PENDAHULUAN
1
Tigadisiplin ilmu keislaman lainnya adalah: Fiqih, Tasawuf dan Falsafah.
Penjelasan mengenai keempat macam disiplin ilmu keislaman ini bias
dibaca pada: Nurcholish Madjid, Islam Doktrindan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 1992), h. 201-268.
1
problem ini, langkah penelusuran secarahistoris di seputar makna
kebahasaan kata teologi dan lingkup kajian atau objeknya penting
dilakukan untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pijakan.
2
Lihat, misalnya: Djohan Effendi, “Konsep-konsep Teologis”, dalam Budhy
Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 52.
3
D.S. Adam, “Theology”, dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics, Vol.
XII, 1921, h. 293.
2
etimologis, maka keduanya dapat dipandang identik dan sekaligus
bias saling menggantikan.
5
Imam Abu Hanifah, bapak ilmu fiqih, menulis kitabal-Fiqh al-Akbar yang
isinya bukant entang ilmu fiqih seperti yang kita kenal sekarang, melainkan
justru tentang akidah yang menja diobjek bahasan ilmu kalam atau tauhid.
Boleh di ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini dalam kerangka
pemikiran Abu Hanifaha dalahal-Fiqh al-Asgar. Sebab keduanya pada
dasarnya adalah fiqih atau pemahaman yang tersistematisasikan.Yang
pertama menyangkut bidang usuliah sedangkan yang kedua menyangkut
bidangfuru’iyah. Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam
tela menyingkirkan pengertianfiqihsebagaidipergunakanoleh Imam Abu
Hanifahtersebut.Lihat, Djohan Effendi, h. 52. Lihat pula:
NurcholishMadjid, h. 201.
4
Ilmu Kalam dan teologi (Kristen), dimana yang disebut
belakangan tidak saja membahas Tuhan yang padahal itu adalah
satu-satunya objek Ilmu Kalam tetapi juga aspek lain dari agama
(Kristen). Dengan kata lain penolakan itu didasarkan pada
argumen historis karena perbedaan cakupan objek kajian; teologi
cakupan bahaasannya lebih luas daripada ilmu kalam. Sementara
mereka yuang menerima, tentu setelah tahu perbedaan antara
keduany, masih menetapkan persyaratan khusus: di belakang kata
teologi harus diberi kualifikasi “islam”, sehingga menjadi teologi
islam. Kata “islam” di belakang istilah teologi itu berfungsi
sebagai indikator dan pembatasan bahwa teologi yang
dimaksudkan adalah teologi Islam, bukan Kristen atau lainnya,
dan objek bahasannya pun terbatas pada masalah Tuhan seperti
kekhususan ilmu kalam, tidak seperti teologi Kristen yang begitu
kompleks objek bahasannya. Dalam koteks ini Harun Nasution
dan Hanafi, misalnya, sebagaimana tercermin dalam judul
bukunya,6 adalah penulis yang masuk dalam kategori kelompok
terakhir ini.
7
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teolog iRasional Mu’tazilah
(Jakarta: UI-Press, 1987), h. 28.
8
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990), h. 3.
6
dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap ahli bid’ah yang
menyeleweng dari faham salaf dan ahli sunah”. 9
9
Zurkani Jahja, h. 83-85.
10
Harun Nasution, Muhamad Abduh dan , h. 93.
11
W. Montgomery Watt, PemikiranTeologidanFilsfat Islam, terjemah Umar
Basalim (Jakarta: P3M, 1987), h. 83.
7
B. Dialektika Historis Kalam
13
pandangan Nurcholish Madjid,14 sesungguhnya mereka itulah
yang mula-mula memanfaatkan filsafat Yunani (penalaran logis)
guna menjelaskan masalah akidah atau teologi, yang kemudian
dari jalan berfikirnya itu lanjut Madjid mereka menjadi cikal
bakal kaum Qadari, yakni mereka yang berfaham Qadariah.
Sementara itu di ujung lain garis ekstrimitas terdapat pandangan
atas keterpaksaan manusia dan ketidkberdayaannya menghadapi
ketentuan atau takdir Tuhan (predistinasi), yang kemudian lahir
famam Jabariah dengan Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Sofwan
sebagai tokoh utamanya.
Tokoh penting lain saat itu adalah Hasan al-Basri (w. 110
H/728 M), lahir dan dibesarkan di Madinah tetapi kemudian
menetap di Basrah. Tokoh kenamaan ini bukanlah seorang
pemikir sistematis, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai orang
saleh (zahid) dan senantiasa menyeru manusia untuk berbuat
kebaikan. Meskipun ia bukan seorang cendekiawan, namun
pengajarannya dalam bentuk majlis ta’lim telah menarik kalangan
luas komunitas umat Islam yang di kemudian hari merangsang
tumbuhnya gerakan-gerakan pemikiran besar dalam Islam. Dalam
salah satu momen diskusinya, Hasan al-Basri pernah ditanya
perihal status hukum Muslim yang melakukan dosa (besar) suatu
problem teologis yang sedang menjadi isu perdebatan hangat
pada masa itu. Akan tetapi sebelum al-Basri memberikan
jawaban, salah seorang muridnya bernama Wasil bin Atha’
mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan Khawarij yang
menjustifikasi kafir muslim pelaku dosa besar dan tidak pula
setuju dengan pandangan Murji’ah yang menjustifikasi muslim
16
pelaku dosa sebagai mu’min. Bagi Wasil, Muslim pelaku dosa
besar status hukumnya menempati posisi tengah antara kafir dan
mu’min dengan sebutan manzilah bain manzilatain.16 Paska
pemisahan itu Wasil membenuk kelompok sendiri, dan atas
peristiwa itu al-Basri mengatakan I’tazala ‘anna. Maka terjadilah
penamaan kepada halaqah Wasil itu sebagai Mu’tazilah, yang
secara teknis berbeda dengan sebutan Mu’tazilah golongan
Netralis sebelumnya. Itulah sebabnya Wasil dikenal sebagai
tokoh pencetus aliran Mu’tazilah dalam kapasitasnya sebagai
aliran teologi.
18
HarunNasution, Teologi Islam, h. 9.
22
terhadap dua pertanyaan mendasar berikut ini.Pertama, apa yang
dapat kita ketahui, dan kedua, bagaimana atau engan apa kita
mengetahuinya.19 Pertanyaan pertama berkaitan dengan lingkup
atau objek kajian, sedangkan yang kedua terkait langsung
dengan sumber atau alat dan metode mendapatkan pengetahuan
tentang objek itu.
26
M. Amin Abdullah, h. 227.
28
Hanya saja kemkudian di kalangan teolog terjadi perbedaan
dalam hal penyeimbangan posisi dua sumber tersebut. Kaum
Salaf memposisikan teks wahyu pada tempat yang sangat
dominan, tentu tetap mengapresiasi akal meski dalam makna
periferial-minimal, sedangkan Mu’tazilah mengapresiasi peran
akal dengan begitu tinggi, tentu tidak keluar dari kerangka
berfikir agamis, dan berada pada posisi tengah antara keduanya
dengan misi menyeimbangkan peran teks wahyu dan akal.
Dalam konteks ini M. Zurkani Jahya menguraikan bahwa akibat
berpedaan intensitas penggunaan teks wahyu dan akal ini telah
mengakibatkan polarisasi metodis kalam atas empat macam
yaitu: (1) Metode rasional, yang menganggap rasio sebagai alat
dominan sehingga teks wahyu mesti diterima secara rasional,
dan karenanya keyakinan seseorang terhadap materi akidah
Islam mesti didasarkan pada pengetahuan rasional; (2) Metode
tekstual, yakni metode berfikir yang berpegang teguh kepada
teks wahyu secara harfiah, tanpa memberikan peranan akal dan
hasil pemikiran untuk menjamah masalah-masalah akidah
Islam, kecuali sebatas sistematisasi dan penjelasan secara
harfiah; (3) Metode moderat, atau sintesa dari metode rasional
dan tekstual dengan menyeimbangkan metode rasional dan
tekstual.27
27
M. Zurkani Jahya, Teologi al-Gazali, h. 52-53.
29
Di samping tiga metode berfikir di atas M. Zurkani Jahya
masih mengintroduksi sebuah metode lagi, yang mana metode
ini diaplikasikan oleh seluruh mazhab teologi yakni dialektis
atau jadali, yakni metode debat untuk mempertahankan
pendapatnya sendiri dan mematahkan pendapat lawan, baik
dengan argumen rasional maupun teks wahyu. Metode rasional,
dalam Teologi Islam, biasa diterpkan oleh Mu’tazilah; metode
tekstual oleh Ahl as-Sunnah Salaf atau Ahl al-Hadis; dan
metode moderat oleh oleh para teolog Asy’ariyah.
30
LATIHAN 1
Diskripsikan Beberapa Soal Di Bawah Ini!
31