Anda di halaman 1dari 6

Kelompok 12

Anggota:
 Amalia Fauziaturrohmah
 Ilani Pujiyanti
PS/S1/A

EPISTEMOLOGI DINAMISASI KALAM

Epistemologi merupakan bagian dari khazanah filsafat (Barat). Istilah tersebut


didefenisikan antara lain, sebagai the branch of philosophy which investigate the origin,
structure, methode and validity of knowledge. Cikal bakal epistemologi sebetulnya telah
diletakkan oleh Plato namun sebagai cabang filsafat, epistemologi mulai berkembang pesat
setelah gema rasionalism dihembuskan oleh Descartes, yakni pada abad ke- 17 dan 18 pada
sa’at tradisi pemikiran Islam, termasuk ilmu kalam, tak lagi mengalami perkembangan yang
berarti.
Secara garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, adalah idealisme
atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan
pentingnya peran “akal”, “ide”, “category”, “form” sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di sini
peran pancaindera dinomorduakan. Sedangkan aliran kedua adalah, realism atau yang lebih
populer dengan sebutan empirism yang lebih menekankan peran indera (sentuhan, penglihatan,
penciuman, pencicipan dan pendengaran) sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan. Dalam perkembangannya,
kajian epistemologi dalam literatur Barat dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu
pengetahuan yang multi-dimensional, sedangkan kecenderungan epistemologi dalam
pemikiran Islam, termasuk ilmu kalam, beringsut lebih tajam ke wilayah idealism dan
rasionalism dengan tidak peduli terhadap masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme.
Dominannya aspek rasionalism dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan pemikiran ini jatuh ke
wilayah pemikiran metafisika yang lebih bersifat spekulatif dan melampaui batas-batas
kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa. Memang demikian realitas pemikiran kalam
klasik itu, ia penuh kesamaran. Kondisi ilmu kalam yang demikian sebenarnya bukan hanya
disebabkan karena objek kajiannya yang lebih metafisik, tapi juga disebabkan faktor bahasa
yang sulit untuk menjelaskan objek tersebut. Sebagai sebuah pernyataan tentang Tuhan, sudah
barang tentu ia tidak bisa diverifikasi atau difalsifikasi secara objektif dan empirik, jadi di dalam
memahami kitab suci seseorang cenderung menggunakan standard ganda, yaitu seseorang
berpikir dalam kapasitas dan berdasarkan pengalaman kemanusiaan yang diarahkan kepada
suatu objek yang diimani dan berada di luar jangkauan nalar dan inderanya. Dengan ungkapan
lain, ia berpikir dalam kerangka iman dan ia beriman sambil mencoba mencari dukungan dari
pemikirannya. Di sini sesungguhnya terdapat wilayah yang remang-remang karena dalam sikap
beriman terdapat hal-hal yang diyakini kebenarannya, namun tidak diketahui dan tidak
terjangkau oleh nalar. Wilayah inilah yang kemudian melahirkan ilmu kalam. Adanya jarak
historis dan perbedaan tradisi menyebabkan upaya melakukan pemetaan terhadap epistemologi
ilmu kalam menjadi cukup problematis. Apalagi dalam tradisi pemikiran Islam, literatur yang
secara khusus membahas persoalan epistemologi secara utuh dan dapat dijadikan sebagai
rujukan pembimbing ke arah diskusi epistemologi ilmu, boleh dikatakan masih kurang. Sebagai
catatan pengantar perbincangan epistemologi dalam bahasan ini disederhanakan menjadi
perbincangan tentang sumber, metode dan keabsahan suatu kebenaran ilmu kalam dengan
merujuk kepada fakta historis yang ada pada aliran-alirankalam.

A. Sumber Pengetahuan Ilmu Kalam


Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang kepada wahyu (al-Qur’an dan Hadits)
sebagai sumber pokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung artinya
memahami wahyu sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu
pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami wahyu sebagai pengetahuan mentah
sehingga perlu tafsir dan penalaran dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain. Untuk kasus
pertama sering diistilahkan dengan muhkam sedang yang kedua dinamakan dengan
mutasyabih. Contoh untuk yang muhkam adalah ayat-ayat tentang halal, haram, hudud,
kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk yang mutasyabih contohnya adalah ayat-ayat
tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatnya. Kenyataan adanya ayat muhkam dan mutasyabih ini
memberikan pengertian bahwa meski al-Qur’an sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu
memberikan ketentuan pasti.
Secara hirarkis, al-Qur’an merupakan sumber rujukan utama dari semua argumentasi dan
dalil. Al-Qur’an adalah dalil yang membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw dan
dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu ajaran. Sedangkan Hadits menempati urutan
kedua. Namun tidak semua Hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah. Semua
aliran kalam sepakat untuk mengamalkan Hadits mutawatir. Namun, mereka berselisih
pendapat dalam mengamalkan Hadits ahad. Alasan yang menolak Hadits ahad sebagai rujukan
akidah, sebab akidah adalah berkenaan dengan keyakinan; dan apa yang berhubungan dengan
keyakinan haruslah dalil yang bersetatus qath’i. Jadi menurut mereka, hal-hal yang berkenaan
dengan akidah haruslah berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan atau Hadits mutawatir. Mereka itu
adalah ulama dari kalangan Mu’tazilah.
Sementara ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membedakan antara masalah akidah
dengan masalah lainnya. Setiap Hadits shahih yang datang dari Nabi saw mereka terima dan
pakai, serta mereka mengharamkan untuk menyalahinya. Menurut Imam Ibnul Qayyim,
walaupun Hadits ahad tidak menunjukan kepada ilmu yakin, namun ia menunjukan kepada
zhann ghalib (dugaan kuat) sehingga boleh bagi kita untuk menetapkan asma dan sifat-sifat
Allah dengannya.
Seluruh aliran kalam, baik yang mempunyai corak rasional dan semi liberal maupun yang
bercorak hadisi (tradisional) menggunakan akal sebagai sarana menyelesaikan persoalan kalam.
Selanjutnya perbedaan yang muncul adalah sejauh manakah posisi akal diperhatikan sebagai
sumber pengetahuan untuk merumuskan akidah Islam. Perbedaan ini, pada akhirnya memberi
corak dan warna yang berbeda dan perbedaan itu semakin kokoh dalam bentuk aliran-aliran
kalam. Mazhab kalam yang mengedepankan akal atau rasional dalam menjelaskan berbagai
persoalan akidah Islam banyak menggunakan pendekatan filsafat meski tidak serta merta
mengabaikan wahyu. Menurutnya akal memiliki kedudukan tinggi bagi manusia. Karena
tingginya kedudukan akal itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mampu mengenal Tuhan,
mengetahui wajibnya mengenal Tuhan, memilih perbuatan baik dan buruk, dan mengakui
wajibnya berbuat baik dan menjauhi yang jahat. Kelompok ini diwakili oleh ulama Mu’tazilah.
Di lain pihak, terdapat golongan yang menentang kaum rasionalis Mu’tazilah. Kelompok
ini ada yang menamainya dengan ulama tradisionalis atau ulama salaf shalih. Menurut mereka
akal hanya mampu mengenal bukti keberadaan Tuhan. Adapun kewajiban mengenal Tuhan,
memilah baik dan buruk, dan mengetahui wajibnya berbuat baik dan menjauhi larangan hanya
dapat diketahui berdasarkan wahyu. Terkait dengan persoalan akidah, mereka (khususnya
kelompok Asy’ari dan salaf) lebih mengutamakan teks al-Qur’an dan Sunnah (naql) daripada
akal (‘aql). Maksudnya akal harus tunduk kepada ketentuan al-Qur’an dan Sunnah. Oleh
karenanya mereka menyebut dirinya sebagai kelmpok ahlusunnah wal jama’ah.

B. Metode.
Keberadaan Mu’tazilah pada abad ke-9 M telah menjadi fenomena monumental dalam
realitas sejarah perkembangan ilmu kalam. Dalam periode ini, mereka menggunakan metode
qiyas (analogi) yang emmpunyai karakteristik utama baik dalam fiqh maupun kalam awal, yaitu
bahwa ia didasarkan pada keserupaan semata dan penalarannya didasarkan pada sumber Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya, digunakan untuk menjelaskan persoalan ayat-ayat
antropomorfis didalam Al-Qur’an.[8]
Metode yang digunakan dalam ilmu kalam tersebut mulai mengarah pada coraknya yang
baru seiring dengan masuknya pemikiran yang diadopsi dari khazanah pemikiran filsafat
Yunani. Mu’tazilah berhasil dalam mengusung kerangka epistemology pemikiran Yunani
untuk diterapkan dalam khasanah pemikiran Islam. Mereka juga berhasil emmberikan
pengayaan epistemology menggunakan via antique dan via moderna.
Metode ilmu kalam tersebut, memakai perspektif Al-Jabiri dalam Bunyah Al-Aq Al
Arabi, dapat dikategorikan sebagai episotemologi Bayani. Konstruksi dasar dalam
episetemologi ini adalah menjadikan “teks” sebagai rujukan pokok dan karenanya teks
merupakan sumber pengetahuan. Kalaupun dalam ilmu kalam digunakan metode silogisme,
silogisme yang digunakan tidak lebih dari alat untuk mempertahankan aqidah.
Para Mutakallimin mempunyai ciri khusus dalam membahas ilmu kalam, yang berbeda
dengan ulama-ulama lain. [9] Bahwa sesungguhnya Mutakallimin itu mempunyai system
tersendiri didalam membahas, menetapkan dan berdalil, berbeda dengan system Al Qur’an dan
Al Hadist serta fatwa-fatwa Sahabat. Adapun perbedaan mereka dengan system ialah karena Al
Qur’an itu mendasarkan seruannya berpegang teguh pada fitrah manusia. Contoh Firman Allah
dalam surat Ar-Rum : 30
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada Agama Allah ; (tetaplah atas)
firman Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubhan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Sedangkan Mutakallimin menggunakan akal untuk mencari Tuhan tapi mereka tidak puas
karena ada hal-hal yang diluar jangkauan kekuasaan akal manusia sebab dengan akal, manusia
mencari Tuhan, dengan jalan memperhatikan alam, semesta, seperti dalam Firman-Nya dalam
surat Al-Furqon : 61.
Artinya : “Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia
menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.”
Al Qur’an adalah kitab suci yang ditujukan kepada setiap orang, baik orang awam
maupun cendikiawan. Orang awam disuruh melihat dan memperhatikan alam untuk menilai
kebesaran Allah. Sedangkan para cendikiawan, menyelidiki, menilai dengan seksama, akhirnya
mereka beriman kepada Allah.

C. Validitas atau Keabsahan Dalam Ilmu Kalam


Teori kebenaran koherensi. Pengetahuan yang memiliki kebenaran koherensi adalah
pengetahuan yang diperoleh dengan mengikuti hukum-hukum logika, karenanya tidak terjadi
tumpang tindih dan inkonsistensi. Pengetahuan ini tidak terdapat pertentangan dalam dirinya
(contradiction in terminis), juga tidak bertentangan dengan pengetahuan terdahulu.
Pengetahuan ini menekankan pada ketepatan berpikir.
Ilmu Kalam sering menggunakan teori kebenaran koherensi. Sebagian besar ulama ahli
kalam berpendapat bahwa akidah dan hukum akal harus meyakinkan dan bersifat qath’i. Bagi
kalangan rasionalis, dalam hukum akal tidak boleh ada perberbedaan pendapat, nafi dan istbat,
dengan kontradiksinya sekiranya dipertentangkan dengan yang lainnya melalui dalil yang
berbeda pada saat ditetapkan. Jika tidak dilakukan demikian maka akan terjadi keseimbangan
antara kebenaran dan kesalahan, yang benar dan yang salah sama.
KESIMPULAN

Ilmu Kalam dari sisi epistemologi merupakan aktifitas yang menjadikan seseorang akan
lebih arif dalam melihat perbedaan. Terlepas dari keabsahan epistemologi masing-masing aliran
ilmu kalam, penulis beranggapan bahwa perbedaan pendapat mengenai persoalan akidah
merupakan suatu keniscaayaan. Dari perbedaan epistemologi di atas, nampaknya kalangan
ulama ahlusunnah wal jama’ah (salafi, asy’ariyah dan maturidiyah) yang masih kuat berpegang
kepada wasiat Nabi saw untuk senantiasa berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai
landasan berpikir dan beramal. Lain halnya dengan Mu’tazilah, meski mereka terlalu ekstrim
dalam menggunakan akal, namun mereka banyak menolong agama Islam dari serangan-
serangan agama lain.

Anda mungkin juga menyukai