Abstract: Ethics is part of philosophy that relates to the good and bad values of moral
actions. In the history of philosophical thought that began in Ancient Greece, In history
of philosophical thought that began in Ancient Greece, ethics is inseparable from the
attention of Greek thinkers. This also affected the thinkers afterward, especially in
Islamic philosophy. This connectedness becomes a relay of thought that continues to
roll so that Islamic thinkers also give full attention to ethics because it is related to
human life directly. Many Islamic thinkers have shaped ethical concepts. One of them is
Muhammad Ibn Zakariyya ar-Razi He is a leading doctor, a scientist, and a philosopher
who is very intelligent and productive. In this case, the concept of ethical ar-Razi. at
least three schools greatly influence the ethical concept of thought. Among them;
Epicureanism, which tends to psychic issues, Aristotelianism, with the concept of a
balance between extreme points (ta'dil al-af'al-nufus), and naturalism, which
emphasizes all the criteria of good and bad moral actions under human nature itself
physically and mentally. All the three merged into one to form a new ethical concept
with ar-Razi’z originality thinking.
Abstrak: Etika merupakan bagian dari filsafat yang berkaitan dengan nilai baik dan
buruk tindakan moral. Dalam sejarah pemikiran filsafat yang dimulai sejak Yunani
Kuno, etika tidak terlepas dari perhatian para tokoh pemikir Yunani. Hal ini pun juga
berpengaruh pada pemikir setelahnya, khususnya dalam filsafat Islam. Keterhubungan
ini menjadi estafet pemikiran terus saja bergulir sehingga pemikir Islam pun
memberikan perhatian penuh terhadap etika karena berkaitan langsung dengan
kehidupan manusia. Berbagai pemikir Islam telah membentuk wajah dan konsep
etikanya. Salah seorang diantaranya adalah Muhammad Ibn Zakariyya ar-Razi yang
merupakan seorang dokter sekaligus filosof yang sangat cerdas dan produktif. Dalam
hal ini, komsep etika ar-Razi setidaknya ada tiga aliran yang sangat memperngaruhi
pola pemikiran konsep etikanya. Diantaranya; Epicurianisme, yang cenderung pada
persoalan psikis, Aristotelianisme, dengan konsep keseimbangan diantara titik ekstrem
(ta’dil al-af’al-nufus), dan naturalisme, yang menekankan pada semua kriteria baik
buruknya tindakan moral sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri baik secara lahir
maupun batin. Ketiganya melebur satu membentuk konsep etika yang baru dengan
pemikran orinalitas ar-Razi sendiri.
159
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai etika bukanlah suatu kajian yang baru, telah banyak
dibahas sejak manusia mewacanakan tata cara hidupnya hingga kini. Namun, jika
ditelusuri lebih jauh etika dibahas pertama kali oleh para filosof Yunani untuk
memberikan petunjuk serta arahan bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan benar
tidak hanya sekedar makan dan minum lalu tidur, tapi lebih jauh dari pada itu,
bagaimana suatu kehidupan itu lebih bernilai dan bermakna bagi sesama.
Sering kali perbedaan pendapat perihal konsep filosofis moral yang selalu
diperdebatkan, hingga sekarang pun pertikaian mengenai etika terus saja bergulir. Mulai
dari pendefinisian etika itu sendiri hingga komponen-komponen yang harus melekat.
Lalu bagaimana etika dikonsepsikan dalam Islam? Apakah pemikiran kritis
tentang moral itu ada dalam khazanah keilmuan Islam? Atau hanya sebatas wacana
belaka tanpa unsur-unsur filosofis dalam menjawab persoalan hidup yang berkaitan
dengan etika. Sebab, perbincangan terkait etika tidak hanya tentang perbuatan baik dan
buruk semata. Melainkan bagaimana suatu tindakan yang muncul memiliki orientasi
kemana arah dan tujuan tindakan moral itu dilakukan. Dengan kata lain etika dapat
dikatakan cenderung bernuansa teoritis dalam upaya menindaklanjuti problem moral.
Dalam Islam misalnya, Ibnu Miskawaih yang merupakan seorang tokoh moralis
terkenal sebagai peletak dasar etika kebajikan dalam khazanah keilmuan Islam, yang
banyak dikatakan dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir A’raq membahas etika
secara spesifik. Tentu dedikasi yang berikan sangat memukau dan memperkaya
khazanah keilmuan Islam.
Dalam diskusi yang dilakukan di ruang kelas boleh dibilang panas dan menuai
aneka ragam jawaban. Atas karya Ibnu Miskawaih tersebut berkesimpulan bahwa
Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir A’raq masih tergolong belia untuk dapat dikategorikan
karya etika. Karena lebih kepada pedoman untuk bertindak baik dan menghindari yang
buruk, padahal etika bukanlah sebatas tentang baik dan buruk. Bukan bermaksud
apapun atau meragukan konsepsi yang dibangun, tapi hanya ingin sedikit
mempertanyakan kembali apakah itu benar-benar pemikiran kritis terhadap moral atau
hanya sebagai pedoman moral yang hanya membahas tentang hal baik dan buruk
semata.
160
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember) 2020, p. 159-177.
Hal ini memang menuai banyak perbedaan pendapat, di satu kubu misalnya
tetap bersikukuh mengatakan karya tersebut merupakan buah gagasan etika, di kubu
lainnya mengatakan tergolong karya moral, dan mungkin di kubu yang satu lagi akan
mengatakan Ibnu Miskawaih dinyatakan sebagai peletak dasar fondasi awal etika dalam
Islam yang dilanjutkan kemudian oleh intelektual muslim dalam membangun dan
mengembangkan jauh ke atap hingga firniturnya secara lebih teoritis dan filosofis.
Pembahasan mengenai etika dalam Alquran dan Hadis sendiri tidaklah secara
rinci dibahas dalam artian yang bersifat teoritis-filosofis. Meski demikian, bukan berarti
sumber utama islam mengabaikan etika begitu saja, tapi sebisa mungkin umat muslim
mampu menggali lebih jauh dalam menginterpretasi konsep-konsep moral yang
terkandung dalam Alquran dan as-sunnah menjadi pemikiran teoritis dan kritis terkait
moral.
Tidak dapat dipungkiri, betapa sulit menentukan untuk menguraikan secara
clear and distinct dalam etika dan moral karena keduanya saling terpaut satu sama lain.
Dengan kata lain di samping berisi tentang pedoman-pedoman dan ketetapan moral
untuk dipatuhi, dan beberapa berikutnya disajikan dengan penjelasan argumentatif
rasional mengapa harus bertindak begini dan begitu? Secara konseptual antara moral
dan etika memang berbeda, namun keduanya saling terpaut.1
Di sinilah letak keistimewaan etika Islam dari etika yang berkembang di Barat
yakni pemaduan antara agama dan rasio yang akhirnya menjadi prinsip dan coraknya
tersendiri dari etika Islam.2 Tidak ada yang boleh terabaikan dari keduanya. Jika saja
hanya berpatokan pada rasio manusia semata tanpa peduli memperhatikan kandungan
ajaran agama, tentu hal ini rentan membuat kesalahan melihat keterbatasan akal
manusia yang mungkin saja berbuat salah. Sebaliknya jika pun manusia hanya
mengandalkan sumber utama agama (Alquran dan Hadits) namun abai akan rasio, maka
akan membuat seseorang melakukan kesalahan pula, sebab ajaran agama juga
membutuhkan rasio untuk menafsirkannya. Jika saja hal itu terabaikan, maka
kestagnanan, kejumudan, dan kedangkalan akan interpretasi yang seharusnya progresif
akan cenderung regresif terhadap laju-kembangnya pengonsepan etika.
1
Mustain Mustain, “Etika Dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim
Tentang Kebahagiaan,” Ulumuna 17, no. 1 (2013): hlm. 192.
2
Yunita Kurniati, “Keistimewaan Etika Islam Dari Etika Yang Berkembang Di Barat,” Aqlania
11, no. 1 (2020): hlm. 43.
161
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
Dalam hal ini, tokoh yang sangat menarik untuk dikaji adalah seorang pemikir
independen yang dikenal kontroversial dalam perjalanan intelektualnya yakni, Abu Bakr
ar-Razi; seorang rasionalis murni, yang cenderung memainkan akal sebagai instrumen
utama dan penting dalam hidupnya. Hal ini pun tampak dalam halaman pendahuluan
karyanya, al-Thibb al-Ruhani yang ditulis panjang lebar tentang pujian-pujian dan
keutamaan-keutamaan atas rasio di dalamnya.3
Selain banyak menguasai berbagai cabang keilmuan, telah banyak karya lahir
dari rahim tangannya, ada yang menyatakan setidaknya berjumlah 200,4 yang lain
menyatakan sejumlah 148 karya,5 dan satu lagi sekitar 134 karya.6 Namun banyak yang
tidak sampai kepada kita lantaran hilang. Karya yang ditulis melingkupi berbagai
macam cabang keilmuan, seperti halnya kalam, tafsir, filsafat, tata bahasa, astronomi,
sejarah, dan lainnya.
Sejauh ini memperbincangkan etika ar-Razi masih sedikit dibahas khususnya
dalam literatur berbahasa Indonesia. Meski demikian bukan berarti tidak adanya
intelektual yang memperhatikan buah pemikiran ar-Razi. Sekalipun ada, tapi tidak
begitu mendalam mengkaji buah pikir etikanya.
Di beberapa jurnal penelitian, misalnya yang dilakukan Iwan Malik Marpaung
dengan judul Melihat Sekilas Imam Fakhral-Din al-Razi. Penelitian ini membahas ar-
Razi secara umum, meliputi konsep pemikiran kalam, filsafat, ilmu pengetahuan (sains),
tafsir, dan yurisprudensinya.7 Ada juga yang lebih spesifik namun tidak meruncing ke
etikanya dan lebih menitiktekankan pada konsep ketenangan jiwa,8 Penelitian lain
membidik ar-Razi dari segi pendidikan kejiwaan dan kesehatan mental,9
3
Fakhruddin Ar-Razi, At-Thibb Ar-Ruhani (Kairo: Dar al-Kutub, 1978), hlm. 35–36.
4
Hasyim Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 24.
5
Abdur Rahman Badawi, “Muhammad Zakaria Ar-Razi” Dalam A History of Muslim
Philosophy: With Short Accounts of Other Disciplines and the Modern Renaissance in Muslim Lands, ed.
M.M. Sharif, Vol. 1. (New Delhi: Low Price Publication, 1995), hlm. 438.
6
Sayyid Muhammad‘alī Ayāzi, “Al-Mufassirun Ḥayātuhum Wa Manāhijuhum” (Teheran:
Wizānah al-Thaqāfah wa al-Inshāq al-Islām, 1993), hlm. 652.
7
Irwan Malik Marpaung, “Melihat Sekilas Imam Fakhral-Din Al-Razi (544-606 H/1149-1209
M),” Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 12, no. 1 (2014): 155–170.
8
Abd Jalaluddin, “Ketenangan Jiwa Menurut Fakhr Al-Dīn Al-Rāzī Dalam Tafsīr Mafātih Al-
Ghayb,” Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 3, no. 1 (2018).
9
Muhammad Arif, “Pendidikan Kejiwaan Dan Kesehatan Mental (Perspektif Fakhruddin Ar-
Razi),” Farabi: Journal of Ushuluddin & Islamic Thought 16, no. 2 (2019): 161–180.
162
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember) 2020, p. 159-177.
10
Isfaroh Isfaroh, “NATURALISME-TEISTIK ABU BAKAR ALRAZI,” Al-A’raf: Jurnal
Pemikiran Islam dan Filsafat 16, no. 2 (2019): 247–266.
11
Ramadhan Adi Putra and Wakhit Hasim, “EPISTEMOLOGI PEMIKIRAN ABU BAKAR
MUHAMMAD BIN ZAKARIA AL-RAZI TENTANG KENABIAN,” JURNAL YAQZHAN: Analisis
Filsafat, Agama dan Kemanusiaan 5, no. 2 (2019): 61–75.
12
Muhammad Azhari, “KONSEP PENDIDIKAN SAINS MENURUT AL-RĀZĪ (Tela’ah
Terhadap Tafsir Mafātīḥ Al-Ghayb),” Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 1 (2013): 42–57; Anas Shafwan
Khalid, “METODOLOGI TAFSIR FAKHRU AL-DIN AL-RAZI: Telaah Tafsir QS. Al-Fatihah Dalam
Mafatih Al-Ghayb,” Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 3, no. 01 (2018); Gista Naruliya
Siswanti, “Eksistensi Dan Konsep Syifa’dalam Tafsir Fakhrudin Al-Razi,” Al-Mada: Jurnal Agama,
Sosial, Dan Budaya 2, no. 2 (2019): 1–16; Puput Mainingsih and Lc Ahmad Nurrohim, “Penafsiran Fakhr
Al-Din Al-Razi Terhadap Nafs Mutmainnah Dalam Tafsir Mafatih Al-Gaib” (Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2020)..
13
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001), hlm.
39–40.
14
Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Teologi Ibn Rawandi Dan Abu Bakr
Ar-Razi (Yogyakarta: LKIS, 2013).
163
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
Razi sebagai sumber primer dan literatur-literatur lain yang berkaitan dengan objek
penelitian sebagai sumber rujukan sekunder.
15
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof Dan Filsafatnya, Cet, V. Jakarta: Rajawali Pers, 2012,
hlm. 113; Hambali Hambali, “PEMIKIRAN METAFISIKA, MORAL DAN KENABIAN DALAM
PANDANGAN AL-RAZI,” SUBSTANTIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 12, no. 2 (2010): hlm. 367.
16
Abdul Hayyie al-Kattani Wardi, “Konsep Jiwa Menurut Fakhruddin Ar-Razi,” Prosiding dari
Diskusi Dwipekan Insist (Jakarta Selatan, 22 Agustus 2015), hlm. 1.
17
Epitre de Biruni, contenant le repertoire des ouvryes de Muhammad ibn Zakariya ar-Razi,
(publiee par Kraus, Paris, 1936), hlm. 4; Badawi, “Muhammad Zakaria Ar-Razi” Dalam A History of
Muslim Philosophy: With Short Accounts of Other Disciplines and the Modern Renaissance in Muslim
Lands, hlm. 434.
18
Ia belajar Kedokteran pada Ali ibn Rabban al-Thabari (192-240 H/ 808-855 M), belajar
Filsafat kepada Al-Balakhi, Ibid., 436.
164
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember) 2020, p. 159-177.
mendalami ilmu kedokteran dan filsafat19 mengingat biaya berobat yang tidak lagi dapat
dipandang bersahabat.
Berkat kepiawaannya dalam bidang kedokteran pada tahun 290 H/ 902 M. ar-
Razi diberikan amanah untuk memimpin rumah sakit oleh Gubernur Ray yang ketika
itu, diperintah oleh Mansyur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Asad selama 6 tahun (290-296 H/
902 908 M). Di samping menjadi seorang direktur dan dokter tidak mengurangi
produktifitasnya dalam menulis sehingga pada masa itu juga ia berhasil menulis kitab
al-Thibb al-Mansuri yang dipersembahkan kepada sang gubernur.
Kemudian ar-Razi hijrah dari Rayy ke Baghdad atas panggilan dari khalifah Al-
Muktafi (289-295 H/ 901-908 M) untuk memimpin rumah sakit di sana. Dalam
menjalani prosfesinya sebagai dokter, ia dikenal sangat pemurah bagi mereka yang
benar-benar tidak mampu, memberikan secara cuma-cuma untuk proses penyembuhan
pasiennya. Tidak heran jika banyak orang yang mengakui kejeniusannya dalam bidang
ini, sebut saja al-Hitti mengatakan bahwa Al-Razi adalah seorang dokter yang paling
besar dan paling orisinal dari seluruh dokter muslim, dan juga seorang paling produktif.
Ia kadang-kadang dijuluki The Arabic Galen.20
Sejak wafatnya khalifah al-Muktafi, beliau kembali ke kota kelahirannya, Rayy
dan meninggal di sana di usianya yang ke-62 Tahun, pada 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober
925 M. Akibat penyakit katarak yang diderita.21 Konon karena keseriusan dan
kegigihannya dalam belajar menjadi salah satu penyebab penyakit kataraknya. Dan ia
berwasiat kepada murid-muridnya bahwa jika saja ia meninggal dunia untuk diam-diam
tanpa ada satu pun menyiarkannya, mengkafani dan menguburkannya sesuai syariat,
dan untuk dibawa menuju gunung masoqib, terletak di desa Muzdaakhon.22 Pada saat
kematiannya, murid-muridnya melaksanakan apa yang menjadi wasiat terakhirnya, ia
dikubur di siang hari.23 Namun ada perbedaan pendapat mengenai letak di mana ia
dikuburkan. Abu Abbas Ahmad ibn Khallikan mengatakan ia dikuburkan sebagaimana
19
Zar, Filsafat Islam; Filosof Dan Filsafatnya, Cet, hlm. 113–114.
20
Hambali, “PEMIKIRAN METAFISIKA, MORAL DAN KENABIAN DALAM
PANDANGAN AL-RAZI,” hlm. 367.
21
Muhammad Kamil Uwaydah, Ar-Razi: Al-Faylasuf Al-Thib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1983), hlm. 3.
22
Dekat dengan kota Herat salah satu kota di Afganistan
23
Wafayat al-A'yan, hlm. 252; Al-Husein Abdul Fattah Gado, 2001, Al-Fikru Al-Akhlaqi Inda
Fakhr Ad-Din Ar-Razi, Tesis. Fakultas Dar al-Ulum, Universitas Kairo, hlm. 14.
165
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
Etika Vs Moral
Hal ini yang menjadi titik tekan kemudian, yang cukup menuai problem dalam
memahami suatu konsep etika seorang tokoh yang seringkali memiliki makna yang
kabur. Tidak heran jika dalam penggunannya seringkali tertukar satu dengan lainnya,
sebut saja moral dan etika. Penulis tidak akan membahas secara detail dan mendalam
perbedaan keduanya. Hanya saja sebagai dasar pijakan untuk memahami gradual
berikutnya apa etika itu sendiri? Dan apa definisi moral? Lalu apa perbedaannya?
Jika kita perhatikan dari sektor kata, kedua istilah ini secara etimologi memiliki
arti yang sama. Hanya saja, bahasa asalnya yang berbeda; pertama, etika yang berasal
dari bahasa Yunani dan kedua moral yang berasal dari bahasa Latin 26 yang memiliki arti
adat kebiasaan.
Secara terminologis telah banyak dirumuskan para pakar dengan berbagai
macam redaksi yang berbeda akan tetapi esnsinya tetap mengarah pada maksud yang
sama. Sidi Gazalba menyatakan bahwa etika merupakan teori tentang laku perbuatan
manusia dipandang dari nilai baik dan buruk sejauh dapat ditentukan akal.27 Sedang
menurut Louis O. Kattsof, etika adalah cabang aksiologi yang pada pokoknya
membicarakan masalah predikat-predikat nilai betul (right) dan salah (wrong), dalam
arti susila atau moral dan tidak susila immoral.28 Adapun batasan etika adalah usaha
untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan bagaimana ia harus
hidup kalau ia mau menjadi baik.29 Dengan demikian dalam pengertian di atas etika
tidaklah berbeda dengan filsafat moral atau pemikiran kritis atas moral.
Untuk meninjau lebih jauh perbedaan antara etika dan moral agar memahami
arah kerangka pembahasan selanjutnya. Moral lebih bersifat praktis, sementara etika
bersifat teoritis. Moral membicarakan apa adanya, Etika membahas apa yang
24
Al-Husein Abdul Fattah Gado, Al-Fikru Al-Akhlaqi Inda Fakhr Ad-Din Ar-Razi, hlm. 14.
25
Ibid.
26
Kees Bertens, Etika K. Bertens, vol. 21 (Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 4.
27
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid 1. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 34.
28
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, Cet ke-7. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2016), hlm. 349.
29
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Kanisius,
1987), hlm. 17.
166
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember) 2020, p. 159-177.
seharusnya. Jadi kata moral mengacu pada baik buruknya manusia terkait dengan
tindakannya, sikapnya, dan cara mengungkapkannya sebagai wacana normatif tetapi
tidak selalu harus imperatif.30
Sementara etika biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis atas moral. Etika
dipandang sebagai seni hidup bahagia dalam mencapai bagaimana manusia harus hidup
agar kehidupannya benar-benar baik dan bermutu. Lanjut Sidi Gazalba pun tidak jauh
berbeda mengatakan; etika itu menyelidiki, memikirkan dan mempertimbangkan
tentang yang baik dan yang buruk, moral menyatakan ukuran yang baik tentang
tindakan manusia dalam kesatuan sosial tertentu. Namun, pada intinya etika
memandang laku-perbuatan manusia secara universal, moral secara tempatan, moral
menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.31
Jika dipetakan perbedaan secara mendasar antara moral dan etika akan seperti
berikut;
Etika Moral
Bersifat teoritis Bersifat praktis
Membicarakan apa yang seharusnya Membicarakan apa adanya
Refleksi filosofis atas moral atau Lebih menitiktekankan pada baik
pemikiran kritis terhadap moral buruknya suatu tindakan
30
Imam Iqbal, “Menjelajahi Etik: Dari Arti Hingga Teori” Dalam Etika: Prespektif, Teori, Dan
Praktik, ed. H. Zuhri (Yogyakarta: FA Press, 2016), hlm. 8.
31
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Teori Nilai, Jilid IV. (Jakarta: Bulan
Bintang, 2002), hlm. 50.
32
Thérèse-Anne Druart, “Al-Razi’s Conception of the Soul: Psychological Background to His
Ethics,” Medieval Philosophy & Theology 5, no. 2 (1996): hlm. 247; Badawi, “Muhammad Zakaria Ar-
Razi” Dalam A History of Muslim Philosophy: With Short Accounts of Other Disciplines and the Modern
Renaissance in Muslim Lands, hlm. 446; Fakhry, al-Fikru al-Akhlaqi al-Arabi, hlm. 263 Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronlogis, hlm. 37–38; Zar, Filsafat Islam; Filosof Dan Filsafatnya, Cet.
167
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
menyuguhkan aneka pertanyaan perihal jiwa.33 Sementara dalam Philosophic Life bagi
Duart memberikan pembenaran filosofis tertinggi untuk prinsip dasar The Spiritual
Medicine.34
Kehidupan yang benar-benar filosofis bukanlah tiruan dari cara hidup (way of
life) Socrates semata, melainkan dari atribut pengetahuan, keadilan, dan belas kasihan
Tuhan. Bagi al-Razi, meniru Tuhan berarti menghidupkan kembali perlakuan belas
kasih Tuhan jiwa kosmis dan bantuan-Nya dalam mewujudkan proyek konstitusi
dunia.35
Terdapat beberapa corak yang mempengaruhi konsep etikanya. Dengan
meminjam pendapat tokoh demi tokoh dan membubuhinya dengan ide-ide orisinal ar-
Razi sendiri sehingga terbentuk frame pemikiran etikanya. Paling tidak Ada 3 corak
pemikiran yang sangat berpengaruh besar dari konstruksi berpikir etikanya
1. Epicurian
Lenn E. Goodman menyebutnya sebagai seorang penganut Epicurianisme,
dalam menyusun konsepsi etikanya banyak mengandung unsur-unsur Epicurus.36 Etika
yang memiliki orientasi sebagai seni hidup menuju bahagia. Bagi Epicurus, yang baik
itu adalah menghasilkan nikmat, sementara yang buruk adalah apa yang menghasilkan
perasaan tidak enak.37 Meskipun tidak sehedonis Aristippos. Baginya hakikat
kenikmatan itu sendiri lebih cenderung pada ketenangan jiwa.38 Epicurus membedakan
antara keinginan alami yang perlu, keinginan alami yang tidak perlu, dan keinginan
yang sia-sia.39 ar-Razi pun tidak jauh berbeda dengan pola etika yang dibangun
Epicurus. Lanjut ar-Razi pembersihan jiwa (Thaharah an-Nafs) atau pembersihan
segala yang berkaitan dengan jiwa merupakan salah satu instrumen untuk menjadikan
manusia lebih memahami hakikat nilai kemanusiaan dan tidak melupakan peran
33
Thérèse-Anne Druart, “The Ethics of Al-Razi (865-925?),” Medieval Philosophy & Theology
6, no. 1 (1997): hlm. 59.
34
Thérèse-Anne Druart, “The Ethics of Al-Razi (865-925?),”, hlm. 53.
35
Druart, “Al-Razi’s Conception of the Soul: Psychological Background to His Ethics,” hlm.
262.
36
Lenn Evan Goodman, “The Epicurean Ethic of Muḥammad Ibn Zakariyâ’Ar-Râzî,” Studia
Islamica (1971): 5–26.
37
Franz Magnis-Suseno, Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad Ke-19 (Kanisius, 1997), hlm. 49.
38
Franz Magnis-Suseno, Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad Ke-19, hlm. 49..
39
Bertens, Etika K. Bertens, 21: hlm. 237.
168
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember) 2020, p. 159-177.
manusia sebenarnya sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah fi al-ard).40 Memang tidak
dapat dipungkiri pengaruh jiwa dalam pemikiran etika ar-Razi. Jiwa bagi ar-Razi
merupakan ()كمال أول جسم طبيعي ذى حياة بالقوة41 definisi ini persis sama dengan definisi yang
digunakan Aristoteles.42
Jiwa bagi ar-Razi identik dengan sesuatu yang berbeda dari tubuh dan bagian-
bagiannya.43 Bahkan lebih lanjut lagi, ar-Razi menyatakan bahwa jiwa tidak mengalami
kematian, hal ini ia landaskan pada ayat suci Alquran surah al-Fajr ayat 27-28.44 Ia
memberika komentar bahwa jiwa itu abadi dan tidak mati bersama dengan kematian
tubuh. Dengan kata lain ia kembali dari tubuh menuju kesalehan dan rahmat.45
Pengaruh kekuatan jiwa sedikit banyak mempengaruhi kerangka pemikirannya.
Filsafat moral dalam Islam tidak hanya membicarakan tindakan yang baik yang
dilakukan manusia. Namun, sekaligus “mengharuskan” manusia untuk selalu berbuat
kebaikan46 yang orientasinya menuai kebahagiaan. Hal ini yang kemudian disebut Lenn
E. Goodman bahwa ar-Razi banyak dipengaruhi Epicurus yang lebih menekankan pada
dimensi ruhani. Sama halnya dengan Therese-Anne Druart memberikan statement dari
konsepsi jiwa ar-Razi lah merupakan bangunan dasar dari filsafat moralnya atau sebagai
latar belakang terbentuknya konsep etika yang digagas.47
Ar-Razi juga mengatakan bahwa kebebasan jiwa itu akan diperoleh melalui
filsafat yang telah dibentangkan oleh orang-orang Yunani. Baginya orang Yunani ialah
40
Al-Husein Abdul Fattah Gado, “Al-Fikru Al-Akhlaqi Inda Fakhr Ad-Din Ar-Razi,” hlm. 35.
41
Fakhruddin Ar-Razi, Al-Mabahits Al-Masyriqiyyah Fi I’lmi Al-Ilahiyyat Wa at-Thaba’iyyat,
Vol. 2. (Maktabah al-Asadi, 1966), hlm. 223; Wardi, “Konsep Jiwa Menurut Fakhruddin Ar-Razi,” hlm.
3.
42
“Soul is the first entelechy of a natural body endowed with the capacity of life” lihat,
Aristotle’s Psychology, A Treatise on the Principle of Life (De Anima and Parva Naturalia), Aristotle,
translated with introduction and notes by William Alexander Hammond, M.A., Ph.D., London, Swan
Sonnenschein & Co., LIM, New York, the Macmillan Co., 1902, h. 44-45; Wardi, “Konsep Jiwa Menurut
Fakhruddin Ar-Razi,” hlm. 3.
43
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghayb, Jilid 21. (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), hlm. 402;
Fakhruddin Ar-Razi, Kitab An-Nafs Wa Ar-Ruh Wa Syarh Quwwahuma (Pakistan: Matbu’at Ma’had al-
Ibhast al-Islamiyah, 1968), hlm. 30.
44
)72-72 : (سورة الفجر. ارجعى إلى ربك راضية مرضية،يأيتها النفس المطمئنة
45
Ar-Razi, Kitab An-Nafs Wa Ar-Ruh Wa Syarh Quwwahuma, hlm. 44.
46
Mustain, “Etika Dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim Tentang
Kebahagiaan,” hlm. 196.
47
Druart, “Al-Razi’s Conception of the Soul: Psychological Background to His Ethics,” hlm.
245.
169
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
bangsa yang tulus mengabdi pada kebijaksanaan.48 Sebagian tokoh non-filosof yang
sezaman dengannya menganggap filsafat sebagai kepiawaian bertata bahasa, bersyair,
dan beretorika. Namun, bagi para filosof sendiri orang yang paling bijaksana adalah
orang yang menguasai tata cara dan kaidah-kaidah pembuktian hingga mencapai derajat
tertinggi dalam bidang matematika, fisika, dan metafisika.49 Maka dari itu, Tuhan
menciptakan akal bertujuan untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia,
bahwa tubuh bukanlah tempat sebenarnya atau tempat kebahagiaan abadi.50
Dari epicurus lah ar-Razi banyak belajar mengenai pentingnya kebahagiaan
ruhani melebihi kenikamtan jasmani yang jasmani.
2. nailototsirA
Ada tiga karya besar Aristoteles yang membahas perihal etika: pertama, adalah
Ethika Eudemia, tidak terlalu banyak mendapat perhatian karena karya ini ditulis ketika
pemikiran Aristoteles belum matang. Dan kekurang-jelasan apakah benar buku tersebut
ditulis oleh Aristoteles sendiri;51 kedua Ethika Nikomacheia, dalam hal ini Aristoteles
ingin mempertanyakan hidup yang baik, dan bagaimana manusia mencapai hidup yang
baik atau sebaik mungkin? dan yang ketiga, Politike, merupakan kelanjutan dari Ethika
Nikomacheia namun scope fokusnya lebih menyorot pada masalah kenegaraan. Etika
dan ilmu politik sangat erat kaitannya dalam pemikiran Aristoteles.
Apapun yang bergerak dan yang dilakukan manusia pasti demi sesuatu yang
baik, demi suatu nilai. Aristoteles menyebutnya eudaimonia atau kebahagiaan sebagai
tujuan final dari tindak-tanduk kehidupan manusia. ar-Razi pun mengimani bahwa
tujuan manusia ialah kebahagiaan, namun, ia lebih menekankan pada dimensi jiwa.
Baginya kebahagiaan jiwa atau kenikmatan ruhani lebih tinggi martabatnya dibanding
kebahagiaan fisik atau kenikmatan jasmani.
Etika Nikomacheia membahas tentang keutamaan-keutamaan cukup meluas.
Setidaknya ada 11 keutamaan;52 yaitu, keberanian, penguasaan diri, kemurahan hati,
48
Ar-Razi, At-Thibb Ar-Ruhani; Fakhry, al-Fikr al-Akhlaqi al-Arabi, hlm. 263; Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronlogis, hlm. 37.
49
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronlogis, hlm. 37–38.
50
Ar-Razi, At-Thibb Ar-Ruhani, hlm. 284.
51
Magnis-Suseno, Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-
19, hlm. 29.
52
Ibid., hlm. 39.
170
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember) 2020, p. 159-177.
kebesaran hati, budi luhur, harga diri, sikap lemah lembut, kejujuran, keberadaban, serta
secara panjang lebar mengenai keadilan dan persahabatan. Lalu lanjut Aristoteles
mempertajam analisis pahamnya tentang keutamaan.
Keutamaan bagi Aristoteles merupakan titik tengah antara kedua kubu ekstrem,
tidak terlalu ekstrem kiri maupun ekstrem kanan, terlalu atas atau bawah. Melainkan
berdiri di titik tengah di antara keduanya. Atau keutamaan lebih dipahami sebagai sikap
netral atau seimbang. Keberanian misalnya; akan menjadi suatu keutamaan ketika tidak
terlalu ekstrem. Jika saja berlebih takaran keberaniannya akan berujung nekat anarkis
maupun yang ekstrem kurang akan berujung pengecut. Keberanian terletak di tengah
antara sikap nekat dan sikap pengecut. Dalam hal konsep sejajar (wasathiyah) ini ar-
Razi sependapat dengan Aristoteles. Dengan menawarkan konsep wasatiyyahnya yang
sejalan dengan pemikiran Aristoteles. Maka dari itu, dalam segala hal yang jika
dilakukan secara berlebihan dapat menjurus pada keburukan dan begitu pula sebaliknya
akan menuai keburukan.
Cara terbaik yang ditawarkan ar-Razi adalah menempatkan porsi dan proporsi
masing-masing dengan bijak dan tepat. Dengan demikianlah kemoderatan yang
dimaksud sebagai temuan puncak kesenangan.53 Artinya jangan sampai membunuh
nafsu, dan tidak pula terlalu mengumbarnya. Segala sesuatu memiliki porsinya sesuai
waktu dan kondisi dengan cara mengambil seperlunya bukan karena keinginan
melainkan suatu kebutuhan.
Konsep etika ar-Razi yang bercorak teleologis dengan maksud suatu nilai dapat
dikatakan baik atau buruk bergantung pada konsekuensi akhir dari tindakan moral
tersebut. Seperti halnya perbuatan kikir, ar-Razi tetap mengakui bahwa kikir merupakan
perbuatan yang tercela. Namun ia melihat kikir dari niat dan konsekuensi akhir dari
tindakan tersebut. Apabila kikir dengan dalih kesenangan semata untuk memperkaya
diri akan ternilai buruk. Sebaliknya akan bernilai tidak buruk jika berniat untuk
menghemat diri karena khawatir di kemudian hari ada hal yang tidak diinginkan terjadi.
Begitu pula dengan sifat dermawan, akan bernilai baik jika sesuai dengan jalan
keselarasan/kesejajaran. Bederma memang sifat yang baik, namun jika terlalu
53
Lenn Evan Goodman, “Muuhammad Ibn Zakariyya Al-Razi” Dalam History of Islamic
Philosophy, ed. Sayyed Hosen Nasr & Oliver Leaman, Part I. (London & New York: Routledge, 1996),
hlm. 209.
171
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
berlebihan sehingga tiada lagi barang/sesuatu yang dipunya untuk didermakan. Hal ini
pun akan berdampak buruk bagi dirinya dan boleh jadi terhadap keluarganya. Ar-Razi
menyebutnya ta’dil al-af’al al-nufus sebagai penyeimbang perbuatan jiwa.54
Dalam prinsip keseimbangannya ar-Razi menekankan pada balancing antara
mental atau psikis dan jasmaninya.55 lalu, keseimbangan psikis dan fisik menjadi syarat
utama bagi upaya proses pembangunan kepribadian yang bermoral. Konsep moral ini
bertumpu pada keseimbangan jiwa atau dalam bahasa ar-Razi disebut sebagai ta’dil al-
af’al al-nufus tadi.
3. nrolarsirA
Selain merupakan seorang rasionalis murni, ia juga pendukung naturalisme
kuno. Prinsip keseimbangan secara naturalistik dan kosmologis yang digunakan ar-Razi
dalam perumusan prinsip-prinsip etika dalam konsep keseimbangan fisik dan ruhani
tadi tidak juga mengenyampingkan peran akal. Ia lebih menekankan pada pendekatan
burhani daripada mengedapankan nash-nash Alquran dan hadits. Misalnya sebuah
pendekatan kefilsafatan yaitu mengedepankan peran penting akal untuk memahani
berbagai fenomena alam, membongkar segala misterinya. Dengan asumsi bahwa akal
tidak akan bertentangan dengan nash-nash keagamaan, sebaliknya nah-nash itu tidak
akan bertentangan dengan hukum-hukum akal.
Akal bagi ar-Razi menempati tempat khusus untuk melacak lebih lanjut
naturalisme ar-Razi.56 Baginya, akal merupakan anugerah Tuhan yang paling berharga,
dalam membantu memahami dan membaca kehidupan yang terjadi, dan memungkinkan
manusia untuk meningkatkan derajat hidupnya. Mengelola dan merawat alam dan
seisinya sebagai wakil Tuhan (khalifah fil ard). Hal inilah yang membedakan manusia
dengan mahluk lainnya. Pandangan inilah yang mewarnai setiap aspek pemikiran ar-
Razi baik dalam persoalan-persoalan metafisik, manusia, keagamaan, bahkan dalam
persoalan moral. Paparan di atas pun menunjukkan bagaimana akal direpresentasikan
secara alamiyah dan naturalistik.
54
Ar-Razi, At-Thibb Ar-Ruhani, hlm. 42.
55
Goodman, “The Epicurean Ethic of Muḥammad Ibn Zakariyâ’Ar-Râzî,” hlm. 4.
56
H. Zuhri, “Naturalisme Abu Bakr Ar-Razi” Dalam Filsafat Islam:Trajektori, Pemikiran, Dan
Interpretasi, ed. H. Zuhri (Yogyakarta: FA Press, 2015), hlm. 128.
172
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember) 2020, p. 159-177.
57
H. Zuhri, “Naturalisme Abu Bakr Ar-Razi” Dalam Filsafat Islam:Trajektori, Pemikiran, Dan
Interpretasi, hlm. 123.
58
Lebih lanjut, “Methodological naturalism and philosophical naturalism are distinguished by
the fact that methodological naturalism is an epistimology as well as a procedural protocol, while
philosophical naturalism is a metaphysical position.” Lihat, Barbara Forrest, “Metholodological
Naturalism and Philosophical Naturalism: Clarifying and Connection”, Philo, Vol. 3, No. 2 , 2000, hlm.
9; Ibid. H.
173
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
filsafat moral sama halnya dengan metode kedokteran yang bersifat preventif dan
kuratif.59 Jika secara psikis menekankan adanya keseimbang dalam menakar setiap
tindak-tanduk moral agar tidak jatuh pada dua kutub ekstrem yang sama-sama tidak
baik. Hal yang tak kalah pentingnya dalam menjaga kesehatan tubuh harus tetap
mengontrol tubuh yang sakit dengan obat yang tepat dan sesuai dosisnya.
Naturalisme ar-Razi tampak dari deretan pengaruh Epicurus dan Aristoteles
dalam membentangkan persoalan-persoalan etika dengan merepresentasikannya secara
alamiah dan naturalistik. Bahwa kebahagiaan menurutnya yang menjadi tujuan manusia
akan tercapai apabila tindakan moral manusia itu sesuai dengan fitrahnya sendiri baik
menjadi fitrah lahir maupun batin.
Demikian pengaruh tokoh yang sangat besar pengaruhnya dalam kerangka
konsep etika ar-Razi. Melalui paradigma yang ditawarkan oleh ar-Razi tidaklah secara
fanatik menerima secara keseluruhan. Ia memberikan modifikasi yang membentuk
wajah pemikirannya sendiri sesuai dengan apa yang dipahami dan dialami. Yang
akhirnya menjadi berbeda dengan pemikiran para filosof Yunani. Ia mengambil
beberapa bagian yang menurutnya sesuai dan menolak yang baginya bertentangan. Ia
menolak pemikiran Sokrates yang spritualistis yang cenderung spiritualistik-metafisik,
menolak pemikiran Plato yang idealistik sehingga kurang berpijak pada kenyataan, dan
menolak pemikiran Aristoteles yang dikritik karena cenderung mekanistis-biologis.60
PENUTUP
Selain seorang yang penuh kontroversi di zamannya. ar-Razi merupakan seorang
intelektual muslim yang memiliki banyak kontribusi dalam membentuk eksistensi wajah
dan bentuk filsafat Islam. Dengan spirit juangnya yang tidak mengenal lelah hingga
terlahir banyak karya dari tangannya yang sangat memberikan manfaat pada masanya
dan juga setelahnya. Mulai dari yang bercorak metafisik hingga yang saitifik tidak luput
59
Mulyadhi Kartanegara, Membangun Kerangka Keilmuan IAIN Perspektif Filosofis” dalam
http://icasparamadinauniversity.wordpress.com, diunduh tanggal 27 Agustus 2013, jam 15.20 WITA.
hlm. 8; Mustain, “Etika Dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim Tentang
Kebahagiaan,” hlm. 199.
60
Goodman, “Muhammad Ibn Zakariyya Al-Razi” Dalam History of Islamic Philosophy, 209;
H. Zuhri, “Naturalisme Abu Bakr Ar-Razi” Dalam Filsafat Islam:Trajektori, Pemikiran, Dan
Interpretasi, hlm. 130.
174
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember) 2020, p. 159-177.
dari kajiannya. Khususnya pembahasan manusia yang sangat kompleks yang seringkali
menuai diskursus seiring bergulirnya peradaban.
Dalam konsep etika Abu Bakr ar-Razi, berorientasi menuju hidup bahagia, yang
tidak hanya sekedar hidup tapi juga bermakna dan memberi manfaat bagi sesama dan
berujung bahagia. Dengan lebih menekankan pada faktor psikis yang mempengaruhi
fisik dalam bersikap dan bertindak. Bagi ar-Razi kebahagian psikis atau kenikmatan
ruhani lebih mulia daripada kenikmatan jasmani.
Ada tiga aliran pemikiran yang sangat berperan penting yang menjadi corak
konsep etika ar-Razi; pertama, Epicurianisme, yang menitiktekan pada sisi kebahagiaan
spiritual (batiniah) nya; Kedua, Aristotelianisme, cenderung pada aspek keseimbang
(ta’dil al-af’al an-nufus) antara dua titik ekstrem; dan ketiga, Naturalisme, yang tidak
kalah penting untuk mencapai kebahagiaan itu dengan berlaku baik sesuai fitrah
manusia dengan menggunakan seoptimal mungkin instrumen yang dianugrahi Tuhan
sesuai dosis dan kebutuhannya. Dari ketiganya lah yang membentuk wajah dan
formulasi pemikiran etikanya. Meskipun begitu, ar-Razi tidak mengambil secara
keseluruhan secara bulat-bulat, melainkan menolak beberapa bagian, mengkritisi serta
mengevaluasi yang kurang tepat menurut selera pikirnya sesuai kebutuhan zamannya.
DAFTAR PUSTAKA
175
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
———. “The Ethics of Al-Razi (865-925?).” Medieval Philosophy & Theology 6, no. 1
(1997): 47–71.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan,
2001.
Gado, Al-Husein Abdul Fattah. “Al-Fikru Al-Akhlaqi Inda Fakhr Ad-Din Ar-Razi.”
Fakultas Dar al-Ulum, Universitas Kairo, 2001.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Teori Nilai. Jilid IV. Jakarta:
Bulan Bintang, 2002.
Goodman, Lenn Evan. “Muhammad Ibn Zakariyya Al-Razi” Dalam History of Islamic
Philosophy. Edited by Sayyed Hosen Nasr & Oliver Leaman. Part I. London &
New York: Routledge, 1996.
Iqbal, Imam. “Menjelajahi Etik: Dari Arti Hingga Teori” Dalam Etika: Prespektif,
Teori, Dan Praktik. Edited by H. Zuhri. Yogyakarta: FA Press, 2016.
Jalaluddin, Abd. “Ketenangan Jiwa Menurut Fakhr Al-Dīn Al-Rāzī Dalam Tafsīr
Mafātih Al-Ghayb.” Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 3, no. 1
(2018).
176
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember) 2020, p. 159-177.
Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat. Cet ke-7. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2016.
Kurniati, Yunita. “Keistimewaan Etika Islam Dari Etika Yang Berkembang Di Barat.”
Aqlania 11, no. 1 (2020).
———. Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19.
Kanisius, 1997.
Marpaung, Irwan Malik. “Melihat Sekilas Imam Fakhral-Din Al-Razi (544-606 H/1149-
1209 M).” Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 12, no. 1 (2014):
155–170.
Mustain, Mustain. “Etika Dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof
Muslim Tentang Kebahagiaan.” Ulumuna 17, no. 1 (2013): 191–212.
Nasution, Hasyim. Filsafat Islam. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 1999.
Siswanti, Gista Naruliya. “Eksistensi Dan Konsep Syifa’dalam Tafsir Fakhrudin Al-
Razi.” Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya 2, no. 2 (2019): 1–16.
Stroumsa, Sarah. Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Teologi Ibn Rawandi Dan Abu
Bakr Ar-Razi. Yogyakarta: LKIS, 2013.
Uwaydah, Muhammad Kamil. Ar-Razi: Al-Faylasuf Al-Thib. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1983.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam; Filosof Dan Filsafatnya, Cet. Jakarta: Rajawali Pers.
Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
177
Ali Yazid Hamdani: Konsep Etika Muhammad Ibn Zakriyya ar-Razi
178