Anda di halaman 1dari 6

RESUME BUKU

TEOLOGI ISLAM TRANSFORMATIF


(Dialog Teologi dan Humanisme Menuju Teoantroposentrisme Islam)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah: Islam dan Ilmu Humaniora

Dosen Pengampu : H. Aik Iksan Anshori, Lc., MA.Hum

Disusun Oleh:

Muhamad Sayffulloh Rohman (23241041001)

PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU KEISLAMAN

UNIVERSITAS ISLAM AL IHYA KUNINGAN

2023
Resume buku “Teologi Islam Transformatif; Dialog Teologi
dan Humanisme menuju Teoantroposentrisme Islam”
Identitas buku :
Penulis : Dr. Nasihun Amin, M.Ag.

Judul Buku : Teologi Islam Transformatif; Dialog Teologi dan Humanisme menuju
Teoantroposentrisme Islam
Penerbit : Walisongo Press

Jumlah Halaman : 186

Resensator

Nama : Muhamad Sayffulloh Rohman

NIM : 23241041001

Pendidikan : Universitas Islam Al Ihya

Review buku Bab 1 : Pendahuluan

Pada bab pendahuluan dijelaskan Teologi secara etimologi dan terminologi berdasarkan
beberapa pendapat para pakar. Buku ini juga menjelaskan tiga unsurutama dalam beragama
diantaranya kepercayaan (belief) yang membentuk sistemkeyakinan, pemujaan (cult) yang
membentuk sistem peribadatan dan perilaku(behaviour) yang membentuk sistem tata nilai Buku
ini mengantarkan kita untukmelakukan terobosan tentang transformasi teologi dan humanisme
akan terus berjalan secara perlahan tetapi pasti menuju progresifitas.

Humanisasi teologi artinya merubah struktur paradigmatik epistemologisteologi menjadi


tidak semata-mata berorientasi ketuhanan, melainkan juga berorientasi kemanusiaan sehingga
teologi Islam menjadi semakin akrab dengan persoalan keseharian kehidupan manusia.

Alasan mendasar mengapa humanisasi ini diperlukan. Pertama, dari penelaahan historis
menujukkan bahwa teologi tidak lebih adalah formulasi pemikiran ketuhanan yang berusaha
menjawab berbagai persoalan agama yang muncul pada waktu tertentu. Kedua, sesungguhnya
Islam dan ilmu-ilmu yangditurunkan daripadanya adalah untuk kepentingan manusia untuk
sebesar-besarkemakmuran dan kebahagiaan manusia, tanpa kecuali.Dalam bagian ini meberikan
permasalahan teologi yang dibahas lebih spesifikdalam persoalan kehidupan Islam sehingga
terjalin keselarasan antara teologi dan humanisme.
Bab 2 : Manusia; antara teologi dan humanisme

Tema di atas mengawali pembahasan dalam buku ini. Yakni bagaimana upaya
mendialogkan antara teologi dengan humanisme. Sekalipun yang menjadi titik perbincangan
teologi adalah Tuhan, akan tetapi tentu saja juga membahas mengenai hubungannya dengan
manusia. Sedangkan fokus humanisme adalah manusia.

Di bab ini kita diajak untuk menyelami hakikat manusia. Setidaknya ada tiga
pendekatanyang bisa digunakan untuk melihat manusia. Pertama, memahami manusia dari
hakekatnya yang murni dan esensial. Pendekatan ini dilakukan oleh para filosof. Kedua, memahami
manusia dari sisi ideologis dan spiritual yang mengatur tindakan dan yang memepengaruhi
personalitasnya. Pendekatan ini digunakan oleh para ahli etika dan para sosiolog. Ketiga,
memahami manusia dari lembaga-lembaga etika dan yuridis yang telah terbentuk dari pengalaman
sejarah dan kemasyarakatan dan yang dihormati karena lembaga tersebut telahdapat melindungi
individu dan masyarakat dengan menerangkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban timbal balik.

Bab 3: Paradigma baru teologi Islam

Terdapat pertanyaan dilematik tentang hakikat teologi Islam itu sebagaikepasrahan kepada
Allah atau manusia yang mengikhtiarkan? Nurcholis Majidmengibaratkan teologi sebagai karpet
yang digunakan sebagai dasar atau landasanyang membentuk pola pikir. Dengan kenyataan realita
sosial yang terus berkembangmuncul pertanyaan lain, apakah dengan teologi yang selama ini telah
ada telahmenjadikan agama telah berfungsi sebagaimana mestinya? Ternyata memang belum.

Saat kita menelusuri sejarah, kita temukan beberapa sekte keagamaan atau aliran teologi, di
antaranya:

⚫ Khawarij si golongan ekstrimis, ekslusif, literalis, dan intoleran terhadap siapa saja yang
berlainan dengan hukum Allah sebagaimana tafsiran mereka.

⚫ Mu’tazilah si golongan rasionalis, free act free will yang bermaksud agar manusia bisa berpikir
kritis dan bertindak sesuai keinginan. Dengan demikian mereka akandapat balasan atas apa
yang mereka lakukan dengan seadil-adilnya Tuhan menurut pandangan mereka.

⚫ Asy’ariyah si golongan yang menganggap bahwa manusia memiliki daya lemahdalam


bertindak meskipun memiliki kasb, karena penentu hasil adalah Tuhanyaitu Allah. Hal ini
berimplikasi pada terbentuknya manusia yang lemah dansukar menerima perubahan.

Ketiga sekte atau golongan di atas menyiratkan gambaran betapa masing-masing merasa
benar (truth claim) menurut pandangannya dalam ruang dan waktu tertentu.Hal ini menunjukkan
bahwa memang teologi Islam yang selama ini kita tahu masih bercorak spekulatif dan metafisik.
Padahal persoalan kemanusiaan semakin aktual dan eksistensial. Sehigga dirasa sangat berat
kiranya mengharapkan teologi mampu menangani hal itu jika tidak dibangun atau diperbaiki
dengan paradigma teologi Islam yang baru.

Teologi Islam saat ini harus bisa berdialog dengan realitas perkembangan dunia saat ini.
Bukan justru berkutat dan berdialog dengan masa lalu secara berlebihan.Artinya, teologi Islam
harus menjadi suatu disiplin ilmu yang terbuka untuk berdialog dengan disiplin ilmu atau perkara
lain agar mampu mengejarketertinggalan peradaban yang saat ini dikuasai Barat. Teologi Islam
harus berparadigma transformatif yang mampu menjawab persoalan manusia, yang memiliki titik
tekan pada kebebasan, persamaan, keadilan, penolakan keras atas penindasan, penganiayaan dan
eksploitasi manusia, sebab kondisi akan terus berubah-ubah.

Bab 4: Redifinisi konsep-konsep dalam teologi islam

Membicarakan Teologi Islam berarti mendiskusikan mengenai cakupan wilayah


pembahasannya yang diklasifikasikan menjadi al-mabda, al-wasithah dan al-ma’ad. Ketiga
wilayah tersebut merupakan aspek-aspek dasar yang sangat pentinguntuk membentuk keyakinan
dalam Islam. Kendati tentu saja idea itu juga menjadi bagian yang sangat penting mengingat
perilaku tidak bisa dipisahkan dari idea yang mendasarinya. Langkah ini bukan untuk mengabaikan
konsep yang telah ada, tetapi bermaksud untuk mendefinisikan kembali konsepkonsep yang telah
dirumuskan oleh para pendahulu yang sudah mapan dalam teologi agar sesuai dengan kondisi
zaman yang telah berubah.

Untuk mewujudkan langkah hermenutik itu, mula-mula harus dissadari bahwasaat ini kita
hidup di abad dua puluh satu, sebuah masa yang sarat dengan problem kontemporer yang sama
sekali tidak diketahui oleh para generasi pendahulu. Kita juga dapat leluasa bergerak dalam lingkup
dan batas-batas yang sesuai dengan masa hidup sekarang. Pada konteks ini, sesungguhnya orang
yang hidup masa sekarang lebih mengetahui jawaban atas perssoalan mereka serta lebih mampu
untuk mencari solusinya dari para pendahulunya. Pada dasarnya yang sebaiknya kita lakukan
adalah jika pendapat para pendahulu tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kita, kita
akan mengambilnya.

Ini adalah hal yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian dalam aktivitasini terjadi
percampuradukan yang sempurna antara sejarah, perkembangan, dimensi waktu, dan ruang.

Hasilnya adalah Islam yang hidup dalam kekosongan di luar sejarah. Agama yang sama sekali tidak
terkait dengan kehidupan, bahkan berada diluarnya.
Bab 5: Teoantroposentrisme: ruh humanisme dalam teologi islam

Pada bab ini penulis menguraikan bahwa upaya humanisasi terhadap teologi Islam sebagai
sebuah ilmu keislaman sebagai usaha untuk merekonstruksi teologi bukan lagi sematamata wacana
tentang Tuhan, melainkan juga tentangmanusia.Teolog.

Teoantroposentrisme yang perlu dilakukan adalah rekonstruksi terhadap bangunan Teologi


Islam sehingga melahirkan definisi-definisi baru di dalamnya. Tentu ini akan membawa dampak
peralihan kepentingan manusia sebagai pusatorientasi pada kehidupan dunia daripada akhirat.
Konsekuensi lain yaitu berubahnya wacana yang berifat eskatologi yang berkaitan dengan akhirat
menjadi wacana futurology yang melihat dunia dalam realitas yang baru untuk perubahan sosial.

Melalui upaya-upaya ini diharapkan Teologi Islam tidak lagi tenggelam kedalam pemuasan
teoritik dan intelektualistik, melainkan menjadi lebihtransformatif, mengalihkan dari yang sifatnya
teoritik dan intelektualistik menjaditindakan-tindakan social yang nyata. Pada akhirnya, jika
Teologi Islam hendaksemakin mewujudkan idealitas transformatifnya, maka mutlak diperlukan
sebuah lingkaran hermeneutika kritis yaitu penafsiran kritis timbal balik: struktur sosial perlu
dikritik oleh teologi, dan sebaliknya teologi perlu dikritik oleh struktur social.

Bab 6: Penutup

Sesungguhnya proses dialog antara Teologi Islam dan Humanisme telah berjalan lama.
Hanya saja dalam khazanah pemikiran Islam, dialog ini kemudian tertutup oleh kecenderungan
pemikiran yang kurang responsif terhadap perkembangan. Rekonstruksi yang dilakukan oleh para
teolog kontemporer melalui reinterpretasi terhadap berbagai terma dalam teologi. Hal ini dilakukan
dengan merubah struktur epistemologis dengan merubah pusat orientasi dari Tuhan kepada
manusia dengan segala konsekuensinya. Konsep-konsep tersebut secara keseluruhannya dimaknai
secara kemanusiaan.

Dialog antara teologi dengan humanisme menghasilkan Teologi Islam Transformatif


dengan karakteristiknya yang teoantroposentris. Teologi ini menyodorkan model humanisme yang
tidak terlepas dari peran Tuhan. Hal ini sangat berbeda dengan Humanism Barat yang lepas dari
keberadaan Tuhan, Demikian pula, teologi ini berbeda dengan Teologi Islam sebelumnya yang
abstrak-transendental-spekulatif, teologi ini lebih riil reflektif-sosiologis sehingga diharapkan
secara efektif efisien bisa digunakan untuk mentransformasikan masyarakat.

Pendapat pribadi mengenai buku ini

Secara umum buku ini adalah buku yang menarik dan sangat kontekstual di tengah
minimnya perhatian atas perlunya perekonstruksian bangunan teologi Islam yang selama ini
diyakini dan diguanakn. Desain sampul cukup simpel dan pemilihan judul dengan istilah yang
masih asing di kalangan umum membuat pembaca menjadi penasaran apa isi kandungannya.
Jumlah halaman sebanyak kurang lebih 180-an membuat buku ini tidak terlalu tebal untuk dibaca,
terutama bagi mahasiswa sebab biasanya pembaca kurang menyukai buku yang tebal karena
terkesan kurang simpel, apalagi ini adalah buku teologi yang notabene butuh pemahaman yang
lebih. Buku ini juga menggunakan bahasa yang cukup mudah dipahami oleh mahasiswa meskipun
beberapa kata dan kalimat butuh pembacaan yang berulang-ulang agar dapat memahami secara
utuh.

Anda mungkin juga menyukai