Anda di halaman 1dari 8

6.

PENDEKATAN STUDI ISLAM

2.1 . Pengertian Pendekatan Teologis


Suatu pendekatan yang normatif dan subjektif terhadap agama adalah pendekatan teologis. Pada
umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh penganut suatu agama dalam usahanya menyelediki agama
lain. Dengan demikian, pendekatan ini juga bisa disebut pendekatan atau metode tekstual, atau pendekatan
kitabi maka ia selalu menampakkan sifatnya yang apologis dan deduktif 1. Secara harfiah, pendekatan teologis
normatif dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan
kerangka ilmu kethanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan
dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan bahwa
teologis, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak, mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok
sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa
sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat, merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena
sifat dasarnya yang partikularistik, dengan mudah dapat ditemukan teologis Kristen-Katholik, teologi Kristen-
Protestan, dan begitu seterusnya. Jika diteliti lebih mendalam, dalam intern umat beragama tertentu pun masih
dapat menjumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut The Encyclopedia of American Religion, di
Amerika Serikat saja terdapat 1.200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah Davidian yang pada bulan April
1993, pemimpin sekte Davirdian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah
berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam pun, secara tradisional, dapat dijumpai
teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan teologi Maturidiyah. Sebelumnya terdapat pula teologi yang
bernama Khwarij dan Murji’ah. Menurut pengalaman Sayyed Hosen Nasr, dalam era kontemporer ini, ada 4
prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, nasionalis, dan
tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut, sudah tentu tidak mudah untuk disatukan
dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai “keyakinan” teologi yang sering sulit untuk didamaikan.
Mungkin kurang tepat untuk menggunakan istilah “teologi” disini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran
keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran tertentu
adalah bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru.
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah
pendekatan yang menekankan pada bentuk normal atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing entuk
formal atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan yang
lainnya sebagai yang salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnya lah yang benar,
sedangkan paham yang lainnya salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir,
murtad, dan seterusnya. Demikian pula yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya
sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, terjadilah proses saling mengkafirkan, salah
menyalahkan, dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau
saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (ekskusivisme) sehingga terjadi pemisahan dan
pengotakkan.
Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sifat kritis ini ditunjukkan kepada agamanya
sendiri (agama sebagai institusi sosial kemudian pada situasi yang dihadapinya). Teologi sebagai kritik agama

1
Zakiah Darajat, op. cit., hlm. 37.
antara lain mengungkapkan berbagai kecenderungan dalam institusi agama yang menghambat panggilannya;
menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.

Teologi kritis bersikap kritis pula terhadap lingkungannya. Hal ini hanya dapat terjadi kalau agamanya
terbuka juga terhadap ilmu-ilmu sosial dan memanfaatkan ilmu tersebut bagi pengembangan teologinya.
Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam teologi merupakan fenomena baru dalam teologi. Melalui ilmu-ilmu sosial
itu dapat diperoleh gambaran mengenai situasi yang ada. Melalui analisis ini dapat diketahui berbagai faktor
yang menghambat ataupun yang mendukung realisasi keadilan sosial dan emansipasi. Dengan kata lain, ilmu-
ilmu sosial membantu untuk mengkaji akar ketidakadilan dan kemiskinan. Dengan demikian, teologi ini bukan
hanya berhenti pada pemahaman mengenai ajaran agama, tetapi mendorong terjadinya transformasi sosial.
Itulah sebabnya, beberapa kalangan menyebut teologi kepedulian sosial sebagai teologi transformatif. 2
Sikap eksklusivisme teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama tidak saja merugikan
bagi agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri karena sifat semacam itu sesungguhnya mempersempit
kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya nuansa. Kita tidak bisa
mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam perkembangannya, sebuah agama mengalami deviasi atau
penyimpangan dalam hal doktrin dan praktiknya. Akan tetapi, arogansi teologis memandang agama lain sebagai
sesat sehingga harus dilakukan pertobatan dan jika tidak, pemeluknya pasti masuk neraka, merupakan sikap
yang malah menjauhkan dari subtansi sikap keberagamaan yang serba kasih dan santun dalam mengajak ke
jalan kebenaran. Arogansi teologis ini tidak saja terjadi pada pemeluk agama lain, tetapi terjadi juga secara
internal dalam suatu komunitas agama. Baik dalam Yahudi, Kristen maupun Islam, sejarah membuktikan
kerasnya yang terjadi antara suatu aliran teologi dan aliran lain.3
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir dedukatif, yaitu cara berfikir
yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan
sudah pasti benar, dan tidak tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang
selanjutnya, diperkuat dengan dalili-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis telah menunjukkan adanya
kekurangan yang bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mengakui kebenaran agama lain, dan sebagainya.
Kekurangan ini dapat diatasi dengan cara melengkapi dengan pendekata fisiologis. Adapun kelebihannya
adalah, melalui pendedkatan teologis normatif ini, seseorang akan memahami sikap militansi dalam agama,
yakni berpegang teguh dengan agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan
agama lainnya. Dengan pendekatan demikian, seseorang akan memiliki sikap fanatik, terhadap agama yang
dianutnya.
Pendekatan teologis ini, erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang
memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat
penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini, agama dilihat sebagao kebenaran mutlak dari
Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersikap ideal.

2
M. Sastrapratedja, Agama dan Kepedulian Sosial, dalam Soetjipto Wirosardjono, Agama dan Pluralitas
Bangsa, P3M, Jakarta, 1991, hlm. 83.

3
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial,
Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 9-10
2.2 . Pengertian Pendekatan Antropologis
Pendekatan Antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami
agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. melalui
pendekatan ini, agama tampak akrab dengan masalah-maslah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan
dan memberikan solusinya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam
melihat suatu masalah digunakan juga untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitannya dalam hal ini
sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan bersifat
partisifatif. Dari sini, timbul kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif yang mengimbangi pendekatan
deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan
grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya berupaya membebaskan diri dari
teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologis dan
lebih-lebih ekonomi yang menggunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada
penelitian historis.4
Melalui pendekatan antropologis, kita melihat bahwa ternyata agama berkorelasi dengan etos kerja dan
perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos
kerja seseorang, kita mengubah pandangan keagamaanya.
Melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama adalah hubungannya dengan mekanisasi
perorganisasian (social organization). Khusus di Indonesia, karya Clifford Geertz, The Religion of Java
menerangkan adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa: santri, pryayi, dan abangan.
Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial
yang lain, konstruksi stratifikasi sosial yang dikemukakkannya cukup membuat orang berfikir orang untuk
mencek keabsahannya. Melalui pendekatan antropologis fenomenologis, kita juga dapat melihat hubungan
agama dan negara (state and religion).
Dengan demikian, pendekatan antopologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena
dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu
antropologi dengan cabang-cabangnya. 5

2.3 . Pengertian Pendekatan Sosiologis


Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan
antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama,
cara terbentuk dan tumbuh, serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup serta kepercayaannya, keyakinan
yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dakam tiap persekutuan hidup manusia. Sementara
itu, Soejono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan
penilaian. Sosiologi tidak menetpkn ke arah mana sesuatu berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk
yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan kebersamaan. Di dalam ilmu ini juga

4
M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan” dalam M. Taufik Abdullah dan M.
Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1990, hlm.19.
5
Abuddin Nata, op.cit, hlm.38.
dibahas tentang proses-proses sosial, mengingat pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup
untuk memperoleh gambar yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia. 6
Dari dua defenisi tersebut, terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan keadaan
masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan
ilmu ini, suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan,
mobilitas sosial, serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses-proses terjadinya tersebut. 7
Diantara teori-teori yang sangat terkenal adalah teori tingkatan. Teori ini dikemukakkan oleh August
Comte (1798-1857). Dalam bukunya, Cours De Philosophie Positive, ia menerangkan pandangannya tentang
paham positivisme yang alamiah dan menjabarkan tingkatan-tingkatan dalam evolusi pemikiran manusia
sebagai berikut:
1. Tingkatan Pertama
Yaitu tingkatan yang disebut dengan tingkatan teologi. Semua kejadian yang dialami manusia dianggap
berasal atau bersumber dari ketuhanan atau suatu Zat Yang Maha Kuasa.
2. Tingakatan Kedua
Yaitu tingkatan yang metafisika. Pada tingkatan ini manusia sudah mulai memahami kejadian di lingkungan
dan alam sekitarnya berdasarkan kekuatan-kekuatan yang lebih abstrak dan tidak kelihatan.
3. Tingkatan Ketiga
Yaitu tingkatan positive. Pada tingkatan ini, manusia sudah memahami sesuatu sebab itu berdasarkan
akal fikiran yang praktis.8
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal
demikian dapat dimengerti karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat
apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam ajaran Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf
yang dahulu menjadi budak lalu akhirnya bisa menjadi pengusa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan
tugasnya, Nabi Musa dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Tanpa ilmu sosial,
peristiwa-peristiwa ini akan sulit dijelaskan dan sulit dipahami maksudnya. Disinilah, peran sosiologi sebagai
salah satu alat dalam memahami ajaran agama.
Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri
diturunkan untuk kepentingan sosial.

2.4 . Pengertian Pendekatan Filosofis


Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hakikat dari segala yang ada. Kata filsafat
atau falsafah secra harfiah berasal dari bahasa Arab yang berasal dari bahasa Yunani philoshopia yang berarti
cinta kepada pengetahuan atau cinta kepada kebijaksanaan. 9 Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari
hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia. Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat,
atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik proyek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar,

6
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 18 dan 53.
7
Abuddin Nata, op.cit., hlm. 39.
8
Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 60.
9
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2001, hlm. 15.
asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek bolpoin
dengan kualitas dan harga berlainan, namun intinya sama, yaitu sebagai alat tulis.
Karena pentingnya pendekatan filosofis ini, kita menjumpai bahwa filsafat telah digunakan untuk
memahami berbagai bidang selain agama. Kita misalnya, membaca adanya filsafat hukum Islam, filsafat
sejarah, filsafat kebudayaan, filsafat ekonomi, dan sebagainya.
Melalui pendekata filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agam formalistik, yakni
mengamalkan agama dengan susah payah, tetapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Mereka tidak
dapat merasakan nilai spritual yang terkandung didalamnya.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat
dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya. Namun demikian,
pendekatan filosofis ini masih belum diterima terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang cenderung
memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengalaman agama. 10

2.5 . Pengertian Pendekatan Historis


Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini,
segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, dan siapa yang
terdapat dalam peristiwa tersebut.11
Pendekatan historis ini digunakan sebagai upaya untuk menelusuri asal-usul serta pertumbuhan
pemikiran dan lembaga keagamaan melalui periode perkembangan sejarah tertentu, serta untuk memahami
peranan kekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalm periode-periode tersebut. Penelitian semacam ini harus
dimulai dari masa yang paling awal yang dapat diketahui dalam sejarah manusia. 12

Oleh karena itu, menurut Hasan Usman, metodologi sejarah adalah sesuatu periodisasi atau tahapan-
tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat
sejarah. Adapun yang dimaksud dengan kenyataan dan kebenaran sejarah bukanlah harus sampai pada
kenyataan dan kebenaran mutlak. Karena hal itu berada di luar kemampuan, juga hilangnya petunjuk, misalnya
bekas peninggalan atau karena ada tujuan dan kepentingan tertentu.13

Melalui pendekatan sejarah, seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris
dan mendunia dari keadaan ini, seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdpat
dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun
dalam situasi konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalami terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut
pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi
konsep-konsep, dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
10
Abuddin Nata, op.cit., hlm. 45.
11
Ibid., hlm. 46.
12
Adeng Muchtar Ghazali, op.cit., hlm. 39.
13
Hasan Usman, Manhaj Al-Bahst At-Tarikh (Metodologi Penelitian Sejarah), diterjemahkan oleh Tim
Penerjemah Depag RI, 1986, hlm. 16.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-Qur’an yang
merujuk pada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran-
ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah, atau singkatnya pertanyaan-pertanyaan itu, mungkin diangkat
dari konsep-konsep religius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan
ke dalam pandangan dunia Al-Qur’an, lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.

Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun
konkret. Konsep tentang Allah, malaikat, akhirat, ma’ruf, munkar dan sebagainya, adalah konsep-konsep
abstrak. Sementara itu, juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih menunjuk pada fenomena konkret dan dapat
diamati (observable), misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhuafa (orang lemah), mustadh’afin
(kelas tertindas), zhalimun (para tiran), aghniya (orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-
koruptor), dan sebagainya.

Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman
yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan,
Al-Qur’an ingin mengajak umat Islam untuk melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah, melalui
kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis ataupun menyangkut simbol-simbol.
Misalnya, simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan
Tuhan, atau tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdo’a. 14

Melalui pendekatan sejarah ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan
dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, seseorang tidak akan memahami agama, keluar dari konteks
historisnya, karena pemahaman demikian akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin
memahami Al-Qur’an secara benar misalnya, harus mempelajari sejarah turunnya Al-Qur’an yang selanjutnya
disebut sebagai ilmu asbabun nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an) yang pada intinya
berisi sejarah turunnya ayat Al-Qur’an. Dengan ilmu asbabun nuzul ini, seseorang dapat mengetahui hikmah
yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara
syariat dari kekeliruan memahaminya.

2.6 . Pengertian Pendekatan Kebudayaan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan
batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan (usaha) batin
(akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir
Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, kepercayaan, seni, hukum,
moral, adat istiadat, dan segala kecakapan lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. 15

Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengarahkan
segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral,
adat istiadat, dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print
oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan tampil

14
Kuntowijaya, Paradigma Islam Interprestasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991, hlm. 328.
15
Sutan Takdir Alisjahbaa, Antropologi Baru, Dian Rakyat, Jakarta, 1986, hlm. 207.
sebagai pranata yang terus menerus dipelihara para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi
kebudayaan tersebut.16

Kebudayaan selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami apa yang terdapat pada dataran
empirisnya atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. agama yang tampil
dalam bentuk demikian berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu
berkembang. Melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut, seseorang akan dapat mengamalkan ajaran
agama. Kita misalnya, menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Ke dalam
produk kebudayaan tersebut, unsur agama ikut berintegrasi. Dalam pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya
dapat dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, agama akan sulit dilihat
sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta misalnya, kita jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala
Arab, sedangkan kaum wanitanya mengenakan baju ala China. Di situ terlihat produk budaya yang berbeda
yang dipengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.17.

2.7 . Pengertian Pendekatan Psikologis

Pada abad ke-20 muncul pendekatan baru untuk menjelaskan agama dari segi ilmu pengetahuan yaitu
pendekatan psikologi. Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini
pengalaman keagamaan. Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
prilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi
karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Sikap seseorang yang ketika berjumpa saling mengucapkan
salam, hormat kepada orang tua, guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya
merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama
sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut
seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya
dalam perilaku penganutnya.18

Dalam ajaran agama, banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang.
Misalnya, sikap beriman dan bertakwa kepada Allah sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang
yang jujur, dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.

Dengan ilmu jiwa ini, selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan
diamalkan seseorang, juga dapat di gunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang
sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini, agama akan menemukan cara yang tepat untuk
menanamkannya.

Kita misalnya, dapat mengetahui pengaruh shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya melalui ilmu
jiwa. Dengan pengetahuan ini, dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan
16
Abuddin Nata, op.cit., hlm., 49.
17
Adeng Muchtar Ghazali., op.cit., hlm. 46.
18
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hlm. 76.
ajaran agama. Itulah sebabnya, ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap
keagamaan seseorang.19

Sumber-sumber pokok untuk mengumpulkan data ilmiah melalui pendekatan psikologi ini:

1. Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup;


2. Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri;
3. Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan atau yang ditulis oleh para ahli agama. 20

Dari uraian tersebut, kita melihat bahwa ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan.
Dengan pendekatan itu, semua orang akan sampai pada agama.

Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada
pemahaman agam yang benar. Di sini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan
normatif belaka. Melainkan dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang
dimilikinya. Dari keadaan demikian, seseorang akan memiliki kepuasaan dari agama karena seluruh persoalan
hidupnya mendapat bimbingan dari agama.21

19
Abuddin Nata, op.cit., hlm. 50-51.
20
Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 20.
21
Abuddin Nata, op.cit., hlm. 51.

Anda mungkin juga menyukai