Anda di halaman 1dari 13

REVIEW BUKU

“TEOLOGI ISLAM
TRANSFORMATIF”

DINI HIMMATUL ULYA

1803018019

Dosen: Dr. Nasihun Amin, M.Ag.

Teologi Islam dan Tasawuf


REVIEW BUKU

Judul :TEOLOGI ISLAM TRANSFORMATIF (Dialog Teologi dan


Humanisme Menuju Teoantroposentrisme Islam)
Penulis :Nasihun Amin
Penerbit :Walisongo Press
Tahun terbit : 2017

Buku karya Nasihun Amin yang berjudul “Teologi Islam Transformatif: Dialog
Teologi dan Humanisme menuju Teoantroposentrisme Islam” ini mendiskusikan
tentang aspek-aspek humanisme yang ada dalam teologi Islam sebagai sebuah bentuk
dialog antara teologi dan humanisme.
Dalam buku ini ditulis dengan alasan bahwa perlunya proses integrasi dan saling
dialog antar berbagai disiplin keilmuan dengan strategi yang digunakan adalah
humanisasi ilmu-ilmu keislaman. Tujuan dari ditulisnya buku ini ialah menjadi
pengantar bagi pembaca bahwa teologi Islam telah tersusun dengan baik sejak dulu
yang telah berhasil membentuk mind set para pengikutnya. Dengan demikian kalam
kehidupan modern ini juga harus ikut andil sebagai driving force yaitu membantu
memberikan kekuatan atau dorongan untuk kemajuan dalam menjadikan masyarakat
penuh semangat dalam hidupnya.
Pada bab pertama dibuku ini berisi penantar untuk menuju pembahasan yang
lebih inti. Di bab satu ini dijelaskan dasar-dasar untuk memahami istilah-istilah yang
menjadi inti dalam pembahasan dalam buku ini, seperti pengertian dan hal-hal yang
berkaitan dengan istilah yang akan dibahas.
Sistem kepercayaan merupakan salah satu dari tiga unsur yang amat sentral
dengan alasan bahwa pada intinya perihal beragama adalah keyakinan terhadap Tuhan.
Dari keyakinan ini kemudian menyebabkan keterlibatan adanya penyembahandan
sistem tata nilai yang disandarkan pada Tuhan. Oleh karena itu teologi sebagai disiplin
ilmu membahas tentang sistem keykinan.
Dari sisi waktu, pengguna teologi saat ini berbeda dengan perumus teologi di
masa lalu. Perbedaannya ialah dari segi tantangan zaman yang jauh berbeda. Saat ini
tantangan zaman semakin kompleks. Kemudian dari segi obyek, teologi berada pada
zona ketuhanan yang metafisik-spekulatif, sedang realitas sosial berada dalam zona

1
kemanusiaan yang aktual-eksistensial. Dari perbedaan-berbedaan tersebut maka tidak
ada kaitannya antara teologi dengan transformasi sosial.
Dari pandangan tersebut maka yang harus dilakukan adalah menjadikan teologi
sebagai disiplin ilmu yang menyesuaikan dan mengaitkan pemikirannya dengan
perkembangan zaman modern saat ini.
Di sisi lain, transformasi mengandung dimensi waktu dan perubahan sosial
budaya masyarakat yang muncul melalui proses yang sangat panjang dan terkait dengan
aktifitas masyarakat. Transformasi merupakan sebuah proses yang tidak dapat
dihentikan, yang akan selalu berkesinambungan dan erat dengan sistem nilai yang
berlaku. Inilah yang menyebabkan teologi memiliki posisi penting dalam transformasi.
Di bab satu ini menurut pembaca ada yang perlu ditambah pada teori yang
membahas transformatif, sebagaimana pembahasan pada bagian teologi. Pada bagian
teologi banyak diuraikan pengertian dari beberapa ahli baik dari segi bahasa maupun
istilah. Begitu pula yang pembaca harapkan pada bagian pembahasan transformatif.
Pada bab dua yang dibahas adalah “Manusia: antara Teologi dan Humanisme.”
Untuk membahas teologi dan humanisme, maka dibahas dahulu yang bersinggungan
dengan keduannya, yaitu manusia. Secara umum yang akan dibahas dalam bab 2 ini
adalah manusia: pusat penciptaan, kebebasan dan keterikatan, perspektif teologi, dan
perspektif humanisme.
Manusia sebagai pusat penciptaan yang dibuktikan dengan manusia menjadi
pusat perbincangan dalam al-Qur’an. Tujuannya adalah sebagai petunjuk dan penjelasan
untuk manusia dalam hidupnya. Spesialnya manusia dikaruniai kemampuan berfikir
yang melalui kemampuan berfikir tersebut manusia merupakan makhluk yang lebih
mulia dibanding malaikat. Kemampuan berfikir yang dimiliki manusia ini menjadikan
ia kreatif, inisiatif dan inovatif. Dari kemampuan-kemampuan yang ada itu manusia
dijadikan sebagai khalifah fil ardh. Manusia juga diberikan kebebasan memilih menjadi
makhluk yang taat atau tidak taat, yang semua itu memiliki konsekuensi masing-
masing.
Manusia: kebebasan dan keterikatan. Manusia merupakan makhluk yang unik,
sebab ia bisa berubah dalam waktu yang sangat cepat dan selalu menemukan dirinya
dalam banyak persimpangan. Manusia tidak dipaksa memilih hanya pada satu jalan dari
beberapa jalan yang ada di hadapannya. Pilihannya ditentukan pendapat pikiran dan

2
kehendak pribadinya, sehingga pada akhirnya dialah yang memilih salah satu jalan
tersebut sesuai dengan kehendaknya. Semua itu pasti ada konsekuensinya yang akan
berdampak pada pahala dan dosa yang berujung pada balasan nikmat dan siksa.
Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri segala sesuatu untuk
dirinya seperti membentuk mekanisme spiritual, mengubah tata lingkungannya,
menentukan cita-cita, namun ternyata manusia juga terbatas dalam bertindak sehingga
kebebasan yang dimiliki manusia ini bersifat relatif yang dibatasi oleh hal-hal tertentu.
Misanya, manusia memiliki kebebasan dan kekuasaan namun ia juga dibatasi dengan
hukum alam. Hukum alam yang pada hakikatnya adalah kehendak dan kekuasaan
Tuhan yang tidak dapat dilawan dan ditentang manusia.
Manusia: perspektif teologi. Kebebasan dan keterkaitan manusia ini memiliki
beberapa perbedaan pendapat dari para teolog, diantaranya:
1. Manusia punya pilihan dan keterbatasan dalam perbuatannya sekalipun
kebebasan perbuatan manusia itu ditentukan oleh keterbatasan manusia itu
sendiri. Daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat dalam diri manusia
adalah tempat terciptanya perbuatan, jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam
perbuatan manusia. Alasan mereka berpendapat demikian adalah: pertama,
manusia merasakan dua gerak yang berbeda, yaitu gerak disengaja dan gerak
refleks. Gerak pertama tentu disertai qudrat dan iradahnya, sedangkan gerak
kedua tidklah demikian. Kedua, taklif syar’i selalu terkait dengan qudrat an
iradat. Dan ketiga andaikata perbuatan manusia terjadi hanya karena qudrat dan
iradat Allah, maka semua perbuatan baik ibadah atau perbuatan tidak baik
semuanya adalah perbuatan Allah. Kelompok yang berpendapat seperti ini
adalah kelompok Mu’tazilah.
2. Semua perbuatan manusia hanya terjadi karena qudrat dan iradah Allah. Jika ada
ayat-ayat yang bernuansa bebas akan ditakwilkan oleh mereka. Kelompok yang
berpendapat demikian adalah kelompok Jabbariyah.
3. Manusia mempunyai qudrat dan iradat yang telah diciptakan oleh Allah.
Menrutnya perbuatan manusia berasal dari dua daya, yaitu daya manusia dan
daya Tuhan. Tanpa kedua daya tersebut manusia tidak dapat berbuat. Akan
tetapi daya yang lebih berperan efektif dan berpengaruh adalah daya Tuhan.
Perbuatan manusia tidak akan terwujud tanpa adanya daya dari Tuhan.

3
Kelompok ini merupakan kelompok yang menengahi antara pendapat pertama
dan kedua, dan kelompok yang berpendapat demikian adalah kelompok
Asy’ariah dan Maturidiyah.
Manusia: perspektif humanisme. Dalam pandangan humanisme, manusia
merupakan pusat alam semesta. Manusia merupakan makhluk yang transenden, yang
memiliki kebebasan, kesadaran, dan akal budi. Melalui segala yang dimiliki manusia
tersebut, ia mampu menentukan apa yang menurutnya baik untuk dirinya sendiri.
Agama memberikan tempat untuk akal, kebebasan, dan kesadaran manusia, sehingga
menjadi pedoman hidup bagi seluruh manusia.
Pada bab dua ini dari segi materi menurut pembaca sudah dijabarkan secara
rinci. Baik dari segi pengertian, pendapat, dan alasan-alasan dalam sebuah teori atau
pendapat. Namun beberapa pembaca jumpai tentang penulisan yang sudah ada titik
tetapi kalimat belum lengkap, kesalahan ini terletak di bagian akhir sub bab D.
Kemudian spasi yang double atau belum ada sepasi sehingga menyatu satu kata dengan
kata yang lain. Kesalahan pengetikan juga banyak dijumpai.
Selanjutnya pada bab 3 membahas tentang paradigma baru teologi Islam. Pada
pembahasan tersebut akan membahas sub bab tentang tantangan kemanusiaan dan
pergeseran paradigma.
Dalam tantangan kemanusiaan teologi mendasari seluruh bangunan sebab
teologi ini nantinya akan membentuk mind set. Maka apakah teologi Islam mempunyai
peran yang berarti dalam menjawab berbagai tantangan kemanusiaan dan memecahkan
berbagai problem riil kemanusiaan sekarang ini? Untuk menjawabnya memerlukan
data-data prinsip konseptualisasi konteks kesejarahan. Dalam teologi Islam terdapat
corak dan warna yang beragam, di antaranya:
1. Golongan yang mula-mula muncul adalah Khawarij. Kelompok ini merupakan
kelompok ekstrim dan ekslusif. Kelompok ini semula adalah pengikut Ali, tetapi
karena permasalahan politik dan perbedaan pemahaman yang akhirnya mereka
menentukan untuk berpisah. Bagi mereka semua adalah hukum Allah yang yang
diterapkan secara fanatis, ekslusif, dan intoleran. Perbuatan yang tidak
mencerminkan tunduk pada Allah maka ia kafir.
2. Sistem teologi yang sngat mencerminkan aspek rasionalitas yaitu sistem teologi
Mu’tazilah. Dikarenakan sistem teologi Mu’tazilah sangat rasionalis, maka ia

4
hanya dapat diterima dan hanya menjadi konsumsi bagi orang-orang yang
terdidik secara intelektual saja. Akibatnya adalah keinginan mereka untuk
menurunkan Tuhan dan agama hanyalah pada dataran kognitif semata.
3. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pada dasarnya bergerak atas ketentuan
Tuhan. Manusia tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan hasil dari
yang diinginkan. Dari pendapat tersebut berakibat menjadikan kemampuan akal
manusia dalam menghadapi segala realita mempunyai daya yang lemah. Sistem
teologi ini adalah sistem teologi Asy’ariyah.
Persoalan teologis di sini adalah persoalan spekulatif dan metafisik, sedangkan
persoalan aktual dan eksistensial adalah persoalan realitas hidup. Jadi bagaimanapun
tatanan sesuatu sangat ditentukan oleh landasan yang diberikannya. Sehingga teologi
Islam yang pada dasarnya adalah produk klasik dan skolastik jika tidak diadakan
perumusan ulang maka tidak banyak untuk dapat diharapkan memecahkan persoalan
kontemporer. Dengan demikian perumusan ulang terhadap teologi ini menjadi suatu
keharusan yang tidak dapat dielakkan.
Pada subbab ke dua di bab ke tiga ini membahas tentang pergeseran paradigma.
Karya-karya ilmiah yang diterima masyarakat mempunyai status dan peran yang sangat
penting. Karya-karya tersebut merupakan produk material dan pemikiran yang
ditinggalkan oleh generasi terdahulu kepada generasi sesudahnya. Akan tetapi karya-
karya tersebut sebegitu pentingnya sehingga terkadang menggeser posisi kitab suci.
Dengan demikian maka sudah saatnya untuk melakukan proses pergeseran paradigma
demi lahirnya sebuah paradigma baru.
Pada bab tiga ini terdapat banyak kesalahan dalam pengetikan, salah-salah huruf
(typo), terlalu banyak spasi ganda. Kemudian ada kata yang tidak baku sebab kamus
mungkin, contohnya faktor ditulis dengan factor. Selain itu pembaca melihat ada kata
depan “di” yang setelahnya adalah tempat namun kata depan tersebut digabung dengan
kata sesudahnya, padahal seharusnya dipisah.
Pada bab empat penulis memaparkan bahwa yang terpenting dan yang dapat
menentukan kualitas seseorang adalah dilihat dari keimanan seseorang tersebut.
Banyaknya penganut Islam dari waktu ke waktu adalah pencapaian terbesar masa kini.
Arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi merupakan tantangan jaman
yang harus dihadapi, sehingga dampak dari perkembangan jaman itu menimbulkan

5
munculnya permasalahan-permasalahan kontemporer, yang mana permasalahan tersebut
belum pernah terjadi di masa lalu. Untuk itu peran al-Qur’an, hadis, serta ijma' para
ulama sangat dibutuhkan. Penulis dalam bab 4 ini berusaha menyadarkan para pembaca
akan perlunya umat islam melek keadaan, peka dengan sekitar dan bijak dalam
memutuskan. Penulis juga mengajak para pembaca untuk bersikap kontekstual dalam
memaknai peristiwa.
Al-Qur’an yang tidak sedikitpun mengandung keraguan dapat ditransformasikan
kandungannya dari mutlak-abstrak-transenden pada relatif-riil-profan yang sesuai
dengan jaman. Sebagaimana jaman telah membuktikan kebenaran yang Allah
sampaikan melalui al-Qur’an, telah banyak bukti yang terkuak oleh para ahli dan
teknologi mengenai penemuan-penemuan yang berhubungan dengan kebenaran al-
Qur’an. Seperti penemuan jasat Fir'aun misalnya, yang perlu dilakukan adalah meyakini
kebenaran tersebut, umat beragama mneyebutnya iman. Penulis mencoba memberikan
tuntunan melalui bukunya guna memberikan bekal para pembaca dalam menghadapi
tantangan zaman. Implementasi keimanan di setiap detik kehidupan adalah yang utama,
dan harus diteguhkan dalam setiap hati para umat beragama. Persoalan iman tidak
hanya berhubungan antara Sang Pencipta dan hamba saja, melainkan dengan hamba
satu dan lainnya. Segala sesuatu jika tepat pada porsinya maka semua akan tampak
balance, begitupun persoalan iman. Apabila seseorang mengidap overdosis keimanan,
maka akan terjadi fanatisme dan fanatisme akan menimbulkan kekacauan entah antar
umat atau sesama umat beragama. Itu artinya segala sesuatu yang berlebihan akan
berdampak buruk walaupun persoalan keimanan.
Penulis juga menerangkan lawan dari iman itu sendiri yakni kufr. Penulis
mencoba membuka kembali wawasan pembaca mengenai makna kufr yang dibawa oleh
Farid Esact dan Asghar Ali. Kufr secara teologis memang bermakna berbeda keyakinan,
namun semakin kesini makna klasik itu mulai berevolusi dan memberikan makna yang
lebih luas. Mereka berpendapat bahwa makna kufr adalah penindasan sebagai lawan
atau kontradiksi dari keimanan yang dikejawantahkan dalam kasih sayang, kedamaian,
kebersamaan dan kesejahteraan.
Yang kedua adalah mengenai implikasi tauhid dalam kehidupan. Penulis lagi-
lagi menggandeng Farid Esack untuk memberikan nuansa dan cara pandang yang
berbeda mengenai ketauhidan. Farid Esack memberikan pengertian yang realistis

6
sehingga mudah untuk diterima umat masa kini. Seperti hal kalimat syahadat, ketika
kita memutuskan untuk beriman dengan mengucapkan kalimat syahadatain maka
mengucapkannya saja tidak cukup, harus dibarengi degan kesungguhan hati serta
perbuatan yang riil. Sehingga akan tampak kesungguhan atas apa yang dia ucapkan dan
lakukan. Untuk itu tauhid tidak lagi memberikan pemahaman hubungan antara umat dan
Tuhan saja melainkan telah menjadi kesatuan universal antara: Tuhan, manusia dan
alam semesta. Itu artinya pemahaman ketauhidan seseorang berhubungan pula dengan
moral atau tingkah laku orang tersebut.
Lawan tauhid adalah syirik, akan mendapatkan dosa terbesar bagi hamba yang
melakukannya. Penulis memberikan ulasan yang berbeda melalui Farid Esack dan
Asghar Ali, mereka mencoba mentransformasikan makna syirik klasik dengan cara
memaknainya lebih kontekstual. Adapun keduanya mecoba memberikan pengertian dan
mengubah mindset pembaca bahwa syirik tidak hanya mengenai Tuhan yang
disekutukan oleh hambanya sehingga Tuhan memberikan ganjaran dosa yang paling
besar. Yang mana sesungguhnya Tuhan tidak butuh untuk disembah, Dia hanya fokus
memberikan yang terbaik untuk yang dicintai-Nya, Dia tidak mengharap apapun,
apalagi disembah. Bagi-Nya mengapa syirik dalam al-Qur’an tergolong dosa besar yang
tak terampuni oleh Tuhan adalah karena praktik syirik yang menghasilkan efek
pemenjaraan harkat serta martabat manusia yang tinggi, yang merenggut kemerdekaan
manusia, yang menjadikan manusia budak objek yang dimuliakannya, sehingga
melawan hakikat manusia itu sendiri sebagai makhluk termulia di hadapan-Nya. Tuhan
hanya tidak mau makhluk paling mulia itu tampak rendah.
Point ketiga adalah mengenai implikasi takdir, yang mana setiap orang mukmin
harus meyakini adanya takdir, sebuah ketentuan atau ketetapan yang telah Allah garis
kan untuk umat manusia. Terlepas dari pendapat umum bahwa takdir terbagi menjadi
dua, yakni takdir yang tidak dapat berubah (mutlak) dan takdir yang dapat barubah
(dengan hasil ikhtiar), Wacana mengenai takdir ini sesungguhnya berporos pada dua
persoalan pokok yaitu: kekuasaan dan keadilan Allah dan perbuatan manusia. Takdir
tidak hanya tentang ketentuan yang Allah tentukan melainkan juga tentang eksistensi
manusia. Seperti halnya umur manusia, rizki, mati, bahagia, susah, keberhasilan dan
kegagalan seakan-akan telah ditakdirkan oleh Allah adalah memang benar adanya.
Hanya saja mestinya tidak dipahami sebagai sesuatu yang sudah pasti dan ada begitu

7
saja. Akan tetapi harus dipahami sebagai sesuatu yang adanya dibangun oleh berbagai
macam takdir yang saling berelasi dan mempengaruhi manusia.
Sebelum mencapai suatu keberhasilan atau mengalami kegagalan ada suatu
proses yang mesti dilalui satu persatu. Pada setiap proses yang dilalui itu juga memiliki
takdir sendiri yaitu adanya takdir antara-takdir antara, sebelum pada akhirnya sampai
pada takdir akhir yang berupa panjangnya umur, banyaknya rizki, tepatnya jodoh,
datangnya mati, terwujudnya hidup bahagia atau susah, tercapainya kesuksesan atau
justru berujung kegagalan dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya
dibutuhkan prasayarat kesungguhan yang luar biasa. Penulis dalam bab ini mencoba
mengingatkan kembali bahwasanya ketentuan takdir tidak harus diterima begitu saja
dengan pasrah dan tanpa usaha, umat Islam memang dituntut mengimani adanya takdir
namun lantas tidak kemudian pasrah menjalaninya tanpa ikhtiar, Allah pun tidak
menyukai perbuatan demikian. Allah telah menjadikan manusia makhluk paling
sempurna, sehingga Allah tahu ketika menetapkan segala sesuatu (takdir) adalah sesuai
porsi hambanya. Untuk itu tidak benar apabila memaknai takdir adalah sebuah kuasa
penuh Allah, takdir adalah pilihan yang diberikan Allah untuk hamba-Nya.
Akhir dari pembahasan pada bab 4 ini adalah mencakup inti dari pentingnya
beriman. Penulis memberikan pengertian serta alasan yang realistis yang cocok untuk
semua kalangan pembaca tidak hanya para akademisi dalam menjelaskan mengenai
keimanan. Yang mana sangat disadari bahwa masyarakat jaman sekarang apabila ingin
diberikan sebuah pengertian terlebih soal keimanan dan keyakinan maka harus dapat
tercerna oleh logika. Penulis berhasil mengemas dengan baik dalam buku ini. Keimanan
sebagai driving force di sini adalah ketika kita dapat menggunakan keimanan sebagai
tameng atau bekal utama dalam menghadapi hidup. Seperti yang telah dijelaskan di atas
mengenai pentingnya implementasi iman, implementasi tauhid, serta implementasi
takdir dalam kehidupan sehari-hari, dapat menjadi suatu alasan baru bagi kaum awam
untuk mempertebal keimanan.
Penulis pun menjelaskan rukun iman lainnya, diantaranya iman pada para
malaikat. Kiranya apa yang didapatkan dari iman kepada malaikat? Di sini penulis
menjelaskan bahwa kita diajarkan untuk membangun loyalitas kepada tugas dan
tanggungjawab secara penuh. Yang mana Allah sengaja menciptakan malaikat hanya
untuk mematuhi segala perintahnya, sehingga para malaikat mendediksihkan dirinya

8
hanya untuk melayani Allah SWT semata. Sekurangnya demikian kiranya yang
dimaksud penulis mengenai loyalitas.
Rukun iman selanjutnya ialah beriman kepada para rasul. Adapun pengertian
beriman kepada rasul ialah percaya bahwa Allah telah memilih di antara anak cucu nabi
Adam a.s, untuk diutus membimbing umat manusia ke jalan yang benar agar mereka
hidup bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Pada tataran paling tinggi, aspek
keimanan kepada rasul adalah bagaimana menjadikan rasul sebagai suri tauladan yang
baik, bukan hanya sekedar mempercayai keberadaannya sebagai rasul. Tujuan utama
para rasul diutus adalah melakukan perubahan dan perbaikan ummat manusia. Setiap
jaman yang dikaruniai seorang Nabi akan memikul amanat kenabian untuk
memperbaiki dan menjadikan generasi yang baik, dan akan terus berjalan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Nabi seolah-olah berkata kepada umatnya pada
generasi sekarang ini, "aku telah membentuk generasi terbaik pada zamanku, maka
bentuklah generasi terbaik pada zamanmu sebagaimana aku membentuk generasi
terbaik pada zamanku" Dengan demikian kita yang hidup di abad ke-21 ini mempunyai
peluang dan kesempatan menjadi generasi terbaik di zaman ini. Dengan kata lain,
kitalah generasi penerus para pendahulu yang mana secara tidak langsung memikul
beban amanat untuk menjadikan generasi penerus seterusnya dengan baik, sebagaimana
para pendahulu kita.
Rukun iman selanjutnya ialah iman kepada kitab suci. Kitab suci adalah sebuah
acuan riil bagi kehidupan. Malaikat adalah sesuatu yang ghaib, nabi pun telah tidak ada
lagi. Sebagai sebuah ujaran verbal, al-Qur’an dan al-Hadis- adalah ungkapan yang
sudah selesai. Keduanya menjadi sumber statis karena tidak mungkin lagi mengalami
berbagai perubahan bersamaan dengan berakhirnya kehidupan Nabi Muhammad. Akan
tetapi, sesungguhnya secara makna al-Qur’an adalah sebuah “organisme hidup" yang
sangat dinamis dan mampu eksis pada setiap zaman dan kurun waktu dan ruang
manapun sampai hari kiamat tiba. Seperti hal peta, al-Qur’an berperan sebagai buku
petunjuk arah kemana tujuan kita. Sedangkan rukun iman yang terakhir ialah iman
kepada hari akhir. Yang mana sesungguhnya iman kepada hari akhir mengajarkan
bahwa manusia harus mempersiapkan seluruh masa depannya untuk waktu–waktu yang
akan datang. Dengan kata lain, makna iman kepada hari akhir adalah untuk membangun
sebuah sikap hidup visioner Dengan begitu, seorang yang visioner akan menjadi

9
seorang yang produktif, mengelola waktu seefektif dan seefesien mungkin dengan
meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.
Di bab lima ini membahas tentang Teoantroposentrisme: Ruh Humanisme dalam
Teologi Islam. Terdapat upaya untuk mengidealkan format teologi baru sebagai upaya
humanisasi terhadap teologi Islam sebagai sebuah ilmu keislaman. Upaya tersebut untuk
kembali menyusun teologi yang bukan hanya wacana tentang Tuhan, tetapi juga tentang
manusia.
Teologi selain tentang ilmu ketuhanan juga dipadukan dengan respon terhadap
kehidupan sosial yang tidak memisahkan antara teologi dan analisis sosial, bahkan
mencocokkannya dalam daur dialektis. Untuk mencocokkannya yang perlu dilakukan
adalah: pertama, melakukan kritik ideologis terhadap tatanan masyarakat yang semakin
tidak setara, solidaritas makin menipis, dan bahkan cenderung represif. Kedua,
melakukan kritik tafsir terhadap teologi yang telah mapan akan tetapi tidak fungsional,
sebab mengalami kebekuan. Dan ketiga, mencari tafsir alternatif terhadap tafsir-tafsir
yang telah mapan.
Membangun sebuah keyakinan teoantroposentrisme memerlukan rekonstruksi
terhadap bangunan teologi Islam sehingga melahirkan definisi-definisi baru di
dalamnya. Teologi sebgaai bagian dari agama mestinya juga harus mendukung upaya-
upaya kemanusiaan dengan menjadikannya sebagai proyek kemanusiaan. Namun untuk
melakukan pekerjaan demikian bukanlah hal yang mudah.
Terdapat berbagai perubahan struktur mendasar dalam perumusan kembali
bangunan Teologi Islam. Dari golongan Mu’tazilah memberikan gagasan af’al ‘ibad
min al-‘ibad. Konsep mengenai taqdir mubram yang menjelaskan bahwa manusia
memiliki segala potensi untuk mendapatkan segala kenginginan dan citacitanya melalui
ikhtiarnya. Konsep tersebut dilontarkan oleh kalangan Asy’ariyah. Kemudian para
teolog melontarkan proyek besarnya yaitu min al-‘aqidah ila al-tsarah. Yang mereka
lakukan adalah wujud konkret upaya memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap
otonomi manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
Pemberian nuansa baru untuk melakukan perubahan dalam konstruk teologi
dengan reformasi orientasi bagi Teologi Islam yang dirumuskan dengan perubahan
orientasi yang paling mendasar adalah dari Tuhan ke manusia. Percaya kepada Tuhan
artinya melakukan semua perbuatan sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan,

10
memanifestasikan nilai ketuhanan dalam hidup manusia. Pada intinya manusia dalam
kreativitas, perjuangan, dan kematangannya yang sesungguhnya merupakan representasi
Tuhan.
Dengan demikian apabila teologi Islam akan semakin mewujudkan idealitas
transformatifnya maka harus butuh lingkaran hermrnrutika kritis, yaitu penafsiran kritis
timbal balik, misalnya struktur sosial perlu dikritik oleh teologi, begitu pula sebaliknya
teologi perlu dkritik oleh strukter sosial.
Pada bab lima ini pembaca menemukan kata yang ditulis tidak konsisten. Seperti
al-Qur’an (dengan tanda petik atas), dan ada pula yang ditulis dengan al-Quran (tanpa
tanda petik). Selain itu ada istilah yang menjadikan pembaca sendikit bingnung. Pada
bagian penjelasan takdir mubram yang diutarakan Asy’ariyah tersebut dijelaskan bahwa
manusia mempunyai potensi untuk mengubahnya, sedangkan yang pembaca ketahui
adalah takdir mubram merupakan takdir yang tidak dapat diubah sebab itu sudah
menjadi ketetapan Tuhan. Atau mungkin yang dimaksud dalam penjelasan tersebut
adalah takdir Muallaq.
Terakhir yaitu bab enam yang berisi penutup dengan pembahasan kesimpulan
dari yang telah dibahas di bab-bab sebelumnya. Sebenarnya proses dialog antara
Teologi Islam dan Humanisme sudah berjalan lama. Akan tetapi dialogi ini kemudian
tertutup oleh kecenderungan pemikiran yang kurang responsif terhadap perkembangan.
Hal ini terlihat dari pengonsepan yang dilakukan oleh para teolog klasik maupun
modern. Sejarahnya Mu’tazilah telah memperkenalkan hakekat dan konsep diri manusia
dengan memberikan kebebeasan kepada manusia secara otonom yang dapat digunakan
untuk menentukan perjalanan hidupnya sendiri.
Demikian pula para teolog yang juga melakukan rekonstruksi teologis.
Rekonstruksi ini adalah untuk menempatkan teologi sebagai sebuah ilmu yang
berdimensi kemanusiaan yang dibentuk dari kekuasaan Islam dan karakteristik
ketuhanan, agar dapat menyelesaikan permasalahan riil manusia.
Rekonstruksi oleh para teolog dilakukan dengan merubah struktur epistemologis
dan pusat orientasi dari Tuhan kepada manusia dengan segala konsekuensinya. Dengan
demikian teologi bentuk baru yang diusahakan oleh para teolog kontemporer berupa
dialog antara teologi dengan humanisme menghasilkan Teologi Islam Transformatif

11
dengan karakteristiknya yang teoantroposentris. Oleh karena itu teologi ini diharapkan
secara efektif dan efisien digunakan untuk mentransformasikan masyarakat.
Di bab penutup ini hanya sedikit kurang efektif. Sebab ada beberapa kata yang
terulang-ulang dalam satu kalimat. Namun secara keseluruhan buku ini mudah dipahami
dan kata-kata yang digunakan tidak terlalu berat dan memusingkan namun menjawab
inti pembahasan. Hanya saja seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa terdapat
beberapa kalimat yang berbelit-belit.
Penulis memberikan gambaran realistis yang dapat dipahami dan mudah
diterima oleh semua kalangan, tidak hanya para pengais akademik. Seperti pada
umumnya ketika penulis mensuguhkan bacaan terkait dengan ketauhidan maka tidak
mudah bagi penulis untuk memaparkan atau memberikan pengertian yang mudah
dicerna pembaca, apalagi ini tentang ketauhidan dan keimanan. Bisa jadi ketika penulis
sedikit saja salah dalam penggunaan kata maka dampaknya akan menimbulkan
perspektif yang berbeda, apalagi berhadapan dengan orang awam, yang notabene
mereka masih masa perkenalan dengan "agama". Penulis dalam buku Teologi Islam
Transformatif ini hemat saya telah berhasil mengemas pengertian tauhid dengan baik,
dengan tidak menimbulkan kebingungan karena setiap pembahasan disertai penjelasan
secara logis dan kontekstual. Bacaan seperti inilah yang dibutuhkan oleh pembaca
milenial sekarang untuk membekali diri menghadapi problema kehidupan global. Cara
klasik biarlah tetap menjadi sejarah dan pelajaran, kini kita bisa selesaikan dengan
mentransformasi cara klasik ke cara kontemporer yang lebih efisien.

12

Anda mungkin juga menyukai