A. PENGANTAR
Masalah pemerolehan bahasa berkaitan dengan bagaimana manusia mem-
peroleh kemampuan berbahasa atau bagaimana seseorang dapat menuangkan
idenya menjadi kata-kata. Masalah pemahaman bahasa berkaitan dengan
bagaimana manusia memahami, menyimpan, dan mengingat kembali
informasi, se-mentara masalah produksi bahasa berhubungan dengan berbicara,
menulis dan membaca (Aitchison, (1980); Langacker (1973:6); Osgood dan
Sebeok (1983:296). Pembahasan mengenai produksi bahasa lebih jauhnya lagi
berkaitan dengan bagaimana ujaran diproduksi dari awalnya hanya berupa
formasi sebuah ide di da-lam akal si pembicara hingga detik-detik sebelum
ujaran diucapkan (Knight 2002:1).
Manusia tidak menyadari bahwa sebenarnyasaat mengucapkan suatu kata
atau kalimat itumemerlukan perencanaan mental yang rinci dari tingkat wacana
sampai pada pelaksanaan artikulasinya. Hal ini berarti bahwa produksi
ujarantidak hanya memerlukan proses psikologis untuk meramu unsur-unsur
yang akan kita katakan dalam urutan yang wajar tetapi juga koordinasi yang
tepat dengan neuro-biologi. Proses mental ini menyangkut berbagai aspek.
Aspek pertama berkaitan dengan asumsi tentang pengetahuaninterlokutor –
orang yang diajak bicara. Aspek kedua adalah bahwa dalam berkomunikasi tiap
peserta mematuhi prinsipel kooperatif. Peserta pastilah akan memberikan
informasi yang pas, yang jelas, yang benar, yang tidak ambigu, dsb. Tanpa
aturan “lalu lintas” seperti ini pastilah akan terjadi ketidak-serasian. Di samping
itu juga harus memperhatikan aspek pragmatik dari ujaran-ujaran.
Seperti halnya pada persepsi dan komprehensi, kita tidak merasakan
bagaimana sukarnya kita sebenarnya berujar. Waktu kita berbicara, kita seolah-
olah begitu mudah merentet kata dari satu ke yang lain sepertinya tanpa harus
berpikir. Hal seperti ini terutama kita rasakan waktu kita berbicara tentang hal
sehari-hari, ngobrol dengan tetangga, berbincang dengan teman sekelas, dsb.
Perasaan seperti ini memang dapat dimengerti karena kita sebagai penutur asli
tidak sadar bahwa sebenarnya dalam berkomunikasi itu kita memerlukan
perencanaan mental yang rinci dari tingkat wacana sampai pada pelaksanaan
artikulasinya. Hal ini berarti bahwa produksi kalimat tidak hanya memerlukan
proses psikologis untuk meramu unsur-unsur yang akan kita katakan dalam
urutan yang wajar tetapi juga koordinasi yang tepat dengan neurobiologi kita.
Aspek pertama berkaitan dengan asumsi kita tentang pengetahuan
interlokutor – orang yang kita ajak bicara. Sebagai pembicara, kita harus tahu
apa yang diketahui oleh pendengar. Suatu kalimat tidak akan memiliki makna
apa-apa bagi pendengar bila semua informasi yang ada di dalamnya adalah
informasi baru. Bagi sekelompok mahasiswa yang diajar oleh beberapa dosen,
salah satunya adalah Pak Bambang, maka kalimat Pak Bambang akan menerbitkan
buku baru pastilah akan dimengerti maknanya. Akan tetapi, bila Pak Bambang
adalah orang yang tidak diketahui identitasnya – sehingga tentunya memiliki
informasi baru juga – maka kalimat tersebut menjadi tidak bermakna.
Aspek kedua adalah bahwa dalam berkomunikasi tiap peserta mematuhi
prinsipel kooperatif. Peserta pastilah akan memberi informasi yang pas, jelas,
yang benar, yang tidak ambigu, dsb. Tanpa aturan “lalu lintas” seperti ini
pastilah akan terjadi ketidak - serasian. Disamping itu kita juga harus
memperhatikan aspek pragmatik dari ujaran-ujaran kita. Hal ini lebih
ditekankan pada masyarakat kita, seperti Bali, Jawa, Madura, Sunda, yang
perilaku sehari-hari tercermin pada bahasa yang dipakai.
Contoh:
Ibuk arep tindak endi?
(1) Kowe arep lungo endi?
Bentuk ujaran kita dipengaruhi oleh kodrat yang ada pada masing-masing
bahasa. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, orang Jawa membagi konsep yang
berkaitan dengan nasi menjadi paling tidak 15 macam:
(1) Yang masih di sawah = pari
(2) Yang dipetik dan menjadi bagian si pemetik = bawon
(3) Yang sudah di panen dan terlepas dari gagangnya = gabah
(4) Yang ditumbuk dengan untuh = beras
(5) Yang tertumbuk dan terpecah kecil-kecil = menir
(6) Satu – dua gabah yang berada diantara beras = las
(7) Kulit yang terkelupas dengan kasar = dedek
(8) Kulit yang terkelupas dengan halus = katul
(9) Beras yang dimasak biasa = nasi
(10) Air yang telah menjadi putih waktu nasi ditanak = tajin
(11) Nasi yang mengeras dan melekat ke periuk = intip
(12) Beras yang dimasak setengah lunak = tim
(13) Beras yang dimasak sampai lunas = bubur
(14) Satu – dua butir nasi yang terlontar keluar piring = upo
(15) Nasi yang dimakan esok harinya = wadang.
Orang jawa akan dengan mudah mengungkapkan kalimat-kalimat seperti
(3-5) dan dimengerti dengan tepat oleh pendengarnya.
3) Jupuken las iku “ambillah gabah diantara-beras-itu”
4) Menire ojo dibuang “beras-yang-tertumbuk-jadi-kecil-kecil jangan
dibuang”
5) Bayine wenehono tajin “Bayinya beri air-tanak-nasi”
Kenyataan bahwa dalam leksikon bahasa Jawa terdapat kata-kata yang rinci
seperti ini membuat orang Jawa dapat mengungkapkan yang dia maksud dengan
tepat seperti terlihat pada contoh-contoh di atas. Bayangkan bagaimana orang
Inggris harus mengungkapkannya.
B. LANGKAH UMUM DALAM MEMPRODUKSI UJARAN
(1) Tingkat pesan (message) = dimana pesan yang akan disampaikan diproses
(2) Tingkat fungsional = dimana bentuk leksikal dipilih lalu diberi peran dan
fungsi sintaktik
(3) Tingkat posisional = konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan
(4) Tingkat fonologi = struktur fonologi ujaran itu diwujudkan
Pada tingkat pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang
ingin disampaikan. Untuk lebih jelasnya marilah kita pakai contoh:
(6) Tutik sedang menyuapi anaknya.
Nosi-nosi yang ada pada benak pembicara adalah antara lain:
(a) Adanya seseorang
(b) Orang ini wanita
(c) Dia sudah menikah
(d) Dia memiliki anak
(e) Dia sedang melakukan suatu perbuatan
(f) Perbuatan itu adalah memberi makan kepada anaknya.
Pada tingkat fungional, yang diproses ada dua hal. Pertama, memilih
bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan informasi
gramatikal untuk masing-masing bentuk leksikal tersebut.
Misalnya, dari sekian orang dan wanita yang ia kenal, wanita yang dimaksud
adalah Tutik, dan kata ini adalah nama perempuan; perbuatan yang dilakukan
diwakili oleh verba dasae; suap; antara dua argumen Tutik dan anaknya, Tutiek
adalah pelaku perbuatan sedangkang anaknya adalah resipiennya.
Proses kedua pada tingkat fungsional adalah memberikan fungsi pada kata-
kata yang telah dipilih ini. Proses disini menyangkut hubungan sintaktik atau
fungsi gramatikal. Pada contoh (6) diatas, kata Tutik harus dikaitkan dengan
fungsi subjek sedangkan anaknya pada objek.
Pada tingkat pemrosesan posisional, diurutkan bentuk leksikal untuk
ujaran yang akan dikeluarkan. Pengurutan ini bukan berdasarkan pada jejeran
yang linear tetapi pada kesatuan makna yang hierarkhis. Pada contoh (6) kata
sedang bertaut dengan menyuapi, bukan dengan Tutik. Begitu juga-nya bertaut
dengan anak, dan bukan pada Tutik atau menyuapi. Hierarki konstituen inilah
yang menjadi dasar diagram pohon.
Setelah proses itu selesai, diproseslah afiksasi yang relevan. Pada bahasa
Indo-Eropah seperti bahasa Inggris, verba menyuapi (to feed) untuk kalimat (6)
haruslah mendapat afiks infleksional – ing (feeding). Untuk bahasa Indonesia,
verba dasar suap haruslah ditambah dengan sufix – i (di samping prefiks meN –
secara opsional).
Hasil pemrosesan posisional ini “dikirim” ke tingkat fonologi untuk
diwujudkan dalam bentuk bunyi. Pada tahap ini aturan fonotaktik bahasa yang
bersangkutan diterapkan. Kata seperti Tutik mengikuti aturan fonotaktik
bahasa Indonesia, tetapi Ktuiek tidak. Kata ini tentunya akan ditolak. Begitu
juga vokal /u/ dan /i/ harus berurutan seperti itu karena kalau dibalik, Tituk,
referennya akan lain. Proses fonologis ini tidak sederhana karena tersangkut
pula di sini proses biologis dan neurologis.