Anda di halaman 1dari 21

ILMU KALAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushuluddin dan Berbagai
Aspeknya
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

Oleh :
Dedi Sutiadi
21190331000005

PROGRAM STUDI MAGISTER AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H./2019 M.
A. Seputar Ilmu kalam; Pengertian, Sejarah, dan Metodologi
Untuk mengawali pembahasan tentang Ilmu Kalam menjadi sebuah kenisacayaan untuk
terlebih dahulu menguraikan seputar Ilmu kalam, apa itu Ilmu kalam secara bahasa dan
pengertian, sejarah atau awal kemunculan Ilmu Kalam serta apa apa yang melatarbelakangi
hadirnya kajian ini, dan juga sedikit menguraikan metodologinya.

a. Pengertian
Dari beberapa sumber pemakalah menumukan beberapa perbedaaan antara satu tokoh
dengan yang lain dalam memberikan pengertian “Apa itu Ilmu Kalam?”. Bahkan pemakalah
menemukan Nampak tidak ada perbedaan antara pengertian Filsafat Islam dengan Ilmu Kalam.
Tentunya antara ilmu-ilmu tersebut jelas perbedaannya karena masing-masing memiliki
karakteristik tersendiri, objek kajian dan metodologi yang berbeda, walau dalam beberapa hal
juga terdapat titik persamaan. Pemakalah tidak bermaksud untuk mendalami perbedaan-
persamaan antara Filsafat Islam dengan Ilmu kalam disebut di atas karena bukan menjadi fokus
kajian dalam makalah ini. Namundemikian, pemakalah merasa perlu terlebih dahulu untuk
mengetengahkan hal yang menjadi ciri khas antara keduanya, Filsafat Islam dan Ilmu Kalam
sebgai ikhtiar untuk membedakan keduanya dengan lebih jelas.

Filsafat Islam pada dasarnya adalah pemikiran dan pembahasan rasional-sistematis


mengenai alam wujud dan manusia. Ilmu Kalam merupakan rangkaian argumentasi rasional
yang disusun secara sistematis untuk memperkokoh kebenaran aqidah agama Islam. Dasar Ilmu
Kalam jelas bersifat keagamaan, dan merupakan Ilmu keagamaan. Metode Filsafat Islam adalah
pembuktian melalui dalil-dalil aqli (rasional) sebagaimana yang dilakukan oleh para pemikir
Islam dan Yunani pada zaman dahulu. Sedangkan metoda Ilmu Kalam adalah diskusi
keagamaan. Problema yang menjadi objek pemikiran filsafat Islam adalah alam semesta dan
manusia, eksistensi dan sebab musabanya. Lain halnya dengan problema yang menjadi objek
Ilmu Kalam, atas dasar pengakuan eksistensi Tuhan beserta sifat-sifatNya dan hubunganNya
dengan alam semesta serta manusia yang hidup di muka bumi sesuai dengan ketentuan hukum
ilahi yang ditetapkan pada hamba-hambaNya, sebagaimana termaktub dalam Kitab-kitab Suci-
Nya.1

Penjelasan tentang perbedaan antara keduanya merupakan ikhtiyar untuk mengetahui


pengertian Ilmu Kalam dengan cara membedakan satu dengan yang lainnya. Sedang ilmu
Kalam secara Bahasa terdiri dari dua suku kata “Ilmu” dan “Kalam”. Ilmu merupakan
Pengetahuan tentang suatu bidang yag disusun secara sistematis menurut metode-metode
tertentu yg dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu.2 Kalam, dalam bahasa arab kalām yang bisa diartikan dengan “perkataan”,

1
Dr. Ahmad Fuad Al Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta: Pusataka Firdaus, 1985), 11-14
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),
554.

1|P age
yakni sabda Tuhan atau kata-kata manusia. Disini Ilmu Kalam dimaknai dengan Ilmu
Pembicaraan, karena dengan pembicaraanlah pengetahuan dapat dijelaskan, dan dengan
pembicaraan yang tepat, kepercayaan yang benar dapat ditanamamkan.3

Menurut Ibn Khaldun, Ilmu Kalam adalah ilmu yang mengandung argumentasi rasional
yang digunakan untuk membela akidah-akidah imaniyyah dan mengandung penolakan terhadap
pandangan ahli bidah yang di dalam akidah-akidahnya menyimpang dari mazhab al-Salaf al-
Shalih dan ahl sunnah, untuk kemudian masuk pada keyakinan hakiki yang menjadi rahasia dari
tauhid.4 Murtadha Muthahhari dalam bukunya Mengenal Ilmu Kalam, Menembus Kebuntuan
Berfikir, menguraikan Ilmu Kalam sebagai ilmu yang mengkaji tentang doktrin-doktrin dasar
atau akidah-akidah pokok Islam, Ushuluddin. Ilmu Kalam megidentifikasi akidah-akidah
pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-
akidah pokok tersebut.5

Prihal sebab penamaan dengan istilah "Ilmu Kalam" terdapat beberapa pendapat. Satu
pendapat menyebutkan bahwa dinamakan demikian karena ada beberapa kelompok yang
mengaku Islam namun memiliki banyak perselisihan pendapat hingga terjadi perang argumen
(al-kalaam) antar mereka dalam menetapkan kebenaran. Pendapat lain menyebutkan bahwa
adanya peristiwa perselisihan dan perbedaan pendapat mendasar antara tiga kelompok pada saat
itu tentang masalah Kalam Allah. Apakah Kalam Allah itu Qadim seperti yang ditegaskan
kelompok Ahlusunnah? Ataukah Kalam Allah itu baharu seperti yang diyakini kaum
Mu'tazilah? Ataukah Kalam Dzat Allah itu dalam bentuk huruf-huruf, suara, dan bahasa seperti
yang diyakini kelompok Hasyawiyah?6

Pendapat di atas seirama dengan penjelasan Al-Taftazzani tentang mengapa keilmuan ini
dinamakan Ilmu Kalam. Al-Taftazzani menerangkan, bahwa disebut ilmu kalam karena
persoalan-persoalan pertama yang dibahas dalam sejarahnya adalah berkenaan dengan Kalam
Allah, yaitu apakah kalam Allah bersifat hadis/ baharu atau qadim. 7 Hasbie ash-Shiddieqy
menyebutkan beberapa alasan, problematika yang diperselihkan sehingga menyebabkan umat
Islam terpecah ke dalam beberapa golongan, materi-materi ilmu kalam tidak ada yang
diwujudkan dalam kenyataan atau diamalkan, dalam menerangkan cara atau jalan ilmu kalam
serupa dengan mantiq, dan terakhir ulama-ulama mutaakhirin membicarakan dalam ilmu ini
halhal yang tidak dibicarakan oleh ulama salaf, seperti penakwilan ayat-ayat mutashabihat,
pengertian qada, kalam, dan lain lain.8

3
Dr. H. Nunu Burhanuddin, Lc, M.A., Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan (Jakarta : Prenadamedia Group,
2016), 9.
4
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, juz II (Dar al-Baida: Bait al-Funun wa al-Ulum, 2006), 458.
5
Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam, Menembus Kebuntuan Berfikir (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), 25.
6
Dr. H. Kholilurrohman, MA, Meluruskan Distorsi Dalam Ilmu Kalam (Tangerang, NURUL HIKMAH PRESS, 2018), 25.
7
Al-Taftazzani, Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah al-Qahirah al-Hadisah, 1957), 4.
8
M. Hasby ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 10.

2|P age
Secara harfiyah, kata-kata Arab "Kalam", berarti "pembicaraan" dan sebagai sebuah istilah,
"Kalam" tidaklah dimaksudakan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam
pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu
Kalam ialah rasionalitas atau logika. Ini disebabkan kata-kata "Kalam" sendiri memang
dimaksudkan sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani "logos" yang juga secara harfiyah
berarti "pembicaraan", yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya.
Dengan semkian dapat dipahami bahwa Ilmu Kalam memiliki hubungan yang erat dengan
logika.9

Ilmu kalam juga dinamakan ilm aqaid atau ilm ushul al-din. Hal ini karena persoalan
kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama. Abu Hanifah bahkan menyebutkan ilmu kalam
ini dengan Fiqh al-Akbar, yang terbagi atas dua bagian, pertama, fiqh al-akbar, membahas
keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-Asghar, membahas hal-
hal lain yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya
cabang saja.10

Ruang lingkup pembahasan ilmu kalam tentang keyakinan ber-Tuhan inilah yang juga
dinamakan “teologi”. Hanya saja karena ruang lingkup pembahasannya berdasarkan prinsip
dasar ajaran agama, maka dinamakan teologi agama. Untuk itu, ilmu kalam yang memiliki
dimensi bahasan tentang ketuhanan (keyakinan atau teologi), yang berdasarkan dan bersumber
pada prinsip-prinsip ajaran agama islam maka dinamakan sebagai Teologi Islam. 11 Teologi
Islam, berbeda dengan teologi Kristen, tidak berkembang secara sistematis, tidak pula sebagai
produk refleksi atas spekulasi teologis. Teologi Islam muncul sebagai reaksi atas perdebatan
atau isu khusus yang tumbuh dalam konteks sosio-politik Islam Awal. 12

Substitusi ilmu kalam dengan teologi, dengan demikian didasarkan pada pemaknaanya
secara umum dan bukan didasarkan pada tradisi pemikiran Kristiani. Substitusi ini didasarkan
pada realitas bahwa ilmu kalam dan teologi sama dalam bahasannya, yaitu segi-segi mengenai
Tuhan dan berbagai derivasinya, baik relasi-Nya dengan alam semestan maupu manusia.13

b. Sejarah
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad
SAW. maupun pada masa sahabat. Akan tetapi baru muncul atau dikenal pada masa berikutnya,
setelah banyak orang yang membicarakan persoalan metafisik, seperti persoalan ketuhanan dan

9
Dr. H. Nunu Burhanuddin, Lc, M.A., Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan (Jakarta : Prenadamedia Group,
2016), 16.
10
Mustafa Abd al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-falsafah al-Islamiyyah (Lajnah wa al-Ta'lif wa al-Tarjamah wa al-Nashr,
1959), 265.
11
Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 14.
12
John L. Esposito, Islam Warna-warni (Jakarta: Paramadina, 2004), 87.
13
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 201.

3|P age
eskatologi. Ahmad Hanafi dalm bukunya, Theologi Islam menerangkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi lahirnya Ilmu Kalam terbagi menjadi dua, yakni faktor-faktor yang datang
dari dalam Islam dan kaum muslimin dan faktor-faktor yang datang dari luar mereka, karena
adanya persentuhan antara Islam dengan kebudayaan-kebudayaan lain dan agama-agama yang
bukan Islam.

Faktor-faktor dari dalam, pertama, refleksi al-Quran sendiri mengajak kepada ajaran tauhid,
kenabian, dan tentang kepercayaan tauhid. Kedua, ketika kaum muslim selesai membuka
negeri-negeri baru untuk masuk Islam, dan mulai muncul persoalan agama dan berusaha
menjawabnya. Dan ketiga, persoalan-persoalan politik.14

Sedangkan faktor-faktor dari luar Islam dan kaum muslimin, yaitu pertama, banyak diantara
pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama Yahudi, Masehi, dan lain lain, apalagi
sudah menjadi ulama, kemudian masuk Islam. Kedua, golongan Islam terutama golongan
Mutazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan
mereka yang memusuhi Islam. dan ketiga, para mutakallimin hendak mengimbangi lawan-
lawannya yang menggunakan filsafat, maka mereka terpaksa mempelajari logika dan filsafat,
terutama segi Ketuhanan.15

Adapun kehadiran Ilmu kalam dalam sejarahnya dipicu oleh persoalan politik yang
menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin affan yang berbuntut pada penolakan
Mu’awiyyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyyah dan Ali bin
Abi Thalib mengkristal menjadi perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim
(arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak
Mu’awiyyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian
tentaranya.16

Istilah Ilmu Kalam mula-mula sekali muncul pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun
ibn Harun al-Rassid (813-833 M) dari daulah Bani Abbas.17 Namun masalah yang dipersoalkan
dalam ilmu kalam itu sendiri, jauh sebelumnya sudah lama timbul dari istilah Ilmu Kalam
sendiri. Bila melihat ke masa lebih awal, maka masalah pertama yang timbul adalah apakah
seorang mukmin pembuat dosa besar masih tetap mukmin ataukah sudah menjadi kafir.

Tapi suatu hal yang perlu dipahami bahwa persoalan kafir atau mukmin tersebut muncul
akibat pertentangan politik di kalangan umat sendiri. Dari masalah politik itulah perseliaihan

14
Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 6-10.
15
Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 10-12.
16
Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam, Menembus Kebuntuan Berfikir (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), 15-
24.
17
Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam; Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan
Hanafi (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2016), 6-10

4|P age
merembet menjad masalah teologi. Klaim kafir mengkafirkan pun muncul sebagai upaya dari
satu kelomok terhadap kelompok lain. Maka masalah kafir dan tidak kafir, bukan lagi menjadi
permasalahan politik tetapi sudah bergeser menjadi masalah teologi. Dengan mendasarkan
pandangan setiap kelompok terhadap ayat al-Quran, para sebagian pengikut Ali telah
menjatuhkan vonis kafir terhadap siapa saja yang menerima tahkim. Mereka inilah yang
kemudian dikenal dalam sejerah pemikiran Islam dengan nama kelompok Khawarij.

c. Metodologi
Paradigma Ilmu Kalam harus berangkat dari keyakinan/ dogma. Seseorang harus beriman
terlebih dahulu baru melakukan penjelajahan intelektual dalam rangka memperkukuh
keyakinan tersebu. Oleh sebab itu tidak boleh terjadi setelah mempelajari Ilmu Kalam iman
seseorang menjadi goyah. Adapun Metodologi yang dugunakan oleh Ilmu Kalam dikenal
dengan dalil naqli (dalil yang menggunakan nash-nash agama, yakni Al-Quran dan Hadis Nabi)
serta dalil aqli (dalil yang menggunakan argumentasi rasional). 18

Kalam Aqli (rasional) terbangun dari subtanasi yang rasional murni. Dan kalau ada
relevansinya dengan naqli, maka hal itu adalah demi menjelaskan dan menegaskan
pertimbangan rasional. Namun dalam masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keesaan
Allah, kenabian, dan beberapa topik tentang Kebangkitan, belumlah cukup kalau sekedar
merujuk pada naqli saja, dalam hal ini Al-Quran dan Sunah Nabi. Kalam Naqli (riwayat),
kendatipun terbangun dari topik-topik yang ada kaitannya dengan doktrin-doktrin agama atau
aqidah dan mengimaninya merupakan sebuah keharusan, namun karena topik-topik ini
statusnya berada di bawah topik kenabian, maka cukup dengan mengutip bukti dari Al-Quran
atau hadis Nabi SAW., misalnya dalam topik-topik yang berhubungan dengan imamah (tentu
saja dalam syi'ah, karena mengimani imamah dianggap sebagai bagian dari ushuluddin), dan
sebgain besar topik yang ada kaitanya dengan Kebangkitan. 19

Dalam menggunakan dua metode tersebut timbul dua corak pemikiran kalam, yakni
pemikiran kalam rasional dan pemikiran kalam tradisional. Pemikiran kalam rasional
mempunyai ciri-ciri: memberi makna metaforis terhadap nash, manusia mempunyai kebebasa
dalam berkehendak dan berbuat, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan terbatas, dan memberi
daya yang besar kepada akal. Sebaliknya pemikiran kalam tradisional mempunyai ciri-ciri:
memberi makna harfiyah kepada nash, manusia terikat dalam berkehendak dan berbuat,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya, dan memeri daya yang
kecil kepada akal.

18
Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam; Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan
Hanafi (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2016), 4-5.
19
Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam, Menembus Kebuntuan Berfikir (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), 24.

5|P age
Ruangan lingkup kajian ilmu kalam adalah ajaran-ajaran dasar Islam. Ajaran dasar itu
disebut dengan aqidah dalam Islam. Ajaran Aqidah itu meliputi wujud Allah, Kerasulan
Muhammad, Kewahyuan Al-Quran, masalah siapa mukmin dan siapa kafir, tentang surga dan
neraka, kekuasaan Allah, dan kehendak bebas manusia.

B. Masalah-masalah (Pembahasan) Ilmu kalam

Semula pembahasan Ilmu Kalam berkisar pada persoalan-persoalan dosa besar, kafir, mu’min, dan
fasik. Pada perkembangan selanjutnya meluas pada persoalan wahyu, akal, kekuasaan Tuhan,
perbuatan manusia, keadilan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan sebagainya.

 Akal dan Wahyu


Persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua malah pokok di atas,
masing-masing bercabang dua. Pertama, masalah mengetahui Tuhan; melahirkan dua masalah,
yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan. Kedua, masalah baik dan jahat;
melahirkan dua masalah, mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengetahui baik dan jahat.

Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan memakai akal dan wahyu dalam
memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada
dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai
pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia.
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan oleh tokohnya, segala pengetahuan dapat
diperoleh dengan perantara akal, kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pikiran yang
mendalam. Dan berterimakasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu adalah wajib. Baik dan
jahat diketahui oleh akal, juga mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk juga dengan
perantara akal.

Menurut golongan ini, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi dan informasi. Maksudnya, wahyu
mempertkuat apa yang diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui
oleh akal. Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh oleh akal.
Dalam hubungan ini Abu Huzail dengan tegas mengatakan, jika orang tersebut tidak
berterimakasih kepada Tuhan maka ia akan mendapat hukuman. Golongan al-Murdar bahkan
pergi lebih jauh , wajib mengetahui Tuhan, sifat Tuhan dan hukum-hukum Tuhan, sungguhpun
wahyu belum ada. Dan orang yang tidak berterimakasih kepada Tuhan akan mendapat hukuman
kekal dalam neraka.20
Menurut Asya’riyah, sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari sendiri, segala kewajiban hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat
mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan

20
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Alran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2013), hal. 83.

6|P age
berterimakasih kepada-Nya. Dengan wahyu pulalah, dapat diketahui bahwa yang patuh kepada
Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh akan mendapat siksa. Dengan demikian
akal, menurut Al-Asy’ari, dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak mampu mengetahui kewajiban-
kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan. Al-Asy’ari juga mengatakan dalam
kitabnya, akal tidak dapat mengetahui baik dan jahat.

Menurut Maturidiyah, akal manusia mampu mengetahui kewajiban berterimakasih kepada-


Nya, mengetahui percaya kepada-Nya, sebelum adanya wahyu, wajib pula sama halnya seperti
Mu’tazilah. Menirut Abduh, Maturidiyah dan Mu’tazilah sependapat bahwa perintah dan
larangan erat kaitannya dengan sifat dasar suatu perbuatan. Maksudnya adalah pahala dan siksa
tergantung pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
Kata Al-Maturidi, akal mengetahui sifat baik dalam perbuatan baik dan sifat buruk dalam
perbuatan buruk. Pengetahuan inilah yang menyebabkan bahwa akal berpendapat, mesti ada
perintah dan larangan Tuhan. Adanya perintah dan larangan Tuhan itu wajib menurut akal.
Adapun mengenai kewajiban manusia mengerakan perbuatan baik dan buruk sebelum
datangnya wahyu itu tidak ditemukan dama pendapat Al-Maturidi.

 Konsep Iman

Menurut Asy’ariah, bahwa akal manusia tidak bisa sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan,
kecuali melalui wahyu. Wahyulah yang mengetakan dan menerangkan kepada manusia harus
menerima kebenaran itu. Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Asy’ariah, iman berarti tashdiq
(membenarkan). Jadi, iman adalah membenarkan tentang adanya Allah dan kebenaran para
Rosul dan bentuk pemgakuan dalam hati. Adapun, mengucapkannya dalam lisan dan
mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman.
Menurut Mu’tazilah, bahwa akal manusia bisa sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Iman
tidak bisa mempunyai arti tashdiq (iman dalam arti) pasif). Menurut mereka, iman mesti
mempunyai arti aktif, sebab manusia, melalui akalnya dapat sampai pada kewajiban
mengetahui Tuhan. Jadi, iman dalam arti mengetahui itu belum cukup.
Menurut Maturidiah Bukhara , dalam masalah iman, sama dengan Asy’ariah. Iman itu harus
merupakan tashdiq, bukan ma’rifah (amal). Sebagaimana dikemukakan al-Badzawi, iman
adalah kepercayaan dalam hati yang ditanyakan dalam lisan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Kepatuhan kepada perintah-perintah Tuhan merupakan
akibat dari iman.
Menurut Maturidiah Bukhara Samarkand, mesti lebih dari tashdiq, karena akal, sebagaimana
Mu’Tzilah, dapat sampai pada mengetahui Tuhan. Al-maturidi sendiri berpendapat, iman itu
mengetahui Tuhan dalam ketuhanan-Nya, ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan segala

7|P age
sifat-Nya, dan tauhid adalah mengenal Tuhan dalam keesaan-Nya. Jadi, menurutnya, iman tidak
hanya tashdiq, tetapi ma’rifah (amal).21

 Kebebasan dan Keterikatan Manusia


Menurut Mu’tazilah, manusia dipandang bebas mempunyai daya yang besar dan bebas.
Menurut Al-Jubba’i, manusia sendiriah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia
berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya
sendiri. Daya (istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia
sebelum adanya perbuatan.
Menurut Maturidiah Samarkand, dalam hal ini ada dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan
perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya pada diri manusia,
dan perbuatan daya itu sendiri adalah perbuatan manusia. Namun, daya itu diciptakan bersama-
sama dengan perbuatan. Perbuatan manusia menurutnya adalah perbuatan manusia yang
sebenar-benarnya, sehingga apa yang disebut pemberian pahala dan siksa didasarkan atas daya
yang diciptakan. Berbeda dengan Mu’tazilah, yang beranggapan bahwa daya diciptakan lebih
duludari pada perbuatan.
Menurut Asy’ariah justru manusia dipandang lemah. Karena kelemahannya, manusia banyak
bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dalam perbuatannya, manusia mempunyai
keterbatasan. Dalam hal ini mereka mengemukakan teori kasb (perolehan). Iktisab menurut
golongan ini adalah terjadinya sesuatu dengan perantara daya yang diciptakan.

C. Aliran-aliran (Mazhab) Ilmu Kalam

A. Khawarij

Nama Khawarij dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama ini dilekatkan pihak lain pada
pasukan Ali bin Abu Thalib, lalu mereka keluar dari pasukan itu. Awalnya mereka
mendukung khalifah Ali bin Abu Thalib, tetapi lantaran khalifah Ali menerima tahkim,
maka kelompok pendukung Ali retak dan sebagiannya keluar dari barisan. Kelompok yang
keluar dari barisan inilah yang disebut Khawarij. Kelompok ini berkumpul di suatu tempat
yang disebut Harura (satu tempat di daerah Kuffah), dan oleh sebab itu mereka juga
disebut al-Haruriyyah.22

21
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Alran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2013), hal. 148.
22
Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyah volume I, (Kairo: al-Nahdhah al-Misriyyah, 1950), h. 156.

8|P age
Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij
ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang
pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.23
Sebagaian orang berpendapat bahwa nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka
keluar dari rumah-rumah mereka. dengan maksud berjihad di jalan Allah. Hal ini di
dasarkan pada QS. An-Nisa: 100, yang di dalamnya disebutkan “keluar dari rumah lari
kepada Allah dan Rasul Nya.24

Doktrin-doktrin dari segi politik yang dikembangkan oleh Khawarij:25

 Khalifah atau imam harus di pilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
 Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang
muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
 Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syariat islam. Ia harus dijatuhkan bahkan di bunuh kalau melakukan
kezaliman.
 Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa
kekhalifahannya, Utsman ra. Di anggap telah menyeleweng.Khalifah Ali adalah sah
tetapi setelah tahkim, ia di anggaptelah menyeleweng.Muawiyah dan Amr bin Ash
serta Abu Musa Al Asy’ari juga di anggap menyeleweng dan teleh menjadi kafir,
 Pasukan perang Jamal yang melewan Ali juga kafir.
Doktrin-doktrin dari segi teologi yang dikembangkan oleh Khawarij:26

 Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus di bunuh.
Mereka menganggap bahwa seorang muslim d apat menjadi kafir apabila ia tidak mau
membunuh muslim lain yang telah di anggap kafir dengan resiko ia menanggung
beban harus dilenyapakan pula.
 Seseorang harus menghindari pimpinan yang menyeleweng.
 Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga sedangkan orang yang
jahat masuk ke dalam neraka).

Doktrin-doktrin dari segi teologi sosial yang dikembangkan oleh Khawarij:

 Amar ma’ruf nahi mungkar

23
Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947), h.
109.
24
Harun Nasution, Teologi Islam Airan-aliran Sejarah dan Analisis Perbandingan, (Jakarta: UIP, 1972), h.11
25
Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947), h.
51.
26
Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947), h.
51-52.

9|P age
 Memalingkan ayat-ayat Al Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar).
 Al Qur’an adalah makhluk
 Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan

B. Syi’ah

Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”.


Sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan kelompok masyarakat yang amat
memihak Ali dan dan memuliakannya beserta keturunannya. Kelompok tersebut lambat
laun membangun dirinya sebagai aliran dalam Islam. Adapun ahl al-bait adalah “family
rumah nabi”. Menurut syiah yang dinamakan ahl bait itu adalah Fatimah, suaminya Ali,
Hasan dan Husein anak kandungnya, menantu dan cucu-cucu Nabi, sedang isteri-isteri nabi
tidak termasuk Ahl al-Bait.27
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ahli. Menurut Abu Zahra, syi’ah mulai ke permukaan sejarah pada masa akhir
pemerintahan Utsman bin Affan. Selanjutnya aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi thalib. Sebagian menyatakan bahwa syi’ah muncul ketika
berlangsung peperangan antara “Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang shiffin.
Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok
mendukung sikap Ali di sebut syi’ah dan kelompok lain menolak sikap ali di sebut
khawarij.
Dalam Syi’ah terdapat apa yang namanya ushul al-Din (Pokok-pokok agama). Syi’ah
memilki lima ushul al-Din, yaitu:28

 Tauhid (the devine unity)


Tauhid adalah Esa, baik esensi maupun eksistensi-nya. Keesaan tuhan adalah mutlak. Ia
bereksistensi dengan sendiri-nya. Tuhan adalah qadim. Maksudnya, tuhan bereksistensi
sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh tuhan. Tuhan
mahatahu, maha mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar, dan
bebas berkhendak. Keesaan Tuhan tidak murrakab (tersusun). Tuhan tidak membuthkan
sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-nya. Tuhan tidak dapat dilihat
dengan mata biasa.

 Keadilan (the devine justice)

27
Chaerudji, Ilmu Kalam, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h.52.
28
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam; Dari Tauhid Menuju Keadilan, (Jakarta: KENCANA, 2016, h.54.

10 | P a g e
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia tidak pernah
menghiasi ciptaan-nya dengan ketidak adilan. Karna ketidak adilan dan kezalliman
terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidak mampuan, sementara
Tuhan adalah mahatau dan mahakuasa. Segala macam keburukan dan ketidakmampuan
adalah jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan.Tuhan memberikan akal kepada
manusia untuk mengetahui benar dan salah melalui perasaan. Manusia dapat
menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indralainnya untuk melakukan perbuatan,
baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan
potensi berkehendak sebagai anugrah tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung jawab
atas perbuatannya.

 Nubuwwah (apostleship)
Setiap makhluk di samping telah diberi insting, secara alami juga masih membutuhkan
petunjuk, baik petunjuk dari tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk
hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus member cuan untuk membedakan
antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam keyakinan syi’ah
itsna’Asyariah, tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk
kepada manusia.iSyi’ah itsna’Asyariah percaya tentang ajaran tauhid dengan kerasulan
sejak adam hingga Muhammad, dan tidak ada nabi atau rasul setelah Muhammad.
Mereka percaya dengan kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Quran jauh dari tahrif,
perubahan, atau tambahan.

 Ma’ad (the last day)


Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat, setiap
muslim harus yakin keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan bersih
dan luas dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan dunia
menuju kehidupan akhirat.

 Imamah (the devine guidance)


Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk
manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim didegelasikan kepada keturunan
Muhammad sebagai Nabi Rasul terakhir. Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat
mahdhah, syi’ah itsna’Asyariah berpihak pada delapan cabang agama yang disebut
dengan furu’ ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat,
khumus atau pajak sebesar seperlima dari penghasilan, jihad, al-ma’ruf, dan an-
nahuyu’an al-munakir.

Doktrin-doktrin dari segi politik yang dikembangkan oleh Syi’ah:29

29
Nurcholish Madjid, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 147.

11 | P a g e
 Kepala negara diangkat dengan persetujuan rakyat melalui lembaga ahl al-hall wa al-
‘aqd.
 Kepala negara atau imam berkuasa seumur hidup, bahkan mereka meyakini kekuasaan
imam mereka ketika ghaib dan baru pada akhir jaman kembali kepada mereka.
 Kepala negara (imam) sebagai pemegang kekuasaan agama dan politik berdasarkan
petunjuk Allah dan wasiat Nabi.
 Kepala negara memegang otoritas sangat tinggi

C. Murji’ah

Asal-usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi dua sebab yaitu: pertama,
disebabkan persoalan politik. Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah,
dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan
Mu’awiyah.Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Mereka
memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-
tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan
tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan
dosa besar yang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya
adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya.
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral
tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang
bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-
orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka
tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a)
yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan. Gagasan irja’
atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan
dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari
sekatrianisme.
Kedua, permasalahan Ke-Tuhanan. Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah
pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang
ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi
mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa
besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.Pendapat penjatuhan hukum kafir pada
orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentangsekelompok sahabat yang
kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin,
tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya
atau tidak. Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat

12 | P a g e
dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui
keadaan iman seseorang.30

Doktrin-doktrin Murji’ah:

 Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang
terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
 Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
 Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
 Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.

Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Maududi menyebutkan doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu
Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap di
anggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang di fardhukan dan melakukan dosa
besar. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap
maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan
mati dalam keadaan akidah tauhid.31

D. Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasala dari i’tazala yang berarti “berpisah” atau
“memisahkan diri” yang berati juga “menjauh” atau “menjauhkan diri.”32 Secara teknis,
istilah Mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah l) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti sikap yang lunak
dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama
Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan yang netral masa
inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan
diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok yang menjauhkan diri ini bersifat netral
politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
kemudian hari.
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respons persoalan
teologis yang berkembang di kalangan kaum khawarij dan Murji’ah karena peristiwa

30
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam; Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Depok: Rajawali Press, 2016), h.
150.
31
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2012), h. 56-61.
32
Luis Ma’lif, Al-Mujid fi Al-Lughah, Cet, X, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, t.t.), h. 207.

13 | P a g e
tahkim. Golongan Mu’tazilah ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat
dosa besar.33
Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil
bin ‘Atha serta temannya,’Amr bin ‘Ubaid, dan Hasan Al-Basri (31-131 H) di Basrah. Pada
waktu Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al- Basri di Masjid Basrah,
datang seseorang yang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar.
Ketika Hasan Al-Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya
dengan mengatakan “saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, melainkan berada pada posisi diantara keduanya, tidak
mukmin dan tidak kafir.” Kemudian, Washil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri pergi
ketempat lain dilingkungan masjid. Disana, Washil mengulangi pendapatnya dihadapan
para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al-Basri berkata, “Washil
menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna).” Menurut Asy-Syahrastani (474-548 H),
kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa diatas disebut kaum Mu’tazilah. 34
Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah:
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam Al-Ushul Al-Khamsah adalah At-
Tauhid (pengesanaan Tuhan), Al-Adl (keadilan Tuhan), Al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan
ancaman Tuhan), Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan Al-
Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah
kemungkaran).35

 Tauhid (pengesanaan Tuhan)

At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran Mu’tazilah.
Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Akan tetapi, bagi
Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala
sesuatubyang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhan satu-satunya Esa, yang unik
dan tidak satupun menyamai-Nya. Oleh karena itu. Hanya Dia-lah yang qadim. Apabila
ada yang qadim lebih dari satu, telah terjadi ta’adadud al-qudama’ (berbilangnnya dzat
yang tidak berpermulaan).
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki
sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada satupun yang menyerupai-Nya.
Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan Sebagainya. Akan tetapi,
mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat, melainkan dzat-Nya.

33
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam; Dari Tauhid Menuju Keadilan, (Jakarta: KENCANA, 2016, h.97.
34
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam; Dari Tauhid Menuju Keadilan, (Jakarta: KENCANA, 2016, h.105-112.
35
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam; Dari Tauhid Menuju Keadilan, (Jakarta: KENCANA, 2016, h.95-96.

14 | P a g e
Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Apabila sifat Tuhan yang qadim, ada
dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat -Nya. Washil bin Atha’ seperti dikutip oleh Asy-
Syahrastani berkata “siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan
Tuhan,” ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.

 Al-Adl (keadilan Tuhan)

Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil
adalah suatu atribut yang paling jelas untuk menunjukan kesempurnaan. Karena Tuhan
maha sempurna, sudah pasti Dia adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan
benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Ajaran tentang keadilan ini berkait erat
dengan beberapa hal, antara lain; Perbuatan manusia, manusia menurut mu’tazilah
melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kuasa tuhan,
baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan
perbuatannya, baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan
yang buruk. Adapun yang disuruh tuhan pastilah baik dan apa yang dilarang-Nya tentulah
buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis
dengan keadilan tuhan, yaitu apapun yang akan diterima di akhirat nanti merupakan balasan
perbuatannya di dunia. Kebaikan dibalas kebaikan, kejahatan dibalas keburukan.
Mengutus rasul, mengutus rasul merupakan kewajiban tuhan karena alasan; Tuhan wajib
berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus
rasul kepada mereka. Al Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk
memberikan belas kasih kepada manusia.cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan
pengutusan rasul. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadan-Nya.
Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.

 Al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan)


Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah swt. Tidak akan ingkar janji, member pahala
kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan azab kepada yang berbuat dosa.
Ajaran ini mendorong manusia untuk berbuat baik dan tidak melakukan dosa.

 Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi)

Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman yang melakukan dosa besar. Seperti
tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut kafir, bahkan musyrik.
Menurut Murji’ah, orang itu tetap mukmin dan dosanya diserahkan kepada tuhan. Mungkin
dosa tersebut di ampuni Tuhan. Pendapat Washil bin Atha’ mungkin dosa tersebut di
ampuni Tuhan. Pendapat Wahil bin Atha’ lain lagi. Orang tersebut diantara dua posisi (al-
manzilah bain al-manzilatain).

Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin
secara mutlak karena iman menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya

15 | P a g e
pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan, melainkan kedurhakaan.
Orang ini tidak dikatakan kafir secara mutlak karena masih percaya kepada Tuhan, Rasul-
Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya, jika meninggal sebelum bertobat, ia
dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya karena akhirat hanya terdapat dua pilihan,
yaitu surga dan neraka. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang
fasiq dimasukan ke neraka hanya siksaannya lebih ringan daripada orang yang lebih dari
pada orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan “kelas” yang lebih rendah
dari mukmin sejati? Tampaknya Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak
menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.

 Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar (menyeru pada kebaikan dan


mencegah kemungkaran)
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran. Ajaran
ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi
logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan
baik, di antaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam ber-amar ma’ruf nahi
munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya. Abd Al-Jabbar ( w.1024),
yaitu:

 Mengetahui perbuatan yang disuruh itu ma’ruf dan yang dilarang itu munkar.
 Mengetahui bahwa kemungkaran telah dilakukan orang.
 Mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa
madharat yang lebih besar.
 Mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan
membahayakan diri dan hartanya.

E. Asy’ariah
Asy’ariyah adalah nama aliran di dalam islam, nama lain dari aliran ini adalah Ahlu Sunnah
wal Jamaah.36 Aliran Asy’ariyyah adalah aliran teologi yang dinisbahkan kepada
pendirinya, yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Islmail al-Asy’ari. Ia dilahirkan di Bashrah, besar
dan wafat di Baghdad (260-324 H). Ia berguru pada Abu Ali al-Jubbai, salah seorang tokoh
Mu‟tazillah yang setia selama 40 tahun. Setelah itu ia keluar dari Mu’tazillah dan
menyusun teologi baru yang berbeda dengan Mu‟tazillah yang kemudian dikenal dengan
sebutan Asy’ariyyah, yakni aliran atau paham Asy’ari. Kasus keluarnya Asy’ari ini
menurut suatu pendapat karena ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang berkata
kepadaya, bahwa Mu‟tazillah itu salah dan yang benar adalah pendirian al-Hadis.37

36
Dewi Astuti, Kamus Populer Istilah Islam, (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 24
37
Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), h. 85

16 | P a g e
Doktrin-doktrin Aliran Asy’ariyah38
 Tuhan dan sifat-sifat-Nya

Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada suatu pihak, ia berhadapan
dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah (antropomorfis), dan
kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah bahwa sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti
harfiahnnya. Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya, dan tangan, kaki, telinga
Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi haus dijelaskan secara
alegoris.
Menghadaipi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah
memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti
mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh dirtika secara harfih, tetapi secara simbolis
(berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah unik dan tidak dapt dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang
tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut
realitasnnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda
dengan-Nya.

 Kebebasan dalam berkehndak (free-will)

Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan


perbuatannya. Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah di antara dua pendapat yang
ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pradeterminisme semata-mata,
dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia
menciptakan perbuatannya sendiri. Untuk mengetahui dua pendapat di atas, Al-Asy’ari
membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq)
perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya (muktasib). Hanya
Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).

 Akal dan wahyu dan criteria baik dan buruk


Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnnya akal dan wahyu,
tetapi berbeda dalam menghadapi persolan yang memperoleh penjelasan konntradiktif dari
akal dan wahyu. Al Asy-ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan
akal.

 Qadimna Al-Qur’an

38
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam; Dari Tauhid Menuju Keadilan, (Jakarta: KENCANA, 2016, h.119-123

17 | P a g e
Al-Asy ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam personal qadimnya AlQur’an:
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (Makhluk), dan tidak qadim;
serta pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah
kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa
semua huruf kata-kata, dan buyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan
kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa walaupun
Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi
Allah dan tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidak
diciptakan.

 Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang
menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah
bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang
meningkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat
dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika
Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptkan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihat-Nya.

 Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam cara pandangan makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran
Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang
salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa
Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah
mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari
visi bahwa Allah adalah Pemilik Mutlak.

 Kedudukan orang berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan
bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu di antaranya. Jika
tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab keimanannya tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufur.

18 | P a g e
Daftar Pustaka

A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam; Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Depok: Rajawali
Press, 2016.

Abd al-Raziq, Mustafa, Tamhid li Tarikh al-falsafah al-Islamiyyah. Lajnah wa al-Ta'lif wa al-
Tarjamah wa al-Nashr, 1959.

Al Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam. Jakarta: Pusataka Firdaus, 1985.

Al-Asy’ari, Abu Hasan, Maqalat al-Islamiyah volume I. Kairo: al-Nahdhah al-Misriyyah, 1950

Al-Taftazzani, Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Qahirah al-Hadisah,


1957.

Astuti, Dewi, Kamus Populer Istilah Islam. Jakarta: Gramedia, 2013.

Burhanuddin, H. Nunu, Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan. Jakarta : Prenadamedia Group,
2016.

Chaerudji, Ilmu Kalam. Jakarta: Diadit Media, 2007.

Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Hasby ash-Shiddieqy, M., Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Bulan Bintang,
1973.

Khaldun, Ibn, al-Muqaddimah, juz II. Dar al-Baida: Bait al-Funun wa al-Ulum, 2006.

Kholilurrohman, Meluruskan Distorsi Dalam Ilmu Kalam. Tangerang, NURUL HIKMAH


PRESS, 2018.

L. Esposito, John, Islam Warna-warni. Jakarta: Paramadina, 2004), 87.

Ma’lif, Luis, Al-Mujid fi Al-Lughah, Cet, X. Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, t.t.

Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 2000.

Madjid, Nurcholish, Fiqh Siyasah. Jakarta: Kencana, 2014.

19 | P a g e
Madzkur, Ibrahim, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II. Mesir: Dar Al-
Ma’arif, Mesir 1947.

Muthahhari, Murtadha. Mengenal Ilmu Kalam, Menembus Kebuntuan Berfikir. Jakarta: Pustaka
Zahra, 2002.

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Alran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2013.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.

Rozak, Abdul, Ilmu Kalam. Bandung: CV.Pustaka Setia, 2012.

Susanti, Eri, Aliran-Aliran Dalam pemikiran Islam, Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran
Ilmu-ilmu Keislaman Vol. 1, No. 1, 2018.

Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam; Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga
Hasan Hanafi. Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2016.

20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai