Anda di halaman 1dari 37

ASPEK TEOLOGI (KALAM)

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur


dalam Mata Kuliah Study Islam Integratif

DISUSUN OLEH:
1. MHD. HELKI
2. M. ZAM KURNIAWAN

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. ZUFRIANI, M.HI

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI
TAHUN 1445 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang maha kuasa karena

dengan limpahan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah yang

singkat ini, Shalawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan Nabi Muhamnmad

Saw Nabi yang pembawa pelita kepada umat yang berada dalam kegelapan rahmatan

li’alamin.

Kemudian penulis banyak mengucapkan ribuan terima kasih kepada Dosen

Pembimbing yang telah membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan

makalah yang singkat ini, yang mungkin masih banyak kekurangan serta kesalahan

baik dari segi penulisnya maupun kesalahan lainnya yang terdapat dalam makalah

ini, untuk itu kami sangat membutuhkan sekali kritik beserta saran dari pembaca

demi kesempurnaan makalah yang akan datang, akhir kata penulis ucapkan ribuan

terima kasih.

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................... i

Daftar isi ................................................................................................ ii

BAB I............................................................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................................2

C. Tujuan Penelitian........................................................................................................2

BAB II...........................................................................................................................................3

3. Pengetian Teologi Islam (Ilmu Kalam).......................................................................3

4. Aspek Teologi Dalam Islam........................................................................................4

BAB III.......................................................................................................................................25

A. Kesimpulan..............................................................................................................25

B. Saran.........................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................27
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu kalam membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang
yang ingin menyelami seluk beluk agamanya perlu mempelajari teologi yang
terdapat dalam agama yang di anutnya. Seseorang yang telah memahami teologi
dengan cara mempelajarinya secara mendalam diharapkan bisa mendapatkan
keyakinan dan pedoman yang kokoh dalam beragama. Orang yang demikian tidak
mudah diperdayakan oleh zaman yang selalu berubah. Setiap gerak langkah,
tindakan dan perbuatannya selalu dilandaskan pada keyakinan yang dijadikan
falsafah dalam hidupnya (Tsuroya Kiswati, 2013)

Mengkaji ilmu teologi dalam Islam pada dasarnya merupakan upaya


memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama alira
teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi
yang dimiliki setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun potensi
psikologis yang secara natural adalah distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan
kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu
objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula (Prof. Dr. H.
Iskandar Zulkarnain, n.d.)

Dalam kaitan ini, para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam
mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu
perbedaan pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat yang
mendengar ketentuan hukum yang diputuskan oleh Nabi SAW, sementara yang
lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu mereka berijtihat.
Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu
ketentuan hukum.

Secara teoritis, perbedaan demikian tampak melalui perbedaan aliran-


aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa
perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan

1
keesaan Allah, keimanan kepada rasul, para malaikat, hari akhirat dan berbagai
ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkan.
Sedangkan persoalan yang masih berpeluang untuk diperdebatkan misalnya
tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu, akal dan
keadilan Tuhan. Perbedaan itu, kemudian memunculkan berbagai macam aliran,
yaitu

Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.

Oleh karena demikian, penulis mencoba menjelaskan tentang sejarah dan


perkembangan teologi atau aliran kalam yang timbul dalam dunia Islam.
Pembahasan mengenai ini akan dimulai dari latar belakang, selanjutnya akan
dibahas mengenai pokok pembahasan tentang pengertian teologi dan sejarah
aliaran-aliran ilmu kalam dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengetian Teologi Islam (Ilmu Kalam)?

2. BagaimanAspek Teologi Dalam Islam?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Pengetian Teologi Islam (Ilmu Kalam)

2. Untuk mengetahui Aspek Teologi Dalam Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

3. Pengetian Teologi Islam (Ilmu Kalam)

Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu “theologia”
yang terdiri dari kata “theos” yang berarti tuhan atau dewa, dan “logos” yang
artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan. Teologi merupakan
disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat
dan ilmu pengetahuan. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa teologi
merupakan penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama
secara rasional. Sedangkan menurut A. Hanafi mendefinisikan bahwa teologi
merupakan suatu ilmu yang membahas fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan
hubungan-hubungan antara tuhan dan manusia (Dr. H. Muhammad Hasbi, 2021)

Sedangkan menurut Muhammad Abduh menjelaskan bahwa pengertian


teologi Islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu
yang berkait dengan-Nya secara rasional. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa
“Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang

3
wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat
yang sama sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang
Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada
diri mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang
terlarang menghubungkanya kepada diri mereka” (Prof. Dr. Sukiman, 2021)

Kalau melihat definisi pertama dapat di pahami bahwa Muhammad Abduh


lebih menekankan pada Ilmu Tauhid/Teologi yaitu pembahasan tentang Allah
dengan segala sifat-Nya, Rasul dan segala sifat-Nya. Menurut pendapat
Murthadha Murthahhari menjelaskab bahwa Untuk mendefinisikan ilmu kalam,
maka cukup dengan mengatakan, “Ilmu kalam merupakan sebuah ilmu yang
mengkaji doktrindoktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (Ushuluddin). Ilmu
kalam mengidentifikasikan akidah-akidah pokok dan berupaya membuktikan
keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok tersebut”.

(Dr. H. Muhammad Hasbi, 2021)


Ilmu kalam disebut juga dengan ilmu tauhid karena membahas tentang
keesaan Allah Swt. Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi
argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh
sebeb itu, teolog membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid. Jadi, apabila
memperhatikan definisi ilmu kalam di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
ilmu kalam itu adalah ilmu yang membahas atau ilmu yang mengandung tentang
berbagai masalah-masalah kebutuhan dengan menggunakan argumentasi logika
atau filsafat.

4. Aspek Teologi Dalam Islam

Islam adalah agama yang diturunkan Allah dan diperuntukkan kepada


seluruh umat manusia. Kehadiran agama Islam ini adalah sebagai rahmat bagi
seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘aalamiin). Pembelajaran dan pembahasa
mengenai Islam, bukan berbicara tentang definisi saja. Melainkan dibahas pula

4
aspek-aspek dalam Islam yang merupakan salah satu ruang lingkup Islam itu
sendiri (Prof. Dr. Sukiman, 2021)

Aspek-aspek dalam Islam diantaranya adalah aspek Teologi, aspek ibadat,


aspek moral, aspek mistisme, aspek falsafah, aspek sejarah, aspek kebudayaan,
dan lain sebagainya. Di dalam aspek-aspek tersebut tentunya memiliki landasan
dari segala aspek lainnya, yakni Aspek Teologi. Aspek Teologi sederhananya
berarti aspek Ketuhanan. Yaitu yang membahas tentang Tuhan, keberadaan, dan
sifatsifatnya. Aspek teologi ini berisi pandangan atau perspektif beberapa
kelompok/ aliran dalam Islam yang berkenaan tentang Tuhan. Sebagai contoh
Tradisionalisme dan Liberalisme (Safir & Syamsul, 2021)

Tradisionalisme disini diartikan sebagai pemikiran suatu aliran yang lebih


memilih dan menggunakan wahyu/ dalil ketimbang kekuatan akal, sedangkan
Liberalisme adalah pola pikir suatu aliran yang lebih banyak menggunakan akal
disbanding wahyu. Kedua pemikiran ini dibahas lebih mendalam dalam kajian
Ilmu Kalam, dan aliran-aliran yang masuk di dalam pembahasan ini disebut
dengan aliran kalam.
Aspek Teologi memiliki peran yang sangat penting. Karena dari sinilah inti
dari ajaran agama Islam tersebut. Seperti yang kita ketahui, Islam mengajarkan
tentang keimanan/ kepercayaan terhadap Tuhan yang Esa. Maka, aspek ini sangat
menarik untuk dipelajari. Pada dasarnya, Tuhan adalah Sang Pencipta alam
semesta. Maka dari itu, perlu membahas tentang arti penciptaan, materi yang
diciptakan, hakikat roh, kejadian alam, hakikat akal, hakikat wujud, arti qidam

(tidak bermula) dan lainnya. Islam memiliki cakupan yang sangat luas dan ajaran
Islam bersifat dinamis (kecuali dalam ibadah). Seringkali timbul kesalahpahaman
yang mengatakan bahwa ajaran agama Islam hanya sebatas iman dan shalat saja.
Padahal, jika dipahami dari segala aspeknya, Islam memberikan pemahaman yang
sangat kompleks dan detail dalam setiap bahasannya (Dr. H. Faisol Nasar Bin
Madi, 2023)

Aspek Teologi sangat erat kaitannya dengan aspek lainnya. Salah satunya
aspek ibadat. Ibadat merupakan proses ‘timbal balik’ dari manusia kepada

5
Tuhannya. Sebenarnya, aspek ini adalah langkah atau perbuatan manusia yang
dilakukan untuk lebih dekat kepada Tuhannya dengan melakukan ritual yang
sesuai ajaran Tuhan melalui rasul dan kitab suci-Nya (Dr. H. Jamaluddin & Dr. Shabri
Shaleh

Anwar, 2019)

Ibadat dalam Islam pada dasarnya ada empat. Yaitu, shalat, puasa, zakat,
haji. Keempat ibadah tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu agar dekat kepada
Tuhan dan mencapai ridha-Nya. Keempat ritual ibadah tersebut memiliki poin
penting yaitu “penyucian roh”. Iman seseorang dapat dilihat dari seberapa tekun ia
beribadah dan taat kepada Tuhannya.

1. Aspek ibadat,

a. Pengettian ibadah

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa
khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal
(ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid
dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan
hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah
qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang
berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan. (Dr. H. Jamaluddin & Dr. Shabri
Shaleh Anwar, 2019) Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia.
Allah berfirman:
   
   
    
    
   
  

Artinya :

6
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.
Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan
lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58](Departemen Agama, 2012)

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan


manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza
wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan
tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka
kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia
adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa
yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan
barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang
disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan
Allah) (Abdullah, 2022)

b. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar

Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu:

hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan). Rasa cinta harus disertai dengan
rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap
ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat
hambahamba-Nya yang mukmin:

ِ ‫ِّل َّ ِّ اًّب ح ُّ دَش َ أ او ن َم آ َن يِذ َّ الَو‬


“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.”
[Al-Baqarah: 165]

‫َن يِع ِش اَخ َاَنل او ناَك َو ۖ اًب َه َر َو اًب َغ َر َاَننوعْ دَي َو ِت اَر ْي خَ لْ ا يِف َن وع ِر اَس ي او ناَك ْم هَّ نِإ‬

7
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera
dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan
penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada
Kami.” [Al-Anbiya’: 90] Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah
kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang
beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa
yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5].
Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka
ia adalah mukmin muwahhid.”(Syafii, 2021)

c. Syarat Diterimanya Ibadah

Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah
yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Agar dapat
diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan
benar kecuali dengan adanya dua syarat

1) Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.

2) Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha


illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan
jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari
syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada

Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah


yang diada-adakan.

8
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫نَ و نَز ْح َي ْم ه ََل َو ْم ِه ْي َ لَع ٌف ْو َخ ََل َو ِهِّ ب َر َ دنِع هر جَْ أ هََلف ٌن ِس ْح م َو ه َو ِ َِّّل ِ هَه ْج َو َم‬
‫َلْس َ أ ْن َم ٰى ََلب‬

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya


kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya
dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-
Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada

Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya


Shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada
dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak
beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

(Febri, 2022)

Sebagaimana Allah berfirman:

‫ِه ِّب َر ِةَ داَب ِع ِب ْك ِر ْش ي ََل َو اًح ِل اَص‬ ‫ًًل َم َع ْل َم ْع َي ْل َف ِه ِّب َر ءَ َاقِل وج ْر َ ي َن‬
‫اَك نَم ََ ف ًادَح َ أ‬

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka


hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan
sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110] Hal yang
demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat
Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang
kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
utusanNya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan
dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada
Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru
atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua
bid’ah itu sesat.

9
Menurut (Suarnay, 2021)Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di
balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?” Jawabnya adalah sebagai
berikut:

1) Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah


kepadaNya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping
beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:

‫َن ّيِد ال َّهل اًص‬ ‫ِل ْخ م الََّل َّ ِد بْع اَف‬

2) “Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.”


[AzZumar: 2]

3) Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah


dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa
beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka
ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’

4) Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka,


orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah
menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna
(mempunyai kekurangan)

5) Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara
dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya
tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam
kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena
perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan
perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan
kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan
Rasul-Nya.

d. Fungsi ibadah dalam kehidupan sehari-hari

Bahwa Allah sangat mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki


oleh semua makhluq-Nya, dan oleh sebab itu Allah memberikan jalan yang

10
paling sesuai untuk menjaga dan memelihara sekaligus meningkatkan fungsi
dari setiap unsur yang dimiliki oleh semua makhluq-Nya; termasuk
didalamnya adalah manusia. Dalam kerangka tersebut Allah menun-jukkan
jalan untuk meraihnya, misalnya dengan melaksanakan berbagai berntuk
pengabdian kepada Allah.

Maka jika dikaji secara detail setiap bentuk ritual dalam agama Islam
memiliki tujuan dan fungsi tersendiri; ibadah Mahdhoh – merupakan
perwujudan rasa tunduk, taat, patuh dan pengakuan manusia terhadap
kekuasaan Allah yang tat terhingga, perwujudan rasa syukur atas Rahmat,
keselematan dan ketidakmampuan manusia dan upaya memperoleh
ketenangan Jiwa melalui pendekatan keillahian. Sedangkan ibadah Ghoiru
Mahdhoh merupakan perwujudan keterikatan batin sebagai makhluk sosial,
rasa tanggung jawab sebagai kholifah Allah di bumi dan perwujudan sifat
rahman dan rahim Allah yang harus diwujudkan oleh manusia dalam
kehidupan sehari-hari.

e. Aspek moral,

1) Konsep Moralitas

Nilai moral pada dasarnya merupakan penilaian sebuah perbuatan


manusia. Nilai moral adalah sebuah hal yang dikaitkan dengan parameter
penilaian mengenai perilaku seorang dalam bermasyarakat seperti contohnya
seorang tersebut menaati peraturan yang ada di masyarakat. Rachel (dalam
Wibawa, 2013) menyatakan jika seorang yang berhasil menerapkan peraturan
tersebut, makai a dianggap memiliki perilaku yang baik dan sebaliknya jika
seorang melakukan hal yang bertentangan dengan norma agama, maka hal ini
berdampak pada pandangan terhadap orang tersebut yang tidak baik. Maka
dari itu, nilai moral memiliki perwujudan yang berupa prinsip dan aturan yang
baik, terpuji serta mulia (Suarnay, 2021)

Dalam teori Islam klasik, ranah moral yang menilai baik buruk
menekankan pada 2 teoritis yaitu The Theistic-subjectivism yang bertujuan
untuk memahami baik buruknya seseorang yang ditentukan oleh Tuhan dan

11
Rationalistic-objectivism yang bertujuan pada peran akal manusia dalam
menentukan baik buruknya sesuatu. Sehingga Pendidikan Akhlak atau moral
adalah pendidikan yang mengajarkan bagaimana seharusnya bersikap kepada
makhluk ciptaan Tuhan baik yang hidup maupun mati. Hal ini menekankan
bahwa moralitas itu berkaitan langsung dengan perilaku atau tingkah laku
manusia.

Suarnaya (Suarnay, 2021) juga menjelaskan pendidikan moral juga


penting untuk menanamkan komitmen spiritual dalam diri manusia seperti
kegiatan gotong royong dalam pembuatan upakara dan upacara di pasraman.
Dalam agama hindu melalui penerapan Pasraman Brahma Vidya Samgraha
yang merupakan akulturasi system Pendidikan tradisional dan modern di Desa
Penarungan Kabupaten Buleleng, Bali dapat membentuk moral manusia
khususnya remaja agar tetap meneruskan adat tradisionla Bali.

(Janna, 2019) menjelaskan bahwa dengan memiliki karekter berpegang


teguh pada agama kritiani, perkembangan zaman bukan lagi ancaman
melainkan kesempatan yang baik. Hal ini dapat digunakan untuk
memanfaatkan perkembangan zaman menjadi sarana pembelajaran yang
menanamkan karakter baik seperti penguasaan diri, toleransi, empati, suka
menolong, terbuka dan sebagainya pada peserta didik. Mukti dan Rosadi
menyebutkan bahwa etika kritiani dalam perspektif alkitab harus
berlandaskan norma kehidupan agar dapat mengembangkan kemampuan
manusia dalam menentukan kebaikan dan keburukan serta pengaplikasiannya
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi umat Islam, tidak ada hukum atau aturan
hidup yang berlaku untuk semua elemen ciptaan seperti yang dirancang oleh
Sang Pencipta, Allah SWT . Menurut Frimayanti, di Indonesia saat ini
tantangan umat Islam dalam Pendidikan moral yaitu bagaimana
pengimplementasian nilai agama Islam kepada generasi muda secara utuh dan
kaffah untuk memperoleh ilmu dan kualitas keimanan serta kepribadian yang
luhur. Karena Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia menjadi
pribadi yang sesuai dan seimbang dalam masyarakat.

12
2) Pandangan Islam Terhadap Nilai Moralitas

Moral agama memiliki 2 permasalahan utama yang tidak dapat


dipecahkan menggunakan metode moralitas yaitu Pertama permasalahan
interpretasi perintah atau hukum yang ada dalam wahyu. Kedua, masalah
moral yang baru, tidak dijelaskan dan disangkal secara langsung dalam wahyu
tetapi diselesaikan sesuai dengan pandangan agama. Hal yang tepat untuk
memberikan bimbingan moral manusia. Pemeluk agama menemukan arah
kehidupan dalam agama yang dianutnya. Namun agama membutuhkan
keterampilan moral untuk memberikan bimbingan serta indoktrinasi.
Moralitas didasarkan pada penalaran rasional murni, sedangkan agama
didasarkan pada wahyu (Frimayanti, 2019)

Agama memberikan ketenangan jiwa karena ada janji kehidupan


setelah kematian, sedangkan ilmu pengetahuan memberikan kedamaian dan
kemudahan di dunia. Dalam filsafat ketuhanan, keberadaan dan sifat Tuhan
tidak dapat diketahui secara rasional. Keberadaan dan sifat tuhan ini
melahirkan Argumen yang menurut (Arifin, 2020)terbagi menjadi 3 yaitu
argumen ontologi yang menyatakan bahwa Tuhan sebagai Maha sempurna
yang sesuatu lebih besar daripada-Nya. Sedangkan argumen kosmologis
mencoba menunjukan kepercayaan adanya Tuhan dengan sifat empiris, seperti
dunia adanya karena ada yang bergerak untuk menciptakannya. Penggerak
utama itu adalah Tuhan berdasarkan rangkaian kausalitas atau penyebab dan
perlunya tuhan sebagai penyebab yang bersifat mutlak atau niscaya. Dan
argument lainnya yang berdasarkan finalitas dan kosmos beranggapan bahwa
Tuhan itu tidak ada, Tuhan hanya persoalan lain sehingga tidak adanya
kepercayaan terhadap Tuhan karena dibatasi oleh nalar yang logis.

Moralitas sering disamakan dengan akhlak, karena keduanya


samasama membahas masalah perilaku baik dan buruk manusia. Dalam
beberapa literatur Islam disebut sebagai falsafah akhlaqiyyah sering
terabaikan dari perhatian para pemikir Islam. Tetapi akhlak lebih cenderung
pada kelakuan yang bersifat aplikatif, sedangkan moralitas cenderung ke

13
landasan filosofinya dan ilmu baik buruknya tingkah laku seseorang.
(Hasanah, 2023)

f. Aspek mistisme,

1) Konsep mistisme

Mistisisme: Wilayah yang Tak Bisa Dinalar Terminologi mistisisme


diserap dari bahasa Inggris ‘mysticism’ atau ungkapan ‘mystic’ Inggris abad
pertengahan, setelah sebelumnya diderivasikan dari bahasa Yunani ‘mystikos,
mustikos, mustēs, yang berarti rahasia, mistis, dan terkait dengan hal-hal
misterius sebagai turunan dari mystes “orang yang diinisiasi”. Searah
pengaruh filsafat dan kebudayaan Yunani ke dunia Barat Eropa, kata ini
kemudian diserap dalam berbagai bahasa Inggris dan kawasan kebudayaan
Eropa lainnya.

Perancis klasik,misalnya, menggunakan istilah mystique ‘penuh misteri atau


misterius’, bahasa Latin mysticus merujuk sisi mistikal dari ritual-ritual
rahasia, begitu juga Italia dan Spanyol yang samasama menggunakan istilah
mistico. Di Eropa sendiri, istilah mysticism digunakan untuk mendeskripsikan
laku spiritual para biarawan gereja dalam membersihkan (purify) jiwa mereka
dari kegelapan (darkness), kendati belakangan juga digunakan pada laku
spiritual Yahudi dan agama-agama lain (Zaenal, 2021)

Terdapat berbagai definisi yang menjelaskan tentang makna


mistisisme.AS Hornby misalnya, mendefinisikan mistisisme sebagai
pengetahuan tentang tuhan dan kebenaran ril yang dapat dicapai melalui
aktifitas penyembahan (prayer) dan meditasi (meditation), lebih dari sekedar
pendekatan akal (reason) dan penginderaan (sense). Sedangkan pelakunya
disebut mistikus (mystic), yaitu orang yang berusaha menjadi tersatukan (to
becomeunited) dengan tuhan melalui penyembahan dan meditasisehingga
dengan cara demikian ia mampu memahami pelbagai hal penting melebihi
pemahaman manusia pada umumnya.2Dengan demikian, Hornby
menekankan mistisisme sebagai dimensi yang hanya bisa dicapai melalui

14
penghambaan seluruh jiwa terhadap realitas yang maha tinggi, bukan
berangkat dari pemikiran rasional atau penyimpulan indrawi (Sungata, 2022)

Mistisisme juga acapkali dipahami sebagai ikhtiar spiritual untuk


menjangkau kebenaran yang tersembunyi (hidden truth) dan kearifan
(wisdom), di mana tujuan utamanya adalah kebersatuan (union) dengan yang
ilahi atau yang suci (the transcendent realm).Keterjangkauan kebenaran dan
kearifan guna meraih kebersatuan dengan yang ilahi sendiri menuntut
pemenuhan empat langkah bagi siapa pun pejalan mistik yang
menempuhnya.Keempatnya, penyucian tubuh dari keinginankeinginan badani
(purgation), pemurnian kehendak (purification of the will), pencahayaan
pikiran (illumination of mind), dan unifikasi –keinginan atau kondisi
seseorang- dengan yang illahi (unification with the divine).3 Pemenuhan
keempat hal ini bisa difahami sebagai pembersihan diri dari kungkungan
nafsu badani, menihilkan hasrat yang bisa mengganggu proses pembukaan
kebenaran, memenuhi jiwa sekaligus menenggelamkan diri dalam terang
realitas yang semata-mata ilahi.

2) Kebersatuan dengan Yang Ilahi

Dari berbagai definisi yang diungkapkan para ahli di atas, mistisisme


menempatkan pencapaian kebersatuan (union) dengan Yang Ilahi sebagai
tujuan.Tuhan menjadi terminal terakhir, puncak dari seluruh ikhtiar lelaku
mistik. Menurut Harun Nasution, mistisisme –apakah dalam Islam maupun di
luar Islam- memosisikan pencapaian hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan
sebagai tujuan. Sedangkan intisari mistisisme sendiri –termasuk tasawuf-
adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia
dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran ini
selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan Tuhan dalam arti
bersatu dengan Tuhan (ittihad, mystical union) (Cornelius, 2021)

Di dalam tradisi tasawuf –yang merepresentasikan mistisisme Islam-


esensi jalan sufistik yang ditempuh para salik (penempuh jalan spiritual)

15
adalah perasaan dekat dengan Tuhan. Perasaan ini diungkapkan dalam
perasaan sang Sufi akan kehadiran Tuhan di mana pun dan kapan pun.
Kehadiran Tuhan dirasakan baik di dalam dirinya maupun di alam yang
mengelilinginya.Pandangan para sufi –yang merepresentasikan pelaku mistik
di dalam Islam- menggambarkan Tuhan sebagai realitas yang menyeluruh dan
amat paripurna. Dari sudut pandang ruang dan waktu, Tuhan merupakan yang
awal dan yang akhir, asal sekaligus muara tempat kembali segala yang
ada.Tuhan juga merupakan yang dhohir sekaligus yang bathin, yang imanen
sekaligus transenden. Realitas ini didasarkan pada QS al-Hadid (57) ayat 3:

“Dia-lah yang Awal dan Yang Akhir, yang Lahir dan yang Bathin.”8 Di dalam
Islam, untuk menuju kebersatuan dengan Tuhan, sang penempuh jalan
spiritual harus menempuh jalan panjang yang terdiri dari banyak stasiun (al-
maqamat) dan beragam keadaan mental (al-hal). Stasiun-stasiun dimaksud
adalah tobat, zuhud, sabar tawakkal, dan ridha.Sedang keadaan mental
mencakup khauf (takut), tawadhu (rendah diri), taqwa, uns (rasa berteman),
wajd (gembira), dan syukr (syukur).Maqamat dicapai oleh ikhtiar manusia,
sedangkan hal merupakan anugerah dan rahmat dari Tuhan.Selain itu, berbeda
dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi.Menempuh maqam
dan hal guna mencapai kebersatuan dengan Yang Ilahi juga bukan perkara
mudah.Sang penempuh jalan spiritual harus konsisten dan sungguh-sungguh
dalam menjalankan laku spiritualnya.

3) Karakteristik Pengalaman Mistik

Pengalaman akan Yang Ilahi dalam mistisisme merupakan pengalaman


yang sangat pribadi (subjektif), sehingga tidak ada pengukuran yang mampu
mengungkapkan kondisi kebersatuan. Namun demikian, William James
menuturkan adanya empat karakteristik dalam menjelaskan kondisi
mistisisme.Pertama, Innefabilitas (Inneffability). Pengalaman mistik
merupakan suatu kondisi yang sangat tidak mungkin untuk
dijelaskan/diungkapkan (ineffability) dengan kata-kata seteliti dan sedetail
apa pun. Pengalaman mistik hanya bisa difahami sebagai pernyataan rasa

16
(state of feeling) –karenanya harus dialami langsung oleh setiap individu yang
ingin memahaminyamelebihi pernyataan-pernyataan intelek.Suatu
pengalaman yang dialami seseorang, misalnya, tidak akan bisa dijelaskan
sedetail yang dialaminya kepada orang lain yang tidak memiliki pengalaman
tersebut. Contoh lainnya, seseorang tidak akan mampu memahami nilai suatu
alunan simfoni, jika ia tidak memahami seni simfoni itu sendiri. Demikian
pula pengalaman mistikal, tidak akan dapat diterangkan sesempurna
pengalaman itu sendiri (Cornelius, 2021)

4) Ragam Ekspresi Mistisisme Agama-Agama

Mistisisme merupakan bagian penting dalam setiap agama.Sebab


selain dimensi formal eksoterik, agama juga mengandung dimensi batin
esoterik.Dimensi pertama terefleksikan dalam aturan-aturan hukum legal
keagamaan, sedang dimensi kedua terefleksikan dalam wilayah
spiritualitasnya. Dengan demikian –meski tidak sedikit mendapat resistensi
dari internal agamanya sendiri, terutama oleh penganut keagamaan eksoterik-
namun menurut Schimmel, mistisisme salah satu arus besar yang mengalir
dalam setiap agama dalam wujudnya yang bersifat ruhaniah dan substantif.16
Karenanya, menurut Harun, mistisisme pasti akan selalu dijumpai dalam
semua agama, baik agama teistik (Islam, Kristen dan Yahudi) maupun mistik
nonteistik (Budhism dan Hindu). Kelompok ini hadir dalam setiap agama
dengan nama yang cukup beragam, namun dengan jalan dan identifikasi
tujuan yang hampir seragam, yakni kebersatuan dengan Yang Ilahi (Zaenal,
2021)

Di dalam Islam misalnya, dimensi ini dikenal sebagai tasawuf dengan


para penempuhnya disebut sufi, yang berkembang mulai dari gerakan
asketisisme hingga persaudaraan spiritual (tarekat) yang lebih terlembaga.
Secara sosiologis, menurut Glock &Stark,mistisisme merupakan bentuk dari
dimensi eksperiensial keagamaan(religious experience) selain dimensi
ritual,ideologikal, intelektual, dansosial.Dimensi eksperiensial merujuk
kepada pengalaman keagamaan yang meliputi tiga aspek, yakni keinginan

17
untuk mencari makna hidup, kesadaran. akan kehadiran Yang Maha Kuasa
(Tuhan) dan ketakwaan. Adapun dimensi ritual berkaitan dengan upacara-
upacara keagamaan yang dilakukan sebagai ekspresi penghambaan sekaligus
keintiman manusia dengan realitas yang maha kuasa.Dimensi ideologikal
terkait dengan serangkaiankepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia
terhadap Tuhan dan sesamamakhluk Tuhan, dimensiintelektual merujuk pada
tingkatpemahaman diskursif tentang ajaranajaranagama, sedangkan dimensi
sosial hadir ketika ajaran agama terefleksi sebagai inti dan pranata kehidupan
bermasyarakat (Zaenal, 2021)

g. Aspek falsafah,

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philos yang berarti cinta
kepada kebenaran, dan kata sophos yang berarti ilmu dan hikmah (wisdom).
Dan kombinasi dari keduanya biasa diterjemahkan sebagai love of wisdom.

Namun, yang perlu dicatat, ‘sophia’ (wisdom) dalam bahasa Yunani mempunyai
aplikasi yang lebih luas daripada ‘wisdom’ dalam bahasa Inggris modern. Sophia
disini mempunyai makna penggunaan akal dalam semua bidang ilmu pengetahuan
atau persoalan-persoalan praktis. Dengan kata lain, kata sophia mengandung makna
kemauan dan keinginan yang sangat kuat untuk mencari tahu. Dari penjelasan di atas,
filsafat mengandung arti ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada
kebijaksanaan. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha
menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia. Adapun pengertian filsafat dari segi istilah adalah berpikir secara sistematis,
radikal dan universal, untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada,
seperti hakikat alam, hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat ilmu, hakikat
pendidikan dan seterusnya (Wafi & Abdul, 2022)

Dari definisi tersebut itu pula dapat diketahui bahwa filsafat pada
intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu
yang berada di balik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar,
asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriyah. Sedangkan dalam
Islam, istilah filsafat biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai

18
falsafah dan hikmah. Definisi falsafah sebagaimana diungkapkan oleh al-
Kindi adalah pengetahuan tentang realitas wujud dengan segala
kemungkinannya, sebab tujuan akhir dari seorang filsuf dalam pengetahuan
teoritisnya adalah untuk mendapatkan kebenaran dan dalam pengetahuan
praktisnya adalah untuk berperilaku sesuai dengan kebenaran tersebut. Istilah
hikmah mempunyai pengertian mendalam serta struktur Islam dan essensinya.
Wahyu Islam memiliki berbagai macam dimensi di dalamnya dan diwahyukan
kepada seluruh umat manusia pada level dasar yaitu al-islam, aliman, dan al-
ihsan atau dalam perspektif lain dikenal sebagai al-shari’ah, altariqah dan al-
haqiqah

(Daradjat, 1992)

Kedudukan filsafat dalam Islam sepanjang sejarah, kedudukan itu


mengalami pasang surut pemuliaan dan kecaman. Adalah sebuah keniscayaan
ketika kita mendiskusikan kedudukan dan bahkan fungsi filsafat dalam
pendekatan Studi Islam, maka persoalan seputar harmonisasi filsafat dan
agama (baca: Islam) akan menjadi pusat perhatian. Dalam rentang sejarah
Islam, diskursus harmonisasi antara filsafat dan Islam tidak diragukan lagi,
mengalami pergulatan dan perdebatan yang panjang dan melelahkan.
Sebagian ulama dan ilmuwan berpendapat bahwa Islam dan filsafat berbeda
secara diametral. Dengan kata lain, Islam dan filsafat mempunyai domain
yang sama sekali tidak bisa disatukan, apapun alasannya dan bagaimanapun
caranya. Walaupun demikian, satu hal yang perlu ditegaskan disini adalah
tidak sedikit dari mereka yang mencoba, bahkan berhasil mengharmoniskan
dan mensintesakan di antara keduanya. Sejarah telah mencatat bahwa
harmonisasi antara Filsafat Yunani dan Islam telah dimulai oleh Al-Kindi,
yang kemudian diteruskan secara ‘apik’ oleh Al-Farabi, dan disempurnakan
Ibnu Sina dan Ibnu Ru.

Selanjutnya kita akan membahas mengenai ‘Studi Islam’. Hal


mendasar yang penting dipahami dalam studi Islam adalah definisi Islam itu
sendiri. Menurut (Kurniawati, 2018) sangat sulit dicapai sebuah rumusan

19
yang dapat diterima secara umum mengenai apakah yang disebut Islam itu?
Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu
berubah, berkembang dan terus berkembang dari generasi ke generasi dalam
merespon secara mendalam realitas dan makna kehidupan ini. Islam adalah
“an on going process of experience and its expression, which stands in
historical continuity with the message and influence of the Prophet. (sebuah
proses pengalaman dan ungkapannya, yang berdiri dalam kontinuitas historis
dengan pesan dan pengaruh sang nabi)”

Untuk melihat dan mendefinisikan Islam, kita bisa menggunakan


kerangka teoritik dari (Assegaf, 2010) yang membedakan antara tradition dan
faith. Agama apapun, termasuk Islam, memiliki aspek tradition yaitu aspek
eksternal keagamaan, aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi
dalam masyarakat, dan aspek faith yaitu aspek internal, orientasi transenden,
dan dimensi pribadi kehidupan beragama. Dengan pemahaman konseptual
seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk memahami dan mengerti
pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Studi agama harus
berupaya memiliki kemampuan terbaik dalam melakukan eksplorasi baik
aspek tersembunyi maupun aspek yang nyata dari fenomena keberagamaan.
Karena dua aspek dalam keberagamaan ini; “tradition and faith, inward
experience and outward behavior, hidden and manifest aspect” (tradisi dan
iman, pengalaman bathin dan perilaku lahiriah, aspek tersembunyi dan nyata)
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dalam upaya agar agama
(Islam) terpahami baik, upaya yang bersifat internal yakni upaya tradisi
keagamaan mengeksplorasi watak dan makna keimanan, maupun upaya
eksternal yakni upaya menjelaskan dan mengartikulasikan makna bagi mereka
yang tidak berada dalam tradisi, maka agama tidak dapat dipisahkan dari
filsafat. Itu artinya filsafat mempunyai kedudukan penting dalam ber-Islam
(Tafsir, 2004)

h. Aspek sejarah,

20
Agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan
umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam khususnya,
sebagai agama yang telah berkembang selama empatbelas abad lebih
menyimpan banyak banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut
ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan
budaya. Salah satu sudut pandang yang dapat dikembangkankan bagi
pengkajian Islam itu adalah pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang
tersebut, Islam dapat dipahami dalam berbagai dimensinya. Betapa banyak
persoalan umat Islam hingga dalam perkembangannya sekarang, bisa
dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga
segala kearifan masa lalu itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif
rujukan di dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini (Hasanah, 2023)

Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya,


apakah sejarah sebagai pengetahuan ataukah ia dijadikan pendekatan didalam
mempelajari agama. Bila sejarah dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk
mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan dapat membidik
anekaragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah sebagai suatu metodologi
menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi
waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau
keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu
penelitian terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah
dilihat segi-segi prosesnya dan perubahan-perubahannya. Bahkan secara
kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan,
perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan juga
mampu memahami gejala-gejala struktural yang menyertai peristiwa. Inilah
pendekatan sejarah yang sesungguhnya perlu dikembangkan di dalam
penelitian masalah-masalah agama (Muhaimin., 2003)

Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) menjadi disiplin


ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu harus di bedakan antara kenyataan,
pengetahuan, dan ilmu. Setidaknya ada dua kenyataan yang dijumpai dalam
hidup ini. Pertama, kenyataan yang disepakati (agreed reality), yaitu segala

21
sesuatu yang dianggap nyata karena kita bersepakat menetapkannya sebagai
kenyataan; kenyataan yang dialami orang lain dan kita akui sebagai
kenyataan. Kedua, kenyataan yang didasarkan atas pengalaman kita sendiri
(experienced reality). Berdasarkan adanya dua jenis kenyataan itu, pegetahuan
pun terbagi menjadi dua macam; pengetahuan yang diperoleh melalui
persetujuan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung
atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa
yang dikatakan orang lain karena kita tidak belajar segala sesuatu melalui
pengalaman kita sendiri.7 Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, tetapi ada
satu hal yang mesti diingat, bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukan
tuntutan (claim) agar orang membangun apa yang diketahui menjadi sesuatu
yang sahih (valid) atau benar (true). Kesahihan pengetahuan benyak
bergantung pada sumbernya. Ada dua sumber pengetahuan yang kita peroleh
melalui agreement: tradisi dan autoritas. Sumber tradisi adalah pengetahuan
yang diperoleh melalui warisan atau transmisi dari generasi ke generasi (al-
tawatur) (Alim, 2011)

Walaupun secara realitas studi ilmu agama (baca: studi Islam [agama])
keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi dikalangan para ahli masih terdapat
perdebatan di sekitar permasalahan apakah ia (Studi Islam) dapat dimasukkan
ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara
ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan
ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah
misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies,
Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan
di kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah
ramai diselenggarakan di luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen tersebut
menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope
wilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran
seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative dan
histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan
sebagai disiplin ilmu, sedangkan untiuk dataran histories nampaknya relevan.

22
i. Aspek kebudayaan

1) Konsep budaya

Menurut (Ruri, 2021)Definisi “budaya” pada umumnya dipahami


sebagai definisi yang kompleks. Budaya atau kebudayaan dapat dianggap
sebagai suatu istilah yang definisinya mengikuti si penggunanya meskipun
merujuk pada realitas yang objektif juga. Artinya, dapat saja seseorang
berpendapat tentang “budaya” atau “kebudayaan”, tetapi yang lain boleh
keberatan dengan rumusan yang digunakannya; karena menyangkut
penghayatan atas budaya tersebut oleh yang bersangkutan. Keragaman
definisi budaya atau kebudayaan ini dapat dibandingkan dengan upaya
yang pernah dilakukan oleh A. L. Kroeber dan Clyde Kluchohn dengan
menyelidiki 160 buah definisi. Mudji Sutrisno secara ringkas mencoba
mengurai peristilahan budaya dan kebudayaan.

2) Budaya Sebagai Pola Makna dan Keseluruhan Sistem

Budaya yang dinamis menunjuk pada aktivitas manusia. Dalam hal


ini, budaya terkait dengan sikap hidup atau mentalitas pelaku budaya
sendiri. Sebab, dengan sikap yang tertentu, atau mentalitas tertentu,
seseorang atau suatu komunitas dapat menghadirkan karya-karya cipta,
yakni kebudayaan. Adanya referensi terhadap apa yang disebut “budaya”
menun-jukkan di sana ada pola-pola tertentu yang membuat sesuatu
sebagai

“budaya”. Pola-pola inilah yang dimaksud oleh Clifford Geertz sebagai


“pola makna”. Yakni dengan adanya struktur makna simbolis dari suatu
praksis budaya, sehingga apa yang dilakukan oleh manusia itu memiliki
arti. Atau dengan kebudayaan, manusia memberi makna pada tindakannya.

Untuk memahami budaya sebagai “ (Nawawi Uha, 2013)

Budaya yang merupakan pola makna-makna tersebut terkait dengan


pelaku budaya sendiri, sehingga budaya bersifat simbolis. Atau “budaya”

23
yang dimaksud Geertz sebagai sistem simbol, dengan adanya pola
maknamakna atau sistem konsep-konsep yang teraktualisasi dalam bentuk
simbol yang dapat dikomunikasikan, merupakan sisi halus atau rohani dari
realitas budaya yang padat-pejal-material. Sebagai sisi yang halus dan
mendalam, budaya demikian terkait dengan mentalitas atau kerangka
berpikir masyarakatnya. Karena terkait dengan mentalitas, atau dapat
disebut juga kerangka berpikir masyarakatnya, maka, mengikuti
Koentjara-ningrat, definisi “kebudayaan” menurut ilmu antropologi berarti
“keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan
belajar”. Pada masyarakat tertentu, masyarakat pribumi misalnya,
kebudayaan semacam ini dapat ditemukan karena pada umumnya
masyarakat (dan terbentuknya suatu masyarakat) tentu memiliki budaya
dan pola kebudayaannya sendiri, yang membentuk ciri khas masyarakat
tersebut. Dalam perspektif ini, budaya setempat bagi kalangan tertentu
identik dengan “agama setempat”, “agama suku” atau “agama asli”.
(Uhbiyati, 2019)

3) Peran Budaya Dalam Kehidupan Beragama

Kiranya cukup jelas bagi kita bahwa ada hubungan yang konkret
antara budaya dan agama bagi pelaku yang sama. Sebab baik budaya
maupun agama merupakan ekspresi suasana hatinya yang lebih mendalam.

Meskipun tampak serupa antara “agama” dan “budaya” dalam perspektif


antropologi, kita dapat tetap membedakan keduanya. Amaladoss melihat
hubungan antara agama dan budaya dengan mengatakan bahwa agama
merupakan unsur terdalam dari budaya, sementara budaya merupakan
bentuk ekspresif dari agama tersebut (Ibrahim, 2016)

Kehidupan beragama sendiri sebenarnya menunjukkan dua hal.


Pertama manusia berelasi dengan Tuhannya, Yang Mutlak, sebagai asal
dan tujuan hidupnya. Namun, sebagai makhluk sosial, manusia berelasi
dengan sesamanya juga. Artinya, dalam berelasi secara vertikal dengan

24
Tuhan, manusia tidak dapat mengabaikan relasi horizontalnya dengan
sesama manusia dan alam ciptaan lainnya. Bahkan dengan beragama
manusia dapat membentuk komunitas-sosialnya yang sama, karena merasa
menemukan “jalan” yang sama. Dengan kata lain, agama tidak bisa
sekedar sebagai persoalan pribadi (privat), melainkan juga manusia
beragama karena adanya dorongan komunitasnya. Dari sini cukup jelas
bahwa peran budaya dalam kehidupan beragama, selain menciptakan bagi
agama sarana ekspresinya yang lebih konkret dan manusiawi, budaya
berperan menciptakan kehidupan beragama yang lebih berbadab (baca:
berbudaya), karena beragama rupanya adalah hidup bersama masyarakat-
budaya(Sahlan, 2016)

Paham atau pandangan tentang agama maupun budaya yang


samarsamar tersebut diindikasikan dari cara mereka menjawab pertanyaan
yang agak ragu-ragu. Keraguan tersebut mengindikasikan bahwa terdapat
pemahaman yang belum sertamerta jelas dalam pikiran mereka, alias
dalam kehidupan sehari-hari ada penghayatan keagamaan yang bernuansa
Sunda, tetapi secara formal ada ajaran Katolik yang sudah ditanamkan di
sana. Namun demikian, kita dapat mengatakan bahwa keraguan tersebut
juga dapat berarti bahwa mereka rupanya tidak memiliki pemahaman yang
jelas tentang “agama” maupun “budaya”. Beberapa contoh ungkapan
keraguan atau kesamaran akan definisi yang dimengerti terungkap ketika
wawancara berlangsung. Sikap tersebut tergambar dari cara informan
menanggapi pertanyaan yang peneliti ajukan, di antaranya ada yang lama
merenung, ada juga yang senyumsenyum bahkan tertawa, berusaha
mengalihkan perhatian. Namun ketika dibantu dengan contohcontoh
konkret dan penjelasan seperlunya, maka barulah informan yang ragu-ragu
tersebut dapat menjawab. Artinya, secara teoritis (pemahaman) mungkin
saja beberapa informan tidak mengerti, tetapi secara praktis yang samar-
samar itu dilakukan juga, yakni kebudayaan (Arifin, 2020).

25
26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Teologi (Theos=Tuhan dan Logos=Ilmu) merupakan rangkaian ilmu


tentang Tuhan atau keTuhanan. Istilah teologi lebih sering dipakai oleh
penulis-penulis barat, oleh penulis-penulis Islam sendiri teologi mempunyai
kesamaan dengan ilmu Kalam.

Islam adalah agama yang diturunkan Allah dan diperuntukkan kepada


seluruh umat manusia. Kehadiran agama Islam ini adalah sebagai rahmat bagi
seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘aalamiin). Pembelajaran dan pembahasa
mengenai Islam, bukan berbicara tentang definisi saja. Melainkan dibahas
pula aspek-aspek dalam Islam yang merupakan salah satu ruang lingkup
Islam itu sendiri. Aspek-aspek dalam Islam diantaranya adalah aspek Teologi,
aspek ibadat, aspek moral, aspek mistisme, aspek falsafah, aspek sejarah,
aspek kebudayaan, dan lain sebagainya. Di dalam aspek-aspek tersebut
tentunya memiliki landasan dari segala aspek lainnya, yakni Aspek Teologi.

Aspek Teologi sederhananya berarti aspek Ketuhanan. Yaitu yang


membahas tentang Tuhan, keberadaan, dan sifat-sifatnya. Aspek teologi ini
berisi pandangan atau perspektif beberapa kelompok/ aliran dalam Islam yang
berkenaan tentang Tuhan. Sebagai contoh Tradisionalisme dan Liberalisme.

Tradisionalisme disini diartikan sebagai pemikiran suatu aliran yang


lebih memilih dan menggunakan wahyu/ dalil ketimbang kekuatan akal,
sedangkan Liberalisme adalah pola pikir suatu aliran yang lebih banyak
menggunakan akal disbanding wahyu. Kedua pemikiran ini dibahas lebih
mendalam dalam kajian Ilmu Kalam, dan aliran-aliran yang masuk di dalam
pembahasan ini disebut dengan aliran kalam. Aspek Teologi memiliki peran

27
yang sangat penting. Karena dari sinilah inti dari ajaran agama Islam tersebut.
Seperti yang kita ketahui, Islam mengajarkan tentang keimanan/ kepercayaan
terhadap Tuhan yang Esa. Maka, aspek ini sangat menarik untuk dipelajari.

Islam memiliki cakupan yang sangat luas dan ajaran Islam bersifat
dinamis (kecuali dalam ibadah). Seringkali timbul kesalahpahaman yang
mengatakan bahwa ajaran agama Islam hanya sebatas iman dan shalat saja.
Padahal, jika dipahami dari segala aspeknya, Islam memberikan pemahaman
yang sangat kompleks dan detail dalam setiap bahasannya. Aspek Teologi
sangat erat kaitannya dengan aspek lainnya. Salah satunya aspek ibadat.
Ibadat merupakan proses ‘timbal balik’ dari manusia kepada Tuhannya.
Sebenarnya, aspek ini adalah langkah atau perbuatan manusia yang dilakukan
untuk lebih dekat kepada Tuhannya dengan melakukan ritual yang sesuai
ajaran Tuhan melalui rasul dan kitab suci-Nya.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini amatlah jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan kepada pembaca untuk
memberikan saran dan kritikan yang bersifat membangun demi efektifnya
makalah selanjutnya, karena penulis sebagai manusia biasa tidak luput dari
lupa dan salah.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. (2022). ajian Ilmu Kalam Di IAIN Menyongsong Perguliran


Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga. Journal of
Islamis Studies, 2(356–658), 15–16.
Alim, Muhammad. (2011). Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan
Pemikiran dan Kepribadian Muslim. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.

Arifin. (2020). Pendidikan islam dalam perspektif filsafat ilmu. Journal Ta’dib,
2(356–68), 13–14.
Assegaf, Abd. R. (2010). Filsafat Pendidikan Islam. . Jakarta: Rajawali Pers.

Cornelius, I. S. (2021). PERAN BUDAYA DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA


Kajian Atas Kehidupan Beragama Umat Katolik Sunda Di Cigugur. Jurnal
Peran Budaya Dalam Kehidupan Beragama (Cornelius Iman Sukman),
1(265–658), 15–16.
Daradjat, Z. (1992). Ilmu Pendidikan Islam. . Jakarta: Bumi Aksara.

Departemen Agama. (2012). Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: Syamil Qur’an.

Dr. H. Faisol Nasar Bin Madi, M. A. (2023). Ilmu Kalam. IAIN Jember Press.

Dr. H. Jamaluddin, M. U., & Dr. Shabri Shaleh Anwar, M. Pd. I. (2019). ILMU
KALAM. Jakarta : PT. Indragiri Dot Com.

29
Dr. H. Muhammad Hasbi. (2021). Ilmu Kalam. Jakarta; Trustmedia Publishing.

Febri, H. M. (2022). MODEL PENELITIAN KALAM; TEOLOGI ISLAM


(ILMU KALAM) AHMAD HANAFI. Jurnal Pendidikan Agama Islam,
1(568–688), 16–19.
Frimayanti. (2019). Implementasi Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Agama
Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 3(165–681), 12–13.
Hasanah. (2023). Pendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal
Pendidikan Isla, 1(265–68), 15–16.
Ibrahim. (2016). Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Intan Pariwara.

Janna. (2019). Etika Dalam Perspektif Filsafat Islam. Jurnal Pendidikan Islam,
3(56–65), 16–19.
Kurniawati, I. (2018). Konsep Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam/.
Jakarta: PT Bumi aksara.
Muhaimin. (2003). Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan,
Pengembangan Kurikulum. Bandung: Nuansa, 2003.
Nawawi Uha, I. (2013). Pendidikan Agama Islam: Isu-isu Pengembangan
Kepribadian dan Pembentukan Karakter Muslim Kaffah. Jakarta: VIV Press.
Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnain, M. (n.d.). MEWACANAKAN AKIDAH
MENEGUHKAN KEYAKINA. Jakrata; Penerbit FA PRESS.
Prof. Dr. Sukiman, M. Si. (2021). TAUHID ILMU KALAM Dari Aspek Aqidah
Menuju Pemikiran Teologi Islam. Medan: PERDANA PUBLISHING.

Ruri, L. A. (2021). Islam, Iman Dan Ihsan Dalam Kitab Matan Arba‘In An-
Nawawi (Studi Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Dalam Perspektif
Hadis Nabi Saw). Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam, 6, 16–26.
Safir, I. W., & Syamsul, R. (2021). STUDI ILMU KALAM. Fakultas Ushuluddin:
Penerbit: Fakultas Ushuluddin.
Sahlan, A. (2016). Manajemen Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Group.
Suarnay. (2021). Eksistensi Pasraman Dalam Menanamkan Nilai Moral Bagi
Umat Hind. Journal of Sosial Sciences and Humaniti, 1(356–981), 16–16.
Sungata, M. (2022). Mistisisme Yoga: Polarisasi Gerakan Spiritualitas dalam
Masyarakat bLintas Agam. Junal Pangkaja, 1(236–659), 15–16.
Syafii. (2021). DARI ILMU TAUHID/ILMU KALAM KE TEOLOGI:
ANALISIS EPISTEMOLOGIS. Jurnal Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Teologi,
Paradigma Baru, 2(136–658), 12–13.

30
Tafsir, Ahmad. et. al. (2004). Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. . Bandung:
Mimbar Pustaka, Media Transfasi Pengetahuan.
TSUROYA KISWATI. (2013). ILMU KALAM ALIRAN SEKTE TOKOH PEMIKIRAN
DAN ANALISA PERBANDINGAN. Bandung: Pustaka Setia.
Uhbiyati, N. (2019). Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Wafi, & Abdul. (2022). Konsep Dasar Kurikulum Pendidikan.Agama Islam.


Jurnal Pendidikan Agama Islam, 8(125–688), 11–16.
Zaenal, M. (2021). Jalan Menuju yang Ilahi Mistisisme dalam Agama-Agama.
Jurnal Jalan Menuju Yang Ilahi Mistisisme Dalam Agam, 1(568–681), 18–
19.

31

Anda mungkin juga menyukai