Anda di halaman 1dari 35

NAMA: SASI HANILA

LOKAL/NIM: PAI 2F/21531140


UAS: PENDEKATAN STUDI ISLAM (LITERATUR REVIEW STUDI PEMIKIRAN
ISLAM DALAM PENDEKATAN ILMU KALAM)
DOSEN PENGAMPU: Dr. AMRULLAH M.Pd.

“STUDI PEMIKIRAN ISLAM DALAM PENDEKATAN ILMU KALAM”

Abstrak: Ilm al-kalam atau singkatnya kalam berfokus pada aspek fundamental dalam Islam. Iniilmu itu
penting, dan harus dijadikan pedoman dalam menjalankan ajaran Islamstudi. Pada dasarnya kalam
menawarkan alam metafisik dan teologis,domain transendental dan arah masa depan; keterbukaan dan
pemikiran rasionalnya karakteristik yang diperlukan dan berguna bagi manusia; itu bukan disiplin yang
sangat kakudari suatu ilmu teori. Kita membutuhkan upaya gigih dan keberanian untuk memikirkan
kembali danmerekonstruksi warisan yang dianugerahkan kepada kita oleh para ulama kalam di masa
lalu. Di lain kata, mungkin perlu untuk membuat "ijtihad" baru karena bagaimanapun juga
"ijtihad"ulama di masa lalu masih dianggap sampai sekarang sebagai standar yang baik dalam tradisi
pemikiran Islam. Perlunya ijtihad baru karena ideologi baru dan pendekatan yang terkait atau terkait
dengan Islam dan rencana misionaris Islam,organisasi dan kegiatan yang melibatkan Muslim maupun
non-Muslim di abad ke-21 abad. Melihat ilmu kalam dari sisi epistemologi, secara umum akan
ditemukan tiga persoalan pokok, yaitu tentangsumber-sumber ilmu kalam itu, bagaimana
pengetahuan itu dapat diketahui dan apa ukuran suatu pengetahuan itu disebut benar atau valid.
Berkaitan dengan pertanyaan ketiga, sejarah telah mencatat bahwa di antara para penganut
aliran-aliran kalam yang ada selalu mengklaim bahwa aliran yang dianutnya adalah yang benar
sementara aliran yang lain adalah salah.Maka dalam penelitian ini penulis akan mencoba melihat
kembali aliran-aliran kalam yang ada dengan menggunakan pendekatan tiga teori kebenaran,
yaitu korespondensi, koherensi dan pragmatism. Tujuannya adalah untuk melihat ilmu kalam
tidak hanya dari sisi epistemologi tapi juga dari sisi aksiologi sehingga sekarang ini tidak perlu
lagi memperdebatkan mana yang lebih benar di antara aliran-aliran kalam yang ada, tetapi
melihat mana yang lebih cocok untuk dipegang sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Setiap
ilmu memiliki aliran di dalamnya termasuk ilmu kalam. Aliran-aliran ilmu kalam cukup banyak
dan menarik untuk dibahas. Tujuan penulisan ini untuk mendeskripsikan tentang aliran-aliran
yang ada di dalam ilmu kalam. Masalahnya ada banyak aliran yang terdapat di dalam ilmu
kalam. Apa sajakah perbedaan yang terdapat di dalam ilmu kalam?. Melalui artikel ini penulis
akan menjelaskan tentang beberapa aliran yang ada di dalam ilmu kalam. Metode yang
digunakan adalah metode penelusuran kepustakaan. Berdasarkan hasil penelusuran
kepustakaan penulis dapat menyimpulkan tentang perbedaan aliran yang ada di dalam ilmu
kalam. Epistemologi ilmu kalam mengenai eskatologi telah menjadi bagian perhatian beberapa
tokoh karena mencakup beberapa cabang ilmu pengetahuan. Diantaranya epistemologi filsafat,
ilmu kalamatau teologi dan tasawwuf. Dalam artikel ini pembahasan mengenai eskatologi
ditinjau dalam ilmu kalam yang mengkomparasikan antara dua pemikir Islam yaitu Hassan
Hanafi dan Fazlurrahman. Keduanya menawarkan metodologi dalam mengkaji teologi yang
tidak hanya terbatas pada konsep pembentukan dogma-dogma keagamaan akan tetapi
memandang lebih luas, melihat kondisi sosial sebagai jalan untuk memahamkan, menyadarkan
dan memajukan masyarakat. Diantara pembahasan teologi yang terpenting adalah mengenai
eskatologi diamana masa depan sebuah ajaran agama. Kedua tokoh tersebut, menjadikan metode
sejarah dalam mengkaji konsep eskatologi dalam Islam.( Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2012)

Abstrak: Understanding Islamic theology from an epistemological perspective could result in


three main problems. The first problem lies on the Islamic theology itself, the second on the
method to derive the epistemology of the Islamic theology and the third on indicators or
parameters to assess the validity of the epistemology. Pertaining to the third problem, historical
records demonstrate that there are adherents of certain genres of Islamic theology who
unilaterally claim that their genre is true whereas others are false. Drawing on this problem, we
in the current paper reviews the various genres of Islamic theology in the lens of three truth
theories: correspondence, coherence, and pragmatism. The main goal of the current paper is to
look at Islamic theology not only on the basis of epistemology but also axiology. With this
analysis, we argue that debating which genres of the Islamic theology are true and which ones
are false is unnecessary. The most relevant issue is gauging which genres of the Islamic theology
are in keeping with the situational
development in the current era. The epistemology paradigm of Islamic thoughts is developed
from one era to another. This paper tries to reveal the modern Islamic thoughts proposed by
Jamaluddin Al-Afghani in reconstructing the understanding of qadha and qadar (takdir) from
fatalistic and statis thoughts into dynamic thoughts. The meaning of fana and baqa in sufism,
according to Al-Afghani’s thought, isr eal. The faith does not mean avoiding the needs of real
life, but it shouldempower the social welfare and improve the social life. Al-Afghani states that
the confession of the faith (qadha and qadar) is one of the basic elements in theology which
cannot be avoided, yet it should be understood correctly and positively to reach the happiness in
this world and the life after death. The epistemology of the science of kalam of eschatology has
become a part of the attention of some of the figures because it includes several branches of
science. Such epistemology philosophy, science kalamatau theology and tasawwuf. In this article
the discussion of eschatology reviewed in the science of kalam the vehicle between the two
Islamic thinkers namely Hassan Hanafi and Fazlurrahman. Both offer methodology in assessing
the theology which is not only limited to the concept of the formation of dogmas religious but
looked at more broadly, see the social conditions as a way to re-educate, sensitize and promote
the community. Among the discussion of the theology of the most important is about eschatology
where the future of a religion. Both figures, making the historical method in the study the
concept of eschatology in Islam. The discussion of the eschatology of course discuss about the
world and the hereafter, but in this paper only focus on the view between the two regarding the
nature barzah, heaven and hell.

Keywords: epistemology, Islamic theology, genres of the Islamic theology, thoughts, faith,
Jamaluddin Al-Afghani, Islamic studies, studi ortodoksi, studi ortopraksi, doktrin absolut, imani-
transendental, historisempiris.

PENDAHULUAN
Islamic studies (studi Islam) merupakan salah satu studi saintifik atas Islam. Studi Islam
dimaksudkan sebagai upaya pengembangan keilmuan agama Islam. Di dalam studi Islam
(Islamic studies), hal pertama yang harus dipertegas adalah konotasi dan denotasi agama Islam
itu sendiri, apakah sebagai doktrin absolut atau sebagai sebuah realitas empirik yang relatif.
Pembatasan ini dipandang penting karena akan terkait dengan metodologi pengkajian
yang akan dipergunakan. Pola penelitian dan pengkajian dalam studi Islam akan berbeda sesuai
dengan posisi Islam sebagai obyek kajian. Jika Islam diposisikan sebagai doktrin-doktrin
normatif yang absolut maka pola pengkajiannya akan menggunakan pendekatan
imanitransendental
(dogmatis). Hal ini berbeda dengan kajian yang memposisikan Islam sebagai
sebuah realitas dan kebudayaan yang berada pada lingkup sosio-historis, maka penggunaan
pendekatan historis-empiris akan lebih tepat dan proporsional.
Memahami paradigma-paradigma dalam studi Islam menjadi hal mutlak yang tidak
dapat ditinggalkan. Asumsi dasar dan postulasi-postulasi tentang Islam sebagai obyek kajian
akan berimplikasi pada analisis pemecahan persoalan. Tanpa mengerti paradigma dan
postulasi-postulasi dalam studi Islam maka alur pengkajian tidak akan terfokus sehingga
hasilnya sulit untuk dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Dalam kajian pemikiran Islam di
perguruan tinggi (Islamic studies, dirasaat Islamiyyah) terdapat disiplin ilmu yang statusnya
sampai sekarang masih menjadi perdebatan terutama kaitannya
dengan orisinalitas sumber Islam, yaitu teologi Islam (kalam),filsafat Islam dan tasawuf. Ketiga
kajian ini oleh Seyyed Hossein Nasr dikatakan sebagai tradisi intelektual Islam.(Sayyed Hosein
Nasr, 2006: 119) Terlepas dari perdebatan ketiga disiplin ilmu tersebut dalam ajaran Islam, yang
jelas teologi atau kalam merupakan ilmu yang sangat fundamental bagi bangunan ajaran Islam.
Bahkan ilmu yang dikenal juga dengan ilmu tauhid (M. Abdel Haleem, 1996: 74-75) adalah ilmu
yang paling utama di antara ilmu-ilmu keislaman lainnya. Sejarah mencatat bagaimana para
teolog, mutakallimun berjuang mempertahankan agama Islam dari serangan kelompok non
muslim maupun mempertahankan diri dari kelompok-kelompok sempalan di dalam Islam.
Teologi atau tauhid ibarat ruh pada diri manusia yangmenggerakan aktivitas pemeluk agama
tertentu. Bagaimana kaum beragama memandang dan berinteraksi dalam kehidupan ini
ditentukan dengan pandangan teologinya. Seseorang yang berteologi rasional maka pasti
hidupnya akan dipenuhi dengan pertimbanganpertimbangan rasional. Orang yang mengikuti
faham predestinasi dalam teologi, maka hidupnya akan cenderung tidak progresif. Hal
ini sebagaimana yang pernah direkam oleh Max Weber tentang etika Protestan yang memiliki
pengaruh kaitannya dengan tumbuhnya semangat kapitalisme di Barat (Max Weber,
2001).Dalam Islam, munculnya ilmu kalam awalnya bermula dari persoalan politik yang pada
akhirnya menjadi persoalan teologi (Harun Nasution, 1985: 1). Diawali munculnya fitnah kubra
pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan yang berakhir dengan syahidnya beliau, terjadinya perang
jamal dan puncaknya perang shiffin yang berakhir dengan arbitrase antara sayyidina Ali bin Abi
Thalib di satu pihak dengan Muawiyah di pihak lain. Peristiwa peristiwa politik itu menimbulkan
kebingungan “politik” bagi umat Islam saat itu yang memunculkan beberapa kelompok umat
Islam. Pertikaian politik itu kemudian menimbulkan pertanyaan teologis tentang dosa besar,
tentang iman dan kafir (M. Jawwad Mughniyah, 1982: 23) dan seterusnya.Karenanya menarik
untuk dibahas dari sisi bangunan epistemologinya. Melihat ilmu kalam dari sisi epistemologi,
secara umum akan ditemukan tiga persoalan pokok, yaitu (1) apa sumber-sumber ilmu kalam
itu? (2) bagaimana pengetahuan itu dapat diketahui? (3) dan apa ukurannya bahwa pengetahuan
itu disebut benar (valid)?.Masalah keyakinan (akidah) ataupun monoteisme murni (ilmu kalam)
merupakan salah satu masalah yang fundamental dalam Islam yang menjadi pijakan umat Islam
dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa akidah yang mantap tidak mungkin (mustahil) seseorang
bisa mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Oleh karena itu, dapatlah kita maklumi bahwa
pada masa permulaan dakwah Rasulullah SAW di Makkah (periode Makkiyah), beliau lebih
memprioritaskan penanaman akidah kepada umat Islam daripada ajaran yang lain. Barulah
setelah keimanan mereka kokoh beliau meningkatkan kepada masalah syari‟ah, muamalah,
maupun doktrin yang lainnya.Ilmu kalam adalah ilmu keislaman yang membahas masalah akidah
atau keimanan berdasarkan argumen rasional dan, tentu saja, tanpa mengesampingkan nash al-
Qur‟an dan as-Sunnah. Di dalam pembahasannya, para mutakalim lazim mengetengahkan dalil
rasional terlebih dahulu, lalu memperkuatnya dengan dalil nash al-Qur‟an dan al-Hadits.Ketika
dunia Islam berada pada Dinasti Bani Abbas, pada Khalifah Al-Ma‟mun (813-833), suasana
perkembangan pemikiran umat mulai memperlihatkan kecenderungan baru. Pada penghujung
abad pertama atau awal abad kedua hijriyah, muncul diskusi sistematis dan silang pendapat di
sekitar persoalan kalam, seperti masalah iman dan kufur, pelaku dosa besar. Mempelajari mata
kuliah ilmu kalam merupakan salah satu dari tiga komponen utama rukun iman. Ketiga
komponen itu yaitu, nuthqun bi al-lisani (mengucapkan dengan lisan), „amalun bi al-arkani
(melaksanakan sesuai dengan rukun-rukun), dan tashiqun bi al-qalbi (membenarkan dengan hati.
Ilmu kalam adalah ilmu yang tergolong eksklisif di kalangan umat Islam.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kalam


Secara harfiyah, kalam mempunyai beberapa makna, diantaraya adalah:
1. Berbicara.
Makna kalam yang berarti berbicara ini sebagaimana yang
terdapat dalam Surat al-A’raf ayat 144:

Artinya: “Allah berfirman: “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih kamu dari manusia yang
lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab
itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk
orang-orang yang bersyukur”
Kalam dalam arti berbicara ini juga terdapat dalah Surat an-
Nisa’ ayat 164:
Artinya: ”Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang
mereka kepadamu dahulu,dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.
Dan Allah telah berbicara kepadaMusa dengan langsung.”
2. Hukum.
Makna kalam yang berarti hukum ini sebagaimana yang terdapat
dalam Surat al-Baqarah ayat 75:
Artinya: ”Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal
segolongan dari mereka mendengar hukum Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui.”
3. Din Islam
Makna kalam yang berarti Din Islam ini sebagaimana yang
terdapat dalam Surat al-Taubah ayat 6:
Artinya: ”Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta
perlindungankepadamu maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar agama Allah,
kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum
yang tidak mengetahui”
Secara tata bahasa, kalam adalah kata benda umum tentang
perkataan, sedikit atau banyak, yang dapat digunakan untuk setiap
bentuk pembicaraan; atau ekspresi suara berturut-turut hingga pesanpesan
suara itu jelas maksudnya (Ensiklopedi Islam II, 2002: 344). Meskipun secara bahasa kalam
berarti perkataan atau pembicaraan, namun sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan
”perkataan” atau ”pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian
pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Oleh karena itu, kalam berarti alasan
atau argumen rasional untuk memperkuat pernyataan (Nurcholish Madjid, 1995: 203). Istilah ini
merujuk pada sistem pemikiran spekulatif yang berfungsi untuk mempertahankan Islam dan
tradisi keislaman dari ancaman maupun tantangan dari luar. Para pendukungnya, yang disebut
dengan istilah mutakallimin, adalah orang-orang yang menjadikan dogma atau persoalan-
persoalan teologis kontroversial sebagai topik diskusi dan wacana dialektik,
dengan menawarkan bukti-bukti spekulatif untuk mempertahankan pendirian mereka
(Ensiklopedi Tematis Dunia Islam IV, t.t : 117). Persoalan-persoalan teologis itu antara lain
menyangkut dasar-dasar keimanan yang mengarahkan pembahasan tentang Tuhan dan berbagai
derivasinya yang meliputi sifat-sifat tuhan, kitab suci, nabi-nabi, malaikat, kiamat, surga, pahala
dan siksa, serta masalah taqdir. Semua masalah ini didiskusikan dan dipertahankan
dengan bantuan argumen-argumen rasional. Dalam perkembangan berikutnya sistem pemikiran
tersebut menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kemudian disebut Ilmu Kalam.Dengan demikian,
Ilmu Kalam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan
kepercayaankepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan
terhadap orang-orang yang menyeleweng.Ada pula yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam ialah
ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan
keagamaan (agama Islam) dengan bukti-bukti yang meyakinkan (A. Hanafi, 1990: 3).
Dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Kalam juga berbicara tentang berbagai masalah yang
berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufur, musyrik,
murtad; masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan dan penderitaannya; hal-hal
yang membawa kepada semakin tebal dan tipisnya iman; hal-hal yang berkaitan dengan
kalamullah yakni al-Qur’an; status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya(Abuddin
Nata, 2002: 222).Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam
adalah ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah
yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Dengan demikian seseorang
yang mempelajarinya dapat mengetahui bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan
bagaimana pula cara menjaga keimana tersebut agar tidak hilang atau rusak (Abuddin Nata,
2002: 222).Ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri disebutkan untuk pertama kali
pada masa al-Makmun, setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari buku-buku filsafat yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Ensiklopedi Islam, 2002:346). Mereka inilah
sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu kalam seperti yang kita
kenal sekarang.Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyyah, sebagaimana yang dikutip oleh
Nurchalish Madjid, mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ulama’
yang disebutnya Imam Abdullah ibn al-Mubarak. Menurut ibnu Taimiyyah ulama’ tersebut
menyatakan demikian: ”Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan
kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah...”Karena itu ditegaskan
oleh Ibnu Taimiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian Khusus kaum Mu’tazilah.Peran
Mu’tazilah yang besar dalam mengembangkan Ilmu Kalam ini tentunya tidak terlepas dari
dukungan Dinasti Abbasiyah pada waktu itu. Pada masa Abbasiyah di bawah pengaruh Persi,
para penguasanya cenderung lebih suka dengan aliran teologi yang rasional dan filosofi.
Puncaknya pada masa al-Makmun, penguasa menjadikan Mu'tazilah, aliran teologi yang rasional
dan filosofis,sebagai mazhab resmi negara (Harun Nasution, 1978: 61).
B. Hakikat Ilmu Kalam

Ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu


agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu
mempelajari ilmu kalam. Mempelajari ilmu kalam akan member seseorang keyakinan yang
berdasarkan pada landasan yang kuat. Karena itu, ilmu kalam sering juga disebut ilmu tentang
kepercayaan atau akidah. Nama lain dari ilmu kalam adalah ilmu aqaid (ilmu akidah-akidah),
ilmu tauhid (ilmu tentang keesaan Tuhan), ilmu ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama), dan
teologi Islam

C. Konsep Ilmu Kalam (Teologi)


Teologi sangat erat kaitannya dengan sikap dan perilaku orang-rang yang meyakininya.
Karena konsep teologi yang diyakini oleh seseorang akan menjadi dasar dalam mejalani
kehidupannya. Namun, konsep-konsep teologi yang berkembang hanya digunakan untuk
mempertahankan dogma-dogma yang bersifat teosentris daripada mendiskusikan masalah-
masalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan sosial manusia yang bersifat antrosentris.
Padahal jika melihat pada masa lalu, seharusnya pemikiran teolog yang berkembang sekarang
yang bisa membebaskan manusia dan menjadi dasar manusia kearah kemandirian, kesadaran dan
kemajuan Para pemikir Islam menawarkan metodologi teolog yang tidak hanya terbatas pada
konsep teosentris yang hanya berkutat pada dogma-dogma. Namun, lebih melangkah jauh
kedepan melihat sosial yang bersifat antrosentris dalam mengkaji teologi. Dianatara teolog yang
menawarkan metologi tersebut adalah Hassan Hanafi dan Fazlurrahman.
Hassan Hanafi meneyeru manusia untuk menelusuri historitas akidah dengan
menggunakan nalar hingga tauhid mempunyai ikatan dengan praksis, Allah dengan bumi, subjek
ilahiyah dengan subjek insaniyah, sifat-sifat ketuhanan dengan nilai-nilai kemanusiaa dan
kehendak Allah dengan perjalanan sejarah. Tujuan penelusuran rasional ini bukan utuk
menyerang orang kafir dan membela kaidah sendiri melainkan untuk menunjukkan bukti-bukti
kebenaran internal melalui analisis rasional terhadap pemngalaman generasi masa lalu dan cara
yang ditempuh untuk mengimplementasikannya. Langkah ini akan mampu memberikan
kebenaran eksternal hingga akidah menjadi inklusif dan diterima orang untuk diterjemahkan
dalam dunia. Cita-citanya adalah merekontruksi ilmu ushuluddin dimana akidah menjadi sebuah
kekuatan revolusioner.Adapun alasan mengapa disiplin ilmu ini disebut dengan Ilmu Kalam
adalah:

1. Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan abad-abad

permulaan Hijriyah ialah kalam Allah (al-Qur’an). Pembicaraan


tentang al-Qur’an ini pernah menimbulkan pertentanganpertentangan
keras di kalangan umat Islam di abad ke sembilan
dan ke sepuluh Masehi, sehingga timbul penganiayaan dan
pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim di waktu itu
(Harun Nasution, 1978: vi).
2. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalildalil
ini nampak jelas dalam pembicaraan-pembicaraan para
mutakallimin. Dalil al-Quran dan Sunnah baru dipakai setelah
mereka menetapkan kebenaran suatu persoalan dari segi akal
pikiran.
3. Pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai
logika dan filsafat (Ensiklopedi Islam II, 2002: 346).

D. Sejarah Terbentuknya Ilmu Kalam

Ilmu kalam merupakan salah satu ilmu dalam ajaran Islam. Kelahiran dan
perkembangannya menarik untuk dipahami bersama sebagai bagian dalam rangka menambah
wawasan khazanah ilmu-ilmu Islam. Sejarah ilmu kalam mesti diketahui dan dipahami bersama,
karena tidak sedikit di kalangan umat Islam sendiri timbul perbedaan dalam memahami ilmu
kalam. Bahkan perbedaan tersebut sudah dalam tahap saling mengafirkan. Maka dari itu mesti
didudukan letak permasalahanya penyebab ilmu kalam ini bisa hadir di tengah-tengah umat
Islam.Ilmu kalam merupakan salah satu warisan ilmu dalam peradaban Islam. Ia merupakan
bagian dari empat disiplin ilmu yang telah tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari tradisi
kajian keilmuan Islam, selain fikih, tasawuf, dan falsafah. Ilmu ini secara resmi mulai muncul
pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (813-833 M) pada masa Daulah Abbāsiyah. Pada
masa ini yang berkuasa adalah kaum Mu’tazilah, maka yang dominan adalah ilmu kalam versi
Mu’tazilah. Namun, benih ilmu ini sesungguhnya sudah muncul sejak masa Nabi Muhammad
Ṣallā Allāh ‘Alaihi Wa Sallam masih hidup. Ini ditandai dengan adanya sahabat yang bertanya
kepada beliau tentang al-Qadar. Namun masalah tersebut tidak sampai menimbulkan persoalan
yang serius di kalangan para sahabat (Ulum, 2016 ; Syafii, 2012 ; Dja’far, 2014).Permasalahan di
kalangan para sahabat mulai muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad Ṣallā Allāh ‘Alaihi Wa
Sallam dengan ditandai terjadinya konstalasi politik yang berimplikasi munculnya bibit
perselisihan teologis, bahkan sudah menjadi pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.
Munculnya kaum Khawārij, kemudian disusul dengan perkembangan Syi’ah, Mu’tazilah, dan
sekte-sekte Islam lainnya telah menambah pengetahuan mazhab dan sekte di kalangan umat
Islam masa itu (Zulkarnain, 2014). Pasca Nabi Muhammad Ṣallā Allāh ‘Alaihi Wa Sallam wafat,
kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh para Khulafâ al-Rasyidin, pada masa tersebut umat
Islam sejatinya masih tetap berpegang teguh kepada akidah yang diwarisi Nabi Muhammad Ṣallā
Allāh ‘Alaihi Wa Sallam. Meskipun pada masa itu sudah muncul persoalan khilafah, yakni saat
proses mencari pengganti Nabi Muhammad Ṣallā Allāh ‘Alaihi Wa Sallam untuk menjadi
pemimpin kaum muslimin (Ulum, 2016).Dalam catatan sejarah, kehadiran ilmu kalam dipicu
oleh persoalan politik tatkala Uṡmān ibn ‘Affān Raḍiy Allāh ‘Anh naik menjadi seorang
khalifah. Berbagai perseteruan, perselisihan, dan ketegangan di kalangan umat tampak diwarnai
dengan manuver-manuver politik, sehingga muncul protes dari kalangan para sahabat. Hal
tersebut disebabkan oleh pelaksanaan pemerintahan Uṡmān ibn ‘Affān Raḍiy Allāh ‘Anh
terindikasi nepotisme, sehingga berujung kepada pembunuhan Uṡmān ibn ‘Affān Raḍiy Allāh
yang berbuntut penolakan dari kubu Mu’awiyyah atas kekhalifahan‘Ali ibn Abi Ṭalib Raḍiy
Allāh ‘Anh sebagai pelanjut pemerintahan Islam (Moh Muhtador, 2018).Buntut dari
pembunuhan Uṡmān ibn ‘Affān Raḍiy Allāh berlanjut kepada ketegangan antara kubu
Mu’awiyyah dan ‘Ali ibn Abi Ṭalib Raḍiy Allāh ‘Anh yang menyebabkan terjadinya tragedi
perang ṣiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim. Sikap ‘Ali ibn Abi Ṭalib Raḍiy Allāh
‘Anh yang menerima tipu muslihat Amr ibn al-Aṣ sebagai utusan dari pihak Mu’āwiyyah dalam
tahkim, sungguh pun dalam keadaan terpaksa, ternyata tidak disetujui oleh sebagian tentaranya
(Syafii, 2012 ; Dja’far, 2014).Yunan (2014) dalam Zaini (2015) mencatat bahwa pengikut ‘Ali
ibn Abi Ṭalib Raḍiy Allāh ‘Anh yang tidak setuju dengan tahkim beralasan melalui landasan ayat
Alquran surat al-Maidah ayat 44, sehingga mereka yang tidak setuju dengan tahkim menghukum
semua orang yang terlibat dalam tahkim itu telah menjadi orang-orang kafir dalam arti telah
keluar dari Islam. Orang yang keluar dari Islam dikatakan murtad, dan orang murtad halal
darahnya dan wajib dibunuh. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk membunuh ‘Ali,
Mu’āwiyyah, Amr ibn al-Aṣ dan Abu Musa. Namun yang berhasil dibunuh hanya Imam ‘Ali ibn
Abi Ṭalib Raḍiy Allāh ‘Anh. Setelah keputusan tahkim tersebut lahirlah tiga aliran teologi dalam
Islam, yaitu : pertama, aliran Khawarij yang menegaskan bahwa orang yang berdosa besar
adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam (murtad) dan wajib dibunuh ; kedua, aliran
Murji’ah yang menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan
kafir. Adapun soal dosanya itu diserahkan kepada Allah yang akan mengampuni dan
menghukumnya ; ketiga, aliran Mu’tazilah yang tidak menerima kedua pendapat di atas.
Menurut aliran ini orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka
mengambil sikap antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah al-
Manzilah Manzilatain (posisi di atara dua posisi) (Dja’far, 2014 ; Zaini, 2015). Kemudian, dari
segi pemahaman kemerdekaan dan kehendak dalam perbuatan manusia lahir dua aliran teologi
yang terkenal dengan nama Qodāriyah dan Jabāriyah. Qodāriyah memiliki pandangan bahwa
manusia memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabāriyah memiliki
pandangan sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya (Dja’far, 2014).Seiring perkembangan zaman, ternyata aliran Mu’tazilah yang
memiliki corak rasional dan lebih mengedepankan akal dalam menentukan suatu kebenaran
mendapat tantangan dan perlawanan keras dari kalangan tradisional Islam, mereka adalah
kalangan pengikuti mazhab Ahmad ibn Hambal. Mereka yang menentang kemudian mengambil
bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori oleh Abū al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) dan
Abu Mansur Muhammad al-Matūridi (w. 333 H) yang kemudian kedua aliran ini dikenal dengan
nama golongan Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah (Dja’far, 2014). Berdasarkan sejarah berdirinya
dapat dipahami bahwa ilmu ini lahir tidak terlepas dari situasi politik saat itu, sehingga
perkembangan ilmu kalam tidak bisa dilepaskan dari faktor internal umat Islam dan faktor
eksternal umat Islam. Faktor-faktor yang memengaruhi timbulnya ilmu kalam yang berasal dari
internal umat Islam sendiri di antaranya : pertama, Alquran mengajak umat Islam untuk
bertauhid dan meyakini kenabian ; kedua, saat umat Islam berhasil membebaskan berbagai
negeri dan luas kekuasaan umat Islam semakin luas memunculkan persoalan baru dalam agama
dan berusaha menjawabnya ; ketiga, berbagai problematika politik. Adapun faktor-faktor
timbulnya ilmu kalam yang berasal dari eksternal umat Islam di antaranya : pertama, banyak dari
pemeluk agama Islam yang awalnya beragama Yahudi, Nasrani, dan lain-lain ; kedua, golongan
umat Islam yang dahulu, terutama golongan Mu’tazilah hanya memusatkan perhatiannya untuk
penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam ; ketiga, para
mutakallimin hendak mengimbangi lawan-lawannya yang menggunakan filsafat, maka mereka
terpaksa mempelajari logika dan filsafat, terutama dari segi ketuhanan (Mukhlis, 1996).Dari abad
klasik hingga abad posmodernisme sekarang, wacana teologi Islam tidak terlalu beranjak jauh
dari bentuk lahinrya, baik tema bahasan maupun bentuk metodologinya. Seperti perbedatan
transendental spekulatif mengenai Alquran makhluk atau bukan, kebebasan manusia, sifat Tuhan
tetap sama menjadi pokok bahasan dalam teologi Islam. Dengan banyaknya aliran teologi dalam
Islam menyebabkan susah sekali ada persatuan dan kesatuan dalam umat, karena perbedaan
pandangan akidah merupakan salah satu persoalan yang paling fundamental, sehingga cara
pandang yang beragam terkait dengan keyakinan dan kepercayaan ini menjadikan umat Islam
membentuk kelompok atau sekte (Mahmud, 2016). Meskipun ragamnya cara pandang dalam
memahami akidah, namun bukan berarti umat Islam tidak bisa bersatu, selama perbedaan
tersebut masih berada dalam koridor yang sama dan tidak bertentangan dengan syariah, maka
umat Islam mesti menghargai perbedaan yang ada, disikapi dengan bijak dan lebih
mengedepankan musyawarah dengan menjelaskannya secara ilmiah ketika terjadi perbedaan
pendapat.Dalam bidang akidah sampai saat ini tercatat adanya berbagai aliran seperti Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Matūridiyah, Syi’ah dan Wahabiyah. Meskipun aliran Mu’tazilah sudah tidak
berkembang lagi (Mawardi Hatta, 2013 ; Supriadin, 2015). Dalam menyikapi perbedaan yang
ada berkaitan dengan masalah akidah, sebaiknya disikapi dengan cara-cara ilmiah dan elegan
bukan dengan cara kekerasan. Jika tidak setuju dengan aqidah yang lain, baiknya dijelaskan
melalui cara yang ilmiah, misalnya dengan menulis kitab, ceramah ilmiah, penelitian dan
silaturahim untuk diskusi ilmiah dengan kedua belah pihak dengan tetap mengedepankan
ukhuwah Islamiyah. Bukan dengan cara sebaliknya, yakni melalui jalan kekerasan, karena hal
tersebut tidak akan menyelesaikan permasalahan, tetapi justru akan semakin memperuncing
permasalahan di tengah-tengah umat.

E. Ide Pembaruan Dan Pemikiran Kalam Tentang Takdir Jamaluddin Al Afghani


Ide pembaruan dan pengembangan pemikiran kalam yang diperjuangkan
oleh Al-Afghani didasari atas keyakinan bahwa agama Islam sesuai untuk semua
bangsa, zaman dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran islam dan
kondisi yang disebabkan perubahan zaman. Kalau kelihatan ada pertentangan
antara keduanya, dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interprestasi baru
terhadap ajaran-ajaran islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis. Untuk
mencapai hal itu dilakukan ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya masih tetap
terbuka.Ide yang lebih dahulu diperjuangkannya adalah mempersatukan dunia
islam, umat Islam di seluruh penjuru dunia harus bersatu dalam menghadapi
serangan pihak Barat. Nikki R.Keddie memberikan komentar bahwa Sayyid
Jamaluddin Al-Afghani adalah printis modernisme Islam khususnya aktivisme
antiimperialis. Dia menganjurkan, memperjuangkan dan mempertahankan
persatuan Pan-Islam, karena hal itu merupakan sarana untuk memperkuat dunia
muslim menghadapi Barat17.
Al-Afghani bersemangat untuk mewujudkan umat Islam yang kuat, dinamis
dan maju. Ide yang diajukan untuk bisa mewujudkan hal itu ialah dengan
melenyapkan pengertian yang salah yang dianut oleh umat Islam dan kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Menurut dia Islam mencakup segala aspek kehidupan,
baik ibadah, hukum, maupun sosial.
F. HUBUNGAN ILMU KALAM DENGAN ILMU LAINNYA
Menurut Harun Nasution, kalau yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka
teologi dalam Islam disebut ‘ilm al-kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata
dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog-teolog dalam Islam
memang diberi nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata. Sementara
teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu
tawhid. Dan ilmu tawhid yang diajarkan di Indonesia lebih fokus pada aliran Asy’ariah sehingga
ada kesan bahwa hanya ada satu aliran ilmu kalam, padahal sebetunya cukup banyak. Hakikat
Filsafat Antara ilmu kalam dan filsafat Islam seringkali terjadi tumpang-tindih. Artinya, pokok
pembahasan yang terdapat dalam ilmu kalam juga seringkali menjadi perhatian yang sama di
kalangan para filosof muslim. Oleh karena itu, M. Amin Abdullah member judul bukunya yang
terkesan menyamakan antara kalam dan filsafat Islam, yaitu Falsafah Kalam. Menurut M. Amin
Abdullah, persoalan-persoalan yang dibahas dalam ilmu kalam masih sering diperdebatkan
dengan persoalan-persoalan yang dibahas dalam filsafat; apakah persoalan-persoalan yang
diuraikan dalam ilmu kalam dapat dikategorikan masuk dalam bidang garapan keilmuan kalam
atau falsafah, tafsir atau lainnya? Terlepas dari perdebatan itu, baik filsafat Islam maupun kalam
pada intinya adalah hasil produksi pemikiran suatu generasi yang sangat terpengaruh oleh
konstruksi filsafat Yunani. Filsafat Islam bagaimanapun, cukup besar dipengaruhi oleh filsafat
Yunani karena para filosof Muslim banyak belajar dari buku-buku karya para filsuf Yunani.
Beberapa filosof Muslim yang dibahas dalam buku yang diedit oleh M.M. Syarif, Para Filosof
Muslim, sebagaian besar memperlihatkan corak pemikiran yang mendapat sentuhan kuat dari
filsafat Yunani Al-Ghazali lebih dikenal sebagai sufi ketimbang mutakallim karena dalam
sejarahnya Al-Ghazali pernah mengkritik bangunan pemikiran filsafat dan ilmu kalam. Al-
Ghazali menurut M. Amin Abdullah, tidak serta merta menolak ilmu Kalam namun ia
menggarisbawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu kalam sehingga berkesimpulan bahwa kalam
tidak dapat dijadikan sandaran oleh para pencari kebenaran. Kalam tidak dapat mengantarkan
manusia mendekati Tuhan, tetapi hanya kehidupan sufilah yang dapat mengantarkan seseorang
dekat dengan Tuhannya.Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan dan manusia sulit terjawab hanya
dengan berlandaskan pada ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada
penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana
merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan
tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan
iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.
Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan
keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari
kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab
terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja
melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam
lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam
perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.

2. Sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan
dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak
pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh
ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.

3. Sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana


disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang
mengandung muatan rasional di samping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah
yang lebih bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu
kalam terkesan sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan
atau sentuhan hati.

G. ALIRAN-ALIAN ILMU KALAM


1. Aliran Khawarij

Khawarij adalah suatu nama yang mungkin diberikan oleh kalangan lapangan di sana
karena tidak mau menerima arbitrase dalam pertempuran siffin yang terjadi wantara Ali dan
Mu‟awiyah dalam upaya penyelesaian persengketaan antara keduanya tentang masalah
khalifah.Khawarij berasal dari kata kharaja, artinya ialah keluar, dan yang dimaksudkan disini
ialah mereka yang keluar dari barisan Ali sebagai diterimanya arbitse oleh Ali. Tetapi sebagaian
orang berpendapat bahwa nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari rumah-
rumah mereka dengan maksud berjihad di jalan Allah. Hal ini di dasarkan pada QS An-Nisa:
100. Berdasarkan ayat tersebut, maka kaum khawarij memandang kaum khawarij memandang
diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah atau kampung halamannya untuk berjihad.
Bila di masa Rasulullah kafir hanya untuk mereka yang tidak memeluk Islam tapi kaum
Khawarij memperluas pengertiannya dengan memasukkan orang-orang yang telah masuk Islam.
Yakni orang Islam yang bila ia menghukum, maka yang digunakan bukanlah hukum
Allah.Ajaran Khawarij bermula dari masalah pandangan mereka tentang kufur. Kufur (orang-
orang kafir), berarti tidak percaya. Lawannya adalah iman (orang yang dikatakan mukmin)
berarti percaya. Di masa Rasulullah kedua kata itu termanifestasi secara tajam sekali, yakni
orang yang telah percaya kepada Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan
orang-orang yang tidak percaya kepada Allah tersebut. Dengan kata lain, mukmin adalah orang
yang telah memeluk agama Islam sedangkan kafir adalah orang yang belum memeluk agama
Islam.Bila pada masa Rasulullah term kafir hanya dipakai untuk mereka yang belum memeluk
Islam, kaum Khawarij memperluas makna kafir dengan memasukkan orang yang telah
beragama Islam ke dalamnya. Yakni orang Islam yang bila ia menghukum, maka yang
digunakannya bukanlah hukum Allah.

Secara umum, konsep mereka tentang iman bukan pembenaran dalam hati semata-mata.
Pembenaran hati (al-tasdiq bi al-qabl) menurut mereka, mestilah disempurnakan dengan
menjalankan perintah agama. Seseorang yang telah memercayai bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah dan Muhammad itu utusan Allah, tapi ia tidak melakukan kewajiban agama, berarti
imannya tidak benar, maka ia akan menjadi kafir.Pengikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui
yang masih sederhana cara berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrem dan sulit
menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang berada di luar kelompoknya
adalah kafir dan halal dibunuh. Sikap picik dan ekstrem ini pula yang membuat mereka terpecah
menjadi beberapa sekte.Berbeda dengan kelompok Sunni dan Syi‟ah, mereka tidak mengakui
hakhak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.

Khawarij tidak memandang kepala negara sebagai orang yang sempurna. Ia adalah
manusia biasa juga yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Karenanya, mereka menggunakan
mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Kalau ternyata
kepala negara menyimpang dari semestinya, dia dapat diberhentikan atau dibunuh.
Tokoh-tokoh Dalam Aliran Khawarij: Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa'ad, Hausarah al-Asadi,
Quraib bin Maruah, Nafi' bin al-Azraq, dan 'Abdullah bin Basyir.
a. Doktrin-Doktrin Khawarij

 Khalifah harus dipilih bebas seluruh umat Islam


 Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab
 Dapat dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil
dan menjalankan syariat Islam. Ia dijatuhkan bahkan dibunuh apabila
melakukan kedzalimanKhalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh Ustman
dianggap menyeleweng. Dan khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia
dianggap menyeleweng. Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy‟ari juga
dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
 Pasukan perang jamal yang melawan Ali kafir.
 Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh dan
seseorang muslim dianggap kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lainnya yang telah
dianggap kafir.

 Setiap Muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka.


 Seseorang harus menghindar dari pemimpin yang menyeleweng.
 Orang yang baik harus masuk surge dan orang yang jahat masuk ke neraka.
 Qur‟an adalah makhluk
 Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan. .(M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran
Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Kencana, 20)

2. Aliran Syiah

Syiah dalam bahasa Arab artinya ialah pihak, puak, golongan, kelompok atau pengikut
sahabat atau penolong. Pengertian itu kemudian bergeser mempunyai pengertian tertentu. Setiap
kali orang menyebut syiah, maka asosiasi pikiran orang tertuju kepada syiah-ali, yaitu kelompok
masyarakat yang amat memihak Ali dan dan memuliakannya beserta keturunannya. Kelompok
tersebut lambat laun membangun dirinya sebagai aliran dalam Islam. Adapun ahl al-bait adalah
“family rumah nabi”. Menurut syiah yang dinamakan ahl bait itu adalah Fatimah, suaminya Ali,
Hasan dan Husein anak (Muchotob Hamzah, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyah,
(Yogyakarta: LKiS, 20),kandungnya, menantu dan cucu-cucu Nabi, sedang isteri-isteri nabi tidak
termasuk Ahl alBait.Asal-Usul Syiah dan Perkembangan Syiah Sejak jaman Rasulullah serta
khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab, belum pernah ditemukan adanya satu golongan politik
atau golongan agama yang memiliki banyak pengikut, memiliki karakter dan identitas khusus
dan memiliki target yang jelas. Golongan itu baru muncul pada masa Khalifah Utsman. Merek
adalah orang-orang yang setia pada Ali, yang menganggap bahwa kekhalifahan Ali berdasarkan
Nash Al-quran dan wasiat dari Rasulullah SAW, baik yang disampaikan secara jelas maupun
samar.
Menurut mereka seharusnya tampuk kepemimpinan diduduki oleh Ali dan keturunannya,
serta tidak boleh lepas darinya.Para ulama masih berbeda pendapat mengenai asal-usul Syi‟ah
dan perkembangannya. Menurut Prof. Walhus, akidah Syi‟ah banyak terpengaruh oleh ajaran
Yahudi, bukan persia karena mengingat pendirinya adalah Abdullah bin Saba‟ yang berasal dari
Yahudi. Sementara pendapat Prof. Dawzi cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa
pendiri Islam adalah orang Persia, karena orang Arab bebas memeluk agama.Menurut Prof.
Ahmad Amin, Syiah sudah muncul sebelum orang-orang Persia masuk Islam, tetapi masih belum
ekstrim seperti sekarang. Mereka hanya berpendapat bahwa Ali lebih utama dari sahabat lainnya.
Kemudian pemahaman Syiah ini berkembang seiring perkembangan zaman dan adanya kasus
pembunuhan-pembunuhan yang mengatas namakan Syiah.Tokoh-tokoh Aliran Syiah: Jalaludin
Rakhmat, Haidar Bagir, Haddad
Alwi, Nashr bin Muzahim, Ahmad bin Muhammad bin Isa Al-Asy‟ari.

b. Doktrin-doktrin Syiah

 Kepala negara diangkat dengan persetujuan rakyat melalui lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd.
 Kepala negara atau imam berkuasa seumur hidup, bahkan mereka meyakini kekuasaan imam
mereka ketika ghaibdan baru pada akhir jaman kembali kepada mereka.

 Kepala negara (imam) sebagai pemegang kekuasaan agama dan politik berdasarkan petunjuk
Allah dan wasiat Nabi.

 Kepala negara memegang otoritas sangat tinggi.


3. Aliran Jabbariyah

Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan mengharuskannya
melaksanakan sesuatu atau secara harfiah dari lafadz aljabr yang berarti paksaan. Kalau
dikatakan Allah mempunyai sifat Aljabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha
Memaksa. Selanjutnya kata jabara setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu aliran.
Lebih lanjut Asy- Syahratsan menegaskan bahwa paham Al jabr berarti menghilangkan
perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, Dengan
kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.Secara istilah, jabbariyah
berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah SWT.
Jabariyyah menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mahzab al-kalam yang
menafikkan perbuatan manusia secara hakiki dan menisbatkan kepada Allah SWT
semata.Menurut Harun Nasution, jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qada dan Qadar Allah. Maksudnya adalah
bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan oleh manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi
diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendaknya, disini manusia tidak mempunya kebebasan
dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan tuhan sebagai dalangnya.
c. Asal-usul Jabariyah

Aliran Jabbariyah ini sebenarnya sudah ada di kalangan bangsa Aeab sebelum Islam.
Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali menampilkan paham jabbariyah di kalangan
umat Islam adalah Al-Ja‟d Ibn Dirham.18Pandangan-pandangan Ja'ad bin Dirham ini kemudian
disebar luaskan oleh pengikutnya, seperti Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah
teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyyah dalam kalangan
Murji’ah. Ia adalah sekretaris Surai bin Al hariz dan selalu menemaninya dalam gerakan
melawan kekuasaan bani Umayyah. Namun dalam perkembangannya paham Jabariyyah juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja‟ad
bin Dirrar. Paham Jabariyah ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang
kemasyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh Gurun Pasir Sahara telah
memberi pengaruh besar dalam ke dalam cara hidup mereka. Dan dihadapkan alam yang begitu
ganas, alam yang indah tetapi kejam, menyebabkan jiwa merasa dekat dengan Dzat Yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Dengan suasana alam yanga demikian menyebabkan mereka tidak
punya daya dan kesanggupan apa-apa, melainkan semata-mata patuh, tunduk dan pasrah kepada
kehendak Tuhan, dan dalam al-Qur'an sendiri banyak memuat ayat-ayat yang membawa kepada
timbulnya paham Jabariyah. "Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" {QS
AshShaffat: 96} .Selain ayat-ayat Al Quran diatas, benih-benih paham al-jabar juga dapat dilihat
dalam beberapa peristiwa sejarah: Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang
bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka memperdebatkan persoalan
tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai
takdir.Adanya paham jabar telah mengemukakan ke permukaan pada masa bani umayyah yang
tumbuh berkembang di Syria.Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul
dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri, ada sebuah pandangan mengatakan bahwa
aliran jabar muncul karena adanya pengaruh dari pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi
bermadzhab Qurra dan agama Kristen bermadzhab Yacobit. (Nurcholish Madjij, Fiqh Siyasah,
(Jakarta: Kencana, 2014)
Tokoh-tokoh Aliran Jabbariyah: Al-Ja‟ad bin Dirham, Jahm bin
Sofwan, Adh-Dhirar, Husain bin Muhammad al-Najjar.
d. Doktrin-doktrin jabbariyah

 Manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa Kalam Tuhan adalah makhluk
 Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat

 Surga Neraka tidak kekal.


4. Aliran Qaddariyah

Qadariyah berasal dari kata “qodara” yang artinya memutuskan dan kemampuan
dan memiliki kekuatan, sedangkan sebagai aliran dalam ilmu kalam. Qadariyah adalah nama
yang dipakai untuk salah satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan
kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah
manusia dipandang mempunyai Qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada Qadar atau pada
Tuhan.Adapun menurut pengertian terminologi Qodariyyah adalah suatu aliran yang
mempercayai bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini juga
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut,
qodariyyah merupakan nama suatu aliran yang memberikan suatu penekanan atas kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya.

Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qodariyyah berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qodrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, akan tetapi bukan
berarti manusia terpaksa tunduk paada qodrat Tuhan. Kata qadar dipergunakan untuk
menamakan orang yang mengakui qadar digunakan untuk kebaikan dan keburukan pada
hakekatnya kepada Allah.
e. Asal Usul Aliran Qadariyah
Sekilas pemahaman Qadariyah ini sangat ideal dan sesuai dengan ajaran Islam. Di samping benar
menurut logika, juga didasarkan pada ayat-ayat alqur‟an dan hadis yang memberikan kebebasan
kepada manusia untuk memilih dan menentukan perbuatannya sendiri. Akan tetapi jika kita
mendalami ajaran Al-quran dan Hadis secara komprehensif serta memerhatikan realitas
kehidupan sehari-hari, maka akan tampak jelas bahwa paham Qadariyah yang tidak
mempercayai adanya takdir adalah mengandung berbagai kelemahan dan telah menyimpang dari
ajaran Islam yang benar.Tokoh-tokoh Aliran Qadariyah: Ma‟bad al-Jauhani dan Ghailan al-
Dimasyqi.
f. Doktrin-doktrin Aliran Qadariyah
 Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya sendiri
 Dalam memahami takdir aliran Qadariyah terlalu Liberal
 Aliran Qadariyah mengukur keadilan Allah dengan barometer keadilan
manusia
 Paham ini tidak percaya jika ada takdir dari Allah.

5. Aliran Mu’tazillah

Kata mu‟tazilah berasal dari kata I‟tazala dengan makna yang berarti menjauhkan
atau memisahkan diri dari sesuatu. Kata ini kemudian menjadi nama sebuah aliran di dalam ilmu
kalam yang para sarjana menyebutnya sebagai Mu‟tazillah berdasarkan peristiwa yang terjadi
pada Washil ibn Atha (80 H/699 M- 131 H/748 M) dan Amr ibn Ubayd dengan al-Hasan al-
Bashri. Dalam majlis pengajian al-Hasan al-Bashri muncul pertanyaan tentang orang yang
berdosa besar bukanlah mu‟min dan juga bukanlah orang kafir, tetapi berada diantara dua posisi
yang istilahnya al Manzillah bayn al-manzilatayn.

.Dalam uraian di atas bisa dipahami pemimpian tertua di aliran Mu‟tazillah adalah
Washil ibn Atha. Ada kemungkinan washil ingin mengambil jalan tengah antara khawarij dan
murjiah, melainkan berada di dua posisi. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa orang yang
berdosa besar itu masih ada imannya tetapi tidak pula dapat dikatakan mu‟min karena ia telah
berdosa besar. Orang yang serupa itu apabila meninggal dunia maka ia akan kekal di dalam
neraka, hanya azabnya saja yang lebih ringan dibandingkan orang kafir. Itulah pemikiran Washil
yang pertama sekali muncul.25
g. Asal-Usul Aliran Mu’tazillah
Pembina pertama aliran Mu‟tazilah ini adalah Wasil bin Ata‟. Sebagaimana telah dikatakan oleh
Al-Mas‟udi, Wasil bin Ata‟ adalah syaikh Al-Mu‟tazilah wa qadimuha, yaitu kepala Mu‟tazilah
yang tertua. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 81 H dan meninggal di Basrah pada tahun 131
H. Di Madinah ia berguru pada Hasyim „Abd bin Muhammad bin Hanafiyah kemudian pindah
ke Basrah dan belajar pada Hasan Al-Basri.Kemunculan aliran Mu‟tazilah untuk pertama
kalinya pada masa dinasti Umayyah berada diambang kehancuran, yakni dimasa pemerintahan
„Abd AlMalik bin Marwan dan Hisyam bin „Abd Al-Malik. Dan ketika Dinasti Umayyah jatuh
ke tangan abbasiyah, golongan Mu‟tazillah mendapatkan tempat yang amat baik di dalam
pemerintahan. Bahkan di masa peerintahan AlMa‟mun teologi Mu‟tazillah secara resmi
dijadikan ideologi bangsa.Tokoh-tokoh Aliran Mu‟tazillah: Wasil bin Ata‟, Abu Huzail al-allaf,
An-Nazzam, dan Al-Jubba‟i.
h. Doktrin-doktrin Aliran Mu’tazillah
 Kekuasaan Kepala Negara tidak terbatas Waktunya

 Akal yang menetukan perlu tidaknya dibentu negara27


6. Aliran Asy’ariyyah

Asy‟ariyah adalah nama aliran di dalam islam, nama lain dari aliran ini adalah Ahlu
Sunnah wal Jamaah.28 Aliran Asy‟ariyyah adalah aliran teologi yang dinisbahkan kepada
pendirinya, yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Islmail alAsy‟ari. Ia dilahirkan di Bashrah, besar dan
wafat di Baghdad (260-324 H). Ia berguru pada Abu Ali al-Jubbai, salah seorang tokoh
Mu‟tazillah yang setia selama 40 tahun. Setelah itu ia keluar dari Mu‟tazillah dan menyusun
teologi baru yang berbeda dengan Mu‟tazillah yang kemudian dikenal dengan sebutan
Asy‟ariyyah, yakni aliran atau paham Asy‟ari. Kasus keluarnya Asy‟ari ini

menurut suatu pendapat karena ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang berkata
kepadaya, bahwa Mu‟tazillah itu salah dan yang benar adalah pendirian al-Hadis.Menurut aliran
Asy‟ariyyah, Allah mempunyai beberapa sifat dan sifatsifat itu bukan zat-Nya dan bukan pula
selain zat-Nya, namun ada pada zatNya. Meskipun penjelasan Asy‟ariyyah itu mengandung
kontradiksi, hanya dengan itulah aliran tersebut dapat melepaskan diri dari paham ta’addud al-
qudama (banyaknya yang kadim) setidak-tidaknya menurut pemikiran mereka.
i. Asal Usul Aliran Asy’riyah
Asy‟ariyah dan maturidiyah muncul secara bersama yang dikenal dengan nama aliran Ahl
al-Sunnah wal Jama‟ah yang secara populer disebut dengan Sunni. Pada waktu yang bersamaan
Syi‟ah sebagai aliran memainkan peranannya dalam masyarakat Islam dengan pandangan-
pandangan rasional dengan berpegang teguh pada ajaran Imamah yang sangat memuliakan Ahlu
albait.Tidak dipungkiri bahwa sejak lama kaum muslimin di Indonesia menganut madzhab fiqih
Syafi‟iyyah. Secara aqidah, banyak yang mengikuti paham Asy‟ariyah, secara tasawuf merujuk
pada ajaran-ajaran shufi Imam Abu Hamid Al-Ghazali.32
Tokoh-tokoh Aliran Asy‟riyah: Al-Baqillani, Al-Juwaini dan AlGhazali.
j. Doktrin-doktrin Aliran Asy’riyah
 Tuhan dan Sifat-sifatnya
 Kebebasan dalam berkehendak
 Akal dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk

7.Aliran Maturidiyyah

Nama Maturidiyyah diambil dari nama tokoh pertama yang tampil mengajukan
pemikiran sendiri. Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi.
Beliau lahir di Samarkand pada pertengahan kedua abad kesembilan Masehi kedua abad ke-9 M
dan meninggal tahun 944 M.Aliran Maturidiyyah yang dikatakan tampil sebagai reaksi terhadap
pemikiran-pemikiran mu‟tazzilah yang rasional itu, tidaklah seluruhnya sejalan dengan
pemikiran yang yang diberikan oleh al-asy‟ari. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
pemikiran teologi asy‟ari sangat banyak menggunakan makna teks nash agama (Quran dan
Sunnah), maka Maturidiyyah dengan latar belakang mazhab Habafi yang dianutnya banyak
menggunakan takwil.34
j. Asal Usul Aliran Maturidiyyah

Tokoh pertama dari aliran Maturidiyah adalah al-Maturidi sendiri. Sebagai pemikir yang
tampil dalam menghadapi pemikiran Muktazilah, almaturidi banyak menyerang pemikiran
mu‟tazillah. Namun karena ia memiliki latar belakang intelektual pandangan-pandangan rasional
Abu Hanifahm dicelah-celah perbedaan itu terdapat pula kesamaan.Murid terpenting dari Al-
Maturidi adalah Abu al-Yusuf Muhammad alBazdawi.
Ia dilahirkan pada tahun 421 H dan meninggal pada tahun 439 H. Sebagai diketahui bahwa
nenek Al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi. Al-Bazwadi sendiri mengetahui ajaran-ajaran
al-Maturidi dari orang tuanya. Agaknya pewarisan paham yang sudah melalui tiga jenjang
terhadap AlBazdawi sendiri tidak urung membuat berbagai perbedaan antara al-bazdawi dengan
al-maturidi.( Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam )
Apalagi bila hal itu dikaitkan dengan kebebasan intelektual di kalangan ulama masa lampau.
Inilah kemudian yang membuat terdapatnya dua cabang aliran dalam Maturidiyyah, yaitu cabang
Samarkand dengan tokoh Maturidi sendiri dan cabang Bukhara dengan tokoh utama al-Bazdawi.
35
k. Doktrin-Doktrin Aliran Maturidiyah
 Orang Mukmin melakukan dosa besar tetap Mukmin
 Janji dan ancaman tuhan tidak boleh tidak mesti berlaku kelak
8. Aliran Murji’ah
Murjiah berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan atau penangguhan.
Karena sekte yang berkembang pada masa awal islam yang dapat diistilahkan sebagai “orang-
orang yang diam”. Mereka meyakini bahwa dosa besar merupakan imbangan atau pelanggaran
terhadap keimanan dan bahwa hukuman atau dosa tidak berlaku selamanya. Oleh karena itu, ia
menunda atau menahan pemutusan dan penghukuman pelaku dosa di dunia ini. Hal ini
mendorong mereka untuk tidak ikut campur masalah politik. Satu diantara doktrin mereka adalah
shalat berjamaah dengan seorang imam yang diragukan keadilannya adalah sah. Doktrin ini
diakui oleh kalangan islam sunni namun tidak untuk kalangan syiah.
l. ASAL USUL ALIRAN MURJI’AH
Aliran Murjiah muncul sebagai reaksi dari aliran kharjiyyah yang memandang perbuatan
dosa sebagai quasi absolut dan merupakan sifat penentu, murji‟ah lebih cenderung sebagai reaksi
terhadap kharijiyyah daripada daripada terhadap aliran mayoritas. Sangat kontras dengan aliran
kharjiyyah yang mirip sekali dengan ajaran yang mirip sekali dengan ajaran St. John tentang
“dosa yang dihukum mati”.Aliran Murji‟ah muncul dengan mengusung keyakinan lain mengenai
dosa besar. Masalah yang mulanya hanya bersifat politis akhirnya berkembang menjadi masalah
teologis. Lantara dua aliran tersebut muncul mendahului aliran Mu‟tazillah, maka tidak salah
pula jika Wolfson menyebut bahwa keduanya sebagai aliran pra-Mu‟tazilah dalam teologi islam.
m. Doktrin-doktrin Aliran Murji’ah
 Orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan
tidaklah menjadi kafir, karena kufur dan iman letaknya di hatiku

 Menurut murjiah ekstrem ini, iman adalah mengetahui Tuhan dan Kufur tidak tahu pada
Tuhan. Sejalan dengan itu shalat bukan merupakan ibadat bagi mereka, karena yang disebut
ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan.

H. ESENSI KALAM DAN PENAMAANNYA

Dalam sejarah ilmu-ilmu pada periode abad pertengahan umat Islam, kalam berdiri
sendiri sebagai seorang Islam disiplin, membahas aspek fundamental atau ajaran dalam Islam.
Apa yang dimaksud dengan manusia? aspek adalah soal ketuhanan melalui akal dan naqal Ada
Sudah banyak kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama tentang kalam yang berbeda dengan ilmu-
ilmu lainnya diprakarsai dan dikembangkan oleh umat Islam pada abad pertengahan.Kalam
adalah ilmu yang membahas tentang keberadaan Tuhan dan hubungan-Nya denganmenciptakan
alam semesta termasuk manusia. Kata kalam dalam bahasa Arab dapat dipahami sebagai ucapan,
ucapan atau ekspresi. ditafsirkan. Dalam linguistik Arab, kalam adalah kata-kata yang disusun
menjadi kalimat yang memiliki makna. Dalam ilmu agama Islam kalam dapat disebut dengan
pidato atau kata-kata Allah seperti yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan Al-Qur'an disebut
sebagai kalam Allah atau Allah oleh umat Islam karena mereka meyakini ucapan-ucapan Allah
diterima oleh yang terakhir dan nabi dan rasul terakhir Muhammad saw abad ketujuh Masehi
adalah isi atau ayat Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an adalah kata-kata atau ucapan Tuhan tersedia
bagi manusia untuk membaca dan memahami firman Tuhan dalam bahasa Arab, the Para teolog
Muslim pada masa kebangkitan kalam di era Muslim abad pertengahan mengangkat topik
tentang diskusi tentang sifat kalam Allah dalam Al-Qur'an. Beberapa teolog Muslim di

Abad ke-9 dan ke-10 M menyatakan bahwa kalam Tuhan dalam Al-Qur'an diciptakan dan
beberapa yang lain berpendapat bahwa kalam Tuhan dalam Al-Qur'an adalah abadi. Dari dua
pandangan yang berlawanan ini teolog Muslim, nama kalam, diterima karena membahas sifat
kalam Allah dalam Al-Qur'an sebagai topik polemik di antara mereka.Karena pandangan yang
berlawanan di antara para teolog Muslim tentang sifat kalam Tuhan dalam Al-Qur'an, mereka
berkontribusi pada ujian teologis yang dikenal sebagai inkuisisi teologis atau mihnah dalam
bahasa arab Peristiwa sejarah ini dikenal dengan mihnah atau inkuisisi kepada menguji atau
menguji keyakinan Muslim tentang sifat kalam Allah dalam Al-Qur'an. Untuk Nurcholish
Madjid, mihnah dalam Islam harus dibedakan dari inkuisisi di Barat perspektif. Dalam Islam, ini
dilakukan di bawah semacam 'rasionalisme' Islam atau kebebasan berpikir yang merupakan
pemahaman Mu'tazilah, terhadap mereka yang menganggapnya sebagai penghalang untuk itu
kebebasan. Padahal Inkuisisi di Barat atas nama fundamentalisme dan sempit pemahaman agama
melawan pikiran bebas menjadi pemahaman para ilmuwan dan filosof yang banyak belajar dari
warisan Islam .(Amin 1936: 34-35)Kalam juga bisa berarti perkataan manusia, maka ilmu ini
disebut kalam karenamutakallimun berpendapat dalam membela pendapat mereka sendiri serta
dalam memperdebatkan pendapat mereka lawan (Nasution 1972: iv)

Sedangkan penggunaan istilah kalam sebagai disiplin ilmu Islam lebih duludiciptakan
oleh Mu'tazilah selama Khalifah al-Makmun (813-833) dari Daulah Bani Abbas(Yusuf 1990: 2).
Ini dapat dijelaskan di sini bahwa Mu1taxiltes berpendapat dan mempertahankan pandangan
mereka bahwa kalam Tuhan dalam Al-Qur'an telah diciptakan dan pada saat yang sama mereka
berselisih dan membantah pandangan lawan-lawan mereka bahwa kalam Allah dalam Al-Qur'an
tidak diciptakan tetapi abadi. Nama lain kalam adalah tauhid karena tujuan utamanya adalah
menegakkansecara rasional Keesaan Tuhan. Kalam juga disebut 'ilmu usuluddin karena topiknya
Pembahasannya terkait dengan rukun iman Islam yang dianggap fundamental dan esensial dalam
Islam. Selain itu kalam disebut juga dengan `ilm al-aqa'id (ilmu tentang rukun iman atau
keyakinan) karena membahas dan menyajikan keyakinan agama Islam secara rasional. Penulis
Barat menggunakan Teologi Islam untuk kalam, dan para sarjana dan penulis Indonesia
menggunakan Teologi Islam dalam Bahasa Indonesia untuk kalam karena mempelajari dogma
atau doktrin teologis.

Definisi kalam berbeda karena aspek kalam yang berbedaditekankan oleh para
pendefinisi. Al-Ahwani mendefinisikan kalam adalah ilmu yang menguatkan aqidah agama
dengan menggunakan argumentasi rasional (al-Ahwani 1962: 18).

Ibnu Khaldun mengatakan kalamberisi dalil-dalil rasional untuk mempertahankan iman


atau imaniyah dan untuk menyanggah dan menolak kelompok sesat dan akidah mereka
menyimpang dari salaf dan ahlus sunnah yaitu Sunni) (IbnKhaldun 1981: 580). Abduh
menggunakan nama `ilm al-tawhid untuk bukunya tentang fundamental Islam kredo Seperti sifat
Tuhan, sifat-sifat dan sifat-sifat-Nya yang diperlukan dan persetujuan-Nya dan negatifatribut
utusan dan nabi-Nya dan tanggung jawab mereka, mereka perlu atribut dalam dakwah mereka
dan menyebarkan agama dari Tuhan kepada umat mereka di daerah. Para nabi dan utusan Tuhan
dipilih oleh Tuhan untuk menerima wahyu dari Tuhan untuk diri mereka sendiri dan umat
mereka. Sebagai nabi dan rasul Allah, mereka mengikuti dan perintah Allah dan bukan larangan
Allah. Mereka juga melakukan tindakan yang diizinkan yang diizinkan oleh Allah kepada
mereka (Abduh 1366 H:7).

Meskipun definisi kalam bervariasi, topik atau tema inti dalam kalam Keesaan Allah
firman Tuhan, melihat Tuhan di akhirat dan ayat-ayat antropomorfik yang terkait dengan Tuhan,
keadilan Tuhan, kekuasaan dan kehendak Tuhan yang mutlak, perbuatan Tuhan, kedudukan atau
status manusia akal, fungsi wahyu, iman (keyakinan) dan kekufuran (kekafiran). Hasil formulasi
kalam melahirkan jenis-jenis pendekatan yang digunakan untuk kalam, pendekatan rasional
dianjurkan oleh Mu'tazilah, pendekatan tradisional yang dianjurkan oleh Asha`arites dan
pendekatan tengah antara pendekatan rasionalis dan tradisionalis yang diadvokasikan oleh orang
dewasa.

Pendekatan rasional kalam menempatkan akal manusia pada posisi yang signifikan ketika
manusia berusaha untuk memahami akidah dasar dalam Islam berdasarkan Al-Qur'an dan tradisi
Nabi dalam bahasa Arab. Para pendukung kalam rasional mengusulkan solusi bagi manusia
ketika mereka memiliki masalah dalam memahami sifat-sifat Tuhan yang antropomorfik seperti
tangan dan wajah Tuhan yang harus dipahami secara metaforis karena Tuhan sangat berbeda
dengan manusia dan sifat-sifatnya. Para pendukung rasional kalam menjunjung tinggi bahwa
manusia bebas berkehendak dan bertindak atas kehendaknya sendiri karena Tuhan telah
menganugerahkan manusia kekuatan atau kemampuan untuk berkehendak dan bertindak
berdasarkan kehendak dan kuasa mereka yang diciptakan oleh Tuhan untuk mereka. Dalam
Barat, manusia dipahami memiliki kehendak bebas dan tindakan dalam hidup mereka, dan
mereka bertanggung jawab atas perbuatan baik dan jahatnya masing-masing. Mengenai keadilan
ilahi, Pendukung kalam rasional berpandangan bahwa akal manusia mampu memahami
keadilanAllah, dengan merenungkan dan merenungkan makhluk ciptaan Allah termasuk
manusia.Sementara itu,Para pendukung kalam tradisional menempatkan akal atau akal manusia
lebih rendahdari posisi yang diberikan oleh para pendukung kalam rasional dalam memahami
danpemahaman tentang Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya serta sifat-sifat dan perbuatan
manusia.

Bagi para pendukung kalam tradisional, manusia tidak bebas berkehendak dan bertindak
meskipun Allah menciptakan manusia dengan kehendak dan kekuatannya untuk berkehendak
dan bertindak mengikuti kehendak manusia. Pandangan ini adalah lebih dekat dengan
pemahaman Jabariah, Jabarites atau para fatalis di antara beberapa Muslim. Tuhan kekuasaan
mutlak dan akan tetap bersama Tuhan dalam berurusan dengan kehendak dan kekuatan manusia
untuk bertindak selamakehidupan manusia di dunia ini (Nasution 1989: 2-3; 15-16).Para
pendukung kalam yang berada di tengah pendekatan antara kalam rational rasional dan kalam
tradisional muncul dari pendekatan kalam in yang berlawanan pemahaman dan pemahaman
tentang Tuhan, sifat-sifat-Nya dan tindakan-Nya serta kehendak-Nya dan kekuasaan sehubungan
dengan kehendak manusia dan kekuasaan untuk berkehendak dan bertindak menurut kehendak
manusia dan kekuasaan.Dengan adanya tiga pendekatan kalam seperti yang disebutkan di sini,
sangat bermanfaat bagi umat Islam yang mengikuti tingkat kemampuan daya nalarnya di
berbagai tingkatan sebagai orang awam, moderat atau intelektual untuk meninjau tiga
pendekatan kalam. Mereka tidak bertentangan dengan ajaran fundamental Islam karena secara
rasional dan tekstual menegaskan keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta termasuk
manusia. Dalam Islam, ilmu tentang keberadaan Tuhan, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya dan
komunikasi-Nya dengan manusia adalah Hal mendasar yang disebut dalam bahasa Arab al-
muhkamat, yaitu seperangkat ajaran Islam yang dipahami sebagai yang mutlak, universal, abadi
dan tidak berubah dan tidak boleh diubah. Sebagai contoh,manusia yang mengingkari adanya
Tuhan, mereka ateis dan tidak bisa menjadi muslim karena Muslim harus percaya pada
keberadaan Tuhan yang mengungkapkan hubungan-Nya dengan para nabi manusia-Nya dan
utusan.

Percaya pada keberadaan nabi dan utusan Tuhan adalah hal lain ajaran dasar Islam.
Orang-orang Nasrani dan Yahudi yang tidak percaya pada akhir zaman dan kenabian terakhir
Muhammad saw bukan Muslim, bukan karena mereka tidak percaya pada keberadaan Tuhan
tetapi mereka bukan Muslim karena mereka menolak untuk percaya pada kenabian dan kapal
utusan nabi terakhir dan terakhir dan utusan Allah bernama Muhammad pada abad ke-7 M di
Arab dalam bahasa Arab.Banyaknya ajaran Islam yang fundamental dan kredibelIslam sangat
kecil. Beberapa Muslim

Para ulama merangkumnya hanya ke dalam enam pasal iman Muslim yaitu Allah,
manusia-Nya

para nabi dan rasul, kitab-kitab-Nya yang diturunkan, para malaikat-Nya, peristiwa-peristiwa
eskatologis-Nya setelah kiamat, dan penjelasan-Nya tentang kriteria kebaikan dan keburukan
manusia agar manusia menjadi diganjar dengan kehidupan yang baik dan nyaman di surga atau
dihukum dengan kehidupan yang mengerikan di Neraka di akhirat.Ada beberapa ajaran Islam
yang dianggap relatif dan dapat berubah dalam berbagai hal periode dan lokasi yang berbeda
berdasarkan adanya permasalahan baru di kalangan umat Islam. Mereka bukanlah perangkat
dasar ajaran Islam. Mereka relatif dan bahkan bisa diubah terkadang mereka harus diubah atau
dimodifikasi sesuai dengan itu. Ajaran Islam ini disebut Arab al-mutashabihat. Jadi, jenis ajaran
Islam mutashabihat dalam kalam dapat diubah atau dimodifikasi atau diambil dan mereka dapat
dikesampingkan dari kalam jika umat Islam berpikir bahwa mereka tidak berguna untuk
disajikan kepada mahasiswa Muslim di perguruan tinggi dan universitas di Indonesia. Gagasan
atau usulan tidak mengajarkan kalam bagi santriwati di Indonesia perguruan tinggi dan
universitas bukanlah ide atau proposal yang baik karena untuk menjadi Muslim yang
berpengetahuan mereka harus mempelajari dan meyakini dengan teguh pasal-pasal akidah
muslim yang merupakan dana dalam kalam Oleh karena itu, tiga pendekatan kalam yang diusung
oleh lawan-lawannya tidak membuat umat Islam berubah agama mereka dan menjadi ateis dari
para pendukung kalam karena mereka semua teguh menegakkan secara rasional dan tekstual
keberadaan Allah yang menjadi sumber agama bernama slam, agama Allah seperti yang
dikatakan dalam Al-Qur'an (3:19).

Allah tidak akan menerima kepercayaan dan perbuatan manusia yang telah memutuskan
untuk menjadikan agamanya selain Islam dan mereka merugi di akhirat seperti yang dikatakan
dalam Al-Qur'an (3:85).Perbedaan antara kalam atau teologi Islam dengan ilmu-ilmu sosial
lainnya dan humaniora karena fokus dan topik diskusi mereka yang berbeda. Teologi selain
Islam teologi, misalnya, mungkin dimulai dengan diskusi tentang Tuhan dengan mengajukan
pertanyaan,apakah Tuhan itu ada atau tidak. Jika jawaban dari diskusi tersebut mengarah pada
penegasan tentang keberadaan Tuhan, mereka mungkin percaya akan keberadaan Tuhan. Jika
jawaban mengarah pada negasi keberadaan Tuhan, mereka mungkin menjadi ateis.Menurut
Nurcholish Madjid, kalam telah ada secara khusus dalam Islam di kalangan Muslim, dan kalam
belum ada dan tidak akan ada dalam agama lain di kalangan non-Muslim.

Pada hakikatnya kalam tidak memiliki tandingan dalam pertumbuhan pemikiran


keagamaan lainnya. Ini sangat jelas dari terjemahan kalam dalam bahasa Inggris. Kalam
diterjemahkan sebagai Dialektis Teologi, Teologi Spekulatif, Teologi Alam, dan Teisme Filsafat.
Bahasa Inggris ini Terjemahan kalam menunjukkan aspek perbedaan yang sangat mendasar
antara kalam itu sendiri tidak dogmatis seperti teologi dogmatis lainnya (Madjid 1990: 7). Aspek
utama dalam kalam terdiri dari upaya pemahaman manusia yang dilakukan oleh para
mutakallimun untuk memahami dan memahami pasal-pasal iman atau keyakinan Islam yang
terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadits dan tujuan mereka adalah untuk menegakkan dan
membela akidah Islam dan perselisihan dan kemudian menolak akidah yang salah dan
bertentangan dengan akidah Islam yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits didukung oleh
pendekatan penalaran manusia.

Kaum tradisionalis Muslim atau Ahl al-Hadits yang hidup pada abad-abad awal Hijrah
adalah

tidak senang dengan kalam karena mereka berpikir bahwa mutakallimun menggunakan
dialektika danmetode polemik dalam diskusi mereka melawan lawan mereka mengikuti
dialektika dan metode polemik yang digunakan oleh ahl al-ahwa' wa al-bid'ah (pengikut aliran
sesat dan sekte) dalam Islam. Mutakallimun Muslim atau ahl al-kalam tidak setuju dengan
pandangan negatif tentang tradisionalis Muslim tentang kalam. Bagi mutakallimun, kalam adalah
ilmu untukMuslim untuk berbicara, berdiskusi, merumuskan, menjelaskan, atau membela akidah
Islam (Dahlan 2001: 25).

Di mana saja Kalam sebagai sebutan bagi akidah teologis dan fundamental Islam telah
ada diSejarah Islam tentang ilmu-ilmu keislaman dan masih eksis hingga saat ini. Ini lebih
mengingatkan kita tentang betapa keras upaya mutakallimun di masa lalu dalam merumuskan
dan mempertahankan ilmu dibidang akidah Islam dan aspek fundamental Islam.

a. Keberadaan kalam
Islam adalah agama yang rasional dan dinamis. Islam sesuai dengan dinamisme manusia
dan rasionalitas. Agama apapun yang fungsinya mengatur kehidupan manusia adalah dinamis,
jika agama itu tidak dinamis, manusia akan meninggalkannya karena menghambat kedinamisan
manusia.Islam adalah agama yang diwahyukan. Al-Qur'an dalam bahasa Arab adalah sumber
pertama dari agama yang diturunkan bernama Islam. Ini berarti bahwa teks Arab dalam Al-
Qur'an bukan dari Nabi Muhammad saw, ia menerima wahyu dalam bahasa Arab dari Allah atau
Tuhan. Nama lain dari wahyu yang diterimanya dari Allah adalah kalam Allah atau kalam Allah.
Oleh karena itu, teks Arab Al-Qur'an juga abadi dan tidak dapat diubah sebagai tidak korup. jika
ayat-ayat Arab dalam Al-Qur'an diganti dengan sinonimnya Teks atau ayat Arab, atau struktur
kalimatnya diubah atau direkonstruksi atau kata kerjanya, kata benda, kata ganti dan kata depan
diganti atau diubah, Al-Qur'an akan menjadi fana seperti wahyu yang diwahyukan sebelumnya
ditemukan dalam Taurat dan Alkitab. Kitab suci Al-Quran dengan jelas menyatakan bahwa
wahyu sebelumnya dirusak oleh pengikut mereka dan Holy Quean bebas dari upaya koruptif
yang dilakukan oleh manusia.

Al-Qur'an tetap sebagai wahyu yang tidak dapat rusak dan tidak dapat diubah yang
diterima oleh nabi dan rasul terakhir dan terakhir dari Allah untuk semua manusia dan jin. Ini
adalah wahyu yang mutlak dan abadi dari Allah untuk manusia dan jin untuk diterima dan
dipatuhi oleh mereka dalam kehidupan mereka di dunia ini jika mereka berencana untuk pergi ke
Surga yang diciptakan Allah untuk kehidupan manusia dan jin di akhirat. Hanya ada dua tempat
berseberangan di akhirat yang disebut surga dan neraka untuk dipilih manusia dan jin sementara
mereka masih hidup di planet bumi sementara ini melalui kepercayaan dan perbuatan mereka.

Allah menjanjikan surga bagi manusia dan jin yang menganut agama-Nya Islam dan
Allah menjanjikan Neraka bagi manusia dan jin yang tidak menganut agamanya Islam.Demikian
juga terjemahan ayat-ayat Al-Qur'an ke dalam bahasa lain seperti Bahasa Inggris, Melayu atau
Cina tidak menjadi wahyu mutlak Al-Qur'an sejak terjemahan ayat-ayat Al-Qur'an dalam bahasa
lain dibuat oleh manusia. Mereka bisa disebut terjemahan atau tafsiran ayat-ayat Al-Qur'an.
Sejak terjemahan dan penafsiran Al-Qur'an dilakukan oleh manusia, tidak lagi disebut wahyu
mutlak; mereka adalah budaya yang relatif dan inklusif. Dengan kata lain, interpretasi dan
terjemahan dari Al-Qur'an tidak mengikat bagi manusia, sedangkan wahyu (ayat) dalam teks
Arab dari Al-Qur'an bersifat mengikat bagi manusia (Zar 1996: 1).
Berbeda dengan sifat dasar Al-Qur'anDari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam
terdiridari dua kelompok:

1. Ajaran Islam yang bersifat mutlak, universal, abadi, tidak berubah dan tidak dapat diubah,

sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an dengan teks bahasa Arab dan dalam hadits mutawatir,
dan;

2. Ajaran Islam yang relatif dan berubah-ubah; mereka dapat berubah atau dapat diubah,bahkan
terkadang mereka harus diubah karena faktor-faktor baru tertentu. Ajaran dariIslam pada
golongan kedua ini adalah ajaran Islam yang bersumber dari ijtihadi manusia usaha yang
melibatkan penalaran dan pengalaman manusia.Perlu disebutkan, kalam membahas aspek
fundamental dari ajaran Islambagi seluruh umat Islam untuk menjadi keyakinan atau aqidah
mereka yang menjadi landasan bagi tindakan atau perbuatan di dunia ini. Oleh karena itu, ilmu
yang dicakup oleh kalam ini penting dan harus juga dijadikan pedoman dalam melakukan dan
mengajarkan studi Islam. Jadi, kalam masih ada sampai sekarang serta adanya ilmu-ilmu
keislaman lainnya, seperti fiqh, tasawuf, filsafat Islam,ilmu hadis dan al-qur'an atau `ulum al-
hadits dan `ulum al-qur'an muslim masyarakat dan negara-negara Muslim. Ilmu-ilmu ini,
misalnya, tidak membahas dasar-dasar atau al-muhkamat tetapi mereka mencakup aspek atau
topik di bawah mutashabihat dari yang tidak disebutkan secara eksplisit dan pasti dalam ayat-
ayat Al-Qur'an dan hadits mutawatir.Dengan kata lain, mereka hanya menggambarkan atau
menafsirkan dasar-dasar utama ajaran Islam dengan cara penalaran dan upaya ijtihad mereka.
Oleh karena itu kalam dapat dikatakan sebagai ilmu yang meliputi akidah atau keyakinan dasar
Islam sebagaimana dipahami dan ditafsirkan oleh para ulama kalam.Hal ini juga berlaku untuk
menganggap fiqh sebagai ilmu yang mencakup hukum-hukum dasar Islam sebagai dipahami dan
ditafsirkan oleh para ulama fiqh, para fuqaha’.

Kalam sering berfokus pada ide-ide normatif-metafisik-transendental, tanpahubungan


apa pun dengan aspek-aspek praktis dari gagasan-gagasan itu. Hal ini juga terjadi untuk studi
tentang fiqh seperti kajian hukum pidana Islam yang tidak bisa diamalkan dimana dan kapan
negara tidak menerapkan hukum pidana Islam. Jika kalam hanya mempelajari karya-karya masa
lalu ulama kalam demi pusaka mereka tanpa ada kaitannya dengan masalah kekinian dan
masalah, itu mungkin tidak terlalu berguna bagi komunitas Muslim saat ini. Namun,keyakinan
atau keyakinan mendasar yang dicakup oleh kalam adalah penting dan signifikan untuk masa
lalu

b. Rekonstruksi Kalam dan Relevansinya dengan Konsep Wasatiyyah

Telah dijelaskan sebelumnya dalam artikel ini bahwa kalam adalah ilmu Islam yang
produk para ulama atau cendekiawan muslim pada masa awal Islam di bidang keislaman kredo
atau kepercayaan. Ilmu ini tentu berbeda dengan Al-Qur'an sebagai pedoman utama dalam Islam
yang menyepakati teks harus datang dari Tuhan. Dengan kata lain, teks Al-Qur'an bersifat final
dan tidak dapat diganggu gugat lagi. Sedangkan kalam sebagai hasil usaha ijtihadi mutakallimun
tentang akidah Islam bukanlah doktrin yang tidak boleh diubah. Sejak kalam adalah hasil dari
upaya ijtihadi mutakallimun masa lalu dan dianggap sebagai yang canggih, tidak suci, kalam bisa
diubah dan terkadang harus diubah karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Jika ini
adalah sifat kalam, umat Islam saat ini tidak boleh melihat kalam sebagai ilmu yang tidak
berguna yang ada di komunitas Muslim masa lalu.Kalam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang
dikembangkan oleh umat Islam masa lalu secara ilmiah dan secara rasional mapan dan sangat
berkembang. Beberapa perkembangan ilmu pengetahuan di antaranya Muslim masa lalu adalah
produk dari pengetahuan, pengalaman atau berdialog dengan sesama Muslim dan beberapa non-
Muslim. Pengetahuan dalam Islam masih terbuka dan dapat dicapai oleh pikiran manusia dan
diterapkan oleh tangan manusia. Pintu ilmu dalam Islam tidak pernah tertutup. Ilmu dalam islam
tidak stagnan. Jadi dua orang Muslim terpelajar yang terkenal, Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi'i adalahdiriwayatkan bahwa: Hum rijal wa nahnu rijal (mereka ahli di bidangnya dan kami
juga ahli di bidang kita), satu-satunya aspek ilmu pengetahuan yang permanen adalah penelitian
(Azizi 2003: 21).

Berdasarkan hal tersebut, menurut penulis tersebut, kalam ini perlu direkonstruksi
kembali, agar disiplin ini tidak kaku. Upaya ke arah ini perlu dilakukan dengan sungguh-
sungguh dan berani dan sistematis untuk mengembangkan kembali atau merekonstruksi kalam
para ulama kalam masa lalu. Di lain .Dengan kata lain, perlu membuat “ijtihad” baru yang
dianggap sebagai “baik atau emas”.standar”. Ijtihad yang direncanakan dan diinginkan tentunya
disesuaikan dengan kebutuhan zaman itu merujuk pada misi Islam untuk kemaslahatan umat. Di
sisi lain, kita tentu tidak ingin kehilangan kesinambungan sejarah kalam,Upaya mereka di masa
lalu. (Nasution 1972: iv, 79).

Anda mungkin juga menyukai