Disusun Oleh:
2023
Resume buku “Teologi Islam Transformatif; Dialog Teologi
dan Humanisme menuju Teoantroposentrisme Islam”
Identitas buku :
Penulis : Dr. Nasihun Amin, M.Ag.
Judul Buku : Teologi Islam Transformatif; Dialog Teologi dan Humanisme menuju
Teoantroposentrisme Islam
Penerbit : Walisongo Press
Resensator
NIM : 23241041001
Pada bab pendahuluan dijelaskan Teologi secara etimologi dan terminologi berdasarkan
beberapa pendapat para pakar. Buku ini juga menjelaskan tiga unsurutama dalam beragama
diantaranya kepercayaan (belief) yang membentuk sistemkeyakinan, pemujaan (cult) yang
membentuk sistem peribadatan dan perilaku(behaviour) yang membentuk sistem tata nilai Buku
ini mengantarkan kita untukmelakukan terobosan tentang transformasi teologi dan humanisme
akan terus berjalan secara perlahan tetapi pasti menuju progresifitas.
Alasan mendasar mengapa humanisasi ini diperlukan. Pertama, dari penelaahan historis
menujukkan bahwa teologi tidak lebih adalah formulasi pemikiran ketuhanan yang berusaha
menjawab berbagai persoalan agama yang muncul pada waktu tertentu. Kedua, sesungguhnya
Islam dan ilmu-ilmu yangditurunkan daripadanya adalah untuk kepentingan manusia untuk
sebesar-besarkemakmuran dan kebahagiaan manusia, tanpa kecuali.Dalam bagian ini meberikan
permasalahan teologi yang dibahas lebih spesifikdalam persoalan kehidupan Islam sehingga
terjalin keselarasan antara teologi dan humanisme.
Bab 2 : Manusia; antara teologi dan humanisme
Tema di atas mengawali pembahasan dalam buku ini. Yakni bagaimana upaya
mendialogkan antara teologi dengan humanisme. Sekalipun yang menjadi titik perbincangan
teologi adalah Tuhan, akan tetapi tentu saja juga membahas mengenai hubungannya dengan
manusia. Sedangkan fokus humanisme adalah manusia.
Di bab ini kita diajak untuk menyelami hakikat manusia. Setidaknya ada tiga
pendekatanyang bisa digunakan untuk melihat manusia. Pertama, memahami manusia dari
hakekatnya yang murni dan esensial. Pendekatan ini dilakukan oleh para filosof. Kedua, memahami
manusia dari sisi ideologis dan spiritual yang mengatur tindakan dan yang memepengaruhi
personalitasnya. Pendekatan ini digunakan oleh para ahli etika dan para sosiolog. Ketiga,
memahami manusia dari lembaga-lembaga etika dan yuridis yang telah terbentuk dari pengalaman
sejarah dan kemasyarakatan dan yang dihormati karena lembaga tersebut telahdapat melindungi
individu dan masyarakat dengan menerangkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban timbal balik.
Terdapat pertanyaan dilematik tentang hakikat teologi Islam itu sebagaikepasrahan kepada
Allah atau manusia yang mengikhtiarkan? Nurcholis Majidmengibaratkan teologi sebagai karpet
yang digunakan sebagai dasar atau landasanyang membentuk pola pikir. Dengan kenyataan realita
sosial yang terus berkembangmuncul pertanyaan lain, apakah dengan teologi yang selama ini telah
ada telahmenjadikan agama telah berfungsi sebagaimana mestinya? Ternyata memang belum.
Saat kita menelusuri sejarah, kita temukan beberapa sekte keagamaan atau aliran teologi, di
antaranya:
⚫ Khawarij si golongan ekstrimis, ekslusif, literalis, dan intoleran terhadap siapa saja yang
berlainan dengan hukum Allah sebagaimana tafsiran mereka.
⚫ Mu’tazilah si golongan rasionalis, free act free will yang bermaksud agar manusia bisa berpikir
kritis dan bertindak sesuai keinginan. Dengan demikian mereka akandapat balasan atas apa
yang mereka lakukan dengan seadil-adilnya Tuhan menurut pandangan mereka.
Ketiga sekte atau golongan di atas menyiratkan gambaran betapa masing-masing merasa
benar (truth claim) menurut pandangannya dalam ruang dan waktu tertentu.Hal ini menunjukkan
bahwa memang teologi Islam yang selama ini kita tahu masih bercorak spekulatif dan metafisik.
Padahal persoalan kemanusiaan semakin aktual dan eksistensial. Sehigga dirasa sangat berat
kiranya mengharapkan teologi mampu menangani hal itu jika tidak dibangun atau diperbaiki
dengan paradigma teologi Islam yang baru.
Teologi Islam saat ini harus bisa berdialog dengan realitas perkembangan dunia saat ini.
Bukan justru berkutat dan berdialog dengan masa lalu secara berlebihan.Artinya, teologi Islam
harus menjadi suatu disiplin ilmu yang terbuka untuk berdialog dengan disiplin ilmu atau perkara
lain agar mampu mengejarketertinggalan peradaban yang saat ini dikuasai Barat. Teologi Islam
harus berparadigma transformatif yang mampu menjawab persoalan manusia, yang memiliki titik
tekan pada kebebasan, persamaan, keadilan, penolakan keras atas penindasan, penganiayaan dan
eksploitasi manusia, sebab kondisi akan terus berubah-ubah.
Untuk mewujudkan langkah hermenutik itu, mula-mula harus dissadari bahwasaat ini kita
hidup di abad dua puluh satu, sebuah masa yang sarat dengan problem kontemporer yang sama
sekali tidak diketahui oleh para generasi pendahulu. Kita juga dapat leluasa bergerak dalam lingkup
dan batas-batas yang sesuai dengan masa hidup sekarang. Pada konteks ini, sesungguhnya orang
yang hidup masa sekarang lebih mengetahui jawaban atas perssoalan mereka serta lebih mampu
untuk mencari solusinya dari para pendahulunya. Pada dasarnya yang sebaiknya kita lakukan
adalah jika pendapat para pendahulu tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kita, kita
akan mengambilnya.
Ini adalah hal yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian dalam aktivitasini terjadi
percampuradukan yang sempurna antara sejarah, perkembangan, dimensi waktu, dan ruang.
Hasilnya adalah Islam yang hidup dalam kekosongan di luar sejarah. Agama yang sama sekali tidak
terkait dengan kehidupan, bahkan berada diluarnya.
Bab 5: Teoantroposentrisme: ruh humanisme dalam teologi islam
Pada bab ini penulis menguraikan bahwa upaya humanisasi terhadap teologi Islam sebagai
sebuah ilmu keislaman sebagai usaha untuk merekonstruksi teologi bukan lagi sematamata wacana
tentang Tuhan, melainkan juga tentangmanusia.Teolog.
Melalui upaya-upaya ini diharapkan Teologi Islam tidak lagi tenggelam kedalam pemuasan
teoritik dan intelektualistik, melainkan menjadi lebihtransformatif, mengalihkan dari yang sifatnya
teoritik dan intelektualistik menjaditindakan-tindakan social yang nyata. Pada akhirnya, jika
Teologi Islam hendaksemakin mewujudkan idealitas transformatifnya, maka mutlak diperlukan
sebuah lingkaran hermeneutika kritis yaitu penafsiran kritis timbal balik: struktur sosial perlu
dikritik oleh teologi, dan sebaliknya teologi perlu dikritik oleh struktur social.
Bab 6: Penutup
Sesungguhnya proses dialog antara Teologi Islam dan Humanisme telah berjalan lama.
Hanya saja dalam khazanah pemikiran Islam, dialog ini kemudian tertutup oleh kecenderungan
pemikiran yang kurang responsif terhadap perkembangan. Rekonstruksi yang dilakukan oleh para
teolog kontemporer melalui reinterpretasi terhadap berbagai terma dalam teologi. Hal ini dilakukan
dengan merubah struktur epistemologis dengan merubah pusat orientasi dari Tuhan kepada
manusia dengan segala konsekuensinya. Konsep-konsep tersebut secara keseluruhannya dimaknai
secara kemanusiaan.
Secara umum buku ini adalah buku yang menarik dan sangat kontekstual di tengah
minimnya perhatian atas perlunya perekonstruksian bangunan teologi Islam yang selama ini
diyakini dan diguanakn. Desain sampul cukup simpel dan pemilihan judul dengan istilah yang
masih asing di kalangan umum membuat pembaca menjadi penasaran apa isi kandungannya.
Jumlah halaman sebanyak kurang lebih 180-an membuat buku ini tidak terlalu tebal untuk dibaca,
terutama bagi mahasiswa sebab biasanya pembaca kurang menyukai buku yang tebal karena
terkesan kurang simpel, apalagi ini adalah buku teologi yang notabene butuh pemahaman yang
lebih. Buku ini juga menggunakan bahasa yang cukup mudah dipahami oleh mahasiswa meskipun
beberapa kata dan kalimat butuh pembacaan yang berulang-ulang agar dapat memahami secara
utuh.