Anda di halaman 1dari 16

Pendekatan Teologis dalam Studi Islam

A.    Pendahuluan
Agama sering dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesungguhnya
tentang dunia ini, sebab ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan untuk semua
manusia. Namun, dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomodir
segala kebutuhan manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan”,
karena berangkat dari sanalah tumbuh berbagai macam konflik, pertentangan yang terus
meminta korban. Kemudian sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan
kembali dan mencari hubungan yang paling otentik antara agama dengan masalah-masalah
kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang berlaku dewasa ini.
Apa yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa agama, tepatnya pemikiran-
pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada struktur-struktur logis argumen
tekstual (normative). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati
secara semestinya. Struktur logis tidak pernah berhubungan dengan tema-tema yang
menyangkut tradisi, kehidupan sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat.
Melihat kenyataan semacam ini, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan,
khususnya yang berkaitan dengan pendekatan-pendekatan teologis yang selama ini cenderung
normative, tekstual dan “melangit”, sehingga tidak bisa terjamah oleh manusia. Oleh karena
itu diperlukan pendekatan-pendekatan teologis yang kontekstual “membumi”, sehingga dapat
dinikmati oleh manusia dan tidak bertentangan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat
yang ada. Berangkat dari hal tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai, (1)
apa pengertian teologis dan pendekatannya dalam studi Islam?, (2) bagaimana sejarah dan
akar munculnya teologi klasik?, (3) bagaimana membangun teologi kontemporer dan
karakteristiknya yang sesuai dengan perkembangan zaman saat ini?
B.     Pengertian Teologis
Teologi secara leksikal terdiri dari dua kata, yaitu “theos” yang berarti Tuhan dan
“Logos” yang berarti Ilmu.1[1] Jadi teologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ketuhanan. Secara
terminologi, teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala sesuatu yang

1
terkait dengannya,2[2] juga membahas hubungan Tuhan dengan manusia dan hubungan
manusia dengan Tuhan.3[3]
Dalam istilah Arab, ajaran dasar itu disebut dengan usul al-din dan oleh karena itu
buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalau diberi nama kitab ushul al-din
oleh para pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar itu disebut juga ‘aqaid, credos atau keyakinan.
Teologi dalam Islam disebut juga ilmu al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau esa,
dan keesaan dalam pandangan Islam disebut sebagai agama monotheisme merupakan sifat
yang terpenting diantara segala sifat Tuhan. Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilmu al-
kalam.4[4]
Sebenarnya “kalam” dalam aqidah Islam adalah semacam ilmu atau seni. 5[5] Kalam
dalam pengertiannya adalah “perkataan atau percakapan”, dalam pengertian teologis kalam
disebut sebagai kata-kata (firman) Tuhan, maka teologi dalam Islam disebut ‘ilmu al-kalam,
karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallimin, yaitu ahli
debat yang pintar memakai kata-kata.
Menurut Amin Abdullah, Teologi ialah suatu ilmu yang membahas tentang
keyakinan, yaitu sesuatu yang sangat fundamental dalam kehidupan bergama, yakni suatu
ilmu pengetahuan yang paling otoritatif, dimana semua hasil penelitian dan pemikiran harus
sesuai dengan alur pemikiran teologis, dan jika terjadi perselisihan, maka pandangan
keagamaan yang harus dimenangkan.6[6]
Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam
bentuk  ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasannya dan
kurang bersifat filosofis. Selanjutnya, ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan
tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain
yang ada dalam teologi Islam.

C.    Pendekatan Teologis

6
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu
suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari
Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan
teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekuarangan
sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan
seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar,
menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai
kemanusiaan, kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa,
persamaan derajat dan sebagainya.7[7]
Pendekatan teologis normative merupakan salah satu pendekatan teologis dalam
upaya memahami agama secara harfiah. Pendekatan normative ini dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari
suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan yang lainnya.8[8]
Agama sebagai objek penelitian mempunyai dua aspek, yaitu aspek historisitas dan
aspek normatif. Aspek historis menjadi objek penelitian sejarah agama dan fenomenologi
histroris. Sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan
pengakuan akan kebenaran untuk mengatur kehidupan individu dan kehidupan sosial. Aspek
normatif tersebut merupakan tugas teologi. Pendekatan teologi semacam ini adalah normatif
dan subjektif terhadap agama yang pada umumnya dilakukan oleh penganut agama tertentu
dalam usaha untuk menyelidiki agama lain. Oleh sebab itu, ia selalu bersifat apologis. 9[9]
yakni menyerang keyakinan agama lain untuk memperkokoh agama penganutnya.
Joach Wach berkomentar bahwa apabila teologi bertugas untuk meneliti, memperkuat
dan mengajarkan kepercayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat agama, dan juga untuk
memperkokoh semangat dan gairah mempertahankan kepercayaan tersebut, maka ia
bertanggungjawab pula untuk membimbing dan memurnikannya. Selanjutnya dalam teologi
ada upaya untuk mencintai kebenaran, Namun harus membenci ketidakbenaran. Akan tetapi
tidak benar jika karena ingin memuji kepercayaan sendiri, seseorang harus membenci dan
menghina orang-orang yang memiliki kepercayaan lain.10[10]

10
Pendekatan teologis agama dipandang sebagai keyakinan atau dogma Tuhan yang
bersifat absolute. Keyakinan ini bersifat subjektif dan particular. Dalam arti, bahwa suatu
kebenaran yang diyakini berlaku untuk orang-orang yang meyakini saja, sementara orang
yang di luar belum tentu meyakininya, atau bahkan menolaknya. Disebut partikuler (bagian)
karena keyakinan tersebut tidak berlaku secara universal (umum), hanya bagi pemeluk agama
tertentu. Karenanya, terdapat kepercayaan hanya berbeda-beda, seperti teologi Islam, teologi
Kristen, dan teologi Yahudi.11[11]
Doktrin teologi macam apa pun, bahkan juga studi agama-agama, secara historis-
empiris yang manapun tidak akan mampu memberi sumbangan pemikiran untuk melerai
ketertumpang-tindihan dan ketercampur-adukan antara dimensi doktrin-teologi dan dimensi
kesejarahan dalam wujud praksis sosial dan ketertumpang-tindihan antara teks dan realitas.
Bercampur-aduknya kepentingan golongan (baik dari segi kepentingan ekonomi, politik
pendidikan, sosial, budaya maupun pertahanan keamanan) dengan doktrin-teologis,
menjadikan hubungan antar umat beragama semakin ruwet. Agak sulit sekarang untuk hanya
secara pasrah mengkaji aspek doktrinal-teologis dari suatu agama dengan melepaskan
keterkaitannya dengan aspek sosial praksis dan kultural-sosiologis yang menyertainya, dan
begitu sebaliknya. Keduanya sudah demikian membaur dan campur-aduk.12[12]
Oleh sebab itu tidak semua pendekatan teologi bersifat normatif, tetapi ada pula
pendekatan teologi yang bersifat dialogis, bahkan ada yang bersifat konvergensi. Adapun
yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Dalam hubungan ini, dapat dipahami bahwa agama dapat diteliti menggunakan
berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran
sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian
agama itu dikategorikan penelitian sosial, penelitian legalistik atau pendekatan filosofis.13[13]
Pendekatan Teologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan penelitian
agama. Hal ini dilakukan untuk menjawab persoalan apakah agama dapat diteliti. Sementara
ahli dan ulama, menurut Noeng Muhadjir, bahwa ilmu dan wahyu itu memiliki otonomi
dibidangnya masing-masing. Ekstremitasnya menimbulkan filsafat di antara para ulama, dan
menabukan non empirik dan non sensual diantara para ilmuan. Apapun alasan yang

11

12

13
dikemukakan, adalah bahwa pendekatan teologi dalam penelitian agama dimaksudkan untuk
menjembatani para pakar ilmu agama (ulama) dengan ilmuan lainnya, karena pendekatan
teologi dalam penelitian agama berada di kawasan naqli atau wahyu dan ada yang aqli atau
produk budaya manusia.14[14]
D.    Sejarah dan Akar Munculnya Teologi Klasik
Ilmu kalam terbentuk sebagai ilmu tersendiri pada abad ke-2 H (8M) tepatnya pada
masa al-Makmun setelah ulama’ Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang
diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu para ahli menganggap pendiri ilmu ini
adalah kelompok Mu’tazilah. Melalui terjemahan-terjemahan itu, mereka mempertemukan
cara (sistem) filsafat dengan sistem ilmu kalam. Sejak saat itulah dipakai perkataan al-Kalam
untuk ilmu yang berdiri sendiri.15[15]
Proses terbentuknya ilmu teologi sangat terkait dengan situasi politik pasca
terbunuhnya ’Usman ibn ’Affan r.a. saat itu kaum muslimin terpecah-pecah menjadi
beberapa partai yang masing-masing merasa sebagai pihak yang benar dan menganggap
calon dari golongannya yang berhak menjadai pemimpin umat islam. Kemudian partai-partai
itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk membela pendiriannya,
dan selanjutnya perselisihan diantara mereka menjadi perselisihan agama dan berkisar pada
soal iman dan kafir. Menurut sebagian kecil umat islam saat itu, ’Usman ibn ’Affan r.a
melakukan kesalahan dalam memimpin, bahkan kafir. Pembununya berada di pihak yang
benar. Sebaliknya, pihak lain mengatakan pembunuh khalifah ’Usman r.a telah melakukan
kejahatan besar, oleh karena itu mereka berdosa besar dan kafir, mengingat beliau adalah
pemimpin umat islam yang sah. Dari sinilah mulai timbul persoalan besar yang selama ini
memenuhi buku-buku keislaman, yaitu persoalan dosa besar, iman dan hakekatnya, dan
persoalan kepemimpinan.16[16]
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas
inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari
Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Dari persoalan dosa besar kemudian muncul
persoalan sumber kejahatan atau sumber perbuatan. Dari persoalan ini lahir beberapa aliran
teologi. Aliran tersebut adalah sebagai berikut:

14

15

16
1.      Aliran Khawarij, berpandangan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti murtad
oleh karena itu wajib dibunuh. Kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang
meninggalkan kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan rasulnya.
2.      Aliran Murji’ah, yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih muknin
dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk
mengampuni atau tidak.
3.      Aliran Mu’tazilah, aliran ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir
tetapi bukan pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir dan mukmin.
Dalam teologi mu’tazilah, orang seperti ini dikatakan “tanzilu baina manzilatain.”
4.      Aliran Qodariah, aliran ini terkenal dengan pemikiran Free Will dan Free act (kebebasan
berkehendak dan berbuat). Aliran ini memiliki pandangan yang menyatakan manusia
mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat
5.      Aliran Jabariah, aliran Jabariah berpandangan manusia dalam segala tingkah lakunya
bertindak atas dasar paksaan dari Allah atau dengan kata lain manusia tidak mempunyai
kemerdekaan menentukan kehendak dan perbuatan.
6.      Aliran Asy’ariah, aliran Asy’ariah merupakan aliran teologi tradisional yang di susun oleh
Abu Hasan al-Asy’ari (935 M). Pada awalnya Abu Hasan al-Asy’ari merupakan orang
Mu’tazilah yang merasa tidak puas dengan teologi Mu’tazilah. Dalam satu riwayat keluarnya
Abu Musa al-Asy’ari dari Mu’tazilah dikarenakan ia pernah bermimpi bahwa Mu’tazilah di
cap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat.
7.      Aliran Maturidiah, aliran yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (944 M).
Dalam perkembangan selanjutnya dua aliran terakhir yakni Asyari’ah dan Maturidiah di
kenal dengan nama aliran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Kedua aliran ini dibedakan dalam
lapangan hukum Islam. Aliran Asyariah lebih cenderung dengan pendekatan Imam Syafi’I,
sedangkan aliran Maturidiah cenderung pada pendekatan Imam Hanifah.17[17]
1.      Teologi Islam Klasik dan Fenomena Kekinian
Masuknya filsafat Yunani dengan tuntutan rasionalnya berpengaruh besar di kalangan
masyarakat muslim dan menimbulkan kehausan akan pengetahuan filosofis, kegelisahan
untuk menjelaskan hal-hal yang diimani, dan keinginan untuk mengkoordinasikan
keseluruhan pengetahuan manusia. Walaupun suatu kenyataan yang tidak dapat kita nafikan
bahwa konflik politik di kalangan umat Islam merupakan ”ragi” yang mewarnai tumbuhnya
teologi Islam di masa awal.18[18]

17
Hal menarik yang dapat kita kemukakan di sini, bahwa dalam perkembangannya,
teologi Islam merupakan wujud respons terhadap semakin gencarnya penyebaran filsafat
Yunani dan unsur-unsur ajaran luar Islam yang ikut terlibat dalam pergumulan pemikiran
keislaman saat itu. Ideologi dan pemikiran-pemikiran filosofis itu sedemikian luas
penyebarannya sehingga ulama’ merasa perlu untuk mengantisipasi kemungkinan
tercemarnya akidah umat Islam. Mereka lalu menulis karya-karya yang berisi antara lain
argumen-argumen yang diharapkan dapat menjadi benteng bagi akidah umat Islam dengan
dalil-dalil yang ditawarkan tidak lagi hanya berkutat pada dalil-dalil naqli tapi sudah mulai
banyak melibatkan logika-logika rasional.19[19]
Dengan kata lain, keberadaan teologi Islam merupakan fakta yang menunjukkan
adanya sense of social crisis para ahli terhadap realitas masyarakat. Pada saat itu umat Islam
sedang menghadapi problem perlunya upaya rasionalisasi terhadap pokok-pokok akidah
mereka akibat pengaruh mainstream pemikiran Yunani yang mulai merambah umat Islam.
Dapat dimaklumi jika pada saat itu persoalan yang dibahas teologi Islam hanya berkutat
dengan permasalahan-permasalahan yang bersifat transenden-spekulatif.20[20] Paradigma
pemikiran teologi Islam klasik lebih cenderung (tend) pada persoalan-persoalan al-mantiq,
al-thabi’iyat dan al-illahiyyat.21[21]
Bangunan keilmuan teologi Islam klasik nampaknya terus bertahan dan dikaji terus
menerus tanpa mengalami perubahan orientasi. Teologi Islam dalam pembahasannya hanya
berkutat pada persoalan-persoalan ”langit”. Kalau kita lihat dalam data sejarah, kemenangan
pemikiran teologi klasik atas pemikiran kritis-filosofis seperti yang terjadi di seputar
kontroversi antara al-Ghazali (w.1111 M) dan Ibnu Sina (w. 1037 M) telah menjadikan
pemikiran teologi seolah sebagai sesuatu yang taken for granted sehingga tidak perlu kajian
dan rumusan ulang.22[22]
Adanya ”pembekuan” yang benih-benihnya telah ditebarkan oleh al-Ghazali adalah
realitas lain yang juga telah berpengaruh terhadap mandeknya pemikiran teologis dalam
Islam. Di samping itu, disebabkan karena kecenderungan para ahli untuk mengikut pada para
teolog awal dan juga adanya upaya penanggalan proses rasional yang dipandang sebagai
18

19

20

21

22
sesuatu yang sia-sia dan tidak relevan merupakan faktor yang berperan juga dalam
meneguhkan stagnasi pemikiran tersebut.23[23]
Berkenaan dengan al-Ghazali, kita tidak bermaksud menghakiminya sebagai
penyebab kemandegan pemikiran Islam. Hal di atas adalah sebuah ilustrasi akan hilangnya
peran vital semangat pemikiran kritis sebagaimana yang ditunjukkan atas kasus perseteruan
al-Ghazali dengan pakar lainnya. Para ahli setelah Beliau tidak memandang produk
pemikirannya tidak lain merupakan hasil pemikiran panjang dan bersifat relatif serta
merupakan respon terhadap perkembangan pemikiran pada zamannya. Hal inilah yang
sebenarnya yang penting untuk dipahami dalam membaca realitas kesejarahan teologi Islam
jika kita tidak ingin menjadikan pemikiran Islam mengalami stagnasi.24[24]
Dalam perkembangan selanjutnya, kondisi sosial, budaya dan politik umat Islam sama
sekali berubah. Kemajuan peradaban Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
telah menimbulkan kegelisahan para pemikir Islam kontemporer. Keprihatinan Arkoun,
bersama-sama Fazlur Rahman, Muhammad Iqbal, juga Hasan Hanafi untuk batas-batas
tertentu, ditimbulkan oleh persoalan mengapa ilmu-ilmu agama Islam, termasuk teologi
Islam, masih ”berjalan di tempat”, baik dari segi konstruksi epistemologi, metodologi
maupun muatan isinya. Padahal kehidupan manusia telah berubah sebegitu fantastisnya di
samping juga problematika dan mainstroam pemikiran kontemporer sangat berbeda dengan
era klasik Islam.25[25]
Wacana pemikiran kontemporer yang saat ini sedang berkembang dan menjadi
mainstream, perlu dan harus direspons secara positif-kritis terutama dalam upaya untuk
menjawab berbagai problem yang sedang melanda umat Islam. Dengan demikian, teologi
Islam pada abad pertama yang lebih disibukkan dengan persoalan-persoalan ghaib
(metafisika) serta lebih banyak diwarnai oleh hal-hal yang bersifat intelektual-spekulatif
sudah saatnya ditelaah ulang.26[26] Para pemikir Islam tidak perlu lagi dituntut dan
disibukkan untuk ”membela Tuhan” ketika dilecehkan oleh filosof kontemporer misalnya
dengan perkataan ”Tuhan telah mati!”, tetapi mereka justru ditantang untuk menyelesaikan
persoalan umat Islam secara lebih luas; pembebasan dari kolonialisme, pembagian kekayaan

23

24

25

26
secara lebih adil dan merata, kebebasan menyampaikan pendapat, persatuan dan
pemberdayaan kembali dari keterbelakangan.27[27]
Oleh karena itu, hal terpenting saat ini adalah bagaimana mengembalikan peran vital
yang telah diukir secara nyata oleh para ahli teologi Islam klasik terhadap persoalan sosial
yang melingkupinya. Berbagai persoalan umat Islam yang selama ini mengedepan adalah
sesuatu yang perlu direspons dan dicari jalan keluarnya oleh para teolog muslim saat ini.
2.      Kritik Terhadap Teologi Klasik
Teologi (ilmu kalam) dalam khazanah intelektual Islam merupakan suatu ilmu yang
memusatkan pembicaraannya pada dan tentang Tuhan dengan segala dimensi-Nya. Ruang
lingkup kajiannnya seputar kepercayaan tentang Tuhan dengan segala segi-Nya, wujud-Nya,
sifat-Nya, perbuatan-Nya, keesaan-Nya dan semacamnya.28[28] Jadi, dimensi kemanusiaan
dalam teologi nyaris tak tersentuh. Kalaupun ada di antara temanya menyentuh tentang
manusia, hanyalah dalam dimensi vertikal hubungan manusia dengan Tuhan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, persoalan politik juga begitu besar pengaruhnya
terhadap munculnya persoalan teologi dalam Islam. Kondisi politik, yaitu terbunuhnya para
Khulafa’ Al-Rasyidin menjadi salah satu sumber utama untuk perumusan konsepsi,
kategorisasi dan definisi ilmu kalam atau teologi. Iman, kufur, nifak, dosa besar, Qadariyah
dan Jabariyah. Setelah itu muncul pengakuan kelompok Syi’ah, Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, para ilmuwan akidah
menyusun dan  membukukan pengertian dan batasan-batasan ilmu kalam. Sudah barang tentu
bahan-bahan pertimbangan untuk pembakuan definisi-definisi ilmu kalam amat sangat
terbatas dari situasi seperti itu, dibandingkan dengan bahan-bahan pertimbangan yang bisa
diperoleh dari luar situasi pertikaian politik.
Dengan kata lain, paling tidak, proses pembakuan keilmuan teologi klasik disusun
tidak dalam situasi yang tenang tentram, tetapi disusun sesuai dengan alur kepentingan
kepentingan kelompok yang hidup pada saat itu. Teologi tanpa terasa telah membaur menjadi
kepentingan politik. Barangkali berangkat dari kenyataan seperti itu, datanglah kritik yang
beraneka ragam dari para pemikir yang datang belakangan terhadap eksistensi ilmu kalam
atau teologi dan pemahaman pemahaman tauhid akidah dalam format keilmuan klasik. Al-
Ghazali menyatakan bahwa akidah yang diformulasikan lewat ilmu kalam tidak dapat
mendekatkan manusia kepada Tuhan, tetapi melalui ilmu tasawuflah seseorang bisa

27

28
mendekatkan diri kepada Tuhan. Ibnu Taymiyah juga berpendapat demikian. Karena ilmu
kalam menggunakan akal sebagai alat untuk memahami agama, maka ia menganjurkan agar
menjauhi ilmu kalam.29[29]
Muhammad Iqbal juga melihat adanya anomali-anomali yang melekat dalam literatur
teologi klasik. Teologi Asy’ariyah menggunakan cara berfikir dialektika yunani untuk
mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Pemikiran teologi
Asy’ariyah dinilai tidak kondusif untuk memajukan  dan membangkitkan etos keilmuan
dalam pemikiran islam. Mu’tazilah, sebaliknya terlalu jauh bersandar pada akal, yang
akibatnya tidak menyadari bahwa dalam wilayah agama, pemisahan antara pemikiran agama
dari pengalaman konkret merupakan kesalahan besar. Al-Ghazali juga dipersalahkan oleh
iqbal, karena dianggap telah memorak porandakan struktur pengalaman keberagamaan
dengan hanya mendasarkan agama pada landasan skeptik, dengan alasan bahwa pemikiran
manusia yang terbatas tidaklah dapat mengetahui dan memahami sesuatu yang tidak terbatas.
Karena itu, banyak dari para pemikir intelektual muslim mewacanakan rekonstruksi
teologi Islam agar teologi Islama benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia
dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun
kembali epistimologi lama menuju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi
teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong,
melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-
keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktua sebagai landasan etnik dan motivasi bagi
manusia.
Sebab itu juga banyak kritik yang disuarakan oleh para pemikir Islam terhadap teologi
Islam Klasik. Salah satunya adalah Hasan Hanafi, jauh-jauh hari telah menawarkan
rekontruksi teologi Islam ke arah antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah Islam tentang
teologi kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar,
yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di bidang teologi yang kita
warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus
keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata
kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk
ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari
kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling

29
mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw.
sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif.30[30]
Senada dengan pandangan tersebut, Fazlur Rahman menyatakan bahwa teologi atau
berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing
dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-
Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi
penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai
kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut
fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi
umat manusia serta dapat diajarkan pada umat.31[31]
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harusnya
mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan,
ketidakadilan, hak asasi manusia, keterbelakangan, dan sebagainya). Teologi yang fungsional
adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialog, sekaligus
menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan.
Berangkat dari hal itu, Amin Abdullah berpandangan bahwa tantangan kalam atau
teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan,
kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun
yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan
persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), memiliki rumusan teologis yang
lambat laun akan menjadi out of date. Al-Qur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya
selalu menyentuh dimensi kemanusiaan universal.32[32]
Kalau kita analisis dari pandangan-pandangan tersebut, setidaknya terdapat tiga
kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya:
         Pertama, ilmu kalam menonjolkan pembahasannya pada hal-hal abstrak seputar eksistensi
Tuhan dan atribut-atribut yang melekat pada-Nya, yang tidak berkorelasi dengan realitas
sosial.
         Kedua, Teologi Islam tradisional dalam paradigmanya cenderung spekulatif, teoritik, elitik,
statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya.

30

31

32
         Ketiga, Paradigma teologi klasik Islam sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas,
gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman, karena itu sudah saatnya direformasi,
rekonstruksi, dan reformulasi dalam modelnya yang baru dan progresif.
Sadar akan implikasi dan konsekuensi dari pola berpikir seperti itu, khususnya dalam
masyarakat pluralistik, maka perlunya mengajukan pola pikir pendamping yang
disebut critical reflection, sebuah istilah yang dapat disepadankan dengan philosophical
reflection. Merupakan refleksi filosofis berkenaan dengan pokok-pokok keimanan umat
Islam. Teologi Islam, dengan demikian, merupakan pembahasan tentang iman yang bercorak
filsafat, dipengaruhi pikiran dan metode filsafat. Meskipun demikian, antara teologi dan
filsafat ada perbedaan diantara keduanya. Pertama, para teolog sebagai pembela setia Islam,
ia berangkat dari dasar-dasar iman dan dibuktikan secara rasional (filsafati). Para filosof
berangkat dari keraguan dan pencarian kebenaran iman. Kedua, bahwa obyek teologi Islam
adalah persoalan keimanan (terbatas) sedang filsafat lebih luas lagi.33[33]
E.     Membangun Teologis Kontemporer
Jika teologi betul-betul ingin menjadi ilmu maka ia tidak cukup semata-mata
merupakan studi atas kitab suci tapi harus mencari dan menemukan sejumlah masukan
berdasarkan data empiris kontemporer. Studi agama masa depan harus meminjam dan
mengadaptasi sejumlah pemahaman dan penemuan dari berbagai disiplin keilmuan yang
lain. Pola pikir dan logika yang digunakan dalam ilmu kalam (‘aqidah, doktrin, dogma)
adalah pola pikir deduktive, pola pikir yang sangat tergantung pada sumber utama (teks).
Sejauh yang diketahui bahwa pola pikir deductive hanyalah salah satu saja dari pola pikir
yang ada. Masih ada yang disebut dengan inductive dan abductive.34[34]
Menurut Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembengan ilmu pengetahuan
(history of science) pola pikir deductive dan inductive dianggap sudah tidak memadai lagi
untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan era abad 20 memunculkan kategori baru
dalam pola pikir keilmuan. Yaitu pola pikir abductive. Pola pikir ini lebih menekankan the
logic of discovery dan bukan the logic of justification. Pengujian secara kritis terhadap apa
yang didapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk didalamnya rumusan manusia
tentang keilmuan agama atau rumusan-rumusan aqidah dapat dikaji kembali validitas dan

33

34
kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang dalam
kehidupan praksis sosial yang aktual.35[35]
Kendatipun semangat fundamentalism begitu menyolok dalam fenomena seperti ini
tapi yang demikian bukanlah satu-satunya gejala yang ada di dalamnya, bahkan terdapat
perkembangan yang sering bertolak belakang. Perubahan yang cenderung anarchis dan
kemajemukan wacana mendorong sebagian cendikiawan untuk memunculkan paradigma
pemikiran yang lebih inklusif, toleran, dan perlunya pengertian terhadap kelompok lain.36[36]
Imre Lakatos, sudah banyak bicara tentang bagaimana teologi ini didekatkan dengan
program riset, perubahan yang akan dilakukan bukanlah konstruksi bangunan dasar
keagamaan secara keseluruhan melainkan wilayah periperial atau wilayah interpretasi
terhadap ajaran. Dalam program riset ini, terdapat aturan-aturan metodologis yang salah
satunya disebut dengan negative heuristic.  Tujuan metode ini adalah mempertahankan hard
core (inti pokok). Dalam negative heuristic, penelitian tidak boleh diarahkan kepada hard
core akan tetapi diarahkan kepada hipotesis  pembantu yang berada di sekeliling hard core
yang berfungsi sebagai protective belt (lingkaran pengaman). Hipotesis bantu inilah yang
menjadi sasaran penelitian sehingga harus selalu dilakukan penyesuaian atau  menggantinya
secara keseluruhan untuk mengamankan hard core.  Dengan lain ungkapan, bahwasanya
wilayah inti (hard core) dari pada wahyu serta dimensi normativitas ajaran agama akan tetap
seperti itu apa adanya, dan hanya wilayah interpretasi ajaran agama yang bersifat historis-
relativ yang akan masih berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi dan
perkembangan ilmu pengetahuan manusia, yang akan terkena proses dekonstruksi. Jika
memang begitu adanya, maka dengan terjadinya proses dekonstruksi  justru menunjukkan
adanya dinamika keberagamaan manusia dalam arti yang sesungguhnya.37[37]
Berbeda dengan Lakatos, Thienmann menghendaki  sebuah teologi yang terlepas dari
kekuatan lembaga-lembaga atau dasar-dasar teori sebelumnya, sehingga seseorang akan dapat
berimprovisasi sendiri. Ia mengatakan tidak ada petunjuk untuk memilih salah satu dari
berbagai sistem yang ada. Jadi ciri khas dari sebuah teologi postmodernism itu memang anti-
foundational yang  menolak segala bentuk konsep yang berfungsi sebagai starting point untuk

35

36

37
membangun sebuah kebenaran, dan juga anti-totalizing yang mengkritik teori tentang
totalitas dari sebuah realitas.38[38]
Apa yang ingin disampaikan disini  adalah bahwa kebenaran agama itu biarlah
berjalan apa adanya, substansi kebenaran agama berlangsung apa adanya dan tak perlu
diragukan apalagi ditolak. Hanya saja yang utama dari semua itu adalah perlunya
pembenahan ulang terhadap berbagai konsep dan teori dimana dan dalam kondisi apa  ilmu
kalam itu dibangun.39[39]
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan para pemikir muslim
kontemporer, maka dapat diketahui ada beberapa karakteristik teologi kontemporer, yaitu:
1.      Bersifat Antroposentris
Hasan Hanafi memunculkan paradigma baru dalam kajian teologi kontemporer, yaitu
paradigma yang bersifat antroposentris. Begitu antroposentrisnya, sampai ia mengatakan
bahwa Tuhan adalah diri manusia itu sendiri. Kita tidak perlu memikirkan Tuhan yang ada di
langit. Sebab ia tidak butuh pemikiran kita. Energi pikiran kita, sebaiknya digunakan untuk
menyelesaikan problem-problem kemanusiaan yang masih banyak belum terselesaikan.
Fazlur Rahman menegaskan bahwa yang sebenarnya dituju oleh al-Qur’an bukanlah Tuhan
melainkan manusia dan tingkah lakunya. Nuansa pemikiran dan refleksi sosial dibelakang
pernyataan Rahman tampak ada disitu.40[40] Wilayah normative theology perlu segera
dipertautkan dengan isu-isu yang muncul dalam wilayah practical theology.
2.      Integrasi Teologi dan Filsafat
Era klasik skolastik yang mempertentangkan dengan tajam kedua pendekatan tersebut
dalam memecahkan persoalan agama telah lewat, isu keterbukaan berkat globalisasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tidak mungkin dibendung dengan cara apapun mendorong
orang untuk mencari altenatif baru dengan menggunakan pendekatan yang lebih bernuansa
sosio-filosofis-qur’anis.41[41]
3.      Berparadigma kritis
Paradigma ini memandang islam sebagai agama yang menjadi pendorong revolusi
sosial untuk memerangi struktur yang menindas. Tujuan dasar paradigma ini adalah

38

39

40

41
persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan social
(social justice).42[42]
4.      Berprinsip Pegembangbiakan dan Pembebasan
Prinsip pengembangbiakan bukan aturan metodologis melainkan suatu prinsip bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan mengikuti metode atau teori tunggal.
Kemajuan ilmu pengetahuan akan dicapai dengan membiarkan teori-teori yang beraneka
ragam. Prinsip ini dapat dipergunakan untuk studi teologi kontemporer, setiap pengkaji dapat
secara sadar memaknai doktrin-doktrin teologi sesuai pengalaman keagamaan dan situasi
sosialnya sendiri. Dengan begitu, orang tidak lagi saling mengkafirkan dan merasa paling
benar sendiri.

Kesimpulan

Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep khususnya yang didasarkan


pada ide theos-logos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Teologi sering berpusat pada
doktrin. Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang menekankan
bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang
lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan
murtad. Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif,
yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya,
karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan
terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-
dalil dan argumentasi.
42
Studi islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks
untuk memahami cara mendekati islam, baik pada tataran realitas-empirik maupun normatif-
doktrinal secara utuh dan tuntas. Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya
menafikan sudut pandang lainya yang kehadiranya sama-sama penting. Apabila islam hanya
dilihat dari satu sisi saja, maka akibat yang ditimbulkanya pun mudah ditebak, yaitu reduksi
dan distorsi makna. Sebagai akibatnya gambaran islam yang utuh tanpa diwarnai oleh sikap
apologetik dan truth claim sepihak rasanya akan sulit dicapai. Perkembangan zaman yang
selalu berubah dan disertai munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia,
menjadi sebuah tuntutan untuk memahami agama sesuai zamanya.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman
agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan tologis-normatif dilengkapi dengan
pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara oprasional konseptual
dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Sebaiknya umat islam tidak hanya
memahami islam melalui pendekatan teologis saja (diperlukan pendekatan berbagai disiplin
ilmu-ilmu yang  lain) bahkan sikap dan pengalaman agama lain  untuk melihat lebih dekat
agama kita sendiri. Agar pemahaman tentang islam menjadi integral, universal, dan
komprehenshif.

Anda mungkin juga menyukai