Anda di halaman 1dari 29

PENDIDIKAN ALTERNATIF

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Paradigma


Pendidikan Kontemporer

Dosen Pengampu:

Edi Subkhan, S.Pd. M.Pd

Niam Wahzudik, S.Pd., M.Pd

Oleh:

Tirami Widyawati (1102416018)

Herni Perta Suci (1102416020)

Tenti Lidiyasari (1102416062)

Eric Susanto (1102417048)

JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS


ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2019
Abstrak

Setiap peserta didik usia wajib belajar mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan layanan pendidikan. Pendidikan bukan hanya sebagai proses transfer
pengetahuan dan teknologi, tetapi juga sebagai sarana informasi dan regenerasi
kehidupan sosial. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menempuh hak wajib belajar
sembilan tahun yaitu melalui jalur pendidikan formal maupun non formal yang bisa
dilakukan di sekolah alternatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan
informasi dan mendeskripsikan secara kajian teorotis dan empiris berupa hasil observasi
tentang pendidikan alternatif untuk memberikan pengetahuan kepada pihak lain tentang:
(1)pengertian pendidikan alternatif; (2) sistem pendidikan alternatif; (3) sistem
pembelajaran alternatif; (3) sejarah pendidikan alternatif; dan (5) implementasi
pendidikan alternatif yang ada di Indonesia.

Kata kunci : pendidikan, pendidikan alternatif, pembelajaran

Abstract

Every learning student must have the same rights to get education services.
Education is not only a process of transferring knowledge and technology, but also as a
means of information and regeneration of social life. Some things that can be done in the
transition of nine-year compulsory education rights are through formal and non-formal
education channels that can be done in alternative schools. The purpose of this study is
to obtain information and describe theoretically and empirically about the results of
research on alternative education to provide knowledge to other parties about: (1)
understanding of alternative education; (2) alternative education systems; (3) alternative
learning systems; (3) history of alternative education; and (5) the implementation of
alternative education in Indonesia.

Keywords : education, alternative education, learning

1
Latar Belakang

Pendidikan merupakan unsur yang paling strategis bagi pembangunan suatu bangsa.
Peran adanya pendidikan akan ber-pengaruh kepada sumberdaya manusia se-cara kualitas
dan kuantitas, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemak-muran masyarakat
dalam suatu negara dan pada akhirnya dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa itu
sendiri. Suatu bangsa atau negara dapat dikatakan sema-kin maju dan berkembang
diantaranya, apa-bila dalam pembangunan di bidang pendi-dikan diberikan perhatian secara
maksimal dengan upaya penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana untuk memenuhi
pendidikan masyarakatnya.
Melalui peran pendidikan merupa-kan upaya yang paling efektif dalam meng-atasi
kendala keterbatasan kemampuan masyarakat siap berpartisipasi dalam proses
pembangunan, (Ali, 2009, p.32). Dalam hal ini yang perlu dilakukan oleh pemerintahan
adalah melakukan terobosan atau inovasi baru dalam menerapkan kebijakan pendi-dikan
untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, sehingga berdampak kepada sumberdaya
manusia yang bermutu.
Parameter atau ukuran manusia da-pat dikatakan bermutu atau juga bisa dise-but
berkualitas adalah manakala individu atau seseorang sanggup menyelesaikan per-soalan-
persoalan dalam kehidupannya seca-ra mandiri, akuntabilitas, kredibilitas dan beretika
dalam sosial. Selain itu terus ber-semangat mengembangkan pengetahuan-nya untuk dapat
hidup lebih baik dan dapat berguna bagi orang lain atau dalam masya-rakatnya.
Menurut Isjoni, (2012, p.viii) “ke-mandirian sendiri berproses sangat lama dan
banyak memakan waktu, maka peng-ajaran untuk dapat mandiri harus sudah dimulai, dan
diarahkan dalam pendidikan ke arah karya nyata”. Selain mampu untuk menjadi manusia
yang mandiri, yaitu priba-di yang mampu mengenal dan menerima dirinya sendiri dan
lingkungannya, mampu mengarahkan dirinya dan selanjutnya dapat mengembangkan
potensi dirinya untuk mewujudkan dirinya secara optimal secara terus menerus sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan dalam kehidupannya.
Pendidikan sesungguhnya dapat di-katakan sebagai salah satu bentuk strategi
budaya tertua bagi manusia untuk memer-tahankan keberlangsungan eksistensi dalam
kehidupan. Arti budaya, menurut Shaleh, (2011, p.36) yaitu “aneka ragam tingkah laku, pola
pikiran, pergaulan, dan keserasian da-lam hidup yang diterima/diperbuat oleh anggota
masyarakat, sehingga mereka ber-beda dari masyarakat yang lainnya”.
Adapun tujuan pendidikan menurut Delors, yang kemudian dikenal dengan em-pat
pilar pendidikan versi UNESCO (1996) yang harus mendapatkan perhatian, yaitu: (1)
learning to know, untuk mengetahui; (2) learning to do, belajar untuk dapat berbuat; (3)
learning to be, belajar untuk menjadi dirinya; dan (4) learning to live together, belajar untuk
hidup bersama dengan orang lain.
Sementara itu, tujuan pendidikan menurut UNDP dalam Human Development
Report 1999 yang dikenal dengan istilah The Seven Freedoms (Dalam Rifai, 2011, pp.51-
52) adalah sebagai berikut: (1) Freedon from dis-crimination; bebas dari perlakuan diskrimi-
natif, (2) Freedom from fear; bebas dari rasa ketakutan, (3) Freedom of thought, speech, and
participate; bebas untuk berfikir, ber-bicara dan berpartisipasi, (4) Freedom from want;
bebas dari berbagai keinginan, (5) Freedom to develop and realize; bebas untuk

1
mengembangkan dan merealisasi, (6) Free-dom from injustice and violations; bebas dari
tindak ketidak adilan dan kekerasan, (7) Freedom from undecent work; bebas dari pekerjaan
yang tidak patut.
Menurut Prasojo (2012, p.19) menge-nai masalah pendidikan adalah “suatu gejala
universal yang melanda setiap negara, baik negara maju maupun berkembang yang
perbedaannya terletak pada corak strategi dalam solusi pemecahan yang terbaik, dan sampai
sekarang masih menjadi dilema”.
Berkaitan dengan pendidikan formal fakta di lapangan, sekarang ini tidak sedikit
yang lebih mengarah kepada pasar kapitalis dengan kata lain pendidikan formal dapat
dikatakan perusahaan di bidang jasa dan para keluarga dengan anaknya dikatakan sebagai
calon konsumen yang mempunyai pola hubungan antara sekolah dan peserta didik.
Adanya berbagai kelemahan terse-but, maka perlu melakukan pemikiran-pemikiran
untuk mengembangkan pendidikan kita ke arah yang lebih baik. Sebagai alter-natif
pendidikan atas kritik kepada kebijak-an pemerintah dari dahulu, maka muncul-nya berbagai
ide seperti “teori Pendidikan Pembebasan” oleh Fraire, “teori Construc-tivist” oleh Brooks,
teori Cultural Perspec-tive” oleh Rhoads dan Black, “teori Collabo-rative Learning” oleh
Bruffee. (Zamroni, 2000, p.155).
Melalui pendidikan alternatif dirasa dapat menjawab berbagai masalah kelemah-an
tentang pendidikan yang terjadi di In-donesia untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik
masyarakat kaya maupun masya rakat miskin yang semuanya memerlukan kedudukan yang
sama dalam bidang pendi-dikan. Untuk itu diperlukan sebuah pendi-dikan yang demokratis
yaitu “pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk
mendapatkan pendidikan di sekolah sesuai dengan ke-mampuannya” (Hasbullah, 1999,
p.241).
Inilah sebagai daya tarik alasan dalam melakukan penelitian yang pendidikan
alternatif yang dapat bermanfaat untuk memberdayakan masyarakat dan mengem-bangkan
sebuah desa yang mandiri, ber-karya dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada dan
memberdayakan sumberdaya manusia. Artikel ini bertujuan untuk mendalami pengertian,
konsep dan pembahasan lebih lanjut mengenai pendidikan alternatif sebagai bahan kajian
bersama dalam mata kuliah paradigma pendidikan kontemporer.

Pembahasan

A. Pengertian Pendidikan Alternatif


Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No
20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suanana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian pendidikan alternatif adalah meliputi sejumlah besar cara
pemberdayaan peserta didik yang dilakukan berbeda dengan cara yang konvensional.
Meskipun caranya berbeda, namun semua pola pendidikan alternatif memiliki tiga
kesamaan, yaitu: 1) pendekatannya yang lebih bersifat individual, 2) memberikan

1
perhatian lebih kepada peserta didik, orangtua dan para pendidik, 3) dikembangkan
berdasarkan kebutuhan dan kondisi lingkungan.
Beberapa pertimbangan dalam pemilihan pendidikan alternatif meliputi sejumlah
pertimbangan, yaitu: pertama, pertimbangan ontologis dengan sejumlah postulat, 1)
bahwa manusia dilahirkan berbeda-beda, 2) manusia mempunyai kemampuan untuk
belajar dan mengembangkan diri, 3) manusia berkembanga sesuai dengan potensi
genetikanya dan lingkungan yang mempengaruhinya, 4) manusia memiliki keluwesan
dan kemampuan untuk mengubah dan membentuk kepribadiannya. Dengan
serangkaian postulat tersebut maka pendidikan alternatif adalah memberikan
kemungkinan pendidikan yang sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kondisi
manusia yang bersangkutan. Kedua, pertimbangan epistemologis pendidikan alternatif
atau bagaimana pendidikan dapat diselenggarakan, hal ini dapat ditelusuri jauh ke
belakang, bahwa orangtua dahulu memberikan pembelajaran secara langsung kepada
anak-anaknya dengan nyata. Ketiga, pertimbangan aksiologis atau azaz
kebermanfaatan pendidikan alternatif, pertama-tama diajukan ditujukan kepada peserta
didik yaitu agar mereka dapat dimungkinkan mengikuti pendidikan sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan mereka.
Dalam sistem pendidikan alternatif ini pengelola pendidikan dan terutama
pendidik sebaiknya memandang para murid sebagai kumpulan individu yang khas dan
unik, sehingga dalam proses pembelajarannya bisa diarahkan sesuai dengan potensi
masing-masing individu.
B. Latar Belakang Pendidikan Alternatif
Timothy Young (1990), dalam uraiannya tentang sejarah sekolah alternatif,
menegaskan bahwa alternatif dalam pendidikan publik telah ada sejak kelahiran
pendidikan Amerika. Dia menggambarkan peluang pendidikan yang berbeda
berdasarkan ras, jenis kelamin dan kelas sosial yang mengatur panggung untuk sifat
yang terus berkembang dari sistem pendidikan di Amerika. Terlepas dari asal-usul
mereka di masa-masa awal negara kita, alternatif, seperti yang kita kenal dalam
pengertian paling modern, menemukan akarnya dalam gerakan hak-hak sipil. Amerika
mendeklarasikan perang melawan kemiskinan, dan dalam Undang-Undang Pendidikan
Dasar dan Menengah tahun 1965, Presiden Johnson menyebut sistem sekolah umum
sebagai garis depan serangan. Penekanan pada keunggulan, kata Young, pada titik ini
digantikan oleh tujuan keadilan humanistik. Dengan dukungan dan pendanaan
pemerintah, gelombang alternatif baru muncul yang dimaksudkan untuk menawarkan
pendidikan yang setara dan bermakna bagi siswa yang kurang beruntung dan minoritas.
Pada akhir tahun enam puluhan, gerakan alternatif telah dibedakan menjadi dua
kategori besar: alternatif di luar pendidikan publik dan mereka yang berada dalam
sistem sekolah umum.
Dalam kategori pertama, alternatif di luar pendidikan publik, dua uraian
reformasi melambangkan gerakan. Satu vena menghasilkan sekolah yang dimaksudkan
untuk menyediakan pendidikan berkualitas tinggi bagi kaum minoritas sebagai
tanggapan terhadap pendidikan di bawah standar yang diberikan kepada mereka dalam
sistem publik. Sekolah-sekolah ini umumnya disebut sebagai Sekolah Kebebasan.
Mereka dikembangkan sebagai model sekolah komunitas dan dijalankan di luar sistem

1
pendidikan publik dalam pengaturan mulai dari ruang bawah tanah gereja hingga front
toko. Graubard (1972) menggambarkan gerakan Sekolah Kebebasan sebagai gerakan
di mana "sekelompok orang mencari kendali atas proses pendidikan yang menindas
yang menjadi sasaran mereka dan anak-anak mereka" (hal. 353). Selama masa inilah
kontrol komunitas atas pendidikan menjadi yang terdepan.
Selama periode ini, nada kedua dalam arena pendidikan non-publik juga
mendefinisikan dirinya sebagai oposisi terhadap sistem pendidikan yang ada. Disebut
sebagai Gerakan Sekolah Gratis, ini didasarkan pada pencapaian dan pemenuhan
individu, bukannya menekankan komunitas. Sekolah-sekolah ini didirikan atas
anggapan bahwa pendidikan umum arus utama menghambat dan mengalienasi banyak
siswa dan bahwa sekolah harus disusun untuk memungkinkan siswa untuk secara bebas
mengeksplorasi kecerdasan dan keingintahuan alami mereka.
Dalam kategori kedua, Dengan menggunakan karakteristik dari alternatif yang
ditawarkan di luar pendidikan publik, pendidik dalam sistem sekolah umum merancang
alternatif mereka sendiri untuk pendidikan konvensional dengan munculnya Sekolah
Terbuka. Sekolah-sekolah ini ditandai oleh pilihan orang tua, siswa dan guru; otonomi
dalam pembelajaran dan kecepatan; evaluasi non-kompetitif; dan pendekatan yang
berpusat pada anak. Murray Road Annex di Massachusetts, Sekolah Tinggi John
Adams di Oregon, dan Sekolah Terbuka St. Paul di Minnesota adalah di antara sekolah
menengah umum terbuka pertama di Amerika.
Pelembagaan pendidikan di Indonesia paling tidak sudah berlangsung sejak
masa kolonial Belanda. Kala itu, melalui kebijakan Politik Etis yang terbit pada 1901,
pemerintah kolonial mulai membuka sekolah untuk masyarakat di tanah jajahannya,
mulai dari tingkat kanak-kanak hingga dewasa. Sistem pendidikan ala Politik Etis
dibagi atas tiga jenis, berdasar pada pembedaan ras serta status sosial masyarakat. Yaitu
sekolah untuk warga Eropa, Timur Asing (Cina dan Arab) serta yang diperuntukkan
bagi masyarakat pribumi. Pembedaan tersebut terkait dengan kelengkapan jenjang serta
konten yang diberikan dalam proses pembelajaran di masing-masing sekolah. Bagi
masyarakat Eropa dan Timur Asing yang tinggal di Hindia Belanda, pemerintah
kolonial menyediakan sekolah dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi yang
bermuatan paling mutakhir sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Sedangkan masyarakat pribumi, hanya boleh menyicipi pendidikan di tingkat dasar
dengan konten secukupnya. Indikator kecukupan pengetahuan mereka adalah
kemampuan membaca serta menulis Bahasa Belanda, sehingga ketika lulus, dapat
diandalkan sebagai pekerja administrasi pemerintah kolonial. Meski demikian, ada
beberapa pribumi yang mendapat kesempatan menuntut ilmu di sekolah-sekolah warga
Eropa. Kesempatan tersebut muncul lantaran orang tua mereka punya status bangsawan
atau bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial. Status yang terakhir disebut,
ditambah pengalaman pendidikan di sekolah Eropa, nantinya mampu mengubah status
sosial seseorang dari rakyat jelata menjadi priyayi.
Golongan priyayi dalam masyarakat ini kemudian memainkan peranan penting
dalam sejarah pendidikan di Tanah Air. Berbekal pandangan baru ihwal kemerdekaan
serta luasnya ilmu pengetahuan, mereka mulai merasakan kesenjangan yang tercipta
dari sistem pendidikan ala Politik Etis. Penggolongan pendidikan berdasarkan ras dan

1
status sosial nampak sebagai upaya melanjutkan kesenjangan yang terdapat dalam tiap
kelas masyarakat. Pada tingkatan selanjutnya, kemapanan status quo lah yang
dipertahankan dan pribumi akan selamanya menjadi warga terjajah di negerinya
sendiri. Dalam konteks tersebut, beberapa kaum priyayi mengambil inisiatif untuk
melakukan perlawanan terhadap kolonialisme melalui jalur pendidikan. Untuk itu
mereka mendirikan beberapa sekolah yang memiliki ide serta metode yang
bertentangan dengan sekolah resmi pemerintah Belanda.
Beberapa sekolah yang didirikan oleh tokoh pergerakan nasional di awal abad
ke-20. Mulai dengan SI School yang didirikan oleh Tan Malaka pada 1921 di
Semarang. Sekolah milik organisasi Sarekat Islam cabang Semarang ini berdiri sebagai
jawaban atas kebutuhan pendidikan anak-anak buruh di Semarang yang tak bisa masuk
ke sekolah pemerintah kolonial. Tan Malaka, tokoh pergerakan yang memiliki latar
belakang pendidikan guru ingin anak-anak miskin mampu membekali dirinya untuk
menghadapi perkembangan dunia dengan ilmu pengetahuan tapi juga bisa
membebaskan bangsa Indonesia dari para penjajah. Oleh karena itu, tujuan utama dari
SI School adalah soal pembebasan dan kemerdekaan, mulai dari tataran individu hingga
bangsa. Berangkat dari tujuan besar tersebut, Tan Malaka kemudian menyusun
kurikulum pendidikan yang amat berbeda dari sekolah pemerintah saat itu.
Suwardi Suryaningrat atau yang lebih populer dengan nama Ki Hajar Dewantara
mendirikan Taman Siswa pada 1922. Penamaan sekolah yang terbuka bagi seluruh
buimputera ini terkait dengan prinsip yang dijunjung, yakni tidak ingin membatasi
lingkungan belajar dengan tembok-tembok yang kaku serta hubungan antara guru dan
murid yang hirarkis. Karenanya, sekolah ini dinamakan taman, baik sebagai istilah
maupun dalam bentuk fisiknya. Taman Siswa merupakan sebuah sekolah yang
memiliki visi memerdekakan jiwa setiap anak didiknya serta mendekatkan mereka
dengan budaya lokal sebagai identitas bangsa. Dalam menggagas Taman Siswa, Ki
Hajar Dewantara juga banyak terpengaruh pemikiran Maria Montessori untuk
menjadikan murid sebagai subjek dan guru hanya sebagai fasilitator dalam kegiatan
pembelajaran. Salah satu prinsip yang paling terkenal diterapkan oleh Ki Hajar
Dewantara adalah “guru harus menghamba kepada anak”.
Selain itu upaya pemerdekaan jiwa anak didik yang dilakukan Ki Hajar
Dewantara mewujud pada tidak adanya konsep hukuman bagi para siswa yang
melakukan kesalahan. Ki Hajar menekankan, hukuman tidak dapat membuat jera siswa
yang bersalah justru akan menanamkan rasa dendam lantaran mereka terlanjur
menanggung malu untuk dihukum di hadapan kelas. Ia mencontohkan, bagi siswa yang
telat datang ke kelas, ia tak perlu dihukum untuk berdiri sepanjang pelajaran
berlangsung atau menulis kesalahannya hingga puluhan kali di atas kertas, melainkan
diberi tambahan waktu belajar usai kelas berakhir. Dengan model pendidikan tersebut,
jumlah peminat Taman Siswa pun meningkat dari tahun ke tahun. Namun,
perkembangan ini tidak membuat hati pemerintah kolonial Belanda tenang. Mereka
mengkhawatirkan terdapat infiltrasi gagasan-gagasan kemerdekaan di tubuh
bumiputera semakin meluas.
Dari paparan historis sebelumnya, kita tak bisa memungkiri bahwa
penyelenggaraan pendidikan ada di dalam konteks sosio ekonomi politik yang lebih

1
luas baik di tingkat lokal maupun global. Sementara keberadaan sekolah mainstream
(formal) pun sudah menunjukkan dirinya sebagai wadah yang akan menempatkan para
peserta didiknya ke dalam struktur status quo. Sedangkan pendidikan alternatif,
menawarkan beberapa cita-cita dan kemungkinan yang berbeda dari itu semua.
Beberapa kelompok yang mencoba membuat pendidikan alternatif memulai
dengan memperkenalkan metode yang berbeda secara radikal dengan sekolah
kebanyakan. Selain itu, mereka biasanya juga memiliki tujuan yang tidak terukur
dengan ujian atau tes tertulis yang biasa dilakukan di sekolah yaitu proses pemanusiaan
yang utuh. Oleh karena itu, biasanya sekolah alternatif memfokuskan kegiatannya
dalam beberapa hal seperti keterkaitan pembelajaran dengan masyarakat setempat,
kesadaran untuk memelihara alam, seni dan kerajinan tangan, keterampilan hidup serta
keterbukaan akses pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Pembelajaran
yang dilaksanakan sesuai pengalaman, kreativitas, seluruhnya dibina secara khusus
karena prinsipnya setiap anak punya kemampuan serta kebutuhan yang berbeda.
C. Pembelajaran di Pendidikan Alternatif
Lembaga pendidikan di Indonesia sudah berlangsung sejak masa kolonial
Belanda. Kala itu, melalui kebijakan Politik Etis yang terbit pada 1901, pemerintah
kolonial mulai membuka sekolah untuk masyarakat di tanah jajahannya, mulai dari
tingkat kanak-kanak hingga dewasa. Sistem pendidikan ala Politik Etis dibagi atas tiga
jenis, berdasar pada pembedaan ras serta status sosial masyarakat. Yaitu sekolah untuk
warga Eropa, Timur Asing (Cina dan Arab) serta yang diperuntukkan bagi masyarakat
pribumi.
Pembedaan tersebut terkait dengan kelengkapan jenjang serta konten yang
diberikan dalam proses pembelajaran di masing-masing sekolah. Bagi masyarakat
Eropa dan Timur Asing yang tinggal di Hindia Belanda, pemerintah kolonial
menyediakan sekolah dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi yang bermuatan
paling mutakhir sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu. Sedangkan
masyarakat pribumi, hanya boleh menyicipi pendidikan di tingkat dasar dengan konten
secukupnya. Indikator kecukupan pengetahuan mereka adalah kemampuan membaca
serta menulis Bahasa Belanda, sehingga ketika lulus, dapat diandalkan sebagai pekerja
administrasi pemerintah kolonial.
Meski demikian, ada beberapa pribumi yang mendapat kesempatan menuntut
ilmu di sekolah-sekolah warga Eropa. Kesempatan tersebut muncul lantaran orang tua
mereka punya status bangsawan atau bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial.
Status yang terakhir disebut, ditambah pengalaman pendidikan di sekolah Eropa,
nantinya mampu mengubah status sosial seseorang dari rakyat jelata menjadi priyayi.
Golongan priyayi dalam masyarakat ini kemudian memainkan peranan penting dalam
sejarah pendidikan di Tanah Air. Berbekal pandangan baru ihwal kemerdekaan serta
luasnya ilmu pengetahuan, mereka mulai merasakan kesenjangan yang tercipta dari
sistem pendidikan ala Politik Etis.
Penggolongan pendidikan berdasarkan ras dan status sosial nampak sebagai
upaya melanjutkan kesenjangan yang terdapat dalam tiap kelas masyarakat. Pada
tingkatan selanjutnya, kemapanan status quo lah yang dipertahankan dan pribumi akan
selamanya menjadi warga terjajah di negerinya sendiri.

1
Dalam konteks tersebut, beberapa kaum priyayi mengambil inisiatif untuk
melakukan perlawanan terhadap kolonialisme melalui jalur pendidikan. Untuk itu
mereka mendirikan beberapa sekolah yang memiliki ide serta metode yang
bertentangan dengan sekolah resmi pemerintah Belanda.
Pada bagian ini, kita akan merinci beberapa sekolah yang didirikan oleh tokoh
pergerakan nasional di awal abad ke-20. Mari memulainya dengan SI School yang
didirikan oleh Tan Malaka pada 1921 di Semarang. Sekolah milik organisasi Sarekat
Islam cabang Semarang ini berdiri sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan anak-
anak buruh di Semarang yang tak bisa masuk ke sekolah pemerintah kolonial.
Tan Malaka, tokoh pergerakan yang memiliki latar belakang pendidikan guru
ingin anak-anak miskin mampu membekali dirinya untuk menghadapi perkembangan
dunia dengan ilmu pengetahuan tapi juga bisa membebaskan bangsa Indonesia dari para
penjajah. Oleh karena itu, tujuan utama dari SI School adalah soal pembebasan dan
kemerdekaan, mulai dari tataran individu hingga bangsa.
Dalam pembukaan brosur SI School Semarang dan Onderwijs Tan Malaka
menuliskan, sekolah ini tak hanya bertujuan membuat anak menjadi pintar tapi juga
hendak, “bangunkan hati merdeka sebagai manusia.” Tokoh asal Minangkabau ini
menambahkan, dirinya juga bercita-cita kelak para murid tidak akan lupa pada berjuta-
juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan.
Berangkat dari tujuan besar tersebut, Tan Malaka kemudian menyusun
kurikulum pendidikan yang amat berbeda dari sekolah pemerintah saat itu. Pertama,
dengan memberi senjata yang cukup untuk mencari penghidupan di dunia kemodalan,
dalam poin ini Tan Malaka menjelaskan materi yang mesti didapat para murid adalah
berhitung, menulis, ilmu bumi serta Bahasa Belanda.
Pemberian materi Bahasa Belanda juga menjadi satu hal yang unik dilakukan
kepada para murid yang seluruhnya merupakan pribumi. Menurut Tan Malaka, Bahasa
Belanda penting diajarkan sebab banyak anak pribumi yang pintar namun tak bisa
berbahasa Belanda. “Padahal perlawanannya ialah kaum modal yang memakai bahasa
Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu,” jelas penulis buku Madilog
itu. Poin kedua dalam kurikulum SI School adalah memberi hak murid yakni kesukaan
hidup dengan jalan pergaulan. Sebagai seorang guru, Tan Malaka tahu betul betapa
pentingnya bermain bagi anak-anak. Ia begitu paham bahwa anak punya hak untuk
merasakan kegembiraan dengan bermain bersama sebayanya. Oleh karena itu, hak
tersebut tidak boleh dibatasi oleh jam belajar di sekolah yang begitu padat.
Ketiga, menunjukkan kewajiban kelak kepada berjuta-juta kaum kromo. Hal ini
diwujudkan dengan mewajibkan murid untuk senantiasa ikut serta dalam kegiatan rapat
organisasi (vereniging) Sarekat Islam. Selain dapat pergaulan yang luas, kegiatan ini
juga mampu mengasah kesadaran politik para siswa. Sebab dalam vereniging, seluruh
anggota akan menyampaikan situasi paling baru mengenai nasib rakyat.
Pada saat itu, kualitas pendidikan SI School terbilang sangat maju sehingga
dalam waktu beberapa bulan saja permintaan pembukaan SI School di beberapa daerah
lain begitu banyak. Namun, upaya pemerdekaan jiwa setiap anak miskin ini tidak
dibiarkan begitu saja oleh pemerintah kolonial Belanda. Lewat berbagai media massa,
pihaknya menulis kritik untuk SI School. Selain itu, pemerintah juga melakukan

1
penjegalan terhadap kegiatan “pasar derma” yang dilakukan murid-murid SI School
untuk mengumpulkan donasi masyarakat untuk biaya keberlangsungan sekolah
mereka.
Hambatan terhadap laju roda SI School mencapai titik kulminasi ketika tahun
1922, pemerintah kolonial memutuskan untuk memberikan hukuman pengasingan
kepada Tan Malaka. Tokoh progresif yang hidup lajang hingga akhir hayatnya ini
dibuang ke Belanda. Bersamaan dengan itupula, SI School mesti ditutup. Selanjutnya,
mari kita bahas sekolah lain yang punya gagasan menentang mainstream pendidikan
Belanda, yakni Taman Siswa.
Suwardi Suryaningrat atau yang lebih populer dengan nama Ki Hajar
Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 1922. Penamaan sekolah yang terbuka bagi
seluruh buimputera ini terkait dengan prinsip yang dijunjung, yakni tidak ingin
membatasi lingkungan belajar dengan tembok-tembok yang kaku serta hubungan
antara guru dan murid yang hirarkis. Karenanya, sekolah ini dinamakan taman, baik
sebagai istilah maupun dalam bentuk fisiknya.
Taman Siswa merupakan sebuah sekolah yang memiliki visi memerdekakan
jiwa setiap anak didiknya serta mendekatkan mereka dengan budaya lokal sebagai
identitas bangsa. Dalam menggagas Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara juga banyak
terpengaruh pemikiran Maria Montessori untuk menjadikan murid sebagai subjek dan
guru hanya sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu prinsip yang
paling terkenal diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah “guru harus menghamba
kepada anak”.
Selain itu upaya pemerdekaan jiwa anak didik yang dilakukan Ki Hajar
Dewantara mewujud pada tidak adanya konsep hukuman bagi para siswa yang
melakukan kesalahan. Ki Hajar menekankan, hukuman tidak dapat membuat jera siswa
yang bersalah justru akan menanamkan rasa dendam lantaran mereka terlanjur
menanggung malu untuk dihukum di hadapan kelas. Ia mencontohkan, bagi siswa yang
telat datang ke kelas, ia tak perlu dihukum untuk berdiri sepanjang pelajaran
berlangsung atau menulis kesalahannya hingga puluhan kali di atas kertas, melainkan
diberi tambahan waktu belajar usai kelas berakhir.
Dengan model pendidikan tersebut, jumlah peminat Taman Siswa pun
meningkat dari tahun ke tahun. Namun, perkembangan ini tidak membuat hati
pemerintah kolonial Belanda tenang. Mereka mengkhawatirkan terdapat infiltrasi
gagasan-gagasan kemerdekaan di tubuh bumiputera semakin meluas. Untuk
mencegahnya, pada tahun 1932 pemerintah mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar
(Wildescholen Ordonantie). Dalam peraturan ini, seseorang atau lembaga yang hendak
melangsungkan pendidikan mesti mendapat izin dari pemerintah. Selain itu, kegiatan
pembelajaran khususnya para guru juga mesti dilaporkan secara rinci. Sehingga bila
terdapat kegiatan yang melenceng, sekolah akan segera ditutup dan gurunya akan
dikenakan hukuman penjara selama delapan hari atau membayar denda sebesar 25
gulden.
Namun, Ki Hajar Dewantara tidak bergeming melihat peraturan tersebut. Ia
mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal De Jonge untuk menentang Ordonansi
Sekolah Liar dan mengancam akan melakukan pembangkangan bila ketentuan tersebut

1
tidak dicabut. Isi telegram tersebut kemudian diterbitkan pada majalah Timboel, 6
November 1932. Dalam telegram tersebut Ki Hajar mengatakan, “Excellentie!
Ordonantie jang disadjikan amat tergesa-gesa dan didjalankan dengan tjara paksaan…
Bolehlah sadja memperingatkan, bahwa walaoepoen machloek jang ta’ berdaja
mempoenjai rasa asali berwadjib memangkis bahaja oentoek mendjaga diri dan
demikianlah djoega boleh djadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan
sekoeat-koeatnja dan selama-lamanja.”
Meski ordonansi tersebut tetap dilaksanakan Taman Siswa terus berkembang ke
luar Jawa Tengah. Menurut catatan Frances Souda dalam Dutch Cultures Overseas
hingga September 1932 Taman Siswa sudah mendirikan 166 sekolah dengan perkiraan
jumlah murid 11.000 orang di seluruh Jawa. Sekolah liar ini begitu diminati lantaran
keadaan ekonomi dunia pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi pada 1930-an
mengakibatkan adanya pemotongan subsidi pemerintah untuk pendidikan. Akibatnya,
biaya sekolah tinggi dan banyak orang di Hindia Belanda menyekolahkan anaknya di
sekolah liar.
Tokoh pergerakan lain yang memiliki gagasan perlawanan terhadap sistem
persekolahan Belanda adalah Haji Agus Salim. Pimpinan Sarekat Islam ini menolak
sistem pendidikan Belanda yang diskriminatif dan tidak membuka aksesnya kepada
setiap warga bumiputera dengan mendirikan sekolah rumah untuk anak-anaknya.
Moehammad Roem dalam 100 Tahun Agus Salim menjelaskan, tokoh asal
Minangkabau itu memberikan pendidikan bagi anak-anaknya sedari lahir dengan
menyediakan ruang belajar dan bermain di rumah tanpa dibatasi waktu. “Anak-anak itu
tidak sekolah tetapi pandai berbahasa Belanda dengan baik, lancar dan bagus,” tulis
Roem.
Menurut Roem, sekolah yang didirikan oleh Belanda bagi kaum pribumi hanya
bertujuan mendapatkan tenaga kerja murah serta menciptakna watak tunduk kepada
segala perintah mereka. Masalah tersebut bisa dipecahkan dengan model pendidikan
yang dilakukan Agus Salim. Model ini pun bukan dilaksanakan secara spontan
melainkan didasarkan pada prinsip Agus Salim bahwa setiap orang harus dapat mandiri
menghidupi dirinya sendiri agar dapat memimpin rakyat tanpa bantuan penjajah.
Dari paparan historis sebelumnya, kita tak bisa memungkiri bahwa
penyelenggaraan pendidikan ada di dalam konteks sosio ekonomi politik yang lebih
luas baik di tingkat lokal maupun global. Sementara keberadaan sekolah mainstream
(formal) pun sudah menunjukkan dirinya sebagai wadah yang akan menempatkan para
peserta didiknya ke dalam struktur status quo. Sedangkan pendidikan alternatif,
menawarkan beberapa cita-cita dan kemungkinan yang berbeda dari itu semua.
Beberapa kelompok yang mencoba membuat pendidikan alternatif memulai
dengan memperkenalkan metode yang berbeda secara radikal dengan sekolah
kebanyakan. Selain itu, mereka biasanya juga memiliki tujuan yang tidak terukur
dengan ujian atau tes tertulis yang biasa dilakukan di sekolah yaitu proses pemanusiaan
yang utuh.
Oleh karena itu, biasanya sekolah alternatif memfokuskan kegiatannya dalam
beberapa hal seperti keterkaitan pembelajaran dengan masyarakat setempat, kesadaran
untuk memelihara alam, seni dan kerajinan tangan, keterampilan hidup serta

1
keterbukaan akses pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Pembelajaran
yang dilaksanakan sesuai pengalaman, kreativitas, seluruhnya dibina secara khusus
karena prinsipnya setiap anak punya kemampuan serta kebutuhan yang berbeda. Yang
terpenting, pendidikan alternatif hadir karena ada ketidakpuasan dengan sekolah-
sekolah mainstream.
Menurut Sarojini Vittachi dalam Alternative Schooling in India dilasir dari
www.ekstrakurikulab.serrum.id tidak ada definisi yang konsisten mengenai sekolah
alternatif. Namun, sebuah sekolah secara umum dapat dikategorikan sebagai non-
tradisional atau non-konvensional bila memiliki satu dari beberapa ciri berikut :
1. Pendekatan yang digunakan lebih individual daripada sekolah pada umumnya.
Tidak ada satu model ajeg yang digunakan sepanjang pembelajaran, sehingga
pendekatan yang digunakan nampak selalu menentang apa yang sudah mapan.
2. Penghormatan kepada anak didik dilakukan sesuai dengan diri mereka sendiri,
bukan berdasar pada latar belakang sosial ekonomi orang tua, atau kemampuan
khusus para peserta didik. Suasana belajar justru dibangun dalam lingkungan
yang terintegrasi antaranak yang punya beragam kemampuan, latar belakang
sosial dan ekonomi dan seringkali gabungan dari peserta didik yang usianya
beragam.
3. Pembelajaran dilakukan berdasarkan pengalaman ketertarikan anak didik lalu
diperdalam dengan beragam materi, bukan dilakukan menggunakan buku teks
atau hanya mendengarkan kuliah dari para guru.
4. Disiplin ilmu yang saling silang namun berhubungan. Melalui hal ini, anak
didik akan mengetahui batas-batas pengetahuan serta memahami hubungan
beragam disiplin ilmu yang dipelajari.
5. Ukuran kelas dijaga agar tetap kecil. Dalam sekollah alternative,idealnya guru
tidak mengajar anak didik lebih dari 25-30 anak perkelas.
6. Struktur kelas dibuat dengan fleksibilitas umur maupun subjek yang dipelajari.
Pengertian kelas juga tidak selalu berarti sebuah ruang yang rapat dibatasi oleh
tembok-tembok, bisa saja pembelajaran berlangsung di alam bebas.
7. Administrasi dilaksanakan dalam suasana yang demokratis dan aturan yang
fleksibel. Model ini memungkinkan adanya perputaran tanggung jawab, adanya
pengambilan keputusan melalui consensus dan musyawarah untuk kebaikan
institusi.
8. Evaluasi metode-metode yang digunakan dieksplorasi dalam berbagai bentuk,
tidak selamanya bersandar pada ujian konvensional.
9. Afiliasi dengan lembaga terkenal. Sekolah-sekolah alternative biasanya
berusaha untuk mengeksplorasi topic-topik serta silabus baru yang umumnya
tidak berkaitan langsung dengan ujian resmi pemerintah. Meski demikian, tidak
berarti beberapa sekolah itu tidak menyiapkan anak didik mereka untuk bisa
mengikuti ujian resmi pemerintah untuk melengkapi proses persekolahan serta
memasuki perguruan tinggi.
10. Tingkat kesuksesan bukan hanya dinilai dari penampilan anak didik di berbagai
kompetisi, ujian dan beragam studi banding. Keluaran pendidikan mereka

1
adalah gabungan antara parameter-parameter yang mampu diukur dan tidak
mampu diukur.

Pendidikan alternatif tidak lahir dari ruang hampa, melainkan lahir dari rahim
kritik atas pendidikan nasional (mainstream) yang mengingkari fitrahnya untuk
mencerdaskan anak-anak yang merdeka. Akan tetapi kenyataannya komunitas-
komunitas pendidikan alternatif masih cenderung didiskiriminasikan dalam berbagai
kebijakan. Anak-anak yang belajar di sekolah alternatif tidak berhak mengikuti Ujian
Nasional tetapi harus mengikuti ujian persamaanî atau kesetaraan. Mereka juga sering
dipersulit ketika ingin berpindah ke sekolah reguler karena tidak adanya sistem bridging
yang baik. Diskrimasi ini juga menyebabkan anak-anak yang memilih atau harus berada
di pendidikan alternatif tidak mendapatkan hak-hak sebagaimana yang diperoleh
mereka yang bersekolah di sekolah reguler.
D. Perkembangan Pendidikan Alternatif Di Indonesia
Awal perkembangan sejarah pendidikan di Indonesia tentunya tidak jauh
berbeda dengan perkembangan pada bangsa atau masyarakat lain, yaitu dimulai dari
pendidikan yang diselenggarakan oleh orangtua sendiri, oleh komunitas tertentu, oleh
orang-orang tertentu dalam komunitas yang diberi tugas dan wewenang khusus, dan
kemudian dilembagakan dalam suatu kegiatan tertentu dengan aturan baku. Pada
umumnya disepakati bahwa awal perkembangan pendidikan dengan aturan baku ini
kecuali adanya tenaga “guru”, juga pada saat digunakannya medium tulisan untuk
keperluan pemaparan pesan.
Prasasti yang ditemukan pada abad ke 4 menyimpulkan bahwa pada saat itu
kerajaan Kutei dengan raja Mulawarman, telah mulai menyelenggarakan pendidikan.
Pendidikan itu tentunya hanya untuk kalangan terbatas, yaitu kalangan raja atau
penguasa, untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tugas mendidik diserahkan
kepada orang pandai atau orang suci, yaitu kelompok “brahma” atau yang dalam
riwayat kebudayaan berikutnya disebut “empu”. Sejarah mengenal empu Kanwa yang
menulis kitab Arjuna Wiwaha, empu Prapanca yang menulis kitab Negara Kertagama,
dan lain sebagainya.
Di samping para cendekiawan yang mendidik kalangan tertentu, diduga ada
pula sejumlah praktisi yang memberikan pengetahuannya tentang cara-cara bertani,
berdagang dan berbagai ketrampilan yang diperlukan dalam masyarakat. Kalau ditinjau
dengan kacamata sekarang, mungkin pada saat itu sudah berlangsung pendidikan
alternatif yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan khusus masyarakat yang bersangkutan. Bentuk pendidikan alternatif tertua
(oleh masyarakat untuk masyarakat) yang sampai sekarang masih diselenggarakan
adalah pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren ini diperkirakan dimulai pada abad
ke 15, yaitu pada awal masuknya agama Islam. Menurut Wahyutomo (1997:71) tokoh
yang dianggap berhasil mengembangkan pesantren adalah Raden Rahmat atau dikenal
sebagai Sunan Ampel. Keberhasilan pensantren di Ampel ini kemudian disusul dengan
munculnya pesantren baru seperti pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak
oleh Raden Fatah, dan pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.

1
Pendidikan di pesantren pada dasarnya bertujuan untuk menanamkan loyalitas
kepada Islam yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku yang benar dan penerimaan
norma-norma danpola hidup secara Islam, serta loyalitas kepada masyarakat Islam.
Tujuan pendidikan ini tidak semata-mata unuk memperkaya pikiran santri, tetapi untuk
meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai
spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan
bermoral, serta menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati
(Zamakhsyari Dofier,1994:19-21).
Pola pendidikan pesantren dimulai dengan kemampuan membaca Qur’an tanpa
harus memahami maknanya terlebih dahulu. Bagi mereka yang sudah mampu membaca
dengan lancar dan benar, barulah para santri itu dibimbing untuk membaca buku-buku
Islam klasik yang elementer. Bersamaan dengan itu dipelajari juga bahasa Arab untuk
lebih mampu mendalami buku-buku yang lebih berbobot dan yang umumnya sudah
menjurus kepada bidang kajian tertentu seperti hukum, sastra, tauhid, etika dan
sebagainya. Tidak semua guru pesantren atau Kyai mempunyai pengetahuan mendalam
tentang berbagai cabang pengetahuan. Oleh karena itu bagi santri tertentu yang ingin
mendalami suatu bidang kajian tertentu, dia akan berguru kepada Kyai di pesantren
lain. Dalam pola pendidikan pesantren tidak dikenal adanya “ijazah”, yang ada adalah
pengakuan dari Kyai mengenai kemampuan santri yang dianggapnya telah menguasi
ilmu yang dituntutnya. Pengakuan tentang mutu lulusan selanjutnya merupakan
keputusan masyarakat. Biasanya para santri yang sudah berguru ke beberapa Kyai
dengan keahlian khusus, memperoleh pengakuan yang tinggi.. Pendidikan Pesantren
ini telah menghasilkan guru-guru madrasah, guruguru lembaga pengajin, para khotib
Jumat, dan bahkan para ulama yang berkualitas tinggi.
Pendidikan di pesantren tidak hanya ditekankan pada penguasaan atas
pengetahuan keagaman saja, melainkan juga penerapannya dalam berbagai bidang
kehidupan terutama yang sesuai dengan lingkungannya. Cita-cita pendidikan pesantren
adalah latihan untuk mampu berdiri sendiri dan tidak menggantungkan sesuatu kepada
orang atau lembaga lain kecuali Tuhan. Berdasarkan cita-cita ini ada pesantren yang
bercirikan pertanian, dimana para santri dibimbing secara langsung bekerja sambil
belajar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pertanian. Para lulusannya diharapkan
untuk menjadi petani terpelajar dan tidak menggantungkan diri pada pola pertanian
tradisional. Ada pula pesantren yang memberikan kesempatan pendidikan ketrampilan
kerajinan, sehingga para lulusannya mampu menguasai bidang kerajinan tertentu untuk
memungkinkan mereka membuka usaha atau berswakarsa menghasilkan produk
kerajinan tertentu tersebut. Ada lagi pesantren yang mengajarkan para santrinya untuk
trampil dalam bidang perdagangan dan jasa pelayanan.
Pada dasarnya pendidikan pesantren diselenggarakan dengan cara swadana.
Penghasilan diperoleh dari sumbangan orangtua santri, masyarakat dan produk yang
dihasilkan dari pesantren sendiri. Dalam perkembangan kemudian cukup banyak
pesantren yang mendapat bantuan dari pemerintah atau dari lembaga dari luar (baik
lembaga pendanaan maupun lembaga sosial). Dikhawatirkan bahwa bantuan ini dapat
merupakan intervensi terhadap cita-cita dan tujuan pendidikan di pesantren. Salah satu
intervensi itu berupa pembakuan program pendidikan yang didukung dengan

1
pengakuan berupa ijazah kelulusan. Kalau hal ini terjajdi maka bentuk pendidikan
alternatif yang telah dikembangkan dan dibina di pesantren akan terhapus. Hal ini
berarti pula bahwa prakarsa pribadi dan masyarakat terkekang karena harus tunduk
pada putusan penguasa, dalam hal ini pemerintah.
Taman Siswa yang didirikan pada tahun 1922 pada awalnya dapat
dikategorisasikan sebagai suatu pendidikan alternatif, yaitu sekolah swasta yang
programnya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan pada waktu itu, yaitu perjuangan
melawan penjajahan/penindasan. Azas-azas pendidikan di Taman Siswa seperti yang
telah disebutkan di muka, dijabarkan menjadi dasar program yang diberi nama Panca
Darma. Panca Darma ini meliputi : kemanusiaan, kodrat hidup alam dan Illahi,
kebudayaan, kebangsaan dan kemerdekaan. Berdasarkan Panca Darma ini maka
pendidikan di Taman Siswa merupakan corak pendidikan nasional yang bermaksud
mendidik anak agar menjadi nasionalis sejati yang mencintai bangsanya, dan selalu
berusaha demi kemajuan bangsa dan negara. (Soemanto & Soeyarno, 1983:64-66).
Kurikulum termasuk bahan pengajarannya dikembangkan berdasarkan kebudayaan
nasional, sesuai dengan missi pendidikan nasional. Pendidikan akhlak (budi pekerti)
mendapat perhatian yang besar sebagai dasar pembentukan kepribadian anak-didik.
Pendidikan kesenian juga dikembangkan sebagai salah satu unsur untuk melestarikan
dan mengembangkan kebudayaan.
Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir akan perkembangan pendidikan
yang bercirikan nasionalisme dan yang memperjuangkan kemerdekaan ini. Maka pada
tahun 1932 dikeluarkan peraturan yang isinya mengatur pendidikan swasta, yaitu
bahwa isi pelajarannya harus sesuai dengan sekolah negeri (yang dibiayai dan dikelola
oleh pemerintahan kolonial), dan para guru harus memperoleh ijin mengajar dari aparat
penguasa. Berkat peprjuangan Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh nasionalis lain,
peraturan itu dicabut pada tahun 1933, tetapi tidak berarti bahwa oleh karena itu diberi
kebebasan kepada setiap orang/lembaga untuk menyelenggarakan pendidikan.
Tokoh pendidikan lain yang mengembangkan pendidikan alternatif pada jaman
penjajahan adalah Mohammad Syafei. Dia membuka sekolah di Kayutanam dengan
semboyan “carilah sendiri dan kerjakanlah sendiri”. Para siswa diberikan ketrampilan
praktikal seperti membuat sendiri meja dan kursi yang digunakannya. Pendidikan yang
berorientasi pada perkembangan kepribadian dan kemampuan memenuhi kebutuhan
masyarakat ini mengalami masa pasang surut. Pada masa Perang Dunia II pendidikan
ini terhenti karena kampusnya diduduki oleh tentara Hindia Belanda, dan kemudian
diganti dengan masuknya Jepang. Bahkan pada waktu perjuangan kemerdekaan, tentara
Belanda telah membumi hanguskan kampus Kayutanam.
Pada masa awal kemerdekaan banyak sekali diselenggarakan program
penddikan alternatif, yang tujuannya untuk mengisi kekosongan tenaga yang
diperlukan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sangat disayangkan
bahwa sangat sedikit sekali, kalau boleh dikatakan tidak ada, rekaman dokumenter
mengenai hal itu. Kebanyakan merupakan rekoleksi pengalaman pribadi dari mereka
yang terlibat. Pada awal tahun 50 an diselenggarakan pendidikan melalui radio oleh
Djawatan Pendidikan Masyarakat untuk keperluan eks pelajar pejuang. Program ini
yang diprakarsai oleh Sadarjoen Siswomartoyo dan didukung oleh AURI dibawah

1
kepemimpinan panglima Suryadarma, tidak berlangsung terlalu lama, karena para eks
pelajar pejuang yang semula bertempat tinggal berserak itu diberi kesempatan untuk
belajar dengan beasiswa di SMA Perjuangan di Malang.
Belum pernah ada usaha kita untuk menginventarisasikan pendidikan alternatif
(lembaga dan programnya), yaitu pendidikan yang memenuhi dasar pertimbangan
seperti yang telah dipaparkan di muka. Meskipun demikian diyakini bahwa pendidikan
alternatif cukup banyak terselenggara di Indonesia. Dalam pembahasan ini hanya
disajikan beberapa kasus penyelenggaraan pendidikan alternatif yang sengaja dipilih.
Kasus-kasus itu adalah Sekolah Laboratorium IKIP Malang yang lebih dikenal dengan
Sekolah Laboratorium Ibu Pakasi (SLIP), sekolah dasar Pamong, Kejar Paket A dan B,
SMP Terbuka, dan “Universitas Tikyan”.
Sekolah Laboratorium IKIP Malang lebih dikenal sebagai Sekolah
Laboratorium Ibu Pakasi (SLIP) karena dipimpin oleh Prof.Dr.Supartinah Pakasi, serta
menerapkan konsep-konsep pendidikan yang dikembangkan oleh pasangan
C.A.Pakasi, M.A. dan S.Pakasi. Sekolah didirikan pada tahun 1967 yang pada awalnya
merupakan Taman Kanak-kanak. Pendidikan di sekolah ini disebut pula SD 8 tahun,
karena memberikan pendidikan dasar setingkat SMP dalam waktu delapan tahun.
Tujuan SLIP ini adalah agar tiap murid dapat mencapai pengembangan yang maksimal.
Untuk mencapai tujuan itu semua aktivitas sekolah didasarkan pada azas adanya
perbedaan individual , dan pengakuan hak masing-masing murid untuk memperoleh
kesempatan mengembangkan seluruh potensi yang ada pada dirinya. Program
pembelajaran dilakukan antara lain dengan cara : (1) memperkaya ling-kungan belajar;
(2) pengelompokan siswa berdasarkan prestasi; (3) maju ber-kelanjutan; (4) belajar
bebas; (5) kedisiplinan; (6) penggunaan perpustakaan secara intensif; (7) kenaikan
kelas otomatis (automatic promotion); (8) pembinaan ketrampilan khusus; (9)
keanggotaan dalam kooperasi yang dikelola siswa sendiri.
Sekolah ini telah menarik perhatian ahli pendidikan tidak hanya dari dalam
negeri melainkan juga dari luar negeri. Tercatat sekitar 13.000 orang telah tertarik
mengunjungi dan mempelajari apa-apa yang dilakukan di sekolah. Pada tahun 1973
sekolah ini memwisuda lulusannya yang pertama, yaitu yang telah menyelesaikan
pendidikan jenjang Sekolah Dasar hanya dalam waktu lima tahun dan jenjang SMP
dalam waktu delapan tahun, dengan mengikuti ujian yang sama dengan murid sekolah
regular. Namun apa yang telah dilakukan oleh Ibu Pakasi iniharus dihentikan pada
tahun 1974, karena harus mengikuti ketentuan baku yang ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dalam bentuk Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP), yang menggunakan modul tertulis untuk keperluan belajar-pembelajaran.
Padahal modul itu sendiri belum pernah diuji-cobakan efektivitasnya (Pakasi,1974).
Hal ini merupakan intervensi yang berlebihan dari pemerintah atas prakarsa perorangan
dan masyarakat, dan tentu saja sangat disesalkan karena telah memetikan prakarsa yang
telah terbukti berhasil.
Pada tahun 1972 dalam rangka kerjasama SEAMEO INNOTECH Center
diselenggarakan suatu model pendidikan dasar yang disebut IMPACT (Instruction
Managed by Parents, Community and Teacher) yang di Indonesiakan dengan
PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orangtua dan Guru). Proyek ini

1
dilaksanakan di desa Alastuwo dan Kebakramat kabupaten Sukoharjo, Surakarta, di
bawah koordinasi Badan Pengembangan Pendidikan (sekarang menjadi Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan), dan pelaksana lapangan
oleh tim IKIP Yogyakarta cabang Surakarta (yang merupakan cikal bakal Universitas
Negeri Sebelas Maret). Program belajar-pembelajaran dilaksanakan dengan prinsip
berikut :
1. belajar mandiri dengan menggunakan bahan belajar terprogram yang disebut
modul
2. belajar kelompok-sebaya (peer learning) dengan bantuan kakak kelas yang telah
menguasai pelajaran bersangkutan
3. kompetisi untuk berprestasi dengan tersedianya daftar kemajuan belajar
(penguasaan atas modul) yang diisi sendiri dan diketahui semua siswa
4. fungsi guru sebagai pengelola kegiatan belajar yang membantu mengatasi
masalah yang tidak terpecahkan oleh siswa sendiri menggunakan lingkungan
sebagai sumber belajar
5. meningkatkan partisipasi masyarakat antara lain dengan melibatkan warga
masyarakat sebagai narasumber.
Sistem Pamong ini telah dinilai berhasil karena siswa-siswanya lulus EBTA
sekolah regular, dan bahkan program itu diikuti oleh dan meluluskan sejumlah orang
tua/dewasa yang belum pernah berkesempatan menamatkan sekolah dasar. Sistem ini
bahkan sudah mulai dideseminasikan ke kecamatan Ubud di Bali dan di kecamatan
Tumpang di Malang. Namun program ini juga terpaksa dihentikan karena adanya
kebijakan pemerintah berupa SD Inpres. Dasar pertimbangannya adalah bahwa dengan
dibangunnya sejumlah besar sekolah dasar melalui SD Inpres maka tidak diperlukan
lagi usaha alternatif untuk memberikan kesempatan belajar kepada anak-anak. Kecuali
itu program Pamong ini dianggap telah melanggar ketentuan batas usia anak sekolah
dasar 6 s/d 15 tahun, dengan memberikan kesempatan orang dewasa untuk mengikuti
program tersebut. Hal ini merupakan ironi karena tujuan nasional untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dihambat oleh peraturan yang lebih rendah peringkatnya. Hal ini juga
merupakan bukti campur tangan yang berlebihan dari pemerintah, sehingga prakarsa
masyarakat dihentikan.
Pada tahun 1974 Direktorat Pendidikan Masyarakat pada Direktorat Jenderal
Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga, mulai mengembangkan paket belajar
pendidikan dasar bagi orang dewasa. Paket ini disebut KEJAR Paket A (yang kemudian
disambung dengan Paket B); Istilah KEJAR merupakan akronim dari Kelompok
Belajar atau Bekerja dan Belajar, yang dapat pula diartikan sebagai uapaya “mengejar”
ketinggalan. Paket belajar ini merupakan bahan belajar fungsional, yaitu yang langsung
mempunyai kegunaan dalam kehidupan sehari-hari karena materi pelajaran diambil
dari lingkungan. Maksud dikembangkannya Kejar Paket A adalah untuk
mempersiapkan warga negara agar dapat berpartisipasi aktif dan positif di dalam
masyarakat. (Napitupulu, 1979:6).
Paket A terdiri atas 100 buku modul, yang disusun sebagai berikut : Seri A-1
s/d A-20 merupakan pelajaran dasar membaca, menulis, berhitung dan bahasan
Indonesia yang dipadukan; Seri A-21 s/d A-60 merupakan bacaan lanjutan dengan

1
tambahan pengetahuan dan kecakapan dasar mengenai berbagai bidang kehidupan; Seri
A-61 s/d A-100 merupakan bacaan lebih lanjut lagi yang berisi perluasan dan
pendalaman pengetahuan dan kecakapan mengenai bidang kehidupanKegiatan belajar
dilaksanakan secara berkelompok di lokasi tempat tinggal warga belajar. Kelompok
belajar ini memilih sendiri ketuanya yang akan memimpin perencaan jadwal belajar
sesuai dengan waktu luang para anggota kelompok. Untuk membantu mengatasi
kesulitan belajar diangkat pamong atau tutor yang diambil dari lingkungan masyarakat
sendiri yang sudah melek huruf. Warga belajar yang telah menyelesaikan pelajarannya
(telah menyelesaikan ke 100 modul) akan mendapatkan STSB (Surat Tanda Serta
Belajar), sesuai dengan pandangan bahwa proses belajar itu berlangsung seumur hidup
dan seseorang tidak pernah tamat belajar.(Napitupulu, 1979:10-13).
Program pendidikan dasar fungsional ini pada awal perkembangan
menggunakan pendekatan kemasyarakatan (community-based approach). Tragisnya
dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) pada tahun 1994, maka pendekatan
kemasyarakatan dengan sifat fungsional ini harus digantikan dengan program berpola
persekolahan (school-based approach). Sifat fungsional semula harus digantikan
dengan kurikulum baku Sekolah Dasar. Kebijakan pemerintah ini jelas lebih
mementingkan pertimbangan politik dengan mengabaikan kegunaan dan kesesuaian
bagi masyarakat. Strategi pembelajaran dalam program Kejar ini masih merupakan
suatu strategi alternatif, namun dasar pertimbangan dan materi pelajaran bukan lagi
dapat dikategorisaikan sebagai suatu alternatif, karena harus mengikuti aturan baku
persekolahan, termasuk kewajiban untuk mengikuti dan lulus EBTA untuk memperoleh
ijazah persamaan atau kesetaraan. (Depdikbud,1994: ii,27),
Pendidikan alternatif untuk menampung lulusan sekolah dasar, mulai digagas
pada tahun 1976. Pada waktu itu diperhitungkan bahwa bila diikuti kecenderungan
perkembangan SD Inpres, maka pada tahun 1980 akan ada lulusan SD sebanyak 1,5
juta orang,. Mereka ini harus dapat ditampung dalam di SMP atau lembaga pendidikan
lain agar tidak menimbulkan keresahan sosial. Suatu tim dibentuk untuk mengkaji
alternatif tindakan yang mungkin dilaksanakan. Tim ini mengidentifikasi empat
kemungkinan alternatif, yaitu : 1) pembangunan gedung baru dan mengangkat guru
baru; 2) menambah ruang kelas di sekolah yang sudah ada dan memperbesar rasio guru
: siswa; 3) menyelenggarakan pendidikan ketrampilan ; dan 4) menyelenggarakan
pendidikan terbuka. Alternatif keempat ditugaskan kepada Tim Penyelenggara TKPK
(yang kemudian dilembagakan sebagai Pusat TKPK, sekarang disebut Pustekkom
Dikbud) untuk mengkaji lebih lanjut dan merintisnya.
Perintisan SMP Terbuka (sekarang disebut SLTP Terbuka) mulai dilak-sanakan
pada tahun 1979 di empat lokasi, yaitu Kalianda (Lampung Selatan), Plumbon
(Cirebon), Adiwerna (Tegal), Kalisat (Jember), dan Terara (Lombok Barat). Model
sekolah terbuka ini dikembangkan berdasarkan serangkaian landasan falsafah, teori dan
prinsip. Diantaranya adalah : (1) fokus diberikan pada kepentingan dan karakteristik
anak-didik; (2) kondisi lingkungan harus diperhitungkan; (3) sumber belajar yang ada
setempat harus dapat dimanfaatkan secara optimal; (4) partisipasi orangua dan
masyarakat harus ditingkatkan; (5) biaya harus diusahakan seekonomis mungkin tanpa

1
mengorbankan mutu; (6) sistem tidak boleh menghambat prakarsa swasta/masyarakat
untuk menyelenggarakan pendidikan regular; (7) sistem harus merupakan pemberian
kesempatan yang merata dengan perhatian khusus diberikan kepada anak-anak yang
karena adanya hambatan sosial-ekonomi dan geografi tidak dapat mengikuti
pendidikan regular. Evaluasi yang diselenggarakan pada tahun 1982 dan 1984
menunjukkan bahwa model sekolah terbuka itu cukup efektif, layak (feasible), dan
pantas (acceptable) untuk diselenggarakan dan dikembangkan. Saat ini SLTP Terbuka
telah diselenggarakan di 27 propinsi dengan jumlah lokasi dan siswa yang senantiasa
bertambah (pada tahun ajaran 1998/99 sebanyak 2.356 lokasi dengan siswa lk.280.000
orang).
Universitas Tikyan merupakan salah satu sebutan dari sejumlah program
pendidikan bagi anak-anak yang terabaikan (seringkali kita sebut dengan anak jalanan).
Istilah atau sebutan ini dipopulerkan oleh wartawan Media Indonesia, sebagai sebutan
kebanggaan yang diberikan oleh para pesertanya atas kegiatan pendidikan yang
dilaksanakan di suatu “kampus” (lokasi) dengan komunitas tertentu di Yogyakarta.
Lembaga pendidikan ini memberikan kesempatan belajar kepada “anak-anak jalanan”
dan “girli” (pinggir kali), agar mereka mampu mandiri, berkarya dan bekerjasama
dengan saling menghargai. Istilah Tikyan merupakan singkatan dari “sitik-sitik
lumayan” (meskipun sedikit tetapi lumayan). Anak-anak didik bebas untuk memilih
pelajaran yang ingin diambilnya serta dengan penampilan seadanya. Berbagai macam
ketrampilan usaha diajarkan dalam kampus ini seperti membuat kerajinan tangan,
membatik membuat kertas daur ulang, kerajinan kayu, melukis dan lain-lain. Tentu saja
lembaga pendidikan ini tidak menerbitkan ijazah, karena inti penyelenggaraannya
adalah agar kehidupan anak jalanan bisa berarti dan diakui sebagai manusia. Dasar ini
tidak lain adalah memberikan penghargaan kepada anak sebagai sesama makhluk
Tuhan dan pengembangan potensi anak sesuai dengan minat dan kemampuan mereka.
Pola pembelajaran dilaksanakan dengan penuh kebebasan untuk pengembangan
kreativitas yang bertanggung jawab. Kampus ini baru mulai beroperasi pada tahun
1996, meskipun kegiatan pendidikan telah dimulai pada tahun 1988 dan lembaga
penyelenggaranya (Yayasan Humana) telah dibentuk pada tahun 1991. Pendidikan
alternatif seperti yang diselenggarakan di kampus Tikyan ini tentu banyak terdapat di
Indonesia, dan karena itu tidak mungkin untuk dipaparkan satu persatu. Kegiatan
kampus Tikyan ini sengaja ditampilkan karena dinilai unik.
E. Peran orangtua dan masyarakat dalam pendidikan alternatif
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah,
masyarakat atau pemerintah. Dalam segi pendidikan, keluarga merupakan satu
kesatuan hidup (sistem sosial), dan keluarga harus menyediakan situasi belajar yang
baik bagi anaknya. Ikatan kekeluargaan membantu anak mengembangkan sifat
persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerja sama, disiplin, tingkah laku
yang baik serta pengakuan akan kewibawaan. Peranan keluarga dalam pendidikan anak
adalah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.
Pola asuh orangtua terhadap anaknya mempunyai pengaruh yang besar terhadap
dunia belajar anaknya, hal ini karena keluarga merupakan lembaga pendidikan yang
pertama dan utama. Orang tua yang tidak mempunyai perhatian terhadap belajar

1
anaknya, misalnya mengacuhkan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan
anaknya dalam belajar, tidak mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan/
melengkapi alat belajarnya, tidak memperhatikan apakah anak belajar atau tidak, tidak
mau memperhatikan kemajuan belajar anaknya, kesulitan dan hambatan yang dialami
dalam belajar, maka akan berdampak pada ketidakberhasilan dalam belajar (Daryanto,
2013: 41 dalam Rochana, 2016).
Menurut (Rochana, 2016) Orangtua mempunyai peran yang penting dalam
pendidikan anaknya, berikut peran dan kewajiban yang dimiliki orangtua terhadap
pendidikan anaknya : ( 1) Memelihara dan membesarkannya, tanggung jawab ini
merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan karena si anak memerlukan makan,
minum dan perawatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan; (2) Melindungi dan
menjamin kesehatannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah dari berbagai
gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan dirinya. (3)
Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi
kehidupannya kelak sehingga bila ia telah dewasa mampu berdiri sendiri dan membantu
orang lain.
Selain keluarga, menurut (Hasbullah, 2013; 100-101 dalam Rochanah, 2016)
masyarakat juga mempunyai peran dan pengaruh yang besar bagi dunia pendidikan.
Sebagai salah satu lingkungan terjadinya kegiatan pendidikan, masyarakat mempunyai
pengaruh yang besar terhadap berlangsungnya aktivitas pendidikan. Adapun beberapa
peran masyarakat terhadap pendidikan adalah sebagai berikut : (1) Masyarakat berperan
serta dalam mendirikan dan dan membiayai sekolah; (2) Masyarakat sebagai pengawas
pendidikan agar sekolah terus terus membantu dan mendukung cita-cita dan kebutuhan
masyarakat; (3) Masyarakat berpartisipasi dalam menyediakan sumber-sumber belajar,
seperti gedung museum, perpustakaan, panggung-panggung kesenian, kebun binatang
dan sebagainya; (4) Masyarakat menyediakan sumber belajar yang dapat didatangkan
ke sekolah dalam upaya menambah wawasan dan pengetahuan peserta didik; (5)
Masyarakat sebagai sumber pelajaran atau laboratorium tempat belajar. Peran
masyarakat disini adalah memberikan bahan pelajaran dalam wujud aspek alami
industri, perumahan, transportasi, perkebunan, dan sebagainya.
F. Penerapan pendidikan alternatif di Indonesia
Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program
pendidikan yang dilakukan dengan cara yang berbeda dari cara tradisonal. Secara
umum pendidikan alternatif memiliki persamaan yaitu, pendekatannya bersifat
individual, memberikan perhatian lebih kepada peserta didik, orang tua, dan pendidik,
dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan kondisi lingkungan.
Di Indonesia sendiri, terdapat berbagai macam pendidikan alternatif baik yang
digagas dan dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun yang
digagas oleh pihak-pihak swasta atau kelompok massa tertentu. Berikut bebarapa
pendidikan alternatif yang berkembang di Indonesia.
1. HomeSchooling
Dewasa ini di Indonesia istilah homeschooling mulai akrab ditelinga kita.
Homeschooling dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, namun hanya
akan berhasil bagi orang-orang yang memiliki disiplin dan memegang komitmen

1
yang kuat. Itu syarat utamanya. Orang tua bebas memilih cara agar anak-anaknya
mendapat pendidikan dengan memilih kurikulum yang sudah ditetapkan
Departemen Pendidikan setempat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terjemahan homeschooling adalah
“sekolah rumah”. Istilah ini dipakai secara resmi oleh Departemen Pendidikan
Nasional. Selain sekolah rumah homeschooling terkadang diterjemahkan dengan
istilah “sekolah mandiri”. Homeschooling merupakan model pendidikan alternatif
selain di sekolah.
Menurut Edy (2013:157) (dalam Heryani, 2017) Homeschooling artinya
melakukan aktivitas pembelajaran di rumah, tetapi homeschooling bukan berarti
memindahkan kurikulum sekolah ke rumah. Homeschooling juga merupakan
pendidikan alternatif yang terjangkau oleh semua kalangan, memberikan
kemerdekaan untuk memilih model dan waktu pembelajaran yang cocok bagi anak.
Kurikulumnya bisa dibuat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan akhir pembelajaran
bagi anak.
Secara sederhana homeschooling bisa dijelaskan sebagai model pendidikan
berbasis rumah, dengan orang tua sebagai penanggung jawab aktif serta fokus pada
kepentingan dan kebutuhan anak-anaknya. Jadi homeschooling bukanlah sebuah
lembaga. Orang tua sendiri yang menyelenggarakan homeschooling dan dapat
bekerja sama dengan lembaga lainnya untuk memperlancar proses homeschooling,
salah satunya adalah dengan bergabung dengan komunitas homeschooling.
2. Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan kompleks untuk kediaman dan belajara para
santri atau dapat juga diartikan sebagai asrama tempat tinggal para santri. Pesantren
termasuk lembaga pendidikan islam formal. Pesantren memiliki metode dan model
pembelajaran yang permanen tidak seperti dahulu yang dianggap tertutup, esoteris
dan eksklusif. Pesantren menjadi pendidikan alternatif di era modern, karena
dewasa ini hampir seluruh pesantren menyelenggarakan pendidikan formal yaitu
madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi.
Secara umum tujuan pendidikan di pondok pesantren adalah menciptakan
dan mengembangkan kepribadian muslim dalam arti kepribadian yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT., berakhlak mulia, menjadi pelayan masyarakat
sebagaimana kepribadian nabi Muhammad SAW., mampu berdiri sendiri, bebas
dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan islam dan
kejayaan umat Islam ditengah-tengah masyarakat, mencintai ilmu, dalam rangka
mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang
dituju oleh pondok pesantren adalah kepribadian muslim.
Tujuan pendidikan pesantren diharapkan mempunyai dua paradigma yang
menjadi tolok ukur keberhasilan dari pondok pesantren itu sendiri. Pertama, tujuan
pesantren menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT., berakhlak mulia, mandiri, dan
menegakkan Islam. Kedua, ikut serta mencerdaskan bangsa, memiliki keterampilan
dan berkembang di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

1
G. Contoh Pendidikan Alternatif di Indonesia
Dalam artikel ini kami mengambil sekolah alternatif yang berada di Salatiga, yaitu
Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah. Berikut adalah ulasan mengenai sistem
pendidikan komunitas belajar Qaryah Thayyibah :
1. Kurikulum Pendidikan
Awal didirikan pembelajaran menggunakan kurikulum formal yang jadwal dan
apa yang akan dipelajari sudah tersusun. Tapi seiring berjalan pembelajaran
diarahkan ke forum diskusi dan muncullah ide-ide dari anak-anak mengenai apa
yang ingin mereka pelajari. Mulai dari situ pembelajaran dibuat dan disusun oleh
anak-anak sendiri mulai dari jadwal, materi, hukuman dan lainya.
Dengan adanya KBK, maka secara umum materi pembelajaran di SLTP
Alternatif Qaryah Thayyibah sama dengan materi pembelajaran di sekolah formal
sejenjang. Seperti yang dikatakan oleh Dewi Maryam, bahwa kurikulum digunakan
sebatas sebagai bahan perbandingan dalam proses pembelajaran. Perbedaan yang
begitu mencolok dibanding dengan sekolah lain yaitu terletak pada model
pembelajarannya, media dan sarana belajar, sampai dengan cara pembelajaran di
kelas.
Dari kurikulum nasional yang dipelajari siswa, untuk memberikan arah dan
tujuan belajar yang lebih bermanfaat bagi komunitas, maka kurikulum sekolah
disesuaikan dengan kebutuhan sekolah berdasarkan aspirasi masyarakat dan
terutama kebutuhan dari siswa itu sendiri. Diharapkan siswa belajar tidak hanya
sekedar tahu, atau hanya untuk mendapatkan nilai. Akan tetapi juga mampu
menghasilkan berkarya nyata yang berguna bagi masyarakat.
KBK di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dikenal dengan kurikulum ber-
basis kebutuhan. Belajar adalah bagaimana menjawab kebutuhan akan pen-gelolaan
sekaligus menguatkan daya dukung sumberdaya yang tersedia dan dapat menjaga
kelestarian serta memperbaiki kehidupan. Wujud nyata dari pelaksanaan kurikulum
yang berpihak pada masyarakat yaitu upaya pemanfaatan sumber energi alternatif
kotoran manusia sebagai sumber bahan bakar biogas untuk keperluan masyarakat
desa kalibening.
2. Materi Pembelajaran
Setiap siswa dipersilakan memilih subjek apa yang ingin dipelajari dan
dikuasainya. Entah pengetahuan umum, sains, sosial, agama, seni, keterampilan,
ketangkasan, apapun. Atas pilihannya itu, setiap siswa bertanggung jawab membuat
target pencapaian, mencari sumber belajar, mempelajarinya, kemudian
mempresentasikannya di hadapan teman sekelas, kemudian mengevaluasi hasilnya.
Intinya, siswa hanya mempelajari materi-materi yang menjadi ketertarikannya, dan
diupayakan agar bisa total menguasai bidang tersebut serta berkarya sesuai
keahliannya
Secara umum materi pembelajaran belajar di SLTP Alternatif Qaryah
Thayyibah mengacu pada KBK sebagai kurikulum nasional. Sehingga materi
pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah formal lain-nya.
Namun fleksibilitas penggunaan kurikulum nasional tidak terlalu men-jadi beban
sekolah pada target pembelajaran.

1
Perbedaaan penentuan materi pembelajaran bagi siswa SLTP alternatif Qaryah
Thayyibah yaitu pada konteks penentunan tujuan pembelajaran yang tidak dapat
lepas dari konteks lingkungan siswa. sekolah dapat menambah beberapa materi
pelajaran dengan muatan lokal dan beberapa mata pelajaran yang dirasa menjadi
prioritas kebutuhan siswa mendapat porsi waktu belajar
Dengan sistem kurikulum yang dapat dikembangkan sesuai dengan ke-butuhan
siswa, maka Siswa SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah yang memiliki keinginan
belajar di luar konteks kurikulum diberikan kesempatan dan di-upayakan oleh
sekolah untuk difasilitasi. Contoh kegiatan belajar diluar kon-teks kurikulum
misalnya, pengetahuan tentang jurnalistik, penyiaran radio, beternak belut, desain
grafis, editing vidio clip, dan belajar bahasa mandarin.
Sudah menjadi pilihan bagi pengelola SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah
terlepas dari keterbatasan dana dan pembiayaan dari sekolah untuk tidak ter-lalu
bergantung pada buku-buku paket pelajaran. Untuk mencari sumber be-lajar, Siswa
SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah cukup kreatif dalam mencari sumber belajar
melalui penggalian sumber secara mandiri.
Keinginan yang kuat dan dorongan untuk maju, membuat mereka ti-dak
sungkan untuk bertanya pada siswa sebaya dari sekolah-sekolah lain di Salatiga
untuk meminjam buku materi pelajaran sekolah. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui kurikulum yang diberlakukan pada sekolah-sekolah umum lain. Jika
upaya ini gagal maka, alternatif lain yang dapat mereka lakukan adalah dengan
membeli secara kelompok. Sekolah tidak menganjurkan setiap siswa memiliki buku
mata pelajaran secara pribadi, mengingat pembelian buku-buku yang berlebih akan
mubazir, pemborosan dan setiap saat dapat berganti.
Materi pelajaran yang diperoleh kemudian dikembangkan dengan me-
manfaatkan kekayaaan alam lingkungan desa. Dalam hal ini masyarakat secara
terbuka memberikan partisipasinya dalam memanfaatkan sumberdaya yang
dimiliki termasuk didalamnya menggunakan fasilitas internet yang be-rada dirumah
Bahruddin. Bahkan di rumah Bahruddin inilah sekaligus se-bagai pusat tempat
mereka belajar. Sebagai sekolah yang mengembangkan pembelajaran berbasis
masyarakat, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak mengenal gedung sekolah,
tempat mereka belajar dan sebagai sumber bela-jar adalah adalah alam desa mereka.
Sehingga siswa SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dapat belajar dimana saja dan
kapan saja mereka mau, tidak terbatas ruang dan waktu.
3. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran yang digunakan adalah kebebasan anak. Mulai dari
materi atau pelajaran apa yang ingin dipelajari. Setiap hari senin diadakan evaluasi
bersama terkait evaluasi pembelajaran yang sudah di lalui dan target pembelajaran
satu minggu ke depan.
KBQT menerapkan sistem kelas kecil. Satu kelas diisi maksimal hingga 12-an
orang, tergantung kondisi. Setiap kelas bebas menentukan namanya masing-
masing, semisal Kreative Kids, Paradise of Full color, Oryza Sativa,
Elektrokardiograf, Hikari, lascar Miracle dan sebagainya. Mereka juga bebas
bersepakat tentang aturan main di dalam kelas, mulai dari jam belajar, jadwal

1
pertemuan tiap harinya, hingga sanksi konstruktif bagi siapapun yang melanggar
kesepakatan bersama.
Setiap kelas ditemani oleh seorang pendamping. Fungsi dari pendamping di
KBQT tidak seperti guru sebagaimana di sekolah-sekolah pada umumnya. Jika di
sekolah-sekolah formal pada umumnya guru menjadi sumber ilmu yang
menuangkan secara terus-menerus kepada siswa, maka pendamping di KBQT
sangat berbeda. Di sini, pendamping ‘hanya’ menemani siswa untuk
mengeksplorasi pengetahuan dan keterampilan masing-masing anak. Pendamping
akan menemani proses belajar siswa, membantu mengarahkan passion siswa,
mempersiapkan kreasi karya siswa, serta mengevaluasi (lebih tepatnya
mengapresiasi) pencapaian siswa secara periodik.
Setiap siswa dipersilakan memilih subjek apa yang ingin dipelajari dan
dikuasainya. Entah pengetahuan umum, sains, sosial, agama, seni, keterampilan,
ketangkasan, apapun. Atas pilihannya itu, setiap siswa bertanggung jawab membuat
target pencapaian, mencari sumber belajar, mempelajarinya, kemudian
mempresentasikannya di hadapan teman sekelas, kemudian mengevaluasi hasilnya.
Intinya, siswa hanya mempelajari materi-materi yang menjadi ketertarikannya, dan
diupayakan agar bisa total menguasai bidang tersebut serta berkarya sesuai
keahliannya.
4. Fasilitas Pembelajaran
Sarana prasarana itu seperti saja mengenai tempat pembelajaran sudah
dibangun gedung yang dinamakan dengan RC (resort center) yang diartikan
sebagai lumbung atau tempat tersedianya barang-barang yang dibutuhkan oleh
komunitas. Adapun terkait dengan sarana dan prasarana yang digunakan dalam
proses pembelajaran seperti yang dimaksud adalah alat-alat musik, peralatan
pembelajaran, LCD proyektor, buku-buku, yang semuanya itu selain ada yang beli
juga diberikan oleh pemerintah dan tamu yang berdatangan sebagai kenang-
kenangan. Selain itu ada fasilitas internet yang digunakan untuk mencari
pengetahuan-pengetahuan sesuai dengan bakat dan minatnya dan juga sebagai
hiburan dalam waktu luangnya. Selain itu berkiatan dengan tempat pembelajaran,
di komunitas belajarnya dilakukan sesuai dengan kesepakatan komu-nitas.
Setelah peneliti melakukan observasi di lapangan, mengenai tempat dan kapan
pembelajarannya memang tidak tentu. Kadang pembelajarannya ada yang
dimulai pagi hari, ada yang dimulai dari siang hari. Tempat kegiatan pembelajaran
semua, sebenarnya dilakukan sesuai dengan kesepakatan komunitas, baik dari
kumpul forum, kumpul kelas yang sesuai dengan yang dikatakan warga belajar
sendiri yang mengalami yaitu “pembelajarannya dilakukan kebanyakan di
gedung RC dan kadang juga di teras dan di mushola. Intinya tergantung kelas atau
forumnya masing-masing”.
Di samping itu juga pemanfaatan lingkungan sekitar sebagai ruang dan media
belajar, semisal sawah atau lahan pertanian, industri rumahan, tambak, warung,
perkebunan, dan banyak lokasi lainnya. Juga penting adanya Tokoh penggerak desa
sebagai mediator antara pihak-pihak yang terkait dengan sekolah.

1
Institusi sekolah menjadikan lingkungan sosial dan alam sekitar sebagai
laboratorium. Sehingga proses belajar pun akan menyesuaikan dengan kondisi
sekitar, yakni dinamis, progresif, dan kreatif. Dengan kokohnya fungsi empat unsur
ini, maka pendidikan alternatif pun bisa terlaksana secara optimal, demikianlah
yang diupayakan oleh Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah.
5. Pendidik dan Peserta Didik
Pendidik di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) disebut
Pembimbing. Pembimbing KBQT berasal dari pengurus yang merupakan alumni
sekolah itu sendiri. Setiap kelas ditemani oleh seorang pendamping. Fungsi dari
pendamping di KBQT tidak seperti guru sebagaimana di sekolah-sekolah pada
umumnya. Jika di sekolah-sekolah formal pada umumnya guru menjadi sumber
ilmu yang menuangkan secara terus-menerus kepada siswa, maka pendamping di
KBQT sangat berbeda. Di sini, pendamping ‘hanya’ menemani siswa untuk
mengeksplorasi pengetahuan dan keterampilan masing-masing anak. Pendamping
akan menemani proses belajar siswa, membantu mengarahkan passion siswa,
mempersiapkan kreasi karya siswa, serta mengevaluasi (lebih tepatnya
mengapresiasi) pencapaian siswa secara periodik.
Peserta didik di KBQT saat ini berjumlah sekitar 32 orang dengan jenjang SMP-
SMA. Siswa di KBQT memiliki karakteristik yang berbeda-beda, namun dengan
keunikan tersebut, bsanya teman-teman KBQT yang menyesuaikan strategi
pembelajaran kepada peserta didik lain berdasarkan hasil kesepakatan forum.
Mengingat materi yang diberikan merupakan pilihan dari peserta didik itu sendiri,
maka dalam pelaksanaannya tidak begitu memberatkan bagi siswa, sehingga
banyak siswa yang merasa nyaman belajar di KBQT.
6. Jadwal Pembelajaran
Jadwal pembelajaran Komunitas Belajar Qarya Thayyibah (KBQT) ditentukan
oleh siswa itu sendiri dengan kesepakatan forum bersama teman-teman lain
didampingi pembimbing. Alokasi waktu pembelajaran menjadi hak siswa namun
menurut laporan pembimbing yang kami wawancarai yaitu mbak Zulfa, bahwa
peserta didik biasanya pada hari Senin-Sabtu belajar dimulai pukul 08.00 – 14.00
WIB, kecuali hari Jumat dimulai pukul 08.00 – 11.00 WIB. Alokasi waktu tersebut
hanya menjadi acuan umum belajar siswa, namun lama belajar siswa ditentukan
oleh mereka sendiri. Pendidikan di KBQT setara jenjang SMP dan SMA dengan
status sebagai Pendidikan Kesetraan (Paket B dan C). Sekolah ini betul-betul
berupaya mewujudkan apa yang menjadi prinsip-prinsip dasarnya, yakni semangat
pembebasan, kritis dialogis, kegembiraan, fasilitatif-partisipatif, apresiatif dan
kontekstual.
Praktek pembelajaran merdeka semacam ini terbukti efektif. Puluhan Buku
karya sastra anak sudah dipajang di University of Berkeley US. Salah satunya, buku
berjudul ‘Taman Mimpi di Gubuk Pelangi’ yang secara khusus diluncurkan oleh
pak Menteri Pendidikan Muhadjir Effendi. Tak hanya literasi, anak-anak juga
berkarya dalam bidang teknologi robotika.
Tidak ada busana seragam di KBQT yang dipasakan oleh sekolah, sebagaimana
tidak ada jadwal serentak sebagaimana di sekolah-sekolah lain. Dalam sehari, satu

1
kelas bisa hanya bertemu dua sampai tiga jam saja. Kesempatan itu digunakan untuk
presentasi tentang materi yang sudah dipelajari secara mandiri, mendiskusikannya,
serta merencanakan karya kreatif. Selepas shalat Dzuhur, siswa-siswi muslim
berkumpul di serambi masjid untuk tadarus dan saling menasihati (berbagi),
kegiatan ini disebut ‘Tawashi’. Sebulan sekali di KBQT ada Gelar Karya, yakni
momen di mana siswa-siswi KBQT menampilkan karya-karya mereka, baik
individual maupun berkelompok.
Setiap siswa di KBQT memiliki satu jilid buku dokumentasi pencapaian. Yakni
tentang identitas pribadi, target akademis dan bakat, rencana karya, kolom progres
karya, evaluasi hasil karya dan pencapaian. Semua kolom di dalam buku ini diisi
oleh siswa secara mandiri. Adapun pendamping hanya menorehkan catatan-catatan
penting di akhir setiap periode semester. Berikut adalah jadwal pembelajaran
KBQT :

Gambar 1. Jadwal Kalendar Akademik KBQT

1
7. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pendidikan di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT)
dilaksanakan setiap satu minggu sekali yakni hari Senin. Pada hari senin siswa
diminta untuk membentuk forum sesuai untuk mengevaluasi pembelajaran yang
dilakukan satu minggu sebelumnya, apakah ada yang belum tercapai sesuai target
yang telah disepakati pada miggu lalu apakah sudah selesai semua. Apabila ada
siswa yang belum berhasil mencapa target, maka siswa akan menerima sanksi,
namun bentuk sanksi yang diberikan merpakan kesepakatan forum berdasarkan
keputusan bersama. Selan mengevaluasi pembelajaran satu minggu sebelumnya,
siswa juga menentukan target pembelajaran satu minggu kedepan untuk dijadikan
bahan materi dan kegiatan pembelajaran.
Kedua, evaluasi dalam bentuk tugas akhir. Dalam konteks ini, siswa diberikan
kebebasan untuk membuat sebuah karya dengan pilihannya sendiri untuk dijadikan
tugas akhir dalam satu tahun pembelajaran. Karya yang dibuat oleh siswa akan
dipresentasikan oleh siswa itu sendiri dihadapan dua penguji yang mahir dalam
bidang tersebut.
Usai melakukan presentasi gelar karya, siswa akan mendapat masukan-
masukan dari penguji yang berbentuk buku cetak sebagai dokumen hasil belajar
siswa. Ada tiga aspek yang dibahas di Tugas Akhir. Pertama,proses kreasi/berkarya
yang akan mengamati mengenai paparan tentang alur berkarya dimulai sejak
pencarian ide, dialog dengan diri sendiri dan orang-orang sekitar, pematangan ide
(proses) mewujudkan ide menjadi sebuah karya hingga mungkin ada revisi,
perbaikan, penambahan dan lain sebagainya karena hasil proses perenungan dan
atau masukan dari pihak lain. Kedua, Hasil Kreasi atau Karya meliputi penjelasan
dan penyampaian hasil karya secara langsung kepada penguji. Terkait dengan nama
karya, maksud dan tujuan, ciri khas dan keunikan, pesan dibalik karya, ceria yang
hendak disampaikan, keinginan serta kesakralan dari karya yang dimaksud oleh
pembuatnya. Ketiga, Testimoni atau Syahadat yang menila tentang paparan terkait
apa yang dilihat, didengar, diraba, dirasakan dan dipikirkan selama proses berkarua,
kendala, tantangan, pembangkit mood, hingga rencana tindak lanjut dari karya yang
telah dihasilkan. Tiga aspek tersebut menjadi acuan penguji dalam menilai dan
mengapresiasi hasil karya siswa KBQT

Simpulan

Pendidikan alternatif merupakan bentuk jalur pendidikan selain pendidikan formal.


Pendidikan alternatif sebagai pilihan alternatif bagi masyarakat yang memiliki akses
pendidikan terbatas, dan pelaksanaan pendidikan alternatif memiliki kontribusi signifikan
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sejak pendidikan alternatif ada, perannya
memberikan banyak kontribusi kepada kemajuan pendidikan di Indonesia dalam mencapai
upaya pendidikan bagi setiap manusia. Pendidikan alternatif dapat menjadi jalur pendidikan
lain bagi siswa dalam menempuh pendidikan sesuai minat dan bakat yang dimiliki oleh siswa.

1
DAFTAR PUSTAKA

Banathy,Bela H. (1991). Systems Design of Education. A Journey to Create the Future.


Englewood Cliffs,NJ: Educational Technology Publications.

dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar
Sekolah,Pemuda dan Olahraga, Direktorat Pendidikan Masyarakat.(1995). Petunjuk
Teknis Program Kejar Paket A Setara SD. Jakarta.

Freire,Paulo.(1970). Paedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder.

Heryani, Rosalina Dewi. 2017. Homescholling sebagai sekolah alternatif ramah anak.
Research and Development Journal Of Education Vol. 3 No. 2

Illich, Ivan.(1970). Deschooling Society. Ney York: Harrow Books.

Lange Cheryl M. & Sandra J. Sletten. 2012.Alternative Education A Brief History


and Research Synthesis. Di unduh pada laman Project Forum National
Association of State Directors of Special Education tanggal 09 Mei 2019.
Miarso Yusufhadi. Pendidikan Alternatif Sebagai Agenda Reformasi. Diunduh
https://tikaliyah.files.wordpress.com/2010/03/pendidikan-alternatif.pdf
pada tanggal 09 Mei 2019.
Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Remaja Karya.

Mulyasa. E. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik,

Napitupulu,Washington P.(1979). Pelaksanaan Program Kejar Paket A, Tantangan Kini.


Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pakasi,Supartnah. Laporan Penyerahan Pimpinan SD 8 Tahun Laboratorium IKIP Malang


Kepada Pimpinan Baru, Malang 27 Mei 1974.

Rochanah. 2016. Peranan keluarga, sekolah dan masyarakat dalam menunjang pembelajaran
yang efektif. Elementary Vol. 4 No. 1

Rodliyah. 2015. Pendidikan pesantren sebagai alternatif pendidikan nasional di era globalisasi.
FENOMENA, Vol. 14 No. 2

Tilaar, H.A.R. 2000. Pradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Yunita Kurnia & Anggar Septiadi. 2016. Sekilas Mengenai Kemunculan Sekolah
Alternatif di Indonesia. Di unduh pada laman http://ekstrakurikulab.
serrum.id/2016/05/13/sekilas-mengenai-kemunculan-sekolah-alternatif
di-indonesia/ tanggal 09 Mei 2019.

1
Zahidi, Salman. 2017. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif. KUTTAB,
Volume 1, Nomor

Zamakhsyari Dhofier.(1994). Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.

http://ekstrakurikulab.serrum.id/2016/05/13/sekilas-mengenai-kemunculan-sekolah-alternatif-
di-indonesia/ . Diakses pada 10 Mei 2019.

https://pendidikanalternatif.org/latar-belakang/ . Diakses pada 10 Mei 2019.

http://ekstrakurikulab.serrum.id/2016/05/13/sekilas-mengenai-kemunculan-sekolah-alternatif-
di indonesia/ . Diakses pada 10 Mei 2019.

https://www.salamyogyakarta.com/memahami-pendidikan-alternatif-dari-sanggar-anak-alam-
salam/ Diakses pada 9 Mei 2019.

Anda mungkin juga menyukai