This research aims to reveal three main problems; First, what is the
history of the emergence of traditionalism and rationalism in the
thinking of Islamic theology? Second, what are the characteristics of
traditionalism and rationalism in Islamic theology? Third, what are the
concepts of traditionalism and rationalism in Islamic theology? The
approach used in this research is descriptive and analytical, even to get
an ideal picture, the author also does not escape using historical
methods, especially when discussing the history of the emergence of
traditionalist and rationalist theology. The results obtained from this
study reveal that, the emergence of traditional and rational theology
originated from the polemic between the Mu'tazilah and Asy'ariyah who
opposed the problems of the kafir and mu'min, but eventually turned
into a problem of the superiority of the Mu'tazilah to the label rational
theology, and inferiority of reason to the Asy'ariyah so that it is labeled
with traditional theology. In this way, the implication, for Rational
Theology, holds that knowledge of God and good and bad can be
obtained by reason. Whereas in traditional theology is that human
reason does not have any ability except to know God alone.
Pendahuluan
Wacana terkait dengan persoalan teologi rasional dan
tradisional, sejatinya berangkat dari ajaran-ajaran Islam yang
berdimensi dua kategori; Pertama, ajaran-ajaran yang bersifat mutlak-
absolut serta kekal yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Kedua, ajaran yang
bersifat relatif-nisbi yang dapat berubah sesuai dengan konteks
perkembangan zaman. Dalam hal ini, ajaran tersebut berupa tafsir,
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |497
1
Formulasi simplistis khazanah intelektual Islam menjadi ajaran-ajaran baku,
semisal Fiqih, tafsir, teologi dan tasawuf merupakan asimilasi dan pergesekan
budaya pasca wafatnya Nabi. Lihat selengkapnya; Amin Abdullah, Studi Agama;
Historisitas dan Normativitas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 150.
2
Fathurrosyid, Humanisasi Pendidikan Agama, Radar Madura; Jawa Post
Group. Ed. Ahad, 16 Juli, 2006.
498|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
3
Mansour Faqih, ‚Teologi Kaum Tertindas,‛ dalam Ahmad Suaedy (eds.),
Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat (Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei,
1994), h. 42.
4
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bersifat pemaparan dan
bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keberadaan
komunitas tertentu yang berdiam di tempat tertentu, atau mengenai gejala sosial
tertentu, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Soerjono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), h. 50.
5
Anton Bekker, dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.43.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |499
6
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2005), h.
1090.
7
Wojowasito, Kamus Lengkap Ingris-Indonesia (Bandung: Hasta, 1982), h.
232.
500|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
8
Lorens, Kamus Filsafat,…………h. 1090.
9
William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (USA: Humanities
Press Ltd. 1980), hlm. 28
10
Lapangan Teologi bisa bercorak non agama yang merupakan bagian dari
filsafat. Akan tetapi bisa juga bercorak agama sebagai suatu intellectual expression
of religion. Karena itu, untuk pembatasan lapangan dan penetapan arti kata teologi,
biasanya dibubuhi dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Kristen,
Katolik atau Islam, bahkan dengan kualifikasi lebih terbatas lagi, seperti Teologi
Apologatik, Teologi Hukum, Teologi Sejarah dan lainnya. Lihat leblih lengkap:
Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1974), hlm. V.
11
Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat
yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang
ditiadakan darinya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz
dan muhal dari mereka. Lihat: Muhammad Abduh, Risalah. Tauhid, Terj. Firdaus An.
Bulan (Jakarta: Bintang, 1965), hlm. 25
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |501
12
Penggunaan istialah Teologi Islam sebenarnya sudah lama dikenal dalam
buku-buku Ingris, Prancis bahkan Indonesia. Trittin, misalnya, menulis buku yang
berjudul "Moslem Theology", Mac Donald "Devolepment of Moslem Theology,
Yurisprudence and Constitutional Theory", M.M. Annawati "Introduction ala
Theologie Musulmane, sedang di Indonesia ada Harun Nasution yang menulis
dengan terang-terangan dengan judul "Teologi Islam".
13
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha( Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hlm. 589.
14
Wojowasito, Kamus Lengkap,………. h. 241.
15
Istilah al-Turast ini banyak dipakai oleh ulama kontemporer untuk
menuangkan gagasannya tentang paradigma berpikir wacana ke-Islamana, seperti
Hasan Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid), Muhammed Abid al-Jabiri (al-Turats wa al-
Hadatsah), A.D. Umari (al-Turast wa al-Mu'ashirah). Lihat selengkpanya; Luthfi al-
Syaukani, "Tipologi Wacana Pemikiran Arab Kontemporer" dalam Jurnah Pemikiran
Islam PARAMADINA, Jakarta, Vol. I, Juli-Desember 1998, h. 62.
502|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
16
Mohammed Abed al-Jabiri, Post,………, h. 9-11.
17
Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 31-
33.
18
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, Cet. 6 (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 1.
19
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 123.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |503
20
Wojowasito, Kamus Lengkap,……….h. 169.
21
Binyamin Abrohamov, Islamic Theology; Tradisionalism and Rasionalism
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), h. ix-x.
22
Tentang hal ini lihat tulisan Fathurrosyid, Posisi Akal dalam Penafsiran;
Studi Analitis Tafsir bi Al-Ra'yu. Makalah disampaikan untuk memenuhi tugas mata
kulliah Tafsir, S2 IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009.
504|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
23
Dalam kondisi yang demikian, tidak heran jika pada saati itu tampil tiga
sosok pembela Utsman –dalam hal ini Thalhah, Zubair dan Aisyah- meminta pada
Ali untuk mengusut tuntas aksi pembunuhan tersebut. Namun upaya Ali untuk
berdamai, tidak mendapat respon positif dari mereka, sehingga terjadilah bentrok
yang sengit dengan nama Perang Jamal di mana perhelatan ini dimenangkan oleh
pihak Ali. Lihat selengkapnya: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo, 2000), h. 40.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |505
24
Yusran Asmuni, 1996, Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah
Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 59.
25
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul
Am (Bandung: Mizan, 2001), h. 13.
26
Fazlurrahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h.
245. Bandingkan dengn Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1985), h. 11.
27
Al-Thabari, Tarikh al-Thabari, Juz V (Kairo: Dar al-Ma'arifah, t.th.), h. 70-
71.
28
Maksud dari "dikalahkan" ini adalah kalah dalam bidang diplomasi, di
mana pihak Ali dipimpin oleh Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat Nabi tapi
terindikasi kesetiaannya pada Ali kurang begitu mendalam. Lihat lebih lengkap;
Syafi'i Ma'arif, Membumikan Islam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 92.
506|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
Syi'ah, yang pro pada Ali, sedang yang lain dikenal dengan
golongan khawarij, barisan yang kontra pada Ali.
Penerimaan arbitrase, tentu saja side effect-nya tidak
hanya kepemimpinan Ali yang tidak legitimate, namun juga
membuat "gerah" kelompok kontra arbitrase yang dipelopori oleh
Asy‟ts ibn Qayis hingga mengeluarkan fatwa bahwa orang yang
terlibat dalam keputusan tahkim, baik menyetujui dan apalagi
melaksanakannya dihukumi berdosa besar dan setiap orang yang
berdosa besar meninggal dunia tanpa tobat, maka itu adalah kafir
dan harus dilenyapkan.29 Salah-satu argumentasi mereka karena
tidak atau ingkar menjalankan kewajibannya sebagai seorang
muslim.
Berangkat dari fenomen ini, maka jelas sekali bawha
penentuan seseorang kafir atau tidak kafir yang nota bene
merupakan persoalan politik praktis, tetapi mengalami sofistifikasi
ideologi menjadi persoalan teologi. Hal ini terbukti ketika
kelompok kontra arbitrase tersebut mengklaim Ali dan Muawiyah
min ahlil kafirin.30 Kafir adalah orang yang tidak percaya,
dilawankan dengan mu‟min yang berarti orang yang percaya.31
Kedua istilah ini dalam al Qur‟an biasanya merupakan
kata antonim (musytarak).32 Kata kafir yang ditujukan pada
golongan di luar Islam, oleh Khawarij dipergunakan dengan
29
Nur Khalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), h. 12.
30
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,
1996), h. 58.
31
AW. Munawwir, Kamu al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1998),
h. 234.
32
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an; Suatu Kajian Teologis
Dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulang Bintang, 1991) hlm. 88.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |507
33
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 31.
34
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought, Terj.
Sukoyo (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 163.
35
Syi'ah secara terminologis adalah sebagaina kaum muslimin yang dalam
bidang spiritual selalu merujuk pada keturunan Nabi. Lebih lengkap lihat: Abdul
Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 89.
36
Latar belakang kemuculan Mu'tazilah ini dalam sejarah pemikiran teologi
Islam mengandung banyak versi, namun yang sering digunakan adalah versi forum
dialogis Hasan Vs Wasil. Lihat selengkapnya; Ibid., h. 77-80.
37
Tosiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Terj. Agus Fahri
(Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 53.
508|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
38
Lihat peristiwa mihnah dalam Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk,
Jilid 7 (Beirut: Mu'asasah al-a'la li al-Matbu', 1995), h. 195. Bandingkan dengan;
Komaruddin Hidayat, "Arkoun dan Tradisi Hermeneutika", dalam Tradisi,
Kemodernan dan Meta Modernisme (Jogjakarta: LKis, 1994), h. 20-30. Bandingkan
dengan : Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 268-269.
39
Term ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah banyak dipakai setelah munculnya aliran
Asy'ariyah dan Maturidiyah yang menentang ajaran Mu'tazilah. Lihat; Harun
Nasution, Teologi Islam,….h. 64.
40
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h.
75-77.
41
Pemberian nama rasionalis pada paham Mu'tazilah ini menurut observasi
Harun Nasution disamping paham ini lebih mendewakan akal, juga term-term yang
sering digunakan oleh kaum orientalis pada paham ini, semisal D.B. Macdonald.
Lihat selengkapnya; Harun Nasution, Islam,……….h. 129.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |509
42
Pembagian ini sebenarnya mengikuti alur pemikiran mainstream, walau
sebenarnya, jika dirinci mazhab ilmu kalam tak kurang dari tujuh mazhab; Khawarij,
Murjiah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, namun semua itu ada
banyak kemiripan antara satu dengan yang lain. Lihat, Afrizal M, Tujuh Perdebatan
Utama dalam Teologi Islam (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26.
43
Mu’tazilah adalah aliran yang didirikan oleh Washil bin Atha’ (80-131
H/699-748 M), kemudian didukung dan disempurnakan ajaran-ajarannya oleh tokoh
pemikir Islam yang datang sesudahnya, seperti Abu Hudzayl al-Allaf (135-226
H/752-840 M), Ibrahim al-Nazhzham (185 H-221 H/802-845 M), Abu Ali al-Jubabai
(235-303 H/849-917 M), al-Qadhi Abduljabbar (320-415 H/932-1025 M) dan al-
Zamarkhasyari (467-538/1075-1144 M). Mereka adalah ulama rasional dan kritis,
tidak hanya terhadap hadits-hadits dan cara memahami ayat-ayat dan sunnah, tetapi
juga terhadap filsafat klasik Yunani Aristoteles dan Neo-Platonis. Itulah sebabnya,
aliran ini juga disebut aliran rasionalis dalam Islam. Aliran ini sudah tidak
mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Merskipun demikian, ajarna-ajarannya
mulai muncul kembali terutama di kalangan kaum terpelajar saat ini. Lihat
selengkapnya. Lihat; Harun Nasution, Islam ………………..h. 376.
44
Maturudiyyah adalah aliran yang didirkan oleh Imam Abu Manshur al-
Maturidi (w.333 H). Aliran ini kemudian didukung oleh Abu al-Yasar al-Bazdawi
(421-493 H), Abu Ma’in al-Nasafi (438-508), dan Najm al-Din ‘Umar al-Nasafi (462-
537 H). Meskipun al-Bazdawi adalah tokoh yang mendukung aliran Maturidiyyah,
antara al-Bazdawi dan al-maturidi terdapat beberapa perbedaan pendapat dan
masalah-masalah teologi. Perbedaan antara kedua tokoh ini kemudian melahirkan
dua subaliran, yaitu aliran Maturidiyah Samarkand yang ditokohi oleh al-Maturidy
sendiri dan aliran Maturidiyyah Bukhara yang ditokohi oleh al-Bazdawi. Aliran
Maturidiyyah banyak dianut oleh kaum Muslim yang bermazhab Hanafi dalam
bidang hukum (fiqh). Lebih lengkap lihat dalam, Dr. HH. Noer Iskandar Al-Barsany,
Pemikiran Kalam Imam Abu mansur A-Maturidi; Perbandingan dengan Kalam
Mu’tazilah dan Al-Asy’ari (Jakarta: Srigunting, 2001), h. 20.
510|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
45
Asy’ariyah adalah aliran yang didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
(260-324 H/873-935 M). Aliran ini kemudian didukung dan dikembangkan oleh
ulama-ulama besar seperti al-Baqilani (w. 403 H), al-Juwaini (w.470 H), al-Ghazali
(250-505 H) dan Fakh al-Din al-Razi (544-606 H). Mesikipun Imam Asy’ari yang
telah mendirikan aliran pernah menjadi tokoh Mu’tazilah, ajaran-ajarannya banyak
bertolak belakang dengan ajaran Mu’tazillah. Aliran ini masih dominant hingga saat
ini dan dianut oleh mayoritas kaum Muslim, khususnya mereka yang bermazhab
Syafi’I dan Maliki.
46
Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya (Padang: IAIN-IB
Press, 2003) h. 4-5. Lihat juga, Harun Nasution, Islam, ……………… h. 66.
47
Prinsip metode berpikir rasional (1) Hanya terikat pada dogma-dogma dan
ayat yang Qat'i (2) Memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan
berkehendak serta memberikan daya yang kuat pada akal. Sedangkan prinsip berpikir
tradisional (1) Terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zanni (2) Tidak
memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta tidak
memberikan daya yang kuat pada akal. Lihat selengkapnya: Yunan Yusuf, Corak
Pemikiran Kalam Tafsri al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 16-17.
48
Abdul Mustaqim, Tafir Feminis Versus Tafsir Patriarki (Jogjakarta: Sabda
Persada, 2003), h. vii.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |511
49
Abdul Razak, Ilmu Kalam,……..h. 45.
50
Ulil Abshar Abdallah, Membakar Rumah Tuhan (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 110
512|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
51
Harun Nasution, Teologi,……….., h. 86-87.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |513
52
Abdul Rozak, Ilmu Kalam,…………. h. 34. Bandingkan dengan Harun
Nasution, Islam Rasional, ………h. 371-372.
53
Harun Nasution, Teologi, ……,…. h. 80.
54
Abd Al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihl (Mesir: Matba'ah
Mustafa al-Bab al-Halabi, 1967), vol. I, h. 42.
55
Ibid., h. 52.
514|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
56
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tth.), h. 69-76.
57
Abu Al-Husain al-Bashri al-Mu'tamad, Fi Ushul al-Fiqh (Damaskus: Al-
Ma'had al-Ilmi, 1964), Vol. I. h. 365-366.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |515
58
Ibid., h. 878.
59
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,……, h. 72.
60
Di samping menjelaskan hal-hal yang terperinci, wahyu juga
menginformasikan tindakan-tindakan yang tidak diketahui akal nilai baik dan
buruknya, seperti berzina. Karena itu, mu'tazilah membuat dua tipologi perbuatan
baik, yaitu manakir al-aqliyyah (perbuatan yang dicela akal seperti berdusta), dan
manakir sya'riyyah (perbuatan yang dicela wahyu seperti berzina). Lihat
selengkapnya Harun Nasution, Teologi Islam,…………., h. 98.
516|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
61
Ibid., h. 99.
62
Abu Hasan al-Asy'ari, al-Luma' fi al-Radd 'Ala ahl al-Zayq wa al-Bida'
(Beirut: Matba'ah Kathulikiyah, 1952), h. 70-71.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |517
63
Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Mesir: Musthafa al-Babi al-
Halabi wa Awladuh, tth.), h. 84.
518|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
64
Muhammad Abed Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam (Jogjakarta: LKiS,
2000), h. v.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |519
65
A. Hajar Sanusi, Memasuki Islam dalam Berbagai Pintu, dalam Al-Hikmah
Jurnal Studi-studi Islam, No. 14, vol. VI, tahun 1995, h. 3.
66
Kuntowijoyo, "Dari Toleransi ke Kooperasi", dalam Atas Nama Agama
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 359.
520|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
Kesimpulan
Dari semua paparan di atas, penulis dapat memberikan
kesimpulan tentang pemikiran teologi tradisional dan rasional dalam
Islam sebagai berikut:
Pertama, sejarah munculnya teologi tradisional dan rasional
adalah berawal dari polemik antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah yang
awalnya mempertentangkan persoalan kafir dan mu'min, namun
akhirnya jauh melangkah berubah menjadi persoalan kesanggupan
akal dan fungsi wahyu di mana masing-masing dari mereka
mengklaim superioritas atau inferioritas akal atas wahyu, sehingga
karenanya, term teologi Rasional selalu saja disandingkan dan
dilalbelkan pada Mu'tazilah yang lebih mensuperioritaskan akal,
sedangkan Asy'ariyah sebagai representasi aliran bercorak tradsional
lantaran lebih menginferioritaskan akal.
Kedua, karakteristik teologi tradisional adalah bahwa posisi
akal inferior, manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan bukan menurut sunatullah,
namun benar-benar menurut kehendak mutlak. Sedangkan teologi
67
Fathurrosyid, Gerakan Feminis Rasulullah; Membaca Sisi Lain Peringatan
Isra' Mi'raj 1430 H, dalam Harian Pagi Radar Madura; Jawa Post Group, Ed. Rabu,
22 Juli 2009.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |521
rasional adalah bahwa posisi akal superior, manusia bebas berbuat dan
berkehendakk dan keadilan Tuhan terletak pada adanya hukum alam
(sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini.
Bagi Teologi Rasional berpendapat bahwa pengetahuan
tentang Tuhan dan baik-buruk dapat diperoleh dengan daya akal.
Karena itu, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu
adalah wajib. Di samping itu, karena akal juga dapat mengetahui soal
baik baik dan buruk, maka setiap orang wajib mengerjakan yang baik
seperti sikap jujur, berbuat adil dan meninggalkan yang buruk semisal
berdusta dan berbuta zalim. Sedangkan dalam teologi tradisional
adalah bahwa akal manusia tidak memiliki kemampuan apa-apa
kecuali mengetahuan Tuhan an-sich. Sedangkan tiga hal lainnya
hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Karena itu, masalah
nilai baik atau buruk dari suatu tindakan tak dapat ditetapkan oleh akal
melainkan mesti dengan pemberitahuan wahyu. Berdusta, misalnya
merupakan perbuatan buruk karena wahyu menyatakannya demikian.
Daftar Pustaka