Anda di halaman 1dari 14

STUDI ISLAM DALAM PENDEKATAN ILMU KALAM

Dibuat guna Memenuhi Tugas Studi Mapel Studi Islam


Tahun Akademik 2022/2023 pada program Magister
Pendidikan Agama Islam
IAIN Syekh Nurjati

Dosen Pengampu : Dr. H. Kambali, M.Pd.I

Oleh:
Iqbal Ali Amrulloh, S.Ag
Nomor NIM : 2286030033

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI
BANDUNG
1444 H/2023
Pendekatan Teologis

Pendekatan Teologis dalam Metodologi Studi Islam

Oleh: Iqbal Ali Amrulloh, S.Ag

1. Pendahuluan

Di era posmodernisme1 ini pembahasan mengenai “agama” kembali


muncul ke permukaan. Bahkan, agama menjadi sorotan utama (objek kajian yang
paling diminati) oleh berbagai peneliti di berbagai belahan dunia. Hal itu karena
eksistensi agama yang dahulu diprediksi akan tergilas oleh kekuatan ideologi dan
kemajuan ilmu pengetahuan, justru semakin bersinar terang.

Fenomena ini pada akhirnya mendorong penelitian ilmiah terhadap agama.


Pendekatan terhadap agama mengalami perkembangan signifikan. Hal tersebut
diindikasikan dengan pendekatan terhadap agama yang tidak hanya memusatkan
pada aspek teologis, tapi merambah pada disiplin ilmu-ilmu humaniora lainnya.

Prof.Dr.Mukti Ali, pada tahun 1970-an, mengatakan bahwa kita bisa


meneliti agama, termasuk Islam. Dengan kata lain, agama dapat dijadikan objek
kajian (penelitian). Ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau
kita hendak mempelajari suatu agama, termasuk Islam. Pertama, scripture atau
naskah-naskah (sumber ajaran) dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut
atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para
penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti
shalat, haji, puasa, perkawinan, dan waris. Keempat, alat-alat, seperti, masjid,
gereja, peci, loceng, dan lainnya. Kelima, kelompok-kelompok atau organisasi-
organisasi keagamaan, seperti Nahdatul Ulama, Katolik, Protestan,

1
Di era ini, narasi-narasi kecil kembali muncul ke permukaan; tidak ada kebenaran
mutlak.

1
Pendekatan Teologis

Muhammadiyah, Sunni, Syi’ah, dan lain-lain.2 Oleh karena itu, penelitian


keagamaan dapat mengambil salah satu dari lima bentuk gejala ini.

Pada makalah ini, penulis berencana mengangkat “pendekatan teologis”


dalam studi agama. Namun, kami hanya memfokuskan pada “pendekatan teologis
dalam studi agama Islam”. Adapun latar belakang kami memilih tema ini adalah
karena pendekatan teologis merupakan pendekatan yang paling esensial dalam
mendekati agama. Bahkan, dengan tegas Thomas Aquinas pernah berujar bahwa
teologi adalah queen of science.3 Walaupun, pada kenyataannya kita tidak bisa
memungkiri bahwa pendekatan teologis merupakan pendekatan yang sudah usang
dalam penelitian agama Islam. Kini peneliti lebih tertarik untuk mengkaji agama
(dalam hal ini agama Islam) dengan menggunakan pendekatan antropologis,
fenomenologis, feminis, sosiologis, dan lainnya yang berkaitan dengan ilmu
humaniora.

2. Pembahasan
2.1. Teologi Islam (Ilmu Kalam)

Teologi berasal dari kata Yunani, yakni “logy” dan “theos”. Dalam bahasa
Indonesia menjadi teologi. “Logy” atau “logos” berarti “percakapan”,
“pengkajian” dan “penelitian”. Sedangkan “theos” berarti “Tuhan” atau sesuatu
yang berkenaan dengan Tuhan. Jadi, Teologi dalam bahasa Yunani adalah
penelitian secara rasional segala sesuatu yang berkenaan dengan ke-Tuhanan.
Dengan kata lain, teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari
pengetahuan tentang hakekat Tuhan serta keberadaan-Nya.

Pada hakekatnya, Ilmu Teologi membahas berbagai masalah ketuhanan


dengan menggunakan logika dan filsafat. Akan tetapi secara teoritis khusus untuk
aliran salaf tidak dapat dikelompokkan pada aliran Ilmu Kalam sebab ia dalam

2
Lihat H.M.Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam : dalam Teori dan Praktek, 1998, hlm.
13-14.
3
Lihat V.J.Bourne, Aquinas’ Search for Wisdom, Milwaukee : Bruce, 1965.

2
Pendekatan Teologis

masalah-masalah ketuhanan tidak menggunakan argumentasi filsafat dan logika.


Dan ia hanya cukup dikategorikan pada aliran Ilmu Tauhid atau Ilmu Ushuluddin.

Dalam sejarah Islam, pergulatan pemikiran dalam disiplin ilmu kalam atau
teologi demikian polemis. Perdebatan di bidang ini menyentuh bidang yang paling
prinsip yakni soal keberimanan seseorang terhadap Tuhan dan segala aspek yang
berkaitan dengan hal tersebut. Pada perkembangannya, di dalam teologi Islam
dijumpai berbagai aliran kalam atau teologi, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah,
Khawarij, Murji’ah dan Syi’ah.4 Adapun pembahasan yang diusung dalam aliran
teologi dalam dunia Islam menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Konsep Iman
2. Konsep Keesaan
3. Konsep Kehendak Mutlak Tuhan
4. Konsep Kehendak Bebas Manusia
5. Konsep Keadilan Tuhan
6. Konsep Kasb Manusia
7. Konsep Melihat Tuhan di Akhirat
8. Konsep Janji dan Ancaman Tuhan
9. Konsep Urgensi Wahyu
10. Konsep Status al-Qur’an5

Para filosof lslam terdahulu menjadikan Tuhan, alam dan manusia (Theo,
cosmos dan antrophos) sebagai alat untuk menganalisa dirinya sendiri yang tidak
dimiliki oleh mahluk lainnya. Sebab dengan metode ini para ahli teologi tidak
hanya membicarakan bagaimana sesungguhnya manusia berbicara tentang Tuhan;
teologi juga berbicara lebih jauh tentang bentuk-bentuk ekpresi yang lebih baik
dan ekpresi yang lebih buruk serta mencari defenisi yang berimbang mengenai
pembicaraan khusus tentang Tuhan. Sementara itu, Jan Hendrik Rapar
mengungkapkan bahwa teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang
mempelajari dan mencari tahu tentang hakekat, makna dan eksistensi Tuhannya

4
Lihat Harun Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: UI Press, 1978, cet.I, hlm.32.
5
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, hlm.84

3
Pendekatan Teologis

dalam kehidupan keseharian, oleh sebab itu pembicaraan tentang Tuhan menjadi
tetap aktual setiap waktu yang tidak pernah lesu.

2.2. Pendekatan Teologis dalam Studi Agama Islam

Seyyed Hossein Nasr mengungkapkan bahwa dalam era kontemporer ini


ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan
fundamentalis, modernis, mesianis, dan tradisionalis. Masing-masing mempunyai
“keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Dalam hal ini
memang kurang tepat digunakan istilah teologi, tetapi menunjuk pada gagasan
pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman
kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu merupakan bentuk dari pemikiran
teologi dalam wajah baru.6

Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam


pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma
atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai
yang paling benar, sementara yang lainnya salah. Dengan demikian, antara satu
aliran dengan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai; yang ada
hanyalah eksklusifisme, sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-
kotakan.

Atas dasar pemaparan di atas, maka pendekatan teologis dalam memahami


agama merupakan upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu
Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang
lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, pasti mengacu kepada
agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi
yang tinggi serta penggunaan bahasa yang subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku,

6
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm.29. Selanjutnya disebut sebagai Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam.

4
Pendekatan Teologis

bukan sebagai pengamat merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran
teologis.7

Berkaitan dengan hal tersebut, Amin Abdullah mengatakan, yang menarik


perhatian sekaligus perlu dikaji lebih lanjut adalah mengapa ketika archetype atau
form keberagaman manusia telah terpecah dan termanifestasi dalam “wadah”
formal teologi atau agama tertentu, lalu wadah tersebut menuntut bahwa
“kebenaran” yang dianutnya adalah yang paling benar.

Fenomena “mengklaim kebenaran” (truth claim), yang menjadi sifat dasar


teologi, tentu berimplikasi pada pembentukan mode of thought yang bersifat
partikularistik, eksklusif, dan intoleran. Mode of thought seperti ini lebih
menonjolkan aspek perbedaan dengan menutup rapat aspek persamaan. Oleh
karena itu, merupakan tugas mulia bagi para teolog yang berupaya memperkecil
kecenderungan tersebut dengan cara memformulasikan kembali khazanah
pemikiran teologi dengan mengacu pada titik temu antar penganut teologi.

Pada kenyataannya, teologi sering berpusat pada persoalan doktrin,


termasuk dalam studi Islam. Gagasan tentang teologi dalam tradisi keagamaan
juga cenderung menitikberatkan elemen konseptual dalam agama sebagai sesuatu
yang lebih sentral dibandigkan dengan praktik, spiritualitas, atau perilaku.8 Selain
itu, teologi juga berkepentingan dengan transedensi per se.9

Dewasa ini muncul teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk
memahami penghayatan “iman” atau penghayatan “agama”nya, suatu penafsiran
atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa
kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub : teks dan situasi; masa lampau
dan masa kini. Hal yang demikian niscaya ada dalam setiap agama meskipun
dalam bentuk dan fungsinya yang berda-beda. Begitu juga dalam agama Islam.

7
Eric J.Sharpe, Comparative Religion of History, London : Duckworth, 1986, hlm.313.
8
Lihat Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : LKiS, 2009,
hlm.320. Selanjutnya disebut sebagai : Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama.
9
Lihat Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm.320

5
Pendekatan Teologis

Selain itu, Frank Whaling mengungkapkan bahwa telah muncul suatu


pandangan baru tentang teologi dalam pandangan dunia (world view) global
kontemporer saat dan berusaha mengonseptialisasikan kategori-kategori teologis
universal guna memenuhi kebutuhan dunia. Ada tiga hal yang ditekankan oleh
pandangan ini; Pertama, teologi senantiasa berkaitan dengan Tuhan atau
transendensi, dilihat secara mitologis, filosofis, atau dogmatis. Kedua, doktrin
tetap menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi. Ketiga, teologi
sesungguhnya adalah aktivitas (second order activity) yang muncul dari keimanan
dan penafsiran atas keimanan.10

Selanjutnya, sistem teologis dan bentuk konseptual mengalami


perkembangan. Ia berubah menurut konteks kultural dan concern kontemporer
dalam lingkaran historis yang terus berjalan. Dalam Islam, penekanan pada Allah
sebagai yang transenden; hanya Allah yang dimediasikan lewat al-Qur’an melalui
Muhammad; dan penekanan pada rukun Islam serta syari’ah (hukum Islam)
sebagai kunci bagi kehidupan yang benar, tetap, dan tidak berubah.11

2.3. Beragam Pendekatan Teologis dalam Studi Agama

A. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya


memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap yang
paling benar bila dibandingkan dengan elemen lainnya.12 Model pendekatan ini,
oleh Muh.Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan teologis-apologis. Hal itu
karena pendekatan ini cenderung mengklaim diri sebagai yang paling benar.
Selain itu, pendekatan teologis normative memandang yang berada di luar dirinya
sebagai sesuatu yang salah, atau minimal keliru.
10
Lihat Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm.319
11
Lihat Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm.331
12
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Hlm 28.

6
Pendekatan Teologis

Dalam kerangka studi agama, normativitas ajaran wahyu dibangun,


dikemas, dan dibakukan melalui pendekatan doktrinal-teologis. Pendekatan
normatif ini berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-
masing agama. Oleh karena itu, pendekatan ini dianggap sebagai bercorak
literalis, tektualis, dan skripturalis.13

Menurut Amin Abdullah, teologi senatiasa mengacu pada agama tertentu.


Adapun ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis diantaranya adalah
loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi tinggi serta
penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan
sebagai pengamat.

Dari pemikiran tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis


normatif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan
pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing dari
bentuk forma simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang
paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin
dan fanatik bahwa pahamnya-lah yang benar, sedangkan faham lainnya adalah
salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir,
murtad dan seterusnya.

Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menuduh
kepada pihak lain sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka
terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan
demikian antara satu aliran dengan aliran yang lainnya tidak terbuka dialog atau
saling menghargai. Oleh karena itu, yang ada hanyalah ketertutupan, sehingga
yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.

Penelitian terhadap agama tertentu dengan menggunakan pendekatan


teologi normatif banyak ditemukan dalam karya-karya orientalis Kristen, yang
cenderung mendiskreditkan Islam. Mc.Donal umpamanya, seperti yang dikutip

13
Masdar Hilmi dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, Arkola Surabaya,2005,
Hlm 109. Selanjutnya disebut sebagai : Masdar Hilmi dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam.

7
Pendekatan Teologis

oleh M. Natsir Mahmud mengatakan bahwa, “Islam pada mulanya adalah ajaran
Kristen yang diselewengkan oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad.”
Islam menurutnya adalah bagian pemikiran ketimuran. Ada dua karakteristik
pemikiran ketimuran menurutnya:

1. Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain
terkungkung.

2. Tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.

Contoh tersebut hanya merupakan contoh kecil dari sederetan pandangan


subjektif Islamolog Kristen dalam memandang Islam. Pandangan seperti itu,
didasarkan pada pandangan subjektivitas tentang kebenaran agama tertentu yang
dianutnya.

Amin Abdullah, dalam hal ini mengomentari bahwa pendekatan teologi


semata-mata tidak dapat memecahkan esensial pluralitas agama dewasa ini.
Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi
pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau
kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran
teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam suatu komunitas
masyarakat tertentu.

Uraian di atas bukan mengindikasikan bahwa pendekatan teologis


normatif dalam memahami agama hampir tidak dibutuhkan. Namun, pada
kenyataannya, proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab,
sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi, sangat diperlukan untuk
mengawetkan ajaran agama. Selain itu, pendekatan ini juga berfungsi sebagai
pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal
menurut pesan dasar agama.

Jadi, pendekatan teologis memiliki arti yang berkaitan dengan aspek


ketuhanan. Sedangkan, normatif secara sederhana diartikan dengan hal-hal yang
mengikuti aturan atau norma-norma tertentu. Dalam konteks ajaran Islam,

8
Pendekatan Teologis

normatif merupakan ajaran agama yang belum dicampuri oleh pemahaman dan
penafsiran manusia.14 Dengan kata lain, pendekatan teologis normatif dalam
agama adalah melihat agama sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan,
tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak bersifat ideal. Dalam kaitan ini,
agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.

Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah


dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan
normatif lebih melihat studi Islam dari apa yang tertera dalam teks Al-Quran dan
Hadits. Pendekatan normatif dapat juga dikatakan pendekatan yang bersifat
domain keimanan tanpa melakukan kritis kesejarahan atas nalar lokal dan nalar
zaman yang berkembang, serta tidak memperhatikan konteks kesejarahan Al-
Quran. Pendekatan ini mengasumsikan seluruh ajaran Islam baik yang terdapat
dalam Al-Quran, Hadits maupun ijtihad sebagai suatu kebenaran yang harus
diterima saja dan tidak boleh diganggu gugat lagi.15

Dalam konteks agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar,


menjunjung nilai-nilai luhur. Seperti halnya dalam bidang sosial, agama tampil
menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-
menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Sementara itu,
dalam bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan,
kejujuran dan saling menguntungkan. Demikianlah, agama tampil sangat ideal dan
ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang
bersangkutan.

B. Pendekatan Teologis–Dialogis

14
Masdar Hilmi dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, hlm. 63.
15
Masdar Hilmi dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, hlm. 64.

9
Pendekatan Teologis

Pendekatan teologis–dialogis adalah mengkaji agama tertentu dengan


mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan
oleh orientalis dalam mengkaji Islam.

Seorang Islamolog Barat, Hans Kung, seperti yang disinyalir oleh M.


Natsir Mahmud, dalam berbagai tulisannya terkait dengan pengkajian Islam
menggunakan pendekatan teologis-dialogis, yakni bertolak dari perspektif teologi
Kristen. Kung menyajikan pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat
eksistensi Islam, mulai dari pandangan teologis yang intern sampai pandangan
yang toleran, yang saling mengakui eksistensi masing-masing agama.

Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung


adalah, bahwa apakah Islam merupakan jalan keselamatan? Pertanyaan ini
menjadi titik tolak untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang
menyelematkan penganutnya bila dilihat dari teologi Kristen. Kung
mengemukakan pandangan beberapa teolog Kristen, misalnya, Origan, yang
mengeluarkan pernyataan controversial, yakni “Ekstra Gelesiam Nulla Sulus”,
artinya tidak ada keselamatan di luar gereja.

Selain itu, pendekatan teologis-dialogis juga digunakan oleh W.


Montgomery Watt. Hakikat dialog menurut Watt, sebagai upaya untuk saling
mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu
sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan
agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang
bersifar apologis dari masing-masing agama.

Sementara itu, C.W. Trell mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam


tiga hal: (1) masing-masing penganut agama saling mengakui bahwa mereka
adalah pengikut Tuhan yang beriman, (2) sebagai konsekuensi dari yang pertama,
perlu merevisi doktrin masing-masing agama untuk dapat membawa pada
keimanan kepada Tuhan secara damai, (3) melakukan kritik-kritik yang
menghasilkan visi baru. Watt dalam hal ini berusaha melakukan reinterpretasi
terhadap ajaran agama yang mengandung nada apologis terhadap agama lain.

10
Pendekatan Teologis

C. Pendekatan Teologis-Konvergensi

Pendekatan teologi konvergensi" adalah merupakan metode pendekatan


terhadap agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing
agama atau aliran. Adapun maksud dari pendekatan ini ialah ingin mempersatukan
unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang
esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam
satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.

Dalam hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith


menghendaki agar penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam
dunia praktis, tetapi juga dalam pandangan teologis. Sehubungan dengan hal
tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan “di mana letak titik temu keyakinan
agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama?” Dalam hal ini
Smith terlebih dahulu membedakan antara faith (iman) dengan belief
(kepercayaan). Di dalam faith, agama-agama dapat disatukan, sedangkan dalam
belief tidak dapat menyatu.

Menurut Smith, belief seringkali normatif dan intoleran. Selain itu, belief
bersifat histotik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke
generasi yang lain. Atas dasar belief itulah penganut agama berbeda-beda, dan
dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik. Sebaliknya, dalam faith, umat
beragama dapat menyatu. Jadi, orang bisa berbeda dalam kepercayaan (belief),
tetapi menyatu dalam faith. Sebagai contoh, dalam masyarakat Islam terdapat
berbagai aliran teologis maupun aliran fiqih. Mereka mungkin penganut aliran al-
Asy'ariyah atau Mu'tazilah atau pengikut Imam Syafi'i atau Imam Hambal. Belief
mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda,
tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman). Demikian pula, antara penganut
agama, mereka berbeda dalam belief dan respon keagamaan yang berbeda, tetapi
hakikatnya menyatu dalam faith.

11
Pendekatan Teologis

Dari ketiga metode pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling
akurat dipergunakan menurut analisa penulis adalah pendekatan teologis
konvergensi, di mana pendekatan ini telah tercakup di dalamnya nilai-nilai
normatif dan dialogis. Lain halnya dengan menggunakan metode pendekatan
normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat unsur konvergensi di dalamnya.

Kesimpulan

Agama sebagai objek kajian dapat didekati dengan mempergunakan


berbagai pendekatan. Pendekatan teologi dalam memandang suatu agama atau
ajaran terkadang masih sulit untuk mewujudkan objektivitas, sebab sering seorang
peneliti dalam melakukan penelitian, diwarnai dengan pola pikir berdasarkan
doktrin yang dianutnya. Kecenderungan seperti itu, cenderung melahirkan hasil
penelitian yang bersifat apologis dan menutup mata terhadap kemungkinan
adanya kebenaran ajaran-ajaran di luar yang dianutnya.

Studi islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam


konteks untuk memahami cara mendekati islam,baik pada tataran realitas-empirik
maupun normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas. Islam tidak bisa dilihat dari
satu sudut pandang saja, seraya menafikan sudut pandang lainya yang
kehadirannya sama-sama penting. Apabila Islam hanya dilihat dari satu sisi saja,
maka akibat yang ditimbulkannya adalah reduksi dan distorsi makna. Implikasi
logis dari hal tersebut adalah gambaran Islam yang utuh, tanpa diwarnai oleh
sikap apologetik dan truth claim sepihak, akan sulit dicapai.

Perkembangan zaman yang senantiasa berubah dan disertai munculnya


berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia, akhirnya menjadi sebuah
tuntutan untuk memahami agama sesuai zamanya. Tuntutan terhadap agama yang
demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak
menggunakan pendekatan tologis-normatif dilengkapi dengan pemahaman agama
yang menggunakan pendekatan lain yang secara oprasional konseptual dapat

12
Pendekatan Teologis

memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Oleh karena itu, sebaiknya
umat Islam tidak hanya memahami Islam melalui pendekatan teologis saja, agar
pemahaman tentang Islam menjadi integral, universal, dan komprehenshif.

DAFTAR PUSTAKA

Bourne, V.J., Aquinas’ Search for Wisdom, Milwaukee : Bruce, 1965.


Buchori, Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam,

Connolly (ed.), Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : LKiS, 2009.

Hilmi, Masdar dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, Arkola, Surabaya,
2005.

Mudzhar, H.M.Atho, Pendekatan Studi Islam : dalam Teori dan Praktek, 1998.

Nasution, Harun, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: UI Press, 1978,

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,


2003.

Sharpe, Eric J, Comparative Religion of History, London : Duckworth, 1986.

13

Anda mungkin juga menyukai