik proses belajar maupun situasi yang dapat menumbuhkan motivasi
belajar.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
1. Teori Internalisasi
a. Pengertian Internalisasi
Secara etimologis, internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam kaidah bahasa Indonesia
akhiranisasi mempunyai definisi proses. Sehingga internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu
proses. Dalam kamus besar bahasa Indonesia internalisasi diartikan sebagai penghayatan,
pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan
sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989 , hlm. 336). Internalisasi menurut Kalidjernih
(2010, hlm. 71) “internalisasi merupakan suatu proses dimana individu belajar dan diterima
menjadi bagian, dan sekaligus mengikat diri ke dalam nilai-nilai dan norma-norma sosial dari
perilaku suatu masyarakat”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa internalisasi
merupakan proses belajarnya seseorang sehingga seseorang itu dapat diterima menjadi bagian dari
masyarakat, kemudian ia mengikat dirinya ke dalam nilai dan norma sosial dari perilaku
kelompoknya di masyarakat. Sementara itu menurut Johnson (1986, hlm. 124) internalisasi adalah
“proses dengan mana orientasi nilai budaya dan harapan peran benar-benar disatukan dengan
sistem kepribadian”.
Berdasarkan pendapat di atas, menjelaskan bahwa internalisasi dapat diartikan sebagai
suatu penghayatan nilai-nilai dan atau norma-norma sehingga menjadi kesadaran yang diwujudkan
dalam sikap dan perilaku.
Secara sosiologis, Scott (1971, hlm. 12) menyatakan pendapatnya tentang internalisasi yakni:
“Internalisasi melibatkan sesuatu yakni ide, konsep dan tindakan yang bergerak dari luar ke suatu tempat
di dalam mindah (pikiran) dari suatu kepribadian. Struktur dan kejadian dalam masyarakat lazim
membentuk pribadi yang dalam dari seseorang sehingga terjadi internalisasi” Berdasarkan teori di
atas, dapat disimpulkan bahwa internalisasi merupakan suatu proses pemahaman oleh individu
yang melibatkan ide, konsep serta tindakan yang terdapat dari luar kemudian bergerak ke dalam
pikiran dari suatu kepribadian hingga individu bersangkutan menerima nilai tersebut sebagai
norma yang diyakininya, menjadi bagian pandangannya dan tindakan moralnya. Hal ini sama
halnya dengan yang dikemukakan oleh Mead (1943, hlm. 45) “dalam proses pengkontruksian
suatu pribadi melalui mindah, apa yang terinternalisasi di dalam seseorang (individu) dapat
dipengaruhi oleh norma-norma di luar dirinya”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa internalisasi pada diri seseorang dapat terjadi atau terkontruksi melalui
pemikiran dan hal tersebut dipengaruhi oleh norma-norma yang terjadi atau terdapat di luar
dirinya. Hal ini mirip dengan penjelasan yang dilakukan pakar situasionisme melalui kajian empirik
(Kalidjernih, 2010b, hlm. 25) yakni bahwa “karakter seseorang sangat bergantung kepada konteks
situasional”.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa internalisasi dalam hal ini pembentukan karakter
sangat dipengaruhi oleh situasi. Seseorang dipengaruhi pembentukan karakternya dari situasi
yang terjadi atau dirasakan oleh dirinya.
Menurut Hornsby (1995, hlm. 624), mengungkapkan internalisasi merupakan :
“Something to make attitudes, feeling, beliefs, etc fully part of one‟s personality by absorbing them throught
repeated experience of or exposure to them”. Artinya : “sesuatu untuk membuat sikap, perasaan,
keyakinan, dll sepenuhnya bagian dari kepribadian seseorang akan menyerap pikiran mereka
dengan pengalaman berulang atau dengan yang mereka ucapkan”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa internalisasi dapat mempengaruhi seseorang dalam
bersikap, berperasaan, berkeyakinan dll. Hal itu terjadi dari proses penyerapan suatu pengalaman,
tindakan atau ucapan yang berulang-ulang.
Sama halnya dengan pendapat Tafsir (2010, hlm. 229), mengartikan internalisasi sebagai “upaya
memasukan pengetahuan (knowing), dan keterampilan melaksanakan (doing) itu ke dalam
pribadi”.
Nilai merupakan kumpulan dari semua sikap dan perasaan yang selalu diperlihatkan
melalui perilaku-perilaku manusia, tentang nilai buruk, benar salah, berubah tidak pantas, baik
terhadap objek material atau pun non material.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu
diinginkan, dicita-citakan, dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Hal ini sama halnya dengan pendapat Perry (1994, hlm. 496) yang menyatakan bahwa: “value is any object
of any interest”, atau jika diartikan yakni “nilai adalah suatu objek yang disukai atau diminati.”
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai ialah sesuatu yang disukai dan berguna bagi
kehidupan manusia, jasmani dan rohani. Nilai sebagai sesuatu wujud yang dibutuhkan oleh pribadi
manusia dalam kehidupannya. Pada bagian selanjutnya, Encyclopedi Britannica menjelaskan
dalam tulisannya bahwa:
“Nilai itu sungguh-sungguh ada, dalam arti bahwa nilai itu praktis dan efektif di dalam jiwa, merupakan
tindakan manusia dan melembaga secara objektif di dalam masyarakat. Nilai itu sungguh-sungguh
suatu realitas dalam arti bahwa ia valid sebagai suatu cita-cita yang benar yang berlawanan dengan
cita-cita yang palsu atau bersifat khayal”
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai berarti perwujudan
kesadaran manusia sebagai makhluk berakal budi yang menunjukan harkat martabatnya. Dengan
tingkat kesadaran nilai inilah harkat manusia tetap luhur atau sebaliknya.
Secara definitif, Theodorson (dalam pelly, hlm. 101) mengemukakan bahwa “nilai merupakan sesuatu yang
abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah
laku”.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang bersifat abstrak.
Nilai akan dijadikan pedoman dan prinsip yang dimiliki setiap orang atau kelompok, prinsip atau
pedoman ini menjadi hal dasar dalam bertingkah laku dan bertindak.
Menurut Sidney Simon, sebagaimana yang dikemukakan oleh Endang Sumantri (1993, hlm. 2) bahwa:
“nilai adalah suatu konsep atau ide tentang apa yang seseorang pikirkan merupakan hal yang penting dalam
hidupnya. Nilai dapat berada dalam dua kawasan : kognitif dan afektif. Nilai adalah ide, dia bisa
dikatakan konsep dan bisa dikatakan abstraksi”.
Dari pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan hal yang terkandung dalam jiwa dan
hati nurani manusia, dan merupakan suatu prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku,
juga merupakan standar keindahan yang sudah melekat didalam diri manusia. Sama halnya
menurut Endang Sumantri (1993, hlm. 15) yang menyatatakan bahwa:
“Pada dasarnya kita (hampir semua) memiliki ide-ide tentang apa dan bagaimana ide yang baik.terkadang
beberapa diantara kita menyuarakan suatu batin tentang kewajaran yang kita berikan. Sebagian lagi
membicarakan penerimaan nilai-nilai manusiawi dan ideologi mereka. Setiap keyakinan yang
dianut secara mendalam merupakan sumber penting dalam nilai-nilai”.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai pada dasarnya adalah ide
tentang apa dan bagaimana hal-hal baik, hampir semua dari individu pada dasarnya memiliki ide
tentang apa dan bagaimana itu sesuatu yang baik. Individu memiliki ide tentang penerimaan nilai-
nilai manusiawi maupun nilai-nilai tentang hal-hal yang bersifat batin.
Sementara itu, Djahiri (1996, hlm. 16-17) memaknai nilai dalam dua arti, yakni:
(1) Nilai merupakan harga yang diberikan seseorang atau kelompok orang terhadap sesuatu yang
didasarkan pada tatanan nilai (value system) dan tatanan keyakinan (believe system) yang ada
dalam diri atau kelompok manusia yang bersangkutan. Harga yang dimaksud dalam definisi ini
adalah harga afektual, yakni harga yang menyangkut dunia afektif manusia.
(2) nilai merupakan isi pesan, semangat atau jiwa, kebermaknaan (fungsi peran) yang tersirat atau
dibawakan sesuatu”.
Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu
ukuran yang diberikan seseorang atau kelompok terhadap sesuatu, selain iu nilai merupakan pesan,
semangat atau jiwa. Nilai terdapat di dalam diri manusia (batin) tentang sesuatu yang dianggap
baik dan dapat diterima dalam konteks kewajaran terhadap sesuatu baik perilaku atau pun
penilaian.
Menurut Mulyana (2004, hlm. 11) menyatakan bahwa “nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam
menentukan pilihan”.
C. ILMU PENGETAHUAN
1. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa arab: ‘alima, ya’lau ‘ilman dengan wazan fa’ala, yaf’ilu yang
berarti mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris di sebu science dari bahasa
latin scienta (pengeahuan) scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa
yunani adalah episemel. Jadi pengertian ilmu menuru kamus besar bahasa indonesia adalah
pengetahuan suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu
yang dapat di gunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)
itu.
Adapun beberapa ciri uama menurut terminologi, antara lain adalah :
1. Ilmu adalah pengetahuan bersifat koheren, empiris sistematis, dapat di ukur dan
dibuktikan.
2. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan
satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu
ke objek yang sama dan saling berkaitan secara logis.
3. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran
perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis
dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
4. Yang sering kali berkaitan dengan konsep ilmu adalah ide bahwa metode-metode yang
berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencari
ilmu.
5. Ilmu menuntut pengalaman dan berpikir metodis.
6. Kesatuan setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya
Adapun beberapa ilmu menurut para ahli, diantaranya adalah :
1. Mohammad Hatta “Ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum
kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam”.
2. Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag “Ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan
sistematik, dan keempatnya serentak”.
3. Karl Pearson “Ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten
tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana”.
4. Ashely Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University “Ilmu adalah pengetahuan
yang disususn dalam satu system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan
untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji”
5. Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran “Ilmu adalah : Merupakan
akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan suatu pendekatan atau metode
pendekatan terhadap seluruh dunia empirisyaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan
waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia”.
6. Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia “Ilmu adalah pengetahuan manusia
tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep,
kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan kebenarannya diuji dengan
pengalaman praktis”
1. Pengetahuan biasa
Pengetahuan yang dalam istilah filsafat dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan
good sense, karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik.
2. Pengetahuan ilmu
Ilmu sebagai terjemahan dari sciense diartikan untuk menunjukan ilmu pengetahuan alam yang
sifatnya kuantitatif dan objektif.
3. Pengetahuan filsafat
Pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif.
4. Pengetahuan agama
Pengetahuan yang hanya diperoleh dari tuhan lewat para utusanya. Pengetahuan agama bersifat
mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.
3. Perbedaan ilmu dan pengetahuan :
Ada perbedaan prinsip antara ilmu dengan pengetahuan. Ilmu merupakan kumpulan dari
berbagai pengetahuan, dan kumpulan pengetahuan dapat dikatakan ilmu setelah memenuhi
syarat-syarat objek material dan objek formal
Ilmu bersifat sistematis, objektif dan diperoleh dengan metode tertentu seperti observasi,
eksperimen, dan klasifikasi. Analisisnya bersifat objektif dengan menyampingkan unsur
pribadi, mengedepankan pemikiran logika, netral (tidak dipengaruhi oleh kedirian atau
subjektif).
Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik
maupun fisik, pengetahuan merupakan informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki
metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi
kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat
cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik
berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial
and error dan berdasarkan pengalaman.
1. Metode pertama dikenal dengan metode pre-scientifik. Metode ini dalam Bahasa Indonesia
dikenal dengan metode alternatif. Mengapa dikenal metode pre scientifik, karena orang
hanya akan mendapat pengetahuan semata, atau orang hanya akan memperoleh keyakinan
(tanpa keraguan) dalam melihat realitas. Oleh karena itu hasil dari metode ini adalah
pengetahuan biasa (knowledge).
2. Metode kedua dikenal sebagai metode ilmiah (scientific methods). Metode ini menghasilkan
pengetahuan ilmiah atau sanins. Dalam pengetahuan ini ada usaha secara bertahap dengan
menggunakan logika yang rasional untuk mendapatkan hubungan sebab-akibat dari suatu
realitas. Misal, mengapa gabus terapung diaras air? Tentunya jawaban ilmiah akan dibawa
pada perbedaan berat jenis dari air dan gabus. Gabus lebih ringan daripada air.
3. Metode ketiga dikenal dengan metode khusus (non-scientific methods). Metode ini saya
katakan khusus, karena tidak semua orang bisa melakukan metode ini secara berulang.
BAB III
KESIMPULAN
INTERNALISASI NILAI-NILAI
(PENDIDIKAN KARAKTER DAN REVOLUSI MENTAL)
A. Internalisasi Nilai-Nilai
Pengertian internalisasi, dalam Bahasa Inggris “internalization” adalah proses pembejalaran panjang yang
dilakukan sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal. Dalam proses ini,
seseorang akan kontinu (berkesinambungan) melakukan belajar dalam untuk mengembangkan
kepribadiannya.
Pengertian Internalisasi Para Ahli
Definisi mengenai internalisasi, menurut pandangan para ahli. Antara lain adalah sebagai berikut;
1. Sujatmiko (2014)
Pengertian internalisasi adalah pembelajaran selama hidup di dunia, yang dilakukan oleh seseorang
kepada masyarakat atau kelompok-kelompok sosial. Pembelajaran ini sendiri berupa
penyerapan aturan dalam masyarakat, nilai, dan norma.
2. Kartono (2011)
Definisi internalisasi adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang melalui prakter dengan
kesadaran. Tanpa adanya paksaan, definisi ini berarti bahwa internalisasi dilakukan secara
sadar yang akan membentuk adat atau kebiasaan dalam diri seseorang.
3. Pupita Sari (2014)
Internalisasi adalah penanaman prilaku, sikap, dan nilai seseorang yang di dapatkannya dalam proses
pembinaan, belajar, dan bimbingan. Harapannya agar apa yang di dapatkan dan
dilakukannya sesuai dengan keinginan dan harapan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari pengertian internalisasi dan nilai-nilai menurut para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa internalisasi
nilai-nilai adalah proses yang dilakukan berkali-kali di dalam meniru tindakannya seseorang
dengan berdasarkanpedoman untuk setiap manusia, nilai yang baik selalu menjadi simbol
kehidupan yang bisa mendorong integritas sosial sedangkan nilai buruk akan memberikan
dampak yang kurang diinginkan dan di senangi dalam hal ini seperti hal dampak yang terjadi
pada konflik . Hingga akhirnya keadaan ini menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang
mengatur tindakannya dibudayakan. Bentuk budaya ini dapat dikehendaki dan dapat juga dibenci
tergantung anggapan tersebut baik atau buruk dalam masyarakat. Maka dari itulah internalisasi
sebagai bagian daripada faktor pendorong perubahan sosial.
Tahap Internalisasi
Adapun tahap-tahap dalam internalisasi adalah sebagai berikut:
1. Transformasi nilai, Pada tahap transformasi nilai, terdapat beberapa proses yang dilakukan
untuk menginformasikan nilai-nilai baik maupun yang kurang baik. Dalam tahap ini, terjadi
komunikasi verbal antara individu satu dengan individu lainnya.
2. Pertukaran nilai, Dalam tahap penukaran nilai, individu melakukan komunikasi dua arah,
atau informasi yang sifatnya timbal balik.
3. Transinternalisasi, Tahap transinternalisasi jauh lebih mendalam pada tahap pertukaran nilai.
Tidak hanya komunikasi yang bersifat verbal, namun juga sikap mental dan kepribadian. Pada
tahap transinternalisasi, komunikasi kepribadian berperan secara aktif.
Tujuan contoh internalisasi nilai ini secara tidak langsung akan memberikan dapat pada masyarakat, maka
dari itulah internalisasi sering dikatakan memiliki dua sisi, baik dan buruk. Akan tetapi yang
pasti melalui serangkaian proses yang panjang dalam internalisasi inilah, tiap individu belajar
menghayati, meresapi, kemudian menginternalisasi berbagai nilai, norma, polapola tingkah laku
sosial ke dalam mentalnya. Dari berbagai hal yang diinternalisasi itulah seseorang memiliki
kecenderungan untuk berperilaku menurut pola-pola tertentu yang memberi ciri watak yang khas
sebagai identitas diri dan terbentuklah kepribadian yang ada pada dirinya.
Pada dasarnya proses internalisasi nilai pada manusia tidak hanya berasal dari bimbimgan keluarga,
melainkan dengan adanya media-media yang ada di masyarakat akan mempengaruhi proses
internalisasi tersebut.
Dengan adanya baik dan buruknya proses Internalisasi maka keluarga berperan penting untuk mengawasi
anggota keluarga dalam bergaul maupun dalam interaksi sehari-hari. Lingkungan yang di
maksud dalam ranah proses internalisasi adalah lingkungan sosial. Secara tidak sadar kitya telah
di pengaruhi oleh berbagai tokoh masyarakat ( kiyai, guru, tokok desa dan lain-lain ). Dari
adanya pengaruh yang ada di lingkugan sosial masyarakat dapat di petik beberapa hal yang kita
dapatkan dari mereka, yang kemudian kita jadikan sebagai contoh kepribadian yang baik,
sehingga kita harus pandai-pandai untuk memilah-milah persoalan yang positif dalam
masyarakat.
Internalisasi merupakan proses untuk menanamkan nilai-nilai budaya, dalam penanaman atau
menumbuhkan nilai-nilai untuk di lakukan untuk melalui pendidkan dan pengajaran , seperti
adanya pendidikan, pengajaran, pengarahan indoktrinasi, brain-washing dan lain-lain. Sehingga
dalam persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual,
tawuran atau perkelahian masal. Adanya pertumbuhan karakter yang seperti itu karena adanya
kehidupan yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif. itulah proses internalisasi
yang tidak baik.
Manfaat Internalisasi
Manfaat internalisasi dalam manusia yaitu untuk mengembangkan,perbaikan, dan penyaringan dalam hal
budaya manusia. Menjadikan perkembangan sifat atau prilaku pada masyarakat dapat terarah,
dan terkendali dalam menyesuaikan budaya yang ada di lingkungan masyarakat mereka.
Kemudian dalam manfaat perbaikan untuk memperkuat kepribadian yang kuat dan tanggung
jawab dalam pengenbangan individu yang lebih bermartabat. Dan dalam manfaat penyaringan
bertujuan untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat agar tidak terjadi suatu
goncangan suatu budaya.
B. Pendidikan karakter
Tidak dapat dihindari dan dipungkiri, perkembangan berbagai aspek kehidupan masyarakat abad ke 21
harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Dimensi perubahan hampir mencakup seluruh
aspek kehidupan. Perubahan- perubahan yang terjadi secara tidak langsung akan memberkan
dampak kepada pola hidup dan sikap bagi masyarakat. Dampak yang terjadi tidak saja bersifat
positif tetapi juga bisa saja berdampak negatif. Dalam rangka menghadapi sekaligus
mengantisipasi dampak negatif dari fenomena abad ke-21, maka salah satu aspek yang
dapat dijadikan sebagai ujung tombaknya adalah dengan memberikan penguatan
pendidikan karakter pada setiap jenjang dan satuan pendidikan mulai dari pendidikan anak
usia dini sampai perguruan tinggi. Karakter yang dimaksud menurut Foerster (Koesoma,
2010: 42) merupakan seperangkat nilai yang telah menjadi kebisaan hidup seseorang sehingga
menjadi sifat tetap pada diri seseorang tersebut, misalnya kejujuran, sikap kerja keras, sopan,
sederhana, dan lain sebagainya. Sehingga sifat tetap tersebut perlu dikuatkan. Pendidikan
karakter sebenarnya bukan produk baru, bukan mata pelajaran, bukan kurikulum baru tetapi
merupakan penguatan atau fokus dari proses pembelajaran dan sebagai poros/ruh/jiwa
pendidikan.
Gerakan penguatan pendidikan karakter merupakan gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat
karakter siswa melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi),
dan olahraga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah,
keluarga, dan masyarakat yang merupakan bagian dari gerakan nasional revolusi mental
(GNRM). Keseimbangan antara sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan yang
dimiliki akan mencapai tujuan tertinggi dari tujuan pendidikan yaitu memanusiakan
manusia.
Hal tersebut sebagai perwujudan dari tujuan Pendidikan Nasional pasal 3 Undang- Undang Sisdiknas
tahun 2003 yang berbunyi “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Penempatan pendidikan nilai dan sikap karakter masyarakat Indonesia sudah sejak lama dikemukakan
dalam ranah pendidikan. Hanya saja pada tataran realisasinya terkesampingkan oleh penilaian
positif yang bersifat pragmatis sehingga penilaian sikap yang beroriesntasi pada nilaikarakter
dikesampingkan. Sehingga dimensi lain seperti aspek kemampuan kognitif, nilai, dan sikap,
berkomunikasi, hidup berdampingan, kebiasaan belajar bersama, cinta tanah air, kebiasaan
hidup sehat, dan lain sebagainya diangap tidak begitu penting.
Beberapa hal yang mendasar atau prinsip dari penanaman nilai karakter sebagai berikut:
1. Berkelanjutan mulai dari jenjang usia dini sampai menengah atas bahkan perguruan
tinggi;
2. Terintegrasi dalam kurikulum secara praktis pada setiap matapelajaran;
3. Pendidikan karakter bukan sebagai matapelajaran sendiri dan bukan sebagai materi
yang berdiri sendiri tetapi sebagai nilai yang diambilmdari materi yang diajarkan
pada setiap matapelajaran;
4. Objeknya adalah peserta didik, pemahanan, dan impelemtasi nilai yang dikembangkan
pada satuan dan jenjang pendidikan tujuannya adalah agar peserta didik aktif
mengaktulisasikan nilai-nilai karakter (Hasan, 2012: 82-87).
Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Nadilla, 2015:437) ada 18 nilai karakter yang
harus dikembangan disetiap jenjang dan satuan pendidikan di Indonesia. Nilai-nilai tersebut
yaitu:
1. Religius, yakni sikap ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan
ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, seperti sikap toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan
berdampingan;
2. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan,
perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan
melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai
pribadi yang dapat dipercaya;
3. Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap
perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-
hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup
tenang ditengah perbedaan tersebut;
4. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan
atau tata tertib yang berlaku;
5. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang
hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan,
pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya;
6. Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi
dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan
hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya;
7. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal tersebut bukan berarti
tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas
dan tanggung jawab kepada orang lain;
8. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan
kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain;
9. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran
dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara
lebih mendalam;
10. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau individu dan golongan;
11. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli,
dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekomoni, politik, dan sebagainya,
sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa
sendiri;
12. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui
kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi;
13. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka
terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara
kolaboratif dengan baik;
14. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang,
dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu;
15. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu
secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah,
koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya;
16. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan
melestarikan lingkungan sekitar;
17. Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap
orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya; dan
18. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa,
negara, maupun agama.
Dari 18 nilai karakter tersebut, dalam rangka implementasi gerakan penguatan pendidikan karakter
dikristalkan menjadi 5 nilai dasar pendidikan karakter yaitu:
Pertama, nilai religius. Merupakan pencerminan sikap keberimanan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan
kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjujung tinggi sikap
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, serta hidup rukun
dan damai dengan agama lain. Nilai karakter religius meliputi tiga dimensi relisasi
sekaligus, yaitu hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan
individu dengan alam semesta. Nilai karakter religius ditunjukkan dalam perilaku
mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan. Secara keseluruhan sub-sub nilai yang
terkandung dalam nilai religius meliputi cinta damai, toleransi, menghargai perbedaaan
agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar-pemeluk agama
dan kepercayaan, anti buli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan
kehendak, mencintai lingkungan, serta melindungi yang kecil dan tersisih.
Kedua, nasionalis. Nilai nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, serta menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya. Adapun
subnilai nasionalis yang lain, yaitusikap untuk mengapresiasi budaya bangsa sendiri,
menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, berprestasi, cinta tanah air,
menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku, dan
agama.
Ketiga, mandiri. Nilaikarakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung
kapada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, dan waktu untuk
merealisasikan harapan, mimpi, dan cita-cita. Juga ditunjukkan dengan etos kerja atau
kerja keras, tangguh, tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan
menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Keempat, gotong royong. Nilai gotong royong merupakan cerminan tindakan
menghargai, semangat kerjasama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan
bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, serta memberi bantuan dan
pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Nilai lainnya dari sikap gotong
royong yang perlu dikembangkan adalah inklusif, komitmen atas keputusan bersama,
musyawarah mufakat, solidaritas, empati, anti deskriminasi, anti kekerasan, dan sikap
kerelawanan.
Kelima,integritas. Nilai utama penguatan pendidikan karakter yang terakhir adalah nilai
integritas. Merupakan nilai perilaku yang didasarkan kepada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral.
Subnilai dari integritas antara lain sikap tanggungjawab sebagai warga negara, aktif
terlibat dalam kehidupan sosial, serta konsistensi tindakan dan perkataan yang
berdasarkan atas kebenaran.
C. Revolusi mental
Merupakan sebuah perubahan dari sosial maupun budaya secara cepat dan memiliki nilai utama dari dasar
hidup masyarakat. Yang di rencanakan dan dijalankan tanpa kekarasan ataupun melalui
kekerasan. Berikut ini adalah Pengertian Revolusi menurut para ahli. Pengertian Revolusi adalah
perubahan dari sosial maupun budaya yang berlangsung cepat dan melibatkan poin utama dari
dasar atau kehidupan masyarakat. Revolusi yaitu perubahan dari sosial maupun budaya yang
berlangsung cepat dan melibatkan poin utama dari dasar atau kehidupan masyarakat. Dalam
revolusi, perubahan dapat direncanakan atau tidak direncanakan terlebih dahulu dan dapat
dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran dari perubahan kecepatan relatif
sebenarnya karena revolusi juga dapat memakan waktu yang lama.
Revolusi Menurut Para Ahli
1. Menurut Wikipedia
Menurut Wikipedia pengertian Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung
secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.
2. Menurut KBBI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian Revolusi adalah perubahan ketatanegaraan
(pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan
perlawanan bersenjata);
Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menyebutkan bahwa revolusi merupakan perubahan yang cukup
mendasar dalam suatu bidang.
3. Menurut Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat, Revolusi merupakan usaha untuk dapat hidup sesuai dengan zaman dan
konstelasi dunia sekarang.
4. Menurut Selo Soemardjan
Selo Soemardjan berpendapat bahwa revolusi adalah Setiap perubahan dalam lembaga-lembaga sosial
di masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk nilai-nilai, sikap, dan pola
perilaku di antara kelompok di masyarakat.
5. Menurut Wijoyo Nitisastro
Pengertian Revolusi menurut Wijoyo Nitisastro adalah proses transformasi total dari kehidupan
tradisional bersama-sama teknologi yang baik (pra-modern) dalam arti organisasi sosial untuk
pola ekonomi dan politik.
Mendengar kata revolusi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan dalam pelajaran sejarah pun kita
sering menggunakannya, seperti halnya revolusi industry, pahlawan revolusi, dan lain-lain.
Menurut Aristoteles, revolusi dibagi menjadi 2 macam. Pertama, perubahan total dari suatu
system ke system yang berbeda. Dan yang kedua, modifikasi system yang sudah ada. Revolusi di
Indonesia sudah terjadi sejak bertahun – tahun silam, dengan berbagai macam situasi dan kondisi
dalam metode, durasi dan ideology motivasi yang berbeda - beda. Revolusi tersebut
menghasilkan perubahan – perubahan dalam budaya, ekonomi, dan social politik. Sedangkan
kata mental atau istilah panjangnya mentalitas adalah sebuah cara berpikir atau konsep pemikiran
manusia untuk dapat belajar dan merespons suatu hal. Mental merupakan kata lain dari pikiran.
Sehingga, mentalitas dapat dikatakan sebagai cara berpikir tentang suatu hal. Cara seseorang
berpikir ini dipengaruhi oleh pengalaman, hasil belajar, dan atau lingkungan juga dapat
mempegaruhi pola piker tersebut. Dari makna – makna kata di atas dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa pengertian revolusi mental adalah perubahan cara berpikir dalam waktu
singkat untuk merespon, bertindak dan bekerja.
Contoh revolusi mental
Contoh revolusi mental yang terdapat di Indonesia. Kita bisa melihat masyarakat Jawa, masyarakat Jawa
pada umumnya bersifat “nerimo” menerima segala sesuatunya dengan sabar dan tabah. Dengan
kehidupan yang biasa – biasa saja sudah merasa cukup. Namun, di era seperti sekarang ini, sifat
“nerimo” itu tadi sudah tidak cocok untuk di aplikasikan. Sekarang jaman sudah berubah,
pendidikan semakin maju dan tidak murah. Jika mental tersebut masih digunakan, maka yang
terjadi adalah anak cucu mereka tidak kuliah karena bertani saja sudah dapat mencukupi
kebutuhan sehari–hari. Namun, mental – mental seperti itu tidak akan membuat bangsa Indonesia
menjadi lebih maju. Malah akan semakin tertinggal karena perkembangan jaman begitu cepat.
Revolusi mental dicetuskan oleh Ir. Soekarno, dicetuskan saat pidato kenegaraan mengumumkan
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Revolusi mental saat itu agar supaya Negara Indonesia
menjadi Negara yang berdaulat dalam aspek politik, dan mandiri dalam hal ekonomi, dan
berkarakter dalam hal social budaya. Tidak hanya Ir. Soekarno, presiden Jokowi pun menyerukan
revolusi mental, dimana adanya sebuah Gerakan Nasional revolusi mental (GNRM), yang
dimaksudkan untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru untuk mewujudkan
negara Indonesia yang berdaulat dan berkrakter.
D. Internalisasi Nilai-Nilai
Pengertian internalisasi, dalam Bahasa Inggris “internalization” adalah proses pembejalaran panjang yang
dilakukan sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal. Dalam proses ini,
seseorang akan kontinu (berkesinambungan) melakukan belajar dalam untuk mengembangkan
kepribadiannya.
Pengertian Internalisasi Para Ahli
Definisi mengenai internalisasi, menurut pandangan para ahli. Antara lain adalah sebagai berikut;
4. Sujatmiko (2014)
Pengertian internalisasi adalah pembelajaran selama hidup di dunia, yang dilakukan oleh seseorang
kepada masyarakat atau kelompok-kelompok sosial. Pembelajaran ini sendiri berupa
penyerapan aturan dalam masyarakat, nilai, dan norma.
5. Kartono (2011)
Definisi internalisasi adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang melalui prakter dengan
kesadaran. Tanpa adanya paksaan, definisi ini berarti bahwa internalisasi dilakukan secara
sadar yang akan membentuk adat atau kebiasaan dalam diri seseorang.
6. Pupita Sari (2014)
Internalisasi adalah penanaman prilaku, sikap, dan nilai seseorang yang di dapatkannya dalam proses
pembinaan, belajar, dan bimbingan. Harapannya agar apa yang di dapatkan dan
dilakukannya sesuai dengan keinginan dan harapan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari pengertian internalisasi dan nilai-nilai menurut para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa internalisasi
nilai-nilai adalah proses yang dilakukan berkali-kali di dalam meniru tindakannya seseorang
dengan berdasarkanpedoman untuk setiap manusia, nilai yang baik selalu menjadi simbol
kehidupan yang bisa mendorong integritas sosial sedangkan nilai buruk akan memberikan
dampak yang kurang diinginkan dan di senangi dalam hal ini seperti hal dampak yang terjadi
pada konflik . Hingga akhirnya keadaan ini menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang
mengatur tindakannya dibudayakan. Bentuk budaya ini dapat dikehendaki dan dapat juga dibenci
tergantung anggapan tersebut baik atau buruk dalam masyarakat. Maka dari itulah internalisasi
sebagai bagian daripada faktor pendorong perubahan sosial.
Tahap Internalisasi
Adapun tahap-tahap dalam internalisasi adalah sebagai berikut:
4. Transformasi nilai, Pada tahap transformasi nilai, terdapat beberapa proses yang dilakukan
untuk menginformasikan nilai-nilai baik maupun yang kurang baik. Dalam tahap ini, terjadi
komunikasi verbal antara individu satu dengan individu lainnya.
5. Pertukaran nilai, Dalam tahap penukaran nilai, individu melakukan komunikasi dua arah,
atau informasi yang sifatnya timbal balik.
6. Transinternalisasi, Tahap transinternalisasi jauh lebih mendalam pada tahap pertukaran nilai.
Tidak hanya komunikasi yang bersifat verbal, namun juga sikap mental dan kepribadian. Pada
tahap transinternalisasi, komunikasi kepribadian berperan secara aktif.
Tujuan contoh internalisasi nilai ini secara tidak langsung akan memberikan dapat pada masyarakat, maka
dari itulah internalisasi sering dikatakan memiliki dua sisi, baik dan buruk. Akan tetapi yang
pasti melalui serangkaian proses yang panjang dalam internalisasi inilah, tiap individu belajar
menghayati, meresapi, kemudian menginternalisasi berbagai nilai, norma, polapola tingkah laku
sosial ke dalam mentalnya. Dari berbagai hal yang diinternalisasi itulah seseorang memiliki
kecenderungan untuk berperilaku menurut pola-pola tertentu yang memberi ciri watak yang khas
sebagai identitas diri dan terbentuklah kepribadian yang ada pada dirinya.
Pada dasarnya proses internalisasi nilai pada manusia tidak hanya berasal dari bimbimgan keluarga,
melainkan dengan adanya media-media yang ada di masyarakat akan mempengaruhi proses
internalisasi tersebut.
Dengan adanya baik dan buruknya proses Internalisasi maka keluarga berperan penting untuk mengawasi
anggota keluarga dalam bergaul maupun dalam interaksi sehari-hari. Lingkungan yang di
maksud dalam ranah proses internalisasi adalah lingkungan sosial. Secara tidak sadar kitya telah
di pengaruhi oleh berbagai tokoh masyarakat ( kiyai, guru, tokok desa dan lain-lain ). Dari
adanya pengaruh yang ada di lingkugan sosial masyarakat dapat di petik beberapa hal yang kita
dapatkan dari mereka, yang kemudian kita jadikan sebagai contoh kepribadian yang baik,
sehingga kita harus pandai-pandai untuk memilah-milah persoalan yang positif dalam
masyarakat.
Internalisasi merupakan proses untuk menanamkan nilai-nilai budaya, dalam penanaman atau
menumbuhkan nilai-nilai untuk di lakukan untuk melalui pendidkan dan pengajaran , seperti
adanya pendidikan, pengajaran, pengarahan indoktrinasi, brain-washing dan lain-lain. Sehingga
dalam persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual,
tawuran atau perkelahian masal. Adanya pertumbuhan karakter yang seperti itu karena adanya
kehidupan yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif. itulah proses internalisasi
yang tidak baik.
Manfaat Internalisasi
Manfaat internalisasi dalam manusia yaitu untuk mengembangkan,perbaikan, dan penyaringan dalam hal
budaya manusia. Menjadikan perkembangan sifat atau prilaku pada masyarakat dapat terarah,
dan terkendali dalam menyesuaikan budaya yang ada di lingkungan masyarakat mereka.
Kemudian dalam manfaat perbaikan untuk memperkuat kepribadian yang kuat dan tanggung
jawab dalam pengenbangan individu yang lebih bermartabat. Dan dalam manfaat penyaringan
bertujuan untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat agar tidak terjadi suatu
goncangan suatu budaya.
E. Pendidikan karakter
Tidak dapat dihindari dan dipungkiri, perkembangan berbagai aspek kehidupan masyarakat abad ke 21
harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Dimensi perubahan hampir mencakup seluruh
aspek kehidupan. Perubahan- perubahan yang terjadi secara tidak langsung akan memberkan
dampak kepada pola hidup dan sikap bagi masyarakat. Dampak yang terjadi tidak saja bersifat
positif tetapi juga bisa saja berdampak negatif. Dalam rangka menghadapi sekaligus
mengantisipasi dampak negatif dari fenomena abad ke-21, maka salah satu aspek yang
dapat dijadikan sebagai ujung tombaknya adalah dengan memberikan penguatan
pendidikan karakter pada setiap jenjang dan satuan pendidikan mulai dari pendidikan anak
usia dini sampai perguruan tinggi. Karakter yang dimaksud menurut Foerster (Koesoma,
2010: 42) merupakan seperangkat nilai yang telah menjadi kebisaan hidup seseorang sehingga
menjadi sifat tetap pada diri seseorang tersebut, misalnya kejujuran, sikap kerja keras, sopan,
sederhana, dan lain sebagainya. Sehingga sifat tetap tersebut perlu dikuatkan. Pendidikan
karakter sebenarnya bukan produk baru, bukan mata pelajaran, bukan kurikulum baru tetapi
merupakan penguatan atau fokus dari proses pembelajaran dan sebagai poros/ruh/jiwa
pendidikan.
Gerakan penguatan pendidikan karakter merupakan gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat
karakter siswa melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi),
dan olahraga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah,
keluarga, dan masyarakat yang merupakan bagian dari gerakan nasional revolusi mental
(GNRM). Keseimbangan antara sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan yang
dimiliki akan mencapai tujuan tertinggi dari tujuan pendidikan yaitu memanusiakan
manusia.
Hal tersebut sebagai perwujudan dari tujuan Pendidikan Nasional pasal 3 Undang- Undang Sisdiknas
tahun 2003 yang berbunyi “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Penempatan pendidikan nilai dan sikap karakter masyarakat Indonesia sudah sejak lama dikemukakan
dalam ranah pendidikan. Hanya saja pada tataran realisasinya terkesampingkan oleh penilaian
positif yang bersifat pragmatis sehingga penilaian sikap yang beroriesntasi pada nilaikarakter
dikesampingkan. Sehingga dimensi lain seperti aspek kemampuan kognitif, nilai, dan sikap,
berkomunikasi, hidup berdampingan, kebiasaan belajar bersama, cinta tanah air, kebiasaan
hidup sehat, dan lain sebagainya diangap tidak begitu penting.
Beberapa hal yang mendasar atau prinsip dari penanaman nilai karakter sebagai berikut:
5. Berkelanjutan mulai dari jenjang usia dini sampai menengah atas bahkan perguruan
tinggi;
6. Terintegrasi dalam kurikulum secara praktis pada setiap matapelajaran;
7. Pendidikan karakter bukan sebagai matapelajaran sendiri dan bukan sebagai materi
yang berdiri sendiri tetapi sebagai nilai yang diambilmdari materi yang diajarkan
pada setiap matapelajaran;
8. Objeknya adalah peserta didik, pemahanan, dan impelemtasi nilai yang dikembangkan
pada satuan dan jenjang pendidikan tujuannya adalah agar peserta didik aktif
mengaktulisasikan nilai-nilai karakter (Hasan, 2012: 82-87).
Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Nadilla, 2015:437) ada 18 nilai karakter yang
harus dikembangan disetiap jenjang dan satuan pendidikan di Indonesia. Nilai-nilai tersebut
yaitu:
19. Religius, yakni sikap ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan
ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, seperti sikap toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan
berdampingan;
20. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan,
perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan
melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai
pribadi yang dapat dipercaya;
21. Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap
perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-
hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup
tenang ditengah perbedaan tersebut;
22. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan
atau tata tertib yang berlaku;
23. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang
hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan,
pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya;
24. Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi
dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan
hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya;
25. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal tersebut bukan berarti
tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas
dan tanggung jawab kepada orang lain;
26. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan
kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain;
27. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran
dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara
lebih mendalam;
28. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau individu dan golongan;
29. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli,
dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekomoni, politik, dan sebagainya,
sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa
sendiri;
30. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui
kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi;
31. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka
terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara
kolaboratif dengan baik;
32. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang,
dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu;
33. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu
secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah,
koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya;
34. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan
melestarikan lingkungan sekitar;
35. Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap
orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya; dan
36. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa,
negara, maupun agama.
Dari 18 nilai karakter tersebut, dalam rangka implementasi gerakan penguatan pendidikan karakter
dikristalkan menjadi 5 nilai dasar pendidikan karakter yaitu:
Pertama, nilai religius. Merupakan pencerminan sikap keberimanan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan
kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjujung tinggi sikap
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, serta hidup rukun
dan damai dengan agama lain. Nilai karakter religius meliputi tiga dimensi relisasi
sekaligus, yaitu hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan
individu dengan alam semesta. Nilai karakter religius ditunjukkan dalam perilaku
mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan. Secara keseluruhan sub-sub nilai yang
terkandung dalam nilai religius meliputi cinta damai, toleransi, menghargai perbedaaan
agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar-pemeluk agama
dan kepercayaan, anti buli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan
kehendak, mencintai lingkungan, serta melindungi yang kecil dan tersisih.
Kedua, nasionalis. Nilai nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, serta menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya. Adapun
subnilai nasionalis yang lain, yaitusikap untuk mengapresiasi budaya bangsa sendiri,
menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, berprestasi, cinta tanah air,
menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku, dan
agama.
Ketiga, mandiri. Nilaikarakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung
kapada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, dan waktu untuk
merealisasikan harapan, mimpi, dan cita-cita. Juga ditunjukkan dengan etos kerja atau
kerja keras, tangguh, tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan
menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Keempat, gotong royong. Nilai gotong royong merupakan cerminan tindakan
menghargai, semangat kerjasama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan
bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, serta memberi bantuan dan
pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Nilai lainnya dari sikap gotong
royong yang perlu dikembangkan adalah inklusif, komitmen atas keputusan bersama,
musyawarah mufakat, solidaritas, empati, anti deskriminasi, anti kekerasan, dan sikap
kerelawanan.
Kelima,integritas. Nilai utama penguatan pendidikan karakter yang terakhir adalah nilai
integritas. Merupakan nilai perilaku yang didasarkan kepada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral.
Subnilai dari integritas antara lain sikap tanggungjawab sebagai warga negara, aktif
terlibat dalam kehidupan sosial, serta konsistensi tindakan dan perkataan yang
berdasarkan atas kebenaran.
F. Revolusi mental
Merupakan sebuah perubahan dari sosial maupun budaya secara cepat dan memiliki nilai utama dari dasar
hidup masyarakat. Yang di rencanakan dan dijalankan tanpa kekarasan ataupun melalui
kekerasan. Berikut ini adalah Pengertian Revolusi menurut para ahli. Pengertian Revolusi adalah
perubahan dari sosial maupun budaya yang berlangsung cepat dan melibatkan poin utama dari
dasar atau kehidupan masyarakat. Revolusi yaitu perubahan dari sosial maupun budaya yang
berlangsung cepat dan melibatkan poin utama dari dasar atau kehidupan masyarakat. Dalam
revolusi, perubahan dapat direncanakan atau tidak direncanakan terlebih dahulu dan dapat
dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran dari perubahan kecepatan relatif
sebenarnya karena revolusi juga dapat memakan waktu yang lama.
Revolusi Menurut Para Ahli
6. Menurut Wikipedia
Menurut Wikipedia pengertian Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung
secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.
7. Menurut KBBI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian Revolusi adalah perubahan ketatanegaraan
(pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan
perlawanan bersenjata);
Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menyebutkan bahwa revolusi merupakan perubahan yang cukup
mendasar dalam suatu bidang.
8. Menurut Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat, Revolusi merupakan usaha untuk dapat hidup sesuai dengan zaman dan
konstelasi dunia sekarang.
9. Menurut Selo Soemardjan
Selo Soemardjan berpendapat bahwa revolusi adalah Setiap perubahan dalam lembaga-lembaga sosial
di masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk nilai-nilai, sikap, dan pola
perilaku di antara kelompok di masyarakat.
10. Menurut Wijoyo Nitisastro
Pengertian Revolusi menurut Wijoyo Nitisastro adalah proses transformasi total dari kehidupan
tradisional bersama-sama teknologi yang baik (pra-modern) dalam arti organisasi sosial untuk
pola ekonomi dan politik.
Mendengar kata revolusi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan dalam pelajaran sejarah pun kita
sering menggunakannya, seperti halnya revolusi industry, pahlawan revolusi, dan lain-lain.
Menurut Aristoteles, revolusi dibagi menjadi 2 macam. Pertama, perubahan total dari suatu
system ke system yang berbeda. Dan yang kedua, modifikasi system yang sudah ada. Revolusi di
Indonesia sudah terjadi sejak bertahun – tahun silam, dengan berbagai macam situasi dan kondisi
dalam metode, durasi dan ideology motivasi yang berbeda - beda. Revolusi tersebut
menghasilkan perubahan – perubahan dalam budaya, ekonomi, dan social politik. Sedangkan
kata mental atau istilah panjangnya mentalitas adalah sebuah cara berpikir atau konsep pemikiran
manusia untuk dapat belajar dan merespons suatu hal. Mental merupakan kata lain dari pikiran.
Sehingga, mentalitas dapat dikatakan sebagai cara berpikir tentang suatu hal. Cara seseorang
berpikir ini dipengaruhi oleh pengalaman, hasil belajar, dan atau lingkungan juga dapat
mempegaruhi pola piker tersebut. Dari makna – makna kata di atas dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa pengertian revolusi mental adalah perubahan cara berpikir dalam waktu
singkat untuk merespon, bertindak dan bekerja.
Contoh revolusi mental
Contoh revolusi mental yang terdapat di Indonesia. Kita bisa melihat masyarakat Jawa, masyarakat Jawa
pada umumnya bersifat “nerimo” menerima segala sesuatunya dengan sabar dan tabah. Dengan
kehidupan yang biasa – biasa saja sudah merasa cukup. Namun, di era seperti sekarang ini, sifat
“nerimo” itu tadi sudah tidak cocok untuk di aplikasikan. Sekarang jaman sudah berubah,
pendidikan semakin maju dan tidak murah. Jika mental tersebut masih digunakan, maka yang
terjadi adalah anak cucu mereka tidak kuliah karena bertani saja sudah dapat mencukupi
kebutuhan sehari–hari. Namun, mental – mental seperti itu tidak akan membuat bangsa Indonesia
menjadi lebih maju. Malah akan semakin tertinggal karena perkembangan jaman begitu cepat.
Revolusi mental dicetuskan oleh Ir. Soekarno, dicetuskan saat pidato kenegaraan mengumumkan
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Revolusi mental saat itu agar supaya Negara Indonesia
menjadi Negara yang berdaulat dalam aspek politik, dan mandiri dalam hal ekonomi, dan
berkarakter dalam hal social budaya. Tidak hanya Ir. Soekarno, presiden Jokowi pun menyerukan
revolusi mental, dimana adanya sebuah Gerakan Nasional revolusi mental (GNRM), yang
dimaksudkan untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru untuk mewujudkan
negara Indonesia yang berdaulat dan berkrakter.