Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Ilmu Kalam


Sebelum masuk pada persoalan inti Ilmu Kalam, penting
kiranya dijelaskan terlebihdahulu problem di seputar sebutan Ilmu
Kalam dan Teologi (Islam). Sebagai salah satu disiplin ilmu
keislaman, 1Ilmu Kalam menfokuskan bahasannya pada segi-segi
Tuhan. Mengacu pada pengertian dan karakter dasar semacam itu,
bolehkah dan atau tepatkah istilah Ilmu Kalam diidentikkan
dengan kata teologi, sehingga keduanya bias saling bertukar dan
menggantikan? Urgensi pertanyaan ini lebih didasarkan pada
historisitas kata teologi itu, dimana selain secara historis karena
kata teologi itu memang bukan orisinil dari khazanah dan tradisi
Islam, dan sekaligus juga secara konsesional ternyata istilah
teologi itu tidak sepenuhnya sama atau identik pengertiannya
dengan kata Ilmu Kalam. Sebagai akibatnya sungguh wajar kalau
hingga saat ini masih belum ada keseragaman pandangan dan
terjadi pro-kontra masih mewarnai di kalangan pemikir Islam
menyangkut pengidentikkan kedua kata itu. Sehubungan dengan

1
Tigadisiplin ilmu keislaman lainnya adalah: Fiqih, Tasawuf dan Falsafah.
Penjelasan mengenai keempat macam disiplin ilmu keislaman ini bias
dibaca pada: Nurcholish Madjid, Islam Doktrindan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 1992), h. 201-268.
1
problem ini, langkah penelusuran secarahistoris di seputar makna
kebahasaan kata teologi dan lingkup kajian atau objeknya penting
dilakukan untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pijakan.

Secara historis istilah teologi berasal dari khazanah dan


radisi Gereja-Kristen,2 yang kemudian diadopsi oleh umat Islam
sehingga menghiasi khazanah pemikiran Islam.Tinjauan
kebahasaan menunjukkan bahwa kata teologi (theology)
merupakan istilahYunani, gabungan daridua kata yakni theos
yang berarti Tuhan (God) dan logos berarti ilmu. Terkait dengan
hal ini D.S Adam menjelaskan bahwa kata teologi secara
etimologis dipergunakan di kalangan bangsa Yunani terhadap
hasil karya parapujangga seperti Homer dan Hesiod yang
berkenaan dengan para dewa, dan hasil karya para filosof, seperti
Plato dan Aristoteles, yang berkenaan dengan filsafat mereka
tentang Realitas Tertinggi.3 Jadi, teologi secara bahasa berarti
ilmu tentang Tuhan, sama persis dan identik dengan arti dari
istilah ilmu kalam. Dengan demikian teologi dan ilmu kalam,
sejauh yang dimaksudkan adalah pengertian secara

2
Lihat, misalnya: Djohan Effendi, “Konsep-konsep Teologis”, dalam Budhy
Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 52.
3
D.S. Adam, “Theology”, dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics, Vol.
XII, 1921, h. 293.
2
etimologis, maka keduanya dapat dipandang identik dan sekaligus
bias saling menggantikan.

Meskipun teologi dan ilmu kalam dari sudut kebahasaan bisa


dikatakan identik, namun pada dataran terminologis ternyata ada
sisi-sisi yang berbeda. Memang keduanya sebagai tampak dalam
pengertian etimologis sama-sama membahas segi-segi Tuhan,
namun dalam tradisi kristiani ternyata teologi juga mengkaji
aspek agama selain kepercayaan atau ketuhanan. Kata teologi
sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of Religion and
Religions berarti ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan
hubungannya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas
hingga mencakup seluruh bidang agama.4 Dengan demikian
pengertian teologi dalam agama Kristen memiliki objek yang
lingkupnya lebih kompleks diaripada ilmu kalam, dan bahkan
masalah hukum (yang dalam islam dibahas fiqih) tercakup pula
dalam teologi. Atas dasar ini agaknya perkataan teologi lebih
tepat dipadnkan dengan istilah fiqih, tentu saja bukan fiqih
sebagaimana kita pahami sekaran ini yang objek bahasannya
menyangkut hukum islam melainkan istilah fiqih seperti yang
dipergunakan pada pra kelahiran ilmu fiqih (sekarang ini). Yaitu
yang tidak saja berisi bahasan tentang masalah akidah tetapi juga
4
Djohan Effendi, h. 52.
3
masalah hukum5al-fiqh akbar tentang akidah, al-fiqh asgar
mengenai hukum.

Memperhatikan penjelasan di atas setidaknya dapat


ditetapkan adanya dua hal penting menyangkut kata ilmu kalam
dan teologi. Pertama, sepanjang yang dimaksud adalah
pengertian dari sudut kebahasaan, sesungguhnya pengidentikan
ilmu kalam dengan teologi dapat dibenarkan, karena keduanya
sama-sama mengarahkan objek kajiannya pada masalah Tuhan,
dan bahkan dalam penggunaannya bisa saling menggantikan.
Kedua, keidentikan dua istilah itu dalam arti bahasa ternyata tidak
dengan serta merta menunjukkan keidentikannya dalam arti
terminologis dan operasionalnya, sehingga wajar kalau di
kalangan pemikir islam masih terdapa kelompok uyang menolak
menggunakan kata teologi untuk menyebut Ilmu Kalam. Alansan
penolakan itu tentu saja kerena perbedaan objek kajian antara

5
Imam Abu Hanifah, bapak ilmu fiqih, menulis kitabal-Fiqh al-Akbar yang
isinya bukant entang ilmu fiqih seperti yang kita kenal sekarang, melainkan
justru tentang akidah yang menja diobjek bahasan ilmu kalam atau tauhid.
Boleh di ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini dalam kerangka
pemikiran Abu Hanifaha dalahal-Fiqh al-Asgar. Sebab keduanya pada
dasarnya adalah fiqih atau pemahaman yang tersistematisasikan.Yang
pertama menyangkut bidang usuliah sedangkan yang kedua menyangkut
bidangfuru’iyah. Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam
tela menyingkirkan pengertianfiqihsebagaidipergunakanoleh Imam Abu
Hanifahtersebut.Lihat, Djohan Effendi, h. 52. Lihat pula:
NurcholishMadjid, h. 201.
4
Ilmu Kalam dan teologi (Kristen), dimana yang disebut
belakangan tidak saja membahas Tuhan yang padahal itu adalah
satu-satunya objek Ilmu Kalam tetapi juga aspek lain dari agama
(Kristen). Dengan kata lain penolakan itu didasarkan pada
argumen historis karena perbedaan cakupan objek kajian; teologi
cakupan bahaasannya lebih luas daripada ilmu kalam. Sementara
mereka yuang menerima, tentu setelah tahu perbedaan antara
keduany, masih menetapkan persyaratan khusus: di belakang kata
teologi harus diberi kualifikasi “islam”, sehingga menjadi teologi
islam. Kata “islam” di belakang istilah teologi itu berfungsi
sebagai indikator dan pembatasan bahwa teologi yang
dimaksudkan adalah teologi Islam, bukan Kristen atau lainnya,
dan objek bahasannya pun terbatas pada masalah Tuhan seperti
kekhususan ilmu kalam, tidak seperti teologi Kristen yang begitu
kompleks objek bahasannya. Dalam koteks ini Harun Nasution
dan Hanafi, misalnya, sebagaimana tercermin dalam judul
bukunya,6 adalah penulis yang masuk dalam kategori kelompok
terakhir ini.

Selanjutnya menyangkut pengertian terminologis ilmu kalam


masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli, sebagai
6
Judul buku yang dimaksud adalah: Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-
aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986); Ahmad
Hanafi, Theology Islam (IlmuKalam) (Jakarta: BulanBintang, 1986).
5
tercermin dalam keragaman rumusan definisi yang mereka
sampaikan. Perbedaan itu terjadi lebih dikarenakan oleh
perbedaan sudut pandang, yang masing-masing darinya
meberikan penekanan pada aspek tertentu: sebagian menekankan
aspek ntologis atau objek, yang lain pada aspek epistemologis
atau metodis dan lainnya lagi aspek kegunaan atau aksiologis.
Diantara definisi yang menekankan dimensi ontologis kalam
adalah dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa ilmu kalam
merupakan “ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya,
kenabian, alam dan hubungan Tuhan dengan makhluk-
makhluknya.7 Sementara itu al-Iji, sebagaimana dinukil oleh
Yunan Yusuf, yang lebih memberikan penekanan dimensi
epistemologis-metodis kalam, mendefiniskan ilmu kalam sebagai
“ilmu yang memberikan kemampuan untuk membuktikan
kebenaran akidah islam dengan mengajukan hujah atau argumen
guna melenyapkan keragu-raguan”.8 Dan definisi yang lebih
memberikan penekanan pada aspek aksiologis, antara lain,
disampaikan oleh Ibn Khaldun bahwa ilmu kalam adalah “ilmu
yang mengandung perdebatan tentang akidah keimanan dengan

7
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teolog iRasional Mu’tazilah
(Jakarta: UI-Press, 1987), h. 28.
8
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990), h. 3.
6
dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap ahli bid’ah yang
menyeleweng dari faham salaf dan ahli sunah”. 9

Dari berbagai rumusan definisi tersebut dapat dipahami


bahwa ilmu kalam, sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman,
dibangun di atas landasan ontologi dan epistemologi serta
aksiologi tertenu. Dari tinjauan filsafat ilmu dapat dikatakan
bahwa objek kajian ilmu kalam adalahTuhan dan derivasi-Nya.
Epistemologi atau metode kalam adalah metode berfikir agamis
yakni berangkat dari kebenaran wahyu dan akal difungsikan
sebagai sarana penjelas atau penguat.10 Atas dasar ini maka tidak
bisa dibenarkan pendapat yang menyebut teologi islam, sekalipun
itu diarahkan kepada teolog rasionalis-Mu’tazilah, sebagai
dikatakan oleh Henrich Steiner,11 sebagai pemikir bebas (free
thinker). Dan selanjutnya aksiologi ilmu kalam, selain berperan
sebagai informasi dan konfirmasi, sekaligus juga apologetik.

9
Zurkani Jahja, h. 83-85.
10
Harun Nasution, Muhamad Abduh dan , h. 93.
11
W. Montgomery Watt, PemikiranTeologidanFilsfat Islam, terjemah Umar
Basalim (Jakarta: P3M, 1987), h. 83.
7
B. Dialektika Historis Kalam

Ilmu Kalam atau Teologi Islam, seperti halnya disiplin ilmu


keislaman lainnya, dapat dipastikan muncul beberapa abad paska
wafat Nabi Muhamad saw. Tetapi lebih dari disiplin ilmu
keislaman lainnya, Ilmu Kalam sangat kental kaitannya dengan
fenomena “skisme” (perpecahan sosial-keagamaan) dalam tubuh
umat Islam.12Skisme yang dimaksud, adalah peristiwa
pembunuhan Usman bin Affan, Khalifah ke-3, yang dalam
sejarah umat Islam popular dengan istilah al-fitnah al-kubra
(fitnahbesar). Dalam pandangan Madjid,13 fitnah besa itu
merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam
di berbagai bidang, terutama bidang-bidang politik, social dan
paham keagamaan. Bahkan menurut dia, ilmu kalam sebagai
suatu bentuk pengungkapan dan penalaran keagamaan juga
hampir secara langsung tumbuh dengan bertitiktolak dari fitnah
besar itu. Atas dasar ini maka sungguh tidak salah kalau
kemudian peristiwa fitnah besar itu diacu sebagai dasar pijakan
dalam pelacakan sejarah awal kelahiran dan pertumbuhan ilmu
kalam.
12
Uraian mengenai skisme dalam dunia Islam secara lebih memadai dapat
dibaca pada: Nurcholish Madjid, “ Skisme dalam Islam: Tinjauan Singkat
SecaraKritis-Historis Proses Dini Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam”,
dalam Budhy Munawar-Rachman, Kontekstualisasi, h. 668-691.
13
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin, h. 203.
8
Usman bin Affan tanpa mengingkari jasa dan
keistimewaannya tercatat sebagai khalifah yang lemah, terutama
enam tahun terakhir dari masa kekhalifahannya. Hal itu
setidaknya diindikasikan oleh kebijakan politik nepotismenya,
meski hal itu lebih merupakan dampak kuatnya desakan kerabat
dekat Bani Umayah, yang oleh banyak tokoh islam dipandang
sebagai tindakan yang kurang bijaksana-adil. Sebagai akibat dari
kebijakan itu, Usman dihadapkan pada berbagai protes dari
hamper seluruh dunia islam, termasukkelompok yang semula
mendukungnya. Memang pada umumnya mereka menghendaki
Usman turun dari jabatan kekhalifahannya, namun lama kelamaan
ada pula kelompok garis keras yang secara ekstrim menuntut
penyingkiran Usman dengan paksa. Mereka itu berasal dari
Mesir, yang setelah tidak berhasil memaksa Usman turun dari
kekhalifahn, mereka pada tahun 656 M membunuh khalifah
ketiga itu. Para pembesar sahabat seperti Ali sebenarnya berusaha
menghalangi kelompok ekstrimis itu dan menawarkan solusi
kompromi, akan tetapi tidak berhasil.

Pembunuhan atas diri Usman yang bermotif politis segenar


menimbulkan mala petaka politik yang lebih besar.Pengangkatan
Ali bin Abi Talib sebagai khalifah keempat menggantikanUsman
9
meski didukung oleh mayoritas kaummuslimin, ternyata tidak
diikuti pernyataan baiat umat Islam secara bulat. Kelompok
tertentu darikalangan bani Umayah utamanya, Usman dalam
lingkungan suku Quraisy dari Makah, yang dipimpin oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damaskus, melakukan
penangguhan baiatnya sampai khalifah Ali menangkap dan
mengadili parapembunuh Usman. Akan tetapi karena Ali tidak
mengindahkan, dan atau bahkan mengabaikan, tuntutan itu, tentu
karena adanya pertimbangan politis tertentu, maka tidak saja
Muawiyah menolak untuk memeberikan baiat tetapi juga
menuduh Ali terlibat, meski tidak secaralangsung, dalam aksi
pembunuhan terhadap diri Usman. Tuduhan Muawiyah di satu
pihak dan sikap Ali pada pihak lain, tampaknya dengan alasan
masing-masing dapat dipahami. Memang diduga kuat ada
sejumlah ekstrimis dai kelompok pendukung Ali, yang kemudian
mereka menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai khalifah,
sehingga secara politis wajar kalau kemudian mereka dilingungi
oleh Ali; dan inilah yang kemudian ditangkap oleh Muawiyah
sebagai indikasi keterlibatan Ali dalam aksi pembunuhan Usman.
Tuduhan Muawiyah tampak makin beralasan ketika dari kalangan
pendukung Ali diketahui adanya kelompok ekstrimis yang
berpandangan bahwa aksi pembunuhan terhadap diri Usman dari
persepektif agama dapat dibenarkan. Alasan mereka adalah
10
dengan kebijakan nepotisme itu, cermin kekurang adilan Usman,
berarti Usman telah melakukan dosa besar (kafir), dan bahkan
kafir murtad, karenanya halal darahnya dan boleh dibunuh.

Bila dianalisis secara kritis atas argume religius-teologis di


atas (baca, khawarij), sebagai lebitimasi aksinya, terutama dalam
hal pengkafiran dan pelenyapan rivalnya, tampaknya bisa ditarik
sebuah garis linier yang menghubungkan mereka dengan para
ekstrimis sebelumnya, khususnya kelompok keras dari pendukung
Ali yang terlibat dalam aksi pembunuhan atas Usman. Dengan
kata lain, sebagai tercermin dalam argumen teologisnya, para
pembunuh Usman adalah para ekstrimis pendukung Ali, yang
ketika Ali menjadi khlifah dan didesak mengusut para
pembunuha Usman, mereka bereaksi dengan mengatakan bahwa
pembunuhan Usman dapat dibenarkan agama, dan dengan alasan
teologis yang realtif sama bahkan lebih tegas, mereka pada paska
arbritase dikenal dengan sebutan khawarij dan merencanakan
aksi pembunuhan terhadap Muawiyah dan Ali, serta para tokoh
yang terlibat aktif dan setuju dengan arbritase itu.

Konflik antara pendukung Ali dan Muawiyah berujung pada


perang Siffin. Peristiwa yang kelak melahirkan tahkim atau
arbritase, bentuk penyelesaian kompromi antara dua pihak yang
11
bertikai, yang ditolak oleh para ekstrimis dari kelompok Ali, yang
oleh banyak pihak dinilai sebagai bentuk kekalahan diplomatik
Ali karena sejak itu secara de jure Ali menjadi kehilangan
legitimasi politiknya dan legitimasi itu beralih ke tangan
Muawiyah, telah mengakibatkan para pendukung Ali dari
kelompok garis keras tersebut melancarkan protes, dan bahkan
menyatakan keluar dari barisan Ali dengan membentuk kelompok
sempalan yang kelak dikenal sebagai kaum Khawarij. Dalam
pandangan Khawarij, arbritasi merupakan bentuk penyelesaian
sengketa yang tidak sejalan dengan al-Qur’an. Karena itu dengan
pijakan Qs. al-Ma’idah (5): 44wa man lam yahkum bima anzala
Allah fa ula’ika hum al-kafirunyang darinya kemudian diturunkan
adagium la hukm illa Allah, Khawarij menjustifikasi semuah
pihak yang terlibat dan setuju arbritasi berarti berbuat dosa besar
atau kafir-murtad dan harus dibunuh. Kemudian mereka
merencanakan membunuh Muawiyah, Ali, Amr bin ‘Ash (wakil
Muawiyah dan Abu Musa al-‘Asyari (wakil Ali), namun hanya
Ali yang berhasil dibunuh oleh mereka yakni di tangan Ibn
Muljam.

Peristiwa tahkim membuat skisme dalam tubuh umat Islam


terpolarisasi lebih kompleks di satu sisi, dan mendorong
munculnya problem-problem teologis baru yang krusial pada sisi
12
lain. Fenomena skisme yang semula hanya melibatkan dua
kekuata kelompok politik Muawiyah dan Ali pada paska tahkim
diramaikan pula oleh kelompok baru sempalan pendukung Ali
dari garis keras yakni Khawarij. Tiga kelompok tersebut bukan
saja saling berseberangan, tetapi juga berkeinginan terutama
Khawarij untuk melenyapkan rivalnya. Sementara pada sisi lain,
Khawarij mulai menggunakan idiom-idiom keagamaan-teologis
seperti dosa besar atau kafir, dalam memandang dan menjelaskan,
yang menurut kebanyakan orang out sider Khawarij, adalah
persoalan politis. Inilah alasan munculnya penrnyataan “Khawarij
merupakan yang mula-mula memunculkan persoalan teologis”
atau “Khawarij adalah yang meningkatkan persoalan politis
menjadi persoalan teologis”.

Khawarij hanyalah representasi satu bentuk akstrimitas


keagamaan saat itu. Di kalangan mereka, saat itu ditemukan pula
para ekstrimis yang berpandangan bahwa manusia mempunyai
kebebasan memilih dan kemampuan berbuat baik dan buruk,
sehingga mereka harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan mainstream seperti inilah para pelaku pembunuh Usman
atau pendukung mereka menyusun penalaran logis untuk
membenarkan tindakan pembunuhan terhadap Usman. Dalam

13
pandangan Nurcholish Madjid,14 sesungguhnya mereka itulah
yang mula-mula memanfaatkan filsafat Yunani (penalaran logis)
guna menjelaskan masalah akidah atau teologi, yang kemudian
dari jalan berfikirnya itu lanjut Madjid mereka menjadi cikal
bakal kaum Qadari, yakni mereka yang berfaham Qadariah.
Sementara itu di ujung lain garis ekstrimitas terdapat pandangan
atas keterpaksaan manusia dan ketidkberdayaannya menghadapi
ketentuan atau takdir Tuhan (predistinasi), yang kemudian lahir
famam Jabariah dengan Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Sofwan
sebagai tokoh utamanya.

Di samping sejumlah kelompok ekstirmis yang telah disebut di


atas, masih terdapat kelompok lain yang lebih berorientasikan
pada pengembangan intelektual keagamaan dan bersikap netral
dalam bidang politik. Mereka sebagai generasi angkatan baru
muslim, yang sebenarnya sudah muncul pada awal kekuasaan
Umayah ketika mulai terasakan adanya keskenjangan antara
penguasa dengan ilmuwan atau ulama’, yang mungkin karena
trauma oleh fitnah demi fitnah masa lalu, mereka
mengembangkan konsep jama’ah. Inti dari konsep jama’ah ini
adalah kesatuan ideal seluruh kaum muslimin lintas aliran politik,
di bawah satu payung yakni akidah Islam. Mereka tumbuh di
14
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin, h. 204-205.
14
berbagai kota pusat kegiatan pemikiran Islam, dan diantara yang
terpenting adalah Maddinah dan Basrah. Di Madinah, Abdulah
ibn Umar, putra Umar bin Khaththab, tampil sebagai ilmuwan
yang secara serius mengkaji tradisi kenabian, sehingga bersama
dengan Abdullah ibn Abbas, dikenal sebagaia perintis kajian baru
dalam sejarah intelektualisme Islam yakni bidang sunah. Karena
pandangannya yang menekankan kesatuan umat Islam dalam
wadah jama’ah, ditambah rintisannya dalam kajian sunah, maka
kedua tokoh itu banyak diapresiasi sebagai pendahulu
terbentuknya kelompok umat Islam yang kelak populer sebagai
Ahl as-sunah wa al-Jama’ah (salafiah).15

Karena golongan jama’ah dibangun di atas ciri dasar netralitas


politik, maka pluralisme menandai ciri khusus mereka, dan
sesungguhnya mereka itulah yang mula-mula dinamakan sebagai
Mu’tazilah dalam pengertian golongan Netralis (politik), tanpa
stigma teologis sebagai inheren pada Mu’tazilah (Wasil bin
Atha’) yang muncul sesudah itu. Akan tetapi karena di kalangan
mereka tumbuh sikap irja’ mungkin ini merupakan konsekuensi
dari semangat jama’ahnya yakni pandangan bahwa justifikasi atas
Muslim pelaku dosa besar: apakah ia masih muslim atau kafir,
harus ditunda hingga pengadilan akhirat di hadapan Allah, maka
15
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual, h. 16.
15
golongan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh penguasa Bani
Umayah. Faham irja’, yang subjeknya dinamakan kaum Murji’ah,
dengan implikasi jaabariahnya itu menjadi populer di kalangan
komunitas islam, dan membantu meletakkan dasar sosial-
keagamaan dan budaya bagi rezim Umayah.

Tokoh penting lain saat itu adalah Hasan al-Basri (w. 110
H/728 M), lahir dan dibesarkan di Madinah tetapi kemudian
menetap di Basrah. Tokoh kenamaan ini bukanlah seorang
pemikir sistematis, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai orang
saleh (zahid) dan senantiasa menyeru manusia untuk berbuat
kebaikan. Meskipun ia bukan seorang cendekiawan, namun
pengajarannya dalam bentuk majlis ta’lim telah menarik kalangan
luas komunitas umat Islam yang di kemudian hari merangsang
tumbuhnya gerakan-gerakan pemikiran besar dalam Islam. Dalam
salah satu momen diskusinya, Hasan al-Basri pernah ditanya
perihal status hukum Muslim yang melakukan dosa (besar) suatu
problem teologis yang sedang menjadi isu perdebatan hangat
pada masa itu. Akan tetapi sebelum al-Basri memberikan
jawaban, salah seorang muridnya bernama Wasil bin Atha’
mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan Khawarij yang
menjustifikasi kafir muslim pelaku dosa besar dan tidak pula
setuju dengan pandangan Murji’ah yang menjustifikasi muslim
16
pelaku dosa sebagai mu’min. Bagi Wasil, Muslim pelaku dosa
besar status hukumnya menempati posisi tengah antara kafir dan
mu’min dengan sebutan manzilah bain manzilatain.16 Paska
pemisahan itu Wasil membenuk kelompok sendiri, dan atas
peristiwa itu al-Basri mengatakan I’tazala ‘anna. Maka terjadilah
penamaan kepada halaqah Wasil itu sebagai Mu’tazilah, yang
secara teknis berbeda dengan sebutan Mu’tazilah golongan
Netralis sebelumnya. Itulah sebabnya Wasil dikenal sebagai
tokoh pencetus aliran Mu’tazilah dalam kapasitasnya sebagai
aliran teologi.

Munculnya Mu’tazilah versi Wasil merupakan tahap yang


amat penting dalam sejarah perkembangan intelektual Islam
terutama Ilmu Kalam. Mereka adalah pelopor yang sungguh-
sungguh untuk dilakukannya kegiatan pemikiran tentang akidah
Islam secara lebih sistematis. Kebetulan pula pada penghujung
kekuasaan Umayah itu sudah mulai terasa adanya gelombang
pengaruh Hellinisme (pertama) di kalangan umat Islam di satu
sisi, dan adanya serangan kritis dari orang-orang non Islam
terutama dari Yahudi dan Nasrani terhadap doktrin keparcayaan
Islam dengan menggunakan sarana filsafat Yunani pada sisi lain.
Kesemuanya itu adalah merupakan faktor luar yang secara
16
Harun Nasuution, Teologi Islam, h. 38.
17
signifikan memberikan motivasi Mu’tazilah untuk membahas
masalah-masalah akidah Islam secara rasiional-filosofis dan
sistematis, sehingga dengan kerja intelektual inilah kemudian
mereka diapresiasi sebagai perintis bagi tumbuhnya disiplin baru
dalam kajian Islam yakni Ilmu Kalam, khususnya dalam bentuk
pemikiran apologetis keislaman mereka dalam menghadapi lawan
kritiknya dari agama lain, dan juga menghadapi lawan-lawan
mereka dari kalangan internal umat Islam.

Seperti halnya dengan pertumbuhan pemikiran keislaman


sebelumnya, faham Mu’tazilah yang kemunculannya lebih dilatari
oleh masalah teologis, namun tidak terlepas begitu saja dari
pergumulan politik dunia Islam saat itu. Meski faham Mu’tazilah
dengan konseopnya manzilah bain al-manzilatain dapat
dipandang sebagai usaha menengahi faham Khawarij dan
Murji’ah mengenai Muslim pelaku dosa besar, namun dalam
perkembangannya kemu’tazilahan itu menjadi lebih sangat dekat
dengan kaum Qadariah beerta Khawarij dan Syi’ah. Karena
Mu’tazilah beserta Khawarij dan Syi’ah yang beroposisi terhadap
kekuasaan Damaskus itu berhadaan dengan ideologi basis sosial
keagaman dan budaya rezim Umayah yang cenderung kepada
Jabariah tersebut, maka wajar kalau pandangan mereka yang
menekankan kebebasan pribadi itu menjadi sarana ideologis yang
18
tangguh bagi kaum revolusioner Abbasiah untuuk meruntuhkan
kekuasaan Umayah.

Setelah revolusi Abbasiah berhasil, Mu’tazilah untuk jangka


waktu tertentu menjadi idiologi resmi negara khususnya zaman
khalifah al-Makmun (198-219 H/813-833 M). Meskipun
kedudukan Mu’tazilah yang menguntungkan itu tidak bertahan
lama antara lain karena kesalahan mereka sendiri yang
melancarkan mihnah (inkuisisi) namun pikiran-pikiran mereka
berhasil membuka lebar-lebar pintu dunia intelektual Islam bagi
masuknya gelombang hellenisme yang pertama (750-950 M).
Memang sebagian besar umat Islam, khususnya mereka yang
berada di bawah naungan ideologi Jama’ah, semula cukup
enggan, kalau tidak memusuhi, hellenisme itu. Tetapi secara
umum terdapat banyak kaum Mualimin yang mempelajari
pikiran-pikiran asing itu dengan tekun, disertai kemantapan
beragama dan keercayaan kepada diri sendiri secukupnya.
Mereka ini dengan kebebasan berfikir yagn masih lebih besar lagi
dariada kaum Mu’tazilah, mengembangkan filsafat itu dan
emberikan wqatak keislaman kepadanya. Maka lahirlah suatu
disiplin ilmu dalam khaanah intelektual islam yang secara teknis
disebut failasuf; dan dari kalangan mereka ini tumbuh kelompok
baru kaum terpealajar muslim yakni falilasuf, suatu penamnaan
19
khusus kepada kaum intelektual muslimin yang sangat
terpengaruh olegh filsafat yunani. Diantara para filosof itu yang
mula pertama secara sistematis mempopulerkan fislafat Yunani di
kalangan umat Islam adalah al-Kindi (w. 257/870 M).

Jangka waktu sekitar 200 tahun sejak pertengahan abad ke-2 H


adalah masa banyak sekali diletakkan dasar-dasar perumusan
baku ajaran Islam seperti yang kita kenal sekarang. Selain
munculnya ilmu kalam oleh Mu’tazilah dan falsafah oleh adanya
gelombang hellenisme, masa itu juga mencatat adanya proses
konsolidasi faham jama’ah dan sunah. Selain fiqih dan hadis,
konsollidasi kaum sunn juga terjadi dalam bidang teologi, yang
terpenting diwakili oleh Abu al-hasan al-Asy’ari (w. 300 H/915
M). Al-Asy’ari sendiri sesungguhnya dari segi lahitah intelektual
dan fahamnya adalah seorang Mu’tazilah, tetapi karena kecewa
oleh beberapa nuktah dalam pemikiran Mu’tazilah, pada saekitar
usia 40 tahun ia menginggalkan aliran tersebut dan membangun
aliran umum umat yakni faham jama’ah dan sunah yang dikenal
dengan aliran Asy’ariah atau kemudian populer dengan sebutan
Ahl as-Sunnah wa al-jama’ah (Khalaf).

Dengan sistematika Asy’ari, keberadaan ilmu kalam mulai


memperoleh kedudukannya yang mantap dalam bangunan
20
intelektual Islam. Mungkin karena memang dimaksudkan untuk
membuat semacam modus vivendi antara sejumlah faham
ekstrims, maka kalam As’ariah merupakan jalan tengah bersifat
moderasi antara dognatisme dan liberalisme, dan hal itu menjadi
salah satu faktor utama kalam Ast’ari cepat menjadi populer di
kalangan umat Islam, dan kemduan diterima sebagai rumusan
ajaran pokok agama (usul ad-din) yang sah atau ortotoks di
seluruh dunia islam secara hampir tanpa kecuali, sampai detik ini.
Keadaan itu begitu rupa ehingga memberikan kesan bahwa ilmu
kalam, salah satu warisan intelektual Islam, pada saat itu seolah-
oplah merupakan suatau panecea yang sudah sempurna dan
bersifat abadi.17

Di samping Asy’ariah muncul pula di kota Samarkand suatu


faham yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M).
Aliran ini kemudian dikenal dengan nama teologi al-Maturidiah,
yang biasanya dimaksukkan pula ke dalam kategori seperti halnya
Asy’ariah sebutan faham Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Maturidiah diklasifikasikan menjadi dua kelompok yakni cabang
Samarkand tokohnya dalah al-Maturidi sendiri yang bersifat agak
liberal dan cabang Bukhara tokkoh utamanya adalah al-Bazdawi
yang lebih bersifat tradisional. Selain itu sebenarnya masih ada
17
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual, h. 29.
21
lagi seorang teolog dari Mesir bernama at-Tahawi (w. 933 M),
pengikut Abu Hanifah seperti al-Maturidi, tetapi ajaran-ajarannya
tidak menjelma sebagai aliran teologi dalam Islam. 18

Dengan demikian aliran teologi Islam atau kalam penting


yang timbul dalam Islam ialah Khawarij, Syi’ah, Murji’ah,
Mu’tazilah, Salafiah, Asy’ariayh dan Maturidiah. Aliran-aliran
Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi
kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah
alairan-aliran salafiah, Asy’ariah dan Maturidiah di satu pihak
dimana ketiganya disebut ebagai aliran Ahl as-Sunnah wa al-
jama’ah dan aliran Syi’ah pada pihak lain.

C. Kerangka Metodologis Kalam

Ilmu Kalam ata Teologi Islam telah disepakati sebagai ilmu


keislaman dalam pengertian bercorak islam. Ilmu Kalam dalam
bentuknya sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman, yang lahir
pada abad ke-2 H/8 M lewat sentuhan tangan kaum Mu’tazilah,
dibangun di atas sebuah landasan epistemology tertentu. Seperti
halnya epistemology pada umumnya, teori pengetahun kalam
lebih dimaksudkan untuk memberikan jawaban setidaknya

18
HarunNasution, Teologi Islam, h. 9.
22
terhadap dua pertanyaan mendasar berikut ini.Pertama, apa yang
dapat kita ketahui, dan kedua, bagaimana atau engan apa kita
mengetahuinya.19 Pertanyaan pertama berkaitan dengan lingkup
atau objek kajian, sedangkan yang kedua terkait langsung
dengan sumber atau alat dan metode mendapatkan pengetahuan
tentang objek itu.

Objek kajian Ilmu Kalam, sebagaimana terlihat dalam uraian


di atas, adalah berintikan pada masalah Tuhan. Sangat boleh
jadi karena dimensi ini Ilmu Kalam dinamakan pula dengan
Teologi Islam yang dari sudut kebahasaan memang berati ilmu
tentang Tuhan (theos berarti Tuhan dan logos artinya ilmu. 20
Termasuk masalah ketuhanan di sini adalah masalah-masalah
metafisik seperti akhirat; atau ringkasnya adalah hal-hal yang
termasuk dalam wilayah akidah Islam. Oleh karena itu topik-
topik seperti sifat Tuha, perbuatan dan kalam Tuhan, sebagai
tergelar dalam karya-karya kalam, jelas termasuk masalah
ketuhanan; dan masalah keakhiratan seperti surga dan neraka
serta hal-hal metafisik atau gaib seperti malaikat, jin dan
19
Mulyadhi Kartanegara, “Membangun KerangkaIlmu: Perspektif
Filosofis”, dalam Problem danProspek IAIN, Antologi Pendidikan Tinggi
Islam, diedit oleh Komaruddi Hidayat danHendro Prastyo (Jakarta: Dirjen
Binbaga Islam, 2000), h. 252-253.
20
DagobertD.Runes (ed.), Dictionary of Philosophy (New Jersey: Littlefield
Adams & Co, 1977), h. 293.
23
semisalnya, sebagaimana kita temukan dalam buku-buku teologi
Islam, juga dibenarkan sebagai objek kajian ilmu kalam. Jika
kita merujuk keterangan Nurcholish Madjid, yang mengatakan
bahwa ilmu kalam membahas tuhand an derivasi-Nya, maka
hal-hal di luar diri tuhan, yang menguraikan dalam buku-buku
kalam, masuk ke dalam kategori meminjam istilah Nurcholish
Madjid derivasi Tuhan (derivasi-nya).

Adapun sumber atau alat pengetahuan dalam Ilmu Kalam,


yakni suatu yang dengannya diperoleh pengetahuan tentang
Tuhan dan derivasi-Nya, adalah dalil naql atau wahyu dan dalil
aql atau akal. Sebagaimana cabang ilmu keislaman yang lain,
wahyu merupakan sumber primer ilmu kalam,21 sedangkan akal
adalah sumber skundernya. Mengingat wahyu dan akal sama-
sama merupakan sumber pengetahuan yang mutlak adanya
dalam ilmu kalam, maka kualifikasi primer dan skunder di sini
sama sekali tidak bermakna yang satu bisa menafikan yang lain,
tetapi lebih menunjukkan peran dan posisi bersifat teknis
masing-masing sumber. Kuatipan berikut ini sedikit dapat
memberikan ilustrasi teknis menyangkut kualifikasi wahyu

M. Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?


21

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 121.


24
sebagai sumber primer dan akal sebagai sumber skunder dalam
ilmu kalam.

Cara berfikir kaum teologi adalah terlebih dahulu melihat teks


ayat dan kemudian mereka pergunakan akal untuk
memahaminya. Mereka menerima teks ayat karena teks ayat
adalah wahyu dari Tuhan, dan bukan karena isi teks ayat sesuai
dengan pendapat akal. Dan inilah kata Sulaiman Dunia cara
berfikir yang dipakai Mu’tazilah (juga teolog umumnya). 22

Dari kutipan tersebut dapat diketahui posisi atau peran wahyu


sebagai sumber priker dan akal sebagai sumber sekunder Ilmu
Kalam. Seorang teolog, karena menempatkan wahyu sebagai
sumber primer, dalam tata kerjanya mula-mula harus melihat
keterangan teks wahyu untuk diyakini kebenarannya, dan
kemudian baru mempergunakan akal, sebagai sumber
sekundernya, untuk menjelaskan makna teks wahyu itu secara
rasional dan atau menyusun argumen-argumen rasional guna
memperkuat kebenaran wahyu. Ringkasnya, dalil naqli atau
wahyu dijadikan acuan pertama dengan fungsi menetapkan
suatu keyakinan dan kemudian baru akal sebagai sarana untuk
memehami, menjelaskan, mengelaborasi, dan bahkan
menguatkan ketetapan wahyu. Metode inilah yang oleh a Hanafi
dinamakan sebagai metode berfikir agamis yakni berfikir yang

Dikutip dari: Harun Nasution, Muhamad Abduh dan Teologi Rasional


22

Mu’tazilah (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 91.


25
titik pijaknya berangkat dari kebenaran wahyu kemudian
diakhiri oleh pemahaman atau penguatan oleh akal fikiran biasa
diperhadapkan dengan metode falsafah yang disebut berfikir
bebas. Karena itu tidak begitu salah kalau dikatakan bahwa
dengan belajar kalam seseorang mustahil akan menjadi kafir,
karena aliran kalam apa pun, dengan metode agamisnya ini,
mesti menempatkan wahyu sebagai sumber primer, dan
karenanya mesti dijadikan rujukan pertama, sedangkan akal
menjadi sumber sekunder dan karenanya mesti dirujuk sebagai
penjelas atau penguat terhadap wahyu.

Metode kalam berlainan dengan berfikir yang diterapkan


dalam falsafah. Dengan kata lain, berfikirMutakallimin berbeda
dengan failasuf. Sulaiman Dunia dari Universitas al-Azhar,
Kairo, dalam karyanya berjudul Muhammad Abduh bain al-
Falasifah wa al-Kalamiyah (Muhamad Abduh diantara para
filosof dan teolog) menjelaskan bahwa filosof dalam teta kerja
pikirnya terlebih dulu mempelajari filsafat, kemudian baru
melihat teks wahyu. Dengan kata lain, para filosof memakai
akal terlebih dulu kemudian baru pergi ke teks wahyu atau
ayat.23 Kalau pemikiran akal sesuai dengan makna teks tidak ada
masalah, tetapi kalau tidak sejalan maka teks diberi arti
23
HarunNasution, h. 93.
26
metaforis atau ditakwilkan sehingga keduanya relevan.
Sebaliknya kaum teolog dalam langkah kerjanya mula-mula
melihat teks wahyu, kemudian baru berusaha memahaminya,
dan atau menguatkannya, dengan argume akal.

Dengan demikian pola pikit dalam Kalam dilihat dari alur


pikirnya adalah mengikut pola pikir deduksi. Itulah sebabnya
harus dikatakan bahwa pengetahuan teologis, betapapun
sistematisnya, tetap deduktif, sedangkan pengetahuan alam
bersifat induktif.24 Pola pikir deduktif bertolak dari pengetahuan
umum (premis mayor) menuju pengetahuan yang lebih bersifat
khusus; jadi, konklusinya mesti tidak lebih luas daripada premis
mayornya. Menurut Amin Abdullah, pola pikir deduktif Kalam
adalah mirip dengan pola pikir deduktif Plato. Hanya saja fungsi
ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato diganti untuk tidak
menyatakan diisalamkan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks
hadis. Bahkan tidak jarang melebar sampai kepda ijma’ dan
qiyas.25 Metode berfikir semacam ini bukan tanpa kelemahan,
karena sebagaimana ddijelaskan oleh Amin Abdullah,
cenderung menggiring seseorang dan kelompok ke arah model

M. Atha’ Muzhar, dalam Mencari Islam, h. 27.


24

M. Amin Abdullah, dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prastyo (ed.),


25

Problem danProspek IAIN, AntologiPendidikan Islam, h. 227.


27
berfikir yang bersifat justifikatif terhadap teks-teks wahyu yang
sudah tersedia.26

Itulah kerangka umum metode berfikir Kalam, yang secara


umum telah diaplikasikan oleh para teolog Muslim, terlepas dari
mazhab dan alirannya. Termasuk para teolog Mu’tazilah pun,
yang dalam Teologi Islam sistem teologinya sering disebut
sebagai teologi rasional, tetap tidak keluar dari kerangka dasar
metode berfikir semacam ini. Yakni tetap menetapkan wahyu
sebagai sumber primer dan akal sebagai sumber sekunder,
sehingga yang kedua mesti dirujuk setelah yang pertama atau
yang pertama mesti diacu lebih dulu baru kemudian sumber
yang kedua; bertolak dari kebenaran wahyu dan diakhiri dengan
pemahaman atau penguatan oleh akal fikiran. Wahyu
diposisikan sebagai premis acuan kemudian darinya akal fikiran
memunculkan suatu konklusi atau kesimpulan. Oleh karena itu
tidak benar kalau Henrich Steiner menyebut Mu’tazilah sebagai
pemikir bebas, karena setinggi apa pun penghargaan mereka
kepada akal, tentu saja mereka tetap berpija kepada kebenaran
umum teks wahyu.

26
M. Amin Abdullah, h. 227.
28
Hanya saja kemkudian di kalangan teolog terjadi perbedaan
dalam hal penyeimbangan posisi dua sumber tersebut. Kaum
Salaf memposisikan teks wahyu pada tempat yang sangat
dominan, tentu tetap mengapresiasi akal meski dalam makna
periferial-minimal, sedangkan Mu’tazilah mengapresiasi peran
akal dengan begitu tinggi, tentu tidak keluar dari kerangka
berfikir agamis, dan berada pada posisi tengah antara keduanya
dengan misi menyeimbangkan peran teks wahyu dan akal.
Dalam konteks ini M. Zurkani Jahya menguraikan bahwa akibat
berpedaan intensitas penggunaan teks wahyu dan akal ini telah
mengakibatkan polarisasi metodis kalam atas empat macam
yaitu: (1) Metode rasional, yang menganggap rasio sebagai alat
dominan sehingga teks wahyu mesti diterima secara rasional,
dan karenanya keyakinan seseorang terhadap materi akidah
Islam mesti didasarkan pada pengetahuan rasional; (2) Metode
tekstual, yakni metode berfikir yang berpegang teguh kepada
teks wahyu secara harfiah, tanpa memberikan peranan akal dan
hasil pemikiran untuk menjamah masalah-masalah akidah
Islam, kecuali sebatas sistematisasi dan penjelasan secara
harfiah; (3) Metode moderat, atau sintesa dari metode rasional
dan tekstual dengan menyeimbangkan metode rasional dan
tekstual.27
27
M. Zurkani Jahya, Teologi al-Gazali, h. 52-53.
29
Di samping tiga metode berfikir di atas M. Zurkani Jahya
masih mengintroduksi sebuah metode lagi, yang mana metode
ini diaplikasikan oleh seluruh mazhab teologi yakni dialektis
atau jadali, yakni metode debat untuk mempertahankan
pendapatnya sendiri dan mematahkan pendapat lawan, baik
dengan argumen rasional maupun teks wahyu. Metode rasional,
dalam Teologi Islam, biasa diterpkan oleh Mu’tazilah; metode
tekstual oleh Ahl as-Sunnah Salaf atau Ahl al-Hadis; dan
metode moderat oleh oleh para teolog Asy’ariyah.

30
LATIHAN 1
Diskripsikan Beberapa Soal Di Bawah Ini!

1. Apa Devinisi Ilmu Kalam Secara Terminologi Dan


Etimologi?
2. Apa Persamaan Dan Perbedaan Ilmu Kalam Dengan
Teologi?
3. Apa Fungsi Ilmu Kalam Dalam Perspektif Islam?
4. Ada Berapa Landasan Disiplin Ilmu Kalam?
5. Abad Keberapa Berdirinya Ilmu Kalam Dalam Islam?
6. Kapan Historis Ilmu Kalam Atau Teologi Mulai
Berkembang?
7. Aliran Apa Sebagai Pelopor Pemikiran Akidah Islam
Secara Sistematis?
8. Sebutkan Beberapa Aliran Teologi Yang Timbul Dalam
Islam!
9. Bagaimana Kerangka Berfikir Kaum Teologi?
10. Sebutkan Sumber Atau Instrumen Dalam Ilmu Kalam!

31

Anda mungkin juga menyukai