Anggota:
Amalia Fauziaturrohmah
Ilani Pujiyanti
PS/S1/A
B. Metode.
Keberadaan Mu’tazilah pada abad ke-9 M telah menjadi fenomena monumental dalam
realitas sejarah perkembangan ilmu kalam. Dalam periode ini, mereka menggunakan metode
qiyas (analogi) yang emmpunyai karakteristik utama baik dalam fiqh maupun kalam awal, yaitu
bahwa ia didasarkan pada keserupaan semata dan penalarannya didasarkan pada sumber Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya, digunakan untuk menjelaskan persoalan ayat-ayat
antropomorfis didalam Al-Qur’an.[8]
Metode yang digunakan dalam ilmu kalam tersebut mulai mengarah pada coraknya yang
baru seiring dengan masuknya pemikiran yang diadopsi dari khazanah pemikiran filsafat
Yunani. Mu’tazilah berhasil dalam mengusung kerangka epistemology pemikiran Yunani
untuk diterapkan dalam khasanah pemikiran Islam. Mereka juga berhasil emmberikan
pengayaan epistemology menggunakan via antique dan via moderna.
Metode ilmu kalam tersebut, memakai perspektif Al-Jabiri dalam Bunyah Al-Aq Al
Arabi, dapat dikategorikan sebagai episotemologi Bayani. Konstruksi dasar dalam
episetemologi ini adalah menjadikan “teks” sebagai rujukan pokok dan karenanya teks
merupakan sumber pengetahuan. Kalaupun dalam ilmu kalam digunakan metode silogisme,
silogisme yang digunakan tidak lebih dari alat untuk mempertahankan aqidah.
Para Mutakallimin mempunyai ciri khusus dalam membahas ilmu kalam, yang berbeda
dengan ulama-ulama lain. [9] Bahwa sesungguhnya Mutakallimin itu mempunyai system
tersendiri didalam membahas, menetapkan dan berdalil, berbeda dengan system Al Qur’an dan
Al Hadist serta fatwa-fatwa Sahabat. Adapun perbedaan mereka dengan system ialah karena Al
Qur’an itu mendasarkan seruannya berpegang teguh pada fitrah manusia. Contoh Firman Allah
dalam surat Ar-Rum : 30
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada Agama Allah ; (tetaplah atas)
firman Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubhan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Sedangkan Mutakallimin menggunakan akal untuk mencari Tuhan tapi mereka tidak puas
karena ada hal-hal yang diluar jangkauan kekuasaan akal manusia sebab dengan akal, manusia
mencari Tuhan, dengan jalan memperhatikan alam, semesta, seperti dalam Firman-Nya dalam
surat Al-Furqon : 61.
Artinya : “Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia
menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.”
Al Qur’an adalah kitab suci yang ditujukan kepada setiap orang, baik orang awam
maupun cendikiawan. Orang awam disuruh melihat dan memperhatikan alam untuk menilai
kebesaran Allah. Sedangkan para cendikiawan, menyelidiki, menilai dengan seksama, akhirnya
mereka beriman kepada Allah.
Ilmu Kalam dari sisi epistemologi merupakan aktifitas yang menjadikan seseorang akan
lebih arif dalam melihat perbedaan. Terlepas dari keabsahan epistemologi masing-masing aliran
ilmu kalam, penulis beranggapan bahwa perbedaan pendapat mengenai persoalan akidah
merupakan suatu keniscaayaan. Dari perbedaan epistemologi di atas, nampaknya kalangan
ulama ahlusunnah wal jama’ah (salafi, asy’ariyah dan maturidiyah) yang masih kuat berpegang
kepada wasiat Nabi saw untuk senantiasa berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai
landasan berpikir dan beramal. Lain halnya dengan Mu’tazilah, meski mereka terlalu ekstrim
dalam menggunakan akal, namun mereka banyak menolong agama Islam dari serangan-
serangan agama lain.