Anda di halaman 1dari 30

TRADISIONALISME DAN RASIONALISME

DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM

Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman


Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep
syafik.mira88@gmail.com
gusement@gmail.com
Abstrak

This research aims to reveal three main problems; First, what is the
history of the emergence of traditionalism and rationalism in the
thinking of Islamic theology? Second, what are the characteristics of
traditionalism and rationalism in Islamic theology? Third, what are the
concepts of traditionalism and rationalism in Islamic theology? The
approach used in this research is descriptive and analytical, even to get
an ideal picture, the author also does not escape using historical
methods, especially when discussing the history of the emergence of
traditionalist and rationalist theology. The results obtained from this
study reveal that, the emergence of traditional and rational theology
originated from the polemic between the Mu'tazilah and Asy'ariyah who
opposed the problems of the kafir and mu'min, but eventually turned
into a problem of the superiority of the Mu'tazilah to the label rational
theology, and inferiority of reason to the Asy'ariyah so that it is labeled
with traditional theology. In this way, the implication, for Rational
Theology, holds that knowledge of God and good and bad can be
obtained by reason. Whereas in traditional theology is that human
reason does not have any ability except to know God alone.

Keywords: Traditionalism, Rationalism, Islamic Theology

Pendahuluan
Wacana terkait dengan persoalan teologi rasional dan
tradisional, sejatinya berangkat dari ajaran-ajaran Islam yang
berdimensi dua kategori; Pertama, ajaran-ajaran yang bersifat mutlak-
absolut serta kekal yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Kedua, ajaran yang
bersifat relatif-nisbi yang dapat berubah sesuai dengan konteks
perkembangan zaman. Dalam hal ini, ajaran tersebut berupa tafsir,
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |497

hadits, fiqih, teologi dan tasawuf1 di mana semuanya merupakan hasil


interpretasi para ulama ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang
bersifat aksidental lantaran al-Qur'an dan Hadits memuat ajaran yang
bersifat universal.
Namun dalam perkembangan lebih lanjut, pada dasarnya,
masyarakat menyikapi dua ajaran tersebut ada yang lebih cenderung
mensuperioritaskan pada ajaran pertama dan menginferioritaskan pada
ajaran kedua, dalam satu sisi, namun ada juga yang merespon
sebaliknya, di sisi yang lain. Pergulatan tersebut, hingga pada titik
kulminasinya mengalami truth claim, bahkan tidak jarang sikap
mengaku dirinya paling benar, dengan mudah menuduh orang lain
kafir dan itu berarti menghukumi darah lawannya dengan label halal.
Praktek dan tindakan abnormal ini, bukan saja melumpuhkan ide-ide
cerdas pluralitas pemikiran yang nota bene eksistensinya diakui al-
Qur'an, tetapi yang sangat fatalis diam-diam ia telah menyaingi
Tuhan. Sebab absolutisme sifat Maha Tahu hanyalah hak prerogatif-
otoritatif Tuhan an-sich.2
Praktek saling mengkafirkan ini, jika dilihat dari optik
historis, sebenarnya jauh pernah terjadi dulu pasca wafatnya Khalifah
Utsman bin Affan akibat keruhnya konstelasi politik waktu itu, namun
pada akhirnya persoalan politik tersebut mengalami sofistifikasi
menjadi persoalan teologi, sehingga bila dipilah dan pilih, sekurang-
kurangnya terdapat tiga paradigma dari teologi-teologi anutan umat

1
Formulasi simplistis khazanah intelektual Islam menjadi ajaran-ajaran baku,
semisal Fiqih, tafsir, teologi dan tasawuf merupakan asimilasi dan pergesekan
budaya pasca wafatnya Nabi. Lihat selengkapnya; Amin Abdullah, Studi Agama;
Historisitas dan Normativitas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 150.
2
Fathurrosyid, Humanisasi Pendidikan Agama, Radar Madura; Jawa Post
Group. Ed. Ahad, 16 Juli, 2006.
498|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Islam hari ini yang pada prinsipnya sama berkecenderungan


teosentris, yakni; Pertama, tradisional. Kedua, rasional. Ketiga,
“fundamentalis”. Secara umum, ketiganya mendasarkan derivasi
keyakinan teologisnya pada khazanah kalâm klasik, yakni yang
pertama pada Jabariyah, As„ariyah, dan Maturidiyah (sayap Bukhara);
sedang yang kedua pada Qadariyah, Mu„tazilah, dan Maturidiyah
(Samarkand); dan yang ketiga pada Khawarij.3
Berangkat dari fenomena di atas, penelitian ini hendak
mengungkap tiga persoalan pokok; Pertama, Bagaimana sejarah
munculnya Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam pemikiran
Teologi Islam?. Kedua, Apa Karekteristik Tradisionalisme dan
Rasionalisme dalam pemikiran Teologi Islam?. Ketiga, Bagaimana
Konsep Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam pemikiran Teologi
Islam?
Metode yang digunakan dalam dalam penelitian ini berupa
pendekatan deskriptif4 dan analitis, bahkan untuk mendapatkan
gambaran ideal, penulis juga tidak lepas menggunakan metode
historis5, khususnya ketika membahas sejarah kemunculan teologi
tradisionalis dan rasionalis. Sumber Data yang digunakan dalam
penelitian ini ada dua, yaitu: Pertama, Sumber data primer yang
berupa buku teologi Islam yang ditulis oleh orang muslim atau bukan,

3
Mansour Faqih, ‚Teologi Kaum Tertindas,‛ dalam Ahmad Suaedy (eds.),
Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat (Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei,
1994), h. 42.
4
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bersifat pemaparan dan
bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keberadaan
komunitas tertentu yang berdiam di tempat tertentu, atau mengenai gejala sosial
tertentu, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Soerjono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), h. 50.
5
Anton Bekker, dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.43.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |499

baik berbahasa Indonesia atau bahasa asing. Kedua, Sumber data


sekunder yang berupa ensiklopedi atau buku-buku lain yang ada
korelasinya dan menunjang data sekunder. Teknik pengumpulan dan
analisa datanya diperoleh dengan cara membaca dan menelaah
sumber data primer dan sekunder. Setelah itu disiapkan analisis
kualitatif yang terdiri dari pengolahan, pengorganisasian dan analisa
data.

Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme; Analisa Konsep


1. Definisi Teologi Islam Tradisionalisme dan Rasionalisme
Sebelum membahasa lebih jauh tentang definisi –baik
secara etimologi maupun terminologi- tradisionalisme dan
rasionalisme, penulis terlebih dahulu akan mengeksplorasi definisi
teologi Islam. Hal ini menjadi "penting" untuk memberikan
gambaran dan arahan yang jelas tentang apa yang dimaksud
dengan teologi Islam, mengingat terdapat juga istilah teologi-
teologi non Islam. Setelah itu, barulah penulis akan menjelaskan
definisi tradisionalisme dan rasionalisme.
a. Definisi Teologi Islam
Secara etimologis, teologi merupakan istilah yang
diambil dari bahasa Inggris, theos yang berarti "Tuhan" dan
logos yang berarti "wacana atau ilmu"6. Dengan demikian,
maka theologi dapat berarti ilmu ketuhanan.7

6
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2005), h.
1090.
7
Wojowasito, Kamus Lengkap Ingris-Indonesia (Bandung: Hasta, 1982), h.
232.
500|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Adapun teologi dilihat dari optik terminologis yaitu


ilmu tentang hubungan relasi dunia ilahi dengan dunia fisik
yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah atau
Tuhan dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam
semesta8 atau bisa juga didefinisikan dengan “discourse or
concerning” (diskursus/pemikiran tentang Tuhan)9.
Dari terminologi ini, maka teologi10 dapat disimpulkan
sebagai disiplin ilmu yang membicarakan kenyataan-
kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan
hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan
maupun pemikiran murni atau dengan jalan wahyu.

Kalau kita meninjau ilmu kalam11 sendiri, maka kita


dapati lapangannya sama dengan lapangan-lapangan teologi
yang disebutkan tadi; yaitu sekitar Tuhan, ada-Nya, keesaan-
Nya, sifat-sifat-Nya dari segala segi dan hubungan Tuhan
dengan manusia dan alam, berupa keadilan dan
kebijaksanaan, pengutusan rasul-rasul sebagai penghubunga

8
Lorens, Kamus Filsafat,…………h. 1090.
9
William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (USA: Humanities
Press Ltd. 1980), hlm. 28
10
Lapangan Teologi bisa bercorak non agama yang merupakan bagian dari
filsafat. Akan tetapi bisa juga bercorak agama sebagai suatu intellectual expression
of religion. Karena itu, untuk pembatasan lapangan dan penetapan arti kata teologi,
biasanya dibubuhi dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Kristen,
Katolik atau Islam, bahkan dengan kualifikasi lebih terbatas lagi, seperti Teologi
Apologatik, Teologi Hukum, Teologi Sejarah dan lainnya. Lihat leblih lengkap:
Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1974), hlm. V.
11
Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat
yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang
ditiadakan darinya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz
dan muhal dari mereka. Lihat: Muhammad Abduh, Risalah. Tauhid, Terj. Firdaus An.
Bulan (Jakarta: Bintang, 1965), hlm. 25
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |501

antara Tuhan dan manusia dan soal-soal yang bertalian


dengan khidupan di sana. Sudah barang tentu ilmu yang
membicarakan lapangan-lapangan tersebut bisa dinamakan
"teologi". Hanya karena pembicaraan tersebut didasarkan atas
prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran agama Islam, maka
dinamakan "Teologi Islam12".
Definisi dan analisa di atas nampaknya mengamini
paparan Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa teologi atau
kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis
dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak
pembaharuan yang menyimpang dalam dogma yang dianut
kaum muslimin pertama dan ortodoks Muslim.13
b. Definisi Tradisionalisme dan Rasionalisme
Istilah tradisionalisme berasal dari Bahasa Ingris
"traditional" yang berarti menurut adat atau turun temurun. 14
Sedangkan istilah tradisi jika dilihat dari optik bahasa Arab
yaitu berupa al-turats15 yang berarti warisan atau peninggalan

12
Penggunaan istialah Teologi Islam sebenarnya sudah lama dikenal dalam
buku-buku Ingris, Prancis bahkan Indonesia. Trittin, misalnya, menulis buku yang
berjudul "Moslem Theology", Mac Donald "Devolepment of Moslem Theology,
Yurisprudence and Constitutional Theory", M.M. Annawati "Introduction ala
Theologie Musulmane, sedang di Indonesia ada Harun Nasution yang menulis
dengan terang-terangan dengan judul "Teologi Islam".
13
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha( Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hlm. 589.
14
Wojowasito, Kamus Lengkap,………. h. 241.
15
Istilah al-Turast ini banyak dipakai oleh ulama kontemporer untuk
menuangkan gagasannya tentang paradigma berpikir wacana ke-Islamana, seperti
Hasan Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid), Muhammed Abid al-Jabiri (al-Turats wa al-
Hadatsah), A.D. Umari (al-Turast wa al-Mu'ashirah). Lihat selengkpanya; Luthfi al-
Syaukani, "Tipologi Wacana Pemikiran Arab Kontemporer" dalam Jurnah Pemikiran
Islam PARAMADINA, Jakarta, Vol. I, Juli-Desember 1998, h. 62.
502|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

(legacy, heritage) berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan


atau diwariskan oleh generasi-generasi terdahulu.
Berangkat dari definisi di atas, maka terminologi
tradisionalisme adalah sebuah paham di mana bentuk
pengetahuan mereka dengan segala aspeknya mulai dari
agama, bahasa hingga sastra berpegang pada model
“pemahaman literal atas tradisi” (al-fahm al-turâtsi li al-
turâts), yaitu suatu bentuk pemahaman yang merujuk pada
pandangan ulama masa lampau. Ciri umum yang melekat
pada pendekatan semacam ini dalam persoalan-persoalan
masa lalu yang dihadapi tradisi, serta bersikap menyerah
terhadapnya.16
Penyerahan secara totalitas pada tradisi ini disinyalir
oleh Amin Abdullah sebagai bentuk dan sumber kekuatan
mental-spirtual yang maha ampuh untuk menahan badai
perubahan dan pembangunan dalam segala sektor kehidupan
(ghairu qabil li al-Taghyir)17 serta menganggap hasil ijtihad -
selain al-Qur'an dan hadits- para ulama yang hidup antara
abad ke 7 hingga 13 M18 sebagai referensi yang absolut dan
kekal.19
Sedangkan definisi etimologi rasionalisme juga berasal
dari Bahasa Inggris "Rationalism" yang berarti kekuatan

16
Mohammed Abed al-Jabiri, Post,………, h. 9-11.
17
Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 31-
33.
18
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, Cet. 6 (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 1.
19
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 123.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |503

pikiran.20 Sedangkan definisi rasionalisme secara terminologis


adalah kecenderungan untuk mempertimbangkan prinsip akal
atau salah-satu prinsip akal untuk mencapai kebenaran dalam
agama dan tidak mempertimbangkan wahyu dan tradisi dalam
mengerjakan beberapa persoalan teologi, terutama ketika
terdapat konflik antara ketiganya.21
Dengan cara seperti itu, maka rasionalisme secara
terminologis adalah sebuah paham di mana bentuk
pengetahuan mereka dengan segala aspeknya mulai dari
agama, bahasa hingga sastra berpegang pada model
pemahaman pada logika. Artinya, landasan pacu pemahaman
mereka senantiasa lebih diorientasikan pada soft-ware akal
dari pada lainnya, semisal indera, persepsi dan pengalaman,
serta wahyu.
Dari penjelasan di atas, dua aliran ini antara
tradisionalisme dan rasionalisme memiliki pengertian tak
sama, di mana tradisionalisme mengandung kontinuitas dan
stabilitas, sedangkan rasionalisme menyebabkan terjadinya
perubahan dan instabilitas. Tradisi biasanya berasal dari
ajaran nenek moyang, teks dan naql, sedangkan akal berasal
dari kacamata perorangan yang apabila disandingkan dalam
tradisi ilmu-ilmu tafsir, bahwa epistemilogi rasionalism dan
tradisionalism22 tidak jauh berbeda dengan tafsir bi al-ra'yi

20
Wojowasito, Kamus Lengkap,……….h. 169.
21
Binyamin Abrohamov, Islamic Theology; Tradisionalism and Rasionalism
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), h. ix-x.
22
Tentang hal ini lihat tulisan Fathurrosyid, Posisi Akal dalam Penafsiran;
Studi Analitis Tafsir bi Al-Ra'yu. Makalah disampaikan untuk memenuhi tugas mata
kulliah Tafsir, S2 IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009.
504|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

untuk yang pertama, sedangkan yang kedua (baca;


rasionalism) sama dengan kinerja epistem tafsri bi al-ma'tsur.

2. Historisitas Munculnya Teologi Tradisionalisme dan


Rasionalisme
Ketika memasuki pembacaan pada dinamika pemikiran
Islam, maka seringkali kita temukan historisitas bahwa isu
pertama yang berakibat langsung pada konflik masyarakat muslim
pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. adalah persoalan
keabsahan pengganti Nabi saw. atau khalifah. Setelah khalifah
Utsman ibn „Affan terbunuh pada 656, isu pengganti Nabi saw. ini
semakin mengemuka dan bahkan mejadi polemik berkepanjangan,
utamanya perihal pengusutan otak intelektual pembunuh
Utsman.23 Semua ini berlangsung sewaktu Sayyidina Ali sedang
memangku jabatannya.
Sebagian umat Islam saat itu telah berani membuat
analisis tentang pembunuhan Utsman tersebut, apakah si
pembunuhnya berdosa ataukah tidak, bahkan tidak sampai di situ
saja, tetapi juga dianalisis siapa yang menggerakkan tangan si
pembunuh itu, apakah manusia sendiri ataukah Tuhan. Hal ini

23
Dalam kondisi yang demikian, tidak heran jika pada saati itu tampil tiga
sosok pembela Utsman –dalam hal ini Thalhah, Zubair dan Aisyah- meminta pada
Ali untuk mengusut tuntas aksi pembunuhan tersebut. Namun upaya Ali untuk
berdamai, tidak mendapat respon positif dari mereka, sehingga terjadilah bentrok
yang sengit dengan nama Perang Jamal di mana perhelatan ini dimenangkan oleh
pihak Ali. Lihat selengkapnya: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo, 2000), h. 40.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |505

yang menjadi cikal bakal tumbuhnya paham Jabariah dan


Qadariah.24
Kemenangan Ali Vs Aisyah dalam perang Jamal bukan
tugas akhir dari dinamika politik waktu itu di mana tugas
rekonsiliasi politik belum juga usai, sebab Ali Cs masih
menghadapi satu persoalan lagi yaitu timbulnya perlawanan dari
pihak Muawiyah, Gubernur Damaskus, hingga pada titik
klimaksnya terjadilah bentrok yang populer dengan nama Perang
Shiffin antara pendukung „Ali ibn Thalib yang nota bene sebagai
menantu nabi saw. Vs Mu‟awiyah -kerabat khalifah yang
terbunuh- merupakan pertikaian tragis yang tak bisa
25
dihindarkan.
Dalam perang Shiffin, pasukan Ali hampir saja
memenangkan perang, namun berkat tipu daya Amr bin 'Ash,26
ketua perunding dari pihak Mu'awiyah yang melawan Ali,
menggunakan politik ulur waktu dan minta diadakan arbitrase
(tahkim)27 hingga akhirnya pihak Ali dikalahkan.28 Akibat dari
kekalahan ini, tidak pelak kemudian barisan pendukung Ali
menjadi berantakan; satu kelompok dikenal dengan sebutan

24
Yusran Asmuni, 1996, Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah
Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 59.
25
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul
Am (Bandung: Mizan, 2001), h. 13.
26
Fazlurrahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h.
245. Bandingkan dengn Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1985), h. 11.
27
Al-Thabari, Tarikh al-Thabari, Juz V (Kairo: Dar al-Ma'arifah, t.th.), h. 70-
71.
28
Maksud dari "dikalahkan" ini adalah kalah dalam bidang diplomasi, di
mana pihak Ali dipimpin oleh Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat Nabi tapi
terindikasi kesetiaannya pada Ali kurang begitu mendalam. Lihat lebih lengkap;
Syafi'i Ma'arif, Membumikan Islam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 92.
506|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Syi'ah, yang pro pada Ali, sedang yang lain dikenal dengan
golongan khawarij, barisan yang kontra pada Ali.
Penerimaan arbitrase, tentu saja side effect-nya tidak
hanya kepemimpinan Ali yang tidak legitimate, namun juga
membuat "gerah" kelompok kontra arbitrase yang dipelopori oleh
Asy‟ts ibn Qayis hingga mengeluarkan fatwa bahwa orang yang
terlibat dalam keputusan tahkim, baik menyetujui dan apalagi
melaksanakannya dihukumi berdosa besar dan setiap orang yang
berdosa besar meninggal dunia tanpa tobat, maka itu adalah kafir
dan harus dilenyapkan.29 Salah-satu argumentasi mereka karena
tidak atau ingkar menjalankan kewajibannya sebagai seorang
muslim.
Berangkat dari fenomen ini, maka jelas sekali bawha
penentuan seseorang kafir atau tidak kafir yang nota bene
merupakan persoalan politik praktis, tetapi mengalami sofistifikasi
ideologi menjadi persoalan teologi. Hal ini terbukti ketika
kelompok kontra arbitrase tersebut mengklaim Ali dan Muawiyah
min ahlil kafirin.30 Kafir adalah orang yang tidak percaya,
dilawankan dengan mu‟min yang berarti orang yang percaya.31
Kedua istilah ini dalam al Qur‟an biasanya merupakan
kata antonim (musytarak).32 Kata kafir yang ditujukan pada
golongan di luar Islam, oleh Khawarij dipergunakan dengan

29
Nur Khalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), h. 12.
30
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,
1996), h. 58.
31
AW. Munawwir, Kamu al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1998),
h. 234.
32
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an; Suatu Kajian Teologis
Dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulang Bintang, 1991) hlm. 88.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |507

makana yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam


Islam sendiri.33 Sebagai reaksi dari fatwa khawarij ini sebagian
umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy, tidak
menerima akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan
selanjutnya menjadi mazhab Murji'ah. Menurut mereka, karena
fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya
ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak. Hal ini
menegaskan bahwa keimanan memiliki tingkat stabilitas dan tidak
bisa berkurang oleh dosa.34
Reaksi kelompok lain adalah penganut paham Abdullah
ibn Saba‟ dan orang-orang yang mengagungkan Ali ibn Abi
Thalib. Mereka ini dikemudian hari dikenal dengan Syi‟ah.35
Persoalan dosa besar antara Khawarij dan Murji‟ah itu tidak
berhenti begitu saja, tetapi masih berlanjut sampai pada masa
Hasan Basri (642-728 M) versus Wasil bin Atho' (murid Hasan)
yang memberikan antitesa pada pemikiran di atas36 dengan
terminologi al-manzilah bainal manzilatain37 bagi pelakuk dosa
besar, sehingga dalam sejarah pemikiran Islam pemikiran ini
sebagai cikal bakal lahirnya paham Mu'tazilah yang bercorak
rasional.

33
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 31.
34
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought, Terj.
Sukoyo (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 163.
35
Syi'ah secara terminologis adalah sebagaina kaum muslimin yang dalam
bidang spiritual selalu merujuk pada keturunan Nabi. Lebih lengkap lihat: Abdul
Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 89.
36
Latar belakang kemuculan Mu'tazilah ini dalam sejarah pemikiran teologi
Islam mengandung banyak versi, namun yang sering digunakan adalah versi forum
dialogis Hasan Vs Wasil. Lihat selengkapnya; Ibid., h. 77-80.
37
Tosiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Terj. Agus Fahri
(Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 53.
508|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Perselisihan persoalan teologi yang bermula dari konflik


politik di atas masih berlanjut sampai dengan masa khalifah
Makmun (813-833) yang menetapkan bahwa paham Mu‟tzilah
sebagai paham resmi negara dan rakyat dituntut untuk
mengikutinya secara represif.38 Pada masa ini, seorang yang
berkecimpung dalam paham Mu‟tazilah 40 tahun lamanya ingin
menjembatani paham-paham yang saling bertentangan itu. Mereka
adalah Abu al-Hasan al Asy‟ari dan selanjutnya dibantu oleh
Imam Maturidi. Kedua ulama ini merupakan tokoh dari paham
Ahlu Sunnah wal Jamaah39, walaupun dalam beberapa hal mereka
berbeda pendapat.
Polemik antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah ini sudah tidak
lagi pada persoalan kafir dan mu'min, namun sudah jauh
melangkah berubah menjadi persoalan kesanggupan akal dan
fungsi wahyu40 di mana masing-masing dari mereka mengklaim
superioritas atau inferioritas akal atas wahyu, sehingga karenanya,
term teologi Rasional selalu saja disandingkan dan dilalbelkan
pada Mu'tazilah yang lebih mensuperioritaskan akal,41 sedangkan

38
Lihat peristiwa mihnah dalam Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk,
Jilid 7 (Beirut: Mu'asasah al-a'la li al-Matbu', 1995), h. 195. Bandingkan dengan;
Komaruddin Hidayat, "Arkoun dan Tradisi Hermeneutika", dalam Tradisi,
Kemodernan dan Meta Modernisme (Jogjakarta: LKis, 1994), h. 20-30. Bandingkan
dengan : Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 268-269.
39
Term ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah banyak dipakai setelah munculnya aliran
Asy'ariyah dan Maturidiyah yang menentang ajaran Mu'tazilah. Lihat; Harun
Nasution, Teologi Islam,….h. 64.
40
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h.
75-77.
41
Pemberian nama rasionalis pada paham Mu'tazilah ini menurut observasi
Harun Nasution disamping paham ini lebih mendewakan akal, juga term-term yang
sering digunakan oleh kaum orientalis pada paham ini, semisal D.B. Macdonald.
Lihat selengkapnya; Harun Nasution, Islam,……….h. 129.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |509

Asy'ariyah sebagai representasi aliran bercorak tradsional lantaran


lebih menginferioritaskan akal.

Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme; Peta Epistemologis


1. Karakteristik Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme
Merujuk sejarah pemikiran klasik, corak teologi dalam
Islam di bagi dua42 yaitu teologi rasional dan teologi tradisional.
Teologi rasional dikenal dengan aliran Mu‟tazilah43 dan
Maturidiyah Samarkand44. Sedangkan teologi tradisional dikenal

42
Pembagian ini sebenarnya mengikuti alur pemikiran mainstream, walau
sebenarnya, jika dirinci mazhab ilmu kalam tak kurang dari tujuh mazhab; Khawarij,
Murjiah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, namun semua itu ada
banyak kemiripan antara satu dengan yang lain. Lihat, Afrizal M, Tujuh Perdebatan
Utama dalam Teologi Islam (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26.
43
Mu’tazilah adalah aliran yang didirikan oleh Washil bin Atha’ (80-131
H/699-748 M), kemudian didukung dan disempurnakan ajaran-ajarannya oleh tokoh
pemikir Islam yang datang sesudahnya, seperti Abu Hudzayl al-Allaf (135-226
H/752-840 M), Ibrahim al-Nazhzham (185 H-221 H/802-845 M), Abu Ali al-Jubabai
(235-303 H/849-917 M), al-Qadhi Abduljabbar (320-415 H/932-1025 M) dan al-
Zamarkhasyari (467-538/1075-1144 M). Mereka adalah ulama rasional dan kritis,
tidak hanya terhadap hadits-hadits dan cara memahami ayat-ayat dan sunnah, tetapi
juga terhadap filsafat klasik Yunani Aristoteles dan Neo-Platonis. Itulah sebabnya,
aliran ini juga disebut aliran rasionalis dalam Islam. Aliran ini sudah tidak
mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Merskipun demikian, ajarna-ajarannya
mulai muncul kembali terutama di kalangan kaum terpelajar saat ini. Lihat
selengkapnya. Lihat; Harun Nasution, Islam ………………..h. 376.
44
Maturudiyyah adalah aliran yang didirkan oleh Imam Abu Manshur al-
Maturidi (w.333 H). Aliran ini kemudian didukung oleh Abu al-Yasar al-Bazdawi
(421-493 H), Abu Ma’in al-Nasafi (438-508), dan Najm al-Din ‘Umar al-Nasafi (462-
537 H). Meskipun al-Bazdawi adalah tokoh yang mendukung aliran Maturidiyyah,
antara al-Bazdawi dan al-maturidi terdapat beberapa perbedaan pendapat dan
masalah-masalah teologi. Perbedaan antara kedua tokoh ini kemudian melahirkan
dua subaliran, yaitu aliran Maturidiyah Samarkand yang ditokohi oleh al-Maturidy
sendiri dan aliran Maturidiyyah Bukhara yang ditokohi oleh al-Bazdawi. Aliran
Maturidiyyah banyak dianut oleh kaum Muslim yang bermazhab Hanafi dalam
bidang hukum (fiqh). Lebih lengkap lihat dalam, Dr. HH. Noer Iskandar Al-Barsany,
Pemikiran Kalam Imam Abu mansur A-Maturidi; Perbandingan dengan Kalam
Mu’tazilah dan Al-Asy’ari (Jakarta: Srigunting, 2001), h. 20.
510|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

dengan aliran Asy‟ariyah45 dan Maturidiyah Bukhara.46 Namun


demikian, dari beberapa aliran ini, penulis dalam sub bab makalah
ini hanya akan memfokuskan pada dua corak teologi; yaitu teologi
rasional dengan representasi Mu'tazilah dan teologi tradisional di
mana aliran Asy'ariyah sebagai representasinya.
Dari kedua ciri aliran di atas, sebenarnya perbedaan corak
teologis tersebut dilatarbelakangi adanya metodologi yang
berbeda dalam mengurai objek kajiannya, sehingga tidak heran
jika kemudian memunculkan pemetaan paradigma metode
berpikir rasional dan tradisional,47 yang dalam hal ini, kedua
metode berpikir tersebut memiliki prinsip-prinsip masing,
sehingga keduanya tidak bisa saling mengklaim dan mengganggap
cara berpikir kelompoknya yang paling benar di mana hanya akan
mengakibatkan pada –meminjam Abdul Mustaqim- "syirik
intelektual".48 Hal ini dikarenakan dalam tataran histories-
interpretatif, kebenaran itu tentu menjadi relatif. Bagaimanapun

45
Asy’ariyah adalah aliran yang didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
(260-324 H/873-935 M). Aliran ini kemudian didukung dan dikembangkan oleh
ulama-ulama besar seperti al-Baqilani (w. 403 H), al-Juwaini (w.470 H), al-Ghazali
(250-505 H) dan Fakh al-Din al-Razi (544-606 H). Mesikipun Imam Asy’ari yang
telah mendirikan aliran pernah menjadi tokoh Mu’tazilah, ajaran-ajarannya banyak
bertolak belakang dengan ajaran Mu’tazillah. Aliran ini masih dominant hingga saat
ini dan dianut oleh mayoritas kaum Muslim, khususnya mereka yang bermazhab
Syafi’I dan Maliki.
46
Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya (Padang: IAIN-IB
Press, 2003) h. 4-5. Lihat juga, Harun Nasution, Islam, ……………… h. 66.
47
Prinsip metode berpikir rasional (1) Hanya terikat pada dogma-dogma dan
ayat yang Qat'i (2) Memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan
berkehendak serta memberikan daya yang kuat pada akal. Sedangkan prinsip berpikir
tradisional (1) Terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zanni (2) Tidak
memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta tidak
memberikan daya yang kuat pada akal. Lihat selengkapnya: Yunan Yusuf, Corak
Pemikiran Kalam Tafsri al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 16-17.
48
Abdul Mustaqim, Tafir Feminis Versus Tafsir Patriarki (Jogjakarta: Sabda
Persada, 2003), h. vii.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |511

ketika teks-teks keagamaan, (al-Qur'an) dikonsumsi dan masuk


dalam "disket" pemikiran manusia, tentu produk pemikirannya
juga akan relatif lantaran pikiran manusianya juga relatif.
Ada tiga barometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan
mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu,
perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak
mutlak Tuhan, sehingga terbentuklah ciri-ciri teologi rasional-
tradisional sebagaimana disebutkan oleh Abdul Razak49,
sebagaimana berikut:
Ciri-ciri teologi tradisional adalah; Pertama, Akal
mempunyai kedudukan yang rendah, karenanya dalam memahami
wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal.
Kedua, Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Ketiga,
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini,
bukan menurut sunatullah, namun benar-benar menurut kehendak
mutlak Tuhan.
Karekteristik teologi tradisional di atas, dapat disederhakana
bahwa wahyu selalu dianggap sebagai patokan dasar dan sumber
kebenaran par excellence, sedangkan akal adalah sumber yang
membuka kemungkinan bagi pemberontakan atas wahyu, oleh
karena itu harus dikendalikan.50
Adapun ciri teologi rasional adalah: Pertama, Akal
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, karenanya dalam
memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti majazi.
Kedua, Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal

49
Abdul Razak, Ilmu Kalam,……..h. 45.
50
Ulil Abshar Abdallah, Membakar Rumah Tuhan (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 110
512|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

kuat, manusia mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan


dalam kemauan dan kehendak serta mampu berpikir secara
mendalam. Ketiga, Keadilan Tuhan, menurut paham ini, terletak
pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan
alam ini.
Dari kedua cirri teologi di atas, terutama menyangkut
peranan akal dan wahyu, penulis mengutip ilustrasi gambar dari
Harun Nasutioan sebagai berikut51:
Peta Konsep Teologi Rasional
MT = Mengetahui Tuhan
KMT = Kewajiban Mengetahui Tuhan
MBJ = Mengetahui Baik dan Jahat
KMBJ = Kewajiban Mengerjakan
Baik dan Menjauhi Jahat

Peta Konsep Teologi Tradisional


MT = Mengetahui Tuhan
KMT = Kewajiban Mengetahui Tuhan
MBJ = Mengetahui Baik dan Jahat
KMBJ = Kewajiban Mengerjakan
Baik dan Menjauhi Jahat
Kedua gambar di atas, terlihat jelas sekali perbedaan yang
sangat mendesar antara teologi rasional yang memberikan porsi
dominan pada akal, sementara teologi tradisional memberikan
peranan yang terbatas pada akal, sehingga karenanya bagi teologi
yang posisinya mensuperioritaskan akal disebut aliran Mu'tazilah

51
Harun Nasution, Teologi,……….., h. 86-87.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |513

yang popular dengan terminologi teologi rasional, sedangkan


teologi yang posisinya menginferioritaskan akal disebut aliran
Asy'ariyah yang populer dengan terminologi teologi tradisional.52

2. Konsepsi Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme


Sebagaimana telah dijabarkan di muka, bahwa di antara
konsep pokok teologi islam adalah persoalan posisi akal dan
wahyu yang berkaitan dengan empat hal53 yaitu; Pertama,
persoalan mengetahui tuhan. Kedua, persoalan kewajiban
mengetahui Tuhan. Ketiga, persoalan kewajiban mengetahui baik
dan buruk. Keempat, persoalan kewajiban mengerjakan yang baik
dan meninggalkan yang buruk.
Bagi Teologi Rasional dalam hal ini Mu'tazilah
berpendapat bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan baik-buruk
dapat diperoleh dengan daya akal. Karena itu, berterima kasih
kepada tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib.54 Di
samping itu, karena akal juga dapat mengetahui soal baik baik dan
buruk, maka setiap orang wajib mengerjakan yang baik seperti
sikap jujur, berbuat adil dan meninggalkan yang buruk semisal
berdusta dan berbuta zalim.55
Aliran ini berargumen antara lain bahwa baik dan buruk
merupakan esensi bagi setiap perbuatan. Dan perbuatan-perbuatan
itu sesungguhnya terpilah menjadi baik atau buruk; manfaat atau

52
Abdul Rozak, Ilmu Kalam,…………. h. 34. Bandingkan dengan Harun
Nasution, Islam Rasional, ………h. 371-372.
53
Harun Nasution, Teologi, ……,…. h. 80.
54
Abd Al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihl (Mesir: Matba'ah
Mustafa al-Bab al-Halabi, 1967), vol. I, h. 42.
55
Ibid., h. 52.
514|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

bahaya. Al-Jubai't tokoh mu'tazilah, seperti dikutip oleh Abu


Zahrah, mengemukakan bahwa perbuatan-perbuatan dapat
diidentifikasi menjadi empat macam, yaitu; Pertama, buruk
karena dilarang (qabih li al-Nahyi). Kedua, buruk karena
esensinya (qabih li nafsih). Ketiga, baik karena diperintah (hasan
li al-amri bih). Keempat, baik karena esensinya (hasan li nafsih).
Empat kategorisasi al-Jubai'I ini lalu disederhanakan oleh Abu
Zahrah menjadi tiga macam saja, yaitu; Baik esensial, buruk
esensial, serta baik dan buruk tergantung pada perintah dan
larangan56
Kategorisasi yang telah disebutkan di atas memberikan
penjelasan bahwa baik esensial jika terdapat dalam suatu
perbuatan, maka bagi mu'tazilah perbuatan itu wajib dihindarkan.
Karena itu, menurut mu'tazilah, dalam situasi sebelum adanya
syariat atau wahyu, manusia telah terbebani untuk melakukan hal
yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Argumen lain yang dikemukakan oleh mu'tazilah bahwa
term husn (baik) adalah sesuatu yang boleh dikerjakan, atau suatu
perbuatan yang tidak mengarahkan pelakunya mendapat celaan.
Sebaliknya, term jelek (qubh) bermakna sesuatu yang tidak boleh
dikerjakan karena bila dikerjakan akan mendapat celaan.57 Dengan
demikian, pengetahuan akan tentang baik dan buruk adalah
sebuah keniscayaan. Perbuatan baik, misalnya ditandai dari esensi
dari perbuatan itu sendiri yang membawa manfaat, seperti berkata
jujur dan bersikap adil. Sebaliknya, perbuatan buruk ditandai

56
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tth.), h. 69-76.
57
Abu Al-Husain al-Bashri al-Mu'tamad, Fi Ushul al-Fiqh (Damaskus: Al-
Ma'had al-Ilmi, 1964), Vol. I. h. 365-366.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |515

dengan indikasi adanya kerugian dalam esensi perbuatan itu,


misalnya berdusta dan aniaya. Lebih lanjut, Abu al-Husain al-
Bashri menandaskan bahwa sesuatu dipandang baik apabila
terdapat kemanfaatan di dalamnya dan tidak diketahui
mengandung kerugian dan bahaya.58
Akibat niscaya dari pandangan mu'tazilah seperti di atas,
sebagaimana diutarakan Abu Zahrah, ada tiga hal; Pertama,
Orang-orang yang hidup pada masa kevakuman wahyu ataupun
dalam ketidaktahuan terbebani untuk mengerjakan perbuatan baik
esensial dan mengelakkan diri dari perbuatan jelek esensial.
Kedua, jika nash tidak memberi petunjuk apa-pun, maka akan
berfungsi menentukan baik atau buruknya suatu hal. Ketiga, tuhan
tidak mungkin memerintahkan untuk mengerjakan perbuatan
buruk esensial atau melarang untuk berbuat yang baik secara
esensial.59 Artinya, segala syariat yang diturunkan tuhan bagi
manusia adalah demi kepentingan dan maslahat manusia itu
sendiri.
Namun meski demikian, mu'tazilah tetap membutuhkan
dan berpedoman kepada wahyu. Bagi mu'tazilah, akal hanya dapat
mengetahui hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan mengenai
hal-hal yang terperinci, mutlak membutuhkan penjelasan dan
informasi wahyu.60 Ibnu Hasyim, salah-satu pemuka mu'tazilah,

58
Ibid., h. 878.
59
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,……, h. 72.
60
Di samping menjelaskan hal-hal yang terperinci, wahyu juga
menginformasikan tindakan-tindakan yang tidak diketahui akal nilai baik dan
buruknya, seperti berzina. Karena itu, mu'tazilah membuat dua tipologi perbuatan
baik, yaitu manakir al-aqliyyah (perbuatan yang dicela akal seperti berdusta), dan
manakir sya'riyyah (perbuatan yang dicela wahyu seperti berzina). Lihat
selengkapnya Harun Nasution, Teologi Islam,…………., h. 98.
516|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

menyatakan bahwa rasul-rasul datang untuk memperkuat sesuatu


yang telah ditempatkan tuhan dalam akal kita, dan untuk
menerangkan perincian sesuatu yang telah diketahui akal.61
Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan akal
tentang baik dan buruk. Atas dasar ini, dapat disimpulkan bahwa
mu'tazilah berpandangan bahwa wahyu berfungsi melakukan
konfirmasi dan informasi.
Berbeda dengan konsep teologi rasional, teologi
tradisional berpendapat bahwa akal manusia tidak memiliki
kemampuan apa-apa kecuali mengetahuan Tuhan an-sich.
Sedangkan tiga hal lainnya hanya dapat diketahui melalui
informasi wahyu. Karena itu, masalah nilai baik atau buruk dari
suatu tindakan tak dapat ditetapkan oleh akal melainkan mesti
dengan pemberitahuan wahyu. Berdusta, misalnya merupakan
perbuatan buruk karena wahyu menyatakannya demikian. Andai
saja wahyu menetapkan bahwa berdusta itu adalah baik, maka
pastilah berdusta merupakan pekerjaan yang baik dan jika
sekiranya Tuhan mewajibkan hamba-Nya untuk berdusta, maka
tidak ada alasan apa-pun bagi manusia untuk menolak
melakukannya.62 Dengan kata lain, nilai baik dan buruk itu
tergantung sepenuhnya pada perintah dan larangan dari Tuhan,
dalam hal ini wahyu.
Imam al-Ghazali, salah-seorang teolog Asy'ariyah,
menolak pengertian bahwa suatu perbuatan disebut baik jika
perbuatan itu sesuai dengan tujuan, dan disebut buruk apabila

61
Ibid., h. 99.
62
Abu Hasan al-Asy'ari, al-Luma' fi al-Radd 'Ala ahl al-Zayq wa al-Bida'
(Beirut: Matba'ah Kathulikiyah, 1952), h. 70-71.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |517

tidak sesuai dengan tujuan. Sebab bagi al-Ghazali, perbuatan baik


atau buruk bukanlah bergantung pada kesesuaian ataupun
keterbedaannya dengan tujuan di masa sekarang, melainkan pada
tujuan di masa depan (akhirat kelak).63
Dari uraian singkat di atas, nyatalah bahwa bagi
Asy'ariyah nilai baik dan buruk bukanlah esensi dari suatu
perbuatan mealainkan hanya berupa kualitas pada perbuatan.
Dengan begitu, maka implikasinya adalah posisi akal tidak
mempunyai potensi dan kemampuan untuk mengeathui apakah
suatu perbuatan berkualitas baik atau sebaliknya. Dalam hal ini,
informasi wahyu mengenai suatu perbuatan, apakah berkualitas
baik atau buruk mutlak dibutuhkan. Dengan demikian, karena
potensi akal dianggap tidak mempunyai kapabilitas, maka sudah
barang tentu tidak ada suatupun yang mewajibkan setiap manusia
untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk,
kecuali jika wahyu telah datang menginformasikannya.

3. Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Tataran


Analisa
Melihat ketegangan dari paradigma berpikir kedua aliran
di atas yang berhadapan secara frontal di mana teologi rasionalis
memposisikan akal super-ordinat, sedang teologi tradisionalis
meletakkan akal pada posisi sub-ordinat, tentu dalam konteks saat
ini sudah tidak relevan lagi dan tidak akan menyelesaikan

63
Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Mesir: Musthafa al-Babi al-
Halabi wa Awladuh, tth.), h. 84.
518|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

masalah, sebab keduanya sama-sama dijunjung tinggi


eksistensinya dalam al-Qur'an.
Tuduhan sebagai anak kecil pada paham tradisionalis
lantaran tidak bisa memfungsikan akalnya dan tunduk secara
totalitas pada wahyu, dan anggapan sebagai anak dewasa pada
paham rasionalis lantaran kematangan berpikirnya, kiranya perlu
mendapatka kajian ulang. Sebab prakonsepsi tersebut mempunyai
side effect yang berbeda pula. Artinya, menjadi tradisionalis
dengan mendewakan referensi pada wahyu, mungkin membuat
kita merasa seolah makhluk masa silam yang asing dalam arus
perubahan zaman, shock culture, bahkan lantaran ekslusivitas
tersebut, tidak heran jika kemudian selalu dihinggapi rasa
terancam. Sebaliknya, menjadi rasionalis, dengan
mensuperioritaskan pada akal dengan melihat pada akselerasi
zaman, satu sisi memang membuat kita secara sosial relevan
dengan zaman kontemporer, tetapi pada saat yang sama, tidak
jarang membuat kita mengalami konflik psikologis, dan kian
merasa berjarak dari Islam, sebagai jalan keyakinan.64
Selanjutnya, untuk menjembatani ketegangan dari dua
aliran mainstream ini, perlu kiranya digagas suatu teologi baru
yang disebut teologi alternatif untuk mengakumulasikan dan
merekonsiliasikan kedua aliran tersebut, semisal gagasn tentang
keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran
bahwa ketidakadilan sosial (kemiskinan, keterbelakangan,
kebodohan, eksploitasi, diskriminasi, dan dehumaisasi)
merupakan produk dari suatu proses sosial via struktur dan sistem

64
Muhammad Abed Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam (Jogjakarta: LKiS,
2000), h. v.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |519

yang tidak adil, yang terjadi lantaran proses sejarah manusia.


Artinya, realitas sosial yang tidak adil bukanlah predestinasi
Tuhan (taqdîr), seperti umum diyakini teologi-teologi tradisional,
melainkan hasil dari proses sejarah yang by design, disengaja.
Bukan pula belaka akibat “ada yang salah dalam bangunan
mentalitas-budaya manusia,” seperti keyakinan teologi-teologi
rasional, melainkan semua itu terjadi lantaran adanya imbas
langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak
adil, eksploitatif, dan menindas.
Kalaupun solusi dari cara berpikir teologi alternatif ini
belum bisa dipraktekkan secara maksimal dan simultan, maka
tindakan yang mendesak untuk dipraktekkan terlebih dahulu
adalah bangunan keyakinan dan kesadaran baru di antara ummat
Islam bahwa pandangan kedua aliran ini merupakan sebuah ijtihad
dan hasilnya bukan sesuatu yang mutlak dan absolut.
Oleh karena itu, sikap yang harus dikembangkan oleh
masyarakat adalah : Pertama, Akseptasi, kesediaan menerima
keberadaan dan kehadiran mazhab pemikiran lain. Kedua,
Apreasi, menghargai mazhab dan paham yang dianut kelompok
lain. Ketiga, Ko-eksistensi, kesediaan untuk hidup berdampingan
dengan kelompok manusia manapun.65 Keempat, Kooperasi,
kesediaan untuk bekerja-sama dengan pemikiran lain.66
Pengembangan keempat arah sikap di atas bukanlah
sesuatu yang perlu ditakuti akan mengurangi kesadaran

65
A. Hajar Sanusi, Memasuki Islam dalam Berbagai Pintu, dalam Al-Hikmah
Jurnal Studi-studi Islam, No. 14, vol. VI, tahun 1995, h. 3.
66
Kuntowijoyo, "Dari Toleransi ke Kooperasi", dalam Atas Nama Agama
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 359.
520|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

religiusitas masyarakat. Sebab hal itu sudah dipraktekkan oleh


Rasulullah ketika beliau membangun masyarakat Madinah.
Karena itu, perilaku ideal yang dicontohkan oleh Rasul sebagai
figur paradigmatik (uswah hasanah) jangan hanya dijadikan
informasi sejarah yang perlu dikagumi saja, tetapi bagaimana
upaya totalitas untuk diterjemahkan dalam kehidupan nyata.67

Kesimpulan
Dari semua paparan di atas, penulis dapat memberikan
kesimpulan tentang pemikiran teologi tradisional dan rasional dalam
Islam sebagai berikut:
Pertama, sejarah munculnya teologi tradisional dan rasional
adalah berawal dari polemik antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah yang
awalnya mempertentangkan persoalan kafir dan mu'min, namun
akhirnya jauh melangkah berubah menjadi persoalan kesanggupan
akal dan fungsi wahyu di mana masing-masing dari mereka
mengklaim superioritas atau inferioritas akal atas wahyu, sehingga
karenanya, term teologi Rasional selalu saja disandingkan dan
dilalbelkan pada Mu'tazilah yang lebih mensuperioritaskan akal,
sedangkan Asy'ariyah sebagai representasi aliran bercorak tradsional
lantaran lebih menginferioritaskan akal.
Kedua, karakteristik teologi tradisional adalah bahwa posisi
akal inferior, manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan bukan menurut sunatullah,
namun benar-benar menurut kehendak mutlak. Sedangkan teologi

67
Fathurrosyid, Gerakan Feminis Rasulullah; Membaca Sisi Lain Peringatan
Isra' Mi'raj 1430 H, dalam Harian Pagi Radar Madura; Jawa Post Group, Ed. Rabu,
22 Juli 2009.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |521

rasional adalah bahwa posisi akal superior, manusia bebas berbuat dan
berkehendakk dan keadilan Tuhan terletak pada adanya hukum alam
(sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini.
Bagi Teologi Rasional berpendapat bahwa pengetahuan
tentang Tuhan dan baik-buruk dapat diperoleh dengan daya akal.
Karena itu, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu
adalah wajib. Di samping itu, karena akal juga dapat mengetahui soal
baik baik dan buruk, maka setiap orang wajib mengerjakan yang baik
seperti sikap jujur, berbuat adil dan meninggalkan yang buruk semisal
berdusta dan berbuta zalim. Sedangkan dalam teologi tradisional
adalah bahwa akal manusia tidak memiliki kemampuan apa-apa
kecuali mengetahuan Tuhan an-sich. Sedangkan tiga hal lainnya
hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Karena itu, masalah
nilai baik atau buruk dari suatu tindakan tak dapat ditetapkan oleh akal
melainkan mesti dengan pemberitahuan wahyu. Berdusta, misalnya
merupakan perbuatan buruk karena wahyu menyatakannya demikian.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas.


Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
______________. 2004. Falsafah Kalam. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Abrohamov, Binyamin. 1998. Islamic Theology; Tradisionalism and


Rasionalism. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Abduh, Muhammad. 1965. Risalah. Tauhid, Terj. Firdaus An. Bulan.


Jakarta: Bintang.

al-Jabiri, Mohammed Abed. 2002. Post Tradisionalisme Islam.


Jogjakarta: LKiS.
522|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Al-Barsany, HH. Noer Iskandar. 2001. Pemikiran Kalam Imam Abu


mansur A-Maturidi; Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah
dan Al-Asy’ari. Jakarta: Srigunting.

al-Mu'tamad, Abu Al-Husain al-Bashri. 1964. Fi Ushul al-Fiqh.


Damaskus: Al-Ma'had al-Ilmi.

al-Asy'ari, Abu Hasan. 1952. al-Luma' fi al-Radd 'Ala ahl al-Zayq wa


al-Bida'. Beirut: Matba'ah Kathulikiyah.

al-Ghazali, Abu Hamid. Tth. al-Iqtishad fi al-I'tiqad. Mesir: Musthafa


al-Babi al-Halabi wa Awladuh.

Abdallah, Ulil Abshar. 1999. Membakar Rumah Tuhan. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah


Kebudayaan

Al-Thabari. 1995. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Jilid 7. Beirut:


Mu'asasah al-a'la li al-Matbu'.

________. t.th. Tarikh al-Thabari, Juz V. Kairo: Dar al-Ma'arifah.

al-Syaukani, Luthfi. "Tipologi Wacana Pemikiran Arab Kontemporer"


dalam Jurnah Pemikiran Islam PARAMADINA, Jakarta, Vol.
I, Juli-Desember 1998.

al-Syahrastani, Abd Al-Karim. 1967. al-Milal wa al-Nihl. Mesir:


Matba'ah Mustafa al-Bab al-Halabi.

Afrizal M. 2006. Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam.


Jakarta: Erlangga.

Bagus, Loren. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Pustaka Gramedia


Utama.

Bekker, Anton, dan Achmad Charis Zubair. 1990. Metodologi


Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |523

Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr Dalam al-Qur'an; Suatu Kajian


Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik . Jakarta: Bulang
Bintang.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren; Studi tentang


Pandangan Hidup Kyai, Cet. 6. Jakarta: LP3ES.

Faqih, Mansour. 1994. “Teologi Kaum Tertindas,” dalam Ahmad


Suaedy (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi
Rakyat. Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei.
Fakhry, Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis,
terj. Zaimul
Am. Bandung: Mizan.

Fathurrosyid, 2006. Humanisasi Pendidikan Agama. Radar Madura;


Jawa Post Group. Ed. Ahad, 16 Juli.

__________. 2009. Gerakan Feminis Rasulullah; Membaca Sisi Lain


Peringatan Isra' Mi'raj 1430 H, dalam Harian Pagi Radar
Madura; Jawa Post Group, Ed. Rabu, 22 Juli.

Fazlurrahman. 1984. Islam, Terj. Ahsin Muhammad. Bandung:


Pustaka.

Hanafi, Ahmad. 1974. Theologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hidayat, Komaruddin. 1994. "Arkoun dan Tradisi Hermeneutika",


dalam Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme.
Jogjakarta: LKiS.

Izutsu, Tosiko. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Terj.


Agus Fahri. Jogjakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. 1998. "Dari Toleransi ke Kooperasi", dalam Atas Nama


Agama. Bandung: Pustaka Hidayah.

Khaldun, Ibn. 2001. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta:


Pustaka Firdaus.

Ma'arif, Syafi'i. 1995. Membumikan Islam. Jogjakarta: Pustaka


Pelajar.
524|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Madjid, Nur Khalis. 1994. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan


Bintang.

Munawwir, A.W. 1998. Kamu al-Munawwir. Surabaya: Pustaka


Progresif.

Mustaqim, Abdul. 2003. Tafir Feminis Versus Tafsir Patriarki.


Jogjakarta: Sabda Persada.

Nasution, Harun. 1985. Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa


Perbandingan. Jakarta: UI Press.
_____________. 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II. Jakarta: UI Press.
_____________. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI
Press.

_____________. 1996. Islam Rasional. Bandung: Mizan.


Reese, William L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion. USA:
Humanities Press Ltd.

Rozak, Abdul. 2009. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Sanusi, A. Hajar. 1995. Memasuki Islam dalam Berbagai Pintu, dalam


Al-Hikmah Jurnal Studi-studi Islam. No. 14, vol. VI.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI


Press.

Watt, W. Montgomery. 1999. The Formative Period of Islamic


Thought, Terj. Sukoyo. Jogjakarta: Tiara Wacana.

Wojowasito. 1982. Kamus Lengkap Ingris-Indonesia. Bandung:


Hasta.

Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo.


Islam dan Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Yusuf, Yunan. 1990. Corak Pemikiran Kalam Tafsri al-Azhar.


Jakarta: Pustaka Panjimas.
Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |525

Zahrah, Abu. 1996. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-


Fikr al-Arabi.

__________. Tth. Ushul al-Fiqh. Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi.

Zar, Sirajuddin. 2003. Teologi Islam Aliran dan Ajarannya. Padang:


IAIN-IB Press.

Anda mungkin juga menyukai