Anda di halaman 1dari 13

PRODUKSI UJARAN

Nur Ni’matul Khasanah, Rifqi Silfiana

A. PENGANTAR
Masalah pemerolehan bahasa berkaitan dengan bagaimana manusia mem-
peroleh kemampuan berbahasa atau bagaimana seseorang dapat menuangkan
idenya menjadi kata-kata. Masalah pemahaman bahasa berkaitan dengan
bagaimana manusia memahami, menyimpan, dan mengingat kembali
informasi, se-mentara masalah produksi bahasa berhubungan dengan berbicara,
menulis dan membaca (Aitchison, (1980); Langacker (1973:6); Osgood dan
Sebeok (1983:296). Pembahasan mengenai produksi bahasa lebih jauhnya lagi
berkaitan dengan bagaimana ujaran diproduksi dari awalnya hanya berupa
formasi sebuah ide di da-lam akal si pembicara hingga detik-detik sebelum
ujaran diucapkan (Knight 2002:1).
Manusia tidak menyadari bahwa sebenarnyasaat mengucapkan suatu kata
atau kalimat itumemerlukan perencanaan mental yang rinci dari tingkat wacana
sampai pada pelaksanaan artikulasinya. Hal ini berarti bahwa produksi
ujarantidak hanya memerlukan proses psikologis untuk meramu unsur-unsur
yang akan kita katakan dalam urutan yang wajar tetapi juga koordinasi yang
tepat dengan neuro-biologi. Proses mental ini menyangkut berbagai aspek.
Aspek pertama berkaitan dengan asumsi tentang pengetahuaninterlokutor –
orang yang diajak bicara. Aspek kedua adalah bahwa dalam berkomunikasi tiap
peserta mematuhi prinsipel kooperatif. Peserta pastilah akan memberikan
informasi yang pas, yang jelas, yang benar, yang tidak ambigu, dsb. Tanpa
aturan “lalu lintas” seperti ini pastilah akan terjadi ketidak-serasian. Di samping
itu juga harus memperhatikan aspek pragmatik dari ujaran-ujaran.
Seperti halnya pada persepsi dan komprehensi, kita tidak merasakan
bagaimana sukarnya kita sebenarnya berujar. Waktu kita berbicara, kita seolah-
olah begitu mudah merentet kata dari satu ke yang lain sepertinya tanpa harus
berpikir. Hal seperti ini terutama kita rasakan waktu kita berbicara tentang hal
sehari-hari, ngobrol dengan tetangga, berbincang dengan teman sekelas, dsb.
Perasaan seperti ini memang dapat dimengerti karena kita sebagai penutur asli
tidak sadar bahwa sebenarnya dalam berkomunikasi itu kita memerlukan
perencanaan mental yang rinci dari tingkat wacana sampai pada pelaksanaan
artikulasinya. Hal ini berarti bahwa produksi kalimat tidak hanya memerlukan
proses psikologis untuk meramu unsur-unsur yang akan kita katakan dalam
urutan yang wajar tetapi juga koordinasi yang tepat dengan neurobiologi kita.
Aspek pertama berkaitan dengan asumsi kita tentang pengetahuan
interlokutor – orang yang kita ajak bicara. Sebagai pembicara, kita harus tahu
apa yang diketahui oleh pendengar. Suatu kalimat tidak akan memiliki makna
apa-apa bagi pendengar bila semua informasi yang ada di dalamnya adalah
informasi baru. Bagi sekelompok mahasiswa yang diajar oleh beberapa dosen,
salah satunya adalah Pak Bambang, maka kalimat Pak Bambang akan menerbitkan
buku baru pastilah akan dimengerti maknanya. Akan tetapi, bila Pak Bambang
adalah orang yang tidak diketahui identitasnya – sehingga tentunya memiliki
informasi baru juga – maka kalimat tersebut menjadi tidak bermakna.
Aspek kedua adalah bahwa dalam berkomunikasi tiap peserta mematuhi
prinsipel kooperatif. Peserta pastilah akan memberi informasi yang pas, jelas,
yang benar, yang tidak ambigu, dsb. Tanpa aturan “lalu lintas” seperti ini
pastilah akan terjadi ketidak - serasian. Disamping itu kita juga harus
memperhatikan aspek pragmatik dari ujaran-ujaran kita. Hal ini lebih
ditekankan pada masyarakat kita, seperti Bali, Jawa, Madura, Sunda, yang
perilaku sehari-hari tercermin pada bahasa yang dipakai.
Contoh:
Ibuk arep tindak endi?
(1) Kowe arep lungo endi?
Bentuk ujaran kita dipengaruhi oleh kodrat yang ada pada masing-masing
bahasa. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, orang Jawa membagi konsep yang
berkaitan dengan nasi menjadi paling tidak 15 macam:
(1) Yang masih di sawah = pari
(2) Yang dipetik dan menjadi bagian si pemetik = bawon
(3) Yang sudah di panen dan terlepas dari gagangnya = gabah
(4) Yang ditumbuk dengan untuh = beras
(5) Yang tertumbuk dan terpecah kecil-kecil = menir
(6) Satu – dua gabah yang berada diantara beras = las
(7) Kulit yang terkelupas dengan kasar = dedek
(8) Kulit yang terkelupas dengan halus = katul
(9) Beras yang dimasak biasa = nasi
(10) Air yang telah menjadi putih waktu nasi ditanak = tajin
(11) Nasi yang mengeras dan melekat ke periuk = intip
(12) Beras yang dimasak setengah lunak = tim
(13) Beras yang dimasak sampai lunas = bubur
(14) Satu – dua butir nasi yang terlontar keluar piring = upo
(15) Nasi yang dimakan esok harinya = wadang.
Orang jawa akan dengan mudah mengungkapkan kalimat-kalimat seperti
(3-5) dan dimengerti dengan tepat oleh pendengarnya.
3) Jupuken las iku “ambillah gabah diantara-beras-itu”
4) Menire ojo dibuang “beras-yang-tertumbuk-jadi-kecil-kecil jangan
dibuang”
5) Bayine wenehono tajin “Bayinya beri air-tanak-nasi”
Kenyataan bahwa dalam leksikon bahasa Jawa terdapat kata-kata yang rinci
seperti ini membuat orang Jawa dapat mengungkapkan yang dia maksud dengan
tepat seperti terlihat pada contoh-contoh di atas. Bayangkan bagaimana orang
Inggris harus mengungkapkannya.
B. LANGKAH UMUM DALAM MEMPRODUKSI UJARAN
(1) Tingkat pesan (message) = dimana pesan yang akan disampaikan diproses
(2) Tingkat fungsional = dimana bentuk leksikal dipilih lalu diberi peran dan
fungsi sintaktik
(3) Tingkat posisional = konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan
(4) Tingkat fonologi = struktur fonologi ujaran itu diwujudkan
Pada tingkat pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang
ingin disampaikan. Untuk lebih jelasnya marilah kita pakai contoh:
(6) Tutik sedang menyuapi anaknya.
Nosi-nosi yang ada pada benak pembicara adalah antara lain:
(a) Adanya seseorang
(b) Orang ini wanita
(c) Dia sudah menikah
(d) Dia memiliki anak
(e) Dia sedang melakukan suatu perbuatan
(f) Perbuatan itu adalah memberi makan kepada anaknya.
Pada tingkat fungional, yang diproses ada dua hal. Pertama, memilih
bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan informasi
gramatikal untuk masing-masing bentuk leksikal tersebut.
Misalnya, dari sekian orang dan wanita yang ia kenal, wanita yang dimaksud
adalah Tutik, dan kata ini adalah nama perempuan; perbuatan yang dilakukan
diwakili oleh verba dasae; suap; antara dua argumen Tutik dan anaknya, Tutiek
adalah pelaku perbuatan sedangkang anaknya adalah resipiennya.
Proses kedua pada tingkat fungsional adalah memberikan fungsi pada kata-
kata yang telah dipilih ini. Proses disini menyangkut hubungan sintaktik atau
fungsi gramatikal. Pada contoh (6) diatas, kata Tutik harus dikaitkan dengan
fungsi subjek sedangkan anaknya pada objek.
Pada tingkat pemrosesan posisional, diurutkan bentuk leksikal untuk
ujaran yang akan dikeluarkan. Pengurutan ini bukan berdasarkan pada jejeran
yang linear tetapi pada kesatuan makna yang hierarkhis. Pada contoh (6) kata
sedang bertaut dengan menyuapi, bukan dengan Tutik. Begitu juga-nya bertaut
dengan anak, dan bukan pada Tutik atau menyuapi. Hierarki konstituen inilah
yang menjadi dasar diagram pohon.
Setelah proses itu selesai, diproseslah afiksasi yang relevan. Pada bahasa
Indo-Eropah seperti bahasa Inggris, verba menyuapi (to feed) untuk kalimat (6)
haruslah mendapat afiks infleksional – ing (feeding). Untuk bahasa Indonesia,
verba dasar suap haruslah ditambah dengan sufix – i (di samping prefiks meN –
secara opsional).
Hasil pemrosesan posisional ini “dikirim” ke tingkat fonologi untuk
diwujudkan dalam bentuk bunyi. Pada tahap ini aturan fonotaktik bahasa yang
bersangkutan diterapkan. Kata seperti Tutik mengikuti aturan fonotaktik
bahasa Indonesia, tetapi Ktuiek tidak. Kata ini tentunya akan ditolak. Begitu
juga vokal /u/ dan /i/ harus berurutan seperti itu karena kalau dibalik, Tituk,
referennya akan lain. Proses fonologis ini tidak sederhana karena tersangkut
pula di sini proses biologis dan neurologis.

C. RINCIAN PRODUKSI UJARAN


Seperti digambarkan diatas, dalam proses memproduksi ujaran orang mulai
dari perencanaan mengenai topik yang akan diujarkan, kemudian turun ke
kalimat yang akan dipakai, dan turun lagi ke konstituen yang akan dipilih.
Setelah itu, barulah dia masuk ke pelaksanaan dari yang akan diujarkan. Ini
mencakup rencana artikulasi dan bagaimana mengartikulasikannya. Prosedur
ini (Clark dan Clark 1977: 223-258) dapat diwujudkan dalam skema berikut;
a. wacana
Perencanaan b. kalimat
Produksi c. konstituen

Pelaksanaan a. Program Artikulasi


b. Artikulasi
Marilah kita lihat proses produksi ini satu per satu secara lebih rinci.

1. Perencanaan Produksi Wacana


Umumnya wacana dibagi menjadi dua macam: (a) dialog dan (b)
monolog. Perbedaan utama antara dua macam ini terutama terletak pada
ada tidaknya interaksi antara pembicara dan pendengar. Pada dialog
terdapat paling tidak dua pelaku, yakni, yang berbicara dan yang diajak
berbicara, interlokutornya. Pada wacana monolog hanya ada satu pelaku:
kalau wacana itu lisan, hanya ada satu pembicara, kalau wacana itu tulis,
hanya penulis sebagai pelakunya. Baik dialog maupun monolog mempunyai
aturan yang rumit yang umumnya diikuti orang, meskipun belum tentu
dengan sadar.
a. Wacana Dialog
Dalam waca dialog ada empat unsur yang terlibat: (1) personalia,
(2) latar bersama (3) perbuatan bersama (4) kontibusi.
1) Unsur Personalia
Pada unsur personalia, minimal harus ada dua partisipan,
yakni pembicara dan interlokutor (orang yang diajak bicara). Tidak
mustahil pula adanya pendengar (side participants), yakni, orang lain
yang juga ikut dalam pembicaraan itu. Di samping itu, personalia
juga mencakup bystanders, yakni partisipan yang mempunyai akses
terhadap apa yang dibicarakan oleh pembicara dan interlokutor
dan kehadirannya diakui. Terakhir adalah penguping
(eavesdroppers), yakni partisipan yang juga mempunyai akses
terhadap percakapan itu tetapi kehadirannya tidak diakui – artinya,
bisa saja dia ada di kamar sebelah tetapi mendengar percakapan
tersebut.

Speaker – adresses > side participants > bystanders > eavesdroppers.

2) Unsur Latar Bersama


Konsep “latar bersama” merujuk pada anggapan bahwa baik
pembicara maupun interlokutornya sama-sama memiliki pra
suposisi dan pengetahuan yang sama. Kesamaan dalam
pengetahuan itulah yang dinamakan latar bersama. Tanpa latar
bersama, percakapan tidak akan terjadi. Kalaupun terjadi, pasti
tidak akan tersambung.
3) Unsur Perbuatan Persama
Yang dimaksud dengan perbuatan bersama adalah bahwa baik
pembicara maupun interlokutornya melakukan perbuatan yang
pada dasarnya mempunyai aturan yang mereka ketahui bersama.
Suatu percakapan mempunyai struktur yang terdiri dari tiga
unsur: pembukaan, isi dan penutup. Masing-masing struktur ini
memiliki aturan sendiri-sendiri. Pada pembukaan, misalnya, harus
ada ajakan dan respon. Tanpa ada respon, suatu percakapan tidak
mungkin akan berlanjut. Kalau kita bertanya Dari mana? Dan
interlokutornya diam saja – apalagi melengos dan pergi maka
percakapan akan terhenti disitu.
Pada isi, kedua pembicara juga harus memiliki pengetahuan
dan latar yang sama. Dalam penutup kedua pembicara telah harus
menyelesaikan topik terakhir, sama-sama bersedia mengakhiri
percakapan, dan barulah mereka berhenti. Tanpa urutan ini, satu
pihak bisa merasa tersinggung karena dia merasa percakapannya
diputus.
4) Unsur Kontribusi
Kontribusi umumnya memiliki dua tahap: (a) tahap presentasi
dimana pembicara menyampaikan sesuatu untuk difahami oleh
interlokutor, dan (b) tahap pemahaman dimana interlokutor telah
memahami apa yang disampaikan oleh pembicara. Suatu
percakapan hanya akan dapat berlanjut bila pelataran seperti ini
terbentuk. Pelataran juga tumbuh secara akumulatif, artinya,
pelataran itu berkembang (dan bisa juga berubah) dari satu kalimat
ke kalimat lain, tergantung isi pembicaraan. Suatu percakapan bisa
dimulai dengan pelataran A (sakitnya seseorang) kemudian pindah
ke B, harga obat yang mahal, dan kemudian ke C, repotnya
memakai ASKES, dst.
5) Struktur Percakapan
Secara sepintas orang mengira bahwa suatu percakapan adalah
perbuatan verbal yang spontan yang keluar begitu saja pada waktu
berbicara tanpa ada aturannya. Kalau hal ini benar maka dapat
dibayangkan bahwa dalam suatu percakapan pasti akan terjadi
“tabrakan-tabrakan” dalam giliran bicara, penantian yang tak
menentu mengenai kapan seseorang harus menjawab, siapa yang
harus masuk dalam pembicaraan, dsb. Dari kenyataan yang kita
lihat atau lakukan tampak bahwa hal seperti ini tidak terjadi. Pada
umumnya orang tahu siapa yang punya hak waktu untuk bicara,
berapa lama kita harus menunggu untuk menjawab, kapan kita
harus diam, dan kapan harus bicara. Dengan kata lain, percakapan
memiliki struktur dan aturannya.
Dalam menunggu giliran berbicara misalnya, kita tidak boleh
terlalu cepat merespon kalimat dari lawan bicara kita. Sebaliknya,
kita juga tidak boleh diam lebih lama daripada yang normal.
Berapa lama persisnya celah waktu itu belum dapat dipastikan,
tetapi penelitian Beattie dan Barnard (1979:213-229) menemukan
bahwa jarak antara pembicara berhenti dan interlokutor menjawab
atau menanggapi adalah 0.2 detik. Lebih pendek dari itu berarti
terlalu cepat; lebih lama dari itu memunculkan kesenyapan yang
bisa mengakibatkan hal-hal tertentu. Kita bisa mengira interlokutor
tadi tidak memahami ucapan kita; dia juga bisa memikir terlalu
lama untuk menjawab; atau pembicara atau orang ketiga
mengambil alih giliran bicara.
Mengenai giliran bicara itu sendiri juga terdapat aturan yang
umumnya diikuti orang. Bila seseorang mulai bicara dalam suatu
percakapan tiga orang (atau lebih), maka orang yang diajak bicara
itulah yang wajib merespon. Jadi, seandainya ada A, B dan C, dan
A bertindak sebagai pembicara dan dia mengarahkannya kepada B,
maka B-lah yang wajib memberikan tanggapan.
Dengan demikian aturan mengenai giliran bicara itu adalah:
a) Giliran berikut adalah pada yang diajak bicara
b) Giliran berikut adalah pada siapa pun yang angkat bicara
c) Giliran berikut kembali kepada pembicara, bila tidak ada
orang lain yang bicara.
Dengan aturan seperti ini, bila yang selalu menjawab dalam
wawancara adalah orang tertentu, maka akan muncul kesan-kesan
tertentu pada orang tersebut: ia orang yang sangat dominan, ia
bukan orang terdidik dan tahu sopan santun. Ia takut pada orang
tertentu, ia bukan orang yang pandai.
Aturan yang dikemukakan Sacks dkk ini (1974) lebih
merupakan teori ideal karena dalam kenyataannya banyak terjadi
penyimpangan. Orang tidak selalu menunggu giliran (apalagi
waktu bertengkar); interlokutor dapat mengisi kata yang pembicara
lupa; dalam percakapan tatap muka, bisa saja tanda giliran itu
berupa anggukan, gelengan kepala, atau lirikan mata, dsb.
b. Wacana Monolog
Wacana monolog umumnya mempunyai satu partisipan, yakni
orang yang berbicara atau menulis itu sendiri. Pada monolog orang
umumnya mengikuti pola narasi tertentu. Dari segi informasi yang
akan diberikan, orang memilah-milah mana yang layak dimasukkan
dan mana yang tidak. Dalam cerita tentang mobil baru yang telah
dipaparkan di muka, merek dan nomor cat serta tiner yang dipakai
tidak layak untuk dimasukkan dalam konteks penggambaran sebuah
mobil yang baru dibeli. Akan tetapi, kalau konteksnya adalah di
bengkel pengecatan mobil, informasi seperti ini mungkin memang
diperlukan.
Selain pemilihan-milahan, kita juga harus menentukan sedetail
mana kita mengatakan apa yang ingin kita katakan. Seorang dosen yang
diundang untuk memberikan ceramah tentang kodrat bahasa akan
mempertimbangkan minimal dua hal untuk ceramahnya itu. Pertama,
jumlah waktu yang tersedia. Kedua, tingkat pengetahuan hadirin.
Factor lain dalam wacana monolog adalah urutan penyajian. Suatu
perjalanan ke A, B, dan C maka akan sulit kalau loncat dari A ke C,
lalu ke B, lalu ke A, kemudian ke C lagi.
Factor terakhir adalah hubungan antara satu unsur dengan unsure
yang lain. Dalam kunjungan ke Bogor apa hubungan antara Kebun
Raya dengan kunjungan kesana.
Keempat factor ini akan mewujudkan suatu wacana monolog yang
koheren, yakni serasi dari segi maknanya.
2. Perencanaan Produksi Kalimat
Menurut Clark dan Clark ada tiga kategori yang perlu diproses: muatan
proposisional, muatan ilokusioner, dan struktur tematik.
a. Muatan Proposisional
Pembicara menentukan proposisi apa yang ingin dia nyatakan.
Yang perlu diperhatikan adalah pemilahan peristiwa atau keadaan.
Berbicara tentang seorang resepsionis muda yang menyapa pasien tua
maka pemilahan bahasanya bisa:
Ada seorang resepsionis. Ada seorang pasien. Resepsionis itu
muda. Pasien itu tua.
Bagi orang Jawa, kalimat “Jupuken upo iku”, dengan “Jupuken sego
iku” tidaklah sama. Pada kalimat “Jupuken upo iku” yang di ambil adalah
salah satu atau dua butir nasi yang jatuh dari piring ke, misalnya meja.
Sedangkan pada kalimat, “Jupuken sego iku”, seluruh nasi harus diambil.
Manusia juga pada umumnya bertitik tolak pandangannya dari segi
yang positif ke segi yang negative. Orang pada umumnya menganggap
sesuatu yang positif itu lumrah/ unmarked, sedangkan yang negative itu
tidak lumrah/ marked. Untuk menyatakan gaji seseorang, orang
umumnya akan memakai kalimat, “Berapa besar gajimu sekarang?”
bukan dengan mengatakan, Berapa kecil gajimu sekarang?”
b. Muatan ilokusioner
Setelah muatan proposisional ditentukan, pembicara menentukan
muatan ilokusioner yakni makna yang akan disampaikan itu akan
diwujudkan dalam kalimat yang seperti apa. Di sini peran tindak ujaran
muncul. Pada kalimat “Kenapa nggak berangkat sekarang saja?”
bukanlah suatu pertanyaan, tetapi suatu ajakan. Begitu juga saat minta
rokok pada seseorang, mungkin sekali kalimat kita adalah kalimat
Tanya, “Ada rokok tidak?” bukan “Beri aku rokok”.
Untuk mengundang dosen datang ke pesta, mahasiswa akan
menggunakan kalimat “Bila Bapak kebetulan ada waktu, kami ingin
Bapak dapat datang….”, bukan dengan kalimat, “Datang, dong, Pak,
ke…”.
Pembicara mempunyai banyak pilihan cara untuk mengungkapkan
apa yang ingin disampaikan. Cara mana yang dipilih dapat dipengaruhi
oleh berbagai factor yang umumnya berkaitan erat dengan kedudukan
social, perbedaan umur, hubungan kekerabatan, dan derajat keakraban
antara pembicara dengan interlokutornya.
c. Struktur Tematik
Struktur tematik berkaitan dengan penentuan berbagai unsur
dalam kaitannya dengan fungsi gramatikal atau semantic dalam
kalimat. Pembicara menentukan mana yang dijadikan subjek dan mana
yang objek. Pemilihan subjek dan kalimat aktif atau pasif dapat
mempengaruhi makna. “Tutiek sedang menyuapi anaknya”, maka yang
sedang disuapi adalah anaknya Tutiek. Jika dijadikan pasif, “Anaknya
sedang disuapi Tutiek”, maka artinya berubah, -nya pada kalimat
tersebut, tidak merujuk pada kepada Tutiek lagi.
3. Perencanaan Produksi Konstituen
Setelah perencanaan kalimat selesai dibuat, turunlah si pembicara ke
tataran konstituen yang membentuk kalimat itu. Di sini dipilihlah kata
yang maknanya tepat seperti yang dikehendaki. Seandainya, referenya
adalah seorang pria, maka, kalau dia benci orang itu, pilihan kata dia
mungkin adalah si brengsek atau bajingan itu, dsb. Sebaliknya, bila pembicara
adalah pengagum pria itu, bisa saja pilihannya adalah si tampan.
Satu referen mempunyai “julukan” yang lebih dari satu adalah suatu
hal yang biasa. Ir. Soekarno, misalnya, bisa dirujuk sebagai, presiden
pertama RI, proklamator bangsa, Ayah Presiden Megawati, pendiri Partai
Nasionalis Indonesia, dsb. Mana yang dipilih oleh pembicara tergantung
pada makna yang ingin disampaikan.
Pada pemilihan verba juga ada opsi yang dapat dipilih. Kata meninggal,
misalnya, mempunyai banyak sinonim dengan nuansa makna yang berbeda-
beda: mangkat, wafat, gugur, tewas, mati, mampus, modar, dsb. Mana yang
kita pilih ditentukan oleh ketepatan makna yang ingin kita sampaikan.
Merujuk kepada satu referen yang sama pembicara tidak dapat
memakai satu kata yang sama. Pembicara juga cenderung untuk memilih
kata yang memiliki derajat kemanfaatan yang optimal kecuali ada tujuan
khusus tertentu.
Seandainya kita mendengar orang berkata, “Aduh, cakep bener ya,
anjing itu!” padahal yang dilihat adalah herder. Mengapa tidak
menggunakan kalimat, “Aduh, cakep bener ya, binatang itu!” tampak pada
kalimat tersebut jangkauan semantic untuk kata binatavg adalah terlalu
luas. Anjing kampong, herder, Doberman atau macam anjing yang lain
adalah terlalu khusus. Dengan berlandaskan pada prinsipel derajat
kemanfaatan yan optimal, maka dia memilih kata anjing yang rasanya di
tengah-tengah.
Bahasa Indonesia memiliki system pronominal yang sangat rumit.
Rujukan pada orang kedua tunggal yang berupa kamu atau engkau diganti
dengan kata bapak atau ibu untuk menunjukkan rasa hormat dan oleh kata
saudara untuk rasa netral atau hubungan formal. Factor yang menentukan
kata mana yang dipilih umumnya adalah kedudukan social, umur,
hubungan kekerabatan, dan keakraban. Seseorang yang berkedudukan
social tinggi tidak dirujuk dengan kamu atau engkau tetapi dengan bapak
atau ibu. Begitu juga orang-orang yang lebih tua dari pembicara. Sebaiknya,
orang tua dapat memakai kata-kata ini kepada anak mereka. kata bapak
atau ibu juga dipakai bila bila hubungan antara pembicara dengan
interlokutornya bukan hubungan teman sejak kecil atau hubungan akrab.
Dalam masyarakat kita, hubungan kekerabatan juga merupakan factor
penting. Anak, misalnya, tidak akan memakai kata kamu atau engkau
kepada orang tuanya. Factor kedudukan social, umur, dan kekerabatan
dapat dinihilkan oleh factor keakraban. Dua orang A dan B yang
kedudukan sosialnya jauh berbeda, A adalah guru SLTP dan B adalah
Dirjen Dikti, bisa saja saling memakai kata kamu apabila sejarah kehidupan
mereka memungkinkan, missal, dulu mereka teman akrab, satu bangku sari
SD sampai SMA.
Dalam konteks ini, A berbicara dengan B dalam suatu situasi informal,
dan A tahu benar karakter B yang tidak sombong, dia akan berani memilih
kata kamu dan bukan bapak atau ibu.
Untuk bahasa yang memiliki system honorific seperti bahasa Jawa,
Sunda, Bali, rasa hormat ini tidak hanya diwujudkan pada kata ganti
pronominal saja, tetapi juga pada verba atau kata-kata lain. Misalnya, A
adalah anak muda penganggur di suatu kampong, dan B adalah jauh lebih
tua dan menjadi kepala desa di kampong tersebut. Pada waktu A berbicara
dengan B, pilihan kata-kata A adalah “Bapak badhe tindak pundi?”. Dimana
kata badhe, tindak, dan pundi adalah kata kromo inggil. Berbeda dengan
kalau pembicaranya B kepada A, kemungkinannya, “Kowe arep lungo nyang
endi?”
Wujud kalimat dalam bahasa yang berhonorifik seperti bahasa Jawa ini
bisa menjadi lebih rumit karena factor yang berpengaruh bisa tumpang
tindih.
Misal, A adalah anak muda, tetapi status social dia adalah direktur
suatu perusahaan, dan B adalah bagian tetapi dia juga mertua dari A, maka
di sini terjadi semacam konflik parameter. Dari segi usia dan status
kekerabatan, A harus berbahasa hormat kepada B, mertuanya. Dari segi
kedudukan social, dia berhak uvtuk berbahasa yang tidak harus kromo
inggil. Begitu juga si B, sebagai mertua, dia berhak untuk “berbicara ke
bawah” kepada A, tetapi sebagai bawahan si A, dia wajib menghormatinya.
Dalam hal ini jalan “melingkar” sering diambil. Misal, kepada
menantunya, yang juga bos dia, B akan berkata, “Kono arep tindak nyang
endi?” dimana dia menghindar dari pemakaian kata kasar kowe “kamu”
maupun kata hormat panjenengan. Dia memilih kata “kono” yang
sebenarnya berarti “di situ”. Untuk di satupihak memberikan rasa hormat
kepada bosnya, tetapi di pihak lain juga mempertahankan posisinya sebagai
mertua, B memakai kata hormat tindak, tetapi kata kasar arep, nyang, dan
endi untuk “akan, ke, dan mana”.
Unsure honorific merupakan unsur pertama yang harus diproses secara
mental terlebih dahulu sebelum retrival kata dapat dilakukan. Orang harus
tahu terlebih dahulu, siapa partisipan yang terlibat dalam percakapan itu.
D. HUBUNGAN ANTARA KOMPREHENSI DAN PRODUKSI
Orang dapat meretrif kata hanya bila dia telah menyimpan kata itu dalam
memori dia sebelumnya. Dengan kata lain, suatu kata dapat diproduksi hanya
bila telah ada komprehensi sebelumnya. Karena itu, masalah produksi tidak
dapat dilepaskan dari komprehensi. Bahkan dalam penelitian-penelitian
mutahir, terutama oleh para psikolog dari kelompok koneksiones, (Bock &
Levelt 1994; Bock & Griffin 2000) produksi merupakan cermin-balik dari
komprehensi orang menerima input untuk kemudian disimpan dalam memori.
Pada produksi kata yang tersimapan itu dicari kembali untuk kemudian
diujarkan. Untuk mencari kata itu tentunya diperlukan proses eliminatif
dengan kata memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada kata ini, baik fitur
semantik, sintaktik, maupun fonologis.
Mengujar apa yang dicari itu tidak selamanya lancar. Kadang kita harus
berhenti untuk mencari kata yang tepat, kadang kita keluar dengan ucapan yang
keliru.
E. KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa:
Salah satu pengertian production/produksi adalah kegiatan atau proses
membuat sesuatu secara alami. Produksi kalimat memerlukan proses psikologis
untuk meramu unsur-unsur yang akan dikatakan dalam urutan yang wajar dan
koordinasi yang tepat dengan neurologi manusia.
Langkah pertama si penutur adalah menentukan percakapan yang
bagaimana yang akan dilakukan. Setiap jenis percakapan mempunyai struktur
yang berbeda, dan dia harus merencanakan ucapan mana yang sesuai untuk
kondisi tersebut dan setiap ucapan harus menyampaikan pesan yang tepat.
Maksud dari produksi ujaran adalah agar kita bisa memilah-milah setiap
kata yang ingin atau akan kita sampaikan, dan kepada siapa kita akan
mengatakannya, kepada orang yang lebih tua dari kita, agar terlihat sopan dan
enak didengar. Kita bisa memisahkan kata-kata yang akan kita sampaikan,
kepada teman, kakak dan orang yang lebih tua dari kita.
F. DAFTAR PUSTAKA
Darjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Bock, K.dan William L.(1994). “Language Production: Grammatical Encoding.”
Dalam Gernbacher, ed. 1994.
Bock, K.dan Zensi M.G.(2000). “ProducingWords: How Mind Meets Mounth.”
Dalam Wheeldon, ed. 2000.
Cahyono, B.Y. (1995). Kristal-kristal Ilmu Bahasa.Surabaya: University Press.
Rahmawati, D.L.. (2014). Senyapan Pada Ujaran Iwan Fals Di Acara Talkshow
Kick Andy “Akhirnya Iwan Fals Bicara” Anterior Jurnal, Volume 14
Nomor 1.
Goldstein, K. (2003). Language and Language Disturbance. New York: Grune and
Straton.

Anda mungkin juga menyukai